Edoc.site_lp-paraparese-inferior.pdf

  • Uploaded by: bella
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Edoc.site_lp-paraparese-inferior.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 3,826
  • Pages: 20
LAPORAN PENDAHULUAN PARAPARESE

Disusun untuk Memenuhi Penugasan Stase Keperawatan Medikal Bedah Program Profesi Ners 7

Oleh : Rizqi Luqmanul Hakim NIM SN171150

PROGRAM STUDI PROFESI NERS STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2017

LAPORAN PENDAHULUAN PARAPARESE

I.

KONSEP PENYAKIT A. Definisi

Paraparese adalah kelemahan otot kedua ekstremitas bawah pada fungsi motoric dan sensorik pada segmen torakal, lumbal atau sacral medulla spinalis (Sudoyo, 2009). Paraplegia adalah cedera saraf tulang belakang yang disebabkan karena kecelakaan yang merusak sensorik dan fungsi motorik di  bagian tubuh. Paraplegia mengalami kelumpuhan pada kedua tungkai kaki dan mati rasa pada bagian perut hingga ujung kaki akibat cedera pada sumsum tulang belakang. Para penderita paraplegia juga memiiki masalah lain seperti impotensia, BAK, BAB, selain itu emosional, depresi, dan stres karena mereka tidak bisa berjalan lagi. Perbedaan kuadraplegi, paraplegia, tetraplegia, paralisis dan parese. (Kowalak, 2011). a. Kuadriplegik mengacu pada kehilangan gerakan dan sensasi pada keempat ekstremitas dan badan yang dikaitkan dengan cedera pada medulla spinalis cervikalis.  b. Paraplegia mengacu pada kehilangan gerak dan sensasi ekstremitas  bawah dan semua atau sebagian badan sebagai akibat cedera pada torakal, lumbal atau sacral. c. Paralisis merupakan hilangnya kekuatan untuk memindahkan tubuh  berhubungan dengan injury atau penyakit pada syaraf yang mengatur otot oto t dalam melakukan perpindahan tubuh. d. Plegia yaitu kehilangan kekuatan. e. Paresis yaitu kelemahan yang berarti pada otot yang terkena. f.

Paraparese yaitu kelemahan tonus otot pada ekstremitas bawah.

g. Tetraparese yaitu kelemahan tonus otot yang melibatkan salah satu segmen servikal medulla spinalis dengan disfungsi kedua lengan dan kedua kaki. Klasifikasi:

a. Paraparese spastik: terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron  neuron  (UMN) sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertonus.

 b. Paraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor neuron (LMN) sehingga menyebabkan penurunan tonus otot atau hypotonus.

Gambar 1: Medulla spinalis

B. Etiologi

Penyebab paraparese menurut Smeltzer (2014) adalah sebagai berikut: 1. Faktor trauma tulang belakang, paling banyak terjadi karena jatuh dari ketinggian. 2. Faktor infeksi myelin 3. Tumor atau neoplasma pada medulla spinalis 4. Abses tuberculosa 5. Spina bifida thoracoumbal 6. Proses degenerasi medulla spinalis.

C. Manifestasi Klinis

 Nurarif (2013) menjelaskan bahwa lesi yang terjadi pada medulla spinalis dapat menimbulkan gejala klinis: 1. Gangguan fungsi motoric a) Lesi pada medulla spinalis merusak kornu anterior medulla spinalis sehingga menimbulkan kelumpuhan LMN pada otot-otot yang dipersyarafi oleh kelompok motoneuron ynag terkena lesi dan menyebabkan nyeri punggung yang terjadi secara tiba-tiba.

b) Gangguan motoric dibawah lesi: dapat terjadi kelumpuhan UMN karena jaras kortikospinal lateral segmen thorakal terputus. Gerakan reflex tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan tetap utuh atau  bahkan meningkat. Misalnya, reflex lutut tetap ada dan bahkan meningkat. Meningkatnya reflex ini menyebabkan kejang tungkai. Reflex yang tetap dipertahankan menyebabkan otot yang terkena menjadi memendek sehingga terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot yang spastik teraba kencang dan keras dan sering mengalami kedutan. 2. Gangguan fungsi sensorik  Karena lesi total juga merusak kornu posterior medulla spinalis maka akan terjadi penurunan atau hilang fungsi sensitabilitas di bawah lesi. Penderita tidak dapat merasakan adanya rangsangan taktil, rangsang nyeri, rangsang thermal. 3. Gangguan

fungsi

autonomy

karena

terputusnya

jaras

ascenden

spinothalamicus maka penderita kehilangan kontrol vesika urinaria dan kehilangan kontrol saat defekasi (disfungsi kandung kemoh dan usus). D. Komplikasi

Mansjoer (2009) menjelaskan bahwa komplikasi yang dapat muncul akibat dari paraparese adalah : 1. Gangguan penghubung dari lokasi pusat hambatan yang lebih tinggi di otak. 2. Infeksi dan sepsis dari berbagai sumber meliputi saluran kemih, saluran  pernapasan dan decubitus.

E. Patofisiologi

Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien s embuhsempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salahsatu atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla (membuat pasien paralisis). Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes keekstradul subdural atau daerah suaranoid  pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur (Sudoyo, 2009). Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya inisaja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cidera

medulla

spinalis

akut.

Suatu rantai sekunder kejadian-

kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia,edema,

lesi,

hemorargi.

Cidera medulla spinalis dapat terjadi pada lumbal 1-5 (Sudoyo, 2009). Lesi 11  –   15 : kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat paha dan bagian dari bokong. Lesi L2 : ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha. Lesi L3 : Ekstremitas bagian bawah. Lesi L4 : Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha. Lesi L5 : Bagian luar kaki dan pergelangan kaki.

Pathway

Trauma medulla spinalis, infeksi myelin, trauma medulla spinalis

Lesi mendesak medulla spinalis

Merusak daerah jaras kortikospinalis lateral

Kelumpuhan UMN pada otot-otot bagian tubuh yang terletak dibawah tingkat lesi

T2-T4: kelumpuhan anggota gerak bawah, hilangnya rasa pada kedua putting susu T5-T8: kelumpuhan pada anggota gerak bagian bawah dan kehilangan rasa pada daerah tulang dada T9-T11: Kelumpuhan pada kaki dan kehilangan rasa pada daerah umbilicus T12-L1: Kelumpuhan pada daerah dibawah paha L2-L5: kelumpuhan pada keldua kaki S1-S2: Kelumpuhan pada kedua kaki S3-S5: Kehilangan kontrol pada kandung kemih dan usus. Kehilangan sensasi pada daerah perineum

Hambatan mobilitas fisik Retensi urin Konstipasi Disfungsi seksual Kerusakan Integritas Kulit Ketidakefektifan koping

(Sudoyo, 2009) F. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan cedera medulla spinalis menurut Mansjore (2009) antara lain: a. Penanganan awal cedera medulla spinalis, yaitu: 1) Mempertahankan usaha bernapas 2) Mencegah syok 3) Imobilisasi leher (neck collar dan long spine board)

4) Selain itu, fokus selanjutnya adalah mempertahankan tekanan darah dan pernapasan, stabilisasi leher, mencegah komplikasi (retensi urine atau alvi, komplikasi kardiovascular atau respiratorik, dan thrombosis vena-vena profunda)  b. Penanganan lanjut trauma medulla spinalis dapat dilakukan dengan: 1) Farmakoterapi Pemberian kortikosteroid dosis tinggi, khususnya metilprednisolon, telah ditemukan unruk memperbaiki prognosis dan mengurangi kecacatan bila diberikan dalam 8 jam cedera. 2) Hipotermia Teknik pendinginan atau penyebaran hipotermia ke daerah cedera dari medulla spinalis, untuk mengatasi kekuatan autodestruktif yang mengikuti tipe cedera ini, cara ini keefektifannya masih diselidiki. 3) Tindakan pernapasan Oksigen diberikan untuk mempertahankan PO2 arteri tinggi, karena anoksemia

dapat

menimbulkan

atau

memperburuk

deficit

neurologic medulla spinalis. Intubasi endotrakea diberikan bila  perlu, perawatan ekstrem dilakukan untuk menghindari fleksi atau ekstensi leher, yang dapat menimbulkan tekanan pada cidera servikal diaphragma pacing (stimulasi listrik terhadap saraf frenik) dapat dipertimbangkan unituk pasien dengan lesi servikal tinggi tetapi biasanya dilakukan setelah fase akut. 4) Traksi dan Reduksi skelet Penatalaksanaan cidera medulla spinalis memerlukan imobilisasi dan reduksi dislokasi (memperbaiki posisi normal) dan stabilisasi kolum vertebra. 5) Fraktur servikal dikurangi dan spinal servikal disejajarkan dengan  beberapa bentuk traksi seklet seperti tong seklet atau callipers, atau dengan menggunakan alat halo. 6) Intervensi pembedahan, pembedahan diindikasikan bila : a) Deformitas pasien tidak dapat dikurangi dengan traksi  b) Tidak ada kestabilan tulang servikal c) Cedera terjadi pada daerah toraks atau lumbal d) Status neurologic pasien memburuk.

Pembedahan dilakukan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau dekompresi medulla. Laminektomi (eksisi cabang  posterior dan prossesus spinosus vertebra) diindikasikan pada adanya defisit neurologic progresif, dicurigai adanya hematoma epidural, atau cedera penetrasi yang memerlukan debridemen  pembedahan, atau memungkinkan visualisasi langsung dan eksplorasi medulla. Penderita

menghadapi

ketidakmampuan

fisik

sepanjang

hidup

sehingga memerlukan tindak lanjut dan perawatan terus menerus dari  professional kesehatan seperti psikiatris, perawat rehabilitasi, ahli terapi okupasi.

2. Penatalaksanaan Keperawatan Menurut Potter & Perry (2009), pasien dengan paraparese perlu dilakukan ROM. ROM terdiri dari gerakan pada persendian sebagai berikut : 1.

Leher, Spina, Servikal Gerakan Fleksi Ekstensi Hiperektensi

Fleksi lateral Rotasi

Penjelasan Menggerakan dagu menempel ke dada, Mengembalikan kepala ke posisi tegak, Menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin, Memiringkan kepala sejauh mungkin sejauh mungkin kearah setiap bahu, Memutar kepala sejauh mungkin dalam gerakan sirkuler,

Rentang rentang 45° rentang 45° rentang 4045° rentang 4045° rentang 180°

Penjelasan Menaikan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan ke posisi di atas kepala, Mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh, Mengerkan lengan kebelakang tubuh, siku tetap lurus, Menaikan lengan ke posisi samping di atas kepala dengan telapak tangan jauh dari kepala, Menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh sejauh mungkin, Dengan siku pleksi, memutar bahu dengan menggerakan lengan sampai ibu  jari menghadap ke dalam dan ke  belakang,

Rentang rentang 180° rentang 180° rentang 4560° rentang 180°

2. Bahu Gerakan Fleksi

Ekstensi Hiperektensi Abduksi

Adduksi Rotasi dalam

rentang 320° rentang 90°

Rotasi luar 

Sirkumduksi

Dengan siku fleksi, menggerakan rentang 90° lengan sampai ibu jari ke atas dan samping kepala, Menggerakan lengan dengan lingkaran rentang  penuh, 360°

3. Siku Gerakan Fleksi

Ektensi

Penjelasan Menggerakkan siku sehingga lengan  bahu bergerak ke depan sendi bahu dan tangan sejajar bahu, Meluruskan siku dengan menurunkan tangan,

Rentang rentang 150°

Penjelasan Memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan menghadap ke atas, Memutar lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap ke bawah,

Rentang rentang 7090°

rentang 150°

4. Lengan bawah Gerakan Supinasi

Pronasi

rentang 7090°

5. Pergelangan tangan Gerakan Fleksi

Penjelasan Menggerakan telapak tangan ke sisi  bagian dalam lengan bawah, Ekstensi Mengerakan jari-jari tangan sehingga  jari-jari, tangan, lengan bawah berada dalam arah yang sama, Hiperekstensi Membawa permukaan tangan dorsal ke  belakang sejauh mungkin, Abduksi Menekuk pergelangan tangan miring ke ibu jari, Adduksi Menekuk pergelangan tangan miring ke arah lima jari,

Rentang rentang 8090° rentang 8090°

rentang 8990° rentang 30° rentang 3050°

6. Jari- jari tangan Gerakan Fleksi Ekstensi Hiperekstensi

Abduksi Adduksi

Penjelasan Membuat genggaman, Meluruskan jari-jari tangan, Menggerakan jari-jari tangan ke  belakang sejauh mungkin, Mereggangkan jari-jari tangan yang satu dengan yang lain, Merapatkan kembali jari-jari tangan,

Rentang rentang 90° rentang 90° rentang 3060° rentang 30°

rentang 30°

7. Ibu jari Gerakan Fleksi

Ekstensi Abduksi Adduksi Oposisi

Penjelasan Mengerakan ibu jari menyilang  permukaan telapak tangan, menggerakan ibu jari lurus menjauh dari tangan, Menjauhkan ibu jari ke samping, Mengerakan ibu jari ke depan tangan, Menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan yang sama.

Rentang rentang 90°

rentang 90° rentang 30° rentang 30° -

8. Pinggul Gerakan Fleksi

Penjelasan Mengerakan tungkai ke depan dan atas, Ekstensi Menggerakan kembali ke samping tungkai yang lain, Hiperekstensi Mengerakan tungkai ke belakang tubuh, Abduksi Menggerakan tungkai ke samping menjauhi tubuh, Adduksi Mengerakan tungkai kembali ke  posisi media dan melebihi jika mungkin, Rotasi Memutar kaki dan tungkai ke arah dalam tungkai lain, Rotasi luar Memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain. Sirkumduksi Menggerakan tungkai melingkar 

Rentang rentang 90120° rentang 90120° rentang 30-50°

rentang 30-50°

rentang 30-50° rentang 90° rentang 90° -

9. Lutut Gerakan Fleksi

Ekstensi

Penjelasan Mengerakan tumit ke arah belakang  paha, Mengembalikan tungkai kelantai,

Rentang rentang 120130° rentang 120130°

10. Mata kaki Gerakan Dorsifleksi

Plantarfleksi

Penjelasan Rentang Menggerakan kaki sehingga jari-jari rentang 20-30° kaki menekuk ke atas, Menggerakan kaki sehingga jari-jari rentang 45-50° kaki menekuk ke bawah,

11. Kaki Gerakan Inversi

Eversi

Penjelasan Rentang Memutar telapak kaki ke samping rentang 10° dalam, Memutar telapak kaki ke samping rentang 10° luar,

12. Jari-Jari Kaki Gerakan Fleksi Ekstensi Abduksi

Adduksi

Penjelasan Menekukkan jari-jari kaki ke bawah, Meluruskan jari-jari kaki, Menggerakan jari-jari kaki satu dengan yang lain, Merapatkan kembali bersama-sama,

Rentang rentang 30-60° rentang 30-60° rentang 15°

rentang 15°

II. ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian

Data  –   data yang sering muncul saat dilakukannya pengkajian pada  pasien dengan paraparese, anatara lain (Nurarif, 2013): 1. Riwayat a. Keluhan Utama Biasanya

didapatkan

laporan

kelemahan

dan

kelumpuhan

ekstremitas, inkontinensia defekasi dan berkemih  b. Riwayat Kesehatan Sekarang Biasanya terjadi riwayat trauma, pengkajian yang didapat meliputi hilanya sensibilitas, paralisis, ileus paralitik, retensi urine, hilangnya refleks c. Riwayat Penyakit Dahulu Adanya riwayat infeksi, tumor, cedera tulang belakang, DM, jantung, anemia, obat antikoagulan, alkohol. d. Riwayat Kesehatan Keluarga Riwayat kelurga dengan penyakit yang sama.

2. Pola Gordon a. Aktifitas / Istirahat Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).  b. Sirkulasi Hipotensi, Hipotensi postural, bradikardi, ekstremitas dingin dan  pucat. c. Eliminasi Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emesis berwarna seperti kopi tanah /hematemesis. d. Integritas Ego Takut, cemas, gelisah, menarik diri. e. Makanan /cairan f. Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik) g. Higiene Sangat

ketergantungan

dalam

melakukan

aktifitas

sehari-hari

(bervariasi) h.  Nyeri /kenyamanan Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral. i. Pernapasan Pernapasan dangkal, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki,  pucat, sianosis.  j. Keamanan Suhu yang berfluktuasi, jatuh.

3. Pemeriksaan Fisik

Pasien dengan paraparese akan timbul randa dan gejala pada  bagian neurosensorinya (Sudoyo, 2009). Sehingga perlu dilakukan  pemeriksaan fisik pada : a. Kesadaran: GCS  b. Fungsi motorik: Kelumpuhan, kelemahan c. Fungsi sensorik: Kehilangan sensasi / sensibilitas. d. Refleks fisiologis: Kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon dalam. Kehilangan tonus otot /vasomotor.

Kekuatan otot (Potter & Perry, 2009)

Tingkat Fungsi Otot

Tidak ada kontraktilitas Kontraktilitas ringan, tidak ada gerakan Rentang gerak penuh, tanpa gravitasi Rentang gerak penuh, dengan gravitasi Rentang gerak penuh, melawan gravitasi, terdapat sedikit tahanan Rentang gerak penuh, melawan gravitasi, tahanan  penuh

Tingkat

0 1 2

Skala % Skala Lovett Normal 0 0 (nol) 10 T (trace/mimimal) 25 P ( poor /buruk)

3

50

F ( fair /cukup)

4

75

G ( good /baik)

5

100

N (normal)

Refleks patologis: reflek patologis ynag sering diperiksa adalah ekstensor plantar respons atau reflek Babinski. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma spinal.

4. Pemeriksaan Penunjang

Mansjoer (2009) menjelaskan bahwa pemeriksaan penunjang untuk mengetahui penyebab dari paraparese adalah: a. Pemeriksaan Laboratorium  b. Hematologi 1) Hemoglobin dapat menurun karena destruksi sum-sum tulang vertebra atau perdarahan. Peningkatan leukosit menandakan selain adanya infeksi juga karena kematian jaringan. 2) Kimia

klinik:

fungsi

pembekuan

darah

sebelum

terapi

antikoagulan. 3) Juga dapat terjadi gangguan elektrolit karena terjadi gangguan dalam fungsi perkemihan dan fungsi gastrointestinal. c. Radiognostik 1) CT Scan untuk melihat adanya edema, hematoma, iskemia dan infark 2) MRI menunjukkan daerah yang mengalami fraktur, infark hemoragik.

3) Rontgen menunjukkan daerah yang mengalami fraktur dan kelainan tulang.

B. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan  paraparese antara lain (Nurarif, 2013): 1. Hambatan

mobilitas

fisik

berhubungan

dengan

ketidakmampuan

 berjalan 2. Retensi Urin berhubungan dengan cedera medulla spinalis 3. Konstipasi berhubungan dengan gangguan neurologis 4. Disfungsi seksual berhubungan dengan gangguan neurologis 5. Ketidakefektifan

koping

berhubungan

 beradaptif dengan situasi yang dialami.

dengan

ketidakmampuan

C. Intervensi Keperawatan NO 1

DIAGNOSA Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakmampuan  berjalan

TUJUAN Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,  pasien mampu melakukan mobilisasi secara bertahap dengan kriteria:

RENCANA KEPERAWATAN

Lower E xtremity Monitoring 1. 2. 3. 4. 5.

Inspeksi hyiene kulit Kaji adanya edema pada ekstremitas Kaji kuku terhadap adanya penebalan jamur Kaji warna kulit, suhu, hidrasi, tekstur Kaji status mobility misalnya berjalan tanpa  pendamping, atau menggunakan alat bantu atau tidak  bisa berjalan atau menggunakan kursi roda. 6. Inspeksi adanya kelaiann pada tungkai 7. Kaji capilar refill time 8. Kaji reflex tendon

 Joint Movement: Pasien mampu melakukan ROM secara pasif atau aktif dengan melakukan gerakan fleksi, ekstensi, hiperekstensi, abduksi, adduksi, rotasi dalam, rotasi luar, gerakan memutar.

E xercise Therapy: Joint Mobiltity Body Mechanics P erf omance:

1. Kaji adanya keterbatasan pergerakan sendi dan kekuatan otot pasien 2. Jelaskan kepada pasien dan kelaurga tentang pentingnya latihan 3. Kaji dan pantau areaynag nyeri selama melakukan latihan ROM aktif 4. Lindungi pasien dari cedera selamaalatihan 5. Lakukan ROM paif atau aktif sesuai kemampuan pasien 6. Tentukan jadwal melakukan latihan ROM 7. Libatkan keluarga dalam latihan 8. Kaji respon pasie setelah melakukan latihan ROM 9. Beri pujian setiap tindakan yang dilakuakn pasien.

Mempertahankan kekuatan otot yang normal Mempertahankan fleksibilitas sendi yang normal

2

Retensi urin 1. setelah dilakukan tindakan  berhubungan dengan keprawatan salaam 3x24 jam gangguan diharapkan pasien dapat neuromuskular mengontrol pola berkemih dengan kriteria:

Uri nary E limination Pola eliminasi urun kembali normal seperti semula.

 Self care Assistence: Toileting 1. Sediakan alat bantu untuk berkemih (misal : kateter). 2. Monitor integritas kulit pasien terutama di daerah bokong.

Urinary Catheterization (0580) 1. Jelaskan prosedur dan rasional dilakukan pemasangan kateter. 2. Siapkan alat alat pemasangan kateter. 3. Pertahankan teknik aseptic. 4. Gunakan kateter yang paling kecil. 5. Hubungkan kateter dengan drainase bag. 6. Amankan atau rekatkan kateter di kulit. 7. Monitor intake dan output.

Tube Care : Uri nary (1876) 1. 2. 3. 4.

Pertahankan system drainase kateter tertutup. Bersihkan kulit disekitar area pemasangan kateter. Bersihkan saluran kateter bagian luar disekitar meatus. Atur posisi pasien dan saluran kateter untuk meningkatkan drainase urin. 5. Kosongkan urin bag bila penuh. 6. Monitor distensi bladder. 7. Buka kateter sesegara mungkin bila pasien sudah dapat  berkemih dengan normal.

Uri nary Bladder Training 1. Tentukan interval pertama pasien untuk berkemih. 2. Tentukan jadwal untuk memulai dan mengakhiri proses  berkemih.

3. Tentukan interval berkemih jika tidak dalam waktu 1 jam lebih baik jika kurang dari 2 jam. 4. Ingatkan pasien untuk berkemih sesuai dengan jadwal yang ditentukan.

3

Konstipasi 2. Setelah dilakukan tindakan  berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam gangguan Bowel E limination

Bowel management 1. catat kapan terakhir BAB 2. Kaji pergerakan bowel seperti frekuensi,, konsistensi,

2

Retensi urin 1. setelah dilakukan tindakan  berhubungan dengan keprawatan salaam 3x24 jam gangguan diharapkan pasien dapat neuromuskular mengontrol pola berkemih dengan kriteria:

Uri nary E limination Pola eliminasi urun kembali normal seperti semula.

 Self care Assistence: Toileting 1. Sediakan alat bantu untuk berkemih (misal : kateter). 2. Monitor integritas kulit pasien terutama di daerah bokong.

Urinary Catheterization (0580) 1. Jelaskan prosedur dan rasional dilakukan pemasangan kateter. 2. Siapkan alat alat pemasangan kateter. 3. Pertahankan teknik aseptic. 4. Gunakan kateter yang paling kecil. 5. Hubungkan kateter dengan drainase bag. 6. Amankan atau rekatkan kateter di kulit. 7. Monitor intake dan output.

Tube Care : Uri nary (1876) 1. 2. 3. 4.

Pertahankan system drainase kateter tertutup. Bersihkan kulit disekitar area pemasangan kateter. Bersihkan saluran kateter bagian luar disekitar meatus. Atur posisi pasien dan saluran kateter untuk meningkatkan drainase urin. 5. Kosongkan urin bag bila penuh. 6. Monitor distensi bladder. 7. Buka kateter sesegara mungkin bila pasien sudah dapat  berkemih dengan normal.

Uri nary Bladder Training 1. Tentukan interval pertama pasien untuk berkemih. 2. Tentukan jadwal untuk memulai dan mengakhiri proses  berkemih.

3. Tentukan interval berkemih jika tidak dalam waktu 1 jam lebih baik jika kurang dari 2 jam. 4. Ingatkan pasien untuk berkemih sesuai dengan jadwal yang ditentukan.

3

4

Konstipasi 2. Setelah dilakukan tindakan  berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam gangguan Bowel E limination neuromuscular 1.Pola eliminasi teratur 2.Pasien mengontrol eliminasi  bowel 3.konsistensi feces lemberk serta warna feces normal 4.Otot sfingter ani normal seperti semua Disfungsi seksual Setelah dilakuakan tindakan  berhubungan dnegan keperawatan seama 3x24 jam gangguan neurologis  pasien dapat mempertahankan  pola seksualitas yang normal dengan kriteria Sexual Functioning

Bowel management 1. catat kapan terakhir BAB 2. Kaji pergerakan bowel seperti frekuensi,, konsistensi, volume, warna 3. berikan informasi tentang manfaat makan makanan yang  banyak mengandung serat 4. Berikan retal suppositoria 5. Beriakn air hangat setelah makan 6. pastikan cairan yang diminum cukup sesuai kebutihan tubuh

 Sexual Counseling 1. Diskusika tentang dampak trauma yang dialami terhadap pola seksualiats 2. Dukung pasien dalam menyampaiakn ketakutannya terhadap perasalah seksualitas 3. Gunakan humor atau dukung pasien dengan hal yang lucu untuk mengurangi kecemasan yang dialami

1. Menggunakan alata bantu sesuai kebutuhan 2. Melakukan aktifitas seksual dengan partner seperti

sebelumnya. 5

Ketidakefektifan koping berhubungan dnegan ketidakmamapuan  beradapatasi dengan situasi yang dialami

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,  pasien dapat memiliki harapan yang positif terhadap truma yang dialami dengan kriteria:

Coping enhancement 1. Kaji pengaruh masalah yang dialmi terhadap situasi  pasien saat ini 2. Dukung pasien untuk menjelaskan perubahan peran yang dialami 3. Lakukan pendekatan yang tenang dan terapeutik  4. Dengarkan keluhan pasien secara tenang. Pastiakn

3. Tentukan interval berkemih jika tidak dalam waktu 1 jam lebih baik jika kurang dari 2 jam. 4. Ingatkan pasien untuk berkemih sesuai dengan jadwal yang ditentukan.

3

4

Konstipasi 2. Setelah dilakukan tindakan  berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam gangguan Bowel E limination neuromuscular 1.Pola eliminasi teratur 2.Pasien mengontrol eliminasi  bowel 3.konsistensi feces lemberk serta warna feces normal 4.Otot sfingter ani normal seperti semua Disfungsi seksual Setelah dilakuakan tindakan  berhubungan dnegan keperawatan seama 3x24 jam gangguan neurologis  pasien dapat mempertahankan  pola seksualitas yang normal dengan kriteria Sexual Functioning

Bowel management 1. catat kapan terakhir BAB 2. Kaji pergerakan bowel seperti frekuensi,, konsistensi, volume, warna 3. berikan informasi tentang manfaat makan makanan yang  banyak mengandung serat 4. Berikan retal suppositoria 5. Beriakn air hangat setelah makan 6. pastikan cairan yang diminum cukup sesuai kebutihan tubuh

 Sexual Counseling 1. Diskusika tentang dampak trauma yang dialami terhadap pola seksualiats 2. Dukung pasien dalam menyampaiakn ketakutannya terhadap perasalah seksualitas 3. Gunakan humor atau dukung pasien dengan hal yang lucu untuk mengurangi kecemasan yang dialami

1. Menggunakan alata bantu sesuai kebutuhan 2. Melakukan aktifitas seksual dengan partner seperti

sebelumnya. 5

Ketidakefektifan koping berhubungan dnegan ketidakmamapuan  beradapatasi dengan situasi yang dialami

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,  pasien dapat memiliki harapan yang positif terhadap truma yang dialami dengan kriteria:

4. Implementasi

Coping enhancement 1. Kaji pengaruh masalah yang dialmi terhadap situasi  pasien saat ini 2. Dukung pasien untuk menjelaskan perubahan peran yang dialami 3. Lakukan pendekatan yang tenang dan terapeutik  4. Dengarkan keluhan pasien secara tenang. Pastiakn untuk tidak memotong pembuicaraan dan bersifat menggurui pasien 5. Dukung pasien untuk mengemukakan harapan nya 6. Dukung pasien untuk mengemukakan kemampouan yang dimiliki. 7. Berikan pujian untuk setiap hal positif yang dikemukakan pasien 8. Libatkan keluarga

sebelumnya. 5

Ketidakefektifan koping berhubungan dnegan ketidakmamapuan  beradapatasi dengan situasi yang dialami

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,  pasien dapat memiliki harapan yang positif terhadap truma yang dialami dengan kriteria:

Coping enhancement 1. Kaji pengaruh masalah yang dialmi terhadap situasi  pasien saat ini 2. Dukung pasien untuk menjelaskan perubahan peran yang dialami 3. Lakukan pendekatan yang tenang dan terapeutik  4. Dengarkan keluhan pasien secara tenang. Pastiakn untuk tidak memotong pembuicaraan dan bersifat menggurui pasien 5. Dukung pasien untuk mengemukakan harapan nya 6. Dukung pasien untuk mengemukakan kemampouan yang dimiliki. 7. Berikan pujian untuk setiap hal positif yang dikemukakan pasien 8. Libatkan keluarga

4. Implementasi Implementasi dilakukan sesuai intervensi keperawatan berdasarkan prioritas. 5. Evaluasi a. Pasien dapat melakukan aktifitas fisik secacra bertahap dengan alat bantu sampai mandiri  b. Kemampuan berkemih secara normal c. Kemampuan defekasi kemmabi normal. d. Fungsi seksual kembali normal e. Pasien dpaat beradapatasi terhadap dampak trauma yang dialamu dan melakukan hal yang positif sesuai kemampuan.

4. Implementasi Implementasi dilakukan sesuai intervensi keperawatan berdasarkan prioritas. 5. Evaluasi a. Pasien dapat melakukan aktifitas fisik secacra bertahap dengan alat bantu sampai mandiri  b. Kemampuan berkemih secara normal c. Kemampuan defekasi kemmabi normal. d. Fungsi seksual kembali normal e. Pasien dpaat beradapatasi terhadap dampak trauma yang dialamu dan melakukan hal yang positif sesuai kemampuan.

DAFTAR PUSTAKA

Bararah, Taqiyyah., Jauhar, Mohammad. (2013). Asuhan Keperawatan: Panduan  Lengkap Menjadi Perawat Profesional Jilid 1. Prestasi Pustakaraya, Jakarta Bulecheck, Gloria M. (2013).  Nursing Intervention Classification (NIC), Sixth  Edition. Missouri: Elsevier Mosby. Herdman, T. Heather. (2015).  Nursing Diagnoses Definition and Classification 2015-2017 . Oxford: Wiley-Blackwell. Kowalak, P. J., Welsh, W., & Mayer, B. (2011).  Buku Ajar Patofisologi. Jakarta: EGC Mansjoer, Arif dkk. (2009).  Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3.  Jakarta: Media Aesculapius FK UI Moorhead, Sue et.al. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC), Fifth Edition. Missouri: Elsevier Mosby  Nurarif, Amin Huda. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa  Medis dan NANDA, NIC-NOC Jilid 2. Potter, P. A. & Perry, G. A. (2010).  Fundamental of Nursing . Ed. 7. Volume 2. Singapore. Elsevier Inc Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., and Cheever, K.H. (2014). Texbook of medical surgical nursing . 12th ed. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins. Sudoyo, Aru W. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II Ed. IV . Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

More Documents from "bella"