Catatan Bidang Energi 2007 (bagian I): Mengamankan Pasokan Listrik Nasional Pemerintah melalui PT PLN (Persero) memiliki komitment yang tinggi untuk pembangunan kelistrikan. Terutama untuk mewujudkan misi pembangunan 100/75 atau pada HUT RI ke 75 rasio elektrifikasi mencapai 100 %. Untuk itu pembangunan prasarana kelistrikan harus terus berjalan. Termasuk diantaranya percepatan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batubara sebesar 10 ribu MW. Selain untuk meningkatkan rasio elektrifikasi juga untuk melayani pertumbuhan permintaan listrik yang mencapai sekitar 7% per tahun. Pada 2008 besar subsidi yang diharapkan turun ke tangan PLN sebesar Rp 38,9 triliun. Bila subsidi yang diterima kurang dari itu, maka akan muncul ”ancaman” seperti PLN harus menghemat penggunaan BBM pada pembangkit listrik. Akibatnya, risiko tidak andal akan makin meningkat. "Secara sederhana, pemadaman listrik makin sulit dihindari. Untuk mengoptimalkan kinerja dan mengamankan pasokan listrik nasional, kami butuh Rp 38,9 triliun," kata Direktur Utama PT PLN Eddie Widiono. Besar subsidi listrik 2008 diusulkan Rp 27,84 triliun. Angka itu kemudian turun menjadi Rp 26,67 triliun pada saat Rapat Panitia Anggaran (Panggar) DPR 16 September 2007 lalu. Tapi pemerintah malah mengusulkan lebih besar dari itu, yakni Rp 30,95 triliun. Purnomo Yusgiantoro, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merinci bahwa angka subsidi listrik sebesar itu terdiri atas komponen subsidi berjalan tahun anggaran 2008 sebesar Rp 27,84 triliun. Juga kekurangan subsidi 2007 sebesar Rp 2,47 triliun dan kekurangan hasil audit final BPK 2005 sebesar Rp 1,87 triliun. Dengan demikian, total kebutuhan anggaran subsidi mencapai Rp 32,18 triliun. Setelah dikurangi carry over 2009, hasil akhir kebutuhan subsidi listrik 2008 adalah Rp 30,95 triliun. "Itu kalkulasi realistis pemerintah," terangnya. Pada 2008, untuk memenuhi permintaan pasokan listrik, diperkirakan butuh investasi berkisar 5-6 miliar dolar AS. Dari kebutuhan investasi sebesar itu, sekitar 1,5 miliar dolar AS akan diperoleh dari pendanaan internal PLN. Sementara sisanya, akan dihimpun melalui pendanaan eksternal. Kebutuhan dana dihitung berdasar strategi visi 75:100. Yakni 100 persen wilayah Indonesia terjangkau listrik saat HUT ke-75 RI pada 2020. Untuk itu, dibutuhkan penambahan kapasitas pembangkit listrik 3 ribu megawatt (MW) per tahun. "Termasuk infrastruktur jaringan transmisi dan distribusi," kata Eddie Widiono. Ketersediaan pasokan listrik PLN untuk sistem Jawa-Bali pada 2008 ini juga diperkirakan masih akan mengalami kekurangan (shortage).
Menurut Eddie Widiono kekurangan itu dikarenakan pembangkit baru yang beroperasi hanya Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Kamojang, Jawa Barat 4 dengan kapasitas 60 MW. "Pada 2008 keandalan sistem Jawa-Bali akan tergantung ketersediaan batubara dan gas alam," katanya. PLN hanya merencanakan pertumbuhan tenaga listrik sebesar empat persen atau di bawah kondisi normal 6%-7%. Komposisi energi primer pada 2008 yang disiapkan adalah batubara 58.668 Giga Watt hour (GWh) atau mencakup 53%, minyak 22.457 GWh (20%), gas 18.208 GWh (16%), panas bumi 7.923 GWh (7%), dan air 4.415 GWh (4%). Melihat komposisi energi primer itu, peranan minyak masih dominan dan akan semakin meningkat apabila terjadi gangguan ketersediaan gas dan batubara seperti pada 2007 yang rencana pemakaian BBM sebesar 7,65 juta kiloliter, namun terpaksa naik menjadi 10,02 juta kiloliter. Kuota BBM yang ditetapkan pemerintah untuk PLN dalam APBN 2008 hanya sebesar 9,1 juta kiloliter (KL). Dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perseroan (RKAP) 2008, rencana biaya operasi PLN diperkirakan mencapai Rp 139 triliun, terdiri dari biaya bahan bakar sebesar 60 persen. Dari total biaya bahan bakar ini, sebesar 78 persen dialokasikan untuk pembelian BBM. Tentang kebutuhan investasi di sektor kelistrikan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro pernah mengatakan, pemerintah sudah menyusun grand design yang dituangkan dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Itu berupa program penambahan kapasitas listrik serta pembangunan jaringan. Dalam RUKN, disebutkan hingga 2015 Indonesia membutuhkan tambahan pasokan listrik 35 ribu megawatt, 26 ribu km jaringan transmisi, serta 390 km jaringan distribusi. Program tersebut bakal membutuhkan dana hingga USD 41 miliar atau Rp 360 triliun. Saat ini kondisi pengadaan tenaga listrik dalam negeri masih didominasi oleh PLN sebesar 24.887 MW (85,6%) dari total kapasitas terpasang sebesar 29.000 MW (diluar daya yang dihasilkan energi baru terbarukan). Sedangkan pembangkit swasta menyumbang sebesar 3.450 MW (11,9%), dan perusahaan listrik terintegrasi (PPU) sebesar 743 MW (2,5%). Pembangkit-pembangkit daya tersebut terhimpun dalam jaringan interkoneksi Jawa-Madura-Bali dan Sumatera, serta pembangkit-pembangkit yang terisolir. Saat ini hampir semua wilayah di Tanah Air masih mengalami krisis pasokan tenaga listrik. Padahal dalam beberapa tahun terakhir pemerintah dan PLN berupaya keras mengejar penyelesaian proyek-proyek pembangkit listrik baik di Jawa maupun luar Pulau Jawa.
Wilayah-wilayah yang mengalami krisis pasokan listrik meliputi sistem Sumatera Bagian Utara yang terdiri dari Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, selain itu sistem Pontianak (Kalimantan Barat) dan sistem Kalselteng (Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah). Selanjutnya, sistem Mahakam (Kalimantan Timur), sistem Minahasa yang meliputi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo, serta sistem Sulsel yang mencakup Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. Kemudian, sistem Ambon (Maluku), sistem Jayapura (Papua), sistem Lombok (NTB), dan sistem Kupang (NTT). Kekurangan pasokan listrik terparah terjadi di wilayah sistem Sulsel. Dari daya terpasang sebesar 624 MW, daya mampu pasok hanya 422 MW dengan beban puncak mencapai 417 MW. Sementara itu, untuk sistem Pontianak justru mengalami minus cadangan lebih dari 7 MW, dengan daya mampu pasok hanya 138 MW namun beban puncak sebesar 146 MW. Sedangkan, wilayah yang tidak memiliki cadangan pasokan listrik, berdasarkan data yang disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Jakarta 4 Juni lalu, meliputi sistem Sumatera Bagian Utara, Kalselteng, Mahakam, Minahasa, dan Jayapura. Dari 14 wilayah sistem di seluruh Indonesia hanya dua wilayah yang dinyatakan dalam status normal, yakni sistem Jawa-Bali dan sistem Sumatera Bagian Selatan yang terdiri dari Sumbar, Sumsel, Riau, Jambi, Bengkulu, dan Lampung. Dua wilayah sistem, yakni Bangka dan Belitung dalam status siaga. Pemerintah dan PLN akan terus meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan untuk menambah kemampuan pasok melalui pembangkit-pembangkit baru sehingga setidaknya di masing-masing wilayah tersedia pasokan listrik sesuai kebutuhan. "Untuk mengatasi krisis listrik, program jangka pendek antara 2007 sampai 2009 akan dilaksanakan sampai beroperasinya PLTU Batubara dan sistem transmisi diperkirakan selesai dibangun tahun 2009," kata Purnomo. Proyek 10.000 MW PLN melakukan program percepatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara dengan jumlah 10.000 MW. Tujuannya; Pertama, untuk mengurangi pembangkit berbahan bakar BBM. Kedua untuk memenuhi peningkatan kebutuhan tenaga listrik, sejalan dengan perekonomian dan peningkatan jumlah penduduk. Yang paling utama, meminimalkan peran pembangkit berbahan bbm, sehingga mengurangi subsidi.
Jumlah pembangkit yang akan dibangun berada di 10 lokasi di Jawa dengan kapasitas 6.9000 MW dan 25 lokasi di luar Jawa dengan kapasitas sekitar 2.7002.800 MW. Dengan total konsumsi batubara sebesar 18,7 juta ton/tahun di Jawa dan 10 juta ton/tahun di luar pulau Jawa. ”Bila PLTU ini selesai pada 2010 ini merupakan penghematan nasional, bagi PLN pun tidak perlu subsidi yang lebih besar lagi,” kata Yogo Pratomo, Ketua Pelaksana Harian Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik. PLN serius melakukan program percepatan pembangunan PLTU berbahan bakar batubara dengan jumlah 10.000 MW. Ini dibuktikannya dengan membangun konstruksi atau EPC (engineering, procurement and construction) PLTU di Jawa yang telah terealisasi sebesar 60 persen. Selain itu juga memastikan pasokan batubara dari empat perusahaan batubara di Jawa selama 20 tahun. Empat perusahaan itu yakni PT Baramutiara Prima, PT Titan Mining Energy, Konsorsium PT Arutmin Indonesia dan PT Darma Henwa, serta konsorsium PT Kasih Industri Indonesia dan PT Senamas Energindo Mulia. Sejauh ini PLN sudah mendapat komitmen batubara 18 juta ton per tahun. PLTU yang telah mendapat kepastian pasokan batubara yakni, PLTU Suralaya Baru 1 x 625 MW kebutuhan batubaranya dipasok PT Baramutiara Prima dengan volume 900 ribu ton (50 persen), PT Titan Mining Energy sebesar 540 ribu ton (30 persen), konsorsium PT Arutmin Indonesia dan PT Darma Henwa sebesar 360 ribu (20 persen). Sedangkan PLTU Labuan (Banten 2) 2x316 MW, mendapat pasokan dari konsorsium PT Kasih Industri Indonesia dan PT Senamas Energindo Mulia sebesar 950 ribu (50 persen), PT Baramutiara Prima sebesar 570 ribu (30 persen), PT Titan Mining Energy sebesar 285 ribu (15 persen), serta konsorsium PT Arutmin dan Darma Henwa sebesar 95 ribu (5 persen). Pemasok PLTU Indramayu Jabar 1 3x330 MW adalah konsorsium PT Kasih Industri Indonesia dan PT Senamas Energindo Mulia sebesar 1,43 juta ton (50 persen), konsorsium PT Arutmin Indonesia dan Darma Henwa sebesar 1,43 juta ton (50 persen). PLTU Teluk Naga 3x315 MW, dipasok konsorsium PT Kasih Industri Indonesia dan PT Senamas Energindo Mulia dengan volume 1.430.000 ton per tahun dengan harga Rp 252.000 per ton, konsorsium PT Arutmin Indonesia dan PT Darma Henwa volume 858.000 ton per tahun senilai Rp 252.000 per ton. Pemasok PLTU Pacitan 2x315 MW, adalah konsorsium Arutmin dan Darma Henwa dengan volume 950.000 ton per tahun dengan nilai Rp 269.353 per ton. Serta PLTU Pelabuhan Ratu 3x350 MW, dengan konsorsium PT Titan Mining Energy 1.430.000 ton per tahun dan PT Bara Mutiara Prima 858.000 ton per
tahun dengan harga Rp 274.999 per ton. Total volume kontrak pasokan batubara untuk ketiga PLTU itu sebesar 5.526.000 ton per tahun. Sedangkan PLTU Paiton Baru (Jatim 2) 1x660 MW akan dipasok konsorsium PT Arutmin Indonesia dan PT Darma Henwa sebesar 1,26 juta ton (70 persen). PLTU Asam-Asam (sudah ada) 2x65 MW dipasok PT Arutmin Indonesia sebesar 196 ribu ton (70 persen). Tetapi, PLTU ini tidak masuk dalam crash program. Tiga PLTU lain, (PLTU Tanjung Jati Baru, PLTU Awar-Awar, dan PLTU Rembang), sedang dalam proses. Total kebutuhan batubara untuk 10 PLTU di Jawa tersebut sekitar 21,58 juta. Berdasar pada data Departemen ESDM, dari produksi 193 juta ton pada 2006, penggunaan batubara untuk listrik baru 46 persen. ”Dalam cetak biru kebijakan batubara nasional, ke depan produksi diharapkan mencapai 370 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, diharapkan 80 persennya diserap sektor listrik. Apalagi, jika program percepatan pembangunan PLTU 10 ribu MW di Jawa maupun luar Jawa sudah berjalan," kata Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Departemen ESDM Simon Sembiring di Jakarta. Jika proyek PLTU 10 MW berjalan pada 2009, pada tahun itu pasar domestik batubara diperkirakan 79 juta ton. Dari angka tersebut, 61,8 juta ton diserap listrik. Pada 2010, pasar lokal diperkirakan tumbuh hingga 90 juta ton, di mana 72,3 ton di antaranya diserap sektor listrik. Untuk mempercepat program pembangunan PLTU pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 91 tahun 2007 yang memberikan jaminan penuh atas kelangsung proyek pada 19 September lalu. Perpres 91/2007 ini merupakan perbaikan dari Perpres 86/2006. Berbekal pada Perpres ini, PLN telah menunjuk lima bank yang akan memberikan pinjaman. Tiga bank berupa bank domestik, yaitu Bank Central Asia (BCA), BNI, dan Bank Mandiri. Sedangkan dua bank lainnya adalah bank internasional yaitu Bank of China dan Barclays. Jumlah total kredit yang dikucurkan dari bank domestik sebesar Rp 4,4 triliun dan bank asing sebesar 1,1 miliar dolar AS. Untuk bank domestik, jangka waktu pengembalian 10 tahun. Sedangkan untuk bank asing 12 tahun atau lebih. Pemberian pinjaman tersebut diperuntukkan PLTU di Labuan dengan kapasitas 2 x 315 MW, PLTU Indramayu dengan kapasitas 3 x 330 MW, dan Rembang 2 x 315 MW. BCA akan membiayai proyek Labuan, BNI membiayai proyek Indramayu. Sedangkan proyek Rembang oleh Bank Mandiri. Untuk Bank of China dan Barclays akan membiayai proyek Indramayu dan Rembang dengan porsi pinjaman dolar AS.
PLTP Pada 11 Desember lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan pengoperasian empat proyek Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) dengan kapasitas total 220 MW di Nusa Dua, Bali. Keempat proyek itu adalah PLTP Kamojang 60 MW, Darajat 110 M, Lahendong 2x20 MW, dan Sibayak 2x5 MW. Presiden juga telah menyerahkan 6 Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP) Panas Bumi. Ke-enam WKP dengan total potensi panas bumi sebesar 640 MW itu masing-masing adalah WKP Seulawah Agam, lokasi Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Potensi 280 MW. WKP Jailolo, lokasi Halmahera Barat, Maluku Utara, Potensi 40 MW. WKP Telaga Ngebel, lokasi Ponorogo dan Madiun, Jatim, Potensi 120 MW. Kemudian WKP Gunung Ungaran, Semarang dan Kendal, Jateng. Potensi 50 MW. WKP Gunung Tampomas, Sumedang dan Subang, Jabar, Potensi 100 MW. Serta WKP Cisolok, Sukabumi, Jabar, Potensi 50 MW. Daerah lain yang menyimpan menyimpan potensi energi listrik yang sangat besar adalah Sumatera Utara. Energi panas yang tersimpan di empat gunung di provinsi ini mampu menghasilkan listrik mencapai 2.370 megawatt. Potensi listrik sebesar 2.370 megawatt itu berada di Gunung Pusik Buhit Tobasa (1.500 megawatt), Gunung Sibual-buali Tapsel (380 megawatt), Gunung Sorik Merapi Madina (250 megawatt) dan Gunung Sibayak Karo (240 megawatt). Sementara yang termanfaatkan baru 40 megawatt dari PLTP Sibayak yang dikerjakan pihak Pertamina. Indonesia memiliki cadangan energi panas bumi sebesar 27 ribu megawatt atau setara dengan 40 persen dari total cadangan dunia dan setara dengan sekitar 12 miliar barel minyak bumi untuk pengoperasian selama 30 tahun. Sementara itu, yang digunakan baru 992 mega watt. Saat ini potensi panas bumi Indonesia bisa digunakan untuk membangkitkan listrik 16.000 MW (megawatt). Panas bumi merupakan proyek energi bersih lingkungan yang bisa mendapatkan kredit karbon. Dua di antara proyek panas bumi yang diresmikan sudah mendapat kredit karbon. Keduanya adalah Darajat dan Lahendong. Indonesia tengah mengusulkan agar tiga proyek panas bumi lainnya untuk mendapatkan kredit karbon, yakni Wayang Windu, Sibayak, dan Sarulla. Panas bumi merupakan sumber energi yang ramah lingkungan dan berpotensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Sumber energi ini juga cenderung tidak
dapat habis karena proses pembentukannya yang menerus selama kondisi lingkungannnya terjaga keseimbangannya. Pengembangan potensi panas bumi didasari 3 hal, yaitu potensi yang besar, antara lain, pertama, terdapat pada lapangan Seulawah Agam (NAD), Tampomas, dan Cisolok-Cisukarame (Jawa Barat), Gunung Unggaran (Jawa Tengah), Ngebel Wilis (Jawa Timur), dan Jailolo (Halmahera, Maluku Utara). Kedua, melambungnya harga minyak yang hampir mencapai US$ 100 / barel sehingga mendorong penggunaan bahan bakar alternatif. Ketiga, isu pemanasan global akibat penggunaan bahan bakar fosil. Panas bumi dapat berperan dalam mengurangi gas rumah kaca. Perpres No 5 Tahun 2006 menyebutkan pada 2025 komposisi pemakaian energi nasional akan menjadi minyak bumi 20 persen, gas bumi 30 persen, dan batubara 33 persen. Selanjutnya, bahan bakar nabati menjadi lima persen, panas bumi lima persen, energi alternatif (biomassa, nuklir, air, surya dan angin) lima persen, dan batubara cair tiga persen. Sedang, pada 2006, komposisinya adalah minyak 51,66 persen, gas 28,57 persen, batubara 15,34 persen, air 3,11 persen, dan panas bumi 1,32 persen. Disamping menerbitkan Perpres 5/2006, Pemerintah telah menerbitkan pula Undang-Undang No. 27 tahun 2003 tentang panas bumi, dan Peraturan Pemerintah No. 59 tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi. Undangundang dan peraturan tersebut untuk mendorong pengembangan dan pemanfaatan panas bumi.** (Sumber : berbagai media di Indonesia-ardan)