Rein H : Ada sesuatu yang takkan pernah berakhir di antara dia, kamu, dan aku
FERRIS WHEEL 2007
Ferris Wheel Rein H.
For and from you, As forever is truly ever be
Tak ada yang tahu apa yang ‘kan terjadi antara DIA,LO,GUE Tetapi biarlah kita mengalir apa adanya Karena itulah kita Jangan menangis saat ku sedih Saat kau dengarkan keluhku Oh, aku pun lega Saat kau jauh kutemukan hadirmu di dalam hatiku Selalu, slamanya Dirimu ada Terukir dalam sejarahku Terpatri dalam ingatanku Kisah yang takkan kuakhiri Adakah ku di hidupmu ? Tak ada yang dapat mengerti isi hati manusia DIA,LO,GUE Tetapi selama kita punya hati yang peduli Kita ‘kan selalu abadi DIALOGUE, Rein H (2007 )
Bagian 1 –Four of a Kind
P
ernahkah kamu naik Ferris Wheel ? Wahana ini adalah benda wajib di taman hiburan manapun di seluruh dunia. Tidak seperti roller coaster di mana kamu memacu adrenalin dengan bertarung melawan ketinggian dan kecepatan, saat naik
Ferris Wheel kamu bisa menikmati waktumu dengan santai sambil melihat pemandangan sekeliling dengan leluasa. Hidup ini seperti Ferris Wheel, roda raksasa yang terus berputar mengikuti waktu. Cinta dan persahabatan pun demikian – ada saat-saat di mana kita naik, ada saat-saat di mana kita turun. Namun saat kita berhenti sejenak dan memperhatikan sekeliling kita, ada banyak yang bisa kita lihat. Ada banyak yang bisa kita ceritakan. Ada hal-hal yang menyenangkan, ada hal-hal yang menyebalkan. Jika kita berpikir dan merenungkannya, kita akan menyadari ada sesuatu yang indah di balik semua itu. Di usia sembilan belas tahun, Ferris Wheel dalam kehidupan Nana berputar cepat. Dilahirkan dengan suara yang bagus dan wajah yang manis, Natania Darmawan, atau Nana, adalah seorang gadis yang menarik. Sebenarnya Nana ingin sekolah vokal, tetapi orangtuanya tidak setuju, akhirnya terdamparlah dia di bukit Ciumbuleuit Bandung. Dia kuliah di Universitas Parahyangan, jurusan Hubungan Internasional. Karena rumahnya jauh di Sumedang, Nana harus kost. Tempat kost Nana disebut Rumah Hijau, sebab selain gerbangnya dicat hijau, interiornya pun didominasi warna hijau. Sebenarnya tempat kost itu hanyalah sebuah rumah biasa dengan enam kamar tidur yang disewakan; tiga di lantai bawah dan tiga di lantai atas, tiap-tiap lantai memiliki satu kamar mandi tanpa pemanas air. Di pojok halaman terdapat garasi motor, tapi tidak ada tempat untuk mobil. Itulah sebabnya harga sewa kamar di Rumah Hijau murah sekali, apalagi tempatnya agak jauh dari kampus. Penghuninya pun hanya empat orang, dua kamar sudah lama kosong tanpa penghuni. Pak Udin, pemilik Rumah Hijau, adalah seorang pensiunan pegawai negeri berusia enam puluh lima tahun, kelima anaknya sudah menikah semua dan tinggal di Jakarta. Kini dia dan istrinya menjadikan rumah mereka sebagai tempat kost. Mereka adalah orang tua yang ramah dan pengertian, itulah sebabnya Nana merasa betah tinggal di sana.
Nana tidak sendirian, dari Sumedang dia migrasi bersama tetangga sekaligus teman kecilnya, Adiputra Nusa Erlangga Handrawijaya Irianto, atau biasa disingkat si Adip. Mereka sudah satu sekolah sejak TK. Sama seperti Nana, Adip kuliah di Bandung bukan karena keinginan pribadinya, tapi karena titah orangtua. Meskipun sudah hampir dua puluh tahun, Adip belum banyak memikirkan masa depannya. Dia masih lebih suka menghabiskan waktu di depan komputer, bermain game online yang sekarang ini sedang beken dengan tingkat kecanduan stadium tiga. Dalam banyak kasus, biasanya teman kecil selalu terlibat dalam urusan cinta. Tetapi tidak begitu dengan Adip dan Nana. Mereka berteman, selalu bersama-sama, tapi mereka hidup dalam dunia yang berbeda. Dunia Nana dipenuhi mimpi-mimpinya untuk menjadi seorang penyanyi, sedangkan Adip masih terjebak dalam dunia game. Adip dan Nana berteman dengan seorang perantauan dari Padang bernama Lino Juanito Tjuatja. Awalnya Lino tinggal di sebuah tempat kost khusus cowok, tidak jauh dari Rumah Hijau. Tetapi karena penghuni kamar di sebelahnya selalu berisik, Lino memutuskan untuk pindah. Adip pun mengajaknya tinggal di Rumah Hijau. Dalam banyak hal, Adip dan Lino sangat cocok. Adip menyukai ketenangan saat bermain game, sedangkan Lino adalah tipe orang senang tidur dan tidak suka menimbulkan kegaduhan. Keduanya identik dalam hal kebersihan – maksudnya, mereka sama-sama jorok. Mereka juga senang bermain basket – satu-satunya hobi Adip selain bermain game. Adip dan Lino adalah dua sejoli, meskipun kalau dari perawakan berbeda jauh. Rambut Adip gondrong, berkacamata, berjenggot pula; sekilas nampak seperti om-om berumur tiga puluhan. Sementara kulit Lino putih karena jarang keluar, tidak berjenggot ataupun berkumis, wajahnya pun mulus seperti perempuan. Tapi matanya selalu terlihat mengantuk. Selain Lino, ada seorang lagi teman sejurusan Adip dan Nana, yaitu Renata – tapi Nana lebih suka memanggilnya Rere. Rere adalah teman pertama Nana di Bandung, mereka berkenalan saat masa orientasi. Rere sudah tinggal di Rumah Hijau sejak SMA, dan Rere pulalah yang mengajak Nana kost di sana. Sebenarnya Rere adalah orang Bandung, tetapi karena satu dan dua hal, keluarganya tinggal di luar kota sehingga dia harus kost. Di antara mereka berempat, Rerelah yang paling jarang ngumpul, terutama karena dia bekerja sampingan sebagai waitress di sebuah kafe di daerah Bandung utara.
Nana, Adip, Lino, dan Rere – keempatnya masih jomblo, dan masing-masing punya alasan tersendiri kenapa mereka kesulitan mencari pacar. Nana selalu merasa dia belum menemukan cinta sejatinya, dia merasa cowok-cowok di sekitarnya lebih enak dijadikan teman daripada pacar. Adip kesulitan menemukan cinta karena dia kebanyakan bermain game. Rere sibuk dengan pekerjan sambilannya, tak ada waktu buat mencari cowok. Sedangkan Lino menderita penyakit kronis “Tze-Tzenosis” alias obsesi pada bantal, jadi dia lebih suka tidur daripada ngeceng di kampus ataupun di mall. Keempat orang itu bersahabat dalam banyak perbedaan dan persamaan – dan dalam waktu kira-kira dua tahun, mereka menjadi kuartet konyol yang penuh cerita. Tapi di Indonesia, angka yang sakral adalah lima, bukan empat – Pancasila terdiri dari lima sila, presiden wanita pertama di Indonesia adalah presiden kelima, dan dalam lagu ‘Balonku’ pun terdapat lima balon. Oleh karena itu, Nana dan ketiga temannya belum menjadi satu tim yang utuh. Personil kelimanya baru bergabung di sore yang panas itu. ………
Bagian 2 – Agal
“DIP…!!! Lihat nih!” Pintu kamar kost Adip terbuka. Adip menoleh, dan tiba-tiba sesosok monster berbulu coklat dengan lidah yang menjulur keluar, menghantam wajahnya. “Anjis, apaan tuh, Na ?!” Adip langsung melompat mundur. “Guguk lah. Dari jauh juga keliatan.” sahut Nana. Dia membawa seekor anak anjing yang dibiarkannya menggonggongi Adip. “Tadi gua temuin di belakang kampus. Lucu ya ?” Anak anjing itu berusaha menggigit kaki Adip, Adip pun segera mengusirnya. Lino yang sedang tidur di ranjang Adip segera memutar tubuh dan menutupi telinganya dengan bantal. “Ngapain dibawa ke sini ?” tanya Adip. “Pak satpam bilang sih anjing tersesat. Kasihan ya ?” “Mau lu pelihara ?” Nana mengangguk. “Titip di kamar lu, ya, Dip ?” “Ogah ah! Simpen aja di kamar lu sendiri!” Adip menolak mentah-mentah. “Di kamar gua kan banyak boneka, ntar digigitin. Di kamar lu ‘kan nggak ada apa-apa, cuma cucian doank.” kata Nana menunjuk setumpuk cucian di lantai kamar Adip. “Ya ntar cucian gua yang bolong-bolong digigitin! Terus kalo dikencingin ‘kan berabe!” “Ah, nggak dikencingin aja udah bau kok.” kata Nana. “Iyah, ini bantal bau iler.” celutuk Lino yang terbangun karena argumentasi Nana dan Adip. “Heh, udah numpang jangan banyak protes.” sembur Adip pada Lino. Nana mengalihkan pandangan pada Lino. “Ngapain tidur di sini, No ?”
“Gua ngantuk banged, tapi seprai ranjang gua lagi dicuci.” jawab Lino sambil menguap, lalu mengucek mata. “Ngompol ?” “Enak aja...” “Abis mimpi basah ya ?” Adip sambil bersenyum dengan wajah mesum. “Guk!” anak anjing itu menyalak seolah mengiyakan ucapan Adip. Lino mencibir kepada Adip. “Sembarangan!” semburnya. “Guk!” anak anjing itu menggonggong lagi. “Udah ah Na, bawa sana gih! Suruh Pa Udin bikinin kandang di luar!” kata Adip, sementara. anak anjing itu tidak berhenti menggonggongi Adip. “Uh, ini anjing hiperaktif banget sih? Berisik tau! Hush! Hush!” Adip mengibaskan kakinya, mengusir anak anjing itu. “Eh, jangan ditendang dong!” ujar Nana sambil segera memeluk anak anjing itu. Anak anjing itu pun segera berhenti menggonggong dan menjilati tangan Nana. “Oh ya Dip, gua juga belum kasih nama nih. Kasih nama apa yah ?” tanya Nana. “Tau dah.” Adip kembali sibuk dengan game komputernya. “Yah... kasih ide dong!” Nana merenggut. Dia memandang ke arah Lino yang masih setengah sadar. “Apa ya, No ?” “Si Hitam.” celutuk Lino. “Tapi ‘kan warna bulunya coklat...” “Ya udah, Si Coklat.” “Standar banget...” “Agal aja.” kata Adip lagi. Maksudnya adalah Anjing Galak. “Yang imut dong!” ujar Nana. Adip mendengus kesal. “Katanya minta ide, tapi kok protes aja, sih ?”
Kemudian pintu depan kost terbuka, rupanya Rere baru pulang kuliah. Dia melihat Nana di kamar Adip, oleh karena itu dia berhenti di ambang pintu. “Loh Na, anjing dari mana ?” “Nemuin di kampus. Lucu ‘kan, Re ?” kata Nana. Rere mengiyakan. Dia berjongkok, kemudian mengelus kepala anak anjing itu. “Udah dikasi nama ?” “Belum. Ini juga lagi nyari nama.” kata Nana. “Namanya apa ya, Re ?” “Hmm…” “Adip bilang sih ‘Agal’. Aneh ya ?” “Bagus kok.” kata Lino. “Agal, sang Anjing Gaul.” Rere pun tertawa. “Boleh deh.” “Anjing Gaul dari Hongkong!” gumam Adip dengan nada dongkol. “Hmm, Agal ya…” Nana berpikir sebentar. “Kalau Adip memang suka nama Agal, ya udah deh... kita namain dia Agal aja.” kata Nana sambil memeluk anak anjing itu. Nana menatap Agal, kemudian menyalami kakinya. “Mulai sekarang nama kamu Agal ya. Hallo Agal!” “Guk!” Sekali lagi anak anjing itu menggonggong, seolah dia paham akan kata-kata Nana. Nana pun mengelus kepalanya dengan gemas. “Gua mandi dulu ah, udah jam empat nih.” kata Rere sambil berdiri. “Mau langsung kerja ?” tanya Nana sambil turut berdiri. “Iya.” “Oh ya Re,” kata Nana lagi. “...nanti malam gua diajak Bram nyanyi di kafe tempat dia biasa manggung, loh. Mau nonton ?” Bram adalah teman sekampus Nana dan teman-temannya, dia mempunyai band yang sudah sering tampil di kafe-kafe.
“Serius, Na ?!” tanya Rere setengah tidak percaya. Rere tahu, sudah sejak lama Nana ingin menjajal kemampuan menyanyinya. Bukan itu saja, Nana juga selalu ingin memelihara anjing. Dan hari ini, kedua harapannya terkabul. “Hari ini lu punya banyak kejutan, ya.” Nana mengangguk. “Gua juga dikasih vocer makanan loh.” tambah Nana riang. “Wah, boleh dong...” celutuk Lino. “Yah... kalo denger makanan, baru aja lu connect...” gumam Nana sebal. Dia berpaling lagi pada Rere. “Gimana Re, bisa datang ga ? Gua nyanyi jam delapan.” “Jam delapan ? Aduh...” ujar Rere ragu. “Gua ‘kan baru pulang kerja jam sembilan, Na.” “Nggak bisa ya, Re ?” “Sori ya...” kata Rere dengan nada menyesal. Nana tersenyum meskipun dia agak kecewa. “Nggak apa-apa kok.” “Guk!” si Agal menggonggong lagi, seolah hendak menghibur Nana. “Udah, udah, bawa pergi anjing lu, Na! Berisik!” sela Adip. “Agal! Namanya Agal, Dip! Kan lu sendiri yang ngasih nama.” kata Nana. “Udah lupa tuh!” “Weee...!!!” Lalu Rere pergi ke kamarnya di lantai dua, sementara Nana pergi ke halaman. Dari jendela kamar, Adip melihat Nana berbicara dengan Pak Udin yang sedang memotong rumput. Nampaknya Pak Udin memperbolehkan Nana memelihara si Agal. Pak Udin menunjuk pojok halaman yang terlindung pohon mangga, sepertinya dia berencana membuatkan kandang si Agal di sana. Nana mengiyakan, wajahnya nampak gembira. Dia berlalu, sementara Pak Udin pun kembali memotong rumput .........
Bagian 3 – Love, Love, and Love...
Jam setengah delapan, Nana, Adip, dan Lino sudah berada di kafe. Nana mengenakan tanktop hitam yang dipadukan dengan cardigan kesayangannya, rok selutut berwarna krem, dan menjepit poni rambutnya dengan aksesoris rambut yang senada dengan warna cardigannya. “Aduh Dip, gua gugup banged nih.” kata Nana. “Gua kurang latihan nih, takut salah!” “Santai aja.” kata Adip. “Lagian tadi lu udah latihan di kamar mandi ‘kan ?” Nana tersenyum malu. “Loh, itu Yanu ‘kan ?” kata Lino sambil menunjuk ke ambang pintu. Seorang pemuda bertubuh tinggi dengan rambut diberi gel wet look, berjalan masuk ke dalam kafe sambil memasukannya kedua tangannya ke dalam kantong celananya. Ketika melewati cermin, dia berkaca, merapikan kemeja putih yang membalut ketat tubuhnya dan memastikan penampilannya sudah oke. “Bah! Kok bisa-bisanya Mr-Know-Everything itu ke sini ?” desis Adip bernada sinis. Yanuar adalah teman sekampus mereka. Bukannya benci, hanya saja Adip tidak sreg bergaul dengannya. Sepertinya Yanu ada hati pada Nana, tapi Nana hanya menganggapnya teman. Namun bukan itu yang membuat Adip tak suka pada Yanu. Yanu adalah tipe cowok pesolek yang sok tahu dan selalu bermulut manis di depan cewek, apalagi pada Nana. Selain itu, omongan Yanu selalu dibumbui bahasa Inggris. Karena itulah Adip sering menyebutnya MrKnow-Everything. “Hei, Yan!” seru Nana sambil melambaikan tangan. “Jangan dipanggil, Na!” desis Adip sambil menarik tangan Nana. Terlambat. Yanu sudah melihat Nana. Dia nampak terkejut sekaligus gembira melihat Nana di sana. Dia pun segera menghampiri meja Nana, membuat Adip mendesah sebal. “Hi all!” sapa Yanu.
“Hai!” hanya Nana yang membalas sapaan Yanu. Yanu pun duduk di antara Nana dan Adip. Detik berikutnya, aroma parfum khas cowok dari tubuh Yanu menyengat hidung Adip. “Lu sering ke sini, Yan ?” tanya Nana. “Sometimes. Kopi di sini enak banged sih.” kata Yanu. “And you ? Sering ke sini ?” “Ini yang pertama.” kata Nana. Dia menunjuk ke arah panggung. “Sebenarnya gua datang pun karena diundang nyanyi.” “Really ? Diundang siapa ?” “Tuh, si Bram.” kata Nana menunjuk temannya, Bram, yang sedang main gitar. “Oh, I know him. Anak sekampus kita kan ?” tanya Yanu. Nana pun mengiyakan. Tapi Yanu nampak tidak begitu peduli pada Bram. Dia berpaling pada Nana lagi. “Nyanyi lagu apa ?” “Eyes on Me.” jawab Nana. “Oh, lovely. I love that song. Cocok banget sama suara lu, Na.” Detik berikutnya, terdengar suara Bram dari arah panggung. “Malam ini, kita kedatangan seorang tamu istimewa yang akan menyanyikan sebuah lagu untuk kita. Semuanya, ayo kita sambut – Mbak Nana!” sahutnya diiringi tepuk tangan seluruh tamu di kafe. “Ayo Mbak Nana!” sahut Adip sambil tertawa. Nana berjalan menuju music corner. Dia berdiri di belakang pengeras suara, dan tersenyum sambil mencoba menenangkan diri. Ketika tepuk tangan mereda, Bram pun mulai memetik gitarnya. Musik mengalun perlahan, dan Nana mengambil nafas dalam-dalam. Sesaat, mata Nana beradu pandang dengan seorang pemuda yang duduk di meja terdepan. Pemuda itu duduk bersama teman-temannya, dua orang cewek dan empat cowok, tapi hanya dia yang membuat mata Nana tidak bisa berpaling lagi. Badannya agak kurus, tapi matanya yang lembut menatap Nana dengan penuh arti. Jantung Nana kembali berdegup kencang. Tapi Nana berusaha untuk tenang. Dia pun mulai bernyanyi tanpa melepaskan pandangannya dari pemuda itu.
Whenever sang my songs, on the stage on my own Whenever said my words, wishing they would be heard I saw you smiling at me, was it real or just my fantasy? You'd always be there in the corner of this tiny little bar
Suara Nana bagaikan sihir medusa yang menyihir seluruh tamu di ruangan itu. Semua mata memandang ke arahnya, terpesona pada kelembutan suara Nana yang berbaur dengan kesan innocence di wajahnya. My last night here for you; same old songs, just once more My last night here with you, maybe yes, maybe no I kind of liked it your way, how you shyly placed your eyes on me Did you ever know that I had mine on you? Darling, so there you are, With that look on your face As if you're never hurt As if you're never down Shall I be the one for you Who pinches you softly but sure If frown is shown thesn, I will know that you are no dreamer
Nana merasa seperti sedang bermimpi. Suasana kafe yang agak gelap, cahaya lilin di setiap meja tamu, semuanya membentuk atmostir romantis di sekeliling Nana. Nana bukanlah tipe orang yang canggung, tapi detik itu perasaannya benar-benar tidak karuan. Bukan kegugupan yang dirasakannya sesaat sebelum naik ke atas panggung, ada sesuatu yang membuat darah dalam nadinya mengalir lebih cepat. Tetapi Nana sangat menikmatinya, dia merasa bahagia. Ah, seandainya waktu terhenti... So let me come to you, close as I want to be Close enough for me to feel your heart beating fast And stay there as I whisper, how I love your peaceful eyes on me Did you ever know that I had mine on you? Darling, so share with me Your love if you have enough Your tears if you're holding back Or pain if that's what it is
How can I let you know I'm more than the dress and the voice Just reach me out then, you will know that you're not dreaming
Musik penutup mengakhiri nyanyian Nana. Riuh tepuk tangan mengambang di ruangan itu, semua orang terkagum-kagum pada penampilan Nana malam itu. Nana mengucapkan banyak terima kasih, lalu turun dari panggung. Di pojok sana, teman-temannya tidak menghentikan tepuk tangan. Mereka sudah sering mendengar Nana bernyanyi, tetapi tasanya tidak pernah lebih indah daripada malam itu. “Wah Na, you’re just so amazing!” komentar Yanu dengan gaya komentator American Idols, Nana pun berterima kasih sambil duduk di bangkunya. “Your voice... wah, so heavenly!” “Udah ah, sekarang saatnya makan!” kata Adip, mencoba menghentikan ocehan Yanu. “Setuju!” sambut Lino. Tidak lama kemudian, makanan dan minuman yang dipesan pun datang. Yanu mengambil kopinya, mengaduknya perlahan, lalu menghirup aroma kopi itu sebelum mencicipinya. “I love this scent.” katanya. “Mau coba, Na ?” Nana menolak. “Makasih, tapi gua nggak suka kopi.” “Kok Nana doang yang ditawarin, Yan ? Gua nggak ditawarin ?” tanya Adip dengan nada sensi. “Gua suka kopi kok.” Yanu tertawa. “Sorry deh… kalau you minum dari gelas gue, kesannya kayak ciuman nggak langsung. Gimana ya, I’m straight, I have no interest with men.” Lino sangat geli melihat wajah Adip yang merasa kalah dengan jawaban Yanu. “Sejak kapan lu jadi homo, Dip ?” bisik Lino sambil menahan tawa. “Pengkhianat lu, No.” desis Adip. Mereka pun mulai makan. Tapi selera makan Adip menguap karena sepanjang waktu Yanu tidak henti-hentinya bicara – tentu saja dengan bumbu bahasa Inggris yang lebih banyak daripada merica di steak Adip. Tidak seperti Adip, Lino nampak menikmati makanannya. Dia memang tidak terlalu mempedulikan Yanu.
“Gimana Na, steaknya enak kan ?” tanya Yanu. “It’s my favorite.” “Lumayan.” jawab Nana. “Duh, steaknya keras banged, kayak sandal jepit.” ujar Adip. Dia selalu sengaja melontarkan komentar yang bertentangan dengan pendapat Yanu. “Lu salah motong, Dip.” kata Yanu. “Harusnya steak dipotong melawan serat daging.” “Bukan, si Adip salah pegang pisau, jadi motongnya susah.” kata Nana. “Si Adip memang nggak biasa pakai pisau. Biasanya dia motong steak pake gergaji.” celutuk Lino sambil nyengir. “Iya, sekalian motong kepala lu, No!” ujar Adip. Nana tertawa, tanpa sengaja dia menjatuhkan garpunya karena tidak tahan melihat kelakuan Adip yang konyol. Garpu itu jatuh ke tepat ke atas sisa steak di atas piring, dan bumbunya terciprat ke lengan cardingan Nana. “Aduh!” ujar Nana sambil mengernyitkan kening. “Yah, kotor deh...” “Kualat lu!” desis Adip puas. “Bentar deh, gua mau cuci tangan dulu.” Kata Nana sambil segera berdiri. Nana pun pergi ke pojok kafe. Saat Nana membuka pintu toilet, nampak seorang pemuda sedang mencuci tangannya. Mata mereka beradu dan ternyata dia adalah pemuda yang tadi duduk di meja terdepan. “Ah…” “Ah, hallo!” sapa pemuda itu ramah. Nana agak linglung. “Ini... bukan toilet cowok kan ?” dia melongok keluar, meyakinkan diri tidak salah masuk toilet. Pemuda itu tertawa. “Bukan kok, ini toilet bersama.” “Oh...”
Nana tersenyum lega. Dia pun mencuci tangannya di sebelah pemuda itu. Sedetik, tatapan mereka beradu lagi lewat cermin.. “Maaf, punya tissue nggak ?” tanya pemuda itu. “Ada.” Nana mengeluarkan tissue dari tasnya, lalu memberikannya pada pemuda itu. “Thanks.” pemuda itu menerima tissue dari Nana, lalu melap tangannya. “Oh ya, suara kamu bagus loh. Tadi kamu keren banget.” “Oh ya ?” wajah Nana memerah karena dipuji. “Makasih.” Pemuda itu tersenyum, nampak lesung pipit di kedua belah pipinya. “Pernah coba ikut audisi nggak ?” Nana menggeleng sambil tertawa. “Ah, nggak mungkin bisa.” katanya. “Dicoba dulu aja, kamu punya bakat kok.” sahut pemuda itu lagi. “Kalau lolos, aku pasti dukung kamu.” Nana tertawa. “Oh iya, lupa belum kenalan. Aku Denny.” kata pemuda itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. “Natania.” Nana membalas uluran tangan Denny tanpa lupa melemparkan senyum. “Panggil aja Nana.” “Kamu sekolah, Na ? Atau kuliah ?” tanya Denny. “Kuliah.” jawab Nana. “Memangnya keliatan kayak anak sekolahan ya ?” Denny mengiyakan sambil tertawa. “Aku kira anak SMP.” “Wah... Teman-teman juga sering bilang kalau aku nggak dewasa.” kata Nana. “Nggak apa-apa. Imut kok.” Sekali lagi Denny membuat wajah Nana memerah. Tapi pembicaraan mereka terputus ketika pintu toilet terbuka, dan nampak Adip mematung dengan wajah kesal.
“Hoi Na, lu cuci tangan apa cuci mobil ?” tanya Adip. “Lama amat...” Nana melotot. Dasar si Adip, merusak suasana romantis saja. “Sabar dong!” kata Nana. “Cepetan Na, gua pingin pulang! Sakit perut, pingin boker!” ujar Adip sambil mengerutkan kening dengan memasang tampang aneh. Ucapan Adip membuat Nana melotot. Kok bisa-bisanya Adip muncul dengan tiba-tiba dan bicara soal boker di saat seperti ini? “Kenapa nggak di sini aja ?” ujar Nana sambil menunjuk pintu WC yang terbuka lebar. “Nggak bisa, gua nggak nyaman kalau di tempat asing.” kata Adip lagi. “Suasananya beda.” Nana mendesis kesal. “Ya udah, tunggu sebentar.” katanya. “Cepetan, udah di ujung nih!” Nana benar-benar malu dengan tingkah Adip. Adip pun pergi, meninggalkan Nana tanpa ada perasaan bersalah. “Pacar kamu ?” tanya Denny setelah Adip pergi. “Bukan! Bukan!” sembur Nana serta-merta. “Ah, masa ?” Nana menggeleng. “Itu Adip, temen kecil aku. Dia juga sekampus dan sekost sama aku.” Denny tersenyum. “Kayak di komik-komik cewek, ya ? Biasanya teman kecil itu berakhir dengan pacaran, loh.” “Aku ? Sama Adip ? Mustahil!” Nana menggeleng. “Dia tuh jorok banget. Dan omongannya menjijaykan! Yah, pokoknya dia cuma temanku, kok. Nggak lebih. Sungguhan. Dan bukan teman tapi mesra. Pokoknya cuma teman kecil.” katanya berapi-api. “Hahaha... Gak usah panik begitu dong...” kata Denny sambil tersenyum geli. “Bukan gitu, aku cuma nggak mau kamu salah sangka.” kata Nana. “Nggak kok, aku percaya.” kata Denny. “Ya udahlah, dia udah nungguin kamu tuh.”
Nana menghela nafas panjang. “Ya udahlah, aku pergi dulu.” Denny mengiyakan. “Oh ya, nanti kita bisa ngobrol-ngobrol lagi, ya ?” “Oke deh.” kata Nana. Nana tersenyum, kemudian melenggang pergi setelah bertukar nomor handphone. Bibirnya tersenyum tipis, ada setangkai bunga yang berkembang di hatinya. Seperti kata Rere, hari ini penuh kejutan. Debut menyanyinya, kehadiran Agal, dan sekarang, dia bertemu seseorang yang membuat jantungnya tidak bisa berhenti berdegup. Apakah ini cinta ? Apakah Nana telah bertemu orang yang tepat ? Nana tidak tahu. Tetapi dalam hatinya dia ingin membiarkan bunga-bunga lain berkembang, menghiasi perasaannya yang tengah meluap-luap. “Kuharap hari ini tidak berakhir begitu saja...” gumam Nana dalam hati. ………
Bagian 4 – Di Tengah Hujan
Nana menyandarkan diri pada pos satpam di belakang kampus dengan lesu. Dia memandang langit yang abu-abu dan bergemuruh sambil memasang wajah murung. Hujan sudah turun sejak pagi. Kini sudah hampir jam lima dan Nana ingin pulang, tetapi dia lupa membawa payung. Gruuuk... Perut Nana berbunyi minta diisi. “Uh, lapar...” keluh Nana dalam hati. Dia teringat cake yang kemarin dibelinya di kafe, yang disimpannya di lemari es kost. Nana ingin cepat-cepat pulang dan menghabiskan cake itu sebelum ditemukan Adip atau Lino. Nana juga ingin tahu apakah Pa Udin sudah menyelesaikan kandang si Agal atau belum. Jika belum, si Agal pasti kehujanan. Nana mendesah khawatir. Ketika hujan sudah tidak terlalu lebat, Nana memutuskan untuk pulang. Dia memeluk tasnya, lalu berlari menembus gerimis sambil menggigil kedinginan. Seluruh jalanan banjir, sampah bertebaran di mana-mana terbawa air selokan yang kecoklatan. Nana harus melompat ke sana ke mari untuk menghindari genangan air dan lubang-lubang. Tiba-tiba Nana merasakan sepatunya tersangkut sesuatu. Rupanya kaki kanannya menginjak lubang di aspal yang tak terlihat karena air. Nana kehilangan keseimbangannya, kaki kirinya menginjak sesuatu yang licin, dan... BRUK! Seperti durian busuk, Nana jatuh terjerembab ke atas genangan air. Tasnya jatuh, badannya pun basah kuyub. Sepersekian detik berikutnya, sebuah mobil Honda Jazz melucur dekat dengannya, dan air kotor pun kembali menciprat tubuhnya. “Sialan! Dasar brengsek!” jerit Nana tak tertahankan. Dia terduduk di aspal dengan wajah putus asa. Rambut dan tubuhnya kini dibasahi air hujan yang bercampur air selokan. Nana hampir menangis frustasi. Pengendara mobil itu segera menghentikan mobilnya, dan segera keluar dari mobil, dia bergegas menghampiri Nana. “Maaf Mbak, gak apa-apa ?”
Nana tidak menjawab, dia hanya menoleh. Matanya melotot ketika disadarinya orang yang berdiri di sampingnya sambil mengulurkan tangan itu adalah Denny. “Loh, Nana ?” tanya Denny bernada tidak percaya. Dia juga sama terkejutnya dengan Nana. “...” Keduanya terpaku. Nana sering membaca komik-komik cewek, di mana ada adegan ketika sang wanita dan sang pria bertemu di bawah hujan, saling menatap tanpa mengucapkan satu patah katapun, rasanya begitu romantis menggetarkan seluruh tubuh. Tapi ketika Nana sadar bahwa seluruh tubuhnya basah ( dan sedikit bau selokan ), dia meringis. Apalagi Denny pun nampak seperti bingung. “H...H...HUAAHHH...!!!” Otak Nana konslet. Nana menjerit karena panik dan malu, lalu berlari pergi menuju Rumah Hijau yang terletak hanya sepuluh meter di depan. Nana membuka gerbang kost dengan terburu-buru, dia bahkan lupa menutupnya lagi. Sementara itu Denny masih mematung di pinggir jalan, terbengong-bengong karena tingkah Nana. “Adiiippp...!!!” jerit Nana. Adip yang sedang bermain komputer di kamarnya langsung nongol. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Nana berdiri di depan pintu dengan penampilan yang kotor dan acak-acakan. “Kenapa lu, Na ? Abis berenang di kubangan kebo ?” tanya Adip dengan tampang serius. “Enak aja! Gua jatuh, Dip.” sahut Nana. “...dan si Denny liat gua, Dip! Dia lihat gua dalam keadaan seperti ini!” “Denny siapa ?” tanya Adip sambil memberikan selembar handuk pada Nana. “Itu loh, cowok yang kemarin lusa, yang ngobrol sama gua di kafe.” “Yang mana ?” “Itu, yang lu lihat di toilet itu!” “Oh, manusia toilet itu ?” Adip ingat kemarin Nana berbicara dengan seorang cowok di toilet.
“Heh, jangan seenaknya ngasih julukan!” sembur Nana. Dia melap tangan dan kakinya yang kotor sambil terus bicara. “Duh, gimana dong, Dip ? Gua malu banged sama dia. Gua udah nggak punya muka buat ketemu dia lagi!” “Muka ? Masih ada kok. Tuh, hidung pesek lu masih kelihatan.” canda Adip. “Ah Dip, lu nggak bisa diajak serius, ah!” Nana melemparkan handuknya ke wajah Adip. Adip menangkap handuk itu sambil tertawa. Tapi kemudian dia meringis sambil memegang ujung handuk itu dengan memasang wajah jijik. “Jis, kotor gini! Bau pula! Lu yakin nggak jatuh ke atas onggokan eek kebo ?” Berikutnya, sepatu Nana yang melayang; tepat mengenai hidung Adip. ………
Bagian 5 – Cinta Ekspres
Hari itu adalah hari pertama kompetisi basket three on three sekampus yang selalu diadakan tiap tahun. Lino membentuk tim bersama Adip dan dua orang temannya yang lain. Kali ini Adip terpaksa tampil dengan hidung diplester karena terluka akibat lemparan sepatu Nana kemarin. Semalaman mereka bertengkar, tapi tadi pagi mereka sudah baikan seolah tidak terjadi apa-apa. Sayang sekali pertandingan dilangsungkan pada sore hari, sehingga Rere tidak bisa menonton karena dia harus pergi kerja. Tapi tentu saja Nana datang menonton. Tetapi ketika pertandingan baru berjalan sepuluh menit, tiba-tiba Adip meminta time-out. Lino dan anggota timnya yang seorang lagi menggunakan waktu untuk minum, sementara Adip berlari pada Nana yang duduk di pinggir lapangan. “Na, kayaknya mau hujan deh!” kata Adip sambil menunjuk langit yang mendadak gelap karena awan hitam. “Lu pulang gih, ambilin kolor gua yang dijemur di belakang. Gua udah nggak ada kolor lagi nih.” “Lah, lagi pertandingan malah ingat kolor!” celetuk Lino sambil minum. “Tapi iya sih, kayaknya mau hujan besar. Si Agal juga belum dimasukkan ke kandang, nanti dia kehujanan.” kata Nana sambil menengadahkan kepalanya. “Si Agal sih bisa cari tempat berteduh, tapi kolor gua nggak bisa!” “Gua balik dulu ah, repot kalau si Agal sampai sakit!” kata Nana sambil bergegas. “Jangan lupa kolor gua, Na!” Tetapi Nana tidak mempedulikan ucapan Adip. Dia segera berlari pulang, melewati gedung Fakultas Ekonomi untuk mempersingkat jalan. Tanpa sengaja, dilihatnya Rere sedang berdiri di depan lift. Detik berikutnya, lift terbuka, Rere masuk, dan lift tertutup lagi sebelum Nana sempat memanggil Rere. “Ngapain si Rere di sini? Bukannya dia harus kerja?” pikir Nana. Tetapi kemudian terdengar langit bergemuruh, dan Nana teringat lagi pada Agal. “Duh, harus cepat-cepat nih!”
Nana dapat merasakan tetes air hujan di membasahi tengkuknya. Tanpa sadar dia pun berlari. Dia menyesal, kenapa lagi-lagi dia lupa membawa payung. Nana pun menggunakan tas untuk melindungi kepalanya, dan berlari lebih cepat lagi karena hujan semakin deras. “Nana!” Tiba-tiba terdengar seorang memanggil nama Nana dari belakang. Nana menoleh, rupanya Denny! Wah, takdirkah ini ? Untuk kedua kalinya Nana bertemu Denny di bawah hujan. Tapi kali ini Denny membawa payung. Dia menghampiri Nana dan memayungi gadis itu sambil tersenyum lembut. “Kok kamu senang hujan-hujanan sih ?” tanya Denny. “Nggak takut suaranya rusak ?” Entah mengapa, setiap kali bertatapan dengan Denny, jantung Nana selalu berdetak cepat dan tidak tahu harus bicara apa. “Loh Na, kenapa diam ? Jangan-jangan kamu lupa aku ya ?” tanya Denny heran. “Nggak kok!” kata Nana. Dia menunduk dengan wajah memerah. “Aku cuma… malu...” “Malu ? Ooh, soal kemarin, ya ?” tanya Denny sambil menahan tawa. Nana mengangguk. Kemarin dia bersikap konyol sekali, dan semalaman dia tak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri. “Maaf ya...” bisiknya pelan. “Aduh Na, santai aja, lagian aku juga yang salah.” Denny hanya tertawa kecil. Dia mendekap bahu Nana supaya tidak terkena cipratan air hujan dari tepian payung. “Yuk, aku antar ke kost kamu.” katanya. Dalam rongga dada Nana, sebuah bedug raksasa bergedebum dengan keras dan cepat sekali. Nana sempat khawatir jangan-jangan Denny bisa mendengar detak jantungnya. “Lu sering ke sini, Den?” tanya Nana di tengah perjalanan. Denny mengiyakan. “Memangnya kamu kuliah di sini juga ?” “Nggak kok, aku kuliah di ITB. Tapi ada teman dekat aku yang kuliah di sini. Tuh, kostnya di sana.” katanya sambil menunjuk sebuah tempat kost tidak jauh dari situ. “Teman cewek ?”
“Iyah.” jawab Denny. Dia tersenyum sambil menatap Nana. “Cemburu, Na ?” “Ehhh... bukan gitu…” Wajah Nana merah padam karena malu. Denny tertawa. “Bukan kok, teman cowok – sohib aku sejak SMA.” katanya. Meskipun tidak mau mengakui, tapi sebenarnya Nana merasa lega sekali. Tanpa sadar, dia menyunggingkan senyum. “Nyanyi dong, Na!” ujar Denny tiba-tiba. “Di sini ? Nggak mau ah. Malu!” Nana segera menggeleng. “Ah, nggak ada siapa-siapa kok. Lagipula ‘kan hujan, suara kamu nggak akan kedengaran.” kata Denny. “Cuma aku yang dengar.” Meskipun Nana berusaha kalem, tapi hatinya sudah menjerit-jerit kegirangan. Wow! Wow! Wow! Berdua di bawah payung, berjalan di atas aspal yang basah sambil bernyanyi, benarbenar situasi yang membuat siapapun jatuh cinta. “Ayo dong, Na.” kata Denny dengan nada memohon. “Aku suka banget sama suara kamu.” Nana tersenyum lalu mengangguk. Dia menarik nafas dalam-dalam, lalu mulai bersenandung. Dirasakannya tangan Denny merangkulnya lebih erat, udara dingin pun tidak terasa lagi. Suara hujan tidak terdengar, hanya kehangatan yang memenuhi seluruh tubuh Nana. Tapi tiba-tiba Nana menginjak sesuatu yang licin, dan tubuhnya kehilangan keseimbangan. Tapi sebelum Nana jatuh, Denny sudah memegangnya erat-erat. “Hampir saja!” ujar Denny. Nana mengangguk. “Makasih.” kata Nana. Jika Denny tidak menahannya, bisa-bisa dia jatuh terjerembab lagi ke dalam genangan air seperti kemarin. “Kamu sering jatuh ya, Na ?” tanya Denny. Nana hanya tertawa. Saat itu mereka sudah berada di dekat tempat kost Nana. Nana mengajak Denny masuk, dan tanpa disuruh dua kali Denny pun melangkah masuk sambil menutup gerbang.
“Den, tunggu di sini sebentar ya.” ujar Nana sambil mempersilahkan Denny duduk di kursi beranda. “Aku mau ganti baju dulu.” “Oke.” Nana buru-buru naik ke lantai dua. Dia masuk ke kamarnya, mengganti pakaiannya, menyisir rambutnya, melap minyak di wajahnya dan memakai bedak tipis-tipis, tak lupa menggunakan cologne supaya tubuhnya harum. Dalam sekejap, dia berubah wujud menjadi seorang gadis rumahan yang manis. “Nih Den, ada kopi.” Nana menghampiri Denny sambil memberikan kopi kalengan. “Tapi kopinya dingin, soalnya disimpan di kulkas.” “Nggak apa-apa, aku suka kopi dingin.” ujar Denny. “Tapi kok kamu sendiri nggak minum?” tanyanya ketika melihat Nana hanya membawa sekaleng kopi untuknya saja. Nana menggeleng. “Aku nggak suka kopi.” “Loh, kalau begitu kenapa beli kopi kalengan ?” Nana tersenyum. “Untuk jaga-jaga kalau kedatangan tamu penting.” “Wah, kalau gitu aku tamu penting dong ?” Nana tidak menjawab, hanya tersenyum. Sebenarnya itu adalah kopi Adip. Adip ‘kan suka main game sampai tengah malam, jadi dia sering minum kopi. Ya, semoga aja Adip nggak sadar kopinya hilang. Nana duduk di dekat Denny sambil mempermainkan ujung rambutnya. “Den, soal kemarin, aku benar-benar minta maaf Aku pasti kelihatan aneh, ya ?” “Aduh Na, nggak apa-apa kok.” kata Denny. “Oh ya, ngomong-ngomong soal kemarin, aku mau mengembalikan ini.” Denny merogoh kantongnya, lalu menyerahkan sebuah sisir kecil bermotif bunga matahari. “Wah!” seru Nana, “Pasti kemarin terlempar dari tas waktu aku jatuh!” Denny mengiyakan. “Sudah aku cuci kok. Mengkilap, seperti baru.”
“Aduh Den, makasi banged! Ini sisir favorit aku!” Nana menerima sisir itu dengan gembira. “Oh ya ? Untunglah kalau begitu.” ujar Denny. “Tadinya aku hendak mencari kamu di kost untuk mengembalikan sisir itu. Nggak menyangka malah ketemu kamu di jalan.” “Wah, jadi merepotkan.” gumam Nana. “Makasi banged ya, Den. Tapi, kenapa kamu nggak menelepon saja? Kamu kan punya nomor handphone aku.” “Nah itulah... sepulang dari kafe, handphone aku hilang. Sepertinya ketinggalan. Yah, aku memang ceroboh juga sih. Tapi aku nggak menyerah – kamu bilang ‘kan ngekost di dekat Unpar, jadi gua cari di sekitar sini.” “Nyari aku?” Denny mengangguk. “Dari kemarin, gua ingin ketemu kamu, Na.” “Eh ?” Denny memandang Nana lurus-lurus, membuat perasaan Nana tidak karuan. “Boleh ‘kan kalau gua ingin ketemu kamu?” Deg… Deg… Deg… “Kamu percaya cinta pada pandangan pertama nggak, Na ?” tanya Denny lagi. Nana mengangkat bahu. “Aku nggak tahu, Den.” katanya. “Dulu aku nggak percaya, Na. Tetapi sejak malam itu, rasanya aku jadi mempercayainya.” ujar Denny dengan nada serius. Jantung Nana berdegup semakin cepat, cepat, dan lebih cepat lagi. Apakah ini jawaban atas harapannya selama bertahun-tahun ? Nana selalu mencari cinta sejatinya, rasanya tak pernah ada yang berhasil mengetuk pintu hatinya. Kali ini, baru pertama kalinya Nana merasakan perasaan yang begitu hebat hingga dia tidak tahu harus bicara apa, tidak tahu harus berbuat apa, sampai otaknya konslet seperti kemarin dan benar-benar hilang kendali. Sesuatu yang memabukkan. Tidak punya arah, tidak bisa ditahan, tapi terasa begitu membahagiakan. Apakah itu cinta ?
Nana memejamkan matanya. “Oh Tuhan, bolehkah kubiarkan cinta ini berkembang ?” dia berdoa dalam hati. “Ah, maaf ya Na, aku bikin kamu bingung ya ?” sahut Denny sambil melepaskan tawa. Dia menarik nafas, seperti sedang menenangkan pikirannya. “Apa aku terlalu cepat ?” Nana menggeleng. “Aku juga nggak tahu, Den.” katanya. “Tapi sepertinya, aku juga mulai percaya.” “Percaya sama aku ?” “Bukan.” Nana menggeleng. “Cinta pada pandangan pertama. Mungkin cinta seperti itu memang benar-benar ada.” Denny memberanikan diri untuk menyentuh tangan Nana yang lembut. Saat itu wajah Nana sudah memerah seperti tomat, tapi di mata Denny justru terlihat sangat manis. “Aku nggak memaksa kamu, Na. Tetapi kalau memang kamu mengizinkan, boleh nggak aku tunjukkin perasaan aku sama kamu ?” tanya Denny. Nana mengangguk. Keduanya berpandangan, saling tersenyum, dan Denny pun segera menarik Nana ke dalam dekapannya. Nana bisa mendengar suara jantung Denny di balik T-shirtnya, yang juga begitu bergemuruh. Mereka sama-sama gelisah, sama-sama tidak bisa menahan perasaan cinta yang begitu menggebu-gebu, dan sama-sama bahagia ketika perasaan mereka terbuka satu sama lain. Langit begitu kelabu, tetapi Nana merasa hidupnya begitu cerah. Cinta ekspres, tapi entah kenapa rasanya indah sekali, ya ? Dia melupakan segalanya, hanya ada Denny di kepalanya. Kekonyolan kemarin pun sudah dilupakannya. Nana bahkan lupa pada kolor Adip dan si Agal yang tengah meringkuk di bawah pohon. ………
Bagian 6 – Reaksi Adip
“Serius Na ? Lu pacaran sama si manusia toilet itu ?” tanya Adip dengan mata melotot. Lino dan Rere pun sama terkejutnya. “Dia bukan manusia toilet! Dia punya nama, namanya Denny.” ujar Nana sambil merenggut. Nana menghela nafas panjang. “Iya, gua serius. Gua udah pacaran sama dia.” “Lu baru kenal sama dia ‘kan ? Baru juga tiga hari!” tanya Adip. “Empat hari.” Nana mengoreksi. “Sama aja!” sembur Adip. Adip mengumpat sambil memegang kepalanya. “Anjis, Nana… Masa lu tiba-tiba pacaran sama orang yang belum jelas juntrungannya ?” “Jelas kok! Dia kuliah di ITB, kostnya di daerah Taman Sari, nyokap dan bokapnya ada di Jakarta, punya perusahaan garment, dan dia anak kedua.” kata Nana. “Maksud gua bukan itu, Na!” ujar Adip. “Lu ‘kan nggak tahu orang macam apa dia, kalau dia punya niat jahat sama lu bagaimana ?” “Nggak kok. Dia baik banget sama gua.” kata Nana. “Lu kan belum tahu aslinya! Bagaimana kalau ternyata dia itu playboy ? Atau germo ? Bisabisa lu diculik, terus dijual, Na. Lu ‘kan mahasiswa HI, masa nggak tahu soal isu human trafficking? Pelaku perdagangan manusia itu menjebak korbannya dengan cara pacaran!” ujar Adip. “Dari mana lu tahu kalau dia nggak bohong ?” “Ah, nggak usah sok pinter... kuliah aja sering bolos!” sela Nana dengan wajah kesal karena Adip menuduh Denny yang tidak-tidak. “Gua yang pacaran, kenapa sih lu yang senewen ?” “Gua bukan senewen, tapi lu aja yang keterlaluan, Na! Lu tuh belum pernah pacaran, masa sekarang lu malah jadian sama orang yang belum benar-benar lu kenal ?!” tanya Adip
“Kalau nggak dicoba, gua ‘kan nggak tahu!” Nana membela diri. “Lagian lu nggak punya hak untuk ngomong kayak gitu ke gua, Dip! Lu sendiri juga belum pernah pacaran ‘kan ? Jangan menggurui gua deh!” seru Nana sambil meninggikan suara. “Na, Na...” Rere segera memotong perdebatan itu. “Adip ngomong gitu karena dia peduli sama lu, Na.” katanya, diikuti anggukan kepala Lino. “Ya tapi bukan gitu dong caranya!” ujar Nana. “Dari tadi tuh Adip ngejelek-jelekin Denny terus! Curiga yang bukan-bukan!” “Jelas gua curiga lah! Gua nggak percaya ada cowok yang baru kenal sebentar udah berani ngajak cewek pacaran. Kalau bukan playboy, pasti ada maunya!” kata Adip. “Itu namanya love at the first sight, Dip!” ujar Nana. “Ah, bullshit!” “Cowok kayak lu nggak akan pernah ngerti hal kayak gitu, Dip! Seumur hidup juga lu nggak akan pernah ngerti!” ujar Nana. Setitik air mata menetes di pipi Nana. Rere langsung memeluknya, dan sekuat tenaga Nana menahan tangisnya. Dia kecewa sekali pada Adip. Nana mengira Adip akan memberinya selamat karena akhirnya Nana menemukan cinta sejatinya, tetapi teman kecilnya itu malah memarahinya. “Udah, udah,” ujar Rere menengahi. “Nana juga udah terlanjur pacaran ‘kan ? Lu juga harus terima Dip.” “Ini bukan soal gua terima atau nggak, Re. Lu belum lihat manusia toilet yang namanya Denny itu kayak apa. Tampangnya aja kayak playboy. Sebelas-dua belas lah sama si Yanu!” ujar Adip. “Lagipula, kalau dia menemukan barang Nana yang jatuh, kenapa kemarin nggak langsung dikembalikan saja? Mungkin aja barang si Nana udah dijampe-jampe. Karena itu pikiran si Nana nggak waras, bisa-bisanya menerima cowok nggak jelas jadi pacar.” Adip memandang Nana dengan tatapan serius. “Lu pasti udah disantet, Na! Udah, buang aja barang yang dibalikin si cowok toilet itu, siapa tahu aja lu sadar.” “Oi Dip, jangan ngomong gitu dong.” kata Lino, dia merasa ucapan Adip sudah keterlaluan.
Ucapan Adip membuat Nana melotot. Tiba-tiba, Nana berlari ke lantai dua, dan tidak lama kemudian dia kembali lagi sambil membawa sisir yang tadi dikembalikan oleh Denny. Dilemparkannya sisir itu pada Adip dengan wajah sedih sekaligus marah. “Nih! Sisir ini yang si Denny balikin! Buang sana, Dip! Buang!” ujar Nana, kali ini dia tidak bisa menahan air matanya. Setelah mengucapkan itu, Nana pun kembali ke kamarnya dan menangis tersedu-sedu. Adip pun terdiam. Ah, rupanya sisir bunga matahari itu. Sewaktu kelas empat SD, Adip dan Nana pernah pergi ke bazzar sekolah bersama orangtua mereka. Di sana ada sebuah stand yang menjual pernak-pernik, dan Nana ingin sekali membeli sebuah jepit rambut berbentuk bunga matahari. Tetapi karena rambut Nana pendek, mamanya tidak mau membelikan jepit rambut itu. Nana merengek dan menangis, sehingga Adip pun merasa iba melihatnya. Adip hendak membelikan jepit rambut itu, tetapi harganya terlalu mahal untuk ukuran anak SD. Uang Adip hanya cukup untuk membeli sebuah sisir plastik bermotif bunga matahari, agak mirip dengan jepit rambut itu. Adip pun membelikan sisir itu untuk Nana. Nana tahu kalau Adip mencoba menghiburnya, dan dia tidak sedih lagi. Entah sejak kapan, sisir itu menjadi benda favorit Nana. Dia selalu membawanya ke manapun dia pergi, seperti jimat saja. “Dip, minta maaf gih.” ujar Lino, membuyarkan lamunan Adip. “Gila lu ngomong kayak gitu ke si Nana.” Adip mendesah. “Memangnya gua keterlaluan ya ?” tanyanya. “Iya.” jawab Rere dan Lino bersamaan. “Gua juga ngerti lu kaget, Dip. Gua juga nggak nyangka si Nana bakal pacaran sama orang yang baru dia kenal beberapa hari. Tetapi mau bagaimana lagi, Dip ? Si Nana memang suka sama orang yang bernama Denny itu. Sewaktu pulang dari kafe tempo hari juga dia nggak berhenti ngomongin Denny.” kata Rere. Lino mengangguk setuju. “Lagian lu juga nggak mungkin nyuruh si Nana putus sama Denny ‘kan ?” katanya. “Tapi gua nggak setuju kalau sama orang ‘asing’ kayak gitu.” Adip bersikeras.
“Dip, kita bukan ortunya Nana, kita nggak punya hak untuk bilang setuju atau nggak “ Rere menegaskan. “Lu boleh nggak suka, tapi lu tahu ‘kan, lu adalah teman terdekat Nana. Coba lu pikirin bagaimana perasaan Nana kalau lu benci si Denny ?” “Bukannya benci, hanya saja...” “Sama aja Dip, bagi Nana, lu terlihat seperti nggak suka si Denny.” Adip mendesah. “Jadi gimana dong ?” “Ya sekarang sih biarin aja mereka jalanin dulu, posisi kita itu teman Nana. Kalau Nana bahagia, kita harus dukung.” kata Rere lagi. Sekali lagi Lino mengangguk setuju. “Lah, bagaimana kalau nanti si Nana dikibulin si Denny ?” tanya Adip. “Nah, saat itu lu punya hak buat nonjok si Denny.” kata Lino. Adip pun tertawa tipis. “Ya udah deh, gua ngalah.” katanya. “Ke atas gih, minta maaf!” kata Lino lagi. “Oke deh.” Akhirnya Adip pun pergi ke kamar Nana. Dia mengetuk pintu kamar Nana sambil meminta maaf. “Na, sori deh... gua emosi…” kata Adip. “Buka dong pintunya...” “…” tidak ada jawaban dari balik pintu. “Ayo dong Na, buka pintunya... Sori deh, sori. Gua salah.” Masih hening, tidak ada suara. “Na, jangan ngambek terus ah! Kayak anak kecil, tau!” sahut Adip agak kesal karena Nana tidak kunjung membukakan pintu. “Masa berantem doang aja nangis, cengeng amat sih!” Akhirnya pintu kamar terbuka. Nana sudah berhenti menangis, tetapi kedua pipinya masih cemberut. “Lu mau minta maaf atau cari gara-gara lagi sama gua?” tanyanya.
“Iya, iya, sori...” ujar Adip. Dia menarik nafas panjang. “Gua nggak akan ngomong gitu lagi. Lu boleh pacaran sama si cowok toile... eh, maksud gua sama si Denny.” “Gua nggak minta restu dari lu kok.” kata Nana. “Maksud gua, gua akan mempermasalahkan lagi.” ujar Adip. “Udah ya ? Jangan nangis…” “Tapi lu janji dulu Dip, jangan ngejelek-jelekin Denny lagi.” kata Nana. “Iya, iya.” Nana pun mengangguk. Adip mengembalikan sisir yang tadi dilemparkan Nana, dan Nana pun segera menerimanya kembali. Dia tersenyum meskipun matanya masih berair. Adip tidak berbicara banyak, dan dia pun segera turun. Rere dan Lino menepuknya, mereka kagum juga pada sifat Adip yang meskipun terlihat cuek, tapi ternyata sangat peduli pada Nana. Malam semakin larut, Adip pun kembali ke kamarnya. Meskipun dia berjanji tidak akan lagi mempersoalkan Nana dan Denny, tapi tetap ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Adip punya segudang teman yang suka mempermainkan cewek, dan dia tidak suka cowok seperti itu. Kini, tiba-tiba saja seseorang pria yang di mata Adip terkesan seperti buaya darat, mendekati Nana; bahkan mereka memutuskan untuk pacaran di minggu pertama mereka kenalan! Adip tidak tahu harus bersikap bagaimana. Tetapi kalau dia mempermasalahkan pun, ujung-ujungnya Nana yang terluka. Akhirnya Adip pun memilih untuk cuek. “Daripada pusing, minum kopi aja deh!” pikir Adip sambil beranjak menuju lemari es di dapur. Tapi kopi kalengannya sudah tidak ada.
Bagian 7 – Cheese Cake
“Lagi ngapain, Na ? Bikin kue ?” Rere baru saja turun dari tangga, dilihatnya Nana sedang mengeluarkan kue kering dari oven. Di Rumah Hijau, dapur dan semua peralatannya termasuk oven bebas digunakan. Nana mengiyakan. “Kue keju. Mau coba, Re ?” “Boleh.” Nana menggunakan tissue untuk mengambil salah satu kue kering yang dipanggangnya, lalu memberikannya pada Rere. “Nih!” Rere menerima kue kering itu, meniupnya beberapa kali supaya tidak terlalu panas, kemudian memakannya. “Mnnggg…” dia meringis. “Enak ‘kan, Re ?” tanya Nana dengan mata berbinar. “Asin!” ujar Rere. “Kayaknya terlalu banyak garam dan keju deh. Asin banged!” “Ah masa, sih ?” Nana mengambil satu, kemudian memakannya. “Asin, ya ? Tapi bukannya kue keju itu ‘kan rasanya asin ?” “Tapi ini sih keasinan...” sahut Rere. “Nggak apa-apalah, percobaan pertama. Ini juga udah lumayan kok.” Nana pun tersenyum optimis. “Mau aku kasih ke Denny nih!” katanya sambil melanjutkan pekerjaannya. “Dia pasti suka!” Rere hanya tertawa pelan. Ya begitulah orang yang baru pertama pacaran. So hot! “Hey Na, bikin apa sih ? Wangi banged ?” tanya Lino yang baru saja nongol dari kamarnya. “Kue keju! Cobain, No!” Lino tidak pernah keberatan jika disuruh makan. Dia mengambil empat buah kue keju itu, dan memakannya sekaligus. Tapi kemudian dia berseru nyaring, “Asin!!!”
“Kue keju ‘kan asin!” Nana membela diri. “Tapi ini ada gumpalan garam!” kata Lino sambil mengambil minum. “Mungkin adonannya aja yang kurang rata.” kata Rere. Nana hanya tertawa. “Tapi baguslah, kue yang ada gumpalan garamnya dimakan Lino. Lebih baik ‘kan daripada dimakan Denny ?” Rere tertawa. “Memangnya kapan lu mau pergi sama Denny lagi ?” tanyanya. “Nanti malam.” jawab Nana sambil memasukan kue-kue kering itu ke dalam kantong plastik, kemudian mengikatnya dengan pita. “Rere sih belum pernah bertemu Denny ya ?” Rere menggeleng. Denny selalu datang sore hari, sedangkan pada jam itu Rere sudah pergi bekerja. Jadi meskipun sudah dua minggu berpacaran dengan Denny, Nana belum sempat memperkenalkannya pada Rere. Rere hanya mengetahui wajah Denny dari foto di handphone Nana saja. “Ngomong-ngomong Adip di mana sih ?” tanya Nana pada Lino. “Lagi main game di kamar.” jawab Lino. Nana mengambil tiga buah kue keju buatannya, kemudian menuju kamar Adip. Seperti kata Lino, Adip sedang duduk di depan komputer, main game dengan wajah serius. “Dip, gua bikin kue keju, nih. Cobain dong!” “Ntar ah.” jawab Adip tanpa memandang Nana. “Yah Dip, disuruh makan aja susah, apalagi disuruh kerja!” ujar Nana. Adip tidak menjawab. Dia masih saja sibuk bermain. “Cobain satu dong Dip, enak banged nih! Ntar mau gua kasih ke Denny, lu cobain dulu.” ujar Nana sambil duduk di samping Adip, kemudian melambaikan kue keju itu di depan wajah Adip. “Wangi ‘kan Dip… Cobain dong!” “Gua bukan kelinci percobaan, Na!” “Ah Adip gitu deh!” ujar Nana bernada kecewa.
“Sana, jangan ganggu gua.” Nana merenggut. “Kenapa sih akhir-akhir ini lu suka nyebelin ?” “Ah masa...” “Lu jadi sinis kalau ngomong sama gua.” “Nggak juga.” “Iyah kok! Sekarang lu jahat sama gua, Dip.” “Dari dulu juga kayak gini kok.” “Adip nggak asyik ah!” desis Nana. Dia berdiri, kemudian berjalan pergi. “Untung sekarang gua punya Denny, kalau nggak bisa gila gua berteman sama lu!” Adip mendesis. “Sana! Minta aja Denny nyobain kue lu!” Nana membanting pintu kamar Adip sambil menggerutu. Rere dan Lino hanya tertawa kecil melihat pertengkaran Adip dan Nana. Mereka memang sering terjebak dalam pertengkaran, tapi akhir-akhir ini menjadi lebih sering ribut daripada biasanya. “Simpan aja kuenya di meja, nanti juga si Adip makan.” sahut Rere menghibur Nana. “Dia cuma nggak mau diganggu kalau lagi main game.” Nana masih saja cemberut. “Dulu dia nggak gitu deh.” katanya. “Sekarang tuh si Adip suka ngomong sinis, marah-marah nggak jelas, pantes aja mukanya makin mirip om-om! Bentar lagi pasti ubanan!” “Gua denger omongan lu, Na! Brengsek lu!” teriak Adip dari dalam kamarnya. Kamar Adip memang dekat dengan dapur kost. Tanpa menghentikan tawa, Lino pergi ke kamar Adip untuk meredakan suasana. Rere pun segera membantu Nana membungkus kue kejunya supaya tak marah pada Adip lagi. Untung saja Nana adalah tipe orang yang cepat melupakan hal-hal yang tidak disukainya. Dalam sekejap, dia ceria lagi; menceritakan bagaimana bahagianya dia memiliki Denny. Rere selalu sabar mendengarkan cerita Nana. Tapi ketika waktu menunjukkan pukul empat, dia pun bersiap-siap pergi kerja, tanpa lupanya mengucapkan ‘good luck’ pada Nana.
Sementara itu, Lino pergi ke kamar Adip dan langsung tiduran di ranjang Adip. Setiap kali mencium ranjang, Lino pasti mengantuk. Tapi karena Adip menyalakan speaker keras-keras, Lino jadi tidak bisa tidur. “Dip, kecilin dong!” keluh Lino. “Gua nggak bisa tidur nih.” “Kalau ga suka, tidur di kamar lu sendiri, dong!” kata Adip sewot. Lino menghela nafas panjang. Dia tahu, Adip masih kesal. Lino pun tidak berkomentar lagi tentang suara berisik itu. Tapi kemudian Adip pun sadar suara speakernya memang terlalu keras, maka dia pun segera mengecilkan volumenya. “Dip, kenapa sih akhir-akhir ini lu sering ribut sama Nana ?” tanya Lino setelah yakin bahwa Adip sudah tidak kesal lagi. “Tau deh. Si Nana aja yang suka aneh-aneh.” jawab Adip. “Maksud lu, soal Denny?” “Bukan cuma si Denny! Tuh si Agal, bukti otentik! Ngapain juga si Nana mungut anjing?” Lino tertawa. “Sejak pindah ke sini ‘kan Nana pingin punya anjing. Lagian bagus juga ada si Agal, sekalian jaga motor.” “Tapi gua pusing karena gonggongannya, berisik!” keluh Adip. “Hmm, gimana ya... gua sih nggak pernah digonggongin tuh. Nana dan Rere juga. Pa Udin juga nggak.” “Tapi tiap kali gua lewat gerasi, pasti si Agal gak-gak-guk-guk ga jelas. Cape deh.” “Tampang lu kayak maling kali ?” kata Lino sambil tertawa. “Enak aja!” sembur Adip. Lino menghentikan tawanya, kemudian menarik nafas dalam-dalam. “Tetapi Nana memang berubah ya ?” katanya. “Sejak pacaran, rasanya dia jadi Denny-orientated. Tau nggak, itu kue keju juga dia bikin buat Denny loh.” Adip mengiyakan. “Si Nana mulai centil sejak pacaran dengan si Denny.”
“Cewek centil sih wajar.” “Tapi dulu dia nggak gitu, No. Gua tuh paling sebel liat cewek centil. Iiih… Sama sebelnya dengan liat cowok cunihin.” kata Adip. “Waktu kecil si Nana nggak gitu kok. Biasa aja!” “Ya, waktu kecil belum puber. Belum keluar centilnya.” kata Lino. “Ngomong-ngomong, lu lu kenal Nana sejak kapan ?” “Wah, udah dari kecil, No. Di Sumedang ‘kan kita tetangga dekat. Ortu gua juga sohib ortu si Nana. Terus nyokap gua sama nyokapnya si Nana join bikin toko baju, sampai sekarang pun masih jalan.” Adip bercerita tanpa melepaskan matanya dari monitor komputer. “Gua anak tunggal, si Nana juga anak tunggal, udah jelas kita berdua jadi teman dekat sejak bocah.” “Lu nggak pernah kepikiran pacaran sama si Nana, Dip ?” “Hah ?!” sekali ini Adip menoleh pada Lino. Tapi kemudian dia melihat ke arah komputer lagi. “Nggak pernah, No. Gua udah tau jeleknya Nana dari kecil.” ujar Adip. “Dia tuh masih ngompol sampai umur enam tahun!” Lino tertawa terbahak-bahak. “Memangnya lu berhenti ngompol umur berapa ?” “Enam tahun juga sih.” jawab Adip. “Tapi kalau cowok ‘kan wajar, gua pernah denger kalau cowok itu lebih susah nahan pipis daripada cewek!” “Teori dari mana tuh ?!” “Ya, pokoknya gua lebih dulu berhenti ngompol daripada si Nana.” jawab Adip. “Yang jelas...” ujar Lino. Wajahnya sekali ini lebih serius. “Lu jangan terlalu sering ngajak Nana berantem, Dip. Dia ‘kan baru pertama pacaran, pasti sering aneh-aneh. Lu juga ‘kan udah janji bakal terus mendukung dia. Lagian lu harusnya bersyukur si Nana pacaran sama Denny, bukan sama si Yanu.” “Weleh, bisa gila gua kalau si Nana pacaran sama si Yanu! Mending gua balik ke Sumedang daripada harus ngeladenin Yanu tiap kali ngapel ke sini.” “Nah, karena itu Dip, lu harus dukung Nana, Dip. Nana ‘kan sayang banged sama si Denny, dia pasti pingin terlihat sempurna di depan pacarnya. Kalau cuma nyobain kue keju yang dia
bikin untuk Denny, ‘kan nggak susah tuh ? Kenapa gitu aja lu nggak mau ?” sahut Lino menasehati Adip. “Ah, jangan sekonyong-konyong jadi bijak, No. Geli gua dengernya.” “Bukan gitu Dip, lu juga nggak akan mau ribut terus dengan Nana karena masalah yang gak penting kan ?” tanya Lino. “Gak penting dari mana, No ? Si Nana tuh pacaran sama orang yang baru dia kenal tiga hari! TIGA hari!” ujar Adip dengan serius. “Wajar dong kalau gua nggak mau mendukung dia sama si Denny ? Kalau terjadi apa-apa, akhirnya gua juga yang repot.” “Tapi lu juga yang repot kalau lu sampai dibenci Nana. Iya kan ?” Adip terdiam. Dia tidak pernah memikirkan bagaimana jika suatu saat nanti Nana membenci dirinya. “Tau deh, No, bingung gua juga. Mending gimana ya ?” “Ya udah, sekarang lu cobain kue kejunya si Nana, pasti si Nana senang.” sahut Lino sambil menunjuk tiga buah kue keju yang Nana tinggalkan di samping komputer Adip. Adip menoleh. “Hah... malas gua jadi bahan percobaan. Untuk Denny pula.” katanya. Tapi walaupun demikian, dia tahu kalau Nana pasti senang jika dia mau memakan kue keju itu. Akhirnya Adip pun mengambil kue keju itu dan memakannya. Tetapi kemudian dia pun mengernyitkan kening sambil berseru nyaring, “ASIN!!!”
Bagian 8 – Candy
“Dip! Tungguin!” Adip sedang berjalan menuju kantin, dia menoleh, dilihatnya Nana berlari menghampirinya. Nana mengatur nafasnya dahulu sebelum bicara. “Dip, pinjem komputer dong! Gua mau bikin tugas bahasa Inggris buat lusa...” sahut Nana. Dari Sumedang Nana memang tidak membawa komputernya, selama ini dia selalu pinjam komputer Adip. “Di warnet aja! Nanti sore gua mau main!” kata Adip. “Sebentar doang kok, Dip!” Nana memohon. “Lagian lu masih ada kuliah ‘kan ?” “Tapi gua ada kemungkinan bolos.” “Jangan bolos aja, Dip. Kuliah dong, demi masa depan yang lebih cerah!” kata Nana. Dia bukannya peduli pada Adip, tapi dia ingin pinjam komputer. “Yah Dip, ya ? Boleh ya ?” “Ya udah,” kata Adip sambil sambil memberikan kunci kamarnya pada Nana. “Awas, jangan acak-acak kamar gua!” “Memangnya apa yang bisa gua acak-acak ? Dari sananya juga udah acak-acakan kok.” Nana tertawa sambil mengambil kunci kamar Adip. “Thank you ya, Dip!” ujarnya sambil buruburu pulang ke kost. Setelah mandi dan makan, Nana mulai mengerjakan tugasnya. Lima menit, sepuluh menit, Nana pun mulai merasa bosan. Adip dan Lino masih kuliah, sedangkan Rere belum pulang, entah ke mana. Tempat kost terasa sunyi. Akhirnya Nana pun membawa si Agal ke kamar Adip untuk menemaninya mengerjakan tugas. Si Agal nampak begitu gembira ketika Nana menggendongnya masuk ke dalam kamar. Anjing kecil itu segera berkeliling kamar dan mengendus-endus seluruh pojok. Tetapi kemudian anak anjing bosan, dia pun tidur di dekat Nana. Tik, tik, tik, waktu terus bergulir.
Melihat si Agal tertidur, Nana pun mulai mengantuk. Dia menguap, matanya terasa berat. Semenit kemudian Nana jatuh tertidur dengan kepala terkulai di atas keyboard. Jam tiga sore, Adip pulang bersama Lino. Lino yang sudah mengantuk sejak di kelas segera menghilang di kamarnya. Betapa kagetnya Adip sewaktu menemukan melihat Nana sedang tidur di kamarnya, dan si Agal berjaga di sampingnya. Si Agal tidak menggonggong, seolah tidak mau membangunkan Nana. Tetapi dia menggeram, memperlihatkan sederet gigi yang terlihat tajam meskipun masih kecil. “Jis, Nana…” desis Adip. “Kenapa si Agal bisa ada di sini ?!” Tapi Nana tidur begitu pulas. Si Agal berdiri, bulu tengkuknya berdiri tegak. Si Agal mengira Adip akan mengganggu tidur Nana sehingga dia menggeram untuk mengusir Adip dari sana. “Hus!” Adip mengibaskan tangannya, tapi Agal malah semakin galak. “Nana, oi! Bangun Na! Bawa si Agal pergi sana!” “Zzzz…” Adip tidak berani melangkah masuk. Beberapa hari yang lalu si Agal menggigit jempol kaki Adip, meskipun tidak sakit, tapi Adip semakin tidak mau mendekati si Agal. Akhirnya Adip pergi ke kamar Lino. “No, bawain si Agal pergi dong! Si Agal ada di kamar gua!” katanya. “Zzzz…” ternyata Lino sudah tertidur; dengan kaos kaki masih di kakinya. “Ya ampun No…belum juga sepuluh menit, lu udah tewas lagi?” tanya Adip. Tidak ada jawaban, Lino semakin lelap tertidur. Adip tahu, percuma saja membangunkan Lino. Lino bisa jatuh tertidur dalam waktu singkat, tapi kalau dibangunkan, tidak cukup satu jam. Adip jadi kesal sendiri – dia tidak bisa masuk ke kamarnya sendiri, dia tidak tahu harus ke mana lagi. “Ah ya sudah, ke warnet sajalah!” pikir Adip.
Adip pun pergi ke warnet game di seberang kampus. Untunglah warnet itu tidak penuh, Adip pun memilih tempat di pojok yang jauh dari keramaian. Dia tidak suka mencium asap rokok; itulah sebabnya Adip jarang main di warnet game. Dan saat itulah pintu takdir Adip terbuka. Seorang gadis masuk ke dalam warnet, lalu duduk di komputer sebelah Adip. Dia mengikat rambutnya yang panjang dan agak bergelombang, kemudian mengenakan kacamata sebelum mulai bermain. Di mata Adip, gerakannya bagaikan slow motion. Jarang-jarang Adip melihat cewek bermain game online di warnet itu – seperti berlian terselubung debu, atau perawan di sarang penyamun, atau bunga mawar yang tumbuh di selokan. “Ajaib.” pikir Adip. Tidak ada kata lain yang lebih tepat untuk menggambarkan kecantikan, keanggunan, dan pesona yang terpancar dari sosok gadis itu selain ‘ajaib’. Gadis itu nampak santai di tengah cowok-cowok yang bau rokok, dia bahkan tak segan duduk di samping Adip yang notabene mirip preman. Adip mencuri-curi kesempatan untuk melirik ke samping. Rupanya gadis itu memainkan game online yang sama dengannya. Dia menamai karakter yang dimainkannya Cute Candy. Nama yang manis, cocok dengan orangnya. Saat itu juga Adip memutuskan akan menyebut gadis itu “Candy”. Sekali lagi Adip melirik. Cantik juga, ya... pikirnya. Seandainya di sana ada cermin, Adip akan sadar kalau wajahnya nampak mesum. Tapi kemudian Adip sadar kalau dia sudah terlalu lama memandangi Candy. Dia pun kembali berkonsentrasi dengan game di depannya. Tapi semakin tidak dipikirkan, malah semakin sulit hilang dari kepalanya. Setiap kali Candy bergerak, meskipun hanya menggeser kursi ataupun memperbaiki posisi kacamatanya, Adip selalu melirik ke samping. Gerak-geriknya begitu kalem, seperti seorang putri saja! “Hey Sa!” tiba-tiba datang dua orang mahasiswi menghampiri Candy. “Hai!” Candy membalas sapaan mereka. Adip menoleh, tapi dia langsung membuang muka. Dia sama sekali tidak tertarik pada temanteman Candy; semuanya adalah tipe yang tidak Adip suka. Make-up tebal seperti kesemek
dan rambut yang dicat pirang terang seperti kulit pisang. Norak! Di mata Adip, Candy nampak seperti Cinderella di antara saudara-saudara tirinya. “Ayo Sa, makan dulu yu!” ujar si make-up tebal. Suaranya keras sekali, seperti sedang bicara di lapang sepakbola. “Nanti kita jadi foto ‘kan ?” “Harus sekarang, ya ? Aduh... sebentar lagi ya, tinggal sedikit lagi naik level nih!” ujar Candy dengan nada memohon. “Betul tuh, naik level lebih penting daripada foto!” seru Adip; tentu saja dalam hati. “Yah, cepetan dong, Sa… Gua udah bela-belain ke salon buat dicurly nih, kalau kelamaan takut rusak!” kata si rambut pirang. “Oh ya, rambut gua di-highlight lagi loh, bagus nggak ? Warnanya baru, loh.” “Kuas ijuk kena cat tembok kuning! Dasar bule kampung!” pikir Adip. Kemudian Adip pun memandang rambut Candy yang hitam legam dan bergelombang alami, indah sekali. Si rambut pirang dan si make-up tebal tidak henti-hentinya memaksa Candy untuk bergegas. Akhirnya Candy pun menyerah, dia pergi bersama kedua temannya. Adip agak kecewa, dia tidak bisa menghentikan matanya untuk tidak membuntuti langkah Candy. Ketika akhirnya Candy menghilang di balik pintu warnet, Adip menghela nafas panjang. Malam itu, Candy mengajak Adip kenalan… tentu saja, di dalam mimpi Adip.
Bagian 9 – Lebih Manis Daripada Permen
“Dip, pinjam komputer lagi ya…” Nana memohon. Tugasnya belum selesai karena kemarin dia ketiduran. “Gua janji nggak akan membawa Agal lagi deh.” Meskipun kemarin malam Adip tidak marah, tapi tetap saja Nana merasa bersalah. Adip merogoh kantong celananya, kemudian memberikan kunci kamarnya pada Nana. “Nih.” Nana mengernyitkan kening dengan heran. Tidak seperti biasa, Adip langsung mengabulkan permintaannya. Biasanya mereka berdebat dulu, minimal empat atau lima kalimat. Tapi kali ini Adip tidak banyak cingcong. “Memang lu nggak mau main, Dip ?” tanya Nana sambil menerima kunci dari tangan Adip. “Gua mau main di warnet, kok.” kata Adip. “Tumben, biasanya lu ogah main di warnet.” “Yah, ganti suasana aja.” “Ya udah, deh. Gua balik duluan ya.” Nana tidak mau ambil pusing, dia bergegas pulang. Dari kampus, Adip langsung pergi ke warnet. Sebenarnya dia berharap bisa bertemu Candy, tetapi ternyata Candy tidak ada di sana. Walaupun demikian Adip tidak segera pulang. Kalau diperhatikan dari gelagatnya kemarin, dan bagaimana penjaga warnet menyapa Candy dengan akrab, sepertinya Candy sering bermain di warnet tersebut. Oleh karena itulah Adip berniat menunggunya, tentu saja sambil bermain. Kira-kira sejam kemudian, Candy pun muncul. Deg, deg, deg... dada Adip mulai bergemuruh. Candy duduk agak jauh dari Adip, tetapi Adip masih bisa melihat wajahnya. Dilihat dari depan, Candy nampak lebih cantik. Jantung Adip semakin tak tenang saja. “Lho, Esa ya ?”
Mata Adip melotot, ternyata ada Yanu. Dia baru saja datang. Adip menyembunyikan diri di balik monitor supaya Yanu tidak melihatnya. Kenapa Yanu bisa ada di sini, pikir Adip kesal. Adip lebih kaget lagi karena Yanu menyapa Candy; dengan nama Esa. Sok akrab banget sih! “Ya ?” ujar Candy, wajahnya seperti bingung. “Esalia ‘kan ?” tanya Yanu lagi. “It’s me, Yanu! Kita ‘kan satu sekolah waktu SMP!” Candy terdiam, mencoba mengingat-ingat, dan kemudian dia pun tersenyum. “Ooh, Yanuar!” ujarnya. “Halo Yan, apa kabar ?” “Fine. Long time no see, Sa. You kuliah di Unpar juga?” tanya Yanu. Candy mengiyakan. “Ngapain ke sini, Yan ? Main ?” tanya Candy. “No, no,” Yanu menggeleng. “Gue mau fotokopi bahan ujian.” Selain warnet, di tempat itu juga ada tempat fotokopi. “Ohh…” Mereka berbicara sebentar, kemudian Yanu pun pergi ke tempat fotokopi. Adip hanya bisa terdiam melihat kedekatan Yanu dan Candy. Dia juga ingin ngobrol dengan Candy, tapi Adip tak punya cukup nyali untuk menyapa Candy. Bagaimana kalau Candy merasa risih padanya? Tampang Adip ‘kan mirip preman, bisa-bisa Candy menyangka Adip hendak memalaknya. Adip memperhatikan layar monitor dengan sedih. Seandainya dunia real seperti dunia game, di mana orang-orang tidak akan terlalu memperhatikan apakah tampang Adip seperti om-om atau tidak, mirip preman atau tidak, mungkin Adip akan memiliki lebih banyak keberanian untuk mengajak Candy berkenalan. Untuk pertama kalinya Adip iri pada Yanu. Yanu tidak pernah segan untuk menyapa seseorang. Dia selalu terlihat percaya diri, berbeda dari Adip yang sering merasa segan. Dan yang pasti, tampang Yanu sesuai dengan umurnya. Adip teringat ketika pertama kali dia kuliah, kebanyakan teman seangkatan Adip mengiranya angkatan atas. Bahkan Lino memanggil ‘kakak’ padanya saat pertama kali mereka bertemu. Meskipun tidak ada yang mengejeknya bermutu alias bermuka tua, tetapi dia sadar kalau tampangnya sangar dan agak berbeda dari yang lain. Sejak saat itu, Adip merasa agak malu memulai pembicaraan dengan orang yang belum dikenalnya.
[ Kazura ] : “Hey Dip, ada gosip baru nggak nih ?” Di layar monitor, nampak seseorang menghampiri karakter Adip. Namanya Kazura, yang memainkannya adalah teman Adip di Sumedang, yaitu Joko. Sama seperti Adip, Joko juga senang bermain game online. Sampai saat ini mereka sering ngobrol lewat game. [ Lemon Tea ] : “Kalau mau gosip, nonton infotainment aja Jok! Gosip semua isinya.” [ Kazura ] : “Hahaha…” Lemon Tea adalah nama karakter milik Adip. Nana yang menyarankan nama itu, sebab Nana paling suka minum lemon tea. [ Lemon Tea ] : “Eh Jok, lu kenal karakter yang namanya Cute Candy, nggak ?” [ Kazura ] : “Tahu. Yang cewek itu ‘kan ?” [ Lemon Tea ] : “Iyah.” Joko si tukang gosip memang selalu punya banyak informasi dan kenalan. Tidak salah Adip bertanya padanya. [ Kazura ] : “Gua pernah leveling bareng dia, trus kenalan. Namanya aslinya Esalia. Kenapa gitu ? Pingin kenalan ?” [ Lemon tea ] : “Nggak, cuma pingin tahu aja.” Adip berpikir sebentar, apakah sebaiknya dia menceritakan pada Joko bahwa sebenarnya dia dan Candy bermain di warnet yang sama, atau tidak. Masalahnya mulut si Joko nggak bisa direm, takutnya dia keceplosan di depan Candy. Baru saja Adip hendak mengetik kalimat selanjutnya, tiba-tiba karakter Cute Candy muncul di dekat mereka. [ Kazura ] : “Loh, yang diomongin datang nih.” Candy segera menghampiri Kazura, nampaknya dia memang mengenal si Joko. [ Cute Candy ] : “Halo!”
[ Kazura ] : ”Hey Sa, sini, ada yang mau kenalan!” “Lah, si Joko mulai bertingkah nih,” pikir Adip khawatir. [ Cute Candy ] : “Siapa ?” [ Kazura ] : “Ini temen gua, si Lemon Tea. Nama aslinya Adip. Dia pingin kenalan sama lu, Sa.” Adip kaget sekali. Dia langsung mengumpat dalam hati. “Anjis Joko…!!! Ngawur aja lu!” [ Cute Candy ] : “Halo Lemon ^_^” [ Lemon Tea ] : “Hai…” Adip panik, tangannya berkeringat dingin. [ Kazura ] : “Panggil dia Adip aja, dia nggak cocok dipanggil Lemon.” [ Cute Candy ] : “Hahaha…” [ Kazura ] : ”Eh Sa, lu kuliah di Unpar ‘kan ? Si Adip juga di Unpar kok.” “Dasar si Joko bego! Idiot! Blo’on! Camen! Yang gitu aja diomongin!” Adip tidak berhenti mengumpat dalam hati. Adip takut sekali, dia khawatir Candy akan mengenalinya. [ Cute Candy ] : “Masa ? Jurusan apa ?” [ Lemon Tea ] : “Hubungan Internasional.” [ Cute Candy ] : “Gua di Fakultas Ekonomi. Oh ya, kamu main di mana ?” [ Lemon Tea ] : “Di kost.” Adip berbohong. Kalau dia bilang bermain di warnet dekat kampus… huahhhh, entah apa yang akan terjadi. Adip tidak mau membayangkannya. [ Cute Candy ] : “Oh, dikirain di warnet. Soalnya gua sering main di warnet dekat kampus.” [ Kazura ] : “Jangan harap bisa menemukan Adip di warnet. Dia paling males ke warnet.” [ Cute Candy ] : “Kenapa ?”
[ Lemon Tea ] : “Waktu kecil gua pernah kena asma, nggak tahan asap rokok. Jadi sampai sekarang gua nggak suka bau asap rokok. Di warnet ‘kan biasanya bau rokok.” [ Cute Candy ] : “Oh, gawat juga.” [ Lemon Tea ] : “Lu sendiri tahan main di warnet ?” [ Cute Candy ] : “Hmm… Bokap dan kakak gua ngerokok, jadi gua sih udah biasa sama asap rokok.” [ Kazura ] : “Hidung lu udah kebal ya ?” [ Cute Candy ] : “Mungkin juga! Kurang sensitif kali?” “Nggak sensitif sih, tapi mancung. Cantik banget.” kata Adip dalam hati. [ Kazura ] : “Mau tahu gimana caranya biar hidung lu sensitif lagi ?” [ Cute Candy ] : “Gimana ?” [ Kazura ] : “Cium bau kentutnya si Adip gih, orang pilek bisa langsung sembuh.” [ Lemon Tea ] : “Eek lu, Jok!” [ Kazura ] : “Tuh kan, si Adip doyan ngomongin eek. Omongannya aja udah bau, apalagi kentutnya.” [ Cute Candy ] : “Hahaha! Memangnya kentut lu nggak bau ?” [ Kazura ] : “Nggak dong. Kentut gua wangi, aroma buah-buahan segar.” [ Lemon Tea ] : “Aroma duren ?” [ Cute Candy ] : “Hahahaha… bisa aja si Adip.” Adip merasa bahwa Candy adalah tipe orang yang mau melayani pembicaraan apapun juga. Sudah cantik, anggun, gaul, main game lagi. Tipe Adip banget. Adip berpikir lagi, sepertinya berkenalan dengan Candy lewat game bukan ide buruk. Bukankah ini yang Adip harapkan sejak kemarin ? Dia ingin ngobrol dengan Candy. Lewat game, dia bisa bersahabat dengan
Candy tanpa harus mengekspos tampangnya. Memikirkan hal itu, Adip merasa gembira. Ah, terima kasih Joko! Kata-kata bego, idiot, blo’on, dan camen ditarik lagi, deh! [ Cute Candy ] : “Eh, kayaknya gua udah dijemput deh. Gua balik dulu, ya ?” [ Lemon Tea ] : “Okay. Oh ya, besok lu online nggak, Candy ?” [ Cute Candy ] : “Iyah, begitu beres kuliah.” [ Lemon Tea ] : “Sip deh!” [ Kazura ] : “Bye-bye, Candy!” [ Cute Candy ] : “Dadah semua!” Kemudian Candy pun log off. Adip memperhatikan Candy saat membayar ke kasir, kemudian menghilang di balik pintu warnet. Sayang sekali hari ini Candy hanya bermain sebentar saja. Sepertinya dia hanya mengisi waktu sebelum dijemput. Candy dijemput siapa ya ? Supirnya ? Bokapnya ? Kakaknya ? Atau… pacarnya ? Adip tidak mau berpikir lebih jauh. Dia memang tidak ingin berharap banyak pada Candy. Jadi teman dan bisa mengobrol saja sudah menyenangkan, lebih baik Adip tidak memikirkan hal-hal lain yang hanya membuatnya sedih. It’s enough, pikir Adip dengan gaya Yanu. Tapi kemudian Adip merasa jijik sendiri, ngapain pula ngikutin gaya Yanu ?!
Bagian 10 – Siapa Dia?
Sepanjang malam Adip cengar-cengir tidak karuan. Bukan hanya Lino dan Nana yang heran, Rere yang biasanya kalem pun sampai bingung dibuatnya. Hanya Agal yang tidak peduli – dia tetap menggonggong jika Adip mendekat. Setelah dipaksa, akhirnya Adip menceritakan pengalaman terindah dalam hidupnya itu. “Oooh… jadi ceritanya lu udah puber nih, Dip ?” tanya Nana. “Baru sekarang gua denger lu ngecengin cewek.” “Masa sih ? Dari dulu dia nggak pernah ngomongin cewek ?” tanya Lino tak percaya. Nana menggeleng. “Dulu gua kira dia homo.” “Enak aja!” sembur Adip. Dia memandang Nana sambil mengangkat sebelah alisnya. “Dari kecil gua hidup sama cewek kayak si Nana; udah cengeng, cerewet, cepet marah lagi… gua ‘kan jadi males bergaul sama yang namanya cewek!” “Nah, itulah Dip! Omongan lu yang nyebelin itu tuh yang bikin lu nggak bisa bergaul sama cewek.” kata Nana sambil mencibir. “Harusnya lu belajar ngomong manis sedikit. Perhatiin Denny deh; kalau ngomong sopan, nggak suka nyindir, dia pinter menyenangkan hati orang!” “Ah, menurut gua sih, kalau ngomong harus apa adanya. Orang yang ‘pinter menyenangkan hati orang’ adalah tipe penjilat, alias tukang bohong.” kata Adip membela diri. “Lu jangan nuduh Denny tukang bohong dong!” tukas Nana. “Loh, gua ‘kan nggak ngomongin Denny ?” ujar Adip. “Udah, udah!” Rere menengahi. Setiap kali pembicaraan bergeser ke arah Denny, Nana dan Adip selalu terlibat dalam pertengkaran. Oleh karena itulah Rere mencoba mengganti topik pembicaraan. “Nah Dip, kapan lu mau ngajak Candy kenalan di real ?” “Maksudnya kenalan face to face ?” tanya Adip. “Iyah.”
Adip menggeleng serta merta. “Nggak akan.” katanya tegas. “Kayaknya lebih enak kalau gua berteman dengan dia lewat game aja deh.” “Loh ?” “Sebetulnya lu tuh suka sama dia nggak sih ?” tanya Nana. “Suka banget.” kata Adip dengan tampang serius. “Then ?” “Ya udah.” “Ya udah gimana ?” “Ya... ya udah aja. Gua suka dia, sekarang gua temanan sama Candy lewat game, beres.” kata Adip. “Gitu doang ?” “Yup.” Adip mengangguk. Lino menyeringai. “Mengecewakan!” desisnya. “Pengecut ah!” Nana menambahkan. “Nggak punya nyali!” Adip tertawa. “Yah, abisnya mau gimana lagi ?” “PDKT dong! Ajak dia ketemuan, ajak candle night dinner, ntar gua nyanyi deh. Gua bisa bikin suasana romantis.” usul Nana. “Lalu, lu tembak dia pakai bunga mawar merah.” “Nggak mau ah! Norak banget!” Adip mendesis dengan tampang jijik. “Sori aja, gua bukan penganut Yanu-isme tuh!” Lino dan Rere tertawa, tapi Nana malah terlihat bingung. “Yanu-isme ? Apa hubungannya sama Yanu ?” “Lemot lu! Ya itulah, tipe cowok yang suka melakukan hal yang ‘geli-geli’ kayak gitu… Ihhh…” Adip merinding membayangkannya. “Geli-geli apa ? Yang kayak gitu tuh romantis namanya!”
“Tapi gua geli-geli ngebayanginnya! Bikin gatel aja.” tukas Adip. “Ya kalau gatel, mandi lah!” sembur Nana lagi. “Apa sih ? Kalian jadi nggak nyambung!” tegur Lino sambil tertawa. “Gini, gini... Maksud kita tuh…” kata Rere mencoba menjernihkan masalah. “…apa lu nggak coba PDKT dengan cara yang lebih normal ?” katanya sambil memandang Adip. “Memangnya gua nggak normal ?” tanya Adip. “Nggak.” jawab Lino sambil tertawa. “Maksudnya, kenapa lu nggak ajak dia kenalan ? Lu ‘kan udah dua kali liat si Candy main di warnet, kenapa lu nggak sapa dia ? Ajak makan, atau main bareng, atau apalah…” ujar Rere. “Nggak usah candle night dinner, tapi minimal kenalan lah…” “Wah, nggak, nggak…” kata Adip sambil menggeleng. “Kenapa ?” “Ermm… soalnya gua nggak pingin dia lihat gua.” akhirnya Adip buka kartu. “Hahaha… maksud lu, lu nggak pede nunjukin tampang om-om lu di depan si Candy ?” tanya Lino. “Bukan gitu, No!” kata Adip. “Trus kenapa ?” “Ya…” Adip gugup. “Ya memang gitu sih.” “HUAHUAHUAHUA...!!!” mendengar jawaban Adip, Lino dan Nana tertawa keras sekali. Rere juga tak bisa menyembunyikan tawanya. Adip cemberut melihat ketiga temannya yang menertawakannya seolah hal itu lucu sekali. “Ya udahlah, kalau memang lu pingin begitu, jalanin aja Dip.” kata Rere sambil mendehem pelan, mencoba menghentikan tawanya. Dia berwajah lebih serius. “Tapi yang jelas, lu nggak bisa sembunyi di balik komputer terus, Dip. Suatu saat lu juga harus menunjukkan diri lu yang sebenarnya pada Candy, ‘kan ?”
“Kok kesannya gua seperti pahlawan bertopeng sih ?” ujar Adip. “Nggak ah. Pahlawan bertopeng itu cakep, kalau lu sih nggak.” ujar Nana. “Lah, kalau cakep ngapain ditutupin pake topeng ?” sembur Adip. “Tuh kan kalian nggak nyambung lagi!” protes Lino. Tentu saja dia masih tertawa-tawa. “Udah, udah, udah, cape ah!” ujar Nana akhirnya. “Kalau ngobrol di sini terus, gua bisa kram pipi nih! Ketawa terus!” “Makannya, kempesin tuh pipi.” desis Adip. “Perut lu tuh yang harus dikempesin.” balas Nana sambil mencibir. Dia pun beranjak. “Udah ah, gua balik ke kamar, ngantuk…” Rere juga beranjak. “Gua juga deh.” “Dadah Dip! Dadah No! Gud nite.” kata Nana sambil menutup pintu kamar Adip. Nana dan Rere pun naik ke lantai dua. Kini hanya Lino yang masih menclok di kamar Adip. Dia tiduran di kasur, nampak ogah untuk beranjak dari sana. “Besok gua ke warnet lagi, No.” kata Adip kemudian. “Mau ikut ?” “Liat si Candy ?” Adip mengiyakan. “Dasar…” “Sumpah No, lu boleh ngetawain gua pengecut atau apalah – tapi si Candy memang betulbetul cakep. Ngeliat dia tuh bikin ketagihan, No.” kata Adip. “Besok temenin gua, ya ? Ya ?” “Kalau ntar gua ketagihan gimana ?” tanya Lino. Adip tertegun sebentar, tapi kemudian mengangkat bahu. “Ya… ya udah. Persaingan sehat, bro!” katanya santai.
Lino tertawa. “Nggak lah, masa friend makan friend.” katanya. “Oke deh, besok gua temenin. Lagian gua penasaran, cewek kayak gimana yang bisa menyembuhkan lu dari ke-homo-an lu selama ini.” “Justru gua yang curiga bahwa lu homo, No!” kata Adip. “Lu juga nggak pernah ngomongin cewek ‘kan ?” “Ah, cape deh.” desis Lino. “Gua nggak siap pacaran, Dip. Gua masih terlalu cinta kasur dan guling…” katanya sambil memejamkan mata dan memeluk guling dengan gaya berlebihan. “Ya terserah, tapi jangan ML sama guling gua dong!” Adip mencoba merebut gulingnya dari dekapan Lino, tetapi Lino malah memeluknya semakin kuat. “Jangan Adip, gua belum siap...” desah Lino. “Anjis, No! Jijay gua!” seru Adip. Dia semakin kuat menarik gulingnya, tapi malah terlepeset dan jatuh tepat ke atas Lino. “Oh, Adip… Tidak!” seru Lino dengan nada dibuat-buat. Pintu terbuka, Nana muncul di ambang pintu kamar Adip sambil memasang tampang jijik. Saat itu Adip tengah rebutan guling dengan Lino – dengan posisi Lino berbaring di kasur sementara Adip berjongkok di atasnya. “Nggak nyangka, ternyata selama ini kalian…” ujar Nana terputus. “Jangan mikir macem-macem, Na!” seru Adip sambil melompat turun dari kasur. “Gua cuma mau ngambil jepit rambut gua.” sahut Nana sambil memungut jepit rambutnya yang ketinggalan di sana. “Maaf mengganggu, silahkan dilanjutkan.” ujarnya sambil menutup pintu, kemudian berlari ke lantai dua sambil menahan tawa. “Oi Na!” Adip dan Lino berpandangan, tetapi Lino nampak tidak peduli. Dia kembali memeluk guling dan memejamkan mata. “Dasar gila lu No!” Adip menendang kasurnya. “Pergi sana ke kamar lu!”
Sementara itu, Nana pergi ke kamar Rere, dia mendapatkan temannya itu sedang membaca bahan kuliah untuk besok. Nana pun menceritakan kejadian konyol di kamar Adip tadi sambil melepas tawanya. “Coba tadi gua bawa kamera – gua foto mereka, trus fotonya ditempel di mading fakultas.” ujar Nana di akhir ceritanya. “Bisa heboh tuh kampus!” Rere pun ikut tertawa. “Ntar Rumah Hijau dituduh sarang homo dong ?” katanya. Nana mengiyakan. Tanpa sengaja, dia melihat selembar foto yang terjepit di bawah bukubuku pelajaran. “Foto apa ini?” tanya Nana seraya mengambil foto itu. Ternyata foto seorang anak laki-laki yang mengenakan pakaian seragam SMP. “Oh itu…” ujar Rere. “Itu... adik gua.” “Rere punya adik ?” tanya Nana. “Baru tahu deh.” Rere hanya tersenyum. “Tinggal sama nyokap lu, Re ?” tanya Nana. “Ya, gitu deh.” “Siapa namanya ?” “Yudistira.” Rere nampak tidak begitu tertarik membicarakan keluarganya. Nana mengerti, dia pernah mendengar dari Pak Udin bahwa orangtua Rere bercerai saat Rere berumur enam belas tahun. Papa Rere pergi ke luar negeri, sedangkan Mama Rere kembali ke kampung halamannya di Tasikmalaya, untuk bekerja. Sedangkan Rere memilih untuk menetap di Bandung, dan sejak saat itu dia tinggal di Rumah Hijau. Nana menduga alasan Rere tetap tinggal di Bandung adalah karena tidak ingin memilih apakah dia harus tinggal bersama mama atau papanya. “Ya sudahlah, gua tidur dulu ah.” kata Nana. “Jangan tidur malam-malam Re, besok ‘kan kita kuliah pagi.” Rere tersenyum sambil mengangguk. “Biasanya juga lu yang susah bangun, Na.” katanya.
“Hahaha! Gud nite, Re.” Nana kembali ke kamarnya. Dia menjatuhkan diri ke atas ranjangnya yang dipenuhi boneka, lalu mengambil handphone yang digeletakkannya di atas bantal. Dia selalu menelepon Denny sebelum tidur. Tut…tut…tut… Tidak diangkat. Nana merenggut, biasanya Denny selalu menjawab good-nite-callnya. Dia menekan nomor Denny sekali lagi. Tut…tut…tut… “Hallo ?” terdengar suara cewek dari seberang sana. Deg! Jantung Nana berdegup. Siapa cewek yang mengangkat telepon Denny ? Denny ‘kan tinggal di kost, jadi sudah pasti bukan keluarganya. “Hallo ?” cewek itu bertanya lagi. “Siapa ini ?” Nana balik bertanya. “Ini Sheila.” jawab cewek itu. “Di mana Denny ?” “Denny lagi beli minuman ke luar, handphonenya ketinggalan.” jawab cewek yang mengaku bersama Sheila itu. “Ada pesan ?” Nana terdiam, dia dapat merasakan jantungnya berdegup begitu kencang. “Hallo mbak ? Kalau ada pesan, nanti saya sampaikan ke Denny.” kata cewek itu lagi. Nana menutup mata sambil menggigit bibir bawahnya. Dia pun memutuskan telepon dengan tangan gemetar. Siapa Sheila ? Mengapa dia mengangkat handphone Denny ? Apakah cewek itu di kamar kost Denny ? Mengapa dia ada di sana ? Denny meninggalkan seorang cewek di kamarnya… Malam hari pula... Apa yang sebenarnya terjadi ? Tanpa sadar, setetes air mata jatuh di pipi Nana.
Bagian 11 – Beautiful Girl
Kursi beranda yang menjadi saksi cinta Nana dan Denny kini terasa dingin. Nana duduk di sebelah kiri, sedangkan Denny duduk di sebelah kanan. Pandangan Nana melayang kosong, sementara Denny berulang kali menghela nafas. Si Agal berlari-lari di dekat Nana, mencoba mencari perhatian, tapi Nana diam saja. Akhirnya dia bosan, kemudian duduk meringkuk di bawah kursi. “Sampai kapan kamu nggak mau ngomong sama aku, Na ?” tanya Denny akhirnya. “…” “Kamu masih ngambek soal telepon itu ?” tanya Denny lagi. Nana tidak menjawab; tapi dari air mukanya, Denny tahu kalau Nana memang masih marah. “Na, aku ‘kan udah jelasin, kemarin aku dan Sheila lagi ngerjain tugas. Lalu aku beli kopi di seberang. Gitu aja kok, nggak ada apa-apa.” kata Denny. “Tugas ? Kenapa kamu harus sekelompok sama dia ?” “Yah, mana aku tahu, Na ? Itu kelompok ‘kan ditentuin dosen ?” Denny membela diri. “Terus kenapa ngerjain tugasnya malam-malam ? Kenapa nggak siang aja ?” tanya Nana lagi. “Aku ngerjain dari siang sampai malam, Na. Tugasnya harus selesai, dikumpulin tadi pagi.” jawab Denny. “Aku jadi ingin lihat cewek kayak apa sih yang mau ngerjain tugas sampai tengah malam di kost cowok yang udah punya cewek.” kata Nana dengan nada judes. “Sheila itu teman sekost aku, Na – sama seperti kamu dan Adip. Kita cuma teman, kok.” ujar Denny. “Sumpah Na, gua nggak ada hubungan apa-apa dengan Sheila. Kalau nggak percaya, coba aja kamu tanya Sheila.” “Mana mungkin ada pencuri yang ngaku mencuri ?” ujar Nana.
“Jadi kamu nuduh aku selingkuh sama Sheila ?” tanya Denny. “Memangnya nggak wajar ya, Den, kalau aku ngira kalian selingkuh ?” tanya Nana. Nana cemberut. Dia menoleh ke belakang, dilihatnya Adip sedang mengintip di balik jendela. Adip kaget sekali melihat Nana melotot padanya, dia buru-buru menjauh. Tetapi kepalanya terbentur teralis, dan dia menyeringai kesakitan. Nana pun berpaling. “Oke deh, Na, aku ngaku salah – aku nggak hati-hati, bikin kamu curiga.” kata Denny. Dia memegang tangan Nana. “Tapi sumpah, Na, aku nggak selingkuh.” Nana diam saja. “Ayolah say, jangan marah lagi ya ?” kata Denny memohon. “Aku nggak tahu, Den.” “Kok nggak tahu ?” Mata Nana berair. Dia menguceknya, lalu menatap Denny lurus-lurus. “Gini aja Den, untuk sekarang, kita jangan ketemuan dulu, ya ?” “Loh, kok gitu Na ?” “Aku butuh waktu untuk menenangkan diri, Den. Tolong ya ?” ujar Nana. Dia memalingkan wajah dari Denny. “Nanti kalau aku udah ngerasa baikan, aku akan nelpon kamu, Den.” Denny terdiam, wajahnya agak kecewa. “Jadi kamu nggak percaya sama aku, Na ?” “Bukan gitu …” “Nggak apa-apa kok. Kalau memang dengan begitu kamu bisa merasa lebih enak, aku nggak akan ganggu kamu.” ujar Denny. “…yang jelas, Na, aku betul-betul sayang sama kamu.” Nana tidak menanggapi. Denny pun menyerah. “Ya udah, aku pergi dulu ya.” katanya sambil berdiri. Kali ini Nana mengangguk, tapi air mukanya sama sekali tak berubah – masih saja cemberut. Denny pun beranjak pergi. Nana dapat mendengar suara mobil Denny pergi menjauh. Nana
menarik nafas panjang, lalu masuk ke dalam kost. Adip masih saja berdiri di ambang pintu, sepertinya dia mencuri dengar dari sana. “Ngapain sih ?” tanya Nana jutek. “Denny itu bukan cowok yang sempurna, Na. Lebih baik lu jangan terlalu banyak berharap.” kata Adip. “Dip, jangan cari gara-gara, ya. Gua lagi pusing.” kata Nana sambil berjalan melewati Adip. Tapi kemudian dia berhenti bergerak, lalu menoleh pada Adip. “Asal lu tahu aja Dip, lebih baik terlalu banyak berharap daripada nggak punya nyali untuk berharap!” “Ini bukan soal gua. Ini soal lu. Kalau lu terlalu banyak berharap, nanti lu sendiri yang sakit.” “Sudahlah, pikirin diri lu sendiri Dip!” ujar Nana tanpa melihat ke arah Adip lagi. Nana berpapasan dengan Lino yang baru saja keluar dari kamar, sepertinya Lino baru saja bangun tidur siang. Lino agak heran melihat wajah Nana yang cemberut tak karuan. Dia pun menghampiri Adip yang mematung di ambang pintu. “Kenapa si Nana, Dip ?” tanya Lino. “Berantem sama si Denny.” jawab Adip. “Oh…” “Tau deh, capek mikirinnya.” ujar Adip sambil mencibir. “Temenin gua ke warnet yuk ?” “Sekarang ? Gua belum mandi, Dip.” “Ah, biar. Mandi nggak mandi sama aja kok.” kata Adip. “Bentar deh, ganti baju dulu.” kata Lino. Lima belas menit kemudian, keduanya sudah berada di warnet. Sebenarnya Lino tidak begitu tertarik pada game online, tapi dia harus menemani Adip ke warnet. Yah, daripada dibiarkan di kost, nanti Adip malah berantem dengan Nana. Apalagi sekarang hari Sabtu, Rere pergi bekerja sejak siang, tidak ada orang yang bisa menengahi kalau Adip dan Nana bertengkar. “Mana si Candy, Dip ?” bisik Lino sambil menggeser kursi ke dekat Adip.
“Belum datang.” jawab Adip. “Lu yakin hari ini dia ke sini ?” tanya Lino lagi. “Kemarin sih dia bilang mau main di warnet.” Lino mengangguk. Dia pun duduk sambil minum teh botol, sementara Adip bermain game sambil menunggu. Satu jam… Candy belum datang. Dua jam… Candy masih belum datang. Tiga jam… Lino sudah menghabiskan selusin teh botol, tapi Candy belum muncul juga. Lino sudah bosan sekali. “Dip, gua capek ah.” kata Lino. “Gua balik aja ya, ngantuk banget!” sahut Lino. “Bukannya tadi lu baru tidur siang, No ?” tanya Adip. “Tapi gua udah ngantuk lagi nih!” kata Lino. Adip mendecakkan lidah. Tapi mata Lino memang nampak lebih mengantuk dari biasanya. “Ya udah deh, kalau mau balik, duluan aja. Gua mau nungguin Candy sebentar lagi.” “Bener nih, nggak apa-apa gua tinggalin ?” “Nggak apa-apa. Tapi, itu teh botol bayar dulu ya!” kata Adip sambil menunjuk selusin botol di meja. “Dasar onta...” “Hahaha!” Lino tertawa. Lino pun pergi meninggalkan Adip. Setelah membayar teh botolnya di kasir warnet, Lino pun berjalan pulang. Sewaktu baru saja hendak keluar, hampir saja Lino menabrak seorang gadis yang berjalan berlawanan dengannya. “Aduh, maaf!” kata gadis itu. “Nggak apa-apa kok.” jawab Lino.
Mereka bertatapan. Sesaat nafas Lino tertahan, dia mematung bagaikan terkena panah cupid. Gadis itu membuat Lino speechless. Rambutnya yang panjang, tatapan matanya yang bening, suaranya yang lembut... Detik-detik itu mengalir begitu lambat, membuat Lino tak dapat mengedipkan matanya sekalipun. Gadis cantik itu, siapakah dia ? Bahkan ketika gadis itu tersenyum, kemudian berpaling dan masuk ke dalam warnet, Lino masih saja mematung. Tiba-tiba dalam kepala Lino terngiang lagu Beautiful Girl-nya Jose Mary Chan. “Oh Tuhan, dia bukan Candy, kan ?” itulah ucapan pertama yang terlontar di dalam hati Lino. Lino kembali menoleh ke arah Adip dengan penuh harap. Namun hatinya terasa kuyu ketika melihat sikap Adip yang salah tingkah. Pandangan Adip tertuju lurus pada gadis yang baru saja melewati Lino. Lino tahu kalau Adip sedang berusaha menyembunyikan wajahnya di balik monitor komputer. Ya, tidak salah lagi... gadis yang berlalu di sampingnya adalah Candy. Gadis yang dicintai Adip. Suara klakson mobil dari jalan menghancurkan lamunan Lino. Lino menghela nafas panjang, kemudian melangkah pergi. Saat itu juga, bunga-bunga yang belum sempat mekar di hatinya, dipangkas habis dalam sekejap. Sebelum terlambat, sebelum dia tidak bisa melakukannya. Ya, inilah yang terbaik.
Beautiful girl, wherever you are I knew when I saw you, you had opened the door I knew that I'd love again after a long, long while I'd love again. You said "hello" and I turned to go But something in your eyes left my heart beating so I just knew that I'd love again after a long, long while I'd love again. It was destiny's game For when love finally came on I rushed in line only to find That you were gone. Whenever you are, I fear that I might Have lost you forever like a song in the night Now that I've loved again after a long, long while I've loved again. Beautiful girl, I'll search on for you 'Til all of your loveliness in my arms come true You've made me love again after a long, long while In love again
And I'm glad that it's you Hmm, beautiful girl
Bagian 12 – Bintang yang Terpilih
Tiga hari dilalui Nana tanpa berbicara pada Denny. Tiap kali Nana memejamkan mata, suara Sheila mengiang-ngiang dalam kepalanya. Nana selalu bertanya-tanya seperti apakah cewek itu ? Seberapa dekat dia dengan Denny ? Apakah Sheila lebih cantik daripada Nana ? Tapi setiap memikirkan hal itu, kepala Nana terasa makin sakit. Sementara itu, selama tiga hari saat Nana terbenam di dasar lautan air mata, Adip tengah melayang-layang di langit ke tujuh. Selama tiga hari itu, Adip selalu ngobrol dengan Candy; tentu saja lewat game. Pembicaraan Adip dan Candy berjalan alami, sebab keduanya memang maniak game online dan tentu saja omongan mereka nyambung! Mereka bisa ngobrol sampai berjam-jam lamanya, dan topiknya pun tidak pernah jauh dari game. Semakin dekatnya Adip dengan Candy membuat Adip tidak begitu memikirkan soal Nana lagi. Sesaat Nana merasa lega karena Adip tidak lagi mencampuri masalahnya dengan Denny. Tapi lama-kelamaan, dia mulai merasa kesepian. Ada sesuatu yang hilang. Tapi Nana terlalu gengsi untuk meminta pendapat Adip. Lagipula dia merasa Adip tak akan bisa menyelesaikan masalahnya, dan justru membuat segalanya runyam. Dan Rere tahu persis pikiran Nana itu. Oleh karenanya malam itu, Rere memutuskan untuk mendekati Nana dan membantunya. Jika masalah Nana dan Denny dibiarkan berlarut-larut, akan semakin sulit memperbaiki hubungan Nana dan Adip, serta mengembalikan situasi kost yang sudah mulai tidak kondusif. “Na, udah tidur ?” tanya Rere sambil mengetuk pintu kamar Nana. “Masuk aja.” jawab Nana dari dalam. Rere pun membuka gagang pintu kamar Nana dan masuk. Saat itu Nana sedang tiduran di atas ranjangnya dengan mata sembab, handphonenya digeletakkan begitu saja di lantai. Rere memungut handphone Nana, kemudian meletakkannya di meja. “Na, mau ikut ke bawah, nggak ?” tanya Rere. “Adip lagi online, sekarang lagi ngobrol sama Candy… Lino juga ada di bawah. Mau nonton ?”
“Ogah ah.” Rere menghela nafas panjang sambil duduk di kasur Nana. “Masih kepikiran soal Denny dan Sheila ?” Nana mengangguk. Rere mengelus rambut Nana, dan detik berikutnya, air mata Nana mulai mengalir lagi. “Gua sebel, Re… Sebel! Sebel! Sebel!” tangis Nana sambil menyembunyikan wajahnya di balik bantal. “Lu sebel sama Denny atau sama Sheila ?” “Dua-duanya!” Rere menghela nafas. “Udah berapa hari nggak ngobrol sama Denny ?” Nana menunjukkan tiga jarinya dengan wajah memelas. “Kangen ?” Nana mengangguk. “Kalau gitu kenapa nggak telpon dia aja ?” tanya Rere lagi. “Emoh ah…” ujar Nana lirih. “Tiap kali mau nelpon Denny, gua malah inget Sheila.” “Kalau begitu, artinya bencinya lu sama Sheila masih lebih penting daripada cinta lu sama Denny.” kata Nana. “Ya, kalau begitu sih, mendingan putus aja…” “Itu juga nggak mau!” tukas Nana segera. Rere tersenyum. “Itu artinya lu udah memaafkan Denny – tapi lu gengsi untuk mengakuinya, soalnya lu masih cemburu sama Sheila.” kata Rere. “Tapi wajar kan, Re? Cowok gua dideketin cewek lain, masa sih gua nggak boleh cemburu ?” “Iyah, wajar kok.” kata Rere. “Tapi yang harus lu pikirin, Na, apakah kecemburuan lu sama Sheila itu cukup besar sampai membuat lu dan Denny harus putus ?” “Ya nggak lah…”
“Nah, kalau begitu, kenapa sampai sekarang lu masih nggak mau ngobrol sama Denny ?” “Nah itu!” desis Nana. “Sebetulnya gua ngerti kok, Denny memang harus ngerjain tugas bareng si Sheila. Tapi gua nggak suka kalau mereka berduaan di kamar kost, sampai jam dua belas malam lagi! Menurut gua sih udah kelewatan.” kata Nana “Lu udah ngomong soal itu ke Denny ?” “Udah.” “Trus apa katanya ?” “Ya… dia minta maaf karena bikin gua curiga.” “Nah, terus ? Lu nggak puas dengan jawaban Denny ?” tanya Rere lagi. Lagi-lagi Nana terdiam. Tapi kemudian dia mengangkat bahu. “Aku nggak tahu, Re.” “Gini deh Na, coba pikirin baik-baik. Sebetulnya, lu bisa maafin Denny apa nggak ? Kalau nggak bisa, apa gunanya lu mempertahankan hubungan dengan orang yang nggak bisa lu maafkan ?” kata Nana. “Sebaliknya, kalau lu merasa masih ingin memperbaiki hubungan lu dengan Denny, kenapa lu masih mogok bicara sama dia ?” Nana berpikir sebentar. “Sebetulnya sih gua pingin kembali seperti biasa, Re. Tapi gua nggak yakin bisa. Gua akan selalu merasa khawatir ada sesuatu antara Denny dan si Sheila. Apalagi mereka sekost.” “Nah, kalau soal itu… menurut lu, ada berapa nama cewek yang pernah muncul dalam hidup Denny. Pasti banyak, ‘kan ? Kalau lu harus mikirin satu-satu, bisa cepet gila tuh.” kata Rere. “Na, kalaupun lu mikirin terus hubungan antara Denny dengan si Sheila, hubungan lu sama Denny nggak akan lebih baik. Sebaliknya, Denny bakal ngerasa nggak dipercaya. Lu bisa nilai sendiri ‘kan, bagaimana rasanya kalau lu dicurigai terus-menerus ?” “Jadi intinya, gua harus lebih percaya sama Denny. Iya ‘kan ?” kata Nana. “Percaya atau nggak, itu perasaan lu, Na. Insting lu sendiri. Gua nggak kenal Denny, ketemu aja belum pernah. Gua nggak bisa menentukan apakah si Denny bisa dipercaya atau nggak.” kata Rere. “Tapi kalau lu memutuskan untuk pacaran dengan seseorang, itu artinya lu udah
mempercayakan hati lu sama orang lain, dan lu mengambil resiko untuk dikhianati. Kalau nggak percaya, ngapain lu pacaran sama dia ?” Nana mengangguk. “Kalau lu pingin memperbaiki dan memulai lagi hubungan dengan Denny, coba omongin ke dia. Jangan simpan gengsi di atas perasaan, Na. Jangan sampai gara-gara lu mogok bicara, si Denny menarik kesimpulan yang salah.” sahut Rere. “Iya juga ya ?” gumam Nana. “Iya lah. Harus tegas, Na! Jangan bikin diri sendiri susah.” Rere memberi semangat dengan menepuk bahu Nana. “Mungkin sekarang Denny sedang menunggu lu menghubungi dia. Telepon gih.” “Iyah.” wajah Nana sedikit lebih cerah, tidak semendung tadi. “Ya udah, gua nggak ganggu. Omongin baik-baik, ya. Bukan cuma gua yang sedih kalau lu pundung terus, itu si Agal dari tadi nggak mau makan.” kata Rere menambahkan. Nana tertawa – tawa pertamanya di hari itu. “Ntar gua turun deh, gua kasih makan sendiri.” “Good luck, Na!” kata Rere sambil keluar dari kamar Nana. Nana termenung sesaat. Ya, Rere memang benar, ternyata cinta di dalam hatinya masih lebih besar daripada rasa cemburunya. Bukan saatnya untuk merajuk, ujar Nana dalam hati. Nana pun menarik nafas panjang, lalu mengambil handphonenya. Dia mengaktifkan handphone yang selama tiga hari ini dimatikan, dan kemudian menekan nomor Denny. Maaf, pulsa Anda tidak cukup untuk melakukan panggilan. Silahkan isi ulang… “Gyaaa…!!!” Nana menjerit. Sial, kok bisa-bisanya dia kehabisan pulsa di saat-saat penting ? Tapi tiba-tiba handphonenya berdering. Denny! Wah, sepertinya keajaiban memang benarbenar ada. Nana buru-buru mengangkatnya. “Hallo, Denny ?” “Na ?” suara Denny terdengar kaget bercampur bimbang.
Nana mengigit bibirnya, dan dia mulai menangis lagi. “Denny maaf…” katanya. “Hey, Na…” “Aku ingin kita kayak dulu lagi, Den. Kita masih bisa kembali seperti dulu, nggak ?” tanya Nana dengan terisak-isak. Denny terdiam sebentar, tapi kemudian dia mengiyakan. “Iya, Na. Kamu juga maafkan aku, ya... Aku nggak akan bikin kamu khawatir lagi.” katanya. “Iya.” “Nana nggak marah sama aku lagi, kan ?” tanya Denny lagi. “Nggak, Den.” Dari seberang sana, terdengar suara Denny menghembuskan nafas lega. “Terima kasih Na.” katanya. “Aku kira kamu ingin putus dari aku…” “Nggak Den, aku nggak mau putus sama kamu. Aku masih sayang kamu.” kata Nana. “Aku juga Na.” “Tapi Den…” kata Nana kemudian. “Aku takut…” “Takut ?” Nana hampir-hampir tidak bisa menahan tangisnya. “Aku takut, Den. Aku takut kehilangan kamu.” ujarnya lirih. “Aku takut Denny berpaling dari aku…” “Nggak Na, nggak akan.” sahut Denny. Dia menghela nafas. “Coba lihat ke langit deh, Na.” “Eh ?” “Lihat saja...” Nana menghapus air di sudut matanya. Nana beranjak dari ranjangnya, kemudian membuka jendela dengan sebelah tangan. “Wah… langitnya bersih, banyak bintang.” kata Nana sambil mendongak keluar.
Tiba-tiba suara Denny terdengar serius. “Ada banyak bintang yang di langit, Na, tapi hanya satu yang aku pilih; yang paling terang, yang paling indah.” katanya. “Maksudnya ?” Denny menghela nafas. “Aku kenal banyak cewek, Na, tapi hanya satu yang aku pilih. Hanya kamu, Na." katanya. “Na, kamu itu bintang yang paling terang. Satu-satunya yang aku pilih dari sejuta bintang. Hanya kamu seorang.” Jantung Nana berdegup kencang. “Aku serius, Na. Aku hanya sayang kamu seorang. Oleh karena itu, Na, tolong percaya sama aku, ya ?” Nana terpana. Dia pun mengangguk, meskipun tahu bahwa Denny tak melihatnya. “Iya, Den. Aku percaya sama kamu, kok.” Tiga hari itu terasa begitu menyiksa Nana. Dalam tiga hari itu, Nana merasa kegelapan menyelimuti hatinya. Tapi sekarang sudah tidak apa-apa, segala sesuatunya berakhir dengan baik. Nana merasa sangat bahagia. Perasaan khawatir masih ada, tapi Nana berusaha untuk melupakannya. Nana menyandarkan kepalanya di kusen jendela sambil berbicara dengan Denny lewat handphone. Matanya masih tertuju ke langit, di mana bintang-bintang tertaburan… dan satu yang spesial, yang terindah, dan yang paling terang, yang dipilih Denny dari sejuta bintang. Malam begitu gelap, tapi mengapa keindahannya abadi ? Tak seorang pun tahu, sama seperti misteri cinta yang tetap hadir dalam hati yang gundah…
Bagian 13 – Lino Bingung
Roda waktu bergerak cepat, satu bulan berlalu tanpa terasa. Nana dan teman-temannya mulai disibukkan oleh kegiatan masing-masing. Terutama Rere. Biasanya Rere kerja sambilan dari pukul empat sore sampai pukul sepuluh malam, tapi akhir-akhir ini dia sering lembur. Rere nampak semakin kurus dan Nana mulai mengkhawatirkan kesehatannya. Tapi sepertinya Rere sehat-sehat saja. Sepertinya dia membutuhkan uang karena semester baru akan segera tiba. Sementara itu, hubungan antara Nana dan Denny semakin membaik, setidaknya begitulah yang dirasakan Nana. Hampir setiap sore Denny datang ke Rumah Hijau meskipun sekedar ngobrol sebentar dengan Nana. Nana juga semakin giat berlatih membuat kue keju kesukaan Denny, dan menurut Denny, kue kejunya semakin lezat – meskipun menurut Adip dan Lino tetap saja tidak enak. Tapi bagi Nana, selama Denny masih menyukai kue kejunya, dia akan selalu membuatnya untuk Denny. Kadang Adip berpikir, jangan-jangan lidah si Denny yang bermasalah… tapi dia tidak mau ambil pusing. Ya, Adip memang tidak pernah menyinggung masalah Nana dan Denny lagi. Dia semakin jarang bertengkar lagi dengan Nana. Soalnya Adip sedang dimabuk cinta, dia tidak punya waktu dan mood untuk berselisih dengan Nana. Hampir tiap pulang kuliah dia mampir di warnet, kadang main, atau sekedar lewat untuk ‘mengintip’ apakah Candy ada di sana atau tidak. Tak hanya siang hari, Adip juga nongkrong di depan komputer sampai larut malam. Sebenarnya hubungan Adip dengan Candy tidak mengalami kemajuan yang berarti. Mereka memang semakin akrab, tapi hanya di game and that’s it! Adip tidak menunjukkan tandatanda bahwa dia akan mengajak Candy ketemuan. Kedekatan Adip dengan Candy ternyata mempengaruhi Lino juga. Sebenarnya Lino belum bisa melupakan pertemuannya dengan Candy sebulan yang lalu. Rasa suka Lino pada Candy seperti rumput liar – setiap kali dipangkas, pasti tumbuh lagi, lagi, dan lagi. Hal ini sangat merepotkan Lino, karena sejak awal dia sudah berjanji tidak akan ‘friend makan friend’. Tetapi perasaannya pun tak bisa disangkal. Situasi ini membuat Lino semakin sering tidur. Baginya, satu-satunya cara untuk melupakan Candy adalah tidur. Setidaknya tidur lebih baik daripada menahan cemburu setiap kali Adip membicarakan Candy.
Suatu sore, pemuda berusia sembilan belas tahun yang sedang dilanda kegundahan itu mendatangi Rere. Saat itu Rere sedang duduk di tangga sambil mengenakan sepatunya. “Re, mau pergi kerja ?” tanya Lino. “Iya. Kenapa ?” “Gua anter deh.” kata Lino sambil memutar-mutar kunci motor di telunjuknya. Rere mengernyitkan kening. “Kerasukan hantu apa lu, No ?” tanyanya. Biasanya, di sore hari yang dingin seperti saat itu, Lino PASTI sedang meringkuk di ranjangnya. Tiba-tiba saja dia menawarkan tumpangan, seperti bukan Lino saja. “Sekalian aja, gua mau beli sepatu basket.” kata Lino sambil menunjukkan sepatu basketnya yang sudah tua. “Nggak pergi sama Adip ?” tanya Rere. Lino menggeleng. “Katanya jam enam ada janji sama si Candy. Di game, tentu saja.” “Oh…” Rere mengangguk mengerti. “Ya udah, hayu atuh.” Lino dan Rere pun segera pergi. Saat motor Lino meluncur melewati warnet, tanpa sengaja Lino melihat Candy tengah berjalan menuju warnet. Selama beberapa detik Lino memandang Candy; lupa kalau dia sedang mengendarai motor sambil membonceng Rere. Hampir saja dia menabrak mobil yang berhenti mendadak di depannya. “Sori, sori, ngelamun!” kata Lino. Rere memperhatikan Lino sesaat, kemudian tersenyum. “Santai aja, No.” Lino mengiyakan, dia pun melanjutkan perjalanan. “Wah, naik motor cepat juga ya ? Kayaknya gua masih ada waktu sebelum masuk kerja.” kata Rere kemudian. “Mau gua anter beli sepatu ? Gua tau toko sepatu yang bagus.” “Yakin masih sempat ?” tanya Lino. “Masih. Di depan belok aja, di daerah sana ada outlet sepatu yang bagus.” kata Rere memberi petunjuk.
Tak lama, Lino dan Rere pun tiba di sebuah toko sepatu yang besar. Lino memilih sepatu sambil meminta pendapat Rere, lalu membeli dua pasang sekaligus; sepatu basket dan sepatu kasual untuk kuliah. “Kok tumben beli sepatu buat ke kampus ? Biasanya juga pakai sandal-sepatu kan ?” tanya Rere saat Lino membayar di kasir. “Ya, ganti suasana aja.” jawab Lino. Bersama Rere, Lino berjalan keluar toko, lalu menuju tempat parkir. Sebelum mengenakan helm, Lino menyapukan rambutnya ke belakang supaya tidak kusut. “Lu juga baru potong rambut ya ?” “Iya, tadi siang.” kata Lino sambil menunjukkan rambut di sekitar telinganya yang dipangkas habis. “Cuma merapikan pinggirnya aja, udah kepanjangan.” Rere tersenyum lagi, senyuman penuh arti yang membuat Lino heran. “Lu juga mulai sering pakai parfum.” “Ermm, itu sih parfum kiriman dari kakak perempuan gua yang kuliah di Singapura. Sayang kalau nggak dipakai.” kata Lino. “Oh gitu…” Lino mengernyitkan kening dengan heran. “Apaan sih, Re ? Kok tiba-tiba nanya yang anehaneh gitu ? Kayak ibu mertua aja.” Rere tertawa. “Dulu Nana pernah bilang, cewek kalau sedang jatuh cinta biasanya jadi suka dandan. Ya, gua nggak nyangka aja, ternyata cowok juga begitu.” katanya. “Siapa bilang gua lagi jatuh cinta ?” tanya Lino. “Loh, jadi salah ya ? Gua kira lu suka sama si Candy.” ujar Rere dengan wajah polos. Kata-kata Rere mengena tepat di hati Lino seperti bola basket yang masuk ke dalam ring. Pipi Lino yang putih dalam seketika berubah menjadi merah padam, sampai-sampai telinganya pun ikut memerah.
“No, itu muka atau kepiting rebus ?” tanya Rere. Dia menepuk pundak Lino sambil tertawa kecil. “Nggak apa-apa No, gua nggak akan bilang apa-apa sama si Adip kok.” “Jadi lu tahu, Re ?” tanya Lino. “Loh, gua tahu apa ya, No ? Kayaknya gua amnesia nih.” kata Rere pura-pura tidak mengerti. “Arrghhh Re, jangan bikin gua serba salah dong!” tukas Lino. “Sini, gua balikin ingatan lu!” katanya sambil berpura-pura memukulkan helm pada kepala Rere. Rere tertawa lepas, ditatapnya Lino sambil menggelengkan kepala dan mendecakkan lidah. “No, di saat seperti ini lu lebih malu-malu dan lebih malu-maluin daripada Adip ya ?” Lino merasakan wajahnya begitu panas, dia tahu tampangnya amburadul. “Re, serius dong! Gua jadi ngerasa nggak enak nih…” Lino memelas. Rere pun menghentikan tawanya. “Lu tahu dari mana, Re ?” tanya Lino kemudian. “Hmm, perasaan gua aja sih.” kata Rere. Rere memang punya perasaan yang tajam, dia bisa membaca suasana dan mood orang di sekitarnya dengan tepat. “Tapi tadi waktu kita lewat di depan warnet, lu bengong karena ngeliat Candy kan ?” “Memangnya lu tahu tampang si Candy ?” Setahu Lino, Rere belum pernah bertemu dengan Candy. Sejauh ini, hanya Lino saja yang pernah diajak Adip untuk melihat Candy. “Ya, nebak aja. Soalnya cewek yang lu liatin tadi mirip dengan ciri-ciri Candy yang diceritain Adip. Selain itu, cewek tadi masuk ke warnet ‘kan ? Sebelumnya lu bilang, Adip ada janji main dengan Candy. Nah, dari situ gua simpulkan bahwa cewek tadi adalah Candy.” ujar Rere. “Dan karena lu ngeliatin Candy sampai hilang konsentrasi, udah jelas ada ‘sesuatu’.” Lino heran, kok si Rere bisa menebak sampai sejauh itu ya ? Memangnya dia detektif Conan? “Lagian akhir-akhir ini gua jarang liat lu menemani Adip online, padahal biasanya lu selalu menemani sampai ketiduran di kamar Adip.” Rere menambahkan. “Jadi gua pikir, mungkin lu cemburu, nggak mau lihat Adip ngobrol sama cewek yang lu suka.” “Bukan cemburu seperti itu sih, Re…” kata Lino. “Cuma gua takut ketahuan Adip, gua nggak enak sama Adip.” “Loh, Adip ‘kan nggak pacaran sama Candy, lu nggak usah merasa bersalah, No.” kata Rere.
“Tapi itu bukan cara gua, Re. Gua nggak bisa memperebutkan cewek dengan sahabat gua sendiri.” kata Lino. “Ya, kalau lu bisa menahan perasaan lu sih, nggak masalah dong.” kata Rere. “Orang bilang, cinta itu nggak harus memiliki.” “Sebetulnya sih gua capek banget menahan-nahan perasaan. Tapi bagaimana lagi,” ujar Lino lirih. Nada suaranya terdengar sedih. “Gua nggak bisa mendahului Adip. Bagaimana pun juga dia duluan yang suka si Candy – sebelum Adip mundur, gua nggak akan maju.” kata Lino. “No, saat ini si Adip nggak maju dan nggak mundur. Jadi lu sama aja kayak nunggu Jakarta pindah ke Padang.” kata Rere. “Kalau lu memang nggak bisa menahan perasaan lu, lu hanya punya dua pilihan: lu PDKT pada Candy tanpa sepengetahuan Adip, atau jujur kepada Adip soal Candy dan kalian bersaing sehat.” “Gua nggak percaya sama yang namanya persaingan sehat, Re.” ujar Lino. Dia merenung sesaat, membayangkan bagaimana reaksi Adip kalau tahu bahwa dia juga menyukai Candy. “Kalau Adip sampai tahu, pasti gua nggak akan punya muka lagi untuk berteman dengan Adip.” keluhnya. “Memang, lu menghadapi situasi yang sulit. Kedua pilihan yang ada pun tetap beresiko. Tapi No, kadang-kadang lu harus bisa memilih yang terbaik di antara yang buruk.” “Kalau menurut lu, gua harus bagaimana ?” “Jujur pada Adip.” kata Rere. Tapi kemudian dia menghela nafas sambil menepuk bahu Lino. “Pikirin aja baik-baik, No. Yang jelas, jangan sampai lu mengambil keputusan yang akhirnya malah lu sesali sendiri.” kata Rere. “Ya.” ujar Lino. “Yah, meskipun si Adip aneh dan kekanak-kanakkan, tetapi dia bukan orang yang berpikiran picik. Gua rasa si Adip akan mengerti bagaimana sulitnya berada dalam posisi lu.” tambah Rere lagi. “Tapi Re, jangan bilang apa-apa ke si Adip, ya ? Gua belum siap membicarakan hal ini pada si Adip, apalagi sekarang dia lagi akrab banget sama si Candy.” kata Lino. “Gua nggak mau masalah gua jadi beban buat dia juga.”
Rere tertawa. “Lu baik ya, No.” katanya. “Tapi tenang aja, gua nggak akan ngomong apapun pada Adip atau Nana sekalipun. Yang berhak ngasih tahu Adip soal perasaan lu pada Candy adalah lu sendiri, bukan gua. Jadi jangan khawatir, ya. Gua juga nggak mau merusak mood si Adip yang lagi berbunga-bunga. Sebisa mungkin gua mendukung kalian berdua.” Lino mengangguk. “Thanks, Re.” Tanpa terasa, motor Lino sudah tiba di depan kafe tempat Rere bekerja. Rere mengucapkan terima kasih, dan Lino pun pulang. Angin mendingkan wajahnya, dia merasa segar. Sebagian beban di pundaknya terasa telah mencair, meski masih terasa berat, tapi setidaknya dia lebih lega setelah berbicara dengan Rere. Dalam hati dia berjanji agar masalah soal Candy tak akan mengubah apapun antara dia dan Adip. Setiba di kost, Lino mendapatkan Adip duduk mematung di depan komputer, sepertinya dia masih online. Tapi kemudian Lino menyadari wajah Adip agak tegang. Adip mematung di depan computer dengan wajah pucat. “Kenapa lu Dip ?” tanya Lino. Adip memandang Lino sesaat. “Si Candy ngajak gua ketemuan.”
Bagian 14 – Kejutan untuk Adip!
“Apa? Candy ngajak ketemuan?” tanya Lino tidak percaya. Adip mengiyakan. “Hari Sabtu ini dia ulang tahun. Lalu dia ngajak makan, berdua.” “Lalu, lu jawab apa?” tanya Lino lagi. Adip menggeleng. “Belum gua jawab.” katanya. Lino memperhatikan layar monitor, nampak karakter Adip, Lemon Tea, bersebelahan dengan Cute Candy. Candy diam saja, sepertinya dia sedang menunggu jawaban Adip. “Gimana dong, No ? Gua takut ketemu si Candy!” ujar Adip. Di tengah kebingungan itu, Nana turun dari lantai dua. Hari ini Denny tidak datang ke Rumah Hijau karena ada acara di kampusnya, oleh karena itu Nana merasa kesepian. Dia turun untuk mengobrol dengan Adip dan Lino, tapi dia menemukan kedua temannya sedang mematung sambil berpandangan. “Kalian lagi ngapain sih ?” tanya Nana sambil masuk ke kamar Adip. Tatapan Lino dan Adip pun segera terarah pada Nana. “Si Candy ulangtahun, dan dia ngajak Adip makan.” kata Lino menjelaskan. “HAH ?!” Nana kaget sekali. Nana memandang Adip dengan mata berbinar. “Serius, Dip ?” Adip mengangguk. “Gimana dong Na ? Gara-gara tadi gua bercanda, minta ditraktir! Eh, dia malah betulan ngajak makan bareng. Bingung nih gua…” “Wah, ya nggak apa-apa lah Dip! Kenapa harus bingung?” kata Nana berapi-api. “Jangan mikir-mikir lagi, Dip, bilang saja OK!” Adip menggeleng. “Aduh, gua nggak bisa, Na.” “Kenapa nggak bisa ?”
“Gua temenan sama si Candy lewat game supaya dia nggak perlu melihat tampang gua. Mana bisa tiba-tiba gua datang untuk merayakan ulangtahunnya??!” kata Adip. “Gua takut dia ilfil kalau liat gua!” “Tapi Dip, lu nggak mungkin nolak ‘kan ?” kata Nana. “Ya justru karena itu gua bingung.” ujar Adip. “Gua harus mencari alasan untuk menolak!” “Tapi Dip, kalau lu tolak, si Candy bakal ngerasa kecewa! Lu nggak akan bisa temanan sama dia seperti biasa lagi.” kata Nana. “Betul itu Dip!” timpal Lino. “Cepetan jawab Dip! Bilang IYA!” Nana menambahkan. “Itu si Candy nunggu jawaban lu!” “Tapi nggak segampang itu, Na …” “Ah, Adip reseh!” Nana sebal melihat Adip yang plin-plan. Dari wajahnya, Nana tahu kalau Adip juga senang diajak ketemuan oleh Candy, tapi Adip terlalu nggak percaya diri. Tanpa pikir panjang, Nana mengambil alih keyboard komputer, kemudian berbicara pada Candy dengan berpura-pura sebagai Adip. [ Lemon Tea ] : “Ayo kita makan bareng!” “Nana! Seenaknya aja lo!” seru Adip sambil merebut keyboard computer. Ketika dia baru saja hendak mengatakan bahwa yang bicara tadi bukan dirinya, Candy sudah merespon lebih dulu. [ Cute Candy ] : “Sip deh. Mau makan di mana?” Adip cuma bisa melongo sementara Nana tertawa kegirangan. “Mampus dah gua!” umpat Adip. Dia memegangi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Ya udahlah Dip, terlanjur dibilang iya.” kata Lino menimpali. “Gimana ntar aja.” “Sini, biar gua yang atur.” kata Nana sambil mengambil alih keyboard lagi. Kali ini Adip tidak mencegah – memang benar kata Lino, sudah terlanjur.
[ Lemon Tea ] : “Di Sunflower Café aja, mau nggak ?” Sunflower Café adalah tempat Rere bekerja. [ Cute Candy ] : “Boleh, boleh, dekat rumah gua tuh.” [ Lemon Tea ] : “Wah, kalau begitu, gua bisa main ke rumah lu, dong?” [ Cute Candy ] : “Hahaha... boleh saja.” “Heh, apaan tuh ngomong begitu!” tegur Adip. Nana hanya nyengir kuda. “Siapa tahu lu bisa kenal sama bokap-nyokapnya juga.” “Jangan, bisa-bisa si Adip diusir gara-gara disangka maling.” kata Lino. Dia tidak bermaksud melucu, tapi Nana tetap saja tertawa. “Brengsek lu!” Adip mengomel. Sementara Adip dan Lino bertengkar, Nana berbicara lagi dengan Candy; tentu saja masih dengan berpura-pura menjadi Adip. [ Lemon Tea ] : “Thanks ya, sudah mengajak gua makan bareng. Sebenarnya sudah lama gua ingin ketemu lu.” “Woi Na, ngarang aja lu!” Adip menegur sekali lagi. “Udah ah, sini balikin keyboardnya!” Nana tertawa dengan wajah jahil sambil membiarkan Adip mengambil alih keyboard lagi. Adip pun berbicara sebentar dengan Candy sebelum akhirnya Candy log off. Adip mematikan komputernya, lalu menjatuhkan diri di ranjang dan membenamkan diri di atas bantalnya yang empuk. Dia bingung bercampur senang, meskipun sebenarnya lebih banyak takutnya. “Mampus gua, mampus gua, mampus gua…” gumam Adip. Tapi karena saat itu dia tengah menghadap bantal, yang terdengar adalah “mangngungungnungung…” “Daripada lu ngegerunyem nggak jelas, mendingan lu siap-siap Dip!” kata Nana. “Hari Sabtu kan dua hari lagi, lu harus persiapan dari sekarang.” Adip memandang Nana. “Persiapan apa ?”
“Pertama... kado. Dia ‘kan ulang tahun?” kata Nana. “Kita harus beli kado.” “Beli apa?” tanya Adip. “Mana sekarang gua lagi bokek gara-gara sering main ke warnet...” “Nanti gua pinjemin duit deh.” kata Nana. “Kedua … clothing. Lu harus pakai pakaian yang rapi, Dip.” kata Nana. “Gua nggak mau pakai jas!” kata Adip mewanti-wanti. “Jas? Ya nggak usah lah, pakai kemeja aja. Yang penting rapi dan modis.” kata Nana sambil membuka lemari Adip, lalu membongkar isinya. “Heh, seenaknya ngacak-acak lemari orang!” seru Adip. Pluk! Sewaktu Nana menarik setumpuk kaos, ‘sesuatu’ jatuh ke lantai, bergulir di dekat kaki Nana. Sebuah CD dengan judul “Tokyo Baby” dan bergambar foto seorang cewek dengan pose yang aduhai. Rupanya Adip menyimpan CD bokepnya di bawah tumpukkan pakaian. “Wah, Dip!” ujar Lino sambil tertawa keras. Rasanya sudah lama dia tidak tertawa selepas itu. “Jangan-jangan lu bokek gara-gara beli ‘itu’ ya?” “Ini ‘kan CD yang gua pinjem dari lu!” seru Adip sambil memungut CD tersebut, kemudian menyimpannya di dalam laci meja komputer. “Dasar cowok…” gumam Nana. Sebenarnya dia tak begitu mempedulikan hal-hal seperti itu. Baginya, tidak aneh kalau Adip menyembunyikan koleksi bokep. Ya… namanya juga lakilaki. “Eh Dip, nanti kalau lu ngobrol sama Candy, jangan nyebut-nyebut soal bokep, ya.” Nana mengingatkan. “Mana mungkin?!” tukas Adip. “Lalu, jangan ceritain masa lalu lu sebagai homo.” tambah Nana. “Heh!” bentak Adip. Nana memandang Adip dan Lino. “Dan jangan bilang kalau pasangan homo lu tinggal satu kost dengan lu.” kata Nana lagi. “HEH!!!” kali ini Adip dan Lino berseru bersamaan.
Nana tak menanggapi protes mereka, dia terus mencari pakaian yang pas untuk dipakai Adip nanti. Tapi kemudian dia duduk di lantai dengan kecewa. “Lu mau ketemu si Candy pakai kaos-kaos lama lu ini ?” tanyanya. Nana mengambil sebuah kaos hitam yang bergambar Kurt Cobain, tapi sudah agak luntur. “Ini Kurt Cobain atau Mr. Bean sih ?” “Biarin, yang penting enak dipakai!” kata Adip. “Ya sudahlah, mumpung masih ada waktu, besok kita beli kemeja.” kata Nana. “Sekalian kita beli kado juga.” “Aduh... males banged!” seru Adip. “Yakin nggak mau beli ?” tanya Nana, dia menunjukkan sepotong kaos Adip yang memiliki lubang tepat di bagian ketiak. “Apaan tuh Dip ? Ventilasi ?” Lino tertawa mengejek. “Cerobong asap!” timpal Adip kesal. Adip menghela nafas panjang. Setelah dipikir-pikir, Nana memang benar. Adip harus tampil agak rapi, setidaknya supaya tidak terlihat seperti preman. “Ya udah deh.” akhirnya Adip mengalah. “Nah, gitu dong!” Lino juga tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa setiap kali melihat Adip yang pasrah pada keputusan Nana. Tidak seperti biasanya, Adip nampak ciut di depan Nana. Saat itu Lino berusaha untuk tidak memikirkan perasaannya pada Candy. Hari Sabtu nanti adalah hari besar bagi Adip, dan tugas Lino adalah mendukungnya. Dengan demikian, Lino dapat memenuhi janjinya pada Adip dan kepada dirinya sendiri. “Ini pilihan yang gua ambil, Re – yang terbaik di antara yang buruk. Gua akan mendukung Adip.” gumam Lino dalam hati, seolah menjawab pertanyaan Rere tadi sore. “Gua memang menyukai Candy, tapi Adip adalah sahabat terbaik gua.” Lino meneguhkan hati. “Sepertinya gua akan merasa jauh lebih menyesal jika kehilangan Adip daripada kehilangan Candy.”
Bagian 15 - Sheila
Nana dan Denny berjalan sambil bergandengan tangan, sementara Adip dan Lino mengikuti di belakang mereka. Mereka melihat-lihat outlet di sepanjang jalan Cihampelas, sudah lima atau enam toko yang dikunjungi tapi belum satu potong pun kemeja yang dibeli Adip. Nana dan Denny nampak gembira, sementara Lino tidak bisa menahan senyum setiap kali dia melihat wajah Adip yang cemberut. Setidaknya ada dua hal yang membuat Adip kesal. Pertama, tanpa persetujuan Adip atau pemberitahuan sebelumnya, Nana mengajak Denny. Menurut Nana, selera berpakaian Denny bagus, dan Adip sebaiknya meminta saran dari Denny. Tapi menurut Adip… enggak banged! Tadi Denny menyarankan sepotong kemeja berwarna kuning cerah dan Nana memaksa Adip untuk mencobanya – ya, Adip nampak persis seperti bunga matahari. Lino, Nana, bahkan Denny yang memilihkannya pun, malah menertawakannya. Mengesalkan sekali. Kedua, sudah lebih dari tiga jam mereka berkeliling, tapi ujung-ujungnya malah Nana yang belanja. Nana sudah mengantongi rok pendek berwarna pastel, kaos berwarna hijau yang menurut Denny sangat cocok dipakai Nana, dan kini dia masih mencari jaket berbahan wool! Tapi situasi berputar ketika Nana, Denny, Lino, dan Denny masuk ke sebuah outlet dengan patung Tarzan raksasa di depannya. Sewaktu Nana meminta saran Denny tentang sederetan jaket yang sedang dipilihnya, tanpa sengaja mereka beradu tatap dengan seorang cewek kurus yang berambut coklat dan pendek. “Lho, Den ?” sapa cewek itu agak terkejut. Tapi kemudian dia menyadari Nana di samping Denny, cewek itu pun tersenyum. “Lagi menemani pacar lu ya ?” Denny mengangguk. “I, iya,” katanya. Wajahnya nampak agak kikuk. “Ngapain di sini, La ?” Cewek itu mengernyitkan kening. “Ya, beli baju lah. Masa gua beli bakso di outlet ?” Denny hanya tersenyum. “Oh ya, La, kenalin …” katanya sambil merangkul bahu Nana. “Ini Nana.” “Sheila.” cewek itu memperkenalkan diri pada Nana sambil mengulurkan tangan.
Deg! Jantung Nana berdegup kencang. Rupanya inilah Sheila, cewek yang tempo hari pernah menyebabkan hubungan Nana dan Denny retak. Wah, bisa-bisanya Nana bertemu cewek ini di sini! “Nana.” sahut Nana sambil menyambut uluran tangan Sheila. Nana berusaha untuk tidak bereaksi berlebihan. Dia hanya memperhatikan Sheila dari ujung rambutnya sampai kakinya. Dia tinggi, kurus, wajahnya cantik seperti Sheila Marcia, dan cukup modis. “Kalian sedang kencan nih?” tanya Sheila sambil memandang Denny dan Nana bergantian. Karena Nana diam saja, Denny yang angkat suara. “Ah nggak juga. Kami cuma hang out bersama teman sekost Nana.” Saat itu Nana tidak tahu harus memasang wajah seperti apa. Kalau boleh jujur, dia tidak bisa melupakan masalah yang disebabkan oleh Sheila dulu. Perasaan sebal masih menyisa dalam hatinya. Tapi Sheila bersikap sangat santai, seolah tidak pernah melakukan kesalahan. Dia malahan bersikap ramah, membuat Nana semakin bingung saja. Lalu Adip dan Lino menghampiri Nana. “Ada apa Na ?” “Ada teman Denny.” kata Nana. Nana pun ‘terpaksa’ memperkenalkan Adip dan Lino pada Sheila. “Ini Adip, yang itu Lino.” katanya. “Oh, hai! Gua Sheila.” kata Sheila. Nampaknya Adip dan Lino sudah melupakan nama Sheila. Sewaktu Nana bertengkar dengan Denny dulu, Nana memang hampir tidak pernah menyebut nama Sheila di depan keduanya. “Ermm, bagaimana kalau kalian, para cowok, jalan duluan ?” tanya Sheila. Dia memandang Nana sambil mengulum senyum. “Kebetulan nih sekarang gua ketemu Nana, kayaknya ada beberapa hal yang harus gua obrolin sama Nana.” katanya. Ah, inilah yang paling ditakuti Nana. Tapi rasanya tidak mungkin dia berkata tidak. Nana pun mengangguk. “Ya udah, gua nyari kemeja buat Adip dulu deh.” kata Denny. Lino dan Adip merasa heran. Ada apa sih ? Tetapi mereka menurut saja sewaktu Denny mengajak mereka menyingkir dari sana, meninggalkan Nana bersama Sheila.
“Na, tempo hari lu ribut sama Denny gara-gara gua ya ?” kata Sheila. Kata-katanya bagaikan peluru yang menembus dada Nana, tepat pada inti masalah. Nana mengangguk. “Lu masih benci gua gara-gara masalah telepon itu, Na ?” tanya Sheila. “Bukan begitu…” “Tenang aja Na, apapun yang pernah terjadi di antara gua dan Denny, gua nggak akan pernah merebut Denny dari lu.” kata Sheila. “Memang sih, dulu gua pernah suka sama Denny, tetapi perasaan gua nggak terbalas. Lalu gua suka sama orang lain, dan sejak saat itu Denny hilang dari hati gua. Tapi bagaimanapun, sampai sekarang kami tetap teman dekat.” Wuaaah, Nana kaget sekali. Kok bisa ya, Sheila mengatakan hal seperti itu dengan wajah tenang ?! Nana terpana. Rasanya dia tidak pernah bertemu cewek yang begitu blak-blakan seperti Sheila. “Ngomong-ngomong, lu baru pertama pacaran ya ?” tanya Sheila kemudian. “Memangnya kenapa ?” “Tipikal banget sih. Persis gua dulu.” ujar Sheila. “Dulu gua juga over-protective.” “Maksudnya, gua over-protective sama Denny ?” tanya Nana, suaranya agak merendah. Dia masih belum mengerti, ke mana Sheila akan membawa pembicaraan tersebut. Sheila menggeleng. “Hmm, kalau soal itu, lebih baik lu sendiri yang menilai.” katanya. “Tapi satu hal, Na… cowok nggak bisa kita miliki atau pertahankan dengan cara dikekang.” “Gua nggak mengekang Denny kok.” kata Nana membela diri. “Ya, mungkin lu nggak mengekang Denny. Tapi lu mengekang diri lu sendiri pada Denny.” “Memangnya salah ?” “Salah atau benar, itu hanya masalah sudut pandang ‘kan “ ujar Sheila. Dia berpikir sebentar, lalu menatap Nana lurus-lurus. “Dulu gua juga idealis, Na. Gua melakukan apa saja untuk pacar gua. Tetapi ternyata…” Sheila tidak melanjutkan kata-katanya, dia malah tertawa kecil.
“Ternyata apa ?” Sheila menggeleng. “Pokoknya, gua cuma ingin lu tahu, bahwa gua juga mengerti bagaimana rasanya dikhianati. Oleh karena itulah, gua nggak akan pernah berusaha merebut Denny dari lu.” katanya. Suaranya kembali terdengar serius. “Saat ini gua dan Denny memang berteman akrab, dan gua harap lu cukup dewasa untuk membedakan hal itu dari selingkuh.” “Gua selalu berusaha mempercayai Denny karena dia adalah cowok gua. Tetapi gua belum tahu apakah gua bisa mempercayai lu atau nggak. Oleh karena itu, gua minta tolong, lu jaga jarak dari Denny.” kata Nana tegas. Nana tidak pernah bicara setegas itu sebelumnya, dia bahkan tidak percaya bahwa dia telah mengatakannya. Tetapi Nana tahu bahwa dia memang harus mengatakannya. “Jaga jarak ?” Sheila tersenyum. “Di antara gua dan Denny ada batas yang disebut ‘teman’ dan kami tidak pernah dan tidak bermaksud melewati batas-batas itu. Jadi jarak apa lagi yang harus dijaga ?” “Ya... pokoknya saat ini gua nggak mau lu terlalu dekat sama Denny.” kata Nana jujur. “Gua ingin lu menjauh. Maaf ya, tapi gua memang belum bisa menerima kedekatan kalian.” Sheila menghela nafas, tapi wajahnya masih saja tersenyum. “Maaf ya Na, lu memang pacar Denny, tapi gua adalah orang yang bebas. Adalah hak gua untuk dekat dengan siapapun, dan menganggap siapapun sebagai teman. Kalau Denny yang menjauhi gua, ya udah. Gua nggak peduli.” “...” Nana membisu. “Apa yang mau gua tekankan pada lu sekarang, adalah bahwa gua nggak pernah merebut Denny dari lu. Ya, tapi kalau tiba-tiba Denny suka sama gua, itu lain cerita ya.” sahut Sheila lagi, suaranya masih saja terdengar santai meskipun kata-katanya tajam. “Kalau memang begitu, apa lu akan pacaran sama Denny ?” tanya Nana pelan. Sheila tidak segera menjawab, dia menatap Nana sambil tersenyum. “Tergantung mood gua.” katanya.
Nana tertegun. Cewek ini begitu percaya diri, Nana merasa tidak bisa mengunggulinya. Dia memang blak-blakan dan ucapannya tajam, tetapi entah mengapa ada daya tarik tersendiri dalam caranya berargumentasi. Memikirkan hal itu, Nana merasa semakin terancam. “Kita lihat saja nanti.” sahut Nana akhirnya. Sedikit banyak, Nana merasa kalah. “Kita lihat apakah lu bisa memegang kata-kata lu atau enggak.” “Okay.” kata Sheila. Dia menarik nafas panjang, kemudian melihat sekeliling. “Ya sudahlah, itu cowok-cowok sepertinya sudah nggak sabar menunggu lu.” Nana menoleh. Dia tahu, yang tidak sabar itu adalah Adip. Adip nampak bosan, dia seperti ingin pulang. Sepertinya dia sudah menemukan kemeja yang diinginkannya. “Ya udah, gua pergi dulu.” kata Nana. Sheila mengangguk. “Thanks atas waktunya ya, Na.” Nana mengiyakan. Dia pun segera menghampiri Denny, sementara Adip membayar kemeja yang dipilihnya bersama Lino. Denny hanya melambaikan tangan pada Sheila dari kejauhan, lalu mereka pun pergi. Nana belum memutuskan apakah dia akan melupakan kebenciannya pada Sheila, atau tidak. Tetapi entah kenapa, Nana merasa bisa mempercayai ucapan Sheila. Dia menggenggam tangan Denny lebih erat, dan entah mengapa, dia merasa seperti sedang memasuki arena pertandingan. Nana tidak akan meminta Denny untuk menjauhi Sheila. Bukan itu cara untuk mengalahkan Sheila. Nana akan menunjukkan bahwa Sheila tidak akan bisa mengalahkan cintanya pada Denny, dan meyakinkan Denny bahwa Nana tetap lebih pantas menjadi kekasih Denny. “Aku sayang kamu Den, melebihi siapapun di dunia ini.” gumam Nana. “Apaan sih tiba-tiba ngomong seperti itu ?” tanya Denny. Nana menggeleng. “Yah, pingin aja...” sahutnya sambil menyelipkan tangannya di antara lengan Denny. Denny mengelus rambut Nana. “Dasar manja.” Adip yang berjalan di belakang mereka merasa jijik mendengar pembicaraan itu. Kenapa sih mereka nggak memilih waktu saat berdua kalau mau membicarakan hal geli-geli seperti itu ?
Apa mereka lupa kalau di belakang mereka ada Adip dan Lino? Adip mendesis sebal sambil membuang muka, dan tanpa sengaja dilihatnya Lino sedang memperhatikannya dengan wajah serius. “Apa sih lu liat-liat ?” tanya Adip. “Aku sayang kamu Dip, melebihi siapapun di dunia ini.” sahut Lino, meniru ucapan Nana tentu saja tanpa meninggalkan tampang seriusnya yang malah terlihat konyol. Adip menyeringai. “YAIKS!”
Bagian 16 – Adip Panik!
Pukul setengah lima, Adip sudah tiba di Sunflower Cafe. Dia tak sendirian; selain ada Rere yang memang bekerja di sana, Nana dan Lino juga datang. Mereka duduk di meja terpisah, di tempat strategis untuk mengawasi Adip dari kejauhan. Semua persiapan pun sudah oke, tetapi Adip nampak tegang. Dia duduk dengan pose yang kaku, mirip boneka marionette yang lepas dari talinya. “Santai aja, Dip! Jangan tegang begitu!” tegur Nana, melihat ekspresi Adip yang kikuk. “Gua nggak siap, Na…” ujar Adip. “Gimana kalau dibatalin aja ya ?” “Udah terlambat buat ngebatalin janji, Dip. Sebentar lagi si Candy datang..” kata Lino. Saat itu jam menunjukkan pukul empat kurang lima menit. “Tapi gua sakit perut...” gumam Adip. Dirasakannya keringat dingin membasahi keningnya. “Di saat seperti ini ???” Adip berdiri, kemudian berjalan ke arah toilet. Saking tegangnya, dia menyenggol meja, dan hampir menabrak seorang waitress yang sedang membawa nampan. Detik berikutnya, Adip pun menghilang di balik pintu toilet pria. Nana dan Lino hanya bisa memandangnya sambil terbengong-bengong. Tiba-tiba Rere berlari ke arah mereka. “Candy datang!” katanya. “Lho, ke mana si Adip ?’ “Di toilet, sakit perut katanya.” kata Nana. “Dia terlalu tegang sampai-sampai sakit perut.” kata Lino menjelaskan. “Ya ampun...” tanya Rere lagi. “No, susul Adip ke toilet gih! Suruh dia ke sini!” kata Nana pada Lino. Lino segera mengiyakan. Dia pergi ke toilet, lalu menggedor-gedor pintu, membuat beberapa pegawai kafe memandangnya dengan heran. “Dip! Cepetan keluar, si Candy udah datang!”
“Nggak bisa, No…” terdengar suara Adip dari dalam toilet. “Tapi si Candy udah di depan, sebentar lagi masuk!” Adip tidak merespon. Lino putus asa, dia pun memberi kode pada Nana agar mendekat. Nana mengerti dan segera mendatangi Lino. Sementara itu Candy sudah masuk ke dalam kafe. Dia melemparkan pandangan ke seantero kafe, mencari Adip. Sebelumnya mereka sudah janjian; Adip akan memakai kemeja berlengan panjang sementara Candy akan mengenakan pakaian berwarna putih. Tapi di sana tak seorangpun yang mengenakan kemeja. “Menunggu teman, Mbak ?” tanya Rere, pura-pura tidak tahu. Dia berusaha mengulur waktu karena sepertinya Nana dan Lino belum berhasil membujuk Adip. “Iya.” kata Candy. “Tapi kelihatannya belum datang.” Rere pun mengantarkan Candy ke meja yang sudah dipesan. Dia menawarkan minuman, tapi Candy menolak. Sepertinya Candy bermaksud menunggu Adip. Rere minta diri, lalu dia pun kembali mendatangi Nana dan Lino di depan toilet pria. “Bagaimana si Adip ?” tanya Rere. “Negatif. Sekarang dia nggak bersuara sama sekali.” kata Nana. “Candy udah duduk ?” Rere mengiyakan. Lino kembali mengetuk pintu toilet, memanggil Adip. “Dip, si Candy udah duduk, nungguin lu!” Tapi Adip tetap tidak bersuara. Sementara itu, seorang pemuda yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari sana mendatangi Nana dan teman-temannya. “Mbak, ada apa sih di dalam ? Dari tadi saya mau ke toilet…” kata pemuda itu. “Maaf Mas, sedang ada perbaikan toilet.” kata Rere. “Perbaikan apa ?” “Erm... perbaikan ledeng.” jawab Rere. “Lho, perbaikan ledeng kenapa, Mbak ?”
“Ya ledengnya rusak, jadi harus diperbaiki. Kalau nggak rusak, kenapa harus diperbaiki ?” ujar Nana. Dasar aneh, ini orang kok nanya yang nggak penting sih, pikirnya. “Ada satu lagi toilet di belakang kok, lewat sini.” kata Rere kemudian, sambil menunjukkan arah menuju toilet di belakang – biasanya toilet itu digunakan oleh karyawan. Pemuda itu pergi mengikuti arah yang ditunjukkan Rere. Nana, Adip, dan Rere pun kembali berusaha membujuk Adip keluar. Untung saja dari tempat duduk Candy tidak dapat melihat ke arah mereka karena terhalang tanaman hias. “Udah hampir dua puluh menit nih...” ujar Lino sambil mengintip Candy dari celah-celah tanaman hias itu. “Kasihan si Candy bengong terus.” “Iya tuh. Dasar Adip cupu, nggak bernyali!” umpat Nana, suaranya keras sekali. Rere segera membungkamnya, kalau tidak, bisa-bisa Candy pun dapat mendengar suaranya. Tapi diteriaki bagaimana pun, Adip tetap tidak menyahut. Tidak lama, si pemuda ingin tahu muncul lagi. “Kok tukang ledengnya diteriakin sih Mbak ?” tanyanya. Mungkin dia mendengar Nana mengumpati Adip. “Tukang ledengnya ketiduran di dalem!” tukas Nana dengan nada galak. “Wah, kok jadi senewen sih, Mbak ? Saya ‘kan cuma bertanya.” kata pemuda itu. Dari nada suaranya, sepertinya dia memang sengaja membuat Nana kesal. “Cantik-cantik kok jutek...” ujarnya sambil berlalu. “Masih mending jutek! Daripada udah jelek, nyebelin lagi…” ujar Nana. Tetapi sepertinya pemuda itu tidak mendengarnya. “Udah Na, daripada mikirin orang ga jelas, mendingan kita pikirin si Adip.” kata Rere. “Percuma Re, kalau si Adip bilang nggak mau keluar, dipaksa pun dia nggak akan berubah pikiran.” kata Nana akhirnya. “Jadi gimana dong ? Masa si Candy dibiarin begitu aja ?” tanya Lino. Saat mereka tengah berpikir keras, tiba-tiba terdengar suara Adip dari balik pintu. “No…”
“Akhirnya lu ngomong juga, Dip!” seru Lino sambil mendekatkan wajah pada pintu agar dia bisa mendengar suara Adip lebih jelas. “Lu gantiin gua dong…” ujar Adip lirih. “Hah ?” “Lu pura-pura jadi gua gih, ajak ngobrol si Candy…” “Ngarang lu Dip!” sembur Lino. “Udah cepetan lu keluar!” “Nggak bisa, No, serius… Gua malu! Tolongin gua dong, lu gantiin gua…” Adip memohon. Nana pun mengangguk. “Iya No, betul juga!” “Betul apanya ?” “Lu deketin si Candy, pura-pura jadi si Adip.” kata Nana. “Mana bisa begitu ?” seru Lino. “No, prioritas kita sekarang adalah menyelamatkan hubungan Adip dan Candy. Kalau Adip nggak muncul, si Candy pasti kecewa sekali. Mungkin saja Candy merasa dipermainkan dan dia nggak mau berteman dengan Adip lagi!” kata Nana. “Tapi kalau lu pura-pura jadi si Adip, maka si Candy nggak akan merasa kecewa dan Adip pun nggak usah nunjukkin tampang omomnya. Semua senang dan masalah selesai.” “Nggak Na, masalah nggak akan selesai. Gimana kalau nanti si Candy pingin ketemuan lagi sama si Adip ?” tanya Lino. “Masa gua selamanya harus pura-pura jadi Adip ?” “Nanti ya nanti. Yang penting sekarang.” sahut Nana. Sekarang giliran Lino yang panik. Dia nggak berani berpura-pura menjadi Adip. Pertama, dia tak mengerti soal game, gawat kalau pembicaraan bergeser ke arah game. Kedua, Lino juga punya perasaan pada Candy. Dia takut perasaan itu terbaca oleh Candy. Tapi Lino juga tidak tega melihat Candy yang nampak semakin tidak bersemangat. Awalnya wajah Candy begitu berseri-seri, sepertinya dia memang sangat ingin bertemu Adip. Kini dia memandang ke luar jendela sambil berpangku tangan, ada sepi terpancar di matanya.
“Gimana No ?” tanya Nana. “Menurut gua, ini satu-satunya cara.” “Aduh, gimana ya…” Lino ragu-ragu. Dia memandang Rere, meminta pendapat. “Terserah lu, No. Tapi mungking Nana betul, cuma itu satu-satunya cara.” kata Rere. “Iya sih...” Seorang waiter memberi kode kepada Rere supaya membantunya membersihkan meja. Rere pun memandang Lino dan Nana dengan wajah pasrah. “Aduh, kayaknya gua harus ninggalin kalian deh.” “Nggak apa-apa, Na. Lagian kita juga nggak bisa apa-apa lagi.” kata Nana. “Gua juga mau duduk ah, malu dari tadi orang ngeliatin gua berdiri di depan toilet cowok.” “Jadi si Adip gimana dong ?” tanya Lino. “Kalau lu masih mau membujuk Adip, silahkan aja No. Tapi gua rasa sia-sia aja.” kata Nana. Lino terdiam. Ya, sepertinya memang tidak ada pilihan lain. Dia mengerti bahwa Adip tidak berani memperlihatkan diri di depan cewek yang disukainya, tapi di sisi lain dia pun tak ingin melihat Candy pulang dengan kecewa. Ya sudahlah, mungkin bukan saatnya mementingkan diri sendiri, pikir Lino. Jika dia memang harus berkorban, ya berkorbanlah! Jika dia memang harus berpura-pura menjadi Adip, ya terjadilah!
Bagian 17 - Sandiwara
Lino menghampiri Candy sambil tersenyum. “Hallo!” Dia bersikap sewajar mungkin agar Candy tidak curiga. “Candy ‘kan ?” Candy mengangguk. “Adip ?” “Iya.” kata Lino sambil duduk bersebrangan dengan Candy. Dilihat dari gelagatnya, sepertinya Candy sudah lupa pada Lino. Padahal dulu mereka pernah hampir bertabrakan di depan pintu warnet. Tapi saat itu kejadiannya memang sangat cepat, jadi memang mustahil Candy bisa mengingat wajah Lino. “Udah lama nunggu ?” tanya Lino. “Sori gua telat, tadi ban motor gua kempes.” Tentu saja dia berbohong. “Nggak apa-apa kok.” kata Candy sambil tersenyum. Aduhhhh, cantiknya! Jantung Lino berdetak tidak karuan saat melihat senyum merekah di wajah Candy. “Oh ya Candy, selamat ulang tahun, ya.” kata Lino sambil mengulurkan tangannya. “Makasih.” ujar Candy. “Kalau mau, panggil Esalia aja. Kalau dipanggil ‘Candy’ terus, gua jadi malu, nih. Kekanak-kanakkan sekali.” Lino baru tahu kalau nama asli Candy adalah Esalia. Tapi karena sudah terbiasa menyebut nama Candy, nama Esalia justru terdengar asing. “Gua suka nama Candy kok. Cocok banget sama lu.” kata Lino. Ucapan itu dilontarkannya sebagai cara sopan untuk menyatakan bahwa dia lebih suka memanggil Candy daripada Esalia. “Hah ? Cocok di mananya ?” tanya Candy. “Hmm… eh, itu loh, ng…” Lino agak gugup. “…ma, manis banget…” Candy tertawa. “Aduh, dibilang begitu, gua jadi semakin malu!”
Gawat, Candy nampak semakin cantik kalau tertawa. Wajah Lino terasa memanas. Sementara itu, dari tempat terpisah, Nana dapat melihat tingkah Lino yang malu-malu. Tapi dia mengira Lino sedang berakting! Sementara itu, dari kejauhan, Rere melihat bahwa situasi sudah cukup terkendali. Di tengah kesibukannya, dia berusaha bicara pada Adip lagi. “Dip, si Lino udah ngegantiin lu tuh.” kata Rere. “Lu keluar aja…” “Serius, Re ? Si Lino mau ngegantiin gua ?” tanya Adip dari balik pintu toilet. “Iyah.” kata Rere. “Keluar gih, banyak tamu yang nggak bisa pakai toilet.” Mendengar berita itu, akhirnya Adip pun keluar dari toilet. Dia nampak malu, dan Rere hanya bisa menghela nafas panjang. “Sori ya, Re, tadi gua betul-betul tegang …” kata Adip. Adip memang sudah tidak setegang tadi, hanya saja ada perasaan bersalah terpancar di wajahnya. “Ya udah lah, mau bagaimana lagi.” gumam Rere. “Lalu, bagaimana di sana ? Obrolan Lino nyambung sama Candy nggak ?” tanya Adip lagi. “Gua nggak tau, tapi kelihatannya lancar-lancar aja.” kata Rere. Adip mengintip Candy dan Lino dari celah-celah tanaman hias. Dia melihat keduanya sedang berbicara dan sepertinya memang tidak ada masalah. Adip agak terkejut melihat penampilan Candy saat itu – dia nampak dua kali lebih cantik dari biasanya. Adip bersyukur karena dia tidak perlu berhadapan dengan Candy. Sebab jika pada saat itu Adip berada di posisi Lino, dia pasti merasa sangat minder. Tapi ada sesuatu yang mengganjal mata Adip. Pembicaran Lino dan Candy memang terlihat lancar, tetapi kenapa wajah Lino bersemu merah, ya ? Rasanya Adip tak pernah melihat Lino seperti itu. Adip jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa sih yang mereka sedang bicarakan ? Apa Candy mengatakan sesuatu ? Adip juga menyadari ada yang aneh dengan tatapan Lino yang tertuju lurus pada Candy. Ada sesuatu yang natural, bukan dibuat-buat, penuh arti, dan tidak terbendung. Apakah itu hanya akting ? Atau jangan-jangan...
Adip tidak mau memikirkan apapun. Tetapi semakin dilupakan, malah semakin kepikiran. Semakin kepikiran, semakin penasaran. “Re, gua pinjam celemek dong!” kata Adip tiba-tiba. “Dan es teh manis!” “Untuk apa ?” “Pokoknya buruan, Re!” seru Adip. “I, iya...” Rere segera memberikan celemeknya, kemudian pergi memesan es teh manis. Sementara itu, di pojokan, Lino dan Candy masih asyik mengobrol. Setiap kali obrolan mulai mengarah pada game, dengan lihainya Lino mengalihkan pembicaraan. “Ngomong-ngomong, Candy, sebetulnya ada yang ingin gua tanyain,” kata Lino. “Apaan ?” “Kenapa sih tiba-tiba lu ngajakin Ad... eh maksudnya, ngajakin gua ketemuan ?” tanya Lino. “Lho, memangnya kenapa ? Lu nggak keberatan ‘kan ?” tanya Candy. Wajahnya agak cemas. “Nggak dong, sama sekali nggak!” Lino segera menggeleng. “Cuma ingin tahu aja. Gua...” Ucapan Lino terputus karena dia melihat Adip sedang berdiri tidak jauh dari mereka. Wuah… rupanya si Adip sudah berani muncul! Tapi bukan itu yang membuat Lino terkejut. Adip berdiri sambil membawa sebuah nampan dengan segelas es teh manis di atasnya. Dia mengenakan celemek, lengkap dengan kartu pegawai kafe yang kalau diperhatikan baik-baik bertuliskan nama Rere! Bukan hanya Lino yang kaget, Nana yang melihat Adip dari kejauhan pun kaget dibuatnya. “Apa apa ?” tanya Candy yang heran melihat perubahan ekspresi Lino. Dia menoleh, mengikuti arah tatapan Lino. Begitu Candy melihat ke arahnya, Adip segera menghampiri meja Candy dan Lino, kemudian menyuguhkan es teh di nampannya pada Candy. “Silahkan Mbak...” katanya. “Lho, saya belum pesan minuman, Mas.” kata Candy kemudian.
“Ini penghargaan dari kafe untuk Mbak, sebagai pengunjung ke 99999.” ujar Adip, tentu saja dia cuma mengarang. “Oh…” kata Candy. “Terima kasih ya, Mas.” “Sama-sama, Mbak...” kata Adip. Tapi Adip tidak segera beranjak, malah mematung di dekat Lino dan Candy. “Ada apa lagi, Mas?” tanya Candy bingung. “Oh ini... eh... mau pesan makanan sekarang ?” tanya Adip sambil memberikan daftar menu. “Hmm, saya lihat-lihat dulu menunya ya ?” kata Candy. “Boleh. Silahkan...” kata Adip. Akhirnya Adip pun terpaksa pergi. Lino masih bingung, kenapa Adip berpura-pura menjadi pelayan. Dia juga tidak habis pikir kenapa tiba-tiba Adip saja berani berhadapan dengan Candy. Lino tidak tahu, sudah sejak tadi Adip seliweran di dekat mejanya untuk menguping pembicaraannya dengan Candy. “Tadi kita ngobrol sampai mana sih ?” tanya Candy. “Hmm... soal ketemuan sama gua.” kata Lino mengingatkan. “Oh iya!” Candy mengangguk. “Sebenarnya Dip, udah lama gua pingin ketemu sama temanteman yang gua kenal lewat game online. Menurut gua, mereka adalah teman-teman terbaik gua, soalnya gua ngerasa lebih sreg saat ngobrol sama mereka.” sahut Candy kemudian. “Karena kebetulan hari ini gua ulang tahun, jadi gua ajak lu ketemuan saja.” “Memangnya lu nggak senang bergaul dengan orang-orang yang nggak main game online ?” tanya Lino. “Bukan begitu, Dip...” Lagi-lagi pembicaraan terputus karena Nana melewati mereka dan menumpahkan sebotol air mineral ke lantai. Tutup botolnya terbuka dan air pun tumpah ke mana-mana. Adip segera datang menghampiri sambil membawa kain lap. “Silahkan pembicaraannya dilanjutkan, lantainya biar saya yang lap.” kata Adip.
Lino tahu kalau kejadian itu disengaja, sudah pasti Nana dan Adip bersekongkol, meskipun Lino tidak tahu untuk apa. “Ehm, maksudnya Dip,” Candy melanjutkan pembicaraannya. “Kebanyakan teman gua di kampus nggak mengerti kesenangan gua main game. Mereka lebih suka main ke mall, dugem, ke salon... yah, sebenarnya gua merasa kurang betah pergi ke tempat-tempat seperti itu. Gua lebih suka main di warnet.” Bukkk! Untuk ketiga kalinya pembicaraan Lino dan Candy terputus. Mereka dikejutkan oleh suara seseorang yang jatuh – ternyata Adip. Adip ingin mendengar pembicaraan lebih jelas, jadi dia mendekat sambil pura-pura mengepel. Tetapi dia malah menginjak genangan air dan terpeleset, dia jatuh dengan menimbulkan suara sangat keras. “Nggak apa-apa, Mas ?” tanya Candy pada Adip yang jatuh tesungkur di dekatnya. “Nggak apa-apa kok, lanjutkan saja pembicaraannya, Mbak!” ujar Adip sambil tertawa malu. Sebenarnya pantatnya sakit sekali, nyut...nyut...nyut... Candy kembali memandang Lino. Dia tersenyum, “Kasian banget si Mas.” bisiknya. Lino cuma nyengir menanggapinya. Setelah selesai mengepel, Adip masih saja seliweran di sekitar sana. Dia menyapu lantai, lalu membersihkan piring-piring kotor di meja sebelah. Sementara itu, Candy dan Lino meneruskan pembicaraan. “Eh Dip...” kata Candy. “Padahal kita baru kenal satu bulan ya ? Tapi rasanya seru banget ngobrol sama lu. Gua sangat bersyukur punya teman seperti lu.” katanya sambil tersenyum. “Gua juga kok.” kata Lino kemudian. “Gua merasa sangat bersyukur, gua mendapatkan kesempatan untuk ngobrol di sini dengan lu.” Ucapan Lino seolah menembus dada Adip. Adip begitu terkejut sehingga tanpa sengaja dia menjatuhkan kemocengnya. Adip tahu, dia bisa merasakannya, ucapan Lino bukanlah akting, tapi keluar begitu saja dari dalam hati Lino. Saat itulah Adip benar-benar yakin bahwa Lino pun menyukai Candy... Adip merasa bodoh sekali. Sesaat dia tidak tahu harus merasakan apa. Marah ? Kenapa dia harus marah ? Sejak awal Adip tidak pernah berharap bisa berpacaran dengan Candy, lalu apa salah Lino jika dia juga jatuh cinta pada Candy ? Sejak tadi Adip merasa ada sesuatu yang
disembunyikan Lino darinya, tapi setelah tahu jawabannya, justru Adip merasa kasihan pada Lino. Bagaimana rasanya berpura-pura menjadi orang lain di depan orang yang kita sukai ? Cukup, sudah terlalu banyak keegoisan Adip. Dia sadar, kekonyolan ini harus dihentikan. Adip tidak akan menguping lagi. Biarlah Lino dan Candy terus mengobrol, Adip tidak akan menganggu mereka. Dia juga akan menerima segala konsekuensinya – termasuk apa yang terjadi di antara Lino dan Candy seterusnya. Adip hanya ingin menjadi sahabat Candy lewat game, dia puas dengan itu. Tapi lamunan Adip buyar ketika seseorang menyapa Lino dan Candy dengan suara keras, “Hi guys! Wah, kalian lagi kencan, nih ?” YANU!
Bagian 18 –Buka Kartu
Lino, Adip, juga Nana dan Rere yang berada agak jauh dari tempat Lino dan Candy duduk, langsung melotot ketika melihat Yanu mendekati Lino dan Candy sambil tersenyum lebar. Ya ampun, kenapa si Yanu bisa muncul di sini ? “Lho, Yanuar ?” ujar Candy. Dia juga mengenal Yanu, tapi dia agak terkejut melihat Yanu yang bersikap sangat akrab pada orang yang disangkanya Adip. “Kalian saling kenal ?” “Me ? Dan Lino ? Of course lah, kita kan sejurusan.” kata Yanu. “Lino ?” gumam Candy heran. Dan yang paling parah terjadi ketika Yanu menyadari bahwa waiter yang sedang mematung meja sebelah tidak lain adalah Adip. “Lho Adip ? Lagi ngapain ? Lu kerja sambilan di sini ?” tanya Yanu sambil menatap Adip. “Adip ?” Candy menoleh, menatap si mas pelayan kafe yang dipanggil ‘Adip’ oleh Yanu. Dia heran, mengapa teman yang duduk di hadapannya dipanggil Lino sedangkan si pelayan yang sejak tadi seliweran di sekitar sana justru dipanggil Adip ? “Lho, what’s wrong sih ? Kok kalian malah bengong-bengong begitu ?” tanya Yanu dengan wajah heran. Celaka… celaka… celaka… habislah sudah. Yanu telah merusak segalanya. Adip terpaku, sedangkan Lino memejamkan mata sambil mengusapkan telapak tangan di wajahnya. Candy memandang Yanu, Lino, dan Adip secara bergantian. “Sebetulnya lu Adip atau Lino ?” tanya Candy pada Lino, wajahnya nampak serius. Lino tidak bisa menjawab. Dia membisu, oleh karena itu Yanu yang angkat suara. “Lho, he’s Lino lah. Kalau Adip sih yang itu.” Sebelum Yanu bicara lebih banyak, Nana segera menghampiri Yanu. “Yan, sini deh…” kata Nana sambil menarik lengan Yanu dan membawanya menjauh dari sana.
“Wah, Nana juga di sini ?” tanya Yanu sambil berjalan pergi mengikuti Nana. Sementara itu Adip, Lino, dan Candy masih saja membisu, tak ada seorangpun di antara mereka yang bergerak. Candy diam saja, seolah menunggu penjelasan. Tapi Lino pun tidak tahu harus bicara apa. Sedangkan Adip sudah mati angin – dia hanya bisa menunduk dengan kedua belah bibir terkatup rapat. “Sebetulnya ada apa sih ?” tanya Candy akhirnya. Baik Lino maupun Adip tetap tidak bisa menjawab. Candy pun menatap Lino lurus-lurus. “Jujur deh, lu sebenarnya siapa ? Lu bukan Adip ‘kan ?” “Bukan.” kata Lino. “Jadi ?” Lino menarik nafas panjang. “Nama gua Lino.” Candy mengernyitkan kening, sejuta tanda tanya membayang di matanya. “Teman lu, Adip, adalah dia.” kata Lino sambil menunjuk Adip. “Gua adalah teman sekostan Adip.” Lino menjelaskan. “Lu Adip ?” tanya Candy pada Adip. Adip mengangguk lemah. Candy menghela nafas. “Kenapa kalian membohongi gua ?” tanyanya. “Maaf…” ujar Adip lirih. Tapi dia tidak bisa mengucapkan apapun lagi. Bibirnya bagaikan tersegel, meskipun dia ingin menjelaskan, tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Candy mendesah. “Gua nggak ngerti kenapa kalian berbuat seperti ini.” kata Candy, suaranya lirih. Dia nampak sedih sekali, jelas kalau dia merasa dipermainkan. Gawat, pikir Lino. Kalau begini caranya, Adip akan benar-benar dibenci Candy. Melihat ketidakberdayaan Adip, Lino merasa harus mengatakan sesuatu.
“Candy....” akhirnya Lino angkat suara. “Baik gua, ataupun Lino, tidak pernah bermaksud mempermainkan lu. Semua ini terjadi karena Adip khawatir bahwa lu akan ilfil kalau melihat tampang dia.” “Apa ?” Jantung Adip berdegup kencang tak karuan, dia tidak berani menatap Candy ataupun Lino. Dia ingin berubah menjadi cacing yang bisa melesak masuk ke dalam tanah, atau menjadi invisible man, atau apapun yang dapat membuatnya pergi dari situasi itu. Tapi apa boleh buat, Adip hanyalah seorang pemuda biasa yang sedang bingung. “Candy, lu adalah cewek yang cantik. Mungkin lu nggak akan pernah mengerti bagaimana rasanya khawatir tidak disukai seseorang karena tampang.” kata Lino. “Apalagi selama ini si Adip memandam perasaan pada lu. Tetapi dia tidak berani mendekati lu. Hanya lewat game saja dia berani mengajak lu bicara. Karena lewat game, lu nggak akan melihat bagaimanakah tampangnya.” Candy terdiam, tapi dia mengerti. “Jadi, saat gua mengajak Adip ketemuan, sebenarnya Adip merasa keberatan sehingga akhirnya lu berpura-pura menjadi Adip ?” tanyanya. “Mana mungkin ada cowok yang keberatan jika diajak ketemuan oleh cewek yang dia suka?” Lino balik bertanya. Dia menggeleng. “Adip tidak keberatan. Dia hanya takut kalau lu akan ilfil melihat dia. Dia takut lu nggak mau berteman dengan dia lagi.” Candy terkejut, dia nyaris tak mempercayai telinganya sendiri. “Kenapa nggak sejak awal lu mengatakan hal yang sebenarnya ?” tanya Candy. “Apakah menurut kalian, gua ini tipe orang yang melihat segala sesuatunya dari tampang ?” “Maaf...” gumam Lino dan Adip nyaris bersamaan. Candy menarik nafas panjang lagi, seolah menenangkan diri. Tapi kemudian dia pun menoleh pada Adip, “Gua pikir lu adalah orang yang baik, Dip...” katanya. Adip semakin menundukkan wajah. Apakah Candy akan mengatatakan ‘ternyata lu seorang pembohong’ ? Adip takut sekali. Dia tak berani melihat Candy. Dia tak ingin dibenci Candy, tapi dia juga tidak tahu apa lagi yang bisa menyelamatkan dirinya dari amarah Candy.
Tetapi kemudian Candy menyunggingkan sebuah senyum. “Ternyata, lu adalah orang yang baik dan pemalu.” “Eh ?” Kali ini Adip memberanikan diri untuk menatap Candy. Dan Candy sedang tersenyum manis, tertuju lurus padanya. “Gua nggak melihat sesuatu yang bikin ilfil di wajah lu, Dip.” sahut Candy sambil berdiri, kemudian menghampiri Adip. “Jangan malu, lu akan kelihatan jauh lebih gagah kalau menegakkan kepala.” Adip memandang Candy dengan tatapan tidak percaya. Apakah ini berarti Candy memaafkan kebodohannya ? “Ya, mungkin kalau lu nggak memakai celemek dan nggak bawa-bawa kemoceng, mungkin akan kelihatan lebih gagah lagi.” ujar Candy. Lino pun tertawa. Penampilan Adip memang agak konyol, tapi ya... sudahlah, yang penting Candy tidak marah. Candy adalah gadis yang cantik, juga sangat pengertian. Adip memang tidak salah pilih orang. Mungkin saja Candy akan memberikan kesempatan bagi Adip untuk membuktikan diri dan Lino tidak akan ikut campur lagi. Biarlah, dia merasa lega. “Ya sudah, gua tinggalin lu berdua ya.” kata Lino. Dia menatap Candy, “Maaf ya, soal tadi.” Candy mengangguk. Lino pun berpaling. “Lino,” tapi kemudian Candy memanggil Lino. Lino kembali menoleh padanya. “Makasih...” “Untuk apa?” “Lu udah nemenin gua selama satu jam tadi.” kata Candy. “Meskipun cuma sandiwara, tapi gua juga senang bisa ngobrol dengan lu.” Lino tersenyum. Dia mengangguk, kemudian melangkah pergi. Sayang sekali Candy tidak tahu, bahwa obrolannya dengan Candy tadi tak sepenuhnya sandiwara. Tapi sudahlah, Candy tidak perlu tahu. Cinta di balik layar tidak perlu diungkapkan, lagipula sekarang semuanya sudah berakhir – dan Lino sama sekali tidak menyesalinya. Seperti tekadnya, dia tidak akan pernah maju jika Adip tidak mundur. Dan pada kenyataannya, meskipun plin-plan dan butuh waktu lama, akhirnya Adip maju. Kini Lino menemukan jawaban atas kegundahannya, dia
akan selalu mendukung kebahagiaan Adip dan Candy, karena mereka berdua adalah orang yang penting baginya. Lino berjalan ke luar kafe, dirasakannya angin berhembus menerpa wajahnya. Biarlah waktu mengikis cintanya, suatu saat, Lino akan menyongsong cinta yang baru.
Bagian 19 – Malam pun Datang
“Bagaimana Dip? Senang nggak seudah bertemu dengan Candy?” tanya Nana malam itu. Saat itu dia bersama Rere dan Lino berkumpul di kamar Adip, membicarakan kejadian tadi siang. “Senang sih... Tapi kalau diingat-ingat, memalukan banget.” ujar Adip. “Lu sendiri yang cari masalah!” kata Nana. “Lalu selanjutnya mau bagaimana, Dip? Kapan lu mau pergi dengan Candy lagi?” tanya Rere kemudian. “Mungkin sebulan lagi. Ke pesta pernikahan kakaknya.” jawab Adip. “Hah ? Pernikahan?” Lino kaget sekali. “Candy mau menikah?” “Kakaknya!” “Candy mau nikah sama kakaknya ?” Lino semakin kaget saja. “Kakaknya yang mau nikah, goblok!” “Ooh, kakaknya... ngomong dong!” “Tapi juga gua ngomong ‘kakaknya’! Kuping atau pangsit tuh ?” tukas Adip. “Asseroris.” jawab Lino bernada polos. Rere dan Nana tertawa, sedangkan Adip menghela nafas panjang.
“Kalau Candy mengajak lu pergi ke pernikahan kakaknya, berarti Rere sudah menganggap lu lebih dari sekedar teman biasa.” kata Rere. “Betul juga.” kata Nana. Lalu dia memandang Adip. “Sebetulnya Candy tahu nggak sih kalau lu suka dia ?” “Kayaknya sih tahu...” “Lalu ? Dia ngomong sesuatu soal itu ?” tanya Nana. “Nggak.” Adip menggeleng. “Dia nggak komentar apapun.” “Kalau begitu, sebaiknya lu segera mengungkapkan perasaan lu pada Candy sebelum pesta pernikahan kakaknya.” ujar Rere kemudian. “Jadi, sewaktu lu datang ke pesta itu, status lu sudah jelas; teman atau pacar.” Adip menggeleng. “Pacar? Mustahil lah... Mana mungkin dia mau pacaran sama gua?” Dia menghela nafas panjang. “Candy hanya menganggap gua sebagai sahabatnya. Nggak lebih.” “Lhooo, kok ???” “Jangan pesimis begitu, Dip.” kata Rere. “Siapa tahu dia menyukai sesuatu dari lu. Sesuatu yang nggak lu pikirkan.” “Maksudnya?” “Ya, mungkin dia senang sifat lu yang enak diajak ngobrol, atau kepribadian lu yang unik...” kata Rere. “Atau mungkin, dia suka jidat lu yang lebar.” “Kurang ajar!” Adip memelototi Rere. Rere hanya tertawa sambil meminta maaf. “Sudahlah, pokoknya jangan sebut-sebut lagi soal menyatakan cinta. Gua nggak mau mengambil resiko.” “Takut ditolak ya?” kata Nana. “Huh, Adip pengecut ah!” “Bukan takut ditolak.” sergah Adip. “Gua takut, nanti hubungan kami jadi janggal. Misalkan dia hanya menganggap gua sahabat, tapi gua malah meminta dia menjadi pacar pacar gua, gua takut dia malah menjaga jarak dari gua.”
“Nah, kalau keadaannya kebalik, bagaimana? Kalau ternyata Candy suka sama lu, tetapi lu nggak pernah mengungkapkan perasaan lu pada dia, kasihan Candy ‘kan? Lagipula, apakah suatu saat lu nggak akan menyesal ?” Adip terdiam, memikirkan kata-kata Rere. Kemudian dia mengangguk. “Betul juga sih, Re...” katanya. “...tapi sudahlah, gua nggak mau berharap yang muluk-muluk, Re. Gua sudah cukup puas bisa menjadi sahabat Candy.” “Yah Adip... mengecewakan!” desis Nana. “Pengecut! Banci! Bukan laki-laki!” “Heh!” Adip memelototi Nana. “Habisnya... gua kesal melihat lu begini, Dip!” kata Nana. “Seharusnya lu belajar dari Denny. Meskipun baru mengenal gua sebentar, tapi karena punya nyali, dia berani menyatakan cinta sama gua.” “Dia itu bukannya punya nyali, tapi playboy cap kabel, alias cowok gatel!” kata Adip. “Heh!” kini giliran Nana yang memelototi Adip. “Apa?!” tanya Adip dengan nada tinggi. “Oi, oi, kenapa sih kalian selalu aja ribut untuk hal-hal nggak penting ?” tegur Rere. “Kita ‘kan sedang membahas Adip, bukan Denny.” “Habisnya, Adip cari masalah aja!” desis Nana. Dia menatap Adip sambil mencibir kesal. “Sudah gua bilang, belajar dong dari Denny – kalau jadi cowok harus sopan, bersahaja, itu tandanya otaknya berisi!” “Berisi apa ? Bokep ?” “Itu mah lu!” seru Nana. “Otak gua isinya game! Justru cowok yang kelihatannya baik-baik seperti Denny tuh yang doyan bokep! Lu aja yang nggak tahu, Denny juga pasti suka *piiiippp* (sensor), dan kalau lu nggak lihat, dia pasti *piiiippp* sambil *piiiipppp*!” “Memangnya lu nggak pernah *piiippp* ? Gua juga tahu kok si Lino suka minjemin lu untuk *piiippppp*!” Nana tidak mau kalah.
“Udah! Udah! Jangan pap-pip-pap-pip nggak jelas!” Rere menengahi. Lino hanya tertawa saja melihat Nana dan Adip yang lagi-lagi terjebak dalam pertengkaran. Sudah lama rasanya dia tidak merasakan situasi seperti itu. Setelah beberapa saat, akhirnya Nana dan Adip tenang juga. Rere pun kembali melanjutkan pembicaraan. Di tengah obrolan mereka, tiba-tiba handphone Nana berdering. Nana segera menjawabnya. “Hallo ?” “Hei Na, Bram nih!” terdengar suara dari seberang sana. “Oi Bram!” Rupanya si Bram, teman Nana dan yang lainnya. Dulu dia pernah mengajak Nana menyanyi dengan bandnya di kafe. Berkat Bram, Nana bisa bertemu dengan Denny. “Na, lu mau ikut audisi nyanyi nggak ?” tanya Bram. “Audisi ?” “Iya. Gua baru baca iklannya nih, ada audisi di Radio El Loco. Tapi pendaftarannya ditutup malam ini.” kata Bram. “Wah, gua pingin sih...” ujar Nana. “Masih sempat daftar nggak ya ?” “Kalau lu mau, ntar gua daftarin! Bisa lewat internet kok.” kata Bram. “Mau deh, mau!” “Sip! Ntar gua kabarin lagi ya.” kata Bram. “Makasih ya Bram!” Nana menutup telepon dengan wajah berseri. Dia segera menceritakan pada teman-temannya apa yang Bram katakan tadi. “Wah, keren juga Na! Kesempatan bagus tuh!” kata Lino. Nana mengiyakan. “Gua ke atas dulu ya, mau nelpon Denny!” ujar Nana sambil berdiri, lalu pergi meninggalkan Rere dan Lino di kamar Adip. Dia berlari menaiki tangga, tak lama terdengar suara pintu kamarnya ditutup.
“Huh! Denny lagi, Denny lagi... “ desis Adip. “Daging ayam-ditusuk-dibakar-dikasi kecap – cate deh...” Rere tertawa. “Sampai sekarang lu masih aja nggak bisa nerima si Denny.” katanya. “Gua sampai berpikir lu sebetulnya suka si Nana dan cemburu sama Denny.” “Gua ? Sama Nana ?” Adip melotot. “Mendingan gua homoan sama si Lino daripada pacaran sama si Nana.” “Nggak mau ah! Gua sih mendingan pacaran sama Nana daripada homo sama lu.” kata Lino, wajahnya sangat serius. Adip melotot padanya, tetapi Lino segera mengambil bantal untuk melindungi tubuhnya dan memasang ekspresi ketakuatan sambil mendesah dengan suara yang dibuat-buat. “Jangan Dip, jangan paksa gua lagi! Gua udah bertobat, Dip! Jangan...!” “Hahaha... kalian memang gila ya!” ujar Rere, tidak tahan melihat tingkah Lino yang konyol.
Bagian 20 – Bergulir Cepat
Denny baru saja keluar dari kamar mandi ketika handphonenya berdering nyaring. Dia segera mengambil handphonenya dan menjawabnya. “Hallo ayankkk...” terdengar suara manja Nana dari telepon. “Hallo Nana...” sahut Denny sambil menahan handphone dengan bahunya, lalu mengambil sisir dan mulai merapikan rambutnya yang basah. “Den, aku punya kabar bagus loh...” kata Nana. “Wah, apaan tuh ?” “Kamu inget nggak, apa yang pertama kali kamu omongin waktu kita ketemu ?” tanya Nana. Denny berpikir. “Kalau nggak salah sih, aku bilang kalau suara kamu tuh bagus banget.” “Bukan yang itu... maksud aku, setelah yang itu...” kata Nana. “Hmm... apa ya...” “Ah Denny, masa nggak ingat sih ?” tanya Nana dengan nada merajuk. “Aku aja masih inget sampai ke titik-koma-nya...” “Aduh, maaf yank, aku lupa...” ujar Denny. “Yah, Denny gitu deh...” Nana agak kecewa. “Maaf deh, soalnya waktu itu Nana cantik banget, jadi lupa segalanya.” kilah Denny. Nana tertawa mendengar alasan Denny. “Begini loh Den, ini soal audisi. Waktu itu kamu nyaranin aku ikut audisi nyanyi ‘kan ? Yang kamu bilang bakal mendukung aku ?” “Oh iya... memang kenapa ?” “Nah, aku mau ikut audisi nih! Si Bram yang ngajakin.” sahut Nana dengan suara penuh semangat. “Penyelenggara audisinya Radio El Loco loh!”
“Wah, serius ?” “Iya. Tadi Bram baru aja sms, katanya seleksi awalnya besok lusa. Kamu mau nganterin aku, nggak Den ?” tanya Nana. “Iya dong, pasti Denny antar kok. Nanti Denny cuci mobil dulu ya biar bersih waktu jemput Nana.” kata Denny membesarkan hati Nana. “Hehehe...” Nana tertawa kecil. “Iih, kok ketawanya genit sih...” ujar Denny sambil tertawa geli. Nana tertawa semakin keras. “Ngomong-ngomong, sekarang Denny lagi ngapain nih ?” tanya Nana kemudian. “Aku baru aja mandi.” “Jam segini baru mandi ? Ntar sakit loh!” ujar Nana. “Tadi aku ngerjain tugas, baru aja selesai.” “Tugas ? Sama Sheila ?” tanya Nana, suaranya agak merendah. “Nggak sama Sheila kok, kali ini tugas individual. Masa tugas kelompok melulu ?” sahut Denny santai. “Kenapa ? Kamu cemburu ya...?” “Iih, kata siapa aku cemburu ? Nana nggak cemburu kok. Cuma pingin tahu aja kok.” sahut Nana. “Oh ya, kue coklat aku udah abis belum ?” Denny memandang sebungkus kue coklat yang tergeletak di mejanya. Sudah dua hari kue itu menganggur di meja, dia belum juga menghabiskannya. Kue coklat itu setengah hangus, jadi rasanya agak pahit. “Udah kok, udah habis.” kata Denny berbohong. Dia mengambil bungkusan kue coklat itu, lalu melemparkannya ke dalam tempat sampah. “Wah, Denny suka ya ? Enak nggak ?” tanya Nana. “Enak kok, apalagi yang ada rasa kopinya.”
“Oh itu... padahal itu kecelakaan loh, aku salah ambil toples... waktu mau menaburkan cocoa, Nana malah mengambil toples kopi.” kata Nana sambil tertawa malu. “Kalau Denny suka, ntar aku buatin lagi deh.” “Ah, nanti bikin Nana repot dong. Nggak usah Na, mending kamu latihan nyanyi aja.” sahut Denny. Kalau jujur, dia tidak mau makan kue coklat yang rasanya pahit karena hangus dan ada rasa kopi tubruk. “Nggak kok, justru aku jadi lebih bersemangat. Apalagi kalau bikin kue untuk Denny.” kata Nana. “Ntar Nana bikinin yang banyak, ya.” “Iya deh...” Denny tak tega menolak keinginan Nana, apalagi sampai bilang kalau kue buatan ‘sama sekali tidak enak’. Nana masih mengobrol beberapa lama dengan Denny sampai akhirnya dia merasa mengantuk dan memutuskan untuk tidur. Setelah mengucapkan selamat malam, Nana pun mengakhiri pembicaraan. Dia membuka jendela kamar yang menghadap ke gerasi, tepat di atas kadang Agal. Dia hendak mengucapkan selamat tidur pada anjing kesayangannya itu, tapi Agal sudah tidur sejak. Nana pun menutup kembali jendelanya dan membaringkan tubuhnya di ranjang. Malam itu Nana belum sadar, bahwa roda kehidupannya bergulir semakin cepat...
Bagian 21 - Masalah
“Mau ke mana Den ?” tanya Sheila ketika berpapasan dengan Denny di halaman kost. Denny baru saja hendak mengeluarkan mobilnya. “Nana mau ikut audisi nyanyi di Radio El Loco, dia minta diantar.” jawab Denny. “Oh iya... cewek lu penyanyi, ya ?” sahut Sheila. Dia ingat, Denny pernah bercerita kalau Nana pernah beberapa kali menyanyi di kafe. “Bilang good luck ya!” “Oke.” kata Denny, meskipun dia tahu bahwa Nana tidak akan merasa senang mendengar good luck dari Sheila. Sheila melenggang masuk ke dalam kost, sementara Denny pun masuk ke dalam mobil. Tapi saat hendak menyalakan mesin, dia merasakan handphonenya bergetar. Hmm, mungkin Nana, pikir Denny sambil merogoh kantongnya. Tapi ternyata nomor tidak dikenal. “Hallo ?” Tidak ada jawaban, hanya bunyi gresek-gresek yang terdengar. “Hallo, ini siapa, ya ?” “Hallo, Den...” Terdengar suara seorang gadis, perlahan dan agak serak, tetapi cukup jelas. Jantung Denny langsung berdegup keras. Bukan suara Nana, bukan suara kakak perempuannya, bukan pula teman-teman kampusnya. Tapi suara itu tidak asing di telinga Denny. “Kristin?!” tanya Denny setengah tidak percaya. “Den, tolong gua...” “Loh Tin, ada apa ? Kenapa lu ?” “Tolong Den... Gua udah nggak tahan lagi...” ......
“Hehhh ? Kamu nggak bisa jemput aku sekarang ?” tanya Nana terkejut. Seketika, bibirnya langsung merenggut. “Kenapa Den ?” “Sori banget Na, ada teman aku yang sakit parah. Aku harus antar dia ke rumah sakit.” kata Denny. “Nanti setelah itu, aku cepat-cepat jemput kamu, ya.” “Tapi aku harus pergi sekarang, Den! Kalau nanti pasti terlambat!” ujar Nana. “Aduh, bagaimana ya...” kata Denny dengan cemas. “Apa kamu nggak bisa pergi sendiri ? Atau sama teman di kost kamu ?” “Tapi aku pingin pergi sama kamu, Den...” ujar Nana. “Maaf ya Na...” sahut Denny lagi. “Ini benar-benar gawat darurat...” “Kok kamu mementingkan teman kamu daripada aku, Den ?” “Bukan gitu, Na. Denny ‘kan bukannya mau main sama teman, tapi mengantarkan orang ke rumah sakit. Ini soal nyawa, Na.” Nana masih belum terima, tapi dia juga tidak bisa melawan kata-kata Denny. Akhirnya hanya keluhan yang keluar dari mulutnya. “Yah...” “Na, tolong dong, sekali aja... Ya ?” Nana menghela nafas panjang. “Ya udah deh, aku naik angkot sama Adip aja.” ujar Nana. “Memangnya siapa sih yang sakit ?” “Teman aku. Nanti aku ceritain deh, sekarang aku betul-betul harus pergi.” “Ya udah deh.” Denny pun menutup telepon. Nana menghela nafas sedih sekaligus kecewa. Sebenarnya dia masih punya sedikit waktu, tetapi tadinya dia berencana berlatih di depan Denny. Ya sudah, terpaksa dia meminta Adip untuk mengantarkannya. Lino sedang tidur siang, sedangkan Rere sudah pergi bekerja sejak tadi. “Dip, anterin aku ke audisi ya ?” kata Nana pada Adip yang saat itu sedang duduk di depan komputer, bermain game.
“Bukannya lu mau pergi sama Denny ?” tanya Adip. “Dia nggak bisa, mendadak dia harus mengantarkan orang ke rumah sakit.” sahut Nana. “Sejak kapan si Denny buka jasa ambulan ?” tanya Adip tanpa mengalihkan tatapannya dari layar monitor komputer. “Serius dong Dip, mau antar aku apa nggak ?” tanya Nana. “Iya, iya, sebentar! Minta tolong kok marah-marah...” Adip mengernyitkan kening. Tak lama, Adip pun mematikan komputer, kemudian mengambil celana panjang di balik pintu kamar. “Siapa yang sakit ?” “Nggak tau, katanya sih temannya.” jawab Nana. “Temannya atau selingkuhannya ?” “Dip, jangan mulai deh...” Nana memperingatkan. “Dasar sensitif! Gua ‘kan bercanda! Canda, tau nggak ?” ujar Adip. “Udah sana, tunggu aja di depan. Gua ganti baju dulu.” Nana menjulurkan lidah, kemudian dia pun menunggu di beranda. Sambil menunggu Adip, dia bermain-main sebentar dengan Agal. Tetapi Nana tidak berhasil mengusir rasa sebalnya, Agal pun nampak heran karena wajah Nana terlihat begitu mendung. “Permisi, Dik...” Nana kaget sekali. Dia terlalu larut dalam kekecewaannya sehingga tak mendengar seseorang menghampirinya. Yang menyapanya adalah seorang seorang wanita, usianya mungkin sekitar empat puluh tahunan. “Ya ?” “Renata ada ?” tanya wanita itu. “Rere udah pergi kerja sejak tadi siang. Biasanya baru pulang malam.” kata Nana. “Tante...?” “Saya mamanya Renata.” wanita itu menjelaskan.
“Oh! Silahkan duduk, Tante...” Nana menawarkan kursi beranda pada Mama Rere karena wanita itu nampak kelelahan. Nana agak kaget, baru pertama kali dia melihat Mama Rere. Kalau diperhatikan baik-baik, wajah wanita itu memang sangat mirip Rere. “Terima kasih, Dik. Temannya Renata ya ?” tanya mama Renata lagi. “Iya. Saya Nana.” kata Nana memperkenalkan diri. “Saya juga tinggal di sini kok.” “Oh...” “Saya telepon Rere dulu sebentar, supaya dia cepat pulang.” kata Nana. “Aduh, maaf merepotkan ya...” ujar Mama Rere sambil mengangguk berterima kasih. “Nggak apa-apa kok.” Nana segera menelepon Rere, memberitahu bahwa mamanya ada di Rumah Hijau. Rere kaget sekali, sepertinya mamanya tidak memberitahukan kedatangannya. Rere berkata kalau dia akan segera meminta izin pada managernya agar diperbolehkan pulang. “Sebentar lagi Rere pulang kok.” kata Nana pada Mama Rere sambil menghidangkan segelas air dingin. “Tante baru datang dari Tasik ?” “Iya.” kata Mama Rere. “Bagaimana kabar adik Rere ?” “Oh, Ryan baik-baik saja kok. Sebentar lagi dia akan ujian kelulusan.” “Wah, nanti mau masuk SMA mana ? Di Bandung atau Tasik ?” “Ryan masih kelas 6 SD kok, jadi baru mau masuk SMP. Tapi sekarang sih dia belum punya pilihan.” kata Mama Rere. Lho, kok sepertinya ada yang aneh ? Nana mencoba mengingat-ingat pembicaraannya dengan Rere beberapa bulan yang lalu. Nana pernah melihat foto adik Rere, dan kalau tidak salah, dia mengenakan seragam SMP. Tapi Mama Rere bilang, Ryan masih SD. Lagipula, Rere tidak pernah menyebut nama Ryan. Kalau tidak salah... Yudistira. Atau jangan-jangan Rere punya dua orang adik ?
Nana memikirkan banyak kemungkinan. Mungkin saja... sebenarnya Rere punya dua orang adik – Ryan dan Yudistira. Sewaktu orangtua mereka bercerai, mungkin Ryan dibawa Mama Rere, sedangkan Yudistira dibawa papa Rere. Oleh karena itu Mama Rere tidak menyebut nama Yudistira. Lamunan Nana buyar saat Adip. Nana segera memperkenalkan Adip pada Mama Rere, dan karena hari sudah agak sore, Nana pun segera pamit. “Maaf Tante, saya nggak bisa menemani. Saya ada urusan, harus pergi sekarang.” kata Nana. “Ah, nggak apa-apa kok, Dik. Hati-hati di jalan, ya.” kata Mama Rere sambil tersenyum. “Iya. Saya pergi dulu, Tante.” ujar Nana lagi, diikuti Adip. Nana dan Adip pun segera pergi. Mereka harus naik angkot, sebab Adip memang tidak ada motor. Sepanjang jalan, banyak hal berputar-putar dalam pikiran Nana – soal Denny yang tiba-tiba saja membatalkan janji, soal adik Rere, dan juga angkot yang penuh sesak sehingga kepala Nana terasa penat. Situasi diperburuk dengan hujan yang agak deras sehingga jalan semakin macet. Akhirnya Nana dan Adip pun tiba di depan Radio El Loco. Tidak seorangpun dari mereka yang membawa payung sehingga mereka harus berlari-lari ke dalam unuk menghindari air hujan. Untung saja hujan sudah tidak selebat tadi. “Aduh, kaki gua kotor banget Dip!” sahut Nana sambil menunjukkan sepatu dan ujung celana panjangnya yang kotor karena cipratan air kotor. “Cuci di WC saja.” sahut Adip. Tapi saat itu Radio El Loco begitu penuh dengan orang sehingga WC pun penuh. Akhirnya Nana membersihkan kakinya hanya dengan tissue basah. “Uh, gara-gara Denny sih...” gumam Nana. Kalau saja Nana naik mobil bersama Denny, dia tidak perlu naik angkot dan kehujanan. Adip tidak berkomentar. Akhirnya Nana tahu kalau Denny bukan pria sempurna, begitulah pikirannya. Tapi dia tidak sadar kalau wajahnya tersenyum puas. Tentu saja Nana menyadari hal itu, dan wajah Nana pun semakin cemberut. “Lu senang, ya, lihat gua kayak gini ?” tanya Nana dengan nada dingin.
“Ya enggak lah...” tukas Adip. Tapi wajah Nana tetap cemberut. Adip pun mencibir. “Harusnya lu juga jangan terlalu berharap pada si Denny. Gua udah pernah bilang ‘kan, kalau lu terlalu berharap, pada akhirnya lu yang akan kecewa.” kata Adip kemudian. “Dan sekarang lu puas ‘kan melihat gua kecewa sama Denny ? Lu jahat Dip!” “Lah, kalau gua jahat, gua nggak akan nganterin lu ke sini!” kata Adip kesal. “Kenapa sih lu marah-marah ke gua ? Bukan salah gua ‘kan kalau Denny nggak bisa nganterin lu ?” “Iya, gua tahu bukan salah lu. Tetapi gua udah cukup tegang dengan suasana audisi, dan lu malah ngajak gua berantem.” Nana malah melemparkan kesalahan pada Adip. “Tolong dong Dip, gua nggak mau bertengkar dengan lu sebelum audisi.” “Memangnya siapa yang mau bertengkar sama lu ? Lu aja yang sensi!” Dijawab seperti itu, Nana semakin sebal. Dia segera menarik nafas panjang, berusaha untuk tenang. “Ya udah, lu tunggu di tukang mie seberang aja.” katanya. “Jadi sekarang lu ngusir gua ?” tanya Adip, dia ikut-ikutan sensitif. “Gua mau ngantri di dalam! Di sana juga lu nggak akan boleh masuk!” kata Nana sambil menunjuk ruang tunggu peserta audisi, pada pintunya ditempelkan pengumuman: ‘yang tidak berkepentingan dilarang masuk’. “Ya udah, terserah! Masuk aja sana, nggak usah keluar sekalian!” ujar Adip. Nana mengigit bibirnya sambil berusaha menahan tangis. “Lu benar-benar jahat, Dip!” “Memang! Gua ‘kan bukan Denny yang baik, perhatian, sopan, selalu memenuhi janji, dan cakep!” “Adip!” Nana setengah menjerit. “Apa ?!” Adip membalas dengan suara keras juga. Saat itulah Adip baru sadar bahwa orang-orang di sekitar sana mendengar pertengkarannya dengan Nana dan mulai memandangi mereka.
“Ya udah, gua tunggu di seberang!” kata Adip sambil berpaling, lalu melenggang pergi. Tangan Nana gemetar. Dia kesal, sedih, dan heran. Kenapa sih Adip selalu saja sensitif kalau bicara menyangkut soal Denny ? Dia menarik nafas dalam-dalam, menyembunyikan air mata yang memanas di sudut matanya. Dia memasuki ruang tunggu, lalu duduk bersama ratusan peserta lain. Dia memandang ke luar jendela, hujan gerimis masih turun. Perlahan, sore pun terasa semakin dingin.
Bagian 22 – Cinta dari Masa Lalu
Denny menghentikan mobilnya di depan sebuah tempat kost yang mewah. Dengan setengah berlari, dia masuk ke dalam, menaiki tangga menuju lantai tiga. Dia mencari kamar di sudut lorong, yakni kamar nomor 308 yang pada depan pintunya ditempeli stiker bertuliskan nama Kristin. “Tin, gua nih...” kata Denny dengan nafas tersengal-sengal sambil mengetuk pintu. Pintu kamar dibuka, seorang gadis berambut sebahu menyambutnya sambil tersenyum lebar. “Hallo, Den.” katanya. Denny agak bingung. Gadis yang berdiri di hadapannya nampak sehat-sehat saja, padahal di suaranya di telepon terdengar serak dan lemah. “Lu kenapa ? Sakit apa ?” tanya Denny. Gadis yang dipanggil Kristin itu menggeleng sambil tersenyum jahil. “Hehehe... sebetulnya gua nggak sakit, kok.” “Eh ?” “Gua cuma ingin tahu aja, lu masih peduli sama gua atau nggak.” ujar Kristin. “Dan ternyata lu datang juga.” Merasa ditipu, Denny menghembuskan nafas panjang. “Ya ampun, Kristin...” gumamnya. “Kenapa, Den ? Kamu marah ya ?” “Bukan begitu, hanya saja tadi...” ujar Denny terputus. “Tadi kenapa ? Apa gua mengganggu acara lu ?” Tapi Denny bukan orang yang tega untuk mengakui hal seperti itu. “Ah sudahlah, lagipula sudah nggak penting lagi.” katanya. “Oh, kalau begitu, kamu tidak sedang sibuk ‘kan...” ujar Kristin. Dia membuka pintu lebarlebar, mempersilahkan Denny masuk. “Kita ngobrol di dalam saja, ya ?” ajaknya. Denny pun menurut.
“Lu kuliah di Bandung ?” tanya Denny sambil memperhatikan buku-buku di meja Kristin. “Ya.” jawab Kristin. “Duduk aja di sana,” sahut Kristin sambil menunjuk kursi di depan meja komputer. Dia sendiri duduk di atas ranjangnya, lalu menyilangkan kakinya. “Bagaimana kabar lu, Den ?” “Baik kok.” “Lu kaget melihat gua di Bandung ?” ujar Kristin sambil tersenyum. “Ya, begitulah.” Kristin tersenyum sambil mempermainkan bandul berbentuk lonceng pada gelang kakinya. Saat itu pandangan mata Denny tertuju lurus pada tangan Kristin yang putih. “Bekas kecelakaan waktu itu...” ujar Denny dengan suara agak tercekat. “...sudah sembuh?” “Ini? Sudah kok.” kata Kristin sambil memutar pergelangan tangannya. “Mmm... Membekas ya?” “Sedikit. Tapi lambat laut juga memudar.” kata Kristin sambil tertawa kecil. Dia menghela nafas panjang. “Udah berapa lama ya kita nggak ketemu ?” katanya kemudian. “Hmm, mungkin dua tahun ya ? Yah, sejak gua lulus aja.” jawab Denny. “Ya, dua tahun.” sahut Kristin. “Sejak lu pergi kuliah ke Bandung, meninggalkan gua begitu saja di Jakarta. Dan nggak pernah ngasih kabar....” “Gua nggak bermaksud begitu, Tin. Hanya saja bokap lu...” ujar Denny terputus. “...sudahlah, jangan bicarakan masa lalu.” katanya. “Apa gua juga hanya bagian dari masa lalu ?” tanya Kristin. Denny tidak menjawab. “Bagi gua, lu bukan masa lalu, Den. Alasan mengapa gua ada di sini saa ini, adalah karena lu bukan sekedar masa lalu.” kata Kristin lagi.
Denny mendesah pelan. “Sebenarnya gua sendiri nggak percaya kalau bokap lu mengizinkan lu kuliah di Bandung.” “Gua bukan anak kecil lagi, Den. Gua udah dewasa, gua udah bisa menentukan jalan hidup gua sendiri.” kata Kristin. “Dan gua rasa, papa juga sudah mengerti soal itu.” “Maksud lu...” Kristin tersenyum. “Nggak ada yang bisa melarang-larang gua lagi untuk pacaran dengan lu, Den.” katanya sambil memegang tangan Denny erat-erat. “Iya Tin, sekarang lu memang bebas. Tapi...” “Tapi apa ?” “Kita nggak bisa pacaran begitu saja, Tin. Nggak segampang itu...” gumam Denny sambil menarik tangannya dari genggaman Kristin. “Kenapa ? Apa lu udah nggak sayang gua lagi ?” tanya Kristin. “Gua masih sayang kok. Kalau gua nggak sayang lagi, gua nggak akan datang ke sini.” kata Denny. “Lalu ?” “...” Denny tidak bisa menjawab. Tetapi kemudian terdengar handphone Denny berdering. Ternyata Nana yang meneleponnya. Denny agak ragu, apakah dia harus menjawab telepon di hadapan Kristin atau tidak, tetapi Kristin mempersilahkannya. “Hallo ?” “Den, aku masih ngantri nih... lama banget...” ujar Nana dari seberang sana. “Kamu ada di mana ?” “Eh, ehm, aku... aku ada di jalan nih...” jawab Denny berbohong. “Hah ? Kok lama sih ?”
“Ta, tadi jalannya agak macet, Na...” Nana mendengus. “Nanti kamu ke sini ‘kan ?” tanyanya. “Iya Na. Nanti setelah urusan aku selesai, aku segera ke sana. Sabar ya...” “Aku kangen, Den! Aku ingin ketemu sama Denny. Tadi aku berantem sama Adip lagi.” kata Nana dengan suara memelas. “Aku sebel banget, Den...” “Iya Na, tenang dulu... nanti aja cerita-ceritanya, ya ?” ujar Denny setengah berbisik. “Kamu konsentrasi ke audisi aja, ok ?” Nana mengeluh sedih. “Ya udah deh... Lagipula di sini berisik banget, suara kamu hampirhampir nggak terdengar.” ujar Nana lirih. “Cepetan ke sini, ya Den...” “Iya. Nanti kalau sudah sampai di sana, Denny sms kamu, ya.” Nana mengiyakan, lalu mengakhiri telepon. Denny pun kembali menyimpan handphonenya ke dalam saku celana jeansnya sambil mendehem. “Siapa itu, Den ?” tanya Kristin kemudian. Denny tidak segera menjawab. Pandangan Kristin yang semula penuh tanda tanya kini sirna. Dia menghela nafas panjang sambil mengalihkan pandangan kepada boneka kelincinya di ranjang. “Gua mengerti sekarang.” kata Kristin pelan. Dia kembali menatap Denny. “Lu udah punya cewek, ya ?” Denny pun mengangguk. “Maaf Tin...” gumamnya. “Kenapa minta maaf ? Lu ‘kan nggak salah.” “Gua pikir, gua nggak akan pernah bisa pacaran sama lu... dan gua pun hanya mencoba untuk melanjutkan hidup gua.” kata Denny mencoba menjelaskan. “Iya, gua mengerti kok, Den. Jangan khawatir, gua sangat mengerti.” kata Kristin. “Gua nggak nyangka... lu akan kembali.” kata Denny lagi.
Kristin pun kembali menoleh pada Denny sambil menyunggingkan senyuman. “Ya sudahlah, yang penting kita tetap bersahabat. Lu nggak keberatan, ‘kan kalau gua jadi sahabat lu ?” “Tentu saja.” jawab Denny. “Mana mungkin gua keberatan...” Kristin tersenyum. “Oh ya, yang telepon tadi cewek lu 'kan ? Siapa namanya ?” tanya Kristin. “Nana.” “Imut, ya...” “Ya, begitulah.” “Dari dulu, kamu selalu suka yang imut-imut.” Denny hanya tersenyum getir. “Ya udah deh, kelihatannya lu ditunggu ya ?” ujar Kristin kemudian. Denny mengangguk. Kristin membuka pintu, mempersilahkan Denny pergi. “Makasih ya, Den... lu masih peduli sama gua – padahal gua bohong.” kata Kristin sebelum Denny pergi. “Maaf merepotkan lu.” “Nggak apa-apa. Lagipula gua juga ingin ketemu sama lu.” ujar Denny sambil melangkah keluar. “Ya sudah, baik-baik ya...” “Bye!” Saat itu Kristin hampir-hampir tidak bisa menahan tangisnya. Dia melemparkan senyum yang dipaksakan, kemudian menutup pintu kamarnya. Dia menjatuhkan dirinya di belakang pintu, dan mulai menangis terisak-isak. Denny tidak segera pergi – dia mematung di depan pintu, tak tahu harus berbuat apa. Jika dia segera pergi, dia harus meninggalkan mantan pacarnya begitu saja, sama seperti dua tahun yang lalu. Ketika Denny masih kelas tiga SMA, sementara Kristin masih kelas satu, mereka berpacaran. Tapi hubungan mereka ditentang keras oleh papa Kristin. Tidak bisa menahan rasa kecewa, Denny pun memutuskan untuk kuliah di Bandung untuk melupakan Kristin. Kini, ketika dia tengah membangun kehidupan baru, tiba-tiba Kristin muncul lagi.
Tak seperti dirinya yang berusaha untuk melupakan cintanya di masa lalu, Kristin malah mengejarnya sampai ke Bandung. Apakah Denny tega untuk meninggalkan Kristin untuk kedua kalinya ? Denny bingung. Jika dia mengetuk pintu lagi, maka dia akan mengkhianati Nana. Tapi isak di balik pintu itu begitu memilukan, dan Denny pun merasa dia tidak bisa berdiam diri... “Tin...” Denny kembali membuka pintu dan dia masuk ke dalam kamar Kristin. Kristin menangis, dan Denny pun memeluknya. Ya, dulu gadis ini sangat dicintainya, sampai-sampai rasa sakit karena tidak bisa memilikinya membuat Denny begitu tersiksa. Tapi ternyata, sampai saat ini pun, cintanya belum padam. “Gua sayang lu, Den! Gua nggak mau kehilangan lu...” tangis Kristin dalam dekapan Denny. Itulah perasaannya yang sebenarnya, perasaan penuh ketakutan, kecewa, tapi juga tidak ingin berhenti berharap. “Gua juga, Tin... gua juga sayang lu...” gumam Denny sambil memejamkan mata, kemudian mencium Kristin yang gemetar dalam pelukannya. “Jangan tinggalkan gua lagi, Den...” “Nggak Tin, nggak akan lagi...” Jauh di sana, Nana memandang ke luar jendela, mendengarkan suara hujan gerimis di atas aspal. Dia menerawang jauh, berharap Denny akan segera datang padanya...
Bagian 23 – Lino Curiga
Di tukang mie, Adip menunggu sendiri sambil memikirkan pertengkarannya dengan Nana. Dia tidak mengerti mengapa dia dan Nana sering terlibat dalam pertengkaran kalau sudah bicara soal Denny. Dulu Adip memang mempermasalahkan soal keputusan Nana yang agak terburu-buru untuk pacaran dengan Denny, tapi sebenarnya sekarang Adip sudah tak peduli. Adip hanya tidak suka kalau Nana membanding-bandingkan dirinya dengan Denny. Karena itulah Adip ingin menunjukkan pada Nana bahwa Denny bukanlah dewa yang harus diagungagungkan. Mengapa Nana tidak menyadari hal itu ? Tetapi Adip juga bukan tipe orang yang senang berpikir keras. Akhirnya dia merasa bosan dan memutuskan untuk menelepon Lino, berharap Lino sudah bangun. “...hallo ~ ” Lino menjawab telepon Adip dengan suara yang masih mengantuk. “Hoi No, bangun! Lu mau tidur sampai kapan ?” Lino menguap. “Ada apa, Dip ?” tanyanya. “Gua ada di Radio El Loco nih, nganterin si Nana. Lu ke sini dong, temenin gua! Si Nana lama banget nih.” kata Adip. “Lu sama Denny ?” tanya Lino. “Nggak. Si Denny nggak jadi nganterin Nana, ada urusan. Tadinya gua mau ngajak lu, tapi lu tidur kayak kebo.” sahut Adip. Sebenarnya Lino agak malas keluar, tapi perutnya terasa agak lapar. “Ya sudah, gua ke sana deh, sekalian cari makanan.” katanya. “Dasar, kalau ingat makanan aja baru bangun!” protes Adip. “Ha-ha-ha...” “Jangan ketawa, cepetan siap-siap! Dan jangan tidur lagi!” Adip memperingatkan. “Iya, iya, cerewet banget sih, kayak nenek-nenek aja...” ujar Lino sambil menutup telepon.
Sambil bermalas-malasan, Lino beranjak dari ranjangnya, dia mengambil pakaian lalu mandi. Tapi baru saja dia keluar dari kamar mandi, dia mendengar suara Rere sedang beradu mulut dengan seseorang di lantai dua. Lino kembali ke kamarnya untuk menyisir, dan tidak lama kemudian terdengar seseorang menuruni tangga dengan langkah terburu-buru. Ternyata Rere. Rere membuka lemari es di dapur, lalu minum. “Ada siapa di atas, Re ?” tanya Lino sambil melongok ke luar kamarnya. Rere menoleh ke arah Lino. “Oh, lu udah bangun...” katanya. “Di atas ada nyokap gua. Apa gua membangunkan lu ?” “Nggak kok.” kata Lino. “Lu nggak kerja ?” Rere menggeleng. “Nyokap gua datang tiba-tiba, jadi hari ini gua cuti.” katanya. “Oh...” Rere diam saja, mematung di depan lemari es. Wajahnya nampak kusut, seperti ada sesuatu yang membuatnya kesal dan bingung. Selama ini Rere selalu tenang, bijaksana, dan dapat berpikir jernih, rasanya tidak pernah Lino melihat Rere sekacau itu. “Ada masalah, Re ?” tanya Lino. Rere menggeleng. “Nggak ada apa-apa kok.” katanya sambil berjalan kembali ke lantai dua. “Tapi kalau di mata gua sih, seperti ada ‘apa-apa’ deh.” kata Lino. “Mungkin mata lu yang salah.” kata Rere tanpa menoleh lagi. Lino hanya menghela nafas. Ya sudahlah, dia harus segera menyusul Adip. Lino mengambil jaket dan kunci motor, dan menit berikutnya dia sudah meluncur di jalanan Bandung yang berlubang-lubang. Dia belok kanan, kiri, memotong jalan untuk menghindari kemacetan, dan tiba-tiba saja dia sudah tersesat. Lino segera menghentikan motornya di pinggir jalan, kemudian menelepon Adip. “Eh Dip, gua nyasar nih!” katanya. “Lah, masa ke Radio El Loco aja nyasar sih ?” ujar Adip. “Sekarang lu ada di mana ?”
Lino memperhatikan papan nama jalan, lalu menjelaskan posisinya kepada Adip. Untung saja Adip mengenali penggambaran Lino dan segera memberikan petunjuk. “Di dekat sana ada kampus kan ?” tanya Adip. “Lurus aja dari sana sampai ketemu ruko, lalu belok kanan. Dari sana lu ikutin jalan, kalau ada percabangan ambil ke kanan lagi. Lu inget kafe tempat si Nana nyanyi dulu ‘kan ? Nah, kafe itu ada di sekitar sana. Mestinya sih lu udah tahu daerah sana. Pokoknya kalau masih tersesat, telepon gua lagi.” “Oke, oke.” Lino pun kembali meluncur mengikuti petunjuk Adip. Dia bergerak lurus, melewati sebuah universitas, berbagai warung-warung nasi dan tempat kost, dan agak jauh di sana nampak sederetan ruko yang berjajar rapi. Tapi saat itu jalan agak macet, Lino terhalang oleh sebuah mobil yang sedang berbalik arah. Lino berhenti, memperhatikan sekeliling, dan... “Lho, itu bukannya mobil si Denny ?” pikir Lino, memperhatikan sebuah mobil yang tengah parkir di depan sebuah tempat kost yang megah. Denny sering memarkirkan mobilnya di depan Rumah Hijau, lama-kelamaan Lino pun hafal nomor polisinya. “Ngapain ya si Denny di sini ?” Saat itu, mobil yang menghalangi Lino sudah berhasil memutar. Saat Lino baru saja hendak bergerak maju, dia melihat Denny berjalan keluar tempat kost itu. Dia tidak sendirian, tapi bersama seorang gadis – kulitnya putih sekali, rambutnya sebahu, tetapi karena saat itu sudah malam dan gelap, wajahnya tidak terlihat jelas. Gadis itu memegang tangan Denny, mereka bicara sambil bertatapan. Lino kaget sekali, dia memperhatikan Denny dan gadis itu tanpa berkedip. Tapi Lino dikejutkan oleh suara klakson mobil di belakangnya sehingga dia pun menancap gas dan segera pergi. Lino menyadari, ada sesuatu yang tidak beres.
Bagian 24 - Kegagalan
Nana tegang sekali saat beradu tatap dengan juri. Ada dua orang, yang satu adalah seorang guru vokal, sedangkan yang lainnya seorang penyiar senior. Keduanya berwajah ramah, tapi tetap saja Nana merasa sangat khawatir. “Silahkan.” ujar si penyiar. Nana mengucapkan terima kasih. Dia menarik nafas, kemudian mulai menyanyikan lagu There You’ll Be dari Faith Hill. When I think back on these times And the dreams we left behind I’ll be glad ‘cause I was blessed to get To have you in my life
Tiba-tiba pikiran Nana melayang pada Adip. Entah kenapa, Nana teringat kalau dia sedang bertengkar dengan Adip. When I look back on these days I’ll look and see your face You were right there for me
Sekarang Adip sedang apa, ya ? Apa dia masih marah pada Nana ? “Aaaghh, kenapa di saat-saat seperti ini Nana malah memikirkan Adip ?” pikir Nana dalam hatinya. Dia mencoba untuk lebih fokus pada audisi. In my dreams I’ll always see you soar above the sky In my heart there always be a place for you For all my life I’ll keep a part of you with me And everywhere I am, there you’ll be
“Ya, ya, cukup. Terima kasih.” si guru vokal memotong nyanyian Nana. Nana pun segera menghentikan nyanyiannya.
“Suara kamu punya karakter. Saya suka sekali.” kata si penyiar sambil menulis sesuatu di mapnya. Nana tersenyum. “Terima kasih.” katanya. Tetapi si guru vokal menggeleng kecewa. “Tapi sayang sekali, ekspresi dan penjiwaan kamu saat menyanyi masih kurang.” “Hmm ?” “Kamu menyanyikan lagu cinta, tapi tidak ada cinta di mata kamu. Wajah kamu seperti yang sedang menghadapi kiamat.” si guru vokal menjelaskan. “Akibatnya suara kamu pun jadi ikut terpengaruh.” Jantung Nana berdegup kencang. Nana pun mengangguk lemah. Dia mengerti maksud si guru vokal; Nana sama sekali tidak menjiwai nyanyiannya. Moodnya memang sedang jelek dan bahkan berulang kali dia terjebak dalam lamunannya sendiri. “Apa boleh saya ulang sekali lagi ?” tanya Nana. Kedua juri berpandangan sesaat, tapi kemudian mereka mengangguk. “Silahkan.” Nana kembali menarik nafas. Ya, kali ini dia harus konsentrasi. Inilah kesempatan terakhir, dia harus memanfaatkan sebaik-baiknya. Jika Nana lolos audisi, dia bisa menunjukkan pada orangtuanya bahwa dia memiliki peluang dan masa depan di bidang musik. Mungkin Nana akan diperbolehkan sekolah vokal. Denny pun pasti bangga padanya, dan Adip tidak akan mengejeknya lagi sebagai penyanyi 17-Agustusan yang gagal. Adip... Jika Nana keluar dari ruangan audisi nanti, dia harus menunjukkan wajah seperti apa kepada Adip ? Nana menundukkan kepalanya. Nana tidak bisa melupakan masalahnya dan menyanyi seperti biasa. Kalaupun nyanyiannya diulang lagi, pasti Nana pun akan menampilkan ekspresi yang sama – ekspresi yang tidak menjiwai lagu, ekspresi yang hanya menggambarkan mood Nana saat itu. Kedua juri di hadapannya pun akan memberikan komentar yang sama. Nana tahu, percuma saja.
“Maaf...” gumam Nana lirih. Dia menggeleng, menyatakan bahwa dia tidak bisa mengulang nyanyiannya. Kedua juri menghela nafas. Mereka sudah melihat ribuan wajah yang tegang saat memasuki ruang audisi, tapi bukan itu yang membuat nyanyian Nana tidak sempurna. Meskipun tidak tahu apa masalahnya, mereka mengerti, ada sesuatu yang terjadi pada Nana – sesuatu yang tidak mengenakkan dan membuat Nana tidak bisa berkonsentrasi. “Nggak apa-apa.” kata si guru vokal. “Saya yakin, kualitas kamu lebih baik daripada yang kamu tampilkan hari ini.” Nana hanya mengangguk. Dia tetap menunduk, tidak berani melihat kedua juri. “Tapi audisi ini tetaplah audisi, sebuah penyaringan. Penilaian yang kami berikan adalah apa yang kamu tampilkan hari ini.” Nana mengangguk lagi, matanya terasa memanas. Air mata hampir jatuh di pipinya. Dia tahu bahwa dia gagal. “Kamu boleh keluar sekarang. Tapi, jangan menyerah, ya!” kata si penyiar radio, diikuti si guru vokal sambil tersenyum. Tetapi Nana tidak bisa melihat senyum itu. Dia tidak kuasa mengangkat kepalanya. Dengan suara serak dia berterima kasih, lalu berjalan lunglai meninggalkan ruangan audisi. Rasa kecewa yang tidak terbayangkan meliputi hatinya. Nana tidak tahu harus menyalahkan siapa. Dia ingin menyalahkan Adip, dia juga ingin menyalahkan Denny. Tapi pada akhirnya Nana tahu bahwa apapun yang terjadi, nyanyian yang dilantunkannya adalah miliknya seorang. Penonton tidak akan mempedulikan apa yang terjadi di balik layar. Dan jika mereka tidak puas, maka itu adalah kesalahan sang penyanyi. Kesalahan Nana. Kegagalannya. Kebodohannya. Menyadari hal itu, Nana tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis.
Bagian 25 – Perang!
“Akhirnya lu datang juga, No!” kata Adip ketika melihat Lino yang berjalan ke arahnya. Dia masih menunggu di kedai mie, dia baru saja menghabiskan minumannya. “Si Nana belum beres, tapi harusnya sih sebentar lagi. Lu kalau mau makan, beli mie di sini saja. Enak kok.” Lino tidak menanggapi, dia duduk di samping Adip dengan memasang wajah serius. “Lu tahu ke mana si Denny ?” “Lho, kok datang-datang malah nanyain si Denny ?” Adip merenggut. “Serius Dip, lu tahu ke mana si Denny nggak ?” Lino mengulangi pertanyaannya. “Mana gua tahu ?” tukas Adip. “Harusnya ‘kan dia mengantar si Nana, tapi katanya sih dia harus mengantarkan orang ke rumah sakit. Pokoknya dia nggak bisa menemani si Nana.” Lino terdiam. Ke rumah sakit ? Tidak, Denny tak berada di rumah sakit. Dia berada di tempat kost seseorang, bersama seorang cewek. “Apa apa sih No ?” tanya Adip heran. “Si Denny bukan ke rumah sakit, Dip. Gua liat dia ada di depan tempat kost di jalan yang tadi gua lewat... di dekat universitas yang lu bilang itu.” kata Lino. “Ya mungkin orang yang sakitnya tinggal di sana.” sahut Adip. “Ah, peduli amat lah...” “Dia sama cewek, No. Pegangan tangan.” kata Lino. “Hah ? Pegangan tangan ?” Lino mengiyakan. “Iya. Pegangan tangan. Kayak gini.” Lino memegang tangan Adip, lalu memandang mata Adip lurus-lurus. Si tukang mie dan pengunjung kedai itu menatap Lino dan Adip sambil meringis. Mereka tak tahu-menahu apa yang sedang Lino dan Adip bicarakan, yang mereka perhatikan hanyalah Lino yang tiba-tiba menggenggam tangan Adip. Tetapi Lino dan Adip sama sekali tidak menyadari tatapan-tatapan salah paham itu. Keduanya malah semakin serius bertatapan.
“Lu serius ?” tanya Adip. “Iya.” “Lu tahu ‘kan, ini bukan persoalan yang bisa dijadikan candaan.” kata Adip lagi. “Gua nggak bercanda, Dip. Gua sudah memikirkan hal itu baik-baik.” kata Lino. Dia mendekatkan bibirnya pada telinga Adip, lalu berbisik. “Menurut gua, memang ada sesuatu. Mungkin Denny memang selingkuh.” Sementara itu, tiga orang ibu-ibu paruh baya yang duduk di meja seberang berbisik-bisik tanpa melepaskan tatapan dari Adip dan Lino. “Mereka gay, ya ?” bisik si ibu yang berkacamata. “Iya. Kelihatannya pemuda yang tadi sedang melamar.” balas si ibu yang rambutnya dikonde sambil menunjuk Lino. “Anak muda zaman sekarang mengerikan ya, berani sekali melamar di tempat seperti ini.” ujar ibu yang gemuk. “Saya jadi ingin tahu seperti apa wajah orangtua mereka.” si ibu yang berkacamata mengurut dada. “Kita pergi saja, yuk ? Nggak enak melihatnya...” “Iya...” Akhirnya ketiga ibu-ibu itu segera pergi, diikuti para pengunjung yang lain. Bahkan si tukang mie pun berdiri agak jauh dari Adip dan Lino. Tapi Adip dan Lino belum sadar kalau mereka telah menimbulkan kegegeran kecil di sana. Adip melotot. “Jish...” desisnya. “Jadi lu yakin kalau si Denny selingkuh ?” Lino mengiyakan. “Sejauh ini, itu kesimpulan gua.” katanya. Adip menghembuskan nafas panjang. “Anjis...” makinya sambil mendecakkan lidah dengan penuh kebencian. “Apa menurut lu Nana harus tahu ?” tanya Lino lagi.
“Ya harus, lah! Supaya si Nana sadar, cowoknya yang didewa-dewakan itu ternyata buaya!” ujar Adip. Baru saja dibicarakan, Nana sudah muncul. Wajahnya nampak kusut, bibirnya melengkung ke bawah, dan matanya nampak sembab. Tanpa mengatakan apapun, dia duduk di antara Adip dan Lino, lalu berpangku tangan. Sekali lihat saja Lino sudah bisa menduga kalau Nana gagal dalam audisi. “Hei, Na...” sapa Lino, agak kikuk. “Na, gua mau ngomong sesuatu sama lu.” kata Adip. “Ini serius, dan lu harus dengar baikbaik.” kata Adip. Nana tidak menjawab, dia hanya menatap Adip. Lino memberikan kode pada Adip supaya tidak membicarakan soal Denny dulu karena sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk mengatakan hal itu. Tapi nampaknya Adip tidak menangkap maksud Lino. “Cowok lu selingkuh.” kata Adip to the point. “Hah ?” gumam Nana dengan suara serak. “Si Denny selingkuh.” ulang Adip. Bibir Nana semakin melengkung. Dia mendengus sebal, lalu membuang muka. “Gua serius Na, si Denny selingkuh. Tuh, si Lino saksinya.” “Dip, gua lagi stress. Tolong, jangan ditambahin ya.” kata Nana. “Na, tanya aja si Lino tuh, betul atau nggak...” “Ermm, Dip... Sebentar, Dip...” Lino mencoba mencegah Adip berbicara lebih lanjut, tetapi Adip tidak mau berhenti. “Si Denny bukannya sedang mengantarkan orang ke rumah sakit. Dia pergi ke tempat kost selingkuhannya. Si Lino melihat mereka.” kata Adip. “Cukup, nggak usah diteruskan!” ujar Nana dengan nada lebih tegas. “Nggak usah diteruskan bagaimana ? Lu harus tahu kalau cowok lu tuh buaya!”
“Dip, gua nggak mengerti mengapa lu tega merusak hubungan gua dan Denny. Gua nggak pernah menganggu lu dengan Candy, kenapa lu tega berbuat begini pada gua ? Apa yang bisa bikin lu puas ? Gua putus dengan Denny ?” tanya Nana. “Tapi Si Denny memang selingkuh, Na! Dia tiba-tiba membatalkan janji dengan lu, masa sih lu nggak curiga ?” ujar Adip. “Jadi lu ingin gua mencurigai Denny ?” tanya Nana dengan nada tinggi. “Gua cuma ingin lu percaya sama gua, Na. Denny itu...” ujar Adip terputus. “Dip, pada dasarnya lu memang sirik dan benci sama Denny. Jadi gua nggak akan pernah percaya sama lu!” potong Nana. Dia menarik nafas panjang. “Lu tahu ‘kan, Dip... sudah lama gua ingin ikut audisi supaya bisa menjadi penyanyi. Terima kasih Dip, berkat lu, gua gagal!” kata Nana sambil beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan pergi. “Na...” seru Adip. Dia hendak mengejar pergi, tetapi dia ingat harus membayar mie basonya. Dia mengambil uang sepuluh ribu dari kantongnya, lalu diberikannya pada tukang mie yang masih bingung akan apa yang sedang terjadi. “Ambil kembaliannya, Mas!” seru Adip sambil berlari mengejar Nana. “Lho Mas...” ujar si tukang mie. “Nggak cukup nih!” Adip lupa kalau dia sudah memakan dua mangkok mie ditambah segelas besar es campur. Lino pun mengeluarkan dompetnya, lalu memberikan uang pecahan seratus ribu pada tukang mie itu. “Ini untuk sisanya.” kata Lino. “Kembaliannya untuk saya ?” tanya tukang mie itu dengan wajah polos. “Nih!” Lino menunjukkan bogemnya. Lino ingin buru-buru mengejar Adip, tapi si tukang mie tidak mempunyai uang receh untuk kembalian. Tukang mie itu harus menukarkan uang dulu pada tukang gorengan, tapi tukang gorengan tidak punya, jadi dia menukarkan uang lagi pada tukang sate. Sayangnya tukang sate sedang sibuk melayani pembeli, jadi si tukang mie pergi lagi pada tukang sekoteng.
Untung si tukang sekoteng punya recehan. Akhirnya Lino pun berhasil mendapatkan uang kembaliannya, kemudian buru-buru mengejar Adip dan Nana. Sementara itu, Adip masih berusaha mengejar Nana. Nana menyusuri trotoar, dia tidak mau berpaling sedikitpun pada Adip. “Na, kita pulang aja ya ?” ajak Adip. “Pulang aja sendiri! Gua mau nunggu Denny.” kata Nana. “Udahlah, jangan temui Denny lagi... dia bukan cowok baik-baik, Na...” ujar Adip. “Memangnya lu satria baja hitam yang bisa lihat orang baik atau jahat ? Sana cari cermin, liat baik-baik, lu sendiri orang baik atau orang brengsek!” kata Nana. “Gua yakin, satria baja hitam juga tahu kalau si Denny orang brengsek!” kata Adip. Nana tidak mengomentari, dia terus berjalan menghindari Adip. Adip menarik tangan Nana, tapi Nana segera menepiskannya. “Na...” “Gua nggak mau lihat tampang lu lagi, Dip!” kata Nana. Ada air kembali membasahi bola matanya. “Pergi...” “Jangan gitu, Na. Denger...” “Pergi!” jerit Nana. “Oi, mas...” seorang preman brewokan dan mengenakan bandana berwarna merah menyala menegur Adip. Dia duduk di pinggir jalan sambil merokok, memandang Adip dengan tatapan sangar. “Jangan maksa-maksa cewek dong...” sahutnya dengan suara rendah. Adip kaget juga. Selama ini dia ditakuti orang karena tampangnya mirip preman, baru kali ini dia ditegur preman yang sebenarnya. “Tolong dong, Mas... Dia maksa-maksa saya ke hotel. Hajar aja!” kata Nana pada preman itu. Adip melotot. “Na!” serunya.
“Kenapa ? Takut ?” balas Nana dengan wajah menantang. Adip mendecakkan lidah. Dia tak menyangka Nana akan berkata seperti itu. Nana boleh saja tidak percaya padanya, tapi kini Nana mencoba mencelakainya! “Oke Na, kalau itu keinginan lu...” kata Adip. Nana tak berkomentar, tapi tatapannya yang galak dan berkaca-kaca tetap tertuju lurus pada Adip. “Lu bisa melakukan apa aja, pacaran sama si Denny kek, kawin kek, dimadu kek... Terserah! Gua nggak akan ngelarang-larang lagi!” sahut Adip keras. “Memangnya siapa yang minta izin lu ?” ujar Nana tidak kalah kerasnya. “Gua nggak akan peduli lagi sama lu, Na. Dan gua memang menyesal udah peduli sama lu.” kata Adip. “Gak usah sok peduli lah, gua juga nggak minta!” ujar Nana. “Iya, gua tahu! Karena itu gua bilang, TERSERAH!” “Ya udah!” “Memang udah!” Nana menjulurkan lidah. Adip juga hanya mendesis, kemudian berpaling. Dia pun berjalan pergi – meninggalkan Nana di pinggir jalan. Lino baru saja tiba, tapi Adip malah mengajak Lino pulang. Lino agak bingung antara ikut Adip atau menyusul Nana. “Biar aja, si Nana mau menunggu kakandanya.” sahut Adip dengan nada sinis. “Ayo pulang. Percuma kita di sini, buang-buang waktu!” “Oi, oi...” Lino masih bimbang. “Na, jangan begini lah... lu ikut Adip pulang aja, ya ?” “NGGAK!” ujar Nana nyaring. Lino terdiam. Dia tahu Nana marah pada Adip dan padanya. Tapi Lino tak bisa menyalahkan Nana. Saat itu memang mood Nana sedang jelek, jika dipanasi dengan ‘gosip’ bahwa Denny
selingkuh, Gunung Tangkuban Perahu pun bisa diledakkan oleh emosinya. Akhirnya Lino pun memilih pergi. Percuma saja dia di sana, Nana akan semakin marah padanya. Si preman yang tadi menegur Adip malah kebingungan ketika Adip dan Lino pergi. Pasalnya, Nana mulai menangis sesengukan. Preman itu berusaha untuk menghentikan tangisan Nana, tapi Nana menangis semakin keras. “Udah Mbak, pulang dulu aja. Tenangkan diri, omongin baik-baik sama pacar Mbak...” kata si preman, mengira Adip adalah pacar Nana. “Dia bukan pacar saya...” ujar Nana di sela-sela nangisnya. “Suami ?” “Enak aja!” “Teman tapi mesra ?” “Teman tapi nyebelin...” ujar Nana. “Hah ?” Akhirnya, Nana malah curhat pada si preman itu. Di luar dugaan, preman yang bertampang angker itu ternyata seorang pendengar yang baik. Dia bahkan menawarkan tissue pada Nana untuk melap air matanya. Dia bahkan menemani Nana sampai Denny datang. Preman yang aneh...
Bagian 26 – Tidak Ada yang Bisa Menghalangi!
Begitu pulang, tanpa mandi ataupun sikat gigi, Adip langsung tidur. Lino berusaha untuk menghubungi Nana, tapi Nana tak mengangkat telepon atau membalas SMS. Akhirnya Lino menyerah dan ketika malam semakin larut, dia pun tidur. Pukul dua dini hari, Adip terjaga. Dia pergi ke dapur untuk minum. Setelah mengusir dahaga di lehernya, Adip pun naik ke lantai dua. Dia memutar knop pintu kamar Nana, tapi terkunci. Nana jarang sekali mengunci pintu kamarnya saat tidur, sebab dia sering kesiangan dan selalu mengandalkan Rere untuk membangunkannya. Nana hanya mengunci kamarnya saat dia pergi. Dan itu artinya... Nana belum pulang. Adip menghela nafas panjang. Ke mana si Nana ? Apakah dia masih bersama Denny ? Atau jangan-jangan Nana tidur di kamar kost Denny ? Apakah Denny akan berbuat sesuatu pada Nana ? Adip tidak tahu. Dia segera kembali ke kamarnya dan berusaha tidur, tapi dia malah memikirkan Nana. Adip merasa bodoh karena tadi meninggalkan Nana sendiri. Dia memang berkata tidak mau peduli lagi pada Nana, dia juga berusaha untuk melupakan Nana. Tapi pada akhirnya Adip tak bisa menyangkal bahwa dia juga sangat mengkhawatirkan Nana. Esoknya, Adip terlambat kuliah. Dia baru bangun saat jam menunjukkan pukul delapan lebih. Lino sudah pergi kuliah, begitu pula Rere. Adip segera mandi, lalu nongkrong di beranda sambil memperhatikan si Agal yang gelisah karena ingin dikeluarkan dari kandangnya. Greeekk... pintu gerbang terbuka. Ternyata Nana. Dia berjalan masuk ke dalam halaman kost, dari celah-celah gerbang Adip melihat mobil Denny diparkirkan di depan kost. “Ke mana aja lu, Na ?” tanya Adip ketika Nana melewatinya. Nana tidak menjawab, dia berjalan lurus sambil membuang muka. “Na!” Adip meraih lengan Nana. “Kenapa tanya-tanya ?” tanya Nana dingin. “Lu ‘kan nggak peduli lagi sama gua, Dip ? “Kemarin lu nginep di kost Denny ?” tanya Adip.
“Memangnya kenapa ?” “Nana! Lu tuh cewek, masa tidur di kamar kost cowok ? Nanti apa kata orang ?” “Cuma orang yang suka FITNAH yang suka mikir yang nggak-nggak!” balas Nana. “Lepasin ah, gua mau beres-beres!” Nana menepiskan tangannya. “Mau ke mana ?” “Untuk sementara, gua akan tinggal di kamar Denny dulu. Dan gua akan segera pindah kost. Jadi lu nggak perlu berantem dengan gua lagi. Bagus kan ?” Nana tersenyum sinis. “Apa ? Seenaknya aja pindah kost... lu ‘kan harus minta izin mama dulu!” kata Adip. “Gua nggak akan bilang ke mana kok.” sahut Nana. “Kecuali kalau lu ngadu ke mama.” Nana mengambil koper kecil, lalu mengepak pakaian secukupnya dan buku-buku kuliahnya. Sebelum pergi, Nana mengelus kepala Agal terlebih dahulu. Hati Adip terasa amat gundah melihat Nana yang nampak benar-benar hendak pergi dari Rumah Hijau. “Na, kenapa sih sampai begini ? Kenapa lu harus pindah ?” tanya Adip ketika Nana beranjak dari kandang Agal dan berjalan menuju gerbang. “Simpel aja Dip, lu memberi gua dua pilihan – pacaran Denny dan berantem terus dengan lu, atau putus dengan Denny agar lu puas. Tetapi gua nggak mau putus dengan Denny, dan gua juga udah capek berantem sama lu. Jadi gua ambil jalan tengah; gua mempertahankan Denny dan minggat dari sini supaya nggak berantem sama lu!” jawab Nana. Bagaimana pun Adip memanggilnya, Nana tidak menoleh lagi. Dia menutup pintu gerbang keras-keras dan detik berikutnya terdengar suara mobil menjauh. Nana telah pergi. Adip kesal sekali, dia menendang sebuah pot tanaman di depannya sampai terguling. Tapi rasa kesalnya tidak hilang sedikitpun. Adip menghela nafas. Dia tahu pot bunga itu tidak bersalah, tidak seharusnya dia bersikap kasar. Adip pun kembali membetulkan posisi pot tanaman itu. ...... Sementara itu di kampus, Rere sedang berjalan menuju perpustakaan di Gedung 9. Untuk mencapai Gedung 9, dia harus melewati tempat parkir Fakultas Ekonomi. Tanpa sengaja, dia melihat seorang pemuda berambut coklat sedang menuruni tangga luar gedung ekonomi.
Wajah pemuda itu tidak asing, mirip sekali dengan wajah anak SMP pada foto yang dimiliki Rere. Hanya saja garis-garis wajahnya sudah sedikit lebih tegas, lebih dewasa, dan badannya sedikit lebih tinggi. Rere agak terkejut, sesaat dia terdiam; apakah dia harus menghampiri pemuda itu atau tidak. Tapi saat Rere memutuskan untuk menyapanya, sekelompok mahasiswa memanggil pemuda itu terlebih dahulu. Rere pun segera mengurungkan niatnya, dia berbalik arah dan segera pergi dengan jantung yang berdegup kencang. “Hei, Re!” Baru saja Rere berjalan beberapa langkah, terdengar seseorang memanggilnya. Rere menoleh dan dilihatnya Nana berlari ke arahnya. “Na!” ujar Rere, agak terkejut karena ternyata Nana ada di sana. “Ngapain di sini ?” “Mau kuliah. Tadi dianterin Denny.” kata Nana sambil menunjuk mobil Denny yang melaju keluar gerbang kampus. “Lu mau ke mana ?” “Ermm, ke perpustakaan...” Rere agak panik, sebab pemuda yang diperhatikannya tadi beserta teman-temannya berjalan ke arahnya. “Kenapa Re ?” tanya Nana sambil menyernyitkan kening, melihat tingkah Rere yang kikuk. “Nggak apa-apa sih... kita pergi yuk ?” ajak Rere. “Pergi ? Pergi ke mana ?” Sudah terlambat. Gerombolan mahasiswa ekonomi itu bergerak semakin dekat, lalu melewati Nana dan Rere. Tetapi pemuda yang diperhatikan Rere tidak sedikitpun melihat ke arah Rere, dia berlalu begitu saja sambil terus mengobrol dengan teman-temannya. Sesaat, Rere terpana. Tanpa sadar ia menoleh, memandang punggung pemuda yang perlahan semkain jauh darinya. “Siapa Re ?” tanya Nana. Dia tidak mengenali wajah pemuda itu sebagai anak SMP yang dia lihat pada foto milik Rere. “Eh... bukan, rasanya seperti kenal saja.” kata Rere.
“Ohhh...” Rere menghembuskan nafas. “Sepertinya salah orang.” katanya. Dia kembali menatap Nana. “Ngomong-ngomong, kemarin lu ke mana, Na ?” “Di kost Denny.” jawab Nana. “Lu tidur di kost Denny ?” Nana mengangguk. “Adip tahu ?” Nana mendesis. “Bukan urusan dia.” katanya dingin. Dia menatap Rere lurus-lurus. “Re, gua mau pindah kost. Mungkin dalam dua atau tiga hari ini.” “Hah ?” Nana mengangguk, wajahnya nampak sangat serius. “Di tempat kost Denny masih ada kamar yang masih kosong. Tepat di sebelah kamar Denny. Sepertinya gua mau pindah ke sana.” “Lho, kenapa Na ?” “Gua udah nggak tahan lagi, Re. Gua udah capek bertengkar sama Adip gara-gara Denny.” Rere yang pada saat itu tidak tahu-menahu soal perselingkuhan Denny mengira permasalahan sebatas ketidaksukaan Adip pada Denny saja. “Jangan buru-buru mengambil keputusan, Na.” kata Rere. “Lu harus kasih waktu ke Adip supaya dia bisa menerima Denny.” “Sampai kapanpun Adip nggak akan pernah menerima Denny.” kata Nana. “Adip selalu sirik sama Denny! Dan sekarang dia mulai memfitnah Denny! Bayangin Re, cuma karena Denny membatalkan janji, si Adip bilang kalau Denny selingkuh.” Nana mendengus sebal. “Gua nggak mengerti, kenapa si Adip selalu saja mencari masalah dengan Denny.” “Apa mungkin karena lu suka membanding-bandingkan Adip dengan Denny ?” tanya Rere. “Membanding-bandingkan apa ?”
“Ya, misalnya lu ‘kan sering bilang pada Adip, ‘belajar dong dari Denny’ atau ‘lihat Denny tuh’. Itu sama saja dengan bilang kalau Adip itu setingkat di bawah Denny. Mungkin saja Adip merasa direndahkan dan tersinggung.” “Tapi itu 'kan bukan alasan untuk membenci Denny ? Lagipula gua membandingkan mereka karena Adip sering melakukan hal-hal yang konyol. Justru gua memberi contoh, jadi Adip mendapatkan pencerahan supaya dia lebih dewasa.” sahut Nana membela diri. “Sekaligus pencerahan supaya lebih putih.” Nana tidak bermaksud bercanda, tapi Rere tersenyum juga. “Jadi lu tetap ingin pindah kost ?” tanya Rere kemudian. “Iya. Sekarang kamar kosong di tempat kost Denny sedang dibersihkan. Mungkin besok gua akan beres-beres semua barang di Rumah Hijau, jadi hari Minggu nanti gua bisa pindah.” Rere tidak berkomentar lagi, dia memandang Nana dengan tatapan penuh arti. “Maaf ya Re, padahal gua senang banget sekost sama lu.” kata Nana. “Tapi gua juga harus menunjukkan pada Denny bahwa gua sungguh-sungguh padanya. Juga pada Adip. Nggak ada yang bisa menghalangi hubungan gua dan Denny – termasuk Adip sekalipun!”
Bagian 27 – Nana atau Kristin?
Denny memarkirkan mobilnya di pojokan halaman kampus, tetapi dia tidak segera keluar dari mobilnya. Dia menyandarkan diri sambil memandang tas pakaian Nana di jok sebelah. Dia tak menyangka Nana benar-benar berniat untuk meninggalkan Rumah Hijau. Kemarin Nana memang bilang akan pindah kost, tetapi Denny mengira Nana hanya terbawa emosi karena bertengkar dengan Adip saja. Kalau Nana pindah ke tempat kostnya, akan semakin sulit bagi Denny untuk membagi waktu antara Nana dan Kristin. Denny harus segera memilih – Nana atau Kristin. Tapi memilih tak pernah semudah kelihatannya. Denny bimbang sekali, dan tanpa sadar dia melamun. Pukul sepuluh, barulah Denny sadar kalau dia terlalu lama berpikir. Denny pun segera berlari menuju kelas. Tapi sial, saat itu adalah jam pelajaran seorang dosen killer dan beliau tidak mengizinkan Denny masuk ke kelas karena terlambat tiga menit! “Sial...” umpat Denny sambil berjalan pergi meninggalkan kelas. Tapi saat melewati taman, Denny melihat Sheila sedang duduk di bangku taman sambil makan lumpia. “Oi La! Nggak kuliah ?” tanyanya sambil menghampiri Sheila. Sheila menggeleng. “Gua lapar banget...” katanya sambil nyengir. “Lu lebih mementingkan batagor daripada kuliah ?” tanya Denny sambil menghempaskan pantatnya di sebelah Sheila. “Gua nggak bisa konsentrasi kuliah kalau perut gua keroncongan.” jawab Sheila. “Lu makan jajanan melulu, ntar gendut loh...” “Ah, kalau pada dasarnya udah cantik, mau gendut kek, kurus kek – nggak masalah...” ujar Sheila santai. “Makan aja kok repot...” “Dasar...” Sheila memang begitu, dia adalah tipe cewek hedonis yang cuek dan kelewat percaya diri. Dia sering bolos kuliah, tapi nilai-nilainya selalu bagus. Dia juga sering bicara ceplas-ceplos, tetapi dia selalu mempunyai banyak teman di sekelilingnya.
“Kenapa lu, Den ?” tanya Sheila ketika menyadari tampang Denny yang lesu. “Tampang lu kelihatan lebih asem daripada sayur asem.” “Ngantuk, capek banget, telat masuk kelas lagi...” gumam Denny. Dia kurang tidur karena kemarin malam dia menemani Nana yang menginap di kamarnya, sedangkan paginya dia harus mengantarkan Nana mengambil pakaian di Rumah Hijau. “Kemarin cewek lu menginap di kamar lu, ya ? Gua dengar suaranya waktu gua melewati kamar lu.” kata Sheila. “Iya. Dia bertengkar sama teman satu kostnya, jadi nggak mau pulang.” Denny menjelaskan. “Yah, cewek lu memang agak kekanak-kanakkan, ya ?” Denny mengangguk. “Sabar aja.” kata Sheila santai. Sebenarnya Denny ingin menjelaskan permasalahannya pada Sheila. Selama ini Sheila telah menjadi sahabat baiknya, bahkan sejak SMA ketika Denny mendapatkan masalah karena pacaran dengan Kristin. Rasanya semua masalah menjadi ringan saat Denny bicara dengan Sheila. Hanya saja Denny tidak tahu harus memulai dari mana. “La, lu tahu nggak...” gumam Denny. “Nggak.” potong sheila. “Gua belum beres ngomongnya.” “Hahaha...” “Serius dong La! Ini soal Kristin. Lu inget ‘kan ?” tanya Denny. Kristin, Denny, dan Sheila memang saling kenal, sebab mereka berasal dari SMA yang sama meskipun Kristin berbeda angkatan. “Soal Kristin ada di Bandung ?” tanya Sheila. “Lho, kok tahu ?”
Sheila tertawa. “Tiga atau empat hari yang lalu, gua ketemu Kristin di jalan. Lalu kami ngobrol sebentar. Dia juga nanyain nomor handphone lu yang baru.” “Oh, jadi dia tahu nomor telepon gua dari lu ?” tanya Denny. Sheila mengiyakan. Denny pun menghela nafas. “Nah, itulah La... bingung gua sekarang.” “Kenapa ? Lu CLBK sama dia ?” Denny menghela nafas. “Bukan CLBK, La, hanya saja... gua ngerasa ada sesuatu yang belum beres antara gua dan Kristin...” “Apa bedanya, Den ? Kalau lu udah melupakan Kristin, lu nggak harus bingung ‘kan ?” “Iya sih...” ujar Denny. “Tapi, tetap saja gua kaget melihat Kristin di sini. Dia juga masih sayang sama gua, padahal dulu gua yang putus asa dan meninggalkan dia.” “Hmm... itu sih namanya lu merasa bersalah sama si Kristin, jadi lu merasa punya tanggung jawab untuk kembali sama dia.” kata Sheila. “Tapi sebenarnya, entah kenapa, ada rasa lega waktu gua tahu kalau dia ada di sini.” gumam Denny pelan. “Hmm ?” “Dulu, gua selalu ingin membina hubungan yang serius dengan Kristin. Tapi meskipun gua selalu sungguh-sungguh, tetap saja ada tembok yang nggak pernah berhasil gua lewati.” kata Denny. “Orang tua Kristin ?” Denny mengangguk. “Gua merasa tidak berdaya menghadapi mereka, tetapi gua juga nggak mungkin menyuruh Kristin untuk mengabaikan orangtuanya. Akhirnya, gua memilih pergi dan melupakan Kristin.” gumam Denny. “Tapi ternyata... sekarang Kristin ada di sini. Dia mengejar gua sampai ke Bandung. Tiba-tiba gua sadar, ternyata Kristin pun selalu sungguhsungguh pada gua. Kalau memikirkan hal itu... gua merasa sangat senang dan lega.”
Sheila mendengarkan cerita Denny baik-baik. Dia pun tersenyum. “Betul juga. Cowok mana sih yang nggak tergerak hatinya dengan sikap cewek seperti itu...” ujarnya. “Nah, karena itulah gua bingung.” gumam Denny. “Masalahnya, gua nggak tega mengakhiri hubungan dengan Nana begitu saja karena kehadiran Kristin. Terlalu tidak adil bagi Nana...” Sheila mengangguk tanda mengerti. “Lalu, bagaimana hubungan lu dengan Nana sekarang ?” tanyanya. “Sebenarnya, bisa dibilang gua mulai merasa jenuh. Bukannya nggak sayang dia lagi, hanya saja gua merasa lelah dengan sifatnya yang kekanak-kanakkan.” jawab Denny. “Take it, or leave it. Kalau lu nggak bisa menerima sifat Nana, kenapa lu harus terbeban ?” “Udah gua bilang, La, gua nggak tega.” kata Denny. “Lu nggak tega atau lu nggak mau dibilang cowok brengsek ?” tanya Sheila tajam. Denny terdiam sebentar. “Ya, pokoknya...” kata Sheila dengan suara lebih serius. “Menurut pendapat gua sebagai seorang cewek, sebaiknya lu nggak membohongi pacar lu. Tapi menurut gua sebagai seorang teman, sebaiknya lu juga jangan membohongi diri lu sendiri.” Denny mengangguk. “Sedangkan menurut gua sebagai Sheila Saputra... yang namanya hidup itu harus dinikmati.” Lagi-lagi Sheila memasang tampang cuek. “Istilahnya sih... two in one.” katanya. Denny tertawa kecil. Tetapi kemudian, dia menarik nafas panjang dan menatap Sheila dengan serius. “La, menurut lu, kalau gua selingkuh... apakah gua adalah pria yang hina ?” “Selingkuh itu ‘kan seni berpacaran.” Denny tertawa lagi. “Dasar... Lu memang gila, La.” “Justru karena gua gila, jadi gua nggak perlu merasa sakit hati.” kata Sheila santai. “Gua nggak percaya cewek kayak lu bisa sakit hati...” gumam Denny.
“Loh, lu ‘kan cowok terakhir bikin gua sakit hati ?” ujar Sheila sambil tersenyum jahil. “Dulu ‘kan lu lebih memilih pacaran dengan Kristin daripada dengan gua.” “Ah, cerita lama...” “Hmm... bagaimana kalau itu bukan cerita lama ?” tanya Sheila. Dia melemparkan bekas lumpianya ke tempat sampah dengan mengikuti gaya pemain basket. “Maksud lu ?” “Daripada bingung, Nana atau Kristin, mendingan pacaran sama gua aja.” “Hahhh?” Denny nampak terkejut dengan serangan dadakan itu. Sheila tertawa lepas. “Hahaha... lu ‘tuh lucu banget, Den. Sayang, gua sudah terlanjur janji pada Nana kalau gua nggak akan merebut lu dari dia. Padahal sepertinya menarik juga kalau memperebutkan lu dengan pacar lu dan first love lu.” “Lu pikir hal seperti itu menarik ?” “Itu ‘kan tantangan.” “Tantangan ?” “Dengan tantangan, cewek jadi kuat dan dewasa.” kata Sheila sambil mengedipkan sebelah matanya. Denny meringis. “Lu sih bukannya jadi kuat dan dewasa, tapi nekat dan sinting.” Sheila tertawa. Denny menggelengkan kepalanya sambil mendecakkan lidah. Sheila memang orang yang ajaib, cuma dia yang bisa bicara seperti itu dengan santai, tanpa beban sedikitpun. “Eh Den, gua pulang duluan ya... ” ujar Sheila sambil berdiri, lalu menenteng tasnya. “Gua capek banget nih, pingin tidur.” “Yah, kok pulang sih? Masalah gua belum beres, La!” Denny mengeryitkan kening. “Masalah lu nggak akan beres kalau lu tidak cepat-cepat membuat keputusan, Den. Dan apapun keputusan lu, pasti akan menyakiti satu di antara kedua cewek lu itu. Tapi lebih baik satu yang sakit hati daripada dua, ‘kan?”
Denny menghela nafas. Dia memang sudah mengerti maksud Sheila. Akhirnya dia pun mengangguk. “Ya udah, akan gua pikirkan deh.” katanya. “Sip. Good luck, ya. Dan jangan lupa... lebih cepat lebih baik.” “Ya.” “Ya udah, gua balik ya. Bye-bye...” Sambil mengucapkan bye, Denny melambaikan tangan dan membiarkan Sheila pergi. Denny tidak punya alasan untuk tetap diam di kampus, tetapi pulang pun dia enggan. Denny ingin menjernihkan pikirannya, tapi ada Nana di kostnya. Jika ada Nana, tentu saja dia tidak bisa berpikir tenang! Tapi baru saja sepuluh menit Sheila pergi, tiba-tiba handphone Denny berdering nyaring. “Halo Den, ini Kristin.” terdengar suara lembut Kristin dari seberang sana. “Den, hari ini punya waktu sebentar nggak?” “Waktu? Ng... ada apa Tin?” tanya Denny. “Aku ingin ngobrol, Den. Sesuatu tentang kita.” kata Kristin, suaranya terdengar agak serius. Kebetulan sekali, pikir Denny. Meskipun lebih muda, Kristin lebih mudah diajak berbicara daripada Nana. Mungkin ada baiknya jika Denny membagikan kebimbangannya pada Kristin. “Baiklah kalau begitu. Bagaimana kalau sekarang saja?” tanya Denny. “Jangan, aku masih ada kuliah sore, mungkin baru selesai jam enam. Bagaimana kalau jam tujuh saja? Sekalian makan malam?” tanya Kristin. “Baiklah. Nanti aku jemput kamu di kost jam tujuh, ya.” kata Denny. “Oke. Sampai ketemu Den...”
Bagian 28 – Nana Keras Kepala
Sementara itu, di Rumah Hijau, Adip duduk di beranda sambil melamun. Sesaat, ingatannya melayang-layang pada masa lalu, ketika Nana dan Adip baru saja lulus SMA. Saat itu Nana sedang merajuk pada orangtuanya karena tak diperbolehkan sekolah musik. Kemudian, Nana mendengar bahwa di Bandung terdapat banyak kafe yang bersedia menerima penyanyi amatir untuk tampil. Mungkin saja peluang untuk terjun ke dalam dunia musik profesional akan muncul dari sana. Nana menjelaskan kepada orangtuanya bahwa dia ingin kuliah di Bandung saja. Orangtua Nana setuju, dengan syarat jika Adip mau menemani. Menurut mereka, Nana belum mandiri dan harus ada yang menjaganya. Nana pun memohon pada Adip untuk kuliah di Bandung. Adip sendiri sebenarnya tak begitu peduli ke mana dia akan kuliah, lagipula dia sendiri belum menentukan pilihan. Akhirnya Adip setuju, dan orangtuanya pun tidak keberatan. Maka, berangkatlah dua orang bersahabat itu ke Bandung untuk kuliah. Jadi, sejak awal, alasan Adip berada di Bandung tak lain adalah karena Nana. Dia punya tugas untuk menjaga Nana. Tapi, memikirkan pertengkaran Adip dengan Nana karena Denny, Adip merasa ciut. Dia merasa, sekarang Nana sudah tidak membutuhkannya lagi. “Ah tidak, tidak!” Adip menegur dirinya sendiri. “Diam juga tidak ada gunanya. Gua harus melakukan sesuatu!” Adip kembali memutar otak. Dia tidak boleh membiarkan Nana pindah kost. Apa sebaiknya dia melaporkan hal itu saja pada mama Nana, ya ? Mama Nana pasti bisa mengurungkan niat Nana. Tapi Adip segera menggeleng. Jika dia melaporkan hal itu, pasti Nana akan sangat marah padanya. Mungkin Nana akan membenci Adip seumur hidup. Tidak ada pilihan lain – Adip harus menemui Nana dan bicara sekali lagi. Akhirnya Adip pun memutuskan untuk mengejar Nana ke kampus. Tapi Nana sudah masuk ke dalam kelas, Adip terpaksa harus menunggu di depan kelas. Setelah kira-kira dua jam, akhirnya Nana keluar dari kelas. Tetapi saat melihat Adip, Nana segera berputar arah. “Hei, Na! Sebentar!” Adip segera menarik tangan Nana, mencegah Nana pergi. Nana memandang Adip dengan tatapan permusuhan. “Apa ?” tanyanya galak.
“Na...” “Kalau lu mau membicarakan soal Denny atau soal kepindahan gua, gua nggak mau dengar.” potong Nana. “Gua belum ngomong apa-apa, lu udah ngomel duluan...” ujar Adip. “Lalu ?” “Ya... sebenarnya memang soal itu sih.” jawab Adip sambil menggaruk kepalanya. Tanpa ba-bi-bu lagi, Nana kembali berpaling dari Adip dan pergi. “Na, tunggu dulu!” kata Adip. Tapi ketika Adip hendak mengejar Nana, tiba-tiba Pak Tian, dosen yang baru saja keluar dari kelas, menghadang Adip. “Hei, kamu! Adiputra! Kenapa kamu bolos kuliah hari ini?” Adip ingin cepat-cepat mengejar Nana, tapi Pak Tian yang bertubuh besar dan bertampang seram itu membuatnya tidak bisa berkutik. “Aduh maaf Pak, saya ada urusan.” “Urusan apa?! Kamu tahu tidak, sudah berapa kali kamu bolos pelajaran saya?” “Satu? Eh...dua?” “Lima!” “Aduh, maaf Pak... saya benar-benar minta maaf. Tapi sekarang saya harus cepat-cepat pergi. Saya janji, minggu depan saya pasti akan hadir.” Adip memohon. “Kamu itu bisanya janji melulu! Minggu lalu juga kamu bilang begitu!” Pak Tian tidak juga mengizinkan Adip pergi. “Dasar gombal! Melakukan hal sederhana saja tidak bisa, mau jadi apa kamu nanti?” “Yang jelas, saya tidak akan jadi dosen, Pak.” jawab Adip. “Kurang ajar! Berani membantah kamu?!” Pak Tian makin marah. Saat itu, Nana sudah berbelok di ujung lorong dan menghilang dari pandangan Adip. Oleh karena itulah, tanpa mempedulikan Pak Tian lagi, Adip pun berlari pergi. Suara dosen yang
marah-marah di belakangnya sudah tidak didengarnya lagi. Meskipun terhalang mahasiswa yang berlalu lalang, Adip bisa menemukan Nana yang berjalan menuju gerbang kampus. “Na! Tunggu, Na!” Adip berkelit di antara orang-orang, lalu menangkap tangan Nana. “Kita harus ngomong sebentar, Na.” “Apa sih?” “Na, gua nggak mau lu pindah kost begitu aja. Ya? Please! Bagaimana pun juga ‘kan gua yang diserahi tanggung jawab untuk menjaga lu.” “Nggak perlu. Gua bisa menjaga diri gua sendiri.” kata Nana tanpa memandang Adip. “Tapi Na...” Nana berjalan ke luar kampus, tidak mempedulikan Adip yang terus membuntutinya. Dia menuju angkot yang sedang menunggu penumpang di pinggir jalan, lalu naik dan duduk di pojokan. Tanpa diduga, Adip malah ikutan naik angkot yang sama – dia duduk tepat di depan Nana. “Na, denger deh... lu boleh pacaran sama Denny, tapi jangan pindah...” Tapi Nana tidak mau mendengarkan omongan Adip lebih panjang lagi. Tanpa banyak bicara, Nana turun lagi dari angkot. “Eh, Na!” tentu saja Adip pun mengikuti Nana. Tanpa mempedulikan Adip, Nana mencegat angkot yang sedang melaju. Angkot itu menepi, lalu Nana segera naik. Tapi ternyata Adip masih saja mengikutinya. Nana melotot padanya dengan kesal, dan saat angkot baru saja melaju beberapa meter, Nana minta berhenti. “Ini, mang!” kata Nana sambil memberikan uang lima ratus rupiah pada sopir angkot itu, lalu melompat keluar angkot. “Hei, Na! Nana! Tunggu!” Tiiiiinn...tinnnn....!!! si sopir angkot membunyikan klakson. “Bayar dulu, kang!” teriaknya. “Alah, cuma lima meter juga...” desis Adip.
Sayangnya, si sopir angkot bersikeras. Karena tidak mau mencari masalah, Adip pun segera mengambil dompet dari sakunya, lalu membayar angkot dengan uang logam dua ratus rupiah. “Gope atuh, kang!” Adip melotot. Dasar sopir angkot mata duitan, pikirnya. Dia mengumpulkan uang ratusan di kantongnya, lalu memberikan sejumlah uang yang diminta. Setelah angkot pergi, Adip celingukan mencari Nana. Tetapi Nana tidak ada di sana. Lalu sebuah taksi melaju, dan dilihatnya Nana menjulurkan lidah di balik kaca – meninggalkan Adip yang terpana di pinggir jalan seperti anak anjing yang dibuang. “Nana!” teriak Adip nyaring. Tapi taksi tidak berhenti, malah melaju semakin cepat. Detik itulah Adip tahu, bahwa apapun yang dilakukannya, Nana tidak mempedulikannya lagi.
Bagian 29 – Rencana Sheila
Nana tiba di kost Denny pukul empat kurang, lebih cepat dari perkiraannya. Dikiranya Denny masih di kampus, tapi ternyata Denny sudah pulang. “Kok tumben, jam segini sudah pulang?” tanya Nana. “Iya, tadi dosennya tidak datang.” jawab Denny berbohong. “Oh ya Na, nanti jam setengah tujuh, aku pergi dulu, ya. Aku mau mengerjakan tugas di kost Doddy. Jadi, mendingan kamu pulang ke kost kamu dulu, daripada bengong di sini sendirian.” “Nggak mau, ah. Nana ikut aja, ya?” Nana memohon. “Ya?” “Ah, nanti kamu bosan di sana.” kata Denny. “Tapi Nana nggak mau pulang ke Rumah Hijau lagi. Nana malas ketemu Adip.” kata Nana. Sekejap, wajahnya cemberut karena mengingat pertengkarannya dengan Adip. “Ayolah Na, sekali ini saja... nurut sama Denny, ya?” “Nggak mau. Pokoknya nggak mau.” Nana bersikeras. “Lagipula Nana sudah bilang ‘kan, Nana nggak mau pulang ke Rumah Hijau lagi.” “Ya sudah, kalau begitu Nana tunggu di sini saja, ya?” kata Denny. “Nggak mau, ah. Nana mau ikut saja. Tenang saja, Nana nggak akan menganggu kok.” Bagaimanapun juga, Denny tidak berhasil membujuk Nana untuk pulang. Agar tidak curiga, Denny pun mengalihkan pembicaraan dan mengajak Nana membeli camilan di seberang kost. Setelah itu, mereka menonton film drama yang diputar di televisi. Meski matanya tidak lepas dari layar televisi, otak Denny terus berputar untuk mencari alasan agar Nana mengganggu rencananya. Tapi kemudian, masalah Denny selesai dengan sendirinya. Jam lima, Nana jatuh tertidur di kasur Denny.
Lebih baik pergi sekarang, pikir Denny ketika dilihatnya Nana tertidur pulas. Maka, tanpa menimbulkan banyak suara, Denny segera melenggang pergi. Tapi baru saja dia keluar dari kamarnya, tiba-tiba Sheila muncul di hadapannya. “Mau ke mana, Den?” tanya Sheila. “Ssssttt...!!!” Denny merapatkan telunjuknya di bibir. Lalu dia berbicara dengan suara yang sangat pelan. “La, tolong gua dong. Gua mau membicarakan masalah penting dengan Kristin. Tapi ada Nana di sini. Kebetulan, sekarang dia ketiduran. Nah, kalau dia bangun, bilang saja kalau gua sedang mengerjakan tugas di kost Doddy. Oke?” “Oke.” jawab Sheila dengan nada malas. Lalu Denny pun segera pergi, sementara Nana masih tertidur. Kira-kira sejam kemudian, Nana terbangun. Suara handphone yang nyaring mengejutkannya. “Ha...halo...?” “Na, ada di mana? Lagi sibuk, nggak?” rupanya Rere yang menelepon. Pada jam itu, semestinya Rere sudah berada di tempat kerjanya. “Gua? Eh... ada di kost Denny.” jawab Nana. Dia celingukan mencari Denny, tapi kekasihnya tak ada. Pintu kamarnya tertutup rapat, tapi anak kuncinya menggantung di lubang pintu. Rupanya Denny meninggalkan pintu tak terkunci. “Ada apa, Re?” “Begini Na... penyanyi yang seharusnya manggung di sini mendapat kecelakaan, katanya sih jatuh dari motor. Lalu gua merekomendasikan lu untuk menjadi penggantinya – untuk malam ini saja. Yah, daripada kosong sama sekali. Lalu kata manager gua, dicoba dulu saja. Bagaimana Na? Mau nggak?” tanya Rere. “Oh ya?” tawaran itu membuat mata Nana melek sepenuhnya. “Gua sih mau-mau saja, Re.” “Ya sudah, kalau begitu lu cepat-cepat ke sini ya. Nanti jam tujuh biasanya sudah ramai, jadi kalau bisa datang sebelum itu, ya.” “Oke deh. Sebentar ya, gua siap-siap dulu!” Nana menutup telepon. Dia berjalan keluar kamar, dikiranya Denny ada di luar. Tentu saja Denny tidak ada, sebab dia sudah pergi. Nana pun mengambil handphonenya, lalu menelepon
Denny. Tapi ternyata handphone Denny tertinggal di kamarnya. Tadi Denny pergi terburuburu sehingga dia lupa membawa handphone. “Denny ke mana ya? Apa dia sudah pergi, ya?” pikir Nana. Tetapi Nana tidak bisa berpikir terlalu lama, sebab dia harus segera bersiap-siap. Saat itu sudah jam enam lebih, sementara Kafe Sunflower tempat Rere bekerja terletak cukup jauh dari sana. Oleh karena itu, Nana segera mandi dan mengenakan pakaian terbaiknya yang dia bawa ke kost Denny. Jam setengah tujuh, Nana siap berangkat. “Halo Nana, mau ke mana?” ketika Nana hendak mengunci kamar Denny, Sheila berjalan melewatinya. Kamar Sheila memang bersebelahan dengan Denny, itulah sebabnya ke mana pun Sheila pergi, dia akan melewati kamar Denny. “Aku ada perlu ke tempat teman.” jawab Nana seperlunya. “Oh...” “Erm... Sheila, kamu lihat Denny, nggak?” tanya Nana kemudian. “Tadi sih bilangnya mau ke kost Doddy.” jawab Sheila. Nana mengangguk tanda mengerti. “Begini... Denny lupa bawa handphone. Nanti kalau dia pulang, tolong suruh dia jemput aku di Sunflower Cafe, ya. Kunci kamarnya ada di aku.” “Sunflower Cafe? Hmm... oke deh. Nanti gua sampaikan.” ujar Sheila. Nana tidak mau berbicara panjang lebar lagi; pertama – karena dia sudah terlambat, kedua – karena dia masih menganggap Sheila sebagai saingan. Oleh karena itu Nana segera minta diri dan pergi dari sana secepatnya. Sementara itu, Sheila memandang punggung Nana yang pergi menjauh. Dia tahu, ke mana sebenarnya Denny pergi. Rasanya kasihan juga jika Nana dibohongi terus seperti itu. Tetapi memikirkan posisi Denny yang terjepit, memang tidak ada pilihan lain selain berbohong. Entah sampai kapan masalah ini berlanjut. Selama sesaat Sheila terdiam dan berpikir. Tibatiba, dia meraih handphonenya sendiri yang dibiarkannya tergeletak di lantai dan menekan beberapa nomor. “Halo? Kristin? Ini gua, Sheila.”
......
Bagian 30 – Malam ini Saja
Karena datang terlalu cepat, Denny terpaksa menunggu di depan pintu kamar Kristin. Kirakira jam setengah tujuh, barulah Kristin datang. “Lho Denny? Kok cepat sekali datangnya?” tanya Kristin. Senyumnya masih sama seperti tiga tahun yang lalu – manis dan lembut. “Duh, sori ya, tadi gua dipanggil dosen dulu. Jadi lama.” Kristin segera membuka pintu kamarnya, lalu mempersilahkan Denny masuk. “Nggak apa-apa kok.” kata Denny. “Sebentar, gua mandi dulu.” Kristin mengambil handuk, lalu masuk ke kamar mandi. Bagian bawah pintunya terbuat dari kaca buram sehingga meskipun samar-samar, Denny dapat melihat kaki Kristin. Jantung Denny berdegup tidak beraturan ketika didengarnya suara air mengalir, membasahi kaki Kristin yang putih dan mungil. Ketika arloji di pergelangan tangan Denny menunjukkan pukul tujuh, barulah Kristin siap berangkat. Dia mengenakan terusan pendek berwarna kuning dan jaket berwarna putih yang tebal, tapi tidak cukup tebal untuk menyembunyikan lekuk badannya. “Ayo berangkat!” kata Kristin sambil mengajak Denny keluar kamar. “Sekarang kita ke mana nih?” tanya Denny sambil membimbing Kristin masuk ke mobilnya. “Bagaimana kalau ke Sunflower Cafe? Lu tahu kafe itu, nggak?” tanya Kristin. “Kata Sheila, chicken cordon bleu di sana enak.” tambahnya. “Sheila yang bilang?” tanya Denny. “Ya. Tadi sore dia telepon gua, kami ngobrol sebentar.” kata Kristin. “Oh... Ya sudah, terserah. Agak jauh sih, tapi nggak masalah.” ujar Denny sambil menjejak gas dan mengemudikan mobilnya menuju Sunflower Cafe.
Di perjalanan, Kristin tidak membuka mulut. Dia diam saja sambil melihat ke luar jendela. Berulang kali Denny melirik padanya, tetapi Denny tidak dapat menduga isi pikiran Kristin. “Kok diam saja, Tin?” tanya Denny akhirnya, tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. Kristin tertawa kecil. “Ah, nggak apa-apa.” “Lagi memikirkan apa?” Kristin menghela nafas panjang. “Den, bagaimana kalau pacar lu melihat kita berduaan begini, ya?” tanyanya. Denny mengangkat bahu. “Entahlah.” katanya. “Tapi Nana nggak tahu soal ini, kok.” “Kamu bilang apa ke dia?” “Aku bilang mau mengerjakan tugas di kost teman.” “Oh...” “By the way, lu mau ngomong apa? Bukankah tadi kalau bilang ingin bicara dengan gua?” tanya Denny kemudian. Kristin tidak segera berbicara, tapi menghela nafas panjang dulu, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk memulai pembicaraan. “Begini Den...” kata Kristin kemudian. “Selama beberapa hari, gua sudah memikirkan banyak hal tentang kita. Terus terang saja... gua nggak mau kehilangan lu. Tapi gua juga nggak tahan dengan hubungan diam-diam seperti ini. Gua merasa seperti kucing garong.” “Ngomong apa kamu, Tin? Kamu bukan kucing garong.” sela Denny. “Hubungan kita ini bukan semata-mata karena lu merebut gua dari Nana, ‘kan?” “Iya Den. Tapi apapun alasannya, saat ini Nana adalah pacar lu yang sah dan gua adalah selingkuhan lu. Gua merasa, kehadiran gua telah mengganggu hubungan lu dengan Nana.” “Hubungan kita ‘kan sudah ada jauh sebelum aku berhubungan dengan Nana.” ujar Denny. “Ya. Antara lu, gua, dan Nana, ada ikatan yang sama kuatnya. Tapi ikatan seperti ini ‘kan tidak wajar. Setidaknya, bagi gua... ikatan ini adalah dosa.” kata Kristin.
Denny menghembuskan nafas panjang. “Jadi?” “Gua ingin tahu... bisa nggak kalau lu memilih salah satu dari kami?” kata Kristin. “Apapun pilihan lu, gua akan menurut. Kalau lu memilih Nana, gua akan mundur. Gua nggak akan muncul di hadapan lu lagi.” “Tapi Tin, gua nggak bisa memilih. Kalau bisa, pasti gua sudah memilih sejak lu muncul di hadapan gua.” kata Denny. “Gua sayang sama lu. Tapi Nana... dia juga nggak bersalah... Gua nggak mungkin meninggalkan dia begitu saja.” “Ya, memang sih... gua tahu kalau hubungan kita nggak adil buat pacar lu. Tapi jujur dong Den, apa lu benar-benar sayang padanya?” tanya Kristin. Denny mengeluh. “Kalau gua nggak sayang pada Nana, gua nggak akan pacaran dengannya.” Dia mendesah penjang. “Kalau salah satu di antara kalian tidak ada yang mundur, gua tidak bisa memutuskan. Gua sayang kalian berdua.” “Kalau begitu, kenapa lu tidak memberi tahu pacar lu tentang kita? Biarkan saja dia yang membuat keputusan.” “Gua nggak tega, Tin. Mana mungkin gua menceritakan hal ini pada Nana? Dia masih sangat polos, kekanak-kanakkan... dan hal serumit ini, dia pasti tidak akan mengerti.” sahut Denny. “Apalagi dia sangat cinta sama gua. Dia sangat mengandalkan gua. Nana tidak akan bisa menerima hal seperti ini.” Kristin menyunggingkan senyum tipis. Walaupun demikian, matanya nampak sedih. “Sudah gua duga...” gumamnya. “Lu memang sangat perhatian pada pacar lu.” “Maksud lu?” “Den, awalnya gua pikir, lu akan kembali pada gua dan menjelaskan hubungan kita pada pacar lu. Gua pikir hubungan kita di masa lalu akan membuat lu lebih memilih gua daripada Nana yang baru lu pacari beberapa bulan. Tapi ternyata, sampai hari ini pun lu belum berbicara apapun pada pacar lu. Iya, gua mengerti kok... Bagaimana pun juga, sekarang lu lebih sayang Nana daripada gua.” kata Kristin. “Tin...” Denny mencoba menyela. “Kalau gua lebih sayang pada Nana daripada lu, hari ini nggak pernah terjadi.”
“Lu memang orang yang baik, Den. Itulah sisi yang sangat gua suka dari lu. Tapi mungkin... sekarang saatnya gua menyerah. Lu adalah milik Nana. Dan gua sangat malu karena sudah membuat lu bingung. Semua ini salah gua – gua yang tidak menghormati hubungan kalian.” kata Kristin. “Kristin...” Denny mencoba memegang tangan Kristin, tetapi Kristin segera menepis belaian itu dengan lembut. “Nggak apa-apa, Den.” Kristin menarik nafas panjang-panjang, seolah menguatkan diri. “Tujuan gua mengajak lu pergi malam ini... adalah untuk mengakhiri keegoisan gua.” “Apa?” Kristin mengangguk. “Gua akan mundur, Den.” katanya. Sesaat, Denny membisu, sementara Kristin mati-matian menahan air mata yang memanas di sudut matanya. “Lu yakin, Tin?” tanya Denny kemudian. “Ya.” jawab Kristin. “Tapi sebelum gua pergi dari hidup lu, satu kali saja... satu kali saja...” ucapan Kristin terhenti karena isakannya. “...satu kali saja, gua ingin kencan dengan lu seperti kita dulu... sewaktu kita sepasang kekasih yang sah.” Denny mendesah. Tapi kemudian dia mengangguk tanda mengerti. “Ya.” gumamnya lirih. Selanjutnya, kebisuan kembali terjadi di antara Denny dan Kristin. Kristin tidak lagi melihat ke arah Denny, dia memalingkan muka. Dari bayangan di jendela, dia melihat setetes air mata mengalir di pipinya yang kedinginan karena AC mobil. Denny pun sama galaunya. Dia bingung dengan ucapan Kristin, dia tidak tahu apa yang harus dirasakan atau diucapkannya. Sebenarnya keputusan Kristin mempermudah masalahnya, tapi ternyata Denny tetap bingung memikirkannya. Begini sajakah? Semua ini berakhir begitu saja? Denny pun menarik nafas panjang-panjang dan memikirkan hubungannya dengan Nana. Kristin benar, saat ini Denny adalah milik Nana. Ya, memang mungkin sudah saatnya Denny menata kembali perasaannya pada Nana yang terguncang karena kehadiran Kristin. “Kalau memang itu keputusan lu, baiklah.” sahut Denny memecahkan keheningan. “Maaf ya, sekali lagi gua menyakiti lu. Gua nggak pernah bermaksud begitu. Gua sayang lu, Tin. Hanya saja... waktunya tidak tepat.” ujar Denny.
Kristin mencoba untuk tersenyum, lalu memandang Denny. “Nggak apa-apa kok, Den. Ini adalah keputusan gua.” katanya. Saat itu, mobil Denny sudah di depan Sunflower Cafe. Denny membelokkan mobilnya, lalu memarkirkan tepat di depan pintu masuk. Dia tidak segera turun, tetapi memandang jejak air mata di pipi Kristin. Diambilnya selembar tissue dari kotak tissue di dashboard mobilnya, lalu diberikannya pada Kristin. “Hapus air mata lu, Tin. Jangan menangis lagi.” kata Denny. “Gua akan kembali pada Nana seperti yang lu putuskan. Tapi malam ini, jadilah pacar gua yang sah.” Kristin tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Ya.”
Bagian 31 – Pilihan Denny
“Na, siap-siap, ya? Meja sudah agak penuh, jadi lima belas menit lagi lu nyanyi!” kata Rere di ambang pintu. Dia membawa kira-kira dua puluh baki kosong di tangannya sehingga dia wajahnya yang berpeluh nyaris tertutup oleh tumpukan baki itu. Sepertinya dia sedang sibuk. “Sip!” Nana mengacungkan jempol. Rere tertawa, dan segera berlalu. Saat itu Nana berada di ruang ganti karyawan yang terletak di belakang ruang utama kafe. Dia bersama Rangga, gitaris yang akan mengiringinya bernyanyi. Mereka sedang berlatih beberapa lagu sambil menunggu kafe cukup penuh. Meskipun waktu latihannya singkat, tapi Nana dan Rangga dapat berkolaborasi dengan baik. “Ya sudah. Kita bersiap-siap di depan saja, yuk?” kata Rangga sambil menenteng gitarnya. “Boleh.” Baru saja Nana hendak berdiri, tiba-tiba terdengar handphonenya berdering. Nana segera merogoh handphone dari tasnya, dan dilihatnya nomor Adip di layar handphone. “Kok tidak dijawab?” tanya Rangga. “Telepon nggak penting.” kata Nana sambil menekan tombol reject. “Sudahlah, yuk kita segera ke depan.” Rangga dan Nana pun segera melenggang pergi. Namun tidak lama kemudian, handphonenya berdering lagi. Nana merenggut, dia pun menekan tombol reject sambil menggerutu kesal. “Matikan saja handphonenya, daripada mengganggu.” kata Rangga. “Iya.” Nana pun segera menon-aktifkan handphonenya, lalu memasukannya ke dalam tas. Lalu, manager kafe yang dipanggil Bang Jo, yaitu seorang bapak-bapak berumur tiga puluh tahunan, mendatangi Rangga dan Nana. “Langsung mulai saja. Sudah penuh.” katanya. “Baik.” kata Rangga dan Nana nyaris bersamaan. “Konsentrasi!” gumam Nana pada dirinya sendiri. Dengan langkah penuh kepercayaan diri, dia berjalan mengikuti Rangga menuju music corner. “It’s show time!”
Nana merapikan buku lirik, sementara Rangga membetulkan posisi pengeras suara. Setelah segalanya siap, Rangga segera membuka acara. “Selamat malam, teman-teman pengunjung setia Sunflower Cafe!” Layaknya seorang pembawa acara profesional, dia menyapa tamu kafe dengan gaya yang dewasa. “Bagaimana kabarnya? Semoga baik-baik saja, ya. Seperti biasa, saya Rangga; hari ini saya ditemani oleh seorang cewek cantik, yaitu Natania; kami akan menemani santap malam Anda sekalian dengan lagu-lagu yang tentunya oke punya.” Semuanya berjalan yang lancar. Nana menyanyikan lagu pertamanya dengan sempurna dan penuh penghayatan sehingga lagu itu ditutup dengan tepuk tangan pengunjung. Sementara itu, Rere yang tengah sibuk mengantarkan menu dan pesanan, tiba-tiba merasakan handphone di kantong celananya bergetar. Rupanya Lino yang menelepon. Rere pergi ke sudut kafe, lalu segera menjawabnya. “Halo?” “Halo Re, lagi kerja?” terdengar suara Lino speaker handphone. “Iya No. Ada apa?” tanya Rere. “Eh Re, lu tahu di mana Nana ada di mana, nggak?” tanya Lino. “Apa?” saat itu suasana kafe agak bising sehingga Rere tidak terlalu menangkap ucapan Lino. “Bicara yang keras, No! Di sini berisik banget.” “Lu tahu di mana Nana, nggak?” Lino mengeraskan suaranya. “Si Adip stress nih, katanya dari siang dia mencoba mencari Nana, tapi Nana nggak ngewaro dia lagi. Telepon juga nggak diangkat. Dia takut si Nana sudah pindah ke kost Denny.” “Nana ada di sini No, lagi nyanyi.” jawab Rere. “Nyanyi?” “Yah, panjang ceritanya. Tapi sekarang gua lagi sibuk sekali, No. Kalau mau kalian ke sini saja.” kata Rere. “Setelah agak sepi, kita ngobrol di sini.” “Oh begitu... ya sudah. Gua tanya Adip dulu. Nanti gua hubungi lagi deh.” “Oke.” lalu Rere pun memutuskan telepon dan melanjutkan pekerjaannya.
Saat itu, lagu kedua dan ketiga sudah diselesaikan Nana dan Rangga dengan baik. Setelah tiga lagu, selama satu menit mereka rehat untuk minum. Ketika waktu rehat hampir habis, seorang waiter memberikan secarik kertas pesan pada Rangga dan Nana. “Ada request lagu nih, Eyes on Me. Bisa nggak?” bisik Rangga pada Nana. “Bisa dong.” kata Nana dengan mata berbinar. Tentu saja Nana bisa menyanyikannya, lagu itu adalah lagu pertama yang Nana nyanyikan di depan umum. Dan bisa dibilang, lagu itulah yang mempertemukan Nana dan Denny. “Oke deh. Langsung saja mulai, ya?” kata Rangga. Nana mengangguk. Rangga pun meraih pengeras suara dan membacakan isi pesan dalam kertas itu. “Oke... request pertama malam ini adalah Eyes on Me yang dipersembahkan oleh Mas Indra untuk pacarnya, Mbak Erni. Isi pesannya... ‘happy first anniversary, always be my girlfriend!’ Wah, rupanya mereka sedang merayakan satu tahun pacaran nih... Selamat ya, dan semoga langgeng terus.” kata Rangga. “Okay, here we go.” Rangga mengumandangkan intro lagu dengan jari-jemarinya yang menari lincah di atas senar gitar, sementara Nana bersenandung perlahan untuk menyamakan nada. Nana mencoba menghayati lagu dengan mengingat kembali moment-moment saat dia menyanyikan lagu Eyes on Me di hadapan Denny, beberapa bulan sebelumnya. Tetapi Nana tidak tahu, hanya beberapa detik saja sebelum ferris wheel kehidupan Nana berganti arah. Whenever sang my songs, on the stage on my own Whenever said my words, wishing they would be heard I saw you smiling at me, was it real or just my fantasy? You'd always be there in the corner of this tiny little bar
Pada saat yang sama, Denny dan Kristin memasuki ruangan. Seorang waiter mengantarkan mereka ke sebuah meja yang berada di pojokan, agak jauh dari music corner. Denny tidak melihat Nana, tetapi Nana menyadari kedatangan Denny. Awalnya Nana tidak mengenali Denny karena pencahayaan di kafe itu agak remang. Namun ketika Denny duduk, berhadaphadapan dengan Kristin, Nana merasa mengenalinya. My last night here for you; same old songs, just once more My last night here with you, maybe yes, maybe no I kind of liked it your way, how you shyly placed your eyes on me Did you ever know that I had mine on you?
Sambil terus menyanyi, Nana memperhatikan gerak-gerik kedua tamu itu dengan penuh kecurigaan. Ketika keduanya saling memandang dan berpegangan tangan, konsentrasi Nana semakin buyar. “Bukan Denny, ‘kan? Ayo, menolehlah... kamu bukan Denny, kan?” tanya Nana dalam hati. Darling, so there you are, With that look on your face As if you're never hurt As if you're never down Shall I be the one for you Who pinches you softly but sure If frown is shown then, I will know that you are no dreamer
Lalu, sesuai harapan Nana, Denny pun menoleh. Pada detik itulah, keduanya beradu pandang. Denny tertegun, begitu pula Nana. Nana pun terpaksa mempercayai pandangannya. Ya, tidak salah lagi, pemuda yang duduk di bangku itu adalah Denny, kekasihnya sendiri. So let me come to you, close as I want to be Close enough for me to feel your heart beating fast And stay there as I whisper, how I love your peaceful eyes on me Did you ever know that I had mine on you?
Sama seperti Nana, Denny pun nampak terkejut. Mengapa Nana ada di sini? Kristin sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi, dia memandang Denny dengan heran. Mengapa tibatiba saja Denny mematung seperti itu? Tangan Denny masih terpaut erat pada tangan Kristin, namun perlahan Kristin bisa merasakan keringat dingin membasahi telapak tangan Denny. “Ada apa Den?” tanya Kristin. “Lu lihat apa sih?” Kristin mengikuti arah pandangan Denny. Mata Denny tertuju lurus pada seorang gadis yang menyanyi di music corner. Firasat buruk pun menghantui Kristin. Dia pernah mendengar dari Sheila bahwa pacar Denny adalah seorang penyanyi. Jangan-jangan... “Den... jangan-jangan... cewek itu...” bisik Kristin sambil memandang Denny lurus-lurus. “Ya...”
Jantung Kristin berdegup kencang, sama kencangnya dengan Denny. Mengapa bisa kebetulan begini? Padahal baru saja Kristin hendak memutuskan hubungan dengan Denny, mengapa tiba-tiba saja Nana muncul di hadapan mereka? Darling, so share with me Your love if you have enough Your tears if you're holding back Or pain if that's what it is How can I let you know I'm more than the dress and the voice Just reach me out then, you will know that you're not dreaming
Namun yang paling bingung saat itu adalah Nana. Dia merasa berada di alam mimpi. Namun melodi yang mengakhiri lagu membuatnya sadar bahwa semua ini adalah kenyataan. “Lepaskan tanganmu darinya, Den...” hati Nana memohon. Tapi bibirnya tetap terkatup rapat, sementara telinganya tidak mendengar tepuk tangan tamu di ruangan itu. Hanya jantung dan suara hatinya saja yang terdengar. “Katakan semua ini adalah bohong, Den. Katakan semua ini hanya salah paham... Katakan bahwa gadis itu bukan siapa-siapa... Kumohon...” Tangan Denny tetap memegang erat tangan Kristin. Nana pun menyadari ada sesuatu dalam pandangan Denny. Denny tidak berusaha untuk melarikan diri ataupun meminta maaf. Ketika Denny menunduk, Nana tahu, cinta Denny memang telah terbagi. Lalu, setitik air mata pun menetes ke lantai kafe. Detik berikutnya, tanpa bisa berkata satu patah kata pun, Nana berlari pergi meninggalkan Rangga yang terbengong-bengong sendirian di music corner.
Bagian 32 – Mengapa?
Nana berlari menuju pintu keluar kafe, beberapa mata memandangnya dengan heran. Rangga menyadari ada sesuatu yang tidak beres, dia pun segera mengalihkan perhatian tamu dengan memainkan instrumen lagu Eyes on Me. Sementara itu, Kristin segera beranjak dari kursinya. “Biar gua yang jelaskan. Kau tunggu di sini, Den.” kata Kristin. Tanpa menunggu jawaban Denny, Kristin pun segera berlari mengikuti Nana. Dia berhasil mengejar Nana di pelataran parkir, tepat di depan pintu masuk kafe. “Tunggu! Tunggu sebentar!” seru Kristin sambil memegang erat tangan Nana. “Aku bisa menjelaskan semua ini.” Nana menatap Kristin dengan mata yang basah. Dia tidak bisa berkata-kata. Biasanya dia sudah mengamuk kalau ada sesuatu yang membuatnya sakit hati, sebagaimana dia marahmarah kepada Adip. Tetapi saat itu dia begitu sedih sehingga lidahnya kelu, dan hanya air matanya saja yang mengalir deras. Saat itu, Rere muncul. Tadi dia melihat dari kejauhan bagaimana Nana tiba-tiba berlari pergi dari music corner. Tetapi karena pada saat itu Rere sedang mengantarkan pesanan, dia agak terlambat mengejar Nana. “Ada apa, Na?” tanya Rere. Tetapi Nana tidak menjawab. Rere nampak terkejut melihat air mata di pipi Nana, tetapi karena Nana tidak berkata apapun, Rere pun memandang Kristin. “Maaf, Anda siapa ya?” “Namaku Kristin. Aku... eh...” Kristin agak kelabakan memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan hubungannya dengan Denny. “Aku adalah mantan pacar Denny. Tapi tunggu, ini semua tidak seperti yang kalian pikirkan.” Kristin menatap Nana lurus-lurus. “Namamu Nana, kan? Dengar, Na... Denny tidak sedang mengkhianatimu. Maaf kalau aku membuatmu curiga, tapi sungguh, antara aku dan Denny tidak ada hubungan apa-apa.” “Bohong...” bisik Nana dengan suara serak. Dia memandang tangan Kristin yang mungil, dia melihat bagaimana tangan itu berpegangan erat dengan tangan Denny.
“Apa? Denny ada di sini, Na?” tanya Rere terkejut. Dia belum pernah bertatap muka dengan Denny, tentu saja dia tidak mengenali Denny di antara tamu-tamu di kafe itu. Nana mengangguk. “Denny bersamanya.” ujar Nana lagi. “Mereka berduaan. Berpegangan.” Kata-kata Nana membuat Rere terhenyak. Rere segera menatap Kristin. “Kau... selingkuhan Denny?” tanyanya. “Bukan begitu...” ujar Kristin salah tingkah. “Di mana Denny? Suruh dia ke sini.” perintah Rere dengan nada tegas. “Biar aku saja yang menjelaskan...” kata Kristin. “Tidak!” potong Rere segera. “Aku ingin Denny di sini, di luar kafe, agar aku dapat berbicara padanya sebagai teman Nana, bukan sebagai pegawai kafe ini.” Kristin menyerah. Dia masuk ke dalam kafe dan memanggil Denny, lalu kembali pada Nana dan Rere bersama Denny. Suasana di tempat itu sangat ganjil. Nana menangis dalam pelukan Rere, dia sama sekali tidak mau melihat Denny. Denny pun hanya bisa menunduk, sementara Kristin memandang Rere, Nana, dan Denny bergantian. “Ada yang bisa kau jelaskan?” tanya Rere pada Denny dengan suara tajam. Denny tidak menjawab, hanya membisu dengan wajah yang penuh perasaan bersalah. Dia menunduk, tidak tahu harus berkata apa. “Sudah kukatakan, kami...” ujar Kristin mencoba menjelaskan. “Biar Denny yang menjelaskan.” sekali lagi Rere memotong ucapan Kristin. Kristin pun menurut. Rere kembali menghujamkan tatapannya pada Denny. “Katakan, apa penjelasanmu untuk semua ini? Siapa dia?” “Kristin.” jawab Denny. “Dia... dia adalah mantan pacar aku.” katanya terpatah-patah. “Lalu?” “Hubungan kami... agak... kompleks...” Denny tidak tahu kata apakah yang lebih tepat untuk menjelaskan hubungannya dengan Kristin selain kompleks.
“Kompleks? Apakah cukup kompleks sampai membuat pacarmu sendiri sakit hati begini? Menangis seperti ini?” tanya Rere, tetap dengan nada tenang tapi tajam. “Maaf...” Denny tak berkata apa-apa lagi. Rere seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi dia terlalu kaget sehingga dia hanya bisa membisu dan mengelus punggung Nana. “Aku bermaksud mengakhiri semuanya hari ini.” gumam Kristin, memecahkan keheningan di antara keempatnya. Tanpa diduga, air matanya pun menetes. “Maaf Nana, aku harus jujur padamu. Aku memang mencintai Denny. Dulu kami putus bukan karena keinginan kami. Awalnya aku tidak tahu... ternyata Denny sudah punya pacar. Aku tidak bermaksud merusak hubungan kalian. Tapi aku... aku...” Denny menyentuh bahu Kristin, berusaha menenangkan gadis itu. “Sudahlah...” gumamnya. “Tidak Den, aku harus mengatakan ini.” kata Kristin. Lalu dia kembali menatap Nana. “Aku tidak akan mengganggu kalian lagi. Aku akan melupakan Denny, karena aku... tak berhak...” air mata Kristin pun mengalir deras – hampir sederas air mata di pipi Nana. Tiba-tiba, Denny memeluk Kristin. “Sudah Kristin, jangan bicara lagi!” dia memeluk Kristin, bukan Nana. Kristin pun terisak-isak di pelukan Denny. “Kumohon, jangan menangis lagi...” Nana mendengar kata-kata itu. Dia melihat kejadian itu. Nana menangis, Kristin juga sama. Tetapi Denny memeluk Kristin, bukan dirinya. Saat itu Nana sadar bahwa Denny sudah memilih Kristin, bukan dirinya. Percuma saja bertanya lebih jauh pada Denny, sebab Nana sudah tahu jawabannya. Denny mencintai Kristin, lebih daripada dirinya. Menyadari hal itu, Nana melepaskan diri dari pelukan Rere, lalu Nana berlari pergi tanpa berkata apapun. “Nana!” seru Rere. Tapi Nana tidak mempedulikan Rere, dia berlari menjauh. Nana menyeberang jalan, kemudian masuk ke sebuah taksi yang sedang menunggu calon penumpang. Rere berusaha mengejarnya, tapi lalu lintas yang cukup padat membuatnya tertahan. Terlambat, taksi yang ditumpangi Nana pun melesat pergi sebelum Rere berhasil mengejarnya. Rere mendesis, lalu segera kembali kepada Denny. “Cepat, kejar dia!” ujar Rere pada Denny. Rere tahu, hanya Denny yang bisa menenangkan Nana. “Kau dengar, tidak? Cepat kejar Nana! Kau bawa mobil, kan?”
Tapi Denny tidak bergeming, dia menunduk sambil merangkul Kristin yang terisak-isak. “Kejar dia, Den! Dia pacarmu!” seru Rere sambil menyentakkan tangan Denny dengan kasar. “Aku... tidak bisa...” ujar Denny sambil menarik kembali tangannya. “Apa?” Kening Rere bekerut tak percaya. “Aku tidak bisa meninggalkan Kristin lagi.” gumam Denny dengan suara pelan, tapi Rere dapat mendengarnya dengan jelas. “Begitu? Jadi kau mau mencampakkan Nana? Demi mantanmu ini, kau mau mencampakkan pacarmu yang sekarang?” tanya Rere dengan sengit. Denny menundukkan kepala, dan berpikir dalam-dalam. Ya, inilah pilihannya. Dia akan kembali pada Kristin. “Maaf.” gumamnya pada Rere. Rere mengepalkan tangannya untuk menahan emosi. Pada yang sama, Lino datang dengan mengendarai motor sambil membonceng Adip. Mereka mendengar suara Rere dari kejauhan sehingga Lino segera memarkirkan motornya dan bersama Adip berlari mendekati sumber suara. Ternyata Rere sedang berhadapan dengan Denny dan seorang gadis. Lino mengenali Kristin sebagai gadis yang dilihatnya sedang berpegangan tangan dengan Denny tempo hari. “Rere? Ada apa?” tanya Adip sambil melepaskan helm dari kepalanya. “Di mana Nana?” “Nana pergi.” jawab Rere. “Apa maksudnya dia pergi?” tanya Adip lagi. “Mungkin harus kau yang menjelaskan, Den. Bukankah begitu?” tanya Rere kesal. Tetapi Adip tidak perlu penjelasan lagi. Dia segera maju menerjang dan mendorong Denny sampai jatuh. Lalu Adip menarik leher baju Denny dengan kasar sambil mengangkat tangan, hendak menonjok wajah Denny. “Hentikan!” jerit Kristin nyaring. Dia menghalang-halangi Adip yang hendak melayangkan tinjunya pada Denny. “Jangan! Semua ini salahku! Jangan pukul Denny!” “Brengsek! Dasar brengsek!” teriak Adip.
“Jangan, Dip!” sahut Lino segera sambil menarik Adip, tetapi Adip tidak mau melepaskan cengkramannya dari pakaian Denny. “Apapun yang kau lakukan tidak akan membuat Denny kembali pada Nana.” “Gua nggak sudi dia kembali lagi pada Nana! Anjing! Dasar anjing!” umpat Adip marah, sementara Kristin terus berusaha menahannya agar tidak memukul Denny. “Sudahlah Adip, biarkan saja dia.” kata Lino sambil berusaha menarik tubuh Adip, menjauh dari Denny. “Yang penting, kita cari Nana dulu. Ayolah!” Adip pun terdiam, tetapi dia tetap memegang erat kerah pakaian Denny. Ditatapnya Denny dengan nafas memburu karena amarahnya. Denny tidak bergeming, dia juga tidak melawan ataupun berusaha melepaskan diri dari Adip. “Ayo Dip... kasihan Nana. Dia sendirian.” kata Lino berusaha meyakinkan Adip. “Lino benar, Dip. Cepatlah pergi, kejar Nana.” kata Rere. Sesaat Adip mematung, tangannya sudah gatal ingin mengajak Denny berkelahi. Tapi dia sadar kalau Lino dan Rere benar. Mencari Nana lebih penting daripada menonjok Denny. “Baiklah.” ujar Adip akhirnya. Adip pun melepaskan tangannya dari Denny, lalu bergerak mundur. Kristin segera berjongkok dan memeluk Denny dengan tangan gemetar. “Jangan sekali-kali lagi gua lihat lu mendekati Nana. Dasar anjing!” Pandangan marah Adip tetap tertuju lurus pada Denny. “Sudah Dip, jangan buang-buang waktu untuk pecundang seperti itu.” kata Lino. Adip pun mengangguk. “Ya.” katanya. “Cepatlah, jangan biarkan Nana sendirian. Gua takut dia berbuat nekat.” kata Rere pada Adip dan Lino. “Ya.” kata Lino segera. Rere memberitahu Adip dan Lino ke mana arah taksi yang ditumpangi Nana pergi, lalu kedua pemuda itu pun segera kembali ke motor dan pergi mencari Nana.
Sementara itu, di depan kafe, Kristin membantu Denny berdiri. Lalu dia memandang Rere dengan penuh penyesalan. “Maaf...” gumam Kristin. Belum juga Kristin selesai bicara, tanpa peringatan apa-apa, Rere menampar Denny. Kristin terkejut, begitu pula Denny. Wajahnya memerah karena tamparan Rere sangat kuat. “Gua hanya melakukan apa yang seharusnya Adip lakukan.” kata Rere dengan nada dingin. “Lu boleh mengadukan hal ini pada manager gua; dia ada di dalam. Tapi, gua sama sekali nggak menyesal.” Denny masih terkejut karena tamparan itu, tapi kemudian dia mengangguk. “Nggak apa-apa. Gua memang pantas untuk ini.” katanya lirih. “Sekarang pergilah. Pekerjaanku masih sangat banyak.” ujar Rere sambil melangkah masuk ke dalam kafe. “Ya.” Denny mengangguk. “Tolong sampaikan permohonan maafku pada Nana.” “Tidak perlu. Permintaan maafmu tidak akan menyembuhkan sakit hati Nana.” sahut Rere sambil berlalu. Malam itu, langit nampak begitu gelap. Tidak ada bintang yang nampak, cahaya bulan yang pucat pun terhalang oleh awan hitam. Perlahan hujan gerimis pun turun membasahi Bandung, seolah menangisi luka di hati Nana. Mengapa semua ini harus terjadi?
Bagian 33 – Cewek Harus Kuat!
Tak seorangpun tahu ke mana Nana pergi. Dalam sekejap Nana menghilang, tapi sebenarnya Nana pergi ke kost Denny. Dia mengambil semua barangnya yang dibawa ke kost Denny. Padahal tadi sore Nana sudah meletakkan semua pakaiannya di lemari dan merapikan figurafigura fotonya di meja belajar Denny, tapi sekarang Nana harus membereskannya kembali ke dalam koper. Selama itu, air mata Nana tidak berhenti mengalir. “Nana...?” tiba-tiba terdengar seseorang memanggil Nana. Nana menoleh, ternyata Sheila. Sepertinya Sheila mendengar tangis Nana dari kamar sebelah. Nana berusaha menghapus air matanya karena dia tidak ingin terlihat menangis di hadapan Sheila. Nana tak pernah menyukai Sheila. Pada kenyataannya, dia sebal pada cewek itu. Tapi kali ini Nana tidak dapat memikirkan apapun selain rasa sakit hatinya. Itulah sebabnya air matanya mengalir lagi, sebagaimanapun Nana berusaha menahannya. “Lu mau pergi?” tanya Sheila sambil menatap barang-barang Nana yang sedang dibereskan ke dalam koper. Nana mengangguk. “Nggak ada gunanya gua di sini lagi. Denny sudah meninggalkan gua.” jawabnya dengan air mata yang berlinang-linang. Sheila mendekat, lalu berjongkok di sebelah Nana dan memeluknya. “Nggak apa-apa. Lu boleh menangis sepuasnya Na, kalau memang lu merasa baikan dengan menangis.” Nana agak terkejut karena rangkulan Sheila itu. Tetapi Nana juga tidak menghindar. Rasa sedih yang meluap-luap, melebihi rasa tidak suka pada Sheila, membuat Nana menunduk dan membiarkan dirinya menangis dalam rangkulan Sheila. “Padahal gua sayang banget sama dia...” ujar Nana di tengah isak tangisnya. “Demi dia, gua rela bertengkar dengan Adip dan minggat dari Rumah Hijau. Gua melakukan semuanya demi dia... Gua nggak percaya... dia tega mengkhianati gua...” Selama beberapa belas menit Nana menangis, bahunya nampak berguncang dan tangannya gemetaran. Sheila tidak berbicara, dia hanya mengelus kepala Nana dengan wajah prihatin.
Setelah merasa lebih tenang, Nana pun mengambil sehelai tissue, kemudian menyeka air mata serta ingus di hidungnya. “Sudah, gua sudah nggak apa-apa.” sahut Nana sambil melepaskan diri dari rangkulan Sheila. Sheila mengambil sebotol air mineral yang tergeletak di atas meja belajar Denny, kemudian memberikannya pada Nana. “Ini, minumlah sedikit.” Nana menerimanya, lalu minum sedikit. Dia memang agak haus. Dirasakannya air mengalir di tenggorakannya yang kering. “Thanks.” katanya dengan suara lemah. “Bagaimana? Feel better?” Nana mengangguk. Sheila menghela nafas. “Sudahlah Na. Lu harus menerima kenyataan ini. Sakit memang, tapi semua ini adalah yang terbaik untuk lu.” Nana memandang Sheila dengan heran. Mengapa Sheila berkata seperti itu, seolah dia sudah tahu semuanya? “Apa maksud lu?” tanya Nana. “Sebenarnya gualah yang menyuruh Kristin ke Sunflower Cafe. Lu pikir semua ini hanya kebetulan?” ujar Sheila. “Kadang-kadang kebetulan harus direncanakan.” Nana memandang Sheila dengan bingung. “Apa?” tanyanya tak mengerti. “Sebenarnya gua tahu bahwa Denny berbohong. Dia nggak pergi ke kost temannya, tapi pergi bersama Kristin.” kata Sheila. “Gua pikir, kalaupun gua bilang, lu nggak akan percaya. Oleh karena itu gua menelepon Kristin, lalu menyarankan dia supaya pergi makan di Sunflower Cafe. Tadi lu bilang, lu minta dijemput di sana ‘kan?” Sheila menjelaskan dengan wajah tenang. “Gua ingin lu sendiri yang melihat kenyataannya.” “Apa? Jadi lu menjebak kami?” tanya Nana dengan tatapan tidak percaya. “Menjebak? Ya... bisa dibilang begitu.” “Kenapa? Kenapa lu lakukan itu? Lu ingin merusak hubungan gua dengan Denny?” tanya Nana dengan suara gemetar.
“Jadi lu ingin terus dibohongi?” Sheila balik bertanya. Nana terdiam. Dia masih belum bisa mempercayai apa yang didengarnya. Hanya dengan satu kesempatan saja Sheila berhasil menjebak ketiganya? Nana tidak tahu harus berkata apa, tidak juga tahu apa yang harus dirasakannya. Mengapa Sheila begitu tega? Tetapi jika tidak begitu, mungkin sampai saat ini Nana belum tahu kenyataannya. “Selama ini, gua sadar ada yang timpang dalam hubungan antara lu dan Denny.” ujar Sheila. “Denny tak bisa menjadi dirinya sendiri saat bersama lu. Dia selalu berusaha menjadi cowok sempurna seperti yang lu tuntut, tanpa sadar bahwa hal itu menjadi beban baginya. Dia bahkan nggak mengerti perasaannya sendiri.” “Apa? Jadi menurut lu, ini salah gua?” tanya Nana dengan suara serak. Ditatapnya Sheila dengan marah. “Yang selingkuh itu adalah Denny! Dia yang menduakan gua!” “Ya, untuk itu, Denny memang salah. Tetapi Denny punya alasan untuk menduakanmu.” “Alasan apa? Bagi gua nggak ada alasan. Dia laki-laki brengsek. Dan cewek itu, dia... dia...” ucapan Nana terpatah-patah. “Dia... adalah cewek paling hina yang pernah gua lihat. Mereka memang brengsek. Gua benci mereka!” “Dewasalah sedikit, Nana.” sela Sheila dengan nada tajam. Nana memandangnya lurus-lurus. “Dalam hidup lu, pemeran utamanya memang adalah lu. Tapi Denny juga punya kehidupan; kehidupan yang lebih rumit daripada yang lu tahu.” Ucapan Sheila membuat Nana terdiam. Dia menatap Sheila lurus-lurus, tidak mengerti ke mana Sheila akan membawa percakapan itu. “Na, tidak adil bagi Denny kalau lu mencap dia sebagai cowok brengsek sebelum lu tahu permasalahannya. Dia nggak semata-mata berselingkuh dan membohongi lu karena dia memang senang melakukannya.” kata Sheila. “Kalau begitu, apa alasannya?” “Lu harus tahu sesuatu tentang masa lalu Denny dan Kristin.” kata Sheila. “Sebenarnya, mereka sudah berpacaran sejak SMA, tapi bokap Kristin nggak pernah merestui hubungan mereka. Gua nggak tahu jelas alasannya, tetapi yang gua tahu, bokap Kristin adalah seorang
pengusaha kaya. Mungkin dia ingin Kristin berpacaran dengan pria yang sekelas dengannya. Tapi walaupun ditentang habis-habisan, Denny dan Kristin tetap berpacaran.” Sheila menarik nafas, memberikan ruang bagi Nana untuk mencerna ceritanya. Tetapi Nana tetap membisu. Sheila pun melanjutkan. “Sampai suatu hari, kira-kira seminggu sebelum kelulusan Denny, Kristin kabur dari rumah karena bertengkar hebat dengan bokapnya. Dia pergi ke rumah Denny dengan mengendarai mobil kakaknya, padahal dia sendiri belum mahir menyetir mobil. Lalu, dalam perjalanan, Kristin mengalami kecelakaan sehingga dia harus mendekam di rumah sakit selama sebulan. Kejadian itu sangat memukul Denny, sebab Dennylah yang mengajarkan Kristin menyetir. Maka, setelah lulus, Denny pun memutuskan untuk kuliah di Bandung tanpa memberitahu Kristin. Sejak saat itu keduanya tak pernah berhubungan lagi. Walaupun demikian, Kristin tidak pernah berhenti mencari jejak Denny hingga sampailah dia di sini, di hari ini.” Cerita itu tidak pernah didengar Nana dari mulut Denny. Meskipun rasa sedih dan marah masih meliputinya, tapi entah mengapa muncul rasa iba dalam hatinya. Nana menunduk, lalu menarik nafas panjang. “Gua... nggak pernah tahu soal itu.” gumam Nana. “Denny tidak pernah bilang apa-apa...” “Sudahlah, sekarang lu sudah tahu semuanya. Lu bisa menilai sendiri ‘kan arti kebohongan Denny.” ujar Sheila. “Tapi...” ujar Nana. “Kalau memang Denny sangat cinta sama Kristin, seharusnya sejak awal pun dia tidak perlu mendekati gua. Tidak perlu pacaran...” “Oh, come on, Na... apa yang Denny lakukan hanya memulai hidup baru. Dan ternyata, dia belum bisa melupakan Kristin. Manusiawi sekali, ‘kan?” kata Sheila. “Ya, memang. Manusiawi. Tapi gua juga manusia, La. Gua nggak bisa memaafkan Denny begitu saja. Dia sudah membohongi gua... dan gua nggak bisa menerima itu.” kata Nana. “Gua nggak meminta lu untuk memaafkan Denny, kok. Sebagai teman Denny, gua hanya merasa bahwa lu perlu tahu yang sebenarnya. Setelah itu, lu bisa memutuskan segalanya menurut hati dan pikiran lu.” ujar Sheila.
Nana mengangguk. Dia berpikir sebentar sambil beberapa kali mengerjapkan matanya yang sembab dan berair. Tapi setelah sakian lama, akhirnya Nana membuka mulut juga. “Apapun yang terjadi di antara Denny dan Kristin, itu semua... bukan urusan gua.” ujar Nana serak. “Gua akan melupakan Denny. Gua nggak akan menyalahkan dia lagi. Tetapi gua juga... tidak mau melihat dia lagi.” “Silahkan. Itu hak lu, Na.” sahut Sheila. Nana menggangguk. Dia memandang Sheila dengan wajah lesu. “Sudahlah... gua lelah. Gua ingin pulang. Kepala gua pusing.” katanya. “Baiklah.” sahut Sheila sambil membantu Nana membereskan barang-barangnya. Setelah semua barang dimasukkan ke dalam koper kecilnya, Nana pun memberikan kunci kamar Denny pada Sheila. “Gua nggak akan kembali lagi ke sini.” kata Nana. “Ya.” Nana pun menjinjing kopornya. “Thanks, La...” “Untuk apa?” “Entahlah. Meskipun sakit hati, tapi anehnya, gua juga merasa lega. Jadi gua pikir, mungkin gua memang harus berterima kasih karena lu telah membukakan segalanya.” kata Nana. Sheila tertawa. “Gua melakukan ini bukan untuk lu. Bukan juga untuk Kristin, atau Denny.” katanya. “Sudahlah, yang penting, lu sudah tahu semua yang semestinya lu tahu.” “Ya.” kata Nana. “Gua pulang dulu ya.” Sheila mengucapkan selamat jalan, sementara Nana mengangguk. Dia memalingkan wajah, lalu pergi dengan langkah gontai. Tapi baru saja dia berjalan keluar dari kamar Denny, Sheila memanggilnya lagi. “Na...” Nana menoleh. “Punya cowok membuat hidup terasa lebih hidup. Tapi bukan artinya kita tidak bisa hidup tanpa cowok.” kata Sheila. “Cewek harus kuat.”
Nana terdiam sesaat sebelum menyunggingkan sebuah senyum tipis. “Iya. Makasih.” Nana pun melanjutkan langkahnya dan pergi, untuk selama-lamanya. Dia tidak akan kembali ke tempat kost itu, sebagaimana dia tidak akan kembali lagi pada Denny. Bukan hanya karena rasa sakit hati atau gengsinya semata, tetapi karena dia sudah tahu di mana sebenarnya cinta sejati Denny berada. Sakit? memang. Tapi biarlah, mungkin Sheila benar, inilah yang terbaik. Saat itu malam sudah terlalu larut dan tidak ada angkot lagi yang lewat. Nana pun harus berjalan kaki menuju Rumah Hijau, padahal jaraknya cukup jauh. Belum lagi dia membawa koper yang cukup berat. Namun angin malam yang tidak mengenal belas kasihan malah berhembus semakin kencang sehingga bahu Nana yang tidak terbalut jaket menggigil kedinginan. Rasa sedih, lelah, pegal pada tangan dan kakinya, serta udara dingin yang membekukan tulang membuat Nana semakin frustasi. Namun, hanya beberapa detik sebelum Nana menyerah, terdengar seseorang menyerukan nama Nana. Samar-samar, tapi jelas terdengar – suara Adip dan Lino yang bersahut-sahutan di antara deru knalpot motor yang menggema. Nana menoleh, dari kejauhan dilihatnya seberkas cahaya muncul, semakin lama semakin terang. “Nana!” Rupanya benar, Lino datang dengan motornya sambil membonceng Adip. Motor Lino berhenti tepat di dekat Nana. Nana tidak berkata-kata, tapi dia memandang Lino dan Adip dengan bingung seolah sedang melihat halusinasi. Wajah Lino tetap seperti biasa, datar tanpa ekspresi, tapi sebenarnya Lino lega karena menemukan Nana. “Lu baik-baik saja?” tanya Adip sambil turun dari motor, lalu memegang tangan Nana yang nyaris beku. Adip melepaskan pun jaketnya sendiri dan melingkarkannya di bahu Nana. Nana tidak menjawab, hanya menganggukkan kepalanya. Dia tetap memandang Adip dengan ragu, apakah dia sedang bermimpi atau tidak. “Dari tadi kami mencari lu. Lu ke mana aja? Kenapa nggak menelepon?” tanya Adip lagi. Padahal gua sudah menyakiti lu, Dip, tapi lu begitu mengkhawatirkan gua... pikir Nana. Dia merasa sangat bersalah. Dia ingin meminta maaf, tapi entah mengapa, lidahnya terasa kelu. Nana pun menunduk, dirasakannya air mata kembali memanas di sudut matanya. “Na? Kenapa?”
Nana menjatuhkan kopernya ke tanah, lalu memeluk erat Adip dan membiarkan air matanya mengalir lagi. “Maaf Dip...” gumam Nana di tengah isak tangisnya. Suaranya yang hampir habis terdengar begitu memilukan. “Sudahlah, Na...” “Maaf, gua nggak percaya sama lu. Gua malah membela Denny. Padahal... padahal...” suara Nana tercekat. Adip pun mengelus rambut Nana yang terasa dingin karena udara malam. “Sudahlah. Yang sudah lewat, biarkan saja berlalu.” Lino memandang keduanya sambil tersenyum lega. Akhirnya mereka berbaikan lagi. “Kita pulang, yuk?” ajak Lino. “Kita kembali lagi ke Rumah Hijau. Mungkin Rere sudah pulang dan menunggu kita di sana.” “Lino benar.” kata Adip. “Ayo kita pulang, Na. Rere sangat mengkhawatirkan lu.” Nana menghapus air matanya, lalu mengangguk. Lino memberikan helmnya sendiri pada Nana, lalu mengajak Nana naik ke atas jok belakang motornya. “Ayo kita pulang.” “Ya.” jawab Nana. Dengan dibantu Adip, dia pun duduk di jok belakang motor Lino. “Pegangan ya.” “Ya.” Detik berikutnya, motor Lino melesat di atas aspal yang licin, meninggalkan Adip di pinggir jalan. Adip memandang cahaya lampu motor Lino yang semakin meredup ditelan kegelapan malam sambil menghela nafas panjang. Tak lama kemudian, jejak keduanya sudah hilang sama sekali. Tapi, tiba-tiba Adip teringat sesuatu. “No! Jangan lupa balik lagi! Jemput gua!” teriak Adip sekencang mungkin. Tapi tentu saja Lino lupa.
Bagian 34 – Seminggu Kemudian
Waktu bergerak dengan cepat. Nana berusaha melupakan Denny meskipun setiap malam, kesepian kerap yang melandanya. Berkat dukungan Rere, Adip, Lino, dan Agal; anak anjing kesayangannya, perlahan-lahan Nana berhasil pulih dari rasa sedihnya. Keretakkan hubungan di antara Nana dan Adip pun menguap begitu saja, seolah tidak pernah terjadi. Pada suatu sore yang agak mendung, Nana pulang dari kampus bersama Adip dan Lino. Rere tidak pulang bersama mereka, sebab Rere harus pergi ke tempat kerjanya dua jam lebih cepat untuk menggantikan tugas salah seorang rekannya yang sakit. “Hacihhh!” Adip bersin-bersin. “Adip jorok ah, ingusnya keluar tuh!” protes Nana. “Gara-gara Lino nih!” kata Adip sambil mengeluarkan sapu tangannya, lalu membersihkan hidungnya. “Kok gara-gara gua?” “Masih nanya pula! Siapa tuh yang lupa menjemput gua sampai-sampai tengah malam gua harus jalan kaki ke Rumah Hijau sendirian?” tanya Adip sambil mencibir. Lalu dia bersin lagi dengan suara nyaring. “Haciiihhh...!” Lino dan Nana pun tertawa. Tapi tawa mereka terhenti ketika dari kejauhan mereka melihat seorang wanita berdiri di depan gerbang Rumah Hijau. Wanita itu berulang kali melihat arloji di pergelangan tangannya, kelihatannya dia sedang menunggu seseorang. “Siapa itu?” tanya Lino. “Lho? Itu kan... mamanya Rere?” gumam Nana. Dia masih ingat wajahnya karena tempo hari mereka pernah bertemu. “Oh ya?”
Nana pun segera berlari menghampiri wanita itu, diikuti oleh Adip dan Lino. “Tante! Kenapa tidak masuk saja?” Mama Rere nampaknya masih ingat pada Nana. Beliau pun tersenyum. “Tadi Tante sudah beberapa kali membunyikan bel, tapi tidak ada yang membuka.” “Oh iya, hari ini Pak Udin dan istrinya pergi mengunjungi anaknya yang sakit. Jadi tidak ada siapa-siapa selain kami.” kata Nana. Nana pun mengeluarkan kunci yang dititipkan oleh Pak Udin padanya, kemudian membuka gerbang dan mempersilahkan Mama Rere masuk. “Tante sedang menunggu Rere?” “Iya. Dari tadi Tante menelepon, tapi tidak aktif.” kata Mama Rere. “Mungkin batrenya habis.” kata Nana. “Sekarang Rere sedang bekerja. Tadi sepulang kuliah, Rere segera berangkat ke kafe, hari ini dia masuk lebih cepat.” “Oh...” Mama Rere mengangguk. Nana merasa enggan meninggalkan Mama Rere sendiri, oleh karena itu, setelah menyimpan tasnya di kamar, Nana pun kembali menemani Mama Rere mengobrol sambil menyuguhkan minuman. Sementara itu Lino tidak bisa menahan kantuk sehingga dia pergi tidur, sementara Adip mendekam di kamar karena pileknya yang parah. “Ngomong-ngomong...” kata Nana di tengah obrolannya dengan Tante Dela – begitulah nama Mama Rere. “Bulan ini sudah dua kali Tante mengunjungi Rere. Tadi kenapa adik Rere tidak diajak? ” “Iya sih, tadinya Ryan juga ingin ikut. Tapi ‘kan sekarang dia sedang ujian.” kata Tante Dela. Mendengar nama Ryan, Nana jadi teringat sesuatu tentang ‘adik’ Rere yang seorang lagi, yaitu Yudistira. “Tante, apa Rere masih punya seorang adik laki-laki lagi? Kalau tidak salah... yang namanya Yudistira?” tanya Nana lagi. “Yudistira? Ah tidak kok, adik Rere hanya Ryan. Kenapa?” “Tidak, tidak apa-apa. Mungkin saya salah dengar saja.” kata Nana.
Tapi Nana tahu kalau dia tidak salah dengar. Dia ingat betul, Rere menyebut nama Yudistira sewaktu Nana melihat foto anak laki-laki di kamar Rere. Kalau anak laki-laki pada foto itu bukan adik Rere, jadi siapa dia? Mengapa Rere berbohong? “Ah, sepertinya Renata akan pulang malam ya?” kata Tante Dela membuyarkan lamunan Nana. Beliau melihat arlojinya, kemudian mengerutkan kening. “Tadinya Tante pikir akan sempat bertemu Renata dulu. Tapi ya sudahlah, Tante titip ini saja untuk Renata.” katanya lagi sambil mengeluarkan sejumlah uang, lalu memasukkannya ke dalam amplop. “Nanti saya berikan.” ujar Nana sambil menerima amplop uang itu dari tangan Tante Dela. “Sekalian tante juga mau menitipkan pesan untuk Renata, nanti kalau Renata pulang, suruh dia segera hubungi tante.” “Tapi biasanya Rere pulang jam sebelas. Apa sebaiknya Rere menelepon tante besok pagi saja?” tanya Nana. “Nggak apa-apa. Tante biasa tidur jam dua belas, kok.” kata Tante Dela. Nana mengangguk, tanda mengerti. “Yah sudahlah, Tante pergi dulu. Masih banyak urusan lain.” “Hati-hati, Tante.” Tak lama kemudian, Tante Dela pun pergi. Nana pergi ke kamarnya, kemudian menjatuhkan diri di ranjangnya yang empuk, kemudian membaca sebuah novel baru yang sudah lama menganggur di mejanya. Ketika sedang asyik membaca, Nana dikejutkan oleh gonggongan Agal, tepat di bawah jendela kamarnya. Nana pun melongok keluar, ternyata Agal kaget karena melihat seekor kucing yang lewat di pagar. “Sudah Gal, cuma kucing, kok! Jangan menggonggong terus, nanti Adip marah.” ujar Nana. “Guk!” Agal menggonggong sekali lagi sambil memandang Nana. “Ssttt...” Nana menempelkan telunjuknya di bibirnya. Seolah mengerti ucapan Nana, Agal menghentikan gonggongannya. Dia berlari kembali ke kandangnya dan tidak bersuara lagi. “Good boy!” puji Nana dalam hati. Dia pun berbalik sambil melirik ke arah jam dinding di atas pintu. Ternyata sudah pukul sepuluh kurang lima. “Ah, sudah malam!” desis Nana kaget.
Nana belum mandi, bahkan kaos yang dikenakannya sejak siang belum diganti. Tetapi karena malam sudah terlalu dingin, Nana memutuskan untuk mencuci muka saja. Nana pun keluar dari kamarnya, menuju kamar mandi yang terletak di pinggir tangga. Di sana, dia berpapasan dengan Rere yang baru saja pulang. “Kok sudah pulang Re?” tanya Nana. Biasanya Rere pulang pukul sebelas lebih. “Kan tadi gua masuknya lebih cepat, jadi boleh pulang jam sembilan lebih.” jawab Rere. “Oh ya, Re, tadi mama lu ke sini. Dia menitipkan uang.” kata Nana. “Uang?” “Sebentar ya.” Nana kembali ke kamarnya untuk mengambil amplop uang yang dititipkan Tante Dela, lalu dia memberikannya kepada Rere. “Lu juga disuruh menelepon mama lu.” tambah Nana. “Oke.” Rere mengangguk sambil menerima amplop uang itu, kemudian masuk ke kamarnya. Sementara itu Nana pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan membasuh mukanya. Ketika kembali ke kamarnya, Nana melewati pintu kamar Rere, dan tanpa sengaja dia mendengar suara Rere. “Mama pikir dengan memberi uang, maka aku berubah pikiran?” Suara Rere membuat Nana kaget, sekaligus heran. “Eh? Apa ada?” pikir Nana. “Bukan ini yang aku butuhkan, Ma! Aku hanya butuh waktu! Itu saja!” terdengar suara Rere lagi. Nada suaranya semakin meninggi. Nana bingung apakah dia harus segera pergi agar tidak mendengar lebih jauh atau mengetuk kamar Rere untuk menanyakan apa yang terjadi. Sepertinya Rere sedang berbicara dengan mamanya lewat telepon. Tapi kenapa nada suara Rere terdengar seperti marah ya? Rasa ingin tahu membuat Nana tidak bergerak sedikitpun. “Terserah Mama saja!” Nana mengernyitkan keningnya. Apa sih yang mereka bicarakan?
Rere masih berbicara beberapa patah kata lagi, tetapi suaranya kurang jelas sehingga Nana menempelkan telinganya ke pintu. Setelah itu segalanya menjadi hening, dan tiba-tiba saja, Rere membuka pintu kamarnya. Nana kaget sekali, begitu pula Rere yang mendapati Nana sedang menguping pembicaraannya. “Ada apa?” tanya Rere. Nampaknya kekesalannya masih tersisa, karena dia berbicara kepada Nana dengan wajah jutek. Nana bingung menghadapi Rere yang biasanya kalem dan lembut, tiba-tiba menjadi galak. Dia juga merasa sangat bersalah. “Maaf... tadi gua nggak sengaja dengar.” Rere menatap Nana dengan tajam. Dia tahu kalau Nana memang sengaja menguping. Tapi kemudian dia berpaling. “Sudahlah!” katanya. Rere melewati Nana, kemudian pergi ke kamar mandi. Ditutupnya pintu dengan agak kasar. Nana menunduk, dia sedih melihat Rere bersikap seperti itu padanya. Tapi kalau dipikirpikir, memang salahnya sendiri sih... Menyadari hal itu, Nana pun kembali ke kamarnya. Dia menutup pintu kamarnya, lalu merebahkan diri di ranjang. Kira-kira lima belas menit kemudian, terdengar pintu kamar Nana diketuk. “Na...” terdengar suara Rere dari balik pintu. “Gua masuk, ya?” “I, iya...” Lalu Rere pun masuk, baik suara maupun wajahnya nampak seperti biasa lagi. “Sudah mau tidur, Na?” tanya Rere. “Belum kok.” jawab Nana, agak kikuk. “Gua hanya tidur-tiduran saja.” Rere mengangguk. Dia menghampiri Nana, lalu duduk di sebelah Nana. “Na, maaf ya, tadi gua emosi.” “Nggak apa-apa kok, gua yang salah.” kata Nana sambil memegang tangan Rere. “Gua juga harus minta maaf Re. Gua nggak bermaksud menguping, kok. Gua hanya bingung kenapa lu marah-marah.” Sekali lagi Rere mengangguk, kemudian menghela nafas panjang. “Sekali lagi, sori ya. Gua memang sedang kesal, tapi tidak semestinya gua membentak lu seperti tadi.”
Rere berusaha bersikap biasa, namun Nana menyadari ada sesuatu yang masih mengganjal di hati Rere. “Sebenarnya ada apa sih, Re?” tanya Nana. Rere berusaha tersenyum, berpura-pura tidak ada apa-apa. “Tadi gua hanya agak kesal pada mama. Tapi sekarang sudah tidak apa-apa, kok.” “Memangnya kesal kenapa?” tanya Nana lagi. “Cerita dong, mungkin dengan begitu lu jadi merasa lega.” Rere menggeleng. “Nggak ada apa-apa kok. Hanya masalah sepele saja.” katanya. “Masa sih? Masalah sepele nggak mungkin membuat lu marah begitu, kan? Nggak biasanya lu emosi seperti tadi.” ujar Nana. “Ya, mungkin karena capek kerja, gua jadi emosi.” ujar Rere lagi. Tapi Nana puas pada jawaban Rere. Ditatapnya Rere dengan penuh rasa ingin tahu. “Ah... Jangan-jangan, masalah ini ada hubungannya dengan uang tadi?” Rere menghela nafas panjang. “Sudahlah Na, masalah itu nggak usah lu pikirin. Itu urusan gua.” “Kok gitu, Re? Masalah lu ‘kan masalah gua juga. Gua kan sahabat lu.” sahut Nana sambil menyentuh tangan Rere. “Sori Na, tapi gua malas membicarakan itu, Na. Gua ke sini hanya ingin minta maaf saja.” ujar Rere sambil menarik tangannya “Gua tidur dulu, ya? Sudah malam nih.” “Lho, Re?” Nana berusaha mencegah Rere. Tetapi Rere benar-benar tidak mau membicarakan masalahnya pada Nana. Dia keluar dari kamar Nana, menutup pintu, dan kembali ke kamarnya sendiri. Nana hanya menghela nafas panjang. Ada apa sih sebenarnya?
Bagian 35 – Rere Menghindar
Keesokan harinya, Nana tidak mengikuti kuliah pagi karena kesiangan. Ketika Nana bangun, Rere sudah berangkat. Biasanya Rere selalu membangunkan Nana kalau sampai jam setengah tujuh pagi Nana masih di kamar, namun sekali itu Rere pergi seorang diri. Nana mengira Rere masih merasa tidak enak karena kejadian kemarin. Seharian itu Rere tidak sama sekali menampakkan diri di hadapan Nana. Adip dan Lino pun tidak melihatnya, baik di kampus maupun di Rumah Hijau. Handphonenya pun tidak bisa dihubungi “Rere kenapa ya?” tanya Nana sambil mengelus-elus kepala Agal. Malam itu, dia bersama Lino sedang ngobrol di halaman Rumah Hijau. Adip ada di kamarnya sendiri, sedang sibuk bermain game sambil chatting dengan Candy. “Memangnya kenapa?” tanya Lino. “Kemarin, gua nggak sengaja mendengar pembicaraan Rere sama nyokapnya, lewat telepon.” Nana menjelaskan. “Suara Rere seperti marah-marah. Lalu, karena penasaran, gua curi-curi dengar. Eh... tiba-tiba Rere keluar dari kamar. Kepergok lah gua.” “Terus, sekarang Rere marah sama lu?” Nana mengangkat bahunya. “Nggak tahu juga, sih. Soalnya sesudah itu, Rere pergi ke kamar gua dan minta maaf karena dia sudah ngebentak gua. Tapi sesudah itu pun, Rere diam saja. Dia nggak mau cerita apa-apa meskipun gua tanya.” Cerita Nana membuat Lino teringat kejadian tempo hari, ketika mama Rere datang ke Rumah Hijau untuk pertama kalinya. Saat itu juga Lino mendengar Rere sedang bertengkar dengan mamanya. “Ya... kalau bertengkar dengan mamanya, kemungkinan besar Rere ada masalah keluarga.” kata Lino kemudian. “Sepertinya sih memang begitu. Tapi kenapa Rere nggak mau cerita sama gua, ya?” “Kalau masalah keluarga sih, kadang-kadang sulit dibicarakan.” kata Lino lagi. “Sebaiknya lu jangan maksa Rere untuk cerita, Na. Nanti dia malah merasa dipaksa.”
“Tapi kasihan ‘kan kalau Rere memendam masalahnya sendiri.” sahut Nana. “Tapi kalau diingat-ingat, Rere memang nggak pernah cerita apapun tentang hidupnya, ya?” Lino mengangguk. “Tapi ya, sudahlah. Sebaiknya kita biarkan Rere sendirian dulu. Mungkin dia menjauhi kita karena membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. Gua yakin, besok dia sudah kembali seperti biasa.” “Semoga saja begitu.” gumam Nana. Tapi keesokannya pun Rere masih menyembunyikan diri dari Nana dan kedua sahabatnya yang lain. Bahkan hari itu Rere tidak kuliah, entah ke mana dia pergi. Malamnya pun Rere bekerja lebih lama dari biasanya. Ketika dia pulang, semuanya sudah tertidur, kecuali Adip. Tapi Adip terlalu asyik bermain game sampai-sampai dia tak mendengar suara Rere menutup pintu gerbang yang berdecit-decit karena sudah karatan. “Gua yakin, pasti ada sesuatu.” kata Nana pada Adip dan Lino. Saat itu ketiganya baru saja keluar dari ruang kelas. Sebenarnya Nana, Adip, Lino, dan Rere mengambil kelas yang sama, tapi lagi-lagi Rere tidak masuk kuliah. “Rere nggak boleh terus-menerus bolos kuliah begini.” “Mungkin Rere sedang jenuh, jadi malas kuliah.” kata Adip. Di antara ketiga orang itu, hanya Adip yang tidak ambil pusing karena perubahan sikap Rere. “Rere nggak seperti lu, Dip. Dia bukan tipe pemalas.” sahut Nana. “Gua nggak males. Buktinya hari ini gua kuliah.” kata Adip. “Tapi di kelas pun lu tidur, ‘kan?” celutuk Lino. “Jadi apa gunanya kuliah?” “Yang penting gua masuk ke kelas.” Adip membela diri. “Masuk kelas doang nggak akan bikin nilai lu jadi A, Dip.” kata Lino lagi. “Kuliah itu bukan soal nilai, No. Yang penting, pengalaman.” “Pengalaman menjelajah dunia mimpi, maksud lu?” ujar Lino sambil nyengir, diikuti tawa Adip yang renyah. “Hei, hei... kalian ini bagaimana sih? Gua lagi pusing memikirkan Rere, kok kalian malah bercanda, sih?” protes Nana dengan kening berkerut. Lino pun segera menghentikan tawanya.
“Lu kenapa sih? Rere ‘kan sedang punya masalah, jelas lah kalau dia nggak mood kuliah. Lu kayak ibu-ibu yang lagi pusing mikirin anaknya deh.” komentar Adip. “Masalahnya, kalau Rere bolos terus, bisa-bisa beasiswanya dicabut. Lu tahu ‘kan kalau Rere mengandalkan beasiswa untuk kuliah.” ujar Nana dengan nada serius. “Apa lu nggak kasihan pada Rere kalau dia sampai berhenti kuliah karena nggak mendapatkan beasiswa?” “Iya sih...” “Ngomong-ngomong, daftar penerima beasiswa untuk semester depan sudah diumumkan, tuh. Kita cek saja.” ujar Lino sambil menunjuk selembar pengumuman yang ditempelkan di mading fakultas. Nana dan kedua temannya pun segera membaca tiga puluh nama yang tercantum pada daftar itu. Kriteria untuk mendapatkan beasiswa memang agak sulit dan persaingannya pun cukup ketat. Tapi dengan prestasi yang gemilang, Rere selalu berhasil mendapatkannya. “Yosia, Adelia, Farika, Helda, Natalia...” Lino membaca nama-nama pada daftar itu satu per satu. “Natalia? Gua kira lu dapet beasiswa, Na! Mirip banget namanya sama lu.” “Mana mungkin si Nana bisa dapat beasiswa? Otak pas-pasan begitu...” sahut Adip sambil tertawa. Tapi Nana terlalu berkonsentrasi pada daftar nama itu sehingga dia tidak mendengar ejekan Adip. Dia terus membaca tanpa mempedulikan Adip yang sedang bercanda dengan Lino. “...Billy, Darma, Ferry, Hendra, Adhie, Yanny.” Selesai. Nana tidak menemukan nama Rere. Karena takut terlewat, dia pun membaca daftar nama itu sekali lagi. Tetapi dibaca berulang kali pun hasilnya sama saja, nama Rere memang tidak tercantum di sana. “Nama Rere nggak ada, lho.” sahut Nana sambil memandang Adip dan Lino. “Kenapa ya? Biasanya Rere selalu dapat, ‘kan?” “Ah, masa sih?” “Coba kalian cek sendiri deh.” kata Nana lagi.
Adip dan Lino pun kembali membaca daftar nama itu, tetapi mereka pun tidak menemukan nama Rere. “Kita tanyakan ke kantor saja, yuk? Siapa tahu ada yang salah.” kata Nana. “Memangnya boleh menanyakan hal seperti itu?” tanya Adip. “Kita coba saja.” Nana, Adip, dan Lino pun berbondong-bondong ke kantor tata usaha yang terletak di lantai satu Gedung Fakultas Fisip. Kebetulan, yang bertugas piket saat itu adalah Ibu Rosa; beliau terkenal baik dan kooperatif pada mahasiswa. “Bu, permisi. Saya mau nanya soal penerima beasiswa untuk semester depan. Apa benar Bu kalau Renata, angkatan 2006, tidak mendapatkan beasiswa? Biasanya dia selalu dapat kok.” kata Nana. “Sebentar, saya cek dulu.” kata Ibu Rosa sambil mengambil sebuah map di loker, kemudian mengenakan kacamatanya “Renata... Renata...” gumam Ibu Rosa. Dia memeriksa berkasberkas di dalam map itu satu per satu dengan seksama. “Renata Augustine?” “Iya, Bu.” kata Nana, lalu dia pun menyebut nomor mahasiswa Rere untuk memastikan. “Hmm. Menurut surat pernyataan dari Dekan sih, Renata Augustine dinyatakan lolos seleksi, kok. Dia berhak atas beasiswa penuh selama satu semester ke depan.” ujar Ibu Rosa. Lalu dia mengkonfirmasikan ucapannya dengan menunjukkan surat pernyataan itu kepada Nana. “Nih lihat sendiri deh. Benar kan?” Nana mengiyakan, lalu menghembuskan nafas lega. “Saya kira Renata tidak lolos seleksi, Bu. Soalnya namanya tidak tercantum pada pengumuman di mading fakultas.” katanya. “Oh ya? Wah, mungkin terlewat. Yah... namanya juga manusia, sering salah.” sahut Ibu Rosa sambil melepas kacamatanya, lalu tersenyum. “Syukur deh kalau begitu. Semoga saja memang terlewat.” ujar Nana. Kemudian, seorang petugas piket yang seorang lagi, yakni Mas Dirgo, datang menghampiri Ibu Rosa dan ketiga mahasiswa yang mengelilingi mejanya. “Hei, kalian sedang menggosip atau menganggu Ibu Rosa, nih?” tanyanya sambil tersenyum jenaka. “Ada apa?”
Ibu Rosa pun menjelaskan permasalahannya kepada Mas Dirgo, sementara Nana dan kedua temannya hanya mengangguk saja. “Mungkin daftar yang ditempel mading harus dicabut, Mas. Jangan-jangan ada lagi yang terlewat.” kata Ibu Rosa. Mas Dirgo mengernyitkan kening, tapi kemudian dia menepukkan tangannya, seperti teringat sesuatu. “Ohhh... Renata Augustine! Mahasiswi yang rambutnya pendek itu ‘kan?” tanya Mas Dirgo. “Angkatan 2006?” “Betul, Mas.” jawab Nana. “Iya, iya. Renata memang mendapatkan beasiswa; tetapi kemarin dia membatalkan haknya. Pengumuman di mading fakultas itu baru dicetak tadi pagi, jadi namanya sudah saya hapus dari daftar.” Mas Dirgo menjelaskan. “Hah? Renata membatalkan haknya?” tanya Nana. Kali ini Adip dan Lino pun ikut terkejut. “Kenapa?” “Soalnya Renata hendak mengundurkan diri dari Unpar. Katanya sih, dia harus ikut pindah dengan orangtuanya ke luar negeri. Saya lupa ke mana... tapi kalau nggak salah sih ke Cina atau Taiwan. Kemarin dia datang pada saya untuk mengurus pengunduran dirinya sekaligus pembatalan hak atas beasiswanya supaya dana beasiswa itu bisa dioperkan pada mahasiswa lain yang membutuhkan.” Mas Dirgo menjelaskan. “Apa?” mata Nana terbelakak, tidak percaya dengan penjelasan Mas Dirgo, sementara Lino dan Adip juga tidak bisa menahan kaget hingga mulut mereka menganga seperti ikan koki yang kelaparan. “Rere... mau pergi?”
Bagian 36 – Ada Apa?
Malam itu Rere pulang jam setengah sebelas. Tanpa menimbulkan banyak suara, Rere pun naik ke lantai dua, lalu masuk ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Nana. Sebenarnya, tadi siang ketika teman-temannya kuliah, Rere pulang ke Rumah Hijau untuk mengepak barang-barangnya. Pakaian, buku-buku, dan barang-barangnya yang lain sudah dirapikan ke dalam satu tas koper dan dua buah kardus kecil. Setelah selesai membereskan barang-barangnya, Rere pergi ke Sunflower Cafe untuk mengurus pemberhentian kerjanya. Meskipun bukan diberhentikan, pemilik kafe yang sudah lama mengenal Rere memberikan uang pesangon. Rere tidak bisa menerima uang itu begitu saja, sehingga dia tetap bekerja sampai hari terakhir. Lagipula rekan Rere yang beberapa hari lalu sakit pun belum masuk kerja sehingga saat itu kafe kekurangan tenaga. “Uh... capeknya...” gumam Rere duduk di tepian ranjang Tanpa beranjak dari tempat duduknya, Rere membuka laci teratas meja belajar yang terletak di samping ranjangnya. Dia mengambil selembar foto yang tergeletak di dasar laci tersebut, lalu ditatapnya foto itu dengan pandangan penuh arti. Sudah saatnya aku melupakanmu, tekadnya dalam hati. Tiba-tiba pintu kamar Rere diketuk. Detik berikutnya, dari balik pintu terdengar suara Nana. “Re, sudah tidur? Gua masuk, ya?” Rere terkejut dan segera bangkit berdiri. Saking terkejutnya, foto di tangannya terlempar dan jatuh di dekat pintu. “Re?” terdengar suara Nana lagi. “Masuk saja.” ujar Rere. Detik berikutnya, pintu kamar Rere terbuka, menimbulkan suara berdecit-decit karena engsel pintunya sudah karatan. Nana tidak sendirian, melainkan bersama Adip dan Lino. “Hei...” ujar Rere agak kikuk. “Kalian belum tidur?”
“Belum ngantuk.” jawab Lino. Kalau Adip sih sebenarnya tidak perlu ditanya, sewaktu Rere pulang, dia melihat Adip sedang bermain game di kamar. Sementara itu Nana tetap membisu, dia sama sekali tidak menjawab pertanyaan Rere. Nana melemparkan pandangannya ke setiap sudut kamar Rere yang terasa kosong. Tas koper Rere yang biasanya disimpan di dalam lemari pakaian, kini diletakkan di dekat pintu, bersebelahan dengan dua buah kardus kecil. Tak ada buku-buku kuliah, kalender duduk, lampu meja, atau barang apapun di atas meja belajar Rere. Foto Rere bersama Nana, Lino, dan Adip yang biasa ditempel Rere di cermin lemarinya pun sudah dicopot. Hanya jam dinding saja yang masih menggantung di dekat jendela, suara jarumnya menggema karena sepinya malam. “Ada apa?” tanya Rere. Pertanyaan itu pun hanya basa-basi. Dari wajah ketiga temannya, Rere sadar kalau Nana, Adip, dan Lino sudah tahu bahwa dia akan pergi. “Jadi benar ya Re... lu akan pergi...” gumam Nana setelah sekian lama membisu. “Iya.” ujar Rere sambil mengangguk. “Ke mana? Cina atau Taiwan?” tanya Lino. “Taiwan.” jawab Rere. “Pa Udin yang bilang, ya?” “Bukan. Kami tahu dari Mas Dirgo.” kata Lino. Lalu Lino pun menceritakan bagaimana dia, Nana, dan Adip bisa tahu kalau Rere akan segera pergi. “Oh begitu...” Rere mengangguk tanda mengerti. “Kenapa lu nggak bilang kalau lu akan pergi, Re?” tanya Nana kemudian. “Tentu saja gua akan bilang, Na. Gua hanya belum sempat.” “Nggak kok, Re. Sebenarnya lu punya waktu untuk memberi tahu kami, ‘kan? Hanya saja beberapa hari ini lu selalu menghindari kami.” ujar Nana. Suaranya terdengar tajam, namun matanya memancarkan kekecewaan. “Dan sekarang, tiba-tiba barang-barang lu sudah dipak begini... seolah-olah besok lu akan pergi.” Rere pun menghela nafas panjang. “Memang besok gua akan pergi.” katanya. Nana memandang Rere dengan pandangan tak percaya, begitu pula Adip dan Lino. “Besok?”
“Ya. Pagi-pagi sekali.” “Oh... begitu.” Wajah Nana nampak semakin kecewa. “Untung saja gua masih bangun, ya? Kalau nggak, sudah pasti kita nggak akan sempat bertemu lagi.” Rere tidak merespon. Atau lebih tepatnya, dia tidak tahu harus memberikan respon apa. Rere mengerti maksud perkataan Nana; rupanya Nana masih kecewa karena Rere sama sekali tidak memberitahukan teman-temannya tentang kepergiannya sejak jauh-jauh hari. “Ada apa sih, Re? Selama ini ‘kan kita selalu berempat, gua kira lu bahagia tinggal di sini dengan kami.” ujar Nana. Rere tidak menjawab, dia menyibukkan diri dengan berpura-pura membereskan tas kerjanya yang digeletakkan di atas ranjang. “Re, jawab dong...” ujar Nana lagi. “Ada apa sih? Kok tega-teganya sih lu pergi begitu saja?” ”Bukannya tega atau nggak, Na.” ujar Rere sambil memandang Nana. “Lu nggak berpikir kita akan berempat terus selamanya, ‘kan? Cepat atau lambat, kita akan berpisah, Na. Masa lu harus mengeluhkan hal seperti ini, sih?” “Tapi lu nggak bisa pergi dengan cara seperti ini, Re.” kata Nana. “Lu nggak bilang apa-apa pada gua. Bahkan gua mendengar soal kepergian lu dari orang lain. Padahal, apa sih susahnya berbagi cerita? Lu malah menghindari kami.” keluh Nana. “Masalah kepergian gua ini... sebenarnya... agak rumit... bahkan sampai saat-saat terakhir pun gua masih bingung dan ragu.” ujar Rere membela diri. “Bukan itu saja, Re.” ujar Nana sambil memungut foto yang tergeletak di lantai, yang tadi dijatuhkan Rere. “Dulu lu bilang, ini adik laki-laki lu yang di Tasik, ‘kan?” Rere tidak menjawab, hanya mengangguk. “Bukan Re. Ini bukan adik lu.” kata Nana sambil memandang Rere lurus-lurus. Rere nampak terkejut. “Maksud lu?” “Lu bilang, orang ini bernama Yudistira. Tapi mama lu bilang, nama adik lu adalah Ryan, bukan Yudistira. Dan adik lu itu masih SD. Baru tahun ini dia akan masuk SMP.”
Rere mengatupkan kedua belah bibirnya rapat-rapat dan membuang muka. Wajahnya nampak tidak tenang, seolah khawatir Nana mengetahui isi hatinya. Lino dan Adip yang tidak menahu soal itu memandang Nana dan Adip secara bergantian dengan wajah bingung. “Benar ‘kan Re? Orang ini bukan adik lu?” desak Nana lagi. “Kalau memang bukan, lalu kenapa?” tanya Rere dengan suara agak serak, tanpa sedikit pun memandang Nana. “Nggak apa-apa kok. Hanya saja, gua nggak habis pikir, kenapa lu harus membohongi gua.” kata Nana. “Apa gua ini hanya ‘orang lain’ saja buat lu, Re? ‘Orang lain’ yang memang tidak pantas tahu sesuatu tentang lu.” “Bukan begitu Na. Soal itu...” ucapan Rere terputus lagi. Dia memutar otak; tapi kegugupan membuatnya tidak bisa berkilah dari ucapan. “Banyak hal yang gua nggak bisa cerita, Na...” Nana menghela nafas panjang. Dia pun berjalan mendekati Rere. “Di antara kita berempat, lu adalah orang yang paling sempurna, Re. Lu mandiri, bijaksana, pintar... yang jelas, sama sekali nggak seperti gua. Gua sadar kok, gua ini manja, naif, tolol. Tapi sekali saja, gua ingin menjadi seperti lu, Re. Gua ingin menolong lu. Tapi lu sama sekali nggak memberikan kesempatan buat gua untuk menolong lu. Gua bahkan nggak boleh tahu masalah apa yang mengganggu lu.” Rere kembali terdiam, sementara Nana mengerjapkan matanya, menahan setitik air mata yang memanas di sudut matanya. “Sakitnya, Re... orang yang gua anggap sebagai sahabat, ternyata sama sekali tidak pernah menganggap gua sebagai sahabat.” ujar Nana lagi. “Jangan ngomong seperti itu, Na. Masa lu kecewa hanya karena lu sering curhat sama gua, sedangkan gua nggak pernah curhat sama lu?” tanya Rere. “Apa salah kalau gua memang kecewa?” Rere pun kembali membuang wajahnya. “Sudahlah, Na.” katanya. “Lu memang sahabat gua. Tapi bukan berarti lu harus tahu semuanya tentang gua.”
Jawaban Rere membuat Adip kesal. Dia yang sejak tadi tidak berbicara, kini angkat suara. “Gua bosan dengan sandiwara yang nggak ada artinya ini, Re. Kami datang ke sini sebagai sahabat lu. Tapi Nana benar – lu nggak pernah menganggap kami sebagai sahabat. Jadi sejak awal, percuma saja kami datang ‘kan? Toh kami tetap tidak akan tahu apa-apa, dan lu pun akan tetap pergi.” Rere terpana dengan ucapan Adip, dia pun menunduk lesu. Ada penyesalan di wajahnya, tapi keraguan masih menghantuinya. “Sudahlah, ayo kita tidur saja. Buang-buang waktu saja di sini.” kata Adip, mengajak Nana dan Lino pergi. “Dip, jangan gitu dong.” ujar Lino sambil memegang lengan Adip, mencegahnya pergi. Nana tahu kalau Adip kesal. Dia pun sebenarnya sudah ingin menangis, tapi ditahannya air mata di pelupuk matanya sekuat tenaga. “Re... kalau lu memang nggak akan cerita, baiklah. Kalau lu tetap akan pergi, baiklah. Tapi Re... gua nggak mau kita berpisah dengan keadaan yang tidak mengenakkan seperti ini.” “Ayolah, kita kan sudah dewasa, Na... jangan... jangan...” ujar Rere terputus. “Jangan apa, Re? Kekanak-kenakkan?” tanya Adip, saat dilihatnya Nana sudah tidak bisa menahan tangis. “Lebih baik gua menjadi anak-anak terus, Re... Daripada gua harus menjadi orang dewasa yang tidak bisa menghargai perhatian seorang sahabat.” Rere terdiam, hatinya sedikit tertohok dengan ucapan Adip. Dia mengerti perasaan Adip, juga Nana dan Lino, tetapi dia sendiri tidak mengerti apa yang dirasakannya. Akhirnya Rere pun menghela nafas panjang. “Ya, lu benar, Dip. Mungkin gua memang tidak menghargai perhatian kalian.” sahut Rere sambil menundukkan kepalanya. “Maaf...” “Re, kita tetap berteman ‘kan?” tanya Nana, air matanya berlinang-linang. “Tentu saja.” sahut Rere segera. Dia pun memeluk Nana erat-erat. “Maafkan gua, Na.” Selama beberapa menit, keempatnya membisu. Adip melupakan rasa kesalnya, Lino pun tak tahu harus berkata apa. Hanya isak tangis Nana saja yang mengambang di kamar Rere. Rere pun terdiam, dia memejamkan mata. Dia berpikir dalam-dalam tanpa melepaskan Nana dari pelukannya.
“Sudahlah Re... gua sudah tidak apa-apa.” kata Nana kemudian. Dia pun melepaskan diri dari rangkulan Rere dan menyeka air matanya. “Maaf, gua memang cengeng. Tapi gua sangat bingung dan kecewa karena kepergian lu, Re.” “Gua mengerti, Na. Maaf ya...” “Apa kepergian lu masih bisa dibatalkan, Re?” tanya Nana lagi. Rere terdiam, kemudian menggeleng. “Maaf Na, tapi itu... nggak bisa.” “Baiklah, gua mengerti.” Nana mengangguk, lalu menghembuskan nafas panjang. “Apakah sampai sekarang pun lu masih nggak bisa menceritakan alasan kepergian lu?” Rere terdiam. Dia tidak segera menjawab. “Tidak apa-apa kalau lu nggak mau cerita, Re. Maaf, gua memaksa lu lagi.” ujar Nana segera. “Gua akan cerita, Na.” kata Rere. Nana memandangnya dalam-dalam, seolah memastikan telinganya tidak salah mendengar ucapan Rere. Rere membalas tatapan Nana dengan penuh tekad. “Besok gua akan pergi... dan semuanya akan selesai. Oleh karena malam ini, gua akan menceritakannya pada kalian.”
Bagian 37 – Cerita Rere
Awalnya, sebagai seorang anak perempuan, gua merasa hidup ini sudah cukup sempurna. Di rumah, gua mempunyai orangtua yang serba berkecukupan dan seorang adik laki-laki yang manis. Gua sekolah di sebuah SMP swasta yang bonafit, dan gua punya banyak teman. Lalu ketika naik kelas 2 SMP, untuk pertama kalinya gua jatuh cinta. Namanya Yudistira. Kami tidak berpacaran, mungkin kami berdua masih terlalu muda untuk mengerti tentang hubungan seperti itu. Walaupun demikian, hubungan kami sangat akrab. Di kelas, dia teman sebangku gua. Tapi tiga bulan sebelum kenaikan kelas, Yudis berkata kalau dia dan keluarganya akan pindah ke Jakarta. Gua sangat terpukul karena kepergiannya, tapi Yudis berjanji akan kembali ke Bandung setelah lulus SMA. Katanya, dia ingin kuliah di Unpar. Maka, dengan perpegang pada keyakinan bahwa suatu saat akan bertemu lagi, gua pun merelakan Yudis pergi. Pada tahun berikutnya, perlahan kehidupan gua mulai berubah. Papa ditipu adiknya sendiri hingga usahanya bangkrut, kemudian mobil dan rumah kami dijual untuk membayar hutang. Sejak itu, kami tinggal di sebuah rumah kontrakkan yang sempit. Untuk menutupi uang sekolah, handphone gua dijual. Gua pun kehilangan kontak dengan Yudis. Mama bersikeras agar papa melaporkan kejahatan adiknya pada polisi, tetapi papa tidak bisa melakukannya karena permohonan nenek. Papa dan mama sering bertengkar karena masalah ini, sampai akhirnya keduanya memutuskan untuk bercerai. Papa pergi entah ke mana, sedangkan mama berusaha menghidupi aku dan adikku Ryan dengan bekerja di pabrik garment. Ketika aku hampir lulus SMP, mama masuk rumah sakit selama tiga minggu karena livernya mengalami pembengkakkan. Sebelum bercerai, mama hanyalah seorang ibu rumah tangga. Mungkin tubuhnya tidak biasa bekerja keras seperti itu. Akhirnya, uang yang dikumpulkan untuk memasukkanku ke SMA terpaksa digunakan untuk pengobatannya. Dokter menyatakan bahwa mama tidak boleh terlalu capek bekerja. Mama pun berniat untuk kembali ke kampung halamannya di Tasikmalaya. Selain biaya hidup yang lebih murah, di sana mama masih mempunyai kerabat yang bisa membantunya mencari nafkah. Tetapi gua tidak mau ikut mama ke Tasikmalaya. Gua ingin tinggal di Bandung, bagaimana pun caranya. Gua tahu, mama tidak sanggup membiayai sekolah gua di Bandung, maka gua
pun berusaha sendiri. Gua mengajukan permohonan beasiswa dan berhasil masuk ke salah satu SMA swasta favorit tanpa harus membayar uang masuk maupun uang sekolah bulanan. Tetapi gua masih harus memikirkan tempat tinggal. Sebenarnya bisa saja gua menumpang di rumah nenek, tapi gua tidak mau. Karena nenek terlalu melindungi anak bungsunya, yakni adik papa yang jahat itu, keluarga gua berantakkan. Gua benci nenek. Lalu gua meminta bantuan pada istri Pak Udin yang pada saat itu masih mengelola kantin di SMP tempat gua sekolah dulu. Beliau menawarkan kamar kost dengan harga yang sangat murah, dan gua pun langsung setuju. Maka, sewaktu mama dan Ryan pindah ke Tasikmalaya, gua tetap tinggal dan bersekolah di Bandung. Sebulan sekali, mama mengirimi uang untuk membayar kost. Sedangkan untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, gua bekerja sambilan di Sunflower Cafe. Tapi karena saat itu status gua masih pelajar SMA, gua hanya diperbolehkan bekerja selama tiga jam per hari, kecuali hari Minggu. Gua pun harus hidup pas-pasan dengan gaji yang seadanya. Bekerja tujuh hari seminggu, ditambah lagi harus menjaga prestasi sebagai syarat beasiswa, sebenarnya gua sangat lelah dengan kehidupan seperti itu. Masa SMA gua lalui tanpa bisa bersenang-senang seperti teman-teman yang lain. Saat teman-teman gua merayakan sweet seventeen, gua bahkan melupakan ulangtahun sendiri. Saat teman-teman bermain ke mall, nonton ke bioskop, atau ikut darmawisata sekolah, gua menghabiskan waktu luangku dengan bekerja agar bisa membeli buku dan alat tulis. Bahkan saat kenaikan kelas, semua murid ditemani orangtua masing-masing, kecuali gua. Tapi gua berusaha untuk tidak mengeluh, karena gua melakukan ini demi Yudis. Lagipula, gua sebenarnya cukup beruntung. Nilai-nilai gua selalu bagus sehingga guru-guru selalu simpatik. Teman-teman di kelas pun bersikap baik pada gua, mungkin karena mereka sering meminjam buku PR atau membutuhkan contekan saat ulangan. Selain itu, gua tidak pernah merasa kekurangan. Sebagai seorang waiter, gua sering mendapatkan uang tips, kadang lebih besar daripada penghasilan sehari. Gua juga mendapatkan makan malam gratis jika kebagian shift malam. Sedikit demi sedikit, gua bisa menabung dan membayar uang kost sendiri. Lalu gua meminta mama untuk berhenti mengirimiku uang. Sebagai gantinya, mama memberi gua handphone agar kami tetap dapat berkomunikasi meskipun berjauhan. Kemudian saat kelas 2 SMA, gua bersahabat dengan teman sekelas yang bernama Siska. Dia adalah sahabat pertama gua sejak mama dan papa bercerai, dan gua merasa dia adalah
sahabat sejati gua. Gua bahkan bisa menceritakan pada Sisca tentang permasalahan hidup yang selama ini gua simpan sendiri. Kemudian, suatu malam saat gua bekerja di Sunflower Cafe, sekelompok teman sekelas datang. Ketua gengnya adalah Melisa, selama ini dia selalu sinis pada gua. Geng Melisa memang suka membuli teman-teman sekelas yang dianggapnya lemah. Lalu Melisa dan gengnya mengganggu gua. Gua sangat malu, tetapi gua masih bisa menahan marah. Gua harus bersikap profesional sebagai seorang waiter kafe. Sampai gua mendengar dari mulut Melisa sendiri – katanya gua hanya seorang perempuan kampungan yang mau-maunya bekerja jadi pembantu di kafe demi mengejar laki-laki bernama Yudistira. Sungguh, gua sakit hati. Di dunia ini, hanya Siska yang tahu soal Yudis. Siska tahu bahwa di kelas pun Melisa sering menganggu gua. Siska tahu bahwa gua tidak suka pada Melisa. Tapi kenapa Melisa sampai tahu soal Yudis? Jawabannya mudah... Melisa tahu dari Siska. Gua tidak tahu apa alasan Siska memberitahu Melisa mengenai masalah gua, dan gua juga tidak peduli. Hanya satu hal yang gua pelajari, gua tidak akan mempercayai siapapun lagi. Lalu, persahabatan gua dan Siska pun berakhir sampai di sana. Siska berulang kali meminta maaf dan mencoba menjelaskan, tapi gua selalu membuang muka. Gua tidak butuh sahabat lagi. Sampai kelas tiga, Melisa tidak juga berhenti mengganggu gua. Sialnya, kami selalu saja sekelas. Melisa bahkan pernah sengaja merusak handphone yang mama berikan pada gua. Berkat pengakuan teman-teman yang lain, wali kelas pun membela gua dan menuntut Melisa untuk mengganti handphone itu. Tapi gua menolak. Gua tidak mau menerima apapun dari Melisa. Dengan uang gua sendiri, gua membeli handphone baru. Kejadian itu membongkar perilaku jahat Melisa selama ini. Korbannya bukan hanya gua, masih ada teman-teman yang lain. Akhirnya sekolah mengambil kebijakan keras, yaitu mengeluarkan Melisa dari sekolah. Gua pun akhirnya bisa bersekolah dengan tenang. Kini gua hanya perlu memantapkan langkah sebelum bertemu Yudis lagi. Gua harus lulus SMA dengan nilai baik. Ketika lulus SMA dan berhasil mendapatkan beasiswa dari Unpar, harapan gua semakin melambung. Gua tidak sabar untuk segera kuliah. Gua pikir, kerja keras dan penderitaan ini tidak akan sia-sia. Memang... selama itu, gua sama sekali tidak pernah berhubungan dengan Yudis. Gua tidak tahu alamat dia di Jakarta, nomor teleponnya, atau bagaimana pun cara untuk menghubungi Yudis. Tapi gua tetap yakin, gua bisa bertemu Yudis di Unpar. Gua yakin Yudis tidak melupakan janjinya.
Dan ternyata benar, gua menemukan nama Yudis pada daftar mahasiswa baru yang diterima di Fakultas Ekonomi. Meskipun berbeda fakultas, tapi gua rasa bukan masalah. Setiap kali ada waktu, gua mencoba mencari Yudis di Fakultas Ekonomi. Tetapi sampai semester empat, gua kunjung bertemu dengannya. Fakultas Ekonomi ‘kan besar, gedungnya luas dan mahasiswanya banyak. Gua pikir gua butuh waktu sampai bisa menemukan Yudis. Lalu kira-kira sebulan yang lalu, mama datang ke sini. Lu ingat ‘kan sewaktu pertama kali lu bertemu dengan mama? Saat itu mama menceritakan banyak hal yang membuat gua terkejut. Katanya, tiba-tiba papa datang ke Tasikmalaya dan mengajak mama untuk rujuk kembali. Rupanya selama ini papa pergi ke Taiwan. Di sana, dia mendapatkan pinjaman dari teman lamanya, lalu membuka restoran masakan Indonesia. Usahanya berhasil, dan kini papa membutuhkan bantuan mama yang pintar memasak untuk mengembangkan restorannya. Sementara itu, adik papa yang dulu menipunya, telah meninggal dunia karena sakit. Jadi, tidak ada alasan lagi bagi papa dan mama untuk saling berjauhan. Papa rindu akan kehidupan keluarga seperti dulu, tentu saja bersama gua dan Ryan. Maka, mama pun mengajak gua untuk ikut dengan papa ke Taiwan. Semestinya gua bahagia. Ya, seharusnya begitu... tapi gua tidak mau. Gua senang papa dan mama rujuk lagi, gua juga ingin tinggal bersama mereka. Tapi gua merasa urusanku di Bandung belum selesai. Ya, gua belum bertemu dengan Yudis. Namun gua tidak bisa memilih Yudis atau keluarga. Mana yang lebih penting? Keduanya sangat penting bagi gua. Mama marah, beliau mengira gua bersikap egois. Gua jadi berbalik marah pada mama. Gua tahu mama tidak sabar ingin segera kembali pada papa... tapi apakah mama tahu kalau gua juga sedang mempertaruhkan kebahagiaan gua? Kami pun bertengkar. Kurasa Lino tahu tentang pertengkaran ini, dia mendengar gua sedang marah pada mama. Sampai ketika lu dan Adip bertengkar, sewaktu kita bertemu di Fakultas Ekonomi tempo hari, akhirnya gua melihat Yudis! Meskipun wajahnya sudah berubah, tubuhnya sudah lebih tinggi, dan suaranya pun sudah lebih berat, tapi gua tahu bahwa dia adalah Yudis. Tetapi ternyata Yudis tidak mengenali gua. Ketika berpapasan dengannya, dia malah melewati gua begitu saja. Dia bahkan tidak sedikitpun melirik pada gua. Gua bingung. Sebenarnya jika gua memanggil Yudis, mungkin saja dia akan mengenali gua. Namun ketika gua melihat bayangan diri gua pada kaca jendela mobil yang diparkir di dekat sana, gua baru sadar... ternyata gua memang tidak seperti diri gua yang dulu. Gua terlihat
sangat kurus, sangat lelah, dan kusam... sama sekali tidak seperti Renata yang Yudis kenal dulu. Dan kalaupun gua memperkenalkan diri pada Yudis, mungkin Yudis tidak akan tertarik padaku. Mungkin dia akan malu pada teman-temannya. Sekarang Yudis menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, apa kata teman-temannya jika orang seperti gua tiba-tiba menyapanya? Maka gua pun mengurungkan niat untuk menyapa Yudis. Gua pikir, nanti saja, masih ada waktu. Sementara itu, setiap kali mama menelepon, mama selalu menceritakan pada gua bagaimana tak sabarnya Ryan yang ingin segera tinggal bersama papa. Ryan ditinggal papa sewaktu masih kecil dan saat itu dia belum mengerti apa-apa. Tentu saja Ryan sangat merindukan sosok seorang papa. Tapi di sisi lain, gua belum siap pergi. Karena itulah gua selalu saja berusaha untuk menghindari pembicaraan tentang keberangkatan ke Taiwan. Walaupun demikian, tidak selamanya mama bisa menunggu gua. Mama sudah selesai mengurus semua keperluan... passport, visa, hanya gua saja yang masih ragu-ragu. Terakhir kali berbicara dengan gua lewat telepon, lagi-lagi mama mendesak gua untuk segera menyelesaikan pengunduran diri dari Unpar. Gua sangat marah pada mama, tak bisakah dia menunggu sampai gua bisa menemui Yudis terlebih dahulu? Tapi gua sadar bahwa gua memang sudah terlalu lama mengulur-ulur keberangkatan kami. Dan kini, sudah tidak ada waktu lagi. Maka, keesokannya, gua memutuskan untuk menemui Yudis. Tapi ternyata, gua tetap tidak mampu menyapa Yudis. Gua takut. Gua melihat Yudis selalu dikelilingi teman-teman, cewek ataupun cowok. Semuanya nampak bonafit dan keren. Gua sama sekali tidak keren dan gua takut mempermalukan Yudis. Celakanya, di antara temanteman Yudis pun ada beberapa bekas anggota geng Melisa. Tentu saja mereka masih ingat pada gua. Gua semakin takut untuk menyapa Yudis. Gua hanya bisa berharap Yudis yang lebih dulu mengenali gua. Namun berapa kalipun gua sengaja melewat di dekatnya, Yudis sama sekali tidak melihat ke arah gua. Dia benar-benar sudah melupakan gua. Dan lebih dari itu... sudah pasti dia juga melupakan janjinya untuk menemui gua lagi. Gua tidak tahu apa alasan Yudis kembali ke Bandung, tetapi gua sadar, alasannya bukan gua. Gua sedih, kecewa, dan putus asa. Gua merasa pengorbanan dan kerja kerasku selama ini... sia-sia saja. Maka, dua hari yang lalu, gua memutuskan untuk ikut dengan papa, mama, dan Ryan ke Taiwan. Maaf, gua tidak bisa menceritakan semua ini pada kalian. Setiap kali memikirkan
hal ini, yang tergambar dalam pikiran gua hanyalah penyesalan. Gua tak mau memikirkan hal itu. Selain itu, kalau gua cerita pada Nana, gua tahu apa yang akan Nana lakukan. Nana akan memaksa gua untuk datang pada Yudis, seperti Nana yang memaksa Adip untuk menemui Candy. Dan gua sungguh-sungguh tidak mampu. Oleh karena itu, sekali lagi gua memutuskan untuk menyimpan semua masalah ini sendiri. Tapi kalau dipikir-pikir, mungkin sebenarnya gua masih trauma. Gua takut untuk menceritakan isi hati gua, karena gua takut sakit hati lagi... seperti dulu. Tapi gua tidak sadar kalau tindakan gua telah menyakiti kalian. Terutama Nana. Maafkan gua. Kalian bukan Siska, kalian tidak akan menyakiti hati gua. Tapi sekarang semua sudah terlambat. Bagaimanapun juga, gua akan tetap pergi. Sudah cukup gua bersikap egois terhadap perasaan gua sendiri, kini saatnya gua meninggalkan semuanya di Bandung. Semua kenangan tentang Yudis akan gua kubur dalam-dalam bersama masa lalu gua di Bandung, dan gua tidak ingin kembali lagi. Gua bahagia karena lu sudah menjadi sahabat gua, Na. Lino dan Adip juga. Tapi maaf... beban ini terlalu berat untuk gua.
Bagian 38 – Tidak Menyerah
Ketika Nana membuka matanya, nampak sinar matahari merembes masuk lewat celah-celah kusen yang catnya sudah mengelupas. Nana duduk di ranjangnya, kemudian menguap lebarlebar. Dia melihat jam dinding, sudah pukul setengah sembilan. Lagi-lagi dia terlambat bangun. Semalaman Nana ngobrol dengan Rere, Lino, dan Adip sampai pukul tiga pagi. Pengalaman masa lalu Rere membuat Nana menitikkan air mata, tetapi tidak sedikitpun Rere menangis. Wajah Rere yang terakhir kali dilihat Nana adalah wajah yang penuh ketegaran, namun juga tidak berpengharapan. Miris rasanya. Nana beranjak keluar dari kamarnya, lalu pergi ke kamar Rere. Pintu kamarnya tidak dikunci. Nana membuka pintu kamar itu, namun tidak ada seorangpun di dalam. Koper dan dus-dus barang milik Rere sudah tidak ada di tempat di mana terakhir kali Nana melihatnya. Ranjang Rere pun sudah dirapikan dan seprainya diganti baru. Nana menghela nafas panjang. Kemudian mata Nana tertuju pada sesuatu yang tergeletak di atas meja belajar Rere. Janganjangan Rere ketinggalan sesuatu? Nana segera mendekat; ternyata foto Yudistira. Rupanya Rere memutuskan untuk tidak membawa foto itu ke Taiwan. Rere benar-benar tertekad untuk meninggalkan segalanya di Bandung. Nana mendesah panjang. Kalau dipikir-pikir sekarang, rasanya kasihan juga Rere. Meskipun Rere tidak mau mengakuinya, tapi itulah kenyataannya – semua perjuangan Rere sejak SMP hingga saat ini sia-sia saja. “Nggak boleh seperti ini.” pikir Nana dalam hati. “Rere mungkin bisa meninggalkan semua kenangan di sini, tapi penyesalannya akan dibawa seumur hidup.” Tiba-tiba Nana mendapatkan ide. Dia mengambil foto Yudistira, kemudian berlari ke lantai dasar. Di ruang makan, dilihatnya Lino sedang mengobrol dengan Adip sambil menonton siaran ulang pertandingan sepakbola. Keduanya nampak belum mandi, bahkan mungkin belum gosok gigi. “Adip! Lino!” ujar Nana. “Kita berangkat ke kampus sekarang, yuk?” ajak Nana. “Kita ‘kan nggak ada kuliah?” kata Adip.
“Bukan kuliah!” sergah Nana segera. “Kita ke Fakultas Ekonomi, lalu kita cari Yudistira.” “Yudistira? Maksudnya, cowok yang disukai oleh Rere itu?” tanya Lino. “Iya.” “Hah? Mau ngapain?” “Kita harus bilang pada Yudistira tentang Rere. Kita harus menolong Rere. Kalau dia pergi begitu saja, nanti dia menyesal.” kata Nana. “Lalu? Kalau kita sudah bilang, kita bisa apa lagi?” tanya Adip kemudian. “Rere ‘kan sudah berangkat tadi pagi.” “Tapi Rere baru terbang ke Taiwan nanti siang, ‘kan? Mungkin sekarang Rere masih di berada perjalanan ke Jakarta. Masih ada waktu satu atau dua jam lagi.” kata Nana. “Ayolah Dip! No! Kita harus cepat-cepat nih, nanti Rere keburu pergi.” Adip nampak ragu-ragu, begitu juga Lino. “Ah, ngapain lah Na... percuma saja.” ujar Adip dengan nada sangsi. “Yudistira ‘kan sudah lupa pada Rere, memangnya kita bisa membuat dia ingat lagi?” “Dip!” “Nggak deh Na, gua nggak mau. Lagipula Rere ‘kan sudah berniat melupakan semuanya, kita harus menghargai keputusannya.” kata Adip. “Tapi Rere membuat keputusan itu karena terdesak, bukan karena dia ingin!” ujar Nana. Dia agak kesal karena Adip tidak mau menolongnya, dan sepertinya Lino pun ragu-ragu, “Ya sudah, kalau kalian nggak mau, gua akan tetap mencari Yudis.” “Hei Na, mau ke mana?” “Ke kampus.” “Sekarang juga? Lu ‘kan belum mandi!” “Nggak ada waktu lagi, Dip. Kalau gua membiarkan Rere pergi begitu saja, bukan cuma Rere yang menyesal. Gua juga akan menyesal.” sahut Nana.
Nana segera berlari ke kampus. Dia pergi ke Gedung Fakultas Ekonomi, dan mulai mencari Yudistira. Penampilannya saat itu memang agak lancay, dengan kaos dan celana selutut yang warnanya sudah luntur, serta sendal jepit. Nana adalah tipe cewek yang selalu berdandan rapi dan modis, tapi kali ini dia nekad berpenampilan semewarut. Nana tidak peduli orang-orang yang memandangnya dengan heran. Dengan hanya berbekal foto Yudistira yang ditinggalkan Rere, Nana bertanya pada semua mahasiswa ekonomi yang ditemuinya. “Mas! Mas! Tolong Mas, kenal sama anak ekonomi yang bernama Yudistira, nggak? Ini foto dia waktu SMP.” kata Nana pada seorang mahasiswa yang jangkung dan berkacamata. “Maaf Mbak, nggak kenal tuh.” kata pemuda itu sambil berlalu. Nana tidak putus asa. Dia pun bertanya lagi pada segerombol mahasiswi yang kelihatannya sedang mengejarkan tugas. “Mbak, mbak, tolong saya dong. Kalian kenal pada anak ekonomi yang namanya Yudistira nggak? Angkatan 2006? Ini foto dia waktu SMP.” Para mahasiswi itu menggeleng. Nana mengucapkan terima kasih, lalu mencari lagi. Kali ini dia bertanya pada seorang mahasiswa yang sedang duduk di tangga bermain handphone. “Yudistira?” tanya mahasiswa itu ketika Nana bertanya padanya. “Jangan-jangan si Yudi?” “Gua nggak tahu nama panggilannya sih, tetapi mungkin saja ada yang memanggilnya Yudi.” sahut Nana. “Hmm... Kalau si Yudi sih gua kenal. Angkatan 2006 ‘kan? Yang tinggi besar itu?” tanya pemuda itu lagi. “Nggak tahu Mas. Ini fotonya waktu SMP.” kata Nana sambil memperlihatkan foto Yudistira sekali lagi. Pemuda itu memperhatikan foto yang disodorkan Nana, tapi dia hanya mengangkat bahunya dengan ragu. “Wah... gua nggak kenal si Yudi waktu SMP sih. Tetapi kalau mau ketemu si Yudi, pergi ke perpustakaan di lantai dua saja. Tadi gua lihat dia di sana. Cek saja sendiri, dia itu orang yang Mbak cari atau bukan.” “Baiklah. Terima kasih, ya.” kata Nana sambil berlalu. “Sama-sama.”
Nana pun segera pergi ke perpustakaan yang terletak di lantai dua Gedung Fakultas Ekonomi. Tetapi karena tadi pergi terburu-buru, Nana tidak membawa Kartu Tanda Mahasiswa yang merupakan akses untuk masuk ke perpustakaan. Apalagi dengan penampilannya yang tidak meyakinkan itu, Nana pun dilarang masuk. Nana tidak habis pikir, dia meminta tolong pada seorang mahasiswa yang kelihatannya hendak masuk ke perpustakaan. “Mas, kenal orang yang dipanggil Yudi nggak? Angkatan 2006?” tanya Nana. “Katanya dia ada di dalam, dan saya ada butuh dengannya. Tapi saya nggak bisa masuk.” Kebetulan, mahasiswa itu tahu. “Oh, si Yudi angkatan 2006? Sebentar ya, gua panggilkan.” “Thanks banget!” Nana menunggu selama lima menit. Mana sih orang itu? Jangan-jangan dia cuma berbohong dan bermaksud mempermainkan Nana? Nana mulai kesal sendiri. Tapi baru saja Nana akan pergi untuk meminta tolong pada orang lain, seorang pemuda bertubuh tinggi besar mendekat padanya. “Hei Mbak, gua Yudi. Tadi kata temen gua, Mbak mencari gua?” tanya pemuda itu. Nana terbelakak. Orang yang dipanggil Yudi itu benar-benar tinggi-besar. Tingginya hampir dua meter, badannya besar, tapi mukanya tolol sekali. Wajahnya yang lebar benar-benar tak seimbang dengan matanya yang sempit. Namun bibirnya yang tebal dan alisnya yang tipis membuat tampangnya terlihat semakin aneh. Nana ingat, Rere pernah bilang kalau sekarang Yudistira terlihat sangat gagah dan tampan... tapi laki-laki ini terlalu jauh dari kata tampan! “Eh...i, iya...” ujar Nana agak ragu. “Lu yang namanya Yudi?” “Iya, gua Yudi.” “Yudistira?” “Heh?” “Lu Yudistira bukan?” “Siapa Yudistira?” “Nah itulah gua tanya, lu yang namanya Yudistira bukan?”
“Bukan. Nama gua Yudias Setiawan.” “Yudias? Jadi... jadi ini bukan lu, ‘kan?” tanya Nana sambil memperlihatkan foto Yudistira. “Bukan lah. Siapa cowok jelek itu? Yang jelas bukan gua.” kata Yudi. “Apa? Enak saja bilang jelek! Setidaknya orang ini nggak sejelek lo!” ujar Nana agak emosi. “Loh, kok jadi marah-marah sih?” tanya si tinggi-besar itu dengan wajah merenggut. Nana tidak mau memperpanjang masalah. Dia minta diri dengan kasar, lalu segera pergi. Dia lega karena cowok tadi bukan Yudistira. Rasanya konyol kalau Rere sampai rela mati-matian demi cowok seaneh, sejelek, dan sekurang ajar rakasasa tadi! Nana berusaha mencari Yudistira, tapi pada kenyataannya tidak semudah kelihatannya. Jam sudah hampir menunjukkan pukul dua belas, tapi Nana belum menemukan petunjuk tentang Yudistira. Walaupun demikian, Nana tidak menyerah. Kini Nana mengerti betapa sulitnya Rere menemukan Yudistira di antara mahasiswa Fakultas Ekonomi yang banyak itu. Gedung yang besar dan bertingkat-tingkat membuat kaki Nana lelah, tapi Nana tidak menyerah. Dia terus mencari dan mencari...
Bagian 39 – Sebelum Terlambat
Jam satu siang, perut Nana terasa sangat lapar. Dia belum sarapan, dan kini jam makan siang sudah lewat. Rasa lapar masih bisa ditahan, tetapi tenggorokannya yang kering membuat lehernya tercekat. Tapi Nana tidak membawa air ataupun uang untuk membeli minuman. Tapi Nana tidak mau pulang karena dia belum juga berhasil menemukan Yudistira. Di tengah kebingungan, hanya sesaat sebelum putus asa, terdengar seseorang memanggil namanya. “Na!” Nana menoleh, ternyata Adip dan Lino datang menyusulnya. “Lu masih di sini?” tanya Adip sambil mendekati Nana. “Akhirnya kalian datang juga...” ujar Nana dengan suara serak. “Ya ampun, itu bibir lu sampai pecah-pecah.” kata Adip. “Minum dulu!” Lino segera membeli air mineral di kantin terdekat, lalu memberikannya pada Nana. Nana pun segera minum. Air dingin yang mengalir di tenggorokannya membuatnya merasa lebih lega. “Thanks.” katanya. “Bagaimana, sudah bertemu dengan Yudistira?” tanya Lino. “Belum.” kata Nana. “Gedung ini terlalu luas, dan terlalu banyak mahasiswa di sini. Gua nggak tahu harus mencari di mana.” “Ya sudah, kami bantu deh.” kata Lino. Dia mendehem sambil menyikut lengan Adip. “Ya... setelah dipikir-pikir, lu benar juga. Kasihan Rere kalau dia pergi begitu saja.” “Wah syukurlah kalau kalian mengerti. Ayolah kita cari lagi!” “Tapi apa masih sempat? Tadi gua menelepon Rere, katanya sekarang dia berada di bandara. Dia akan berangkat jam setengah dua.” sahut Lino. “Setelah naik ke pesawat, Rere tidak bisa kita hubungi lagi.” “Setengah dua? Tinggal setengah jam kurang, dong? Kalau begitu, kita jangan buang-buang waktu. Ayo!”
“Tunggu dulu!” tiba-tiba Adip menahan Nana yang baru saja hendak bergegas pergi. “Apa lagi, Dip?” “Gua punya ide bagus nih, Na!” “Apa?” “Kita tanya Candy!” “Hah?” “Candy ‘kan mahasiwa ekonomi, lagipula dia Angkatan 2006. Yudistira juga angkatan 2006 kan? Mungkin saja Candy mengenal Yudistira!” kata Adip. “Kalaupun Candy nggak kenal, dia pasti kenal mahasiswa-mahasiswa angkatan 2006 lain. Salah satunya mungkin saja ada yang tahu Yudistira!” “Oh iya, betul juga! Coba hubungi Candy sekarang juga, Dip!” “Tapi sekarang Candy sedang kuliah. Gua SMS saja ya?” “Terserah, pokoknya cepetan deh!” Tanpa membuang-buang waktu, Adip segera menghubungi Candy lewat SMS. Tapi kali ini bukan untuk PDKT, melainkan demi Rere. Tidak lama kemudian, handphone Adip berdering. Cepat juga Candy membalas SMS Adip. Adip segera membacanya “Bagaimana?” Adip tersenyum lebar. “Ternyata Candy bukan cuma kenal Yudistira, mereka juga sekelas. Sekarang mereka sedang kuliah, katanya sebentar lagi selesai. Nanti Candy akan mengajak Yudistira mendatangi kita.” “Baguslah. Nanti bertemu di mana?” “Di sini. Gua sudah bilang, kita menunggu di pintu utama.” kata Adip. “Semoga saja mereka segera keluar. Sekarang sudah jam satu lebih lima.” kata Nana. “Sudahlah, kita tunggu saja.”
Dan detik-detik penantian itu membuat jantung Nana berdebar tidak karuan. Jam satu lebih sepuluh, Candy dan Yudistira belum juga datang. Jam satu lebih lima belas... jam satu lebih dua puluh... Dan ketika jam menunjukkan pukul satu lebih dua puluh lima, Nana benar-benar tidak bisa menunggu lebih lama lagi. “Dip, Candy bilang ruang kelasnya di mana nggak?” tanya Nana. “Katanya sih di lantai enam.” “Kita datangi saja ke kelasnya, yuk? Lima menit lagi Rere berangkat nih!” kata Nana dengan wajah panik. “Jangan ngaco, Na! Mereka sedang kuliah, tahu!” “Sudahlah, nggak ada waktu untuk berdebat, Dip! Ini situasi darurat!” kata Nana. “Oi, Na!” Nana tak mau menunggu lagi. Dia tidak menggunakan lift karena antriannya panjang. Meski capek, Nana memaksakan diri untuk menaiki tangga ke lantai enam. Keringatnya menetesnetes di keningnya, sementara tangannya gemetar karena belum makan sejak pagi. Akhirnya Nana pun tiba di lantai enam, dia segera berlari ke ruang kelas di mana Candy dan Yudistira sedang kuliah. “Na, jangan nekad!” terdengar suara Adip dari arah belakang. Tapi Nana tidak mendengar suara Adip. Dia mengetuk pintu ruang kelas, dan membukanya sebelum diizinkan. Seluruh mahasiswa yang berada di ruang kelas itu nampak kaget karena kemunculan Nana, begitu pula sang dosen yang sedang berdiri di depan kelas. Mereka semua semakin heran karena yang muncul adalah seorang pemudi yang berpakaian acak-acakan dan hanya mengenakan sandal jepit. “Maaf, mengganggu...” kata Nana. Dia sangat kikuk, tapi untuk mundur pun sudah terlambat. Lagipula, Nana memang tidak bermaksud untuk mundur. “Ada apa, Mbak?” tanya sang dosen. Dosen pria yang kepalanya agak botak itu memandang Nana sambil memicingkan mata seolah kacamatanya tidak cukup tebal untuk melihat Nana dengan jelas.
“Maaf Pak, saya perlu bicara dengan salah seorang mahasiswa Bapak. Namanya Yudistira.” kata Nana. “Apa tidak bisa menunggu sampai kuliah selesai?” tanya dosen itu lagi. Suara maupun raut wajahnya tidak galak, tapi tetap tegas. “Maaf sekali Pak, ini darurat. Tolong Pak...” kata Nana dengan wajah memohon. Para mahasiswa berbisik-bisik, entah apa yang ada di pikiran mereka. Sementara itu, dosen tua tersebut memandang Nana dengan tatapan menyelidik. Namun melihat wajah Nana yang bersungguh-sungguh, dia yakin kalau Nana tidak main-main. “Yudistira?” tanya dosen itu sambil memandang para mahasiswanya. Mungkin dia sendiri tak hafal satu per satu nama mahasiswa di ruang kelas itu. “Ya Pak?” Seorang pemuda berdiri. Nana menatapnya lurus-lurus. Ya! Memang dia! Benar sekali katakata Rere, pemuda itu memang tampan dan gagah. Badannya tinggi, bahunya bidang, dan rambutnya yang bergelombang nampak serasi dengan garis wajahnya yang tegas. Wajahnya sedikit lebih dewasa daripada wajah anak SMP pada foto yang dipegang Nana, tetapi Nana benar-benar yakin kalau dia adalah Yudistira. “Kamu berbuat macam-macam pada Mbak ini, tidak?” tanya dosen tua itu. “Maksud Bapak?” “Ya... misalnya kamu berbuat tidak senonoh... atau kamu sudah menghamili Mbak ini...” ujar dosen itu dengan rendah. Serentak, ruangan kelas itu menjadi riuh. Nana juga sangat kaget karena ucapan dosen itu, wajahnya sampai memerah karena malu. Yudistira pun tidak kalah terkejutnya, dia segera menggeleng sambil memandang Nana dan dosen di depan kelas secara bergantian. “Tidak, Pak! Saya tidak melakukan hal seperti itu!” ujar Yudistira. “Bukan begitu, Pak!” Nana juga segera menimpali. “Ini memang masalah pribadi, tapi bukan soal seperti itu.”
“Ya sudah, saya tidak menuduh apa-apa, kok. Saya hanya tidak suka kalau salah seorang mahasiswa saya terlibat masalah seperti itu.” kata dosen itu. “Yudistira, kamu keluar dulu saja. Bereskan dulu urusanmu dengan Mbak ini, setelah itu kembali ke kelas.” “Baik Pak...” Dengan bingung, Yudistira beranjak dari bangkunya, kemudian berjalan menuju pintu. Nana pun segera berterima kasih, lalu menyingkir dari ambang pintu, diikuti Yudistira. Setelah keluar, Yudistira pun menutup pintu kelas. “Ada apa?” tanya Yudistira sambil memandang Nana, Adip dan Lino. “Maaf ya, tadi gua mempermalukan lu, tapi ini memang darurat. Lu harus berbicara dengan seseorang.” kata Nana. Dia berpaling pada Adip. “Jam berapa sekarang, No?” “Setengah dua pas.” kata Lino sambil mengecek jam tangannya. “Adip, pinjam handphone lu dong!” Adip segera memberikan handphonenya pada Nana, kemudian Nana pun menekan nomor telepon Rere. Diberikannya handphone itu pada Yudistira. “Dis, lu masih ingat pada Rere ‘kan?” kata Nana. “Ini, bicaralah dengannya.” “Hah? Rere?” “Ya, Rere.” sahut Nana. “Sekarang Rere berada di bandara, dia akan segera berangkat.” “Gua nggak mengerti.” ujar Yudistira bingung. “Tidak ada waktu untuk menjelaskan, Dis. Kumohon, bicarakan dulu!” Tapi tentu saja Yudistira tidak mau berbicara dengan orang yang tidak dikenal. “Siapa Rere? Kenapa gua harus bicara dengannya?” “Lu Yudistira yang dulu sekolah di Bandung, lalu pindah ke Jakarta ‘kan?” kata Nana tidak sabar. Yudistira pun mengiyakan. “Lu masih ingat pada salah seorang teman SMP lu yang bernama Renata? Renata Augustine?” “Oh, Renata? Iya... gua ingat.”
“Dulu sebelum lu pergi ke Jakarta, lu berjanji kepada Rere kalau lu akan kembali ke Bandung dan kuliah di Unpar, ‘kan?” “I, iya.” “Jadi sebenarnya lu tidak lupa pada Rere ‘kan?” Yudistira menggeleng. “Tapi sudah lama gua nggak bertemu dia.” “Lu sudah bertemu dengannya, hanya saja lu nggak sadar kalau dia adalah Rere.” ujar Nana. “Rere juga tidak melupakan janjinya untuk kuliah di Unpar, tetapi sekarang harus pergi ke Taiwan demi keluarganya. Tapi sebenarnya dia ingin sekali bicara dengan lu, Dis. Kumohon, tidak ada waktu lagi... cepat telepon dia!”
Bagian 40 – Aku Tidak Mau Menyesal
“Ayo Ren, kita sudah dipanggil.” “Hah?” Rere menoleh ke arah mama dan adiknya yang sedang berdiri di sampingnya sambil menenteng tas. Rupanya Rere kelamaan melamun sehingga tidak sadar kalau sekarang sudah jam setengah dua tepat. “Kakak mikir apa sih?” tanya Ryan pada Rere. “Dari tadi bengong melulu.” Rere tertawa. “Mau tahu aja!” katanya. “Ayo dong kak, jangan lambat kayak nenek-nenek ah!” ujar Ryan. “Ryan pingin cepat-cepat naik pesawat, nih!” “Dasar! Nanti kalau sudah naik, kamu malah ketakutan dan ingin cepat-cepat turun!” Rere balas menggoda adiknya. Ryan tertawa. Dia berlari-lari mendahului mama dan kakaknya menuju pesawat yang siap menerbangkan mereka kepada ayah yang sudah lama tidak ditemuinya. Menit berikutnya, Rere, Ryan, dan mama mereka sudah duduk berdampingan di pesawat. Mama membaca-baca majalah yang disediakan, sedangkan Rere merapikan syal yang melilit lehernya. Ryan tidak henti-hentinya memperhatikan para pramugari yang sibuk membantu penumpang pesawat tanpa lupa melemparkan senyum manis. Saat itu memang masih banyak orang yang berlalu lalang, mencari tempat duduk masing-masing. “Ma, kenapa nggak ada pramugari laki-laki?” tanya Ryan. “Wah, mama juga nggak tahu, tuh. Memangnya kenapa? Kamu mau jadi pramugari?” tanya mama sambil tertawa geli. “Nggak ah.” kata Ryan sambil menggeleng. “Aku mau jadi pilot saja.” “Ah, kemarin dulu kamu bilang mau jadi polisi?” timpal Rere.
“Nggak jadi kok, aku maunya jadi pilot. Hebat, bisa mengemudikan pesawat. Kalau polisi ‘kan kerjanya nilang mobil doang?” “Hahaha... seenaknya saja!” Pembicaraan ketiganya terputus karena handphone Rere berdering nyaring. Rere pun segera mengeluarkan handphone itu dari tasnya yang terbuat dari bahan jeans. “Kamu belum mematikan handphone?” tanya mama sambil menyernyitkan kening. “Belum, aku lupa. Sebentar aku angkat dulu deh.” kata Rere. Di layar handphone, terlihat nama Adip. Dikiranya Adip yang menelepon. “Halo Dip? Ada apa?” Ada jawaban terdengar dari seberang sana, tetapi Rere tidak bisa menangkapnya dengan jelas karena suasana di pesawat masih berisik akibat orang-orang yang sibuk berlalu lalang. Rere menutup sebelah telinganya dengan jari telunjuknya. “Halo Dip, bicara yang agak keras dong! Gua ada di pesawat nih!” ujar Rere. “Reren?” Terdengar panggilan yang cukup keras, dan bahkan sangat jelas hingga Rere sadar kalau itu bukanlah suara Adip. Bukan juga suara Lino. Suara itu tidak begitu asing – memang lebih berat daripada yang dulu pernah didengar Rere, tapi Rere merasa mengenalinya. Selain itu, di antara ketiga orang sahabatnya, tak ada seorangpun yang pernah memanggilnya Reren. Di dunia ini, hanya satu orang yang selalu memanggilnya begitu. Yudistira. “Reren? Ini Reren ‘kan?” suara itu terdengar lagi dari seberang sana. “Ren, ini gua, Yudis!” Saat itu, waktu seolah terhenti. Apakah ini benar terjadi? Rere tidak percaya. Apakah orang yang berbicara dengannya itu benar-benar Yudis? Kalau iya... bagaimana bisa? Rere yakin sekali kalau Yudis tidak mengenal Adip. Kok Yudis bisa meneleponnya dengan nomor Adip? Namun Rere hanya butuh satu detik saja untuk menduga alasannya. Dia cukup pintar untuk mengetahui hal sesederhana itu. Ya, tentu saja... Nana, Lino, dan Adip mencari Yudis, kemudian menyuruhnya menelepon Rere. “Halo Ren, suara gua kedengaran nggak? Ini Yudis. Ingat ga?”
Rere merasa tangannya gemetaran, bahkan hampir saja handphone itu lepas dari tangannya. Wajahnya mendadak bersemu merah. “Yudis...?” “Iya, ini gua! Lu mau pergi, Ren?” Tapi belum Rere sempat menjawab pertanyaan Yudis, seorang pramugari yang mengenakan tusuk konde berbentuk bunga kamboja segera menghampirinya dan melemparkan senyum kepadanya. “Permisi, mbak...” “Ah, ya?” tanya Rere agak kikuk. “Maaf ya, kalau sudah, handphonenya tolong segera dinon-aktifkan. Sebentar lagi kita akan berangkat.” sahut pramugari itu dengan nada lembut tapi tegas. “Iya, sebentar ya...” Mama Rere merasa malu karena teguran itu sehingga dia segera menyenggol Rere dengan sikutnya. “Sudah, tutup saja.” “Sebentar!” mohon Rere sekali lagi. Rere pun kembali berbicara dengan Yudis. “Halo? Dis?” “Ren, kata teman lu... lu mau pergi ke Taiwan?” terdengar Yudis mengulangi pertanyaannya. “Iya.” jawab Rere. “Kapan lu pulang?” tanya Yudis lagi. Rere terdiam, tadinya dia berencana untuk tidak kembali lagi. “Entahlah.” ujar Rere akhirnya. Sekali lagi mama Rere menyenggol tangan Rere karena pramugari tadi mulai melihat ke arah Rere lagi. “Sudahlah Re, dilanjutkan nanti saja.” katanya. “Dis, maaf... gua akan segera berangkat. Teleponnya harus dimatikan.” kata Rere. “Oh... Sayang sekali, kita baru bicara sebentar. Tapi ya sudahlah.” “Maaf ya.” “Nggak apa. Oh ya, terima kasih, Ren.” “Untuk apa?” tanya Rere.
“Untuk kuliah di Unpar. Dan untuk mencari gua. Maaf, gua yang tidak mengenali lu.” ujar Yudis. “Padahal gua juga ingin bertemu dengan lu.” Rere terdiam. Apa katanya? Terima kasih untuk kuliah di Unpar? Jangan-jangan Yudis pun belum melupakan janjinya waktu SMP dulu, bahwa mereka akan berkuliah di Unpar? Dan Yudis bilang kalau dia juga ingin bertemu Rere. Ah, jangan-jangan selama ini Rere telah bersikap konyol karena tidak berani menemui Yudis? Memikirkan hal itu, sebersit rasa sedih bercampur lega menyelimuti hati Rere. “Terima kasih juga Dis, lu menelepon gua.” “Gua memang ingin bicara dengan lu, Ren.” kata Yudis. “Maaf, mungkin gua terlambat, ya?” “Nggak kok. Sama sekali nggak. Titipkan salam gua untuk teman-teman gua di sana, ya.” “Ya. Selamat jalan Ren, hati-hatilah.” “Bye-bye, Dis.” Lalu Rere pun menutup teleponnya. Dia masih tidak percaya bahwa dia baru saja berbicara dengan Yudis. Tapi kemudian, setetes air mata mengalir di pipi Rere. Rere berusaha untuk menyembunyikannya, tapi air mata itu malah mengalir semakin deras. Itu adalah air mata yang disembunyikannya sejak hampir tujuh tahun yang lalu. Rere yang selalu berpura-pura kuat, Rere yang selalu berusaha untuk tidak mengeluh, Rere yang selalu tabah... kini semuanya luluh. “Kak? Kakak kenapa? Kok menangis?” tanya Ryan yang pertama kali menyadari air mata di pipi Rere yang pucat. Rere menggeleng. Dia ingin berkata bahwa dia baik-baik saja, tapi kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. Mamanya pun segera memandangnya dengan bingung. “Kenapa Re?” Kenapa? Kenapa kau menangis? Rere pun bertanya kepada dirinya sendiri. Bukankah sejak awal dia sudah merelakan semuanya? Bukankah dia sudah membulatkan tekad dan berniat meninggalkan segala perasaannya di Bandung? Tetapi hanya sesaat saja mendengar sapaan Yudis yang sudah lama tidak didengarnya, kini semuanya terasa sakit lagi.
“Jangan sampai lu mengambil keputusan yang akhirnya malah lu sesali sendiri.” lalu Rere teringat perkataannya sendiri kepada Lino tempo hari. “Apakah suatu saat lu nggak akan menyesal ?” sekali lagi Rere teringat pertanyaan yang pernah dikatakannya pada Adip. Sekarang pertanyaan-pertanyaan itu seolah dilemparkan kembali kepada Rere. Setelah Yudis menelepon dan Rere sadar bahwa Yudis sama sekali tidak melupakannya, apakah kepergian Rere akan menjadikan hidupnya lebih berarti? Tidak. Tidak sama sekali. “Re, sakit hati bisa dilupakan. Tapi penyesalan itu dibawa seumur hidup.” Kali ini ucapan Nana mengiang di telinganya. “Tidak. Gua tidak mau menyesal lagi.” tekad Rere dalam hatinya. “Re?” Rere menghapus air matanya, dia memandang mamanya dengan tatapan penuh arti. “Maaf, Ma...” ujar Rere lirih. “Kenapa Re? Ada apa? Kenapa kamu nangis begini?” Rere memeluk erat-erat mamanya. “Aku belum bisa berangkat sekarang.” gumamnya. “Ngomong apa kamu Re?” seru mama Rere dengan bingung. “Aku harus kembali ke Bandung, Ma.” “Rere, jangan main-main! Kita sudah berada di pesawat, sudah terlambat untuk kembali!” ujar mama Rere. Tapi tidak ada amarah di wajahnya, hanya keheranan yang bercampur waswas. “Sebentar lagi kita berangkat.” “Tapi aku benar-benar harus kembali, Ma.” ujar Rere. “Kenapa?” “Alasanku masih sama seperti dulu, Ma. Aku masih punya urusan di Bandung.” “Jangan-jangan kamu masih keras kepala dengan pacar kamu waktu SMP itu?” ujar mama Rere, wajahnya nampak tidak percaya.
“Ini bukan soal Yudis saja, Ma.” kata Rere. Dalam benaknya, terbayang wajah Nana, Adip, dan Lino, juga teman-temannya yang lain, wajah Pak Udin dan istrinya yang ramah, wajah rekan-rekan kerjanya di Sunflower Cafe, serta pintu gerbang kampus yang selama ini selalu dilewatinya. “Kalau aku tidak kembali sekarang, aku akan menyesali tujuh tahun yang aku sudah lewati di Bandung. Aku tidak mau, Ma.” Mama Rere menghela nafas panjang. “Kamu mengerti ‘kan kalau mama dan papa juga sangat ingin tinggal bersama kamu dan Ryan lagi?” “Aku mengerti, Ma. Aku bahagia karena itu. Tapi aku...” ujar Rere terputus. “...aku akan merasa menyesal seumur hidupku kalau pergi dengan cara seperti ini.” “Tapi, Re...” “Kumohon, Ma...” ujar Rere. “Aku butuh waktu sedikit lagi. Aku janji, suatu saat pun kita akan berkumpul lagi seperti dulu. Tapi bukan sekarang, Ma. Sekarang adalah saatnya aku menyelesaikan apa yang aku mulai tujuh tahun yang lalu.” Sesaat keduanya bertatapan. Sesaat ingatan mama Rere kembali pada beberapa tahun yang lalu, yakni saat beliau memutuskan untuk pindah ke Tasikmalaya, tapi Rere bersikeras untuk tinggal di Bandung. Rere begitu ngotot sampai berhari-hari mereka bertengkar. Lalu tiba-tiba saja selembar surat pernyataan lolos beasiswa tiba di tangannya dan para guru menyarankan agar Rere diberi kesempatan untuk bersekolah di SMU swasta nomor satu se-Bandung. Lalu mama Rere pun menyelidiki kenapa Rere begitu keras kepala ingin tetap tinggal di Bandung. Beliau menemukan jawabannya pada selembar foto yang disimpan Rere di balik bantalnya. Mama Rere mengira, mungkin itu hanya cinta monyet yang sesaat pun akan segera pudar. Tapi sampai saat terakhir pun, Rere masih menyimpan foto itu di balik bantalnya. Entah cinta monyet atau apa, tapi yang jelas, Rere selalu bersungguh-sungguh dengan tekadnya. “Kamu sungguh-sungguh Re?” tanya mama Rere kemudian. “Tentu saja.” kata Rere. Mama Rere mengerjapkan matanya. Sambil tetap memegang tangan Rere, beliau memandang Rere lurus-lurus. “Mama bangga... kamu begitu mandiri. Tetapi kamu terlalu mandiri, Re... mama kadang merasa kalau kamu tidak membutuhkan mama lagi.”
“Tidak Ma. Rere selalu membutuhkan Mama untuk menjadi mama Rere. Sama seperti Rere membutuhkan Papa untuk menjadi papa Rere.” kata Rere. Akhirnya mama Rere pun melepaskan tangan Rere. “Kamu memang sudah dewasa Re, dan kamulah yang paling tahu hidupmu.” katanya dengan suara bergetar. “Ma...” “Pergilah, kalau kamu memang mau begitu.” kata mama Rere akhirnya. “Tapi kamu harus tahu kalau mama sayang kamu. Dan papa juga pasti begitu.” “Ya. Tentu saja, Ma. Aku juga sayang mama.” gumam Rere, sebuah senyum mengembang di wajahnya. Lalu Rere memeluk mamanya erat-erat, dan segera menepuk kepala Ryan. “Ryan, kamu harus menjaga mama, ya. Dan baik-baiklah di sana.” “Hah? Kakak mau ke mana?” tanya Ryan kebingungan. “Kakak tidak jadi pergi?” “Tidak Ryan.” “Kenapa?” Rere hanya tersenyum. Tentu saja dia tidak punya waktu untuk menjelaskan panjang lebar. “Sampai ketemu lagi, Ma. Sampaikan salamku untuk papa.” kata Rere. “Ya.” Tanpa mengatakan apapun lagi, Rere pun segera beranjak menuju pintu pesawat yang baru saja ditutup. Rere menjelaskan dengan terburu-buru pada pramugari yang bertugas bahwa dia tidak jadi berangkat. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya pintu pesawat yang berat itu dibukakan lagi. Rere segera mengucapkan terima kasih dan cepat-cepat menuruni tangga pesawat, lalu berlari pergi sambil menggenggam erat tas tangannya. Dia tidak menoleh lagi. Sementara itu di pesawat, mama Rere menunduk, berusaha menahan air mata sementara Ryan tidak henti-hentinya bertanya mengapa kakaknya tidak jadi berangkat bersamanya. “Maaf ya Ryan, kakak tidak jadi pergi. Tapi kakak punya alasan. Mungkin sekarang kamu belum mengerti, tapi tunggulah dua atau tiga tahun lagi. Pada saat itu, kamu akan mengerti apa itu cinta, dan apa arti pengorbanan yang harus kita lakukan demi itu.”
Epilog - Catatan Nana
Akhirnya semester lima pun berakhir. Banyak hal yang terjadi di antara gua dan sahabatsahabat gua, yang menyenangkan, menyedihkan, menyebalkan. Tapi sungguh, gua nggak pernah menyangka kalau akhirnya akan seperti ini. Gua benar-benar kaget sekaligus bahagia ketika Rere meneleponku dan memberitahu bahwa dia telah membatalkan keberangkatannya ke Taiwan. Waktu bertemu Rere, gua menangis. Gua kira, gua nggak akan pernah bisa bertemu Rere lagi. Gua juga merasa bersyukur karena hari itu gua, Adip, dan Lino berhasil menghubungi Yudis. Kalau tidak, tentunya saat ini Rere sudah tidak ada di Bandung. Gua tahu hal ini mungkin akan membuat mama dan papa Rere merasa sedih, tetapi aku lega karena mereka akhirnya mengizinkan Rere tinggal di Bandung, setidaknya sampai Rere lulus kuliah. Gua sempat deg-degan saat Rere menghadap Dekan dan mengajukan permohonan supaya bisa kuliah lagi. Untunglah beliau bersedia membantu Rere, bahkan Rere mendapatkan kembali beasiswa yang sudah ditolaknya. Rere tidak bekerja di Sunflower Cafe lagi karena posisinya sudah terlanjur diisi oleh orang lain. Tapi papa dan mama Rere berkata akan mengirimkan uang bulanan untuk keperluan kuliah dan kos, jadi Rere tidak perlu bekerja sampingan lagi. Baguslah, sebentar lagi kami ‘kan mengerjakan skripsi, Rere butuh waktu yang cukup untuk belajar dan beristirahat. Besoknya, Rere menemui Yudis lagi untuk menyatakan perasaannya – dan meskipun sudah dilarang, gua bersama Adip dan Lino mengintip mereka. Sebenarnya kami berharap sesuatu yang dramatis terjadi, tapi mereka hanya mengobrol santai. Tidak ada pelukan, tidak ada ciuman, tidak ada air mata... tapi melihat wajah Rere, gua yakin pernyataan cintanya sukses. Malamnya, Yudis dan Rere pergi kencan. Untuk pertama kalinya gua meliat Rere berdandan cantik dan mengenakan high heel. Gua curiga, jangan-jangan mereka sudah jadian. Tapi Rere belum bilang apa-apa. Ya sudahlah, biarkan saja, nanti juga Rere akan cerita. Gua sangat bahagia untuk Rere. Gua tahu selama ini dia sudah melewati saat-saat yang sulit, dia layak mendapatkan kebahagiaan. Ternyata bukan cuma hubungan Rere dan Yudis saja yang semakin hot, Adip juga tidak ketinggalan. Pada pesta pernikahan kakak Candy seminggu yang lalu, Candy meminta Adip
untuk menemaninya menjadi penerima tamu. Lucunya, ketika Candy memperkenalkan Adip pada keluarganya, salah seorang sepupu Candy yang masih SMA memanggil Adip dengan sebutan om! Rupanya dia mengira Adip sudah berumur tiga puluh tahunan! Walaupun demikian, pesta itu membuat gua merasa bahwa Adip sangat beruntung. Candy bukan cuma cantik dan baik, tapi keluarganya pun begitu ramah dan menyenangkan. Mereka tidak menganggap Adip yang bermuka preman itu sebagai cowok yang mengerikan. Mereka malah mengajak Adip berfoto bersama; seolah-olah Adip sudah menjadi bagian dari mereka. Wah, jangan-jangan lampu hijau nih? Semoga saja! Kabar buruk tentang Adip adalah, sekarang Adip mendapatkan saingan, yaitu Yanu. Sudah beberapa kali kami memergoki Yanu sedang mengobrol dengan Candy di kampus. Ya, gua memang pernah dengar kalau Yanu dan Candy pernah satu sekolah, wajar kalau mereka akrab. Tapi sikap antipati Adip pada Yanu serta sikap Yanu yang sok dekat dengan Candy membuat Adip semakin berang. Padahal kelihatannya respon Candy pada Yanu biasa-biasa saja. Candy terlihat jauh lebih antusias ketika bersama Adip. Tapi ya, kita ambil sisi positifnya saja deh, setidaknya Adip menjadi lebih berani pedekate dengan Candy karena tidak mau kalah dengan Yanu! Adip bilang, dia akan menembak Candy saat kelulusan nanti. Wow... gua nggak sabar menunggu hari itu. Sementara Rere dan Adip sedang bahagia-bahagianya, penyakit tidur Lino malah semakin kronis. Akhir-akhir ini dia kelihatan agak gendut karena terlalu banyak bermalas-malasan. Tetapi tanpa diduga, Lino versi tembem ternyata disukai cewek-cewek di kampus. Lino memang jadi kelihatan imut sih... apalagi dengan pipinya yang putih dan hidungnya yang mancung itu. Tapi sayangnya Lino terlalu terobsesi pada kasur di kamarnya, jadi setiap pulang kuliah, dia pasti cepat-cepat pulang dan tidur siang. Kalau saja dia mau nongkrong di kampus sekedar untuk tebar pesona, pasti banyak cewek yang terpancing. Sayangnya tidak ada satupun cewek yang bisa membuat Lino berpaling dari kasurnya. Ya, semoga saja Lino cepat ‘sembuh’ supaya dia tidak jadi homo betulan. Tentang gua sendiri... yah, kehidupan cinta gua sama sekali tidak ada kemajuan. Malahan, gua agak malas berpacaran. Bukannya gua trauma karena kejadian Denny, tapi gua ingin sendirian dulu. Beberapa hari yang lalu, saat berjalan-jalan di mall bersama Rere, gua bertemu Denny yang sedang berduaan dengan Kristin, ceweknya itu. Awalnya gua kira gua akan merasa sangat sedih dan sakit hati, tapi ternyata tidak tuh! Gua memang belum bisa menyapa Denny seperti biasa, dan memang tidak berniat untuk beramah-tamah juga. Tapi
setidaknya, untuk pertama kali sejak putus dari Denny, gua bisa berkata kalau gua adalah ‘a very happy single girl’. Tapi alasan terbesar mengapa gua tidak mau pacaran adalah karena akhir-akhir ini gua disibukkan oleh kegiatan menyanyi. Band Bram bubar karena sebagian personilnya tidak serius, oleh karena itu Bram membentuk band baru dan mengajak gua untuk menjadi vokalisnya. Tentu saja gua bersedia. Band baru membutuhkan banyak perhatian, itulah sebabnya sekarang gua lebih banyak menghabiskan waktu dengan Bram dan anggota band yang lain. Konyolnya, Rere dan Adip bilang, sepertinya Bram naksir pada gua. Sikap Bram memang selalu baik sih, dia juga perhatian. Tapi yah, gua tidak mau berpikir lebih jauh. Gua sedang berkonsentrasi pada mimpi yang gua kejar dulu ketika gua memutuskan untuk kuliah di Bandung. Ya, gua akan menjadi seorang penyanyi! Soal cinta, nanti dulu deh. Sayangnya, aktivitas menyanyi membuat gua jadi jarang bermain dan ngobrol dengan Rere, Adip, dan Lino. Rere sibuk membangun kembali hubungannya dengan Yudis yang sempat mati selama beberapa tahun ini, begitu pula Adip yang sedang memupuk keberanian untuk menyatakan cinta pada Candy. Bahkan Agal, anjing yang gua pungut dulu, kini mendapatkan seorang pacar (atau tepatnya seekor pacar) – sama-sama anjing kampung yang dipungut oleh Pak Udin. Kini, daripada bermain denganku ataupun siapapun yang tinggal di Rumah Hijau, Agal lebih suka bermain-main dengan Atila alias Anjing Tidak Galak – ya itulah nama anjing baru itu, tentu saja Adip yang menamainya. Kalau memikirkan masa depan, pasti akan datang saatnya ketika gua, Rere, Adip, dan Lino harus berpisah. Kami punya tujuan yang berbeda, terasa muluk rasanya untuk berkata kalau keakraban kami akan abadi selamanya. Tapi apapun jadinya nanti, suatu saat gua akan berkata dengan bangga: bahwa di usia sembilan belas tahun gua pergi ke Bandung, di kota inilah gua menemukan orang-orang yang gua sebut ‘sahabat sejati’ dan merekalah yang menjadikan masa muda gua lebih berarti.