Film Tempo

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Film Tempo as PDF for free.

More details

  • Words: 1,128
  • Pages: 1
B4

RABU, 19 AGUSTUS 2009

NARA

KILAS

Bowo Leksono

Pelopor Film Indie di Lereng Slamet Ia lulusan fakultas hukum dan menjadi wartawan. Namun, perkenalannya dengan film pendek menyeretnya ke gerakan film pendek di sebuah kota kecil di lereng Gunung Slamet, Purbalingga. Lebih dari 60 film pendek lahir di sini. FOTO-FOTO: ARIS ANDRIANTO (TEMPO)

uluhan mata memandangi sebuah layar putih. Di layar itu, sebuah film pendek sedang diputar. Sesekali terdengar tawa saat ada adegan lucu dalam film tersebut. Habis itu mereka kembali serius. Bergulat dalam diskusi yang hangat. “Tiap ada pemutaran film baru, kami akhiri dengan diskusi,” kata Bowo Leksono, Koordinator Cinema Lovers Community Purbalingga, Kamis pekan lalu. Setidaknya, setiap sebulan sekali, komunitas film itu mengadakan acara nongkrong bareng sembari nonton film. Tak hanya film pendek buatan sendiri, sesekali mereka juga memutar film pendek dari daerah lain. Acara ini pun diikuti oleh sekitar 20 komunitas film yang ada di Purbalingga. Tidak main-main, jumlah film yang mereka produksi cukup banyak, lebih dari 60 film lahir di Purbalingga. Kegandrungan remaja Purbalingga terhadap film pendek bukan sesuatu yang dadakan, meski tak bisa dikatakan sebagai barang lama. Hingga beberapa tahun yang lalu, film pendek atau biasa dikenal sebagai film indie (independen) merupakan barang langka di kota ini. Bowo Leksono ialah orang yang pertama kali memperkenalkan film pendek ke remaja Purbalingga pada 2004. Pemuda gondrong kelahiran Purbalingga pada 14 Mei 1976 ini merupakan pelopor lahirnya “movie maker” dari lereng timur Gunung Slamet. Padahal Bowo tidak berlatar belakang dunia sinema. Dia memulai dunia seninya dengan teater dan melukis. Bahkan, ketika lulus dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro sembilan tahun yang lalu, Bowo menjadi wartawan di harian Republika. Kebetulan, dia bertugas di desk budaya. Dari situlah ia berkenalan dengan dunia film pendek. “Saya langsung jatuh cinta,” kata dia. Sebagai wartawan, ia pun jadi sering meliput festival film pendek. Akhirnya, “Bosan hanya bisa mengkritik, saya pun mencoba bikin film pendek sendiri,” dia menambahkan. Hobi barunya itu membuat kesibukannya bertambah. Ia lalu memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai wartawan dan mencoba membuat film pendek pertamanya. Meski buta tentang film pendek dan tak memiliki kamera atau peralatan film lainnya, Bowo tak menyerah. Film Orang Buta dan Penuntunnya muncul pada 2004. Film fiksi berdurasi 24 menit ini

P

menjadi film pertama dan tonggak sejarah perfilman di Purbalingga hingga saat ini. Film ini menjadi film pertama di Purbalingga yang sempat diputar di sekolah-sekolah, kampus, dan kantong-kantong budaya. Film keluaran rumah produksi Laeli Leksono ini juga sempat diputar di TVRI Nasional dan ikut Festival Film Indonesia 2004. Kini belasan film pendek, baik fiksi maupun dokumenter, telah lahir dari tangannya. Ia juga rajin mengikuti berbagai festival film independen. Beberapa di antaranya menyabet nominasi dan penghargaan film terbaik. Misalnya, filmnya yang berjudul Lengger Santi menjadi film dokumenter terbaik dalam Surabaya 13 Film Festival 2007, lalu film Adu Jago menjadi film dokumenter terbaik dan Pasukan Kucing Garong menjadi film fiksi terbaik dalam Malang Film Video Festival 2007. Ia tak mau maju sendirian. Anakanak muda lainnya dia tarik untuk bergerak di dunia film. Setelah puluhan komunitas terbentuk, bersama beberapa rumah produksi di Purbalingga, pada 2006, ia membentuk komunitas bersama bernama Cinema Lovers Community. Saat ini, Bowo nyambi sebagai jurnalis di sebuah majalah terbitan Bappenas, sambil sesekali menggarap proyek film milik lembaga negara tersebut. Di sela-sela kesibukannya, ia tetap rajin memproduksi film pendek dan rajin mudik menemui teman-temannya di Purbalingga untuk membuat dan memutar film. Bowo berharap teman-temannya di kampung bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. Film pendek, kata dia, merupakan cara mengekspresikan diri, sekaligus lahan mencari uang. “Temen-temen bisa membuat video shooting kawinan atau film dokumenter lainnya,” katanya. Ia sendiri memaknai kebebasan berekspresi sebagai wujud kemerdekaan. Apalagi di saat peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia sekarang ini. Film pendek, kata dia, hanya sebuah pilihan dari banyak pilihan untuk memerdekakan diri. “Anak muda harus mengambil perannya sendiri, dengan sebuah karya,” ucapnya. ● ARIS ANDRIANTO

Pendatang Tak Punya Surat Tinggal YOGYAKARTA — Pendatang dari

luar daerah Yogyakarta masih banyak yang belum punya surat keterangan tinggal sementara (SKTS). Padahal setiap pendatang yang tinggal dalam waktu tertentu harus mengurus surat tinggal, terutama bagi mahasiswa, pelajar, dan pekerja. “Dari puluhan ribu pendatang, baru 9.500 orang yang mengurus SKTS,” kata Bram Prasetyo, pejabat di Dinas Kependudukan Kota Yogyakarta, kemarin. Dinas Kependudukan bersama Dinas Ketertiban melakukan razia kartu tanda penduduk (KTP) di pemondokan dan asrama mahasiswa. Razia di Suryatmajan menemukan pendatang dari Timor Leste tak punya surat tinggal, begitu juga di Asrama Mahasiswa Nusa Tenggara Barat di Jalan Batikan. Pendatang yang belum punya SKTS wajib segera mengurus. Bagi mahasiswa dan pelajar berlaku setahun dan bisa diperpanjang. “Operasi ini secara khusus ditujukan untuk antisipasi keamanan, khususnya berkaitan dengan masalah terorisme,” kata Kepala Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta Wahyu Widayat. ● MUH SYAIFULLAH

Kualitas Udara di Surakarta Masih Baik

Mereka Tak Pantang Menyerah ejak 2004, komunitas pencinta film terbentuk di Purbalingga. Setelah kian banyak, pada 4 Maret 2006, lahirlah Cinema Lovers Community atau Komunitas Pencinta Film di Purbalingga. Beberapa rumah produksi lokal mendukungnya, di antaranya Laeli Leksono Film, Beda Studio, Bochary Film, Glovision Production, dan SBH Entertainment. Koordinator Cinema Lovers Community Purbalingga, Bowo Laksono, mengatakan keanggotaan komunitas ini terbuka bagi siapa saja. Tujuannya, selain menjadi wadah pencinta film, yaitu memberikan tontonan alternatif yang bersifat mendidik dan menghibur serta menjadi arena pembelajaran seluk-beluk karya film dan menumbuhkan kegairahan membuat film di antara anak muda. Awalnya, kegiatan komunitas ini mengadakan tontonan film, kemudian mendiskusikannya. Acara digelar di Graha Adiguna milik Pemerintah

S

Kabupaten Purbalingga, yang terletak di Kompleks Pendapa Bupati. Program bertajuk “Bioskop Kita” ini diselenggarakan sebulan sekali. Di samping karya sineas lokal, diputar juga film dari luar daerah. Sayang, program ini tak berjalan mulus. Pada 2006, gedung Graha Adiguna dilarang digunakan lagi untuk pemutaran film. Pelarangan tak menyurutkan langkah mereka untuk mempopulerkan film pendek dan film-film alternatif. Sinema gerilya diterapkan. Pemutaran film dengan cara menggelar layar tancap ke berbagai desa di Purbalingga pun diadakan. Layar tancap masih digelar sampai sekarang. Adapun untuk komunitas, pemutaran film dan diskusi digelar di sebuah kafe. Acara lain lain kian banyak, termasuk workshop. “CLC terus melakukan kerja-kerja kreatif demi kemajuan perfilman di Purbalingga dan di Indonesia,” Bowo menegaskan. ● ARIS ANDRIANTO

SURAKARTA — Kepala Badan Lingkungan Hidup Surakarta Supono mengatakan kualitas udara di Surakarta masih baik. “Setelah kami teliti, hasilnya masih di bawah ambang batas baku mutu,” kata Supono kemarin. Supono mengatakan titik tertinggi pencemaran ada di perempatan Ngemplak dan perempatan Jajar. “Karena sering dilalui bus,” ujarnya. Meski masih di bawah baku mutu, tetap dilakukan langkah antisipasi. Misalnya dengan gerakan penanaman pohon di beberapa titik tertentu. “Sejak dicanangkan tahun lalu, sampai sekarang sudah ada sekitar 200 ribu batang pohon yang ditanam,” tuturnya. Selain itu, dibangun beberapa taman kota dan akan diusahakan membuat hutan kota minimal seperempat hektare di tiap kawasan. Saat ini, dari luas Surakarta 44 kilometer persegi, 16 persen di antaranya merupakan ruang terbuka hijau. “Kami menganjurkan masyarakat menanam pohon mahoni,” kata Supono. ● UKKY PRIMARTANTYO

Related Documents

Film Tempo
June 2020 3
Tempo
November 2019 41
Tempo
May 2020 25
Tempo
August 2019 42
Tempo
November 2019 30