STUDY TERHADAP EFEKTIVITAS PEMANFATAN DANA REBOISASI (DAK-DR) DALAM PENYELENGGARAAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Rayadin Y. and Sutisna M. (2003). Frontier 17: 42-50.
Yaya Rayadin* dan Maman Sutisna** *Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman serta Pengurus KKRHL ** Guru Besar Silvikultur Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman serta Ketua KKRHL Alamat : Fakultas Kehutanan UNMUL Kampus Gunung Kelua Samarinda Email : *
[email protected], **
[email protected]
Abstract Effectivity of implementation of forest and land rehabilitation funded by the Reforestation Fund in East Kalimantan Province evaluated through three aspects e.g. planning, actuating and social. Such method able to show both of physical and social efectivity in the field. In the planning aspect, it is administratively adequate but there are still poor in guidelines for creation of technical plan, and in mapping of plantable area. In the physical aspects, there are found out that most of the planting unit extend less than 100 ha. Plantable areas owned by the participants (farmers group) located separately. It was difficult to find large and compact area without separation by conflicted area. Because of no rehabilitation masterplan, there is no priority targets in the catchment areas. Rehabilitation costs each area relatively higher than those of actual costs. From the social view point, it is difficult to involve the local community in fully participation since the implementation of the project by the contractors are more manageable administratively. Key words: forest and land rehabilitation, evaluation, East Kalimantan, planning, administration, social.
I.
PENDAHULUAN
Kerusakan hutan dan lahan di Propinsi Kalimantan Timur telah menunjukan keadaan yang cukup memprihatinkan, yaitu mencapai lebih dari 3 juta ha, yang tersebar hampir merata, baik di dalam kawasan hutan produksi, hutan lindung maupun hutan konservasi (BP-DAS Mahakam Berau, 2003) . Kerusakan ini menghawatirkan karena berdampak pada ketidakseimbangan dan kerusakan ekosistem dalam tatanan Daerah Aliran Sungai (DAS) serta terganggunya kehidupan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Disisi lain kegiatan rehabilitasi di Kalimantan Timur menjadi tidak efektif apabila kegiatan pembukaan wilayah hutan yang tidak memperhatikan kaidah kelestarian berjalan terus menerus. Fakta di Lapangan menunjukan bahwa pembukaan wilayah hutan di Kalimantan Timur setiap tahunnya jauh lebih besar dibandingkan 1
dengan luas hutan dan lahan yang direhabilitasi. Apabila hal ini lidak diatasi secara tepat, maka sumberdaya hutan yang ada akan bartambah rusak, dan luas hutan dan lahan kritis akan meningkat setiap tahunnya. Upaya penanggulangan karusakan hutan dan lahan selama ini telah dilaksanakan melalui berbagai program rehabilitasi hutan dan lahan (selanjutnya disebut RHL), yaitu melalui kegiatan reboisasi dan penghijauan yang pada umumnya dilaksanakan oleh pemerintah khususnya oleh pemerintah Kabupaten dan Kota. Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut di biayai dengan Dana Reboisasi yang diatur berdasarkan Padoman Umum Pengelolaan DAK-DR nomor SE-59/A/2001, SE-720/MENHUT-II/2001,
2035/D.IV.05/2001
DAN
SE-522.4/947/V/BANGDA
tanggal 21 Mei 2001. Dalam pedoman tersebut disebutkan bahwa pelaksanaan teknis rehabilitasi hutan dan lahan harus mengacu pada pola umum dan standar serta kriteria rehabilitasi hutan dan lahan sebagaimana diatur dalam surat keputusan Menteri Kehutanan nomor 20/Kpts-II/2001 tanggal 31 Mei 2001. Mengacu kepada berbagai pedoman pelaksanaan RHL di atas nampaknya pemerintah pusat mempunyai keinginan yang kuat untuk menyederhanakan jalur birokrasi penyaluran dana kegiatan RHL yang berasal dari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) yang disalurkan langsung kepada pemerintah Kabupaten dan Kota sedangkan pemerintah propinsi sifatnya hanya sebagai koordinator saja. Permasalahan yang muncul kemudian adalah adanya kelemahan pada proses evaluasinya karena standar kriteria dan indikator RHL yang ada masih bersifat umum dan sangat sulit untuk diaplikasikan di tingkat Kabupaten dan Kota. Untuk itu Kelompok Kerja Rehabilitasi Hutan dan Lahan (KKRHL) Kalimantan Timur yang di dalamnya terdiri atas berbagai unsur yaitu pemerintah, swasta, akademisi, praktisi kehutanan dan LSM turut berperan dalam menyusun standar kriteria dan indikator RHL di Kalimantan Timur sebagi pedoman untuk melihat keberhasilan dan efektivitas penyelenggraan RHL di lapangan. Pedoman tersebut diharapkan selain mudah dalam proses penerapannya juga telah disusun berdasarkan masukan dari berbagai multi fihak. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang pelaksanaan RHL yang didanai oleh pemerintah lewat DAK-DR serta melihat sejauh mana efektivitas penyelenggaraan di lapangan berdasarkan Standar Penilaian Kriteria dan Indikator RHL yang disusun oleh KKRHL Kalimantan Timur tahun 2001-2002.
2
II. II.1.
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Proses evaluasi terhadap hasil pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan pada tahun pertama dilaksanakan melalui kunjungan lapangan pada bulan Juli 2002 hinga akhir bulan Agustus 2003. Lokasi yang dinilai berjumlah 15 lokasi yang tersebar di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai timur, Kutai Barat, Nunukan serta Kotamadya Samarinda Propinsi Kalimantan Timur.
II.2.
Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dipakai dalam proses evaluasi ini meliputi : Kriteria dan indikator Penilaian, daftar ukur, peta kerja, GPS, kalkulator, tali, beberapa petunjuk teknis yang berkaitan dengan RHL
II.3.
Sistem Penilaian Parameter yang dinilai terbagi kedalam 3 aspek yaitu aspek perencanaan, aspek pelaksnaan serta aspek sosial. Aspek tersebut ditentukan guna mengetahui tingkat keberhasilan kegiatan dari segi realisasi di lapangan dalam hubungannya dengan out put serta kajian pelibatan masyarakat dan hubungannya dengan proses kegiatan. Dalam sistem penilaian ini yang dievaluasi tidak hanya hasil kegiatan tetapi juga proses kegiatannya. Beberapa fihak yang terlibat dalam proses penilaian di lapangan antara lain dari unsur LSM yaitu : Babsic, Lentera, Bumi, Bioma dan KKRHL; Unsur akademisi Fahutan Unmul, Unsur Pemerintah BPDAS Mahakam Berau serta Dinas Kehutanan Propinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten setempat.
II.4
Analisa Data Sistem penilaian dan analisa data mengacu kepada kriteria dan indikator RHL KKRHL 2002 yang didukung oleh berbagai petunjuk lainnya.
Adapuan
tahapan dalam penyusunan kriteria dan indikator RHL hingga proses penilaiannya dapat dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini
3
Pemerintah
LSM
Bappeda Dinas Kehutanan Bapedalda BPDAS Mahakam Berau BPK Kalimantan BLK Kalimantan
KKRHL Bioma Bebsic Plasma Bumi Lentera SHK dll
Akademisi Fahutan Unmul PPLH CSF
Praktisi APHI PT Sumalindo PT Inhutani I PT ITCI PT Melapi Timber PT BFI
Elemen Kriteria dan Indikator
Kegiatan
Dimensi
Kriteria
Sub Kriteria
Dam Pengendali Dam Penahan Penanaman Mangrove Empang Parit Hutan Rakyat Murni Hutan Rakyat T. Sari Terasering P. Rotan P. Madu
As. Perencanaan As. Pelaksanaan
Kesesuaian Lokasi Volume Kegiatan Kondisi tanaman
Kondisi Lahan % Hidup tanaman Jumlah jenis tanaman Kondisi lahan Status lahan Rancanagan teknis Pencapaian target Pertumbuhan
Gambar 1.
Diagram alur dalam penyusunan kriteria dan indikator sebagai alat untuk mengevaluasi kegiatan RHL dengan melibatkan berbagai peran multi fihak di Propinsi Kalimantan Timur
Berdasarkan Gambar 1 diatas diperlihatkan bahwa proses penyusunan kriteria dan indikator dilakukan berdasarkan peran dan masukan dari berbagai fihak dengan tetap mengacu kepada pola umum standar kriteria indikator sesuai SK Menhut No 20/KptsII/2001 tanggal 31 Mei 2001. Proses ini dilakukan dengan harapan sistem penilaian kegiatan RHL sesuai dengan kondisi di Kalimantan Timur serta sesuai dengan kaidah yang disyaratkan oleh Departement Kehutanan. Dimensi penilaian pada berbagai bentuk kegiatan RHL meliputi aspek perencanaan dan pelaksanaan yang di dalamnya terdapat kriteria dan sub kriteria untuk mengukur dan mengevaluasi kegiatan secara kualitatif dan kuantitatif. 4
Berdasarkan gambaran diatas untuk selanjutnya diturunkan tim ke lapang guna menilai dan mengukur serta mengevaluasi efektivitas keberhasilan RHL, namun sebelumnya terlebih dahulu dilakukan proses sosialisasi dan metode pengukurannya melalui diskusi dan pelatihan. Hal ini penting dilakukan guna menyamakan persepsi tentang kriteria dan sub kriteria yang akan dinilai
III. III.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prinsip Dasar Penyelenggaraan RHL dengan DAK-DR Pengelolaan kegiatan RHL perlu didasarkan atas prinsip-prinsip partisipatif,
transparan, berkesinambungan, akuntabilitas serta efektif, efisien dan hemat. Sistem RHL merupakan sistem yang terbuka, yang melibatkan para fihak yang berkepentingan dengan penggunaan hutan dan lahan. Dengan demikian pada prinsipnya RHL diselenggarakan berdasarkan
atas inisiatif bersama para fihak. Dengan kata lain
diharapkan RHL di lapang dapat dilaksanakan oleh masyarakat. Kecuali kegiatan RHL pada kawasan hutan (reboisasi) yang karena alasan kuat kegiatan tersebut tidak memungkinkan dilaksanakan oleh masyarakat setempat secara swakelola. Prinsip-prinsip penyelenggaraan RHL di Kalimantan Timur mengacu pada Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun 2001 serta Keputusan Menteri Kehutanan nomor 20/Kpts-II/2001 tanggal 31 Mei 2001. Pola umum dan standar serta kriteria rehabilitasi hutan dan lahan tersebut di atas masih bersifat umum yang harus dirinci lebih lanjut di tingkat lapangan, sehingga dapat bersifat operasional karena pada prinsipnya bila ditinjau dari aspek teknis “berhasil tidaknya kegiatan RHL muaranya berada pada kuantitas dan kualitas tanaman yang dihasilkan untuk masa depan”. DAK-DR merupakan anggaran stimulan yang digunakan untuk merehabilitasi hutan rusak dan lahan kritis melalui pemberdayaan kapasitas dan kapabilitas lembaga masyarakat. Dengan demikian pengelolaan kegiatan DAK-DR ini perlu berbasis pada pengembangan kelembagaan masyarakat. Pemerintah Kabupaten/Kota bertindak sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai initiator dan pengelola kegiatan. Sebagai fasilitator pemerintah kabupaten/kota c.q. instansi Kabupaten/Kota yang menangani urusan Kehutanan antara lain membantu masyarakat dalam hal :
5
(1) Menyusun rancangan partisipatif yang tidak terpisahkan dari kegiatan fisik RHL, (2) Membina kelembagaan masyarakat sehingga makin berdaya untuk melaksanakan kegiatan RHL, (3) Memberikan bimbingan teknis dalam pelaksanaan kegiatan RHL dengan mengacu kepada pola umum, standar dan kriteria RHL, (4) Dilaksanakan dengan standar biaya yang wajar dan hemat, III.2 Potret Kegiatan RHL di KALIMANTAN TIMUR III.2.1. Berdasarkan Alokasi Dana Kegiatan Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) yang berasal dari 40% Dana Reboisasi disediakan Pemerintah untuk membiayai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota. Alokasi DAKDR Propinsi Kalimantan Timur tahun anggaran 2001 yang pelaksanaannya baru bisa direalisasikan pada tahun 2002 mendapat kucuran dana sebesar Rp. 190.200.000.000,(seratus sembilan puluh milyar) yang diserahkan kepada seluruh Kabupaten/Kota. Tabel 1. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Realisasi penerimaan Dana Reboisasi seluruh Kabupaten dan Kota di Kalimantan Timur yang bersumber dari DAK-DR 2001 Kabupaten/Kota Malinau Nunukan Bulungan Berau Pasir Kutai Timur Kutai Kartanegara Kutai Barat Tarakan Balikpapan Bontang Samarinda Jumlah
DAK-DR 18.000.000.000,21.800.000.000,17.600.000.000,22.100.000.000,23.000.000.000,26.400.000.000,20.200.000.000,30.800.000.000,2.600.000.000,3.700.000.000,2.100.000.000,1.900.000.000,190.200.000.000;
Dari Tabel 1 di atas terlihat bahwa masing-masing kabupaten dan kota di Propinsi Kalimantan Timur mendapatkan jatah dana yang berasal dari DAK-DR meskipun pada kenyataannya tidak semua kabupaten berkonstribusi terhadap pemasukan dana DR. Hal ini dikarenakan besarnya alokasi pendistribusian dana DR masing-masing kabupaten dan kota didasarkan beberapa pertimbangan antara lain : 6
(1) berdasarkan besarnya iuran DR dari hasil
pemanenan kayu
masing-masing
kabupaten yang kemudian disetorkan kepada pemerintah pusat, misalnya Kabupaten Kutai Barat sebagai penyetor Dana DR tertinggi di Kalimantan Timur akan mendapatkan alokasi DAK-DR yang besar pula, (2) berdasarkan pertimbangan sensitivitas dan rentabilitas luas lahan kritis pada masing-masing kabupaten dan kota, misalnya untuk Kota Madya Balikpapan, Samarinda, Tarakan dan Bontang
pada kenyataannya tidak memberikan
pemasukan terhadap setoran DR karena tidak memiliki perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) namun daerah tersebut memiliki kawasan hutan yang rentan dan kritis dengan kepadatan penduduk lebih tinggi, sehingga dalam rangka merahbilitasi hutan dan lahannya perlu dibantu dengan dana DR.
III.2.2 Berdasarkan Jenis Kegiatan Beberapa bentuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang dilaksanakan dalam bentuk reboisasi dan penghijauan pada masing-masing kabupaten dan kota sangat bervariasi. Contoh jenis kegiatan yang dilaksanakan dapat dilihat pada Tabel 2 tentang rencana RHL di Kabupaten Kutai Kartanegara. Tabel 2. Rencana Masyarakat yang dituangkan dalam Rencana Definitif Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kabupaten Kutai Kartanegara. No
Kegiatan
1.
Hutan Rakyat
2.
3.
Penanaman Jati
Penanaman Jenis Rotan
Luas (Ha) 500 58 50 50 100
Kecamatan Kota Bangun Samboja Loa Janan Sebulu Tenggarong Seberang
100
Tenggarong
158 130
Samboja Ma. Badak Anggana Samboja Ma. Badak Anggana Loa Kulu Ma. Muntai Ma. Kaman Tenggarong
20 65 20 20
Lokasi Desa SP1, SP2, SP3, SP7 Sanipah Batuah Sumber Sari Mangkurawang Suka Maju Bhuama Jaya Bungarejo Mangkurang Rapah, Sambera Handil 8 Tj. Limau Sepatin Handil D/Senipah Tj. Limau Ma. Kembang Loa Kulu Parian Seka Panca Jaya Mangkurawang
Keterangan Sistem Tumpangsari Tanaman: Jati Mahoni Karet Dan lain-lain
Penanaman Mangrove Sistem Jalur Sistem Empang Parit
Rotan Pulut Merah
7
4.
Penanaman Murbei
2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Ma. Badak Sanga-sanga Ma. Kaman Samboja Kenohon
Tj. Limau Sanga-sanga SP5 Handil D Melintang
Sumber Data: Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2002
Dari Tabel 2 diatas ditunjukan informasi bahwa dalam pelaksanaannya kelompok tani yang memohon untuk ikut serta dalam kegiatan pengembangan hutan rakyat sebanyak 32 kelompok dengan luas kurang lebih 5.400 ha. Permohonan tersebut direalisasikan dalam Rencana Definitif (DR) tahun 2002 dengan luas 1.201 ha, hal ini disesuaikan dengan ketersediaan dana DAK-DR tahun 2001. Sedangkan standarisasi biaya pelaksanaan RHL persatuan hektarnya dari masing-masing kabupaten dan kota berbeda, karena kondisi di masing-masing wilayah juga berbeda dari mulai harga bibit, aksesibilitas maupun upah tenaga kerja, namun sebagai pegangan pelaksana di lapangan serta upaya transparansi biya maka standarisasi biaya tersebut dibuat dengan surat keputusan Bupati atau Wali kota dengan harapan masyarakat mengetahui standarisasi biaya yang telah ditetapkan pada berbagai elemen kegiatan III.2.3. Berdasarkan Prosedural Pada prinsipnya kegiatan RHL dilaksanakan dengan melibatkan sebesar-besarnya peran aktif masyarakat sekitar lahan RHL, namun berdasarkan hasil pemantauan di lapangan diperoleh data bahwa dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan salah satu contoh yang mendukung
pernyataan tersebut antara lain dapat dilihat dari mekanisme
pelaksanaan dan pencairan dana dengan sistem keproyekan. Hal ini dapat dilihat dari gambar diagram alur (a) dan (b) dibawah ini : Dinas Terkait
Dinas Terkait Pimpro
Konsultan Sosialisasi Pembayaran
Prestasi
Sosialisasi Rancangan Teknis
Rancangan Pelaksanaan
Kontraktor
Pelaksanaan di Tingkat Masyarakat
(a)
Pelaksanaan Ditingkat Masyarakat
(b)
Pembayaran Prestasi Kerja
8
Gambar 2. Pola kerja kegiatan RHL serta pencairan Dana Reboisasi Keterangan Gbr a. Yang memegang kendali proyek adalah Dinas Terkait yaitu instansi yang ditunjuk oleh bupati untuk mengelola dana DR, Instansi yang mengelola di masing-masing wilayah cukup bervariasi antara lain Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Perikanan, Bapedalda dan lain-lain. Penunjukan instansi pelaksana dimasing-masing
kabupaten dan kota sesuai aturan adalah instansi yang berhubungan dangan urusan kehutanan dalam hal ini dinas kehutanan, namun masih ada beberapa kabupaten yang baru memiliki dinas kehutanan, sehingga pelaksanaannya dipegang oleh instansi diluar urusan kehutanan. Dengan pola kerja seperti gbr (a) yang paling banyak berperan adalah kontraktor dari mulai pembelian perlengkapan, pembelian bibit, pengaturan upah kemasyarakat dll. Dari lokasi yang dinilai sebagian besar masyarakat hanya berperan sebagai tenaga yang diberi upah untuk penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan lain-lain. Upah yang diterima masyarakat berkisar 5%-10% dari total biaya RHL persatuan hektarnya, sisanya berada di kontraktor/ dinas terkait/pimpro sebagai pengendali biaya. Di beberapa lokasi dengan pola kerja seperti ini selain biaya tinggi juga tingkat keberhasilan tanaman sangat rendah karena masyarakat hanya sebagai obyek. Keterangan Gambar b Yang berperan langsung adalah pimpro, dari mulai sosialisasi, pembentukan kelompok tani hingga pelaksanaan dilapangan, Dari lokasi yang dinilai dengan pola kerja seperti ini lebih ekonomis karena biaya konsultan dan kontraktor tidak ada, Namun peran aktif masyarakat juga masih rendah karena masyarakat lewat kelompok taninya hanya sebagai tenaga upah yang dibayar dengan sistem termin sementara untuk pembelian bibit, pupuk dan perlengkapan lainnya masih dipegang oleh pimpro. Dari kedua mekanisme tersebut, sangat kecil harapan kepada masyarakat untuk berperan dan berpartisipasi pada kegiatan RHL karena berdasarkan pengamatan di lapangan mekanismenya diciptakan sedimikian rupa sehingga masyarakat sulit untuk berperan.
III.3. Aplikasi Kriteria dan Indikator dalam menilai efektivitas penyelenggaraan RHL di Propinsi Kalimantan Timur Dalam melakukan proses evaluasi dan penilaian efektivitas penyelenggaraan RHL digunakan parameter yang terdapat pada kriteria dan indikator RHL. Kegiatan evaluasi dan penilaian tersebut pada prinsipnya dikelompokan kedalam 3 bagian yaitu : (1) aspek perencanaan dan penyusunan rancangan teknis (2) aspek teknis pelaksanaan di lapangan (3) aspek sosial dalam pelibatan peran serta masyarakat. III.3.1 Aspek perencanaan dan penyusunan rancanagan teknis Kegiatan penilaian pada aspek ini merupakan penilaian terhadap persyaratanpersyaratan administrasi teknis yang harus tersedia sebagai acuan dalam pelaksanaan di lapang. Dari 15 lokasi yang dinilai diperoleh data sebagai mana ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3.
Hasil penilaian kegiatan perencanaan dan penyusunan rancangan teknis RHL
No
Nama Lokasi
Jenis Kegiatan
1 2 3
Lamin Malong Kbg. Janggut Jerang Melayu
Hutan rakyat Hutan rakyat Kebun, hutan murni
Luas (Ha) 200 300 75
RL
RK
RKB
Ada Ada Ada
Ada Ada Ada
Ada Ada Ada
RTK P Ada Ada Ada
RP
PT
PK
Ada Ada Ada
Ada Ada Ada
td td td
9
4 Mendung Kebun, hutan murni 90 Ada Ada Ada 5 Gn. Menalit Reboisasi 575 Ada Ada Ada 6 Saga Lotoq Reboisasi 25 Ada Ada Ada 7 Kota Bangun II Penghijauan 300 Ada Ada Ada 8 Handil VIII Mangrove 58 Ada Ada Ada 9 Guntung Lai Hutan rakyat 160 Ada Ada Ada 10 Sungai Siring Hutan rakyat 65 Ada Ada Ada 11 Pampang Hutan rakyat 93 Ada Ada Ada 12 Sangkimah Reh. hutan mangrove 200 Ada Ada Ada 13 Sekambing Reh. hutan mangrove 25 Ada Ada Ada 14 Binusan Reboisasi+Penghijauan 75 Ada Ada Ada 15 Sedadap Hutan Rakyat 90 Ada Ada Ada Keterangan: RL = Risalah Lapangan; RK= Rincian Kegiatan; RTKP=Rencana Tata Waktu Pelaksanaan; RP = Rcn Pemeliharaan; RKB = Rincian Kebutuhan Biaya. Td = Tidak ada data
Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada
Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada
Ada td Ada td Ada 1:50.000 Ada 1:2.000 Ada 1:2.000 Ada 1:6.000 Ada 1:6.000 Ada 1:6.000 Ada 1:10.000 Ada 1:5.000 Ada td Ada td
PK = Peta Kerja; PT = Pola Tanam;
Berdasarkan Tabel 3 diperoleh informasi bahwa kegiatan perencanaan dan penyusunan rancangan teknis pada umumnya dari aspek administrasi telah mendekati kepada rancangan yang dapat diaplikasikan di lapang meskipun jenis kegiatan RHLnya beragam. Aspek yang masih lemah yaitu pada kegiatan penataan kawasan lokasi RHL. Dari tabel diatas terlihat sangat bervariasinya skala peta RHL, untuk keluasan 25 Ha saja skala peta yang dipakai 1:2000 hingga 1:50.000 sehingga berdasarkan hasil pengamatan KKHRL peta yang dipakai belum mencerminkan “Peta Kerja” tetapi lebih menunjukan kepada “peta lokasi kerja”. Dengan kondisi peta seperti itu maka sangat sulit untuk melihat perencanaan penataan kawasan baik dari aspek keluasan, topografi, kelompok tanaman maupun realisasi kegiatan. III.3.2. Aspek teknis pelaksanaan di lapangan Dari 15 lokasi kegiatan yang dievaluasi luas lahan kegiatan RHL bervariasi antara 25-300 ha. Sebagaimana diperlihatkan pada tabel 2 dan 4 luas areal kegiatan paling dominan dibawah keluasan 100 ha. Gambaran luas areal, jenis kegiatan serta upah kerja ditingkat masyarakat dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini. Tabel 4. No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis dan luas areal kegiatan pada berbagai pola kerja RHL
Nama Lokasi Lamin Malong Kbg. Janggut Jerang Melayu Mendung Gn. Menalit Saqa Lotoq Kota Bangun II Handil VIII
Jenis Kegiatan Hutan rakyat Hutan rakyat Kebun, hutan murni Kebun, hutan murni Reboisasi Reboisasi Penghijauan Rehabilitasi mangrove
Luas (ha) 200 300 025 090 575 025 300 058
Upah Kerja (Rp/HOK) 22.500 22.500 25.000 25.000 25.000 25.000 356.000/Ha 517.200/Ha
Pola Kerja Kontraktor Kontraktor Kontraktor Kontraktor Kontraktor Kontraktor Kontraktor Kontraktor
Peran Masyarakat Regu Kerja Regu Kerja Regu Kerja Regu Kerja Regu Kerja Regu Kerja Regu Kerja Regu Kerja
10
9 10 11 12 13 14 15
Guntung Lai Sungai Siring Pampang Sangkimah Sekambing Binusan Sedadap
Hutan rakyat Hutan rakyat Hutan rakyat Reh. hutan mangrove Reh. hutan mangrove Reboisasi dan Penghijauan Hutan Rakyat
160 065 093 200 25 75 90
20.000 20.000 20.000 25.000 30.000 450.000/ha 450.000/ha
Swakelola Swakelola Swakelola Kontraktor Swakelola Kontraktor Kontraktor
Regu Kerja Regu Kerja Regu Kerja Regu Kerja Regu Kerja Regu Kerja Regu Kerja
Sebagian besar luas lahan yang dikelola secara teknis terlalu kecil dan tidak efektif yang menyebabkan
biaya pelaksanaan per satuan hektarnya cukup besar.
Kondisi seperti ini sangat wajar mengingat di tingkat pelaksanaan lapang ada beberapa hal yang menjadi hambatan dalam penentuan lokasi kerja, diantaranya : (1)
untuk kegiatan RHL sangat sulit mencari areal yang luas dan bebas konflik,
(2)
luas areal yang dimiliki para kelompok tani tersebar tidak satu kesatuan,
(3)
kepercayaan sebagian besar para petani terhadap program kegiatan keproyekan RHL seperti ini masih rendah sebagai akibat kurangnya sosialisasi,
(4)
kegiatannya belum berorientasi pada output dan outcome,
(5)
pelaksana kegiatan hanya mencari areal yang dekat, aksesnya mudah meskipun secara teknis terkadang tidak memenuhi syarat untuk kegiatan RHL. (misalnya membuat hutan rakyat pada lahan sawah). Pada berbagai jenis kegiatan RHL seperti tabel di atas pola kerja sebagian besar
dengan sistem kontraktor dan peran masyarakat lebih layak disebut sebagai “regu kerja” dari pada “kelompok tani”, hal ini dikarenakan dalam pelaksanaanya belum ada upaya untuk mengembangkan kapasitas lembaga kelompok tani, melainkan baru sebagai kepentingan prosedural yang harus ditempuh oleh pelaksana/kontraktor sehingga masyarakat peserta program diperlakukan hanya sebagi buruh dengan upah kerja sebesar Rp. 25.000 – 30.000/ha perhari orang kerja (HOK), untuk berbagai jenis kegiatan diantaranya kegiatan penyiapan lahan, perintisan, penanaman maupun pengangkutan bibit. Di beberapa lokasi yang dievaluasi meskipun pola kerja dilakukan secara swakelola namun kendali kegiatan tetap dikendalikan oleh pimpro maupun kontraktor. Contohnya untuk penyiapan bibit, alat kerja, pupuk dll tetap dipegang oleh pelaksana meskipun terkadang harganya sangat tidak wajar, sedang petani tetap sebagai tenaga buruh. Selain itu yang lebih memprihatinkan adalah belum adanya jaminan terhadap kualitas bibit yang dikembangkan karena bibit yang telah ditanam tidak memiliki sertifikat kualita bibit yang unggul. Dalam hal ini, penyedia bibit bersertifikat pada umumnya belum dapat ditemukan. 11
Berdasarkan hasil skooring dengan penerapan kriteria dan indikator RHL dan survey sosial diperoleh data informasi bahwa pada berbagai jenis kegiatan RHL pemilihan jenis tanaman lebih partisipatif karena penentuan jenisnya ditentukan oleh masyarakat dengan mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya aspek kesuburan tanah, pengalaman masyarakat, nilai ekonomi serta peluang pasarnya. Jenis tanaman yang dikembangkan serta hasil skoring dari penerapan kriteria dan indikator dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini. Tabel 5. Hasil Skoring dengan Kriteria dan Indikator RHL serta Jenis Tanaman yang Dikembangkan pada Berbagai Kegiatan RHL 1
Lamin Malong
Hutan rakyat
Luas Jenis Tanaman (ha) 200 Mente, Kemiri
2
Kbg. Janggut
Hutan rakyat
300
3
Jerang Melayu
Kebun, hutan murni
75
4
Mendung
Kebun. Hutan murni
90
5
Gn. Menalit
Reboisasi
575
6
Saqa Lotoq
Reboisasi
25
7
Kota Bangun II
Penghijauan
8
Handil VIII
Mangrove
No
Nama Lokasi
Jenis Kegiatan
300 58
9 Guntung Lai 10 Sungai Siring
Hutan rakyat Hutan rakyat
160 65
11 Pampang
Hutan rakyat
93
12 Sangkimah
Reh. hutan mangrove
200
13 Sekambing
Reh. hutan mangrove
25
14 Binusan
Reboisasi dan Penghijauan Hutan Rakyat
15 Sedadap Keterangan: Sangat Baik/Baik Kurang Baik/Jelek
Hasil Scoring Survey Sosial Mente, Kemiri Survey Sosial Kelompok Meranti, Karet Survey Sosial Kelompok Meranti, Karet Survey Sosial Kelompok Meranti, Durian, Survey Cempedak, Nangka Sosial Kelompok Meranti, Aren, 95,0 Langsat, Durian Jati, Mahoni, Karet 80,0 Rhizophora mucronata, R. apiculata Cempedak, Kemiri, Langsat Manggis, Mengkudu, Durian Albizia, Gmelina, Jati, Mahoni R. mucronata, R. apiculata
Kriteria*) Belum ditanam Baru disulam Sudah ditanam Sudah ditanam Konflik lahan Sangat baik Baik
77,0
Baik
47,0 57,0
Jelek Kurang baik Jelek
46,0 82,5
75
Rhizophora spp, Avicenia spp, Bruguiera spp Jat, Tanaman Buah
85,0 56
90
Jati
45
Sangat baik Sangat baik Kurang Baik Jelek
= Berdasarkan hasil dari lapangan kondisinya baru ditanam/di sulam = Berdasarkan hasil dari lapangan kondisinya sudah ditanam tetapi banyak mati karena kemarau.
Dari hasil skoring tentang realisasi fisik output di lapangan kondisinya sangat bervariasi dari mulai kriteria jelek s/d sangat baik. Pada kondisi baik dan sangat baik, berdasarkan hasil pengamatan terhadap umur tanaman belum dapat dijadikan ukuran keberhasilan mengingat tanaman baru ditanam sehingga data penilaian di atas belum 12
dapat menyimpulkan keberhasilan penanaman karena pengukuran dilakukan beberapa bulan setelah penanaman. Keberhasilan penanaman hanya ditentukan setelah tanaman berumur 3-4 tahun setelah penanaman. Kondisi kegiatan RHL dengan ketagori jelek diakibatkan oleh : (1) sebagian besar tanaman mati atau merana, (2) jarak tanam tidak sesuai dengan petunjuk teknis di lapang dan lebih banyak dilakukan dengan cara memperbesar kondisi jarak tanam, (3) lokasi penanaman tidak sesuai untuk kegiatan RHL misalnya menanam diareal persawahan, (4) Belum adanya realisasi penanaman karena diakibatkan oleh beberapa hal misalnya kondisi lahan yang masih konflik, III.3.3 Aspek Sosial dalam Pelibatan Peran Masyarakat Proses penilaian aspek sosial lebih dititik beratkan kepada sejauh mana pelibatan peran serta masyarakat dalam kegiatan RHL yang mencakup pembentukan kelompok tani, pendampingan dan penyuluhan teknis serta penguatan kelembagaan dalam rangka peningkatan kapasitas masyarakat sebagai ujung tombak pelaksanaan RHL di lapangan. Namun sebagaimana diuraikan di atas sebagian besar baru menempatkan masyarakat sebagai objek daripada subyek pelaksana RHL. Berdasarkan kondisi dibeberapa lokasi kegiatan RHL kelompok tani yang ada cenderung “fiktif” dan hanya pelang nama belaka. Hal ini wajar karena Dana Reboisasi yang jumlahnya miliaran tersebut murni untuk kegiatan fisik di lapangan sedangkan dana pendampingan dan pembinaan kelompok tani disediakan oleh wilayah masing-masing. Pada kondisi seperti ini besarnya dana pendamping yang disediakan sangat bervariasi atau malah tidak dianggarkan sama sekali, karena hal ini tergantung kepada kebijakan Bupati masing-masing. Ini sebagai salah satu jawaban mengapa proses pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan RHL sangat rendah. Selain itu kondisi sosial masyarakat yang belum memiliki keyakinan bahwa kegiatan RHL mampu mempunyai peluang ekonomi dimasa depan atau memang pada kenyataannya masyarakat sudah menyadari bahwa kegiatan ini hanya bersifat sementara dan keproyekan belaka. Di beberapa lokasi yang potensi kayunya masih banyak, lahan kegiatan hasil RHL cenderung ditinggalkan dan tidak dipelihara, mereka lebih memilih dikegiatan penebangan kayu, IPK maupun perambahan hutan karena selain mekanismenya mudah dan cepat memperolehnya juga feenya cukup besar. 13
Permasalahan sosial yang dijumpai di tingkat pelaksana adalah sangat sulit mencari lokasi untuk kegiatan RHL yang luas, lahannya kritis, dan bebas konflik, sehingga di beberapa tempat lokasi-lokasi transmigrasi merupakan sasaran target bagi proyek RHL dengan pertimbangan arealnya satu kesatuan, masyarakatnya biasa melakukan kegiatan penanaman, mudah diatur, mudah diajak kerjasama serta dapat meningkatkan nilai ekonomi lahan diversifikasinya. Beberapa kendala yang dihadapi oleh para pelaksana RHL di lapangan antara lain : (1) dana DR yang jumlahnya miliaran tersebut murni untuk kegiatan fisik di lapangan sedangkan dana pendampingan dan pembinaan kelompok tani disediakan oleh masing-masing Pemerintah Kabupaten dan Kota yang besarnya sangat bervariasi, (2) dana tersebut diusahakan harus habis dalam satu tahun anggaran, padahal dalam pelaksanaannya sangat tergantung sekali kepada kondisi iklim, (3) mekanisme pelaksanaan RHL mengacu kepada sistem keproyekan (Kepres 18) yang belum tentu cocok dengan waktu pelaksanaan RHL karena kegiatan RHL memiliki tahapan-tahapan tersendiri dari mulai penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan yang berbeda dengan pelaksanaan proyek fisik lainnya, (4) sangat sulit mencari lokasi untuk kegiatan RHL yang luas, lahannya kritis, dan bebas konflik, (5) banyaknya alokasi dana peruntukan lain diluar RHL demi mengakomodir berbagai kepentingan, (6) beberapa kendala diatas banyak dijumpai saat penilaian di tingkat lapangan sehingga sering dijadikan alasan apabila suatu kegiatan RHL gagal, biaya tinggi, inefisiensi dll. Hal ini cukup berlasan mengingat kegiatan RHL yang di kelola kabupaten dan kota yang didanai DAK-DR merupakan kegiatan yang pertama kali, III.3.4 Efektivitas kegiatan RHL
Berdasarkan hasil uraian di atas dan evaluasi di lapangan maka kegiatan RHL yang didanai oleh DAK-DR tahun 2001 belum dilakukan secara efektif sehingga perlu diusulkan beberapa solusi perbaikan yang perlu ditempuh dalam rangka menciptakan mekanisme yang efektif seperti diuraikan berikut ini. (1)
Pendanaan DAK-DR harus bersifat multi-years, diusulkan 3-5 tahun karena dalam kegiatan RHL terdapat beberapa tahapan dari mulai, penyiapan lahan, penyiapan bibit, penanaman serta pemeliharaan yang semuanya tergantung pada 14
kondisi cuaca. Bila kondisi cuaca tidak memungkinkan jangan dipaksakan untuk menanam hanya karena proyek harus berjalan kegiatan ini akan “Mubazir” nantinya. (2)
Perlunya disusun Master Plan RHL (MPRHL) di masing-masing Kabupaten dan Kota juga di tingkat Propinsi dengan mekanisme konsultasi publik berdasarkan pertimbangan daerah-daerah lahan kritis prioritas RHL, sehingga jelas penentuan daerah-daerah prioritas RHL dan tahapan kegiatan serta target yang akan dicapai setiap tahunnya.
(3)
Dalam DAK-DR tidak hanya 100% untuk kegiatan fisik tetapi sebesar 3-5% dapat digunakan untuk dana pendampingan dan penguatan kapasitas petani maupun dana umum lainnya yang berhubungan dengan kegiatan RHL.
(4)
Dalam rangka meningkatkan pemberdayaan masyarakat maka kegiatan RHL perlu dilakukan secara swakelola melalui penguatan kapasitas masyarakat terlebih dahulu.
(5)
kegiatan RHL yang karena alasan tertentu perlu dilakukan dengan sistem keproyekan maka proses pembayarannya dilakukan sesuai dengan realisasi tanaman setelah tanaman dinilai layak tumbuh oleh tim penilai. Dengan demikian persentase pembayaran tidak harus selalu mencapai 100%, melainkan tergantung prosentase tumbuh tanaman dan realisasi keluasan di lapangan.
(6)
Perlu ditingkatkan kegiatan sosialisasi standarisasi biaya berdasar standar harga lokal di masing-masing Kabupaten dan Kota yang ditetapkan oleh SK Bupati/Walikota dalam rangka transparansi pelaksanaan RHL sehingga masyarakat mengetahui biaya pelaksanaan RHL persatuan hektarnya dari mulai jenis yang dikembangkan, harga bibit maupun nilai upah dari masing masing tahapan kegiatan.
(7)
Akuntabilitas harus didasarkan pada evaluasi yang berorientasi pada mutu hasil (output dan outcome) sehingga Pemerintah Propinsi perlu menyusun dan menerapkan kriteria dan indikator keberhasilan RHL ditinjau dari aspek prosedural, teknis maupun sosial yang sifatnya mudah diaplikasikan di lapangan dengan berbagai masukan dari para fihak. Draft mengenai hal tersebut telah disusun oleh KKRHL Kalimantan Timur tinggal menumbuhkan kemauan untuk mengesahkan dan mengaplikasikannya.
(8)
Buat lembaga pendamping semacam KKRHL ditingkat Kabupaten yang diharapkan menjadi mitra dalam mengevaluasi dan memberikan masukan bagi 15
keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan dimasing-masing Kabupaten dan Kota. Saat ini di Kabupaten telah dibentuk KKRHL Kabupaten Kutai Kartanegara dan Bulungan, sementara untuk Kabupaten Nunukan dan Berau masih dalam tahap inisiasi.
IV. (1)
PENUTUP
Berdasarkan hasil tinjauan dari aspek mekanisme kerja, realisasi di lapangan serta aspek sosial di 17 lokasi kegiatan RHL diperoleh informasi bahwa kegiatan RHL yang dilakukan berdasarkan pendanaan DAK-DR tahun 2001 di Propinsi Kalimantan Timur belum dilaksanakan secara efektif dan efesien.
(2)
Kegiatan pelaksanaan RHL di tingkat lapangan belum didukung oleh petunjuk teknis
maupun Masterplan RHL yang efektif sehingga munculnya berbagai
kendala teknis ditingkat petani dan pelaksana kegiatan di lapangan. (3)
Kegiatan RHL lebih banyak dilakukan dengan sistem keproyekan dan belum sepenuhnya melibatkan peran aktif masyarakat. Pada kegiatan RHL yang sudah berjalan masyarakat diposisikan sebagai tenaga buruh dan obyek kegiatan sehingga untuk jangka panjang tidak ada jaminan terhadap persentase tumbuh tanamannya.
Daftar Pustaka Anonim. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Anonim. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 35 tahun 2000 tentang Dana Reboisasi. Anonim. 2001. SK Menhut No 20/Kpts-II/2001 tanggal 31 Mei 2001 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Anonim. 2003. Luas Lahan Kritis Propinsi Kalimantan Timur Tahun 2003. BPDAS Mahakam Berau, Samarinda, 2003 Anonim. 2003. Evaluasi Kriteria dan Indiokator Aspek Teknis Pada Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Kalimantan Timur, KKRHL, Samarinda 2003.
16