Dalam bidang perdagangan, internet mulai banyak dimanfaatkan sebagai media aktivitas bisnis terutama karena kontribusinya terhadap efisiensi. Aktivitas perdagangan melalui media internet ini populer disebut dengan electronic commerce (e-commerce). Dalam kenyataannya, banyak kendala yang dihadapi dalam pengembangan e-commerce ini seperti ketidak jelasan hukum antara pelaku E-Commerce. E-Commerce adalah perdagangan yang menggunakan mekanisme elektronik yang ada dijaringan internet, oleh sebab itu bila kita membahas aspek hukum tentang E-Commerce maka ruang lingkup pembicaraan kita tetap akan membahas tentang hukum internet. Seperti kita ketahui bahwa internet adalah dunia virtual yang memiliki komunitas yang sangat khas, yaitu tentang bagaimana aplikasi teknologi komputer yang berlangsung secara online pada saat sipengguna internet menekan atau telah terkoneksi dengan jaringan internet yang ada. Maka dalam konteks ini pula maka aspek hukum yang melekat terhadap mekanisme E-Commerce adalah berinteraksi dengan aplikasi jaringan internet yang digunakan oleh pihak yang melakukan transaksi melalui sistem E-Commerce. Perbincangan mengenai electronic commerce, yang biasa disebut e-commerce, tampaknya tidak ada hentinya di Indonesia. Perkembangan bisnis via internet ini semakin diminati. Berbagai seminar dan kajian bertemakan e-commerce diselenggarakan dari sudut-sudut kampus sampai hotel berbintang. Bahkan, ada tuntutan yang semakin besar untuk segera mengatur e-commerce ini dalam suatu peraturan perundang-undangan. Tentunya, perkembangan e-commerce ini tidak serta merta bebas masalah. Berbagai permasalahan hukum ditemui dalam e-commerce ini, termasuk mengenai hubungan hukum antar para pelakunya. Hukum harus dapat menegaskan secara pasti hubungan-hubungan hukum dari para pihak yang melakukan transaksi e-commerce itu. Namun sayangnya, dalam konteks hukum Indonesia, ketegasan hubungan hukum itu belumlah diatur. Dalam permasalahan pembayaran transaksi e-commerce yang menggunakan charge card atau credit card, timbul permasalahan hukum, apakah pembayaran yang dilakukan dengan charge card/credit card merupakan pembayaran mutlak, ataupun pembayaran bersyarat kepada penjual barang. Permasalahan itu muncul jika pemegang kartu (card holder) menolak bertanggung jawab atas pelaksanaan pembayaran atas beban charge card/credit card miliknya dengan berbagai alasan. Misalnya, karena alasan barang yang dibeli mengandung cacat, ataupun karena alasan nomor kartu kredit tersebut dipergunakan oleh orang yang tidak berhak dengan cara membelanjakannya di berbagai virtual store di internet. Permasalahan lainnya, apakah pemegang kartu kredit (card holder) mempunyai hak untuk membatalkan pembayaran yang telah dilakukannya, dengan meminta supaya perusahaan penerbit kartu (card issuer) tidak melaksanakan pembayaran atas tagihan yang dilakukan oleh pedagang yang menerima pembayaran dengan kartu. Dalam bidang hukum misalnya, hingga saat ini Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang mengakomodasi perkembangan e-commerce. Padahal pranata hukum merupakan salah satu ornamen utama dalam bisnis. Dengan tiadanya regulasi khusus yang mengatur mengatur
perjanjian virtual, maka secara otomatis perjanjian-perjanjian di internet tersebut akan diatur oleh hukum perjanjian non elektronik yang berlaku. Hukum perjanjian Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak berdasarkan pasal 1338 KUHPerd. Asas ini memberi kebebasan kepada para pihak yang sepakat untuk membentuk suatu perjanjian untuk menentukan sendiri bentuk serta isi suatu perjanjian. Dengan demikian para pihak yang membuat perjanjian dapat mengatur sendiri hubungan hukum diantara mereka. Sebagaimana dalam perdagangan konvensional, e-commerce menimbulkan perikatan antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi. Implikasi dari perikatan itu adalah timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat. Didalam hukum perikatan Indonesia dikenal apa yang disebut ketentuan hukum pelengkap. Ketentuan tersebut tersedia untuk dipergunakan oleh para pihak yang membuat perjanjian apabila ternyata perjanjian yang dibuat mengenai sesuatu hal ternyata kurang lengkap atau belum mengatur sesutu hal. Ketentuan hukum pelengkap itu terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus untuk jenis perjanjian tertentu. Jual-beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam KUHPerd, sedangkan ecommerce pada dasarnya merupakan model transaksi jual-beli modern yang mengimplikasikan inovasi teknologi seperti internet sebagai media transaksi. Dengan demikian selama tidak diperjanjikan lain, maka ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual-beli yang diatur dalam Buku III KUHPerd berlaku sebagai dasar hukum aktifitas e-commerce di Indonesia. Jika dalam pelaksanaan transaksi e-commerce tersebut timbul sengketa, maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya dalam ketentuan tersebut.
Permasalahan Hukum e-Commerce Akan tetapi permasalahannya tidaklah sesederhana itu. E-commerce merupakan model perjanjian jualbeli dengan karakteristik dan aksentuasi yang berbeda dengan model transaksi jual-beli konvensional, apalagi dengan daya jangkau yang tidak hanya lokal tapi juga bersifat global. Adaptasi secara langsung ketentuan jual-beli konvensional akan kurang tepat dan tidak sesuai dengan konteks e-commerce. Oleh karena itu perlu analisis apakah ketentuan hukum yang ada dalam KUHPerd dan KUHD sudah cukup relevan dan akomodatif dengan hakekat e-commerce atau perlu regulasi khusus yang mengatur tentang e-commerce. Beberapa permasalahan hukum yang muncul dalam bidang hukum dalam aktivitas e-commerce, antara lain: 1. otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet; 2. saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum ; 3. obyek transaksi yang diperjualbelikan; 4. mekanisme peralihan hak; 5. hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan, internet service provider (ISP), dan
lain-lain; 6. legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tangan digital sebagai alat bukti; 7. mekanisme penyelesaian sengketa; 8. pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian sengketa. Praktisi teknologi informasi (TI) Roy Suryo pernah menyebutkan sejumlah warnet (warung internet) di Yogyakarta menyediakan sejumlah nomor kartu kredit yang dapat dipergunakan para pelanggannya untuk berbelanja di toko maya tersebut. Sementara itu, Wakil Ketua Kompartemen Telematika Kadin, Romzy Alkateri, pernah mengungkapkan pengalamannya. Ia pernah ditagih beberapa kali atas suatu transaksi jasa hosting yang dilakukannya dengan sebuah penyedia web hosting di luar negeri. Padahal, ia mengaku sudah membayar jasa hosting tersebut dengan menggunakan kartu kredit. Lebih jauh lagi, ia pun beberapa kali meminta pihak issuer untuk tidak melakukan pembayaran tersebut karena merasa tidak melakukan transaksi jasa hosting lebih dari satu kali. Dari berbagai kasus penipuan kartu kredit seperti di atas, tentunya selain pihak card holder, pihak merchant juga akan dirugikan. Apabila card holder menyangkal telah melakukan transaksi menggunakan charge card/credit card melalui internet, maka pihak issuer tidak akan melakukan pembayaran, baik kepada merchant ataupun pihak jasa payment services. Di Amerika, biasanya untuk sejumlah nilai transaksi tertentu, kerugian tersebut ditanggung secara bersama oleh merchant dan pihak jasa payment services.
PERBANDINGAN DENGAN REGULASI DI INGGRIS Permasalahan seperti diatas, ternyata telah diatur di Inggris yang didasarkan pada putusan pengadilan dalam perkara In Re Charge Sevices Limited. Perkara tersebut berisi suatu analisis yuridis mengenai hubungan-hubungan hukum yang tercipta apabila suatu card digunakan untuk melakukan pembayaran. Dalam putusan tersebut, yang merupakan leading case di Inggris, hakim Millet J memutuskan pembayaran dengan charge card/credit card adalah pembayaran mutlak, bukan pembayaran bersyarat kepada pihak merchant. Selain itu Millet juga berpendapat, dalam penggunaan kartu, secara serempak bekerja tiga perjanjian yang satu sama lain saling terpisah, yaitu: 1. Perjanjian penjualan barang dan/atau jasa antara pedagang. 2. Perjanjian antara pedagang dan perusahaan penerbit kartu yang berdasarkan perjanjian itu pedagang yang bersangkutan setuju untuk menerima pembayaran yang menggunakan kartu. 3. Perjanjian antara issuer dengan card holder. Selama ini penggunaan charge card/credit card di internet, ataupun di berbagai merchant secara offline, seperti di berbagai pusat perbelanjaan memang rawan dari penyalahgunaan. Kerawanan ini terjadi sebab pihak merchant dapat memperoleh nomor kartu kredit beserta masa berlakunya
yang tentunya dapat digunakan untuk melakukan transaksi e-commerce. Sangat disayangkan, sistem verifikasi yang ada selama ini tidak menggunakan tambahan pengaman, misalnya saja Personal Indentification Number (PIN) yang hanya diketahui oleh pemilik kartu. Untuk itu, pemerintah seyogyanya memberikan pengawasan dengan mewajibkan diadakannya suatu pendaftaran terhadap segala kegiatan yang menyangkut kepentingan umum. Termasuk di dalamnya, pendaftaran atas usaha-usaha elektronik (e-business) yang berupa virtual shops ataupun virtual services lainnya. Selain itu perlu diatur pula, pelaku bisnis di dalam cyberspace, khususnya yang memiliki target konsumen masyarakat Indonesia, seyogyanya adalah subjek hukum yang berbentuk badan hukum. Perseroan Terbatas (PT). Perlunya ketentuan ini dikarenakan pertanggungjawaban di dalam sebuah PT telah ditentukan secara jelas dan tegas yang tercantum di dalam anggaran dasarnya. Secara umum, pertanggungjawaban itu telah ditentukan dalam UU No. 1 Tahun 1995. Dengan bentuk PT ini, diharapkan dapat tercapai suatu kepastian hukum, khususnya dalam hal pertanggungjawaban dari pihak pelaku e-business kepada konsumen. Namun kita pun harus menyadari, internet sebagai suatu dunia maya yang bersifat borderless, tanpa adanya suatu pemegang otoritas tertinggi di dalamnya, tentu akan sangat sulit untuk diregulasi. PERLINDUNGAN KEPENTINGAN KONSUMEN Ada beberapa permasalahan terhadap konsumen yang dapat disoroti akibat tidak jelasnya hubungan hukum dalam transaksi e-commerce: Pertama, mengenai penggunaan klausul baku. Sebagaimana kita ketahui, dalam kebanyakan transaksi di cyberspace ini, konsumen tidak memiliki pilihan lain selain tinggal meng-click icon yang menandakan persetujuannya atas apa yang dikemukakan produsen di website-nya, tanpa adanya posisi yang cukup fair bagi konsumen untuk menentukan isi klausul. Kedua, bagaimana penyelesaian sengketa yang timbul. Para pihak dapat saja berada pada yurisdiksi peradilan di negara yang berbeda. Sementara perdebatan mengenai yurisdiksi penyelesaian sengketa e-commerce ini tampaknya masih akan cukup panjang, selama masa penentuan saat terjadi dan di mana terjadinya perjanjian e-commerce masih terus menjadi perdebatan pula. Selain itu, diperlukan pula suatu sistem dan mekanisme penyelesaian sengketa khusus untuk transaksitransaksi e-commerce yang efektif dan murah. Bagaimana langkah yang harus ditempuh, misalnya, oleh seorang WNI yang membeli buku seharga AS$200 di amazon.com untuk mengajukan gugatan atas wanprestasi situs tersebut di muka pengadilan Amerika. Penyelesaian semacam ini tentunya akan menghabiskan dana berkali lipat dari transaksi yang dilakukannya. Hal lainnya adalah masalah keamanan dan kerahasiaan data si konsumen. Hal ini berkaitan juga dengan privasi dari kalangan konsumen. Seorang praktisi TI Arianto Mukti Wibowo pernah mengemukakan, penggunaan cookies pada beberapa browser seperti internet explorer dari
Microsoft telah memungkinkan sistem pada website mengenali pelanggan, dan bahkan pola belanja yang dilakukan si pelanggan tanpa disadari oleh si pelanggan. Contohnya saja untuk konsumen yang telah melakukan beberapa kali pembelian buku di amazon.com, situs tersebut akan berusaha membuat pola untuk mengenali jenis/topik buku-buku kesukaan customernya dengan cara meletakkan cookies ke dalam hard-drive si customer. Suatu ketika, saat si customer itu membuka situs amazon, sistem amazon akan menawarkan jenis/topik yang diperkirakan menjadi kesukaan customer. Mungkin bagi beberapa kalangan, praktek sebagaimana disebutkan di atas dianggap membantu pihaknya dalam melakukan pencarian buku sesuai dengan topik yang disukainya. Namun sebenarnya, di sinilah letak adanya privacy intrusion tersebut. Kebiasaan dan hobi seseorang, bahkan hal-hal yang sangat pribadi, mungkin saja tereksploitasi. Sumber : http://www.gudangmateri.com/2010/10/permasalahan-hukum-e-commerce-di.html
E-COMMERCE DAN SOLUSINYA DEFINISI E-COMMERCE Dunia tehnologi informatika komputer tidak pernah berhenti berkembang. Perkembangan tersebut sangat membawa pengaruh terhadap terciptanya pola dan gaya hidup baru masyarakat modern. Perkembangan tehnologi informasi telah berhasil menjadikan masyarakat lebih mobile dan dinamis dalam melakukan proses komunikasi, sementara tehnologi komputer telah menjadi sarana pengefektif dan pengefisien proses kerja. Gabungan dari dua tehnologi ini menjadi salah satu media penghantar menuju sebuah tatanan dunia baru yang bersifat global sebagai contoh adalah menjamurnya internet. Perkembangan tehnologi informatika komputer ini sangat influential pada segala bidang kehidupan masyarakat. Hadirnya interconnected networks ( internet ) dengan segala fasilitas dan program yang menyertainya, seperti e- mail, chatting, video teleconference serta situs Web (WWW) nya, telah memungkinkan dilakukannya komunikasi global tanpa batas negara. Media seperti ini kemudian mendorong orang untuk memanfaatkannya sebagai bagian dari proses akulturasi, sosiallisasi suatu konsep dan bahkan sebagai bagian dari proses bisnis mereka mulai dari masalah promosi dan marketing sampai pada masalah selling dan pembuatan kontrak. Yang terakhir inilah yang disebut e – commerce, sebuah proses perdagangan melalui internet yang sangat marak dan terus berkembang mereformasi cara-cara bisnis tradisional, ada beberapa peralatan, media atau fasilitas elektronik yang digunakan dalam proses terjadinya suatu transaksi e- commerce, yaitu : EDI ( elektronikc data interchange) , telex, fax serta internet Permasalah prosedural aplikatif seperti masalah keabsahan tanda tangan elektronik (digital signature) dan yuridiksi serta pilihan hokum menjadi substansi.
E- COMMERCE DALAM PERSPEKTIF HUKUM Permasalahan hukum dalam e – commerce ini juga memerlukan sebuah solusi sehingga nantinya mampu memberikan sebuah kepastian hokum (legal certainity) dan melahirkan kepercayaan diri (self confidence) pada para pelaku bisnis e- commerce khususnya, dan pada semua lapisan masyarakat umumnya. Dan akhirnya permasalahan e – commerce melalui internet juga sangat mungkin muncul dalam kaitannya dengan kebijakan-kebijakan (policies) pemerintah baik yang berkenaan dengan ekonomi, politik maupun social. Permasalahan seperti ini dimungkinkan untuk muncul di permukaan karena masalah internet bukan hanya masalah tehnologi, melainkan juga masalah gaya hidup, budaya dan ideology, behkan juga masalah lainnya. Ketika diadakan identifikasi permasalahan e – commerce, permasalahan-permasalahan tersebut dapat dikategorikan di dalam dua kelompok. Kelompok pertama kelompok permasalahan yang bersifat substantif, dan kelompok kedua merupakan kelompok yang bersifat prosedural. Kelompok yang bersifat substantif meliputi permasalahan keaslian data massage dan tanda tangan elektronik (authenticity), keabsahan ( validity), kerahasiaan (privacy), keamanan (security), dan availabilitas (availability). Sedangkan permasalahan yang bersifat prosedural adalah masalah yurisdiksi atau forum ( jurisdiction ), hukum yang diterapkan ( applicable law ) dan pembuktian (evidence ). Dalam menetapkan hukum yang berlaku diketahui dari kehendak para pihak yang mengadakan perjanjian. Disini pengadilan pertama-tama melihat isi kontrak apakah ada klausal tentang pilihan hukum yang dinyatakan secara tegas, dan kalau ternyata ada maka pengadilan kemudian mengadakan dugaan hukum dengan melibatkan istilah-istilah yang digunakan dalam perjanjian dan keadaan sekitarnya dengan memperhatikan petunjuk dan semua unsure-unsur obyektif danb subyektif dalam kontrak yang bersangkutan guna mengetahui untuk menentukan pilihan yang akan esensi kehendak dan pilihan hukum yang tepat dan adil diterapkan oleh pengadilan. Contoh seperti berikut ini : Pihak A berada di New York dan Pihak B berada di California sedangkan kontraknya terjadi di Virginia. Lalu terjadilah sebuah sengketa hukum dan Pihak A menggugat Pihak B di New York. Pengadilan New York mengemukakan yurisdiksi hokum yang tepat untuk diterapkan yaitu Virginia atau, sebagai alternatif California. Jadi yurisdiksi yang layak dan pilihan hukum yang bias diterapkan dapat lebih dari satu yurisdiksi. Contoh tersebut menggambarkan betapa sulitnya menemukan suatu yurisdiksi ketika banyak hal yang layak dipertimbangkan berkenaan dengan hal tersebut. Bahkan lebih jauh lagi, contoh tersebut menyiratkan adanya suatu ambivalensi yang terlahir dari kompleksitas permasalahan tersebut. UPAYA PENERAPAT HUKUM DALAM E- COMMERCE Pembuktian dalam e – commerce juga memegang peranan yang sangat penting bahkan tidak kalah pentingnya dengan masalah yurisdiksi dan pilihan hukum, karena doktrin yurisdiksi dan pilihan hukum yang diterapkan sangat memperhatikabn adanya bukti yang melandasi terjadinya kontrak antar para pihak. Dalam perkara perdata ( civil cases ) pasal 164 HIR disebutkan bahwa alat bukti yang sah yaitu : a. Bukti surat b. Bukti saksi c. Bukti tersangka d. Pengakuan
e. Sumpah Semua itu dengan memperlihatkan peraturan yang diperintahkan dalam segala pasal. Sedangkan dalam perkara pidana dalam pasal 184 KUHAP disebutkan alat bukti yang sah sebagai berikut : a. Keterangan saksi. b. Keterangan ahli c. Surat. d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa. Untuk terselenggaranya penegakkan hukum ( law enforcement ) menhendaki empat syarat, yaitu : 1. adanya aturan 2. Adanya lembaga yang akan menjalankan peraturan itu. 3. Adanya fassilitas untuk mendukung pelaksanaan peraaturan itu 4. Adanya kesadaran hukum dari masyarakat yang terkena peraturan itu ( Soejono Soekanto dan Mustafa Abdullah,1987. Sedangkan dalam beberapa perundang-undangan Indonesia, seperti rancangan Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, mengakui bukti-bukti e – mail, fax, dan data elektronik komputer dan semacamnya. Dengan dimasukkannya bukti-bukti baru diatas maka data record, e – mail dan chatting mendapat pengakuan yang sah sebagai alat bukti menurut hukum. Pilihan berikutnya adalah membuat UU atau hokum yang baru dimana khususnya berkenaan dengan masalah e-commerce dengan merujuk kepada UNCITRAL model law sebagai pedoman awal menuju unireformasi prinsip dan misi hukum khususnya yang berhubungan dengan ketentuan – kektntuan hhukkum perdata Internasional. Permasalahan dalam kelompok kebanyakan adalah permasalahan-permasalahan yang bersifat prosedural yakni permasalahan yurisdiksi, pilihan hukum, hukum yang bisa diterapkan dan masalah pembuktian ketika ada sengketa yang muncul dari sebuah ikatan kontrak. Namun demikian ada juga permasalahan yang bersifat substantif yang berkaitan dengan masalah hukum yaitu masalah keabsahan sebuah dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik yang sangat berkaitan dengan hokum kontrak dan permasalahan mengenai keamanan dan privacy yang dalam antisipasinya menghendaki adanya partisipasi hukum sebagai landasan preventif ataupun penyelesaian pelanggarannya. PENUTUP A. Kesimpulan Dari deskripsi dan analisis maka dapat dikemukakan beberapa catatan sebagai berikut : 1. E – commerce merupakan sebuah revolusi dunia perdangan kontemporer yang perkembangannya tidak tertanggulangi dan dalam aplikasinya e – commerce menawarkan beberapa keuntungan bagi pelaku bisnis dan pelaku konsumen mulai pada penghematan waktu, tenaga dan biaya yang diperoleh karena adanya pemotongan mata rantai perdangan yang semula panjang menjadi pendek. 2. E – commerce juga membawa permasalahan-permasalahan baru terutama dalam hubungan dengan masalah hukum antara lain : masalah yurisdiksi, pilihan hukum, aplikasi hukum dan pembuktian merupakan permasalahan hukum yang utama setelah keabsahan kontrak e – commerce telah memenuhi permasalahan-permasalahan hukum perdata yang ada, maka tidak ada alas an untuk menyatakan batal atas kontrak e –commerce tersebut. Masalah lainnya adalah
masalah keaslian data, tanda tangan elektronik, keamanan dan kerahasiaan data massage. 3. Menyadari permasalahan tersebut maka perlu diadakan dua hal sebagai berikut : a. Hubungannya dengan masalah tehnis perlu diadakan suatu program software dan atau piranti lunak lainnya yang mendukung terciptanya transaksi e – commerce yang aman, efektif, efisien demi mendorong munculnya kepercayaan diri bagi para pelaku bisnis dan konsumen. b. Dalam hubungannya dengan masalah hukum, perlu diciptakan sebuah lingkungan hukum untuk terwujudnya suatu kepastian hukum.. B. Saran Sekalipun e–commerce melalui internet atau jasa on line lain kenyataannya memberi pada kita semua tantangan besar untuk dapat dijadikan parameter atau alat dan analisa hukum maka : 1. Kajian dan penelitian akademis akan sangat bermanfaat sebagai konstribusi pada perkembangan hokum di Indonesia, sekurang-kurangnya memperkaya bahan kajian untuk studi selanjutnya. Dilighat dari pelaku bisnis e – commerce ketelitian dan kejelian dalam melakukan transaksi e – commerce terutama dalam hubungannya denggan masalah hukum merupakan keharusan dalam upaya mendapatkan kepastian hokum dan kesuksesan dalam bisnis. 2. Sudah saatnya pemerintah membuat kebijaksanaan dan kerangka legislasi yang dapat beradaptasi dan dapat digunakan dalam praktek e – commerce sehingga akhirnya perkembangan e- commerce tidak memiliki kendala hukum bahkan didukung oleh hokum yang ada. 3. Sudah waktunya masyarakat dan konsumen Indonesia dibina dan memahami serta meyakini adanya keamanan perlindungan privasi, keabsahan, keadilan serta terproteksinya kepentingan konsumen yang mungkin saja awalnya terancam akhibat kesalahan atau penyimpangan tehnologi, ketidakefektifan peran pemerintah serta sebab lainnya. Dengan demikian praktek usaha akan selalu agresif, dinamis dan inivatif. Sumber : http://ferli1982.wordpress.com/2012/02/02/e-commerce-dan-solusinya/
E-commerce Dan Permasalahannya May 30th, 2012 | by elsye | in Catatan Kuliah | No Comments
sumber : rizqtea.blogspot.com Merujuk dari asal katanya e-commerce (bahasa Inggris: Electronic commerce) artinya perdagangan elektronik merupakan seluruh kegiatan perdagangan yang mencakup penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui system elektronik seperti internet,televisi,www, atau jaringan computer lainnya. E-commerce sendiri merupakan bagian dari e-bussiness di mana cakupan e-business lebih luas, tidak hanya sekedar perniagaan tetapi mencakup juga pengkolaborasian mitra bisnis, pelayanan nasabah, lowongan pekerjaan dll. Saat ini e-commerce telah menjadi ukuran kesuksekan dan keberhasilan suatu perusahan, keberadaa e-commerce dapat memberikan banyak manfaat bagi pihak penjual dan pihak pembeli dalam melakukan berbagai transakasi perdagangan walaupun kedua pihak tidak bertemu fisik secara langsung atau berada di dua tempat yang berbeda artinya e-commerce tidak memberi
batasan tempat dan waktu dalam proses transaksi perdagangannya. Oleh karena itu dengan memanfaatkan jaringan internet,televise,dan yang lainnya kegiatan e-commerce ini dapat menembus batas geografis dan teritorial termasuk yurisdiksi hukumnya. Manfaat E-Commerce adalah dapat meminimalkan biaya pemasaran serta dapat meningkatkan pelayanan kepada konsumen yang menyangkut kecepatan untuk membeli dan mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan kualitas terbaik. Masalah e-commerce E-commerce dalam pelaksanaannya juga menimbulkan beberapa permasalahan yang umumnya terjadi dan merupakan masalah klasik yang sering di bicarakan,yaitu 1. Hukum yang kurang berkembang dalam bidang e-commerce Hukum yang kurang berkembang dalam bidang e-commerce juga merupakan salah satu penyebab konsumen merasa ragu-ragu untuk melakukan transaksi pembelian hal ini di karenakan pihak penjual atau Perusahaan tidak memberikan perlindungan/jaminan terhadap konsumen yang melakukan transaksi. Hal ini juga ditunjang dengan belum adanya regulasi yang tepat sasaran yang menjamin system transaksi dalam e-commerce. Dalam hal ini pemerintah sekarang diharapkan lebih proaktif untuk melihat persoalan ini dengan mengembangakan regulasi yang sudah ada agar perlindungan hak – hak konsumen dalam e-commerce dapat terjamin. 2. Keamanan dan kepercayaan Dalam e-commerce modal awal yang dimilikki oleh pihak penjual dan pembeli adalah kepercayaan dari masing – masing pihak hal ini dikarenakan dalam proses e-commerce umumya kedua belah pihak tidak saling mengenal secara pribadi. Kepercayaan merupakan fondasi yang kuat untuk menentukan sukses atau tidaknya e-commerce kedepan. Sebagai gambaran, suatu survei yang dilakukan di Amerika pada tahun 1999 melaporkan bahwa sekitar 60% pengguna pelayanan online akan keluar dari situs yang dikunjungi (log off) atau berbohong jika ditanya informasi pribadi. Dari kenyataan diatas dapat dilihat bahwa kepercayaan sangat erat hubungannya dengan keamanan konsumen. Dalam kegiatan transaksi e-commerce konsumen yang diminta untuk memberikan data atau informasi pribadi akan merasa takut untuk melakukannya karena adanya rasa ketidakpercayaan kepada pihak penjual, apakah pihak penjual dapat dipercaya untuk melindungi datanya dan dapat menjaga kerahasiaannya. Selainnya itu apakah kedua belah pihak bisa menentukan keabsahan data dan informasi yang diberika masing – masing. Jika ini persoalannya, kembali lagi kita lihat regulasi apa yang tepat yang harus segera dikembangkan untuk menjawab permasalahan ini yang akhirnya bisa memberikan kekuatan hokum untuk melindungi pihak-pihak yang terlibat didalam e-commerce. Dari berbagai sumber berikut : http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_elektronik http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=11&Itemid=11 http://muhammadzatuliqbal.blogspot.com/2010/12/manfaat-dan-permasalahan-e-commerce.html http://tech.groups.yahoo.com/group/warnet2000/message/2479
Sumber : http://blog.pasca.gunadarma.ac.id/2012/05/30/e-commerce-dan-permasalahannya/
MANFAAT DAN PERMASALAHAN E-COMMERCE Electronic commerce (e-commerce) atau perdagangan elektronik adalah proses penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau jaringan komputer lainnya. Masalah yang sering terjadi dalam e-commerce adalah masalah keamanan. Masalah keamanan ini membuat orang takut untuk melakukan transaksi, misalkah adanya penipuan dalam transaksi tersebut. Sekarang sudah banyak modus yang digunaan untuk menipu para konsumen, salah satunya adalah penipuan melalui sms seperti kuis atau yang lainnya. Hukum yang kurang berkembang dalam ecommerce juga merupakan salah satu penyebab konsumen merasa sangsi dengan transaksi yang akan dilakukannya. Perusahaan pun tidak melakukan perlindungan/jaminan terhadap konsumen yang akan melakukan transaksi dengan perusahaan tersebut. Meski begitu e-commerce juga memiliki manfaat yang sangat besar bagi perusahaan, konsumen dan juga masyarakat luas, diantaranya: 1. Perusahaan dapat memperluas pasarnya, bahkan hingga pasar internasional, sehingga perusahaan tersebut dapat lebih banyak menjangkau pelanggan, bahkan dapat melakukan kerjasama dengan perusahaan luar. 2. Mengurangi biaya pemasaran. 3. Mempermudah konsumen berbelanja, mencari informasi dan melakukan transaksi. 4. Sistem yang berjalan 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu mempermudah konsumen dalam melakukan transaksi karena dapat dilakukan kapan saja. 5. Dapat melakukan transaksi dengan cepat dan mudah. 6. Mengurangi biaya transportasi bagi konsumen, karena transaksi dapat dilakukan di rumah. Sumber : http://muhammadzatuliqbal.blogspot.com/2010/12/manfaat-dan-permasalahan-ecommerce.html
ASPEK HUKUM TRANSAKSI (PERDAGANGAN) MELALUI MEDIA ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DI ERA GLOBAL ASPEK HUKUM TRANSAKSI (PERDAGANGAN) MELALUI MEDIA ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DI ERA GLOBAL:
SUATU KAJIAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN Oleh : Marcella Elwina S 1 ABSTRAK Seiring dengan perkembangan globalisasi, dunia perdagangan dan dunia bisnis ikut berkembang dengan munculnya model transaksi bisnis dengan teknologi tinggi (high-tech improvement). Kondisi ini di satu pihak membawa keuntungan terutama karena efisiensi, namun di pihak lain membawa keraguan terutama untuk permasalahan hukum mengenai legal certainty atau kepastian hukum, keabsahan transaksi bisnis, masalah tanda tangan digital (digital signature), data massage, jaminan keaslian (authenticity) data, kerahasiaan dokumen (privacy), hukum yang ditunjuk jika terjadi pelanggaran kontrak (breach of contract), masalah yurisdiksi hukum serta hukum yang diterapkan (aplicable law) bila terjadi sengketa, pajak (tax), juga perlindungan terhadap konsumen pengguna (protections of consumers). Paper ini bertujuan untuk mengangkat seputar permasalahan hukum dalam transaksi (perdagangan) melalui media elektronik (e-commerce) serta aspek hukum perlidungan konsumen dalam transaksi melalui media elektronik (e-commerce). Sebagai suatu bentuk transaksi atau perdagangan yang relatif baru sehubungan dengan perkembangan teknologi informasi, transaksi e-commerce ini mengandung beberapa permasalahan terutama permasalahan hukum mengenai legal certainty atau kepastian hukum. Selain itu karena karakteristiknya yang khas di mana penjual dan pembeli tidak bertemu secara langsung, bagaimanakah hukum terutama hukum positif di Indonesia dapat meng-counter hal tersebut.
A. PENDAHULUAN Globalisasi adalah salah satu kata yang sangat sering disebut-sebut pada akhir era milenium dua dan awal milenium tiga ini. Ungkapan bahwa kita hidup pada era globalisasi adalah ungkapan yang selalu disebut-sebut dalam diskursus di ruang publik serta studi mengenai transfomasi atau perubahan sosial yang terjadi saat ini. Meskipun tidak dapat menggambarkan seluruh fenomena baru yang ada, globalisasi saat ini sering dilukiskan sebagai penyusutan terhadap ruang dan waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang mencerminkan peningkatan interkoneksi serta interdependensi sosial, politik, ekonomi, dan kultural masyarakat dunia. Euforia mengenai globalisasi ini menjalar secara perlahan dan mulai mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia sehubungan dengan peningkatan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi. Umumnya kajian ekonomi mengenai globalisasi menyampaikan pandangan bahwa esensi dari globalisasi adalah ‘meningkatnya’ keterkaitan ekonomi nasional melalui perdagangan (baik dengan model yang konvensional maupun dengan model yang merujuk pada nilai-nilai serta perilaku modern : tambahan penulis), aliran keuangan dan penanaman modal atau investasi asing secara langsung (foreign direct investment).
Seiring dan sejalan dengan perkembangan globalisasi, dunia perdagangan dan dunia bisnis juga ikut berkembang. Dalam perkembangan yang paling mutakhir, muncul sebuah model transaksi bisnis yang sangat inovatif yang mengikuti kemajuan teknologi tinggi (high-tech improvement) di bidang media komunikasi dan informasi. Ditemukannya teknologi internet (interconection networking) yaitu suatu koneksi antar jaringan komputer, cybernet atau world wide web (www) yang memungkinkan terjadinya transformasi informasi secara cepat ke seluruh jaringan dunia melalui dunia maya telah melahirkan apa yang disebut oleh Alvin Toflfler dalam The Third Wave (1982) sebagai ‘masyarakat gelombang ketiga’. Aplikasi internet saat ini telah memasuki berbagai bidang kehidupan manusia, baik dalam bidang politik, sosial, budaya, maupun ekonomi dan bisnis. Sehubungan dengan dengan peningkatan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi informasi yang telah disebut di atas, dalam bukunya Alvin Toffler memprediksi bahwa di era milenium ketiga, teknologilah yang akan memegang peranan yang signifikan dalam kehidupan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern ini, menciptakan berbagai perubahan dalam kinerja manusia. Selanjutnya dikatakan bahwa teknologi internet telah pula merubah secara signifikan tiga dimensi kemanusiaan, meliputi perilaku manusia (human action), interaksi manusia (human interaction) dan hubungan antar manusia (human relations). Dalam bidang perdagangan, adanya teknologi internet atau cybernet memungkinkan transaksi bisnis tidak hanya dilakukan secara langsung (face to face, direct selling), melainkan dapat menggunakan teknologi ini. Media internet sendiri mulai banyak dimanfaatkan sebagai media aktivitas bisnis terutama karena kontribusinya terhadap efisiensi. Efisiensi merupakan salah satu keuntungan dalam transaksi melalui media internet karena penghematan waktu, baik karena tidak perlunya penjual dan pembeli bertemu secara langsung, tidak adanya kendala transportasi dan juga sistem pembayaran (payment) yang mudah. Aktivitas atau transaksi perdagangan melalui media internet ini dikenal dengan istilah electronic commerce (e-commerce). E-commerce tersebut terbagi atas dua segmen yaitu perdagangan antar pelaku usaha (business to business e-commerce) dan perdagangan antar pelaku usaha dengan konsumen (business to consumer e-commerce). Segmen business to business ecommerce memang lebih mendominasi pasar saat ini karena nilai transaksinya yang tinggi, namun level business to consumer e-commerce juga memiliki pangsa pasar tersendiri yang potensial. Di Indonesia sendiri, fenomena transaksi dengan menggunakan fasilitas internet e-commerce ini sudah dikenal sejak tahun 1996 dengan munculnya situs http:// www.sanur.com sebagai toko buku on-line pertama. Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 mulai bermunculan berbagai situs yang melakukan e-commerce. Sepanjang tahun 1997-1998 eksistensi e-commerce di Indonesia sedikit menurun disebabkan karena krisis ekonomi. Namun sejak tahun 1999 hingga saat ini transaksi e-commerce kembali menjadi fenomena yang menarik perhatian meski tetap terbatas pada minoritas masyarakat Indonesia yang mengenal teknologi. Transaksi melalui web adalah salah satu fasilitas yang sangat mudah dan menarik. Seorang pengusaha, pedagang (vendor) ataupun korporasi dapat mendisplay atau memostingkan iklan atau informasi mengenai produk-produknya melalui sebuah website atau situs, baik melalui
situsnya sendiri atau melalui penyedia layanan website komersial lainnya. Jika tertarik, konsumen dapat menghubungi melalui website atau guestbook yang tersedia dalam situs tersebut dan memprosesnya lewat website tersebut dengan menekan tombol ‘accept’, ‘agree’ atau ‘order’. Pembayaran pun dapat segera diajukan melalui penulisan nomor kartu kredit dalam situs tersebut. Namun di samping beberapa keuntungan yang ditawarkan seperti yang telah disebutkan di atas, transaksi e-commerce juga menyodorkan beberapa permasalahan baik yang bersifat psikologis, hukum maupun ekonomis. Permasalahan yang bersifat psikologis misalnya adanya keraguan atas kebenaran data, informasi atau massage karena para pihak tidak pernah bertemu secara langsung. Oleh karena itu, masalah kepercayaan (trust) dan itikad baik (good faith) sangatlah penting dalam menjaga kelangsungan transaksi. Untuk permasalahan hukum, masalah yang muncul biasanya mengenai legal certainty atau kepastian hukum. Permasalahan tersebut misalnya mengenai keabsahan transaksi bisnis dari aspek hukum perdata (misalnya apabila dilakukan oleh orang yang belum cakap/dewasa), masalah tanda tangan digital atau tanda tangan elektronik dan data massage. Selain itu permasalahan lain yang timbul misalnya berkenaan dengan jaminan keaslian (authenticity) data, kerahasiaan dokumen (privacy), kewajiban sehubungan dengan pajak (tax), perlindungan konsumen (protections of consumers), hukum yang ditunjuk jika terjadi pelanggaran perjanjian atau kontrak (breach of contract), masalah yurisdiksi hukum dan juga masalah hukum yang harus diterapkan (aplicable law) bila terjadi sengketa. Permasalahan yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa transaksi melalui e-commerce mempunyai resiko yang cukup besar. Khusus mengenai pembayaran misalnya ada resiko yang timbul karena pihak konsumen biasanya memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu (advanced payment), sementara ia tidak bisa melihat kebenaran serta kualitas barang yang dipesan dan tidak adanya jaminan kepastian bahwa barang yang dipesan akan dikirim sesuai pesanan. Lebih jauh lagi pembayaran melalui pengisian nomor kartu kredit di dalam suatu jaringan publik (open public network) seperti misalnya internet juga mengandung resiko yang tidak kecil, karena membuka peluang terjadinya kecurangan baik secara perdata maupun pidana. Hal ini disebabkan karena di dalam transaksi e-commerce, para pihak yang melakukan kegiatan perdagangan/perniagaan hanya berhubungan melalui suatu jaringan publik (public network) yang terbuka. Koneksi ke dalam jaringan internet sebagai jaringan publik merupakan koneksi yang tidak aman, sehingga hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa transaksi e-commerce yang dilakukan dengan koneksi ke internet adalah bentuk transaksi beresiko tinggi yang dilakukan di media yang tidak aman. Namun demikian, kelemahan yang dimiliki oleh internet sebagai jaringan publik yang tidak aman ini telah dapat diminimalisasi dengan adanya penerapan teknologi penyandian informasi (crypthography) yaitu suatu proses sekuritisasi dengan melakukan proses enskripsi (dengan rumus algoritma) sehingga menjadi chipher/locked data yang hanya bisa dibaca/dibuka dengan melakukan proses reversal yaitu proses deskripsi sebelumnya. Selain itu kelemahan hakiki dari open network yang telah dikemukakan tersebut sebenarnya sudah dapat diantisipasi atau diminimalisasi dengan adanya sistem pengamanan digital signature yang juga menggunakan teknologi sandi crypthography5.
Walaupun demikian, salah seorang pakar internet Indonesia, Budi Raharjo, menilai bahwa Indonesia memiliki potensi dan prospek yang cukup menjanjikan untuk pengembangan ecommerce. Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengembangan e-commerce ini seperti keterbatasan infrastruktur, ketiadaan undang-undang, jaminan keamanan transaksi dan terutama sumber daya manusia bisa diupayakan sekaligus dengan upaya pengembangan pranata ecommerce.6 Sekalipun menimbulkan resiko, mengabaikan pengembangan kemampuan teknologi akan menimbulkan dampak negatif di masa depan, sehingga keterbukaan, sifat proaktif serta antisipatif merupakan alternatif yang dapat dipilih dalam menghadapi dinamika perkembangan teknologi. Hal ini disebabkan karena Indonesia dalam kenyataannya sudah menjadi bagian dari pasar e-commerce global. Dalam bidang hukum, hingga saat ini Indonesia belum memiliki pranata hukum atau perangkat hukum yang secara khusus dapat mengakomodasi perkembangan e-commerce, padahal pranata hukum merupakan hal yang sangat penting dalam bisnis. Dengan kekosongan hukum ini, maka dalam kesempatan penulisan ini, akan berusaha dipaparkan mengenai aspek hukum transaksi ecommerce dengan melakukan pembatasan sesuai dengan judul yang diambil yaitu Aspek Hukum Transaksi (Perdagangan) melalui Media Elektronik (E-Commerce) Di Era Global : Suatu Kajian Perlindungan Hukum terhadap Konsumen.
Definisi E-Commerce dan Proses Perdagangan melalui Media Elektronik Sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara para pengamat dan pakar mengenai definisi dari e-commerce, karena setiap pakar atau pengamat memberi penekanan yang berbeda perihal ecommerce ini. Chissick dan Kelman misalnya memberikan definisi yang sangat global terhadap e-commerce yaitu ‘a board term describing business activities with associated technical data that are conducted electronically’. Hampir senada dengan pengertian tersebut, Kamlesh K. Bajaj dan Debjani Nag menyatakan bahwa e-commerce merupakan satu bentuk pertukaran informasi bisnis tanpa menggunakan kertas (paperless exchange of business information) melainkan dengan menggunakan EDI (Electronic Data Interchange), electronic mail (e-mail), EBB (Electronic Bulletin Boards), EFT (Electronic Funds Transfer) dan melalui jaringan teknologi lainnya7. Definisi lain yang bersifat lebih teoritis dengan penekanan pada aspek sosial ekonomi dikemukakan oleh Kalalota dan Whinston dengan menyatakan bahwa e-commerce adalah sebuah metodologi bisnis modern yang berupaya memenuhi kebutuhan organisasi-organisasi, para pedagang dan konsumer untuk mengurangi biaya (cost), meningkatkan kualitas barang dan jasa serta meningkatkan kecepatan jasa layanan pengantaran barang. United Nation, khususnya komisi yang menangani Hukum Perdagangan Internasional menyatakan bahwa e-commerce adalah perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan data massage electronic sebagai media.
Komisi Perdagangan Internasional PBB menyatakan bahwa e-commerce adalah perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan data massage electronic sebagai medianya. Istilah commerce itu sendiri didefinisikan oleh PBB dalam UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce sebagai setiap hal yang muncul dari seluruh sifat hubungan ‘perdagangan’, baik yang bersifat kontraktual ataupun tidak, meliputi (tapi tidak terbatas pada) transaksi berikut: setiap transaksi perdagangan untuk mensuplai atau menukar barang atau jasa; perjanjian distribusi; representasi atau agensi perdagangan; perusahaan; leasing; konstruksi kerja; konsultasi; teknik; pemberian ijin; investasi; pemberian dana (financing); banking; asuransi; eksploitasi; kesepakatan atau perjanjian atau konsesi; joint venture dan bentuk-bentuk lain kerjasama di bidang industri atau bisnis; pengangkutan barang atau penumpang melalui udara, laut, kereta api atau jalan. Dalam UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce juga disebut bahwa data massage adalah informasi yang dibuat, dikirim, diterima atau disimpan dengan peralatan-peralatan elektronik, optik atau semacamnya, termasuk, tapi tidak terbatas pada pertukaran data elektronik (EDI), e-mail, telegram, teleks dan telekopi.8 Dari semua definisi mengenai e-commerce di atas, jelas esensinya menuju satu substansi yang sama yaitu suatu proses perdagangan dengan menggunakan teknologi dan komunikasi jaringan elektonik. Namun dari pengertian yang ada dalam UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, dapat dipahami bahwa e-commerce bukan hanya perdagangan yang dilakukan melalui media internet saja (sebagaimana yang dipahami banyak orang selama ini), melainkan meliputi pula setiap aktifitas perdagangan yang dilakukan melalui atau menggunakan media elektronik lainnya. Adapun media elektronik yang sering digunakan dalam transaksi ecommerce adalah EDI (Electronic Data Interchange), teleks, faks, EFT (Electronic Funds Transfer) dan internet. Permasalahan Hukum (Kontrak) dalam Transaksi E-Commerce Dalam tulisannya Perlindungan Konsumen dalam E-Commerce, Esther Dwi Magfirah mengidentifikasi beberapa permasalahan hukum yang dapat dihadapi konsumen dalam transaksi e-commerce. Permasalahan tersebut adalah9: 1. 2. 3. 4. 5.
otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet; saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum ; obyek transaksi yang diperjualbelikan; mekanisme peralihan hak; hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan, internet service provider (ISP), dan lain-lain; 6. legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tanan digital sebagai alat bukti. 7. mekanisme penyelesaian sengketa; 8. pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian sengketa.
M. Arsyad Sanusi membagi permasalahan hukum dalam transaski e-commerce menjadi dua yaitu permasalahan yang sifatnya substasial dan permasalahan yang sifatnya prosedural. Permasalahan yang bersifat substasial diidentifikasi menjadi 5 (lima) yaitu permasalahan mengenai keaslian data massage dan tanda tangan elektronik; keabsahan (validity); kerahasiaan (confidentially/privacy) dan keamanan (security) dan availabilitas (availability). Untuk permasalahan yang bersifat prosedural dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu permasalahan yurisdiksi atau forum; permasalahan hukum yang diterapkan (applicable law) dan permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian (evidence).10 Berikut akan dideskripsikan beberapa permasalahan yang bersifat substansial dan prosedural dalam transaksi e-commerce serta pranata hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen. Permasalahan yang Bersifat Substansial Permasalahan pertama adalah mengenai keaslian data massage dan tanda tangan elektronik. Untuk keaslian data massage dan tanda tangan elektronik, permasalahan mengenai authenticity yang timbul adalah apakah pengiriman data massage baik dari konsumen atau server adalah benar seperti yang diduga atau diharapkan? Biasanya peralatan yang digunakan untuk memverifikasi identitas users adalah password. Namun password-pun dapat diduga atau ditipu dan diintersepsi. Demikian pula alamat dapat dipalsu dan disadap oleh para hacker, sehingga keaslian atau otentisitas dari data massage tidak dapat lagi dijamin. Hal ini menjadi permasalahan vital dalam e-commerce karena data massage inilah yang akan dijadikan dasar utama terciptanya suatu perjanjian atau kontrak, baik menyangkut kesepakatan ketentuan dan persyaratan perjanjian atau kontrak maupun substansi perjanjian atau kontrak itu sendiri. Sebagai solusi, selama ini dimunculkan alat atau teknik yang dianggap mampu memberikan otentikasi yaitu kriptografi (cryptography) dan tanda tangan elektronik (electronic/digital signature). Dua teknik inilah yang selama ini dianggap sebagai pilar atau penopang e-commerce dan dianggap telah memungkinkan dokumen elektronik untuk memiliki posisi yang sama dengan dokumen kertas11. Kriptografi adalah sebuah teknik pengamanan dan sekaligus pengotentikan data yang terdiri dari dua proses yaitu enskripsi dan deskripsi. Enskripsi adalah sebuah proses yang menjadikan teks informasi tidak terbaca oleh pembaca yang tidak berwenang karena telah dikonversi ke dalam bahasa sandi atau kode, sedangkan deskripsi adalah proses kebalikan dari enskripsi, yaitu menjadikan informasi yang asalnya telah dienskripsi untuk dibaca kembali oleh pembaca yang memiliki wewenang. Tanda tangan elektronik menjadi permasalahan substansial sehubungan dengan otentikasi. Tanda tangan elektronik atau digital tidak hanya digunakan untuk memverifikasi keotentikan data massage tapi digunakan pula untuk meneliti identitas pengirim data, sehingga seseorang bisa yakin bahwa orang yang mengirim data massage benar-benar memiliki wewenang. Yang menjadi perdebatan adalah berkenaan dengan keabsahan sebuah kontrak on-line yang menggunakan digital signature. Apakah digital signature ini dapat menggantikan posisi tanda
tangan konvensional karena keduanya memiliki bentuk fisik yang berbeda? Dengan demikian harus dilihat kembali apakah definisi dari tanda tangan itu, karena bagi ahli yang menganut madzhab skriptualis, yang menekankan pada bunyi teks hukum secara tekstual, maka keabsahan digital signature ini akan dianggap tidak sah. Secara internasional UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce dan ETA Singapore telah menerima tanda tangan elektronik sebagai tanda tangan yang valid. Bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya usaha ke arah ini belum menampakkan perkembangan. Secara khusus kita belum mengadopsi pengaturan ini dan belum membentuk legislasi atau aturan khusus mengenai hal ini. Permasalahan yang menyangkut substansi yang kedua adalah masalah keabsahan (validity). Sahkah perjanjian yang dilakukan secara on-line, yang memiliki beberapa perbedaan secara prosedural dengan perjanjian konvensional yang lazim digunakan? Sebagaimana dalam perdagangan konvensional, transaksi e-commerce menimbulkan perikatan antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi sebagai contoh dalam perikatan atau perjanjian jual beli, sehingga dari perikatan ini timbul hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat. Jual-beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata, sedangkan ecommerce pada dasarnya merupakan model transaksi jual-beli modern yang menggunakan inovasi teknologi seperti internet sebagai media transaksi. Dengan demikian selama tidak diperjanjikan lain, maka sebenarnya ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual-beli yang diatur dalam Buku III KUHPerdata seharusnya dapat berlaku sebagai dasar hukum aktifitas e-commerce di Indonesia. Jika dalam pelaksanaan transaksi e-commerce tersebut timbul sengketa, maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya dalam ketentuan tersebut. Pada umumnya asas yang digunakan untuk transaksi dagang atau jual beli adalah asas konsensualisme, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian jual beli sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya ‘sepakat’ mengenai barang dan harga. Asas ini juga dianut dalam hukum perdata di Indonesia yang diatur dalam Pasal 1458 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek). Selain itu ada syarat lain yang juga harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian. Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian di Indonesia diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak, dilakukan oleh orang yang cakap hukum, adanya hal atau obyek tertentu dan adanya suatu causa atau sebab yang halal.12 Dalam hukum, keabsahan suatu kontrak sangat tergantung pada pemenuhan syarat-syarat dalam suatu kontrak. Apabila syarat-syarat kontrak telah terpenuhi, terutama adanya kesepakatan atau persetujuan antara para pihak, maka kontrak dinyatakan terjadi. Dalam transaksi e-commerce, terjadinya kesepakatan dan perjanjian sangat erat hubungannya dengan otentisitas dari data massage, sehingga timbul permasalahan apakah wujud data yang tidak tertulis di atas kertas – melainkan dalam wujud data record yang abstrak– serta tanda tangan elektronik dapat diterima sebagai sesuatu yang sah?
Bagaimana dengan kontrak on-line? Menurut para pemerhati e-commerce, kondisi-kondisi hukum di atas juga berlaku mutatis mutandis pada kontrak on-line, karena sebenarnya kontrak on-line adalah sama kondisinya dengan kontrak pada umumnya atau kontrak konvensional, hanya saja dalam kontrak on-line digunakan piranti teknologi canggih dengan berbagai macam variasinya. Sebagai contoh Michael Chissick dan Kelman secara tegas menyatakan bahwa dalam e-commerce sebenarnya tidak ada hal-hal yang baru, melainkan hanya permasalahan lama yang dikemas dalam bingkai yang baru karena perbedaan sarana dan prasarana yang dimungkinkan oleh teknologi internet13. Dengan pernyataan ini, walaupun masalah yang dihadapi mungkin berbeda, ketentuan mengenai perjanjian jual beli yang diatur dalam hukum Indonesia sebenarnya cukup memadai untuk hal ini, namun karena sifatnya yang khas, masih ada beberapa hal yang dapat diperdebatkan, misalnya mengenai kecakapan membuat perjanjian yang dalam hal ini oleh anak yang masih di bawah umur dan juga mengenai causa yang halal. Dengan demikian hal yang penting untuk kembali dilihat adalah mengenai digital signature untuk mengetahui kompetensi baik penjual maupun pembeli. Namun perlu pula dicermati bahwa sebenarnya permasalahannya tidaklah sesederhana itu. Ecommerce merupakan model perjanjian jual-beli dengan karakteristik yang berbeda dengan model transaksi jual-beli konvensional, apalagi dengan daya jangkau yang tidak hanya lokal tapi juga bersifat global. Apakah kemudian ketentuan jual-beli konvensional sebagaimana diatur dalam KUH Perdata secara tepat sesuai dan cukup untuk adaptif dengan konteks e-commerce atau perlukan membuat regulasi khusus untuk mengatur e-commerce ? Mengenai pertanyaan kapan lahirnya kontrak web atau kontrak on-line yang sifatnya mengikat serta valid dalam hukum? Sejauh ini dapat dikemukakan dua pendapat dengan argumentasinya sendiri-sendiri. Pertama, kontrak web lahir pada saat buyer atau konsumen melakukan klik penerimaan ‘agree’ atau ‘accept’, yang berarti data sudah terkirim dan tidak dapat ditarik kembali. Ini menandakan telah terjadi kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli. Kedua, kontrak lahir dan mengikat ketika seller atau penjual menerima pesan order tersebut dan buyer atau konsumen telah menerima acknowledgement of receipt. Permasalahan ketiga adalah masalah kerahasiaan (confideniality/ privacy). Kerahasiaan yang dimaksud di sini meliputi kerahasiaan data atau informasi dan juga perlindungan terhadap data atau informasi dari akses yang tidak sah dan tanpa wenang. Untuk e-commerce, masalah kerahasiaan ini sangat penting karena berhubungan dengan proteksi terhadap data keuangan, informasi perkembangan produksi, struktur organisasi serta informasi lainnya. Kegagalan untuk menjaga kerahasiaan dapat berujung pada terjadinya suatu dispute yang berujung pada tuntutan ganti rugi. Secara teknis solusinya dapat berupa penyediaan teknologi dan sistem yang tidak memberikan peluang kepada orang yang tidak berwenang untuk membuka dan membaca massage. Untuk upaya hukum, dapat dilakukan dengan membuat aturan hukum mengenai perlindungan terhadap informasi digital.14 Masalah keempat adalah masalah keamanan (security). Masalah keamanan ini tidak kalah penting karena dapat menciptakan rasa percaya bagi para pengguna dan pelaku bisnis untuk tetap menggunakan media elektronik untuk kepentingan bisnisnya. Masalah keamanan yang timbul
biasanya karena kerusakan (error) pada sistem atau data yang dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab. Masalah terakhir yang sering timbul adalah masalah availabilitas atau ketersediaan data. Masalah ini penting sehubungan dengan keberadaan informasi yang dibuat dan ditransmisikan secara elektronik harus tersedia bila dibutuhkan. Dengan ini, untuk menjaga kepercayaan (trust) dan itikad baik (good faith), harus dibuat suatu sistem pengamanan yang dapat memproteksi dan mencegah terjadinya kesalahan atau hambatan baik kesalahan teknis, kesalahan pada jaringan dan kesalahan profesional.15
Permasalahan yang Bersifat Prosedural Di atas sudah disebutkan bahwa permasalahan hukum yang bersifat prosedural adalah permasalahan yurisdiksi atau forum; permasalahan hukum yang diterapkan (applicable law) dan permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian (evidence). Masalah pertama mengenai yurisdiksi atau forum. Masalah yurisdiksi dalam e-commerce sangatlah kompleks, rumit dan sangat urgen untuk dibicarakan, karena bisa menyangkut yurisdiksi dua negara atau lebih. Padahal setiap keputusan pengadilan yang tidak memilki yurisdiksi atas perkara tertentu atau personal incasu para pihak dapat dinyatakan batal demi hukum. Masalah yurisdiksi ini menjadi relevan ketika pengadilan mencoba menggunakan kekuasaannya terhadap orang yang bukan penduduk atau tidak tinggal dalam batas-batas teritorial negara tertentu. Pengadilan dalam hal ini tidak dapat menerapkan atau mengadili perkara tertentu kecuali negara tersebut saling mengadakan perjanjian mengenai penentuan yurisdiksi. Dalam penentuan yurisdiksi perlu diperhatikan hal-hal seperti lokasi para pihak, obyek kontrak serta kehadiran para pihak. Terhadap negara yang telah memiliki perjanjian, biasanya diberlakukan peraturan mandatory, sedangkan untuk badan hukum atau perusahaan, penentuan forumnya biasanya adalah domisili perusahaan. Dalam Hukum Perdata Internasional, konsep di mana penggugat memilih yurisdiksi dapat dilakukan berdasarkan asas teritorialitas atau domicilie dan asas nasionaliteit atau kewarganegaraan atau berdasarkan pilihan hukum para pihak. Indonesia sendiri berdasar Pasal 16 AB menganut asas nationaliteit untuk menentukan hukum yang berlaku bagi status personil seseorang.16 Selain itu, mengenai kontrak berlaku asas the proper law of contract, di mana yurisdiksi juga dapat dipilih berdasar lex loci contractus yaitu yurisdiksi yang berlaku di mana kontrak dibuat atau lex loci solutionis yaitu forum atau hukum tempat pelaksanaan perjanjian. Dalam transaksi e-commerce, karena sifatnya yang khas di mana para pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak tidak bertemu secara langsung dan perjanjian atau kontrak dilakukan secara elektronik dan esensinya yang menekankan pada efisiensi, cukup sulit untuk menentukan hukum mana yang akan diberlakukan apabila terjadi sengketa. Ada kemungkinan bahwa kontrak
dianggap sah misalnya di salah satu tempat, namun dianggap tidak sah atau ilegal ditempat yang lain17. Dalam perjanjian atau kontrak e-commerce, pengaturan mengenai yurisdiksi kemudian biasanya dilakukan dengan menggunakan pilihan hukum (choice of law) yang dimasukkan dalam klausul kontrak. Hal ini dimungkinkan karena pada prinsipnya persoalan pilihan hukum adalah otonomi dari para pihak. Masalah pilihan hukum atau partijautonomie ini sebenarnya merupakan salah satu ajaran khusus dalam Hukum Perdata Internasional. Dalam menentukan hukum yang berlaku sesuai dengan Pilihan Hukum para pihak, maka dalam suatu kontrak para pihak bebas untuk melakukan pilihan sendiri hukum yang harus dipakai untuk kontrak mereka, namun mereka tidak bebas untuk menentukan sendiri perundang-undangan. Harus ada batas-batas tertentu untuk kelonggaran atau kebebasan memilih hukum, namun kebebasan ini bukan berarti boleh sewenang-wenang, sehingga pilihan hukum ini hanya diperkenankan sepanjang tidak melanggar apa yang dinamakan sebagai ‘ketertiban umum’ (ordre public) dan tidak terjadi penyelundupan hukum (fraus legis) yaitu sekedar menghindarkan diri dari suatu kaidah hukum tertentu yang memaksa.18 Menurut Sudargo Gautama, masalah pilihan hukum harus diartikan secara luas, tidak hanya menyangkut kepada pilihan hukum di bidang harta benda saja, tetapi segala perbuatan hukum yang mengakibatkan karena kemauan sendiri, bagi yang bersangkutan berlaku lain hukum perdata daripada hukum perdata yang lazim ditentukan baginya menurut peraturan-peraturan, termasuk di dalamnya penundukan sukarela untuk perbuatan hukum tertentu dan penundukan dianggap. Pilihan hukum ini berkenaan baik dengan bidang hukum perdata maupun hukum publik.19 Walaupun demikian, permasalahan yang kemudian dapat timbul adalah pengakuan serta daya mengikatnya putusan hakim suatu negara tertentu untuk diberlakukan di negara lain apabila terjadi sengketa atau adanya wanprestasi dari salah satu pihak. Dengan demikian memang harus disadari bahwa Hukum Perdata Internasional sendiri memiliki batasan-batasan dalam keberlakukannya. Masalah kedua adalah masalah hukum yang diterapkan (applicable law). Walaupun masalah ini erat kaitannya dengan yurisdiksi, dalam transaksi e-commerce, klausul kontrak dan kewajiban para pihak secara umum seyogyanya tunduk pada hukum negara yang dipilih oleh para pihak. Namun bagaimana bila dalam penawaran yang tercantum dalam situs atau web tersebut tidak secara expressis verbis dicantumkan tentang forum mapun pilihan hukum? Jika tidak ada pilihan hukum yang efektif, maka hak dan kewajiban para pihak dapat ditentukan oleh hukum lokal negara dengan memperhatikan hubungan hukum yang memiliki signifikansi terdekat dengan masalah para pihak. Sejalan dengan hal ini, mengutip pandangan Moris, the proper law of the contract adalah suatu sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak, atau bila kehendak itu tidak dinyatakan dengan tegas, atau tidak dapat diketahui dari keadaan disekitarnya, maka berlaku the proper law of the contract, yang merupakan sistem hukum yang memiliki kaitan yang paling kuat dan nyata dalam transaksi yang terjadi20. Demikian pula Sudargo Gautama mengemukakan teori the most
characteristic connection yang menyatakan bahwa pilihan hukum berada pada kewajiban untuk melakukan prestasi yang paling karakteristik merupakan tolok ukur untuk penentuan hukum yang akan dipergunakan dalam mengatur perjanjian. Permasalahan ketiga yang bersifat prosedural adalah masalah pembuktian (evidence). Untuk meminimalkan kecurangan-kecurangan dalam suatu perjanjian diperlukan dokumen sebagai pembuktian. Bagaimana dengan dokumen pembuktian dalam transaksi e-commerce? Pembuktian juga merupakan hal yang penting dalam transaksi e-commerce. Namun karena sifatnya yang khas, biasanya bukti yang berupa dokumen digantikan oleh data yang berupa rekaman atau record. Permasalahannya apakah rekaman data (record data) dapat diterima dalam sistem hukum Indonesia? Padahal kita tahu bahwa baik dalam Pasal 164 HIR yang menyebutkan mengenai alat bukti, mapun dalam Pasal 184 KUHAP tidak disebutkan mengenai alat bukti berupa rekaman data21. Dapatkah hukum Indonesia secara progresif membuka kemungkinan untuk menerima bukti lain selain yang sudah diatur tersebut, seperti misalnya data rekaman dari komputer, padahal sampai saat ini, alat bukti berupa rekaman elektronik masih menjadi perdebatan? Untuk sementara, di Indonesia peraturan perundang-undangan yang telah menerima bukti elektronik seperti e-mail, fax dan data elektronik komputer barulah UU Tindak Pidana Korupsi. Mengingat perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembuktian dan alat bukti seyogyanya sesegera mungkin direformasi, sehingga rekam data elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti. Tanpa reformasi hukum, maka perdebatan mengenai hal ini akan terus berlanjut, karena interpretasi mengenai alat bukti record data sebagai surat dapat dianggap sebagai analogi.22 Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce Salah satu kelebihan atau keuntungan dalam e-commerce adalah informasi yang beragam dan mendetail yang dapat diperoleh konsumen dibandingkan dengan perdagangan konvensional tanpa harus bersusah payah pergi ke banyak tempat. Melalui internet misalnya konsumen dapat memperoleh aneka informasi barang dan jasa dari berbagai situs yang beriklan dalam berbagai variasi merek lengkap dengan spesifikasi harga, cara pembayaran, cara pengiriman, bahkan fasilitas pelayanan track and trace yang memungkinkan konsumen melacak tahap pengiriman barang yang dipesannya. Kondisi tersebut memberi banyak manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi. Selain itu juga terbuka kesempatan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan finansial konsumen dalam waktu yang relatif efisien. Namun demikian, e-commerce juga memiliki kelemahan. Metode transaksi elektronik yang tidak mempertemukan pelaku usaha dan konsumen secara langsung serta tidak dapatnya konsumen melihat secara langsung barang yang dipesan berpotensi menimbulkan permasalahan yang merugikan konsumen.
Salah satu contoh adalah ketidaksesuaian jenis dan kualitas barang yang dijanjikan, ketidaktepatan waktu pengiriman barang atau ketidakamanan transaksi. Faktor keamanan transaksi seperti keamanan metode pembayaran merupakan salah satu hal urgen bagi konsumen. Masalah ini penting sekali diperhatikan karena terbukti mulai bermunculan kasus-kasus dalam ecommerce yang berkaitan dengan keamanan transaksi, mulai dari pembajakan kartu kredit, stock exchange fraud, banking fraud, akses ilegal ke sistem informasi (hacking) perusakan web site sampai dengan pencurian data. Beragam kasus yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan transaksi terutama faktor keamanan dalam e-commerce ini tentu sangat merugikan konsumen. Padahal jaminan keamanan transaksi e-commerce sangat diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen penggunanya. Pengabaian terhadap hal tersebut akan mengakibatkan pergeseran terhadap falsafah efisiensi yang terkandung dalam transaksi e-commerce menuju ke arah ketidakpastian yang nantinya akan menghambat upaya pengembangan pranata e-commerce. Permasalahan hukum serta pemecahan yang sudah dijelaskan di atas, sebenarnya tidak lain dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce. Walaupun tiak secara khusus disebutkan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen, namun mengingat permasalahan yang dihadapi adalah permasalahan yang umumnya dihadapi oleh konsumen serta pemecahannya baik secara substansial maupun secara prosedural, maka solusi yang telah diungkapkan di atas dapat digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Untuk jaminan keamanan, public key infrastructure saat ini dioperasikan oleh banyak lembaga (dalam tataran internasional, seperti Amerika Serikat misalnya) baik untuk menunjang digital signature dan encryption (pengacakan). Salah satu cara untuk mengimplementasikan public key infrastructure adalah dengan melakukan sertifikasi antardomain (interdomain certification) atau dengan kata lain penerbitan sertifikat oleh dan antar suatu Certification Authority. Umumnya sertifikasi antar domain ini mencerminkan pengakuan secara hukum lintas domain dari semua komponen penting public key infrastructure, termasuk certification authority, sertifikat, digital signatures dan rekaman pendukung transaksi yang berlangsung. Jadi untuk menjamin keaslian suatu dokumen dan memastikan tanda tangan digital memang milik seseorang yang berhak lembaga Certification Authority inilah yang menjamin keasliannya24. Hal ini tentunya sangat penting, mengingat ketidak aslian dari certification authority, sertifikat, digital signatures dan rekaman pendukung transaksi yang berlangsung secara potensial akan merugikan konsumen. Secara Nasional, pranata untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun UU perlindungan Konsumen ini secara khusus belum mengantisipasi perkembangan teknologi informasi di dalam pengaturannya. Dalam tataran internasional, telah dibuat kesepakatan-kesepakatan internasional yang secara khusus dapat digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi ecommerce. Di bawah ini akan diuraikan mengenai pranata atau pengaturan hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce.
1. Pranata dan Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce dalam tataran Internasional
Liberalisasi perdagangan membawa konsekuensi di mana semua barang dan jasa yang berasal dari negara lain bisa masuk Indonesia termasuk dengan menggunakan electronic commerce. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization atau persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia (WTO). Namun masuknya barang dan jasa impor tersebut bukannya tanpa masalah, di mana salah satu permasalahan yang timbul adalah masalah perlindungan konsumen. Demikian pula dalam hal pengaturan hukum mengenai hal ini. Sehubungan dengan permasalahan pengaturan hukum dalam transaksi e-commerce, David Harland mengemukakan bahwa : One consequence of the globalization of trade is a lissening of the significance of national laws affecting such trade. …. the non-territorial and intangible nature of electronic commerce calls into question the adequacy of existing law enforcement mechanism that are still geared to tangible products and national legislation. 25 Khusus untuk perlindungan konsumen dalam tataran internasional telah diterima The United Nation Guidelines for Consumer Protection yang diterima oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi No. A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 dengan memberikan penekanan terhadap pemahaman umum dan luas mengenai konsumen serta perangkat perlindungan konsumen yang asasi dan adil untuk mencegah praktek perdagangan yang merugikan konsumen, persaingan yang tidak sehat serta perbuatan-perbuatan yang tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan.26 Resolusi ini merekomendasi pula tentang perlunya memberikan perlindungan terhadap konsumen melalui suatu undang-undang yang bersifat nasional serta kerjasama internasional dalam rangka pertukaran informasi mengenai produkproduk terutama produk-produk yang berbahaya atau dilarang. Sejalan dengan hal ini, maka setiap tahun PBB menerbitkan suatu daftar yang memuat semua produk yang telah dilarang untuk dikonsumsi atau dijual karena telah dilarang (banned), ditarik dari peredaran, sangat dibatasi atau tidak disetujui oleh pemerintah. Semuanya ini menampakkan keinginan bersama untuk memberlakukan ketentuan tentang pelarangan penggunaan produk berbahaya tertentu di suatu negara untuk negara lainnya. Walaupun tidak secara khusus dibuat untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce, seperti telah disebutkan di atas, PBB tepatnya komisi yang menangani Hukum Perdagangan Internasional telah menyetujui UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce dengan resolusi 51/162 sebagai mandat untuk kemajuan terhadap harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan internasional demi kepentingan semua pihak, terutama pihak-pihak dalam negara-negara berkembang. Selain itu disebutkan dalam konsideran UNCITRAL ini bahwa hal ini dimaksudkan sebagai alternatif terhadap paper-based methods of communication
dan storage of information yang selama ini digunakan sebagai dasar dalam membuat suatu perjanjian. Selain itu dalam konsideran UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce juga dikatakan bahwa resolusi ini diharapkan dapat diterima secara umum oleh negara-negara dengan latar belakang hukum, sosial dan sistem ekonomi yang berbeda sehingga dapat secara signifikan menyumbangkan keharmonisan hubungan ekonomi internasional dan dapat diadopsi oleh negara-negara serta mengembangkan dan merevisi perundang-undangan nasionalnya aturan tentang alternatif penggunaan paper-based methods of communication dan storage of information. Dalam Chapter II mengenai Aplication of Legal Requirement to data Massage UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce artikel 5 disebutkan bahwa informasi (dalam hal ini informasi elektronik) yang disajikan dalam data massage tidak akan dikesampingkan baik itu menyangkut aspek hukum, pelaksanaan maupun validitasnya. Selanjutnya dalam chapter tersebut diatur pula ketentuan mengenai tulisan (writing) yang menyatakan bahwa ketika hukum menghendaki informasi tertulis, maka kewajiban tersebut dapat ditemukan dalam data massage sebagai bahan referensi. Selanjutnya diatur mengenai keabsahan tanda tangan elektronik (signature), Ketentuan origin yaitu mengenai integritas dari informasi pada saat pertama kali dibuat dan ditayangkan dalam data masage, ketentuan mengenai data massage sebagai alat bukti (evidence), serta penyimpanan (retention) dari data massage. Dalam Chapter III UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce diatur pula mengenai formasi serta validitas dari kontrak (formation and validity of contracts), pengakuan dari para pihak mengenai isi dari data massage (recognition by parties of data massage), atribusi dari data massage, pengekuan terhadap cara pembayaran atau kuitansi (acknowledgement of receipt) juga waktu dan tempat serta penerimaan waktu pembayaran yang diperoleh dari data massage (time and place dispatch and receipt of data massage). UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce memang secara spesifik bukan dipersiapkan untuk mengatur mengenai perlidungan konsumen khususnya perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce, sehingga OECD dalam Conference on A Global Marketplace for Consumer pada tahun 1994 menyepakati perlunya International Code of Conduct for Sellers dalam pasar global Beberapa negara di dunia telah mengatur dalam perundang-undangan nasionalnya transaksi ecommerce ini diantaranya Filipina dengan Act No. 8792, Masyarakat Uni Eropa dengan disetujuinya Directive 2000/31/EC on Certain legal Aspect of Information Society Services, in Particular Electronic Commerce, in Internal Market atau Directive on Electronic Commerce oleh The European Parliament and The Council pada tanggal 8 Juni 2000, juga Singapura dengan Electronic Transaction Act 1998, Australia dengan Electronic Transaction Bill 1999, serta Amerika juga Malaysia. Khusus Singapura dan Australia digunakan model sejalan dengan apa yang direkomendasikan dalam UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce. Walaupun UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce serta peraturan perundangundangan yang telah digunakan di beberapa negara tersebut memang tidak secara khusus
menyebutkan mengenai perlidungan hukum terhadap konsumen, substansi yang diatur dalam peraturan-peraturan tersebut secara tidak langsung memberikan perlindungan terhadap para pihak yang melakukan transaksi elektronik (e-commerce). Dengan ini berarti para konsumen yang menggunakan teknologi elektronik dalam transaksi bisnisnya dapat berlindung pada peraturan-peraturan ini. Bagaimana dengan Pengaturan di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka di bawah ini akan dipaparkan beberapa aspek mengenai perlindungan konsumen di Indonesia. 2. Pranata dan Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce dalam tataran Nasional
Walaupun Indonesia sudah meratifikasi pengesahan tentang pembentukan WTO, namun sampai saat ini perangkat yang dibutuhkan untuk itu belum cukup memadai. Setelah meratifikasi Pengesahan pembentukan WTO tersebut memang terlihat ada kemajuan yang cukup berarti dalam hal dibuatnya legislasi sebagai pendukung serta perangkat menuju era perdagangan bebas. Indonesia telah memiliki UU yang memberikan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual seperti hak Cipta, Paten dan Merk termasuk mengesahkan UU tentang Perlindungan Konsumen. Dalam tataran nasional usaha untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen memang dinyatakan dengan diberlakukannya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam salah satu butir konsiderannya dinyatakan bahwa usaha perlindungan terhadap konsumen dilakukan karena adanya ekspansi dunia usaha yang mengglobal. Disebutkan dalam konsideran menimbang butir 3 bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar. Selanjutnya dalam Penjelasan UU tersebut dijelaskan bahwa fenomena globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen, namun di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis oleh pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Tujuan perlindungan konsumen sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan konsumen ini adalah untuk 1) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 2) mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 4) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 5) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; serta 6). meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen30. Perlu pula ditegaskan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah, yang terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah diatur pula hak dan kewajiban pelaku usaha serta larangan-larangan yang bertujuan untuk memberi perlindungan terhadap konsumen dan telah pula mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen. Namun khusus untuk perlindungan hak konsumen dalam transaksi e-commerce masih rentan, karena walaupun Undang-undang Perlindungan Konsumen telah mengatur hak dan kewajiban bagi produsen dan konsumen, namun kurang tepat untuk diterapkan dalam transaksi e-commerce. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses produksi barang dan jasa ternyata belum diikuti dengan kemajuan perangkat hukum yang ada. Beberapa hak konsumen yang diatur dalam UU perlindungan konsumen adalah : 1) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2) hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur; 4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya; 5) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Namun selain haknya sebagaimana disebut di atas, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban, dalam hal ini supaya konsumen tidak mendapatkan kerugian karena ketidak hati-hatiannya sendiri. Kewajiban tersebut diantaranya adalah : 1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Selain hak dan kewajiban konsumen seperti tersebut di atas, Pelaku Usaha memiliki pula beberapa hak dan kewajiban sebagai pemenuhan hak terhadap konsumen tersebut. Selain memiliki hak dan kewajiban ada beberapa pelarangan terhadap Pelaku Usaha yang apabila dilanggar, dapat mengakibatkan Pelaku Usaha terkena sanksi baik sanksi administratif, sanksi pidna maupun ganti kerugian secara perdata. Secara singkat pelarangan tersebut adalah : 1. memproduksi serta memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : tidak sesuai dengan standar; tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto,dan jumlah serta tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa; tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang. 2. menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : suatu barang telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; tidak mengandung cacat tersembunyi. 3. memproduksi iklan yang mengelabui konsumen; memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat. 4. Mencantumkan klausula baku apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali baik barang yang sudah dibeli maupun uang yang sudah dibayarkan konsumen; menyatakan mendapat kuasa dari konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan yang dibuat sepihak; mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
Untuk transaksi e-commerce, masalah posting iklan yang dilakukan oleh vendor di Internet misalnya harus dicermati dengan sungguh-sungguh oleh konsumen baik mengenai penawaran, promosi, serta iklan suatu barang dan/atau jasa. Demikian pula mengenai iklan yang mengelabui konsumen seperti misalnya memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat. Hal ini disebabkan karena tidak dapatnya konsumen melihat langsung produk barang atau jasa yang ditawarkan. UU Perlindungan Konsumen sebenarnya telah mengantisipasi hal tersebut. Tapi untuk transaski e-commerce, perlindungan ini tidak dapat serta merta diberlakukan karena karakteristiknya yang khas tersebut. Dalam rangka perlindungan terhadap konsumen, dapat dilihat pula bahwa UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selain memberikan sanksi administratif terhadap pelaku usaha bila melakukan perbuatan-perbuatan tertentu sebagaimana diatur dalam UU, juga melakukan kriminalisasi terhadap beberapa perbuatan sebagaimana diatur dalam UU Perlidungan Konsumen tersebut. Ketentuan pidana yang dapat diberikan adalah pidana penjara dan juga denda sampai dengan jumlah maksimal sebesar Rp. 2.000.000.000,-(dua milyar Rupiah). Semua pengaturan yang telah disebutkan di atas sungguh tepat untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Namun karena undang-undang ini bertujuan untuk melindungi konsumen
dalam skala nasional, maka perlindungan konsumen dalam bertransaksi secara elektronik sesungguhnya belum terakomodasi dalam ketentuan-ketentuan ini. Selain pengaturan dalam UU Perlindungan Konsumen, sebenarnya dalam tataran tertentu untuk melindungi konsumen dapat pula digunakan hukum pidana dalam hal ini KUHP. Sungguhpun demikian, sehubungan dengan hal tersebut, Romli Atmasasmita sebagaimana disitasi oleh Yusif Shofie, mengemukakan bahwa bentuk tindak pidana dalam era perdagangan bebas tidak cukup dapat diantisipasi dengan ketentuan mengenai tindak pidana ‘perbuatan curang’ sebagaimana diatur dalam Pasal 378 sampai 395 KUHP, tetapi seharusnya diatur dalam ketentuan baru yang lebih komprehensif. Selanjutnya mengenai hal ini Romli Artmasasmita mengemukakan bahwa : sanksi pidana dalam konteks dunia perdagangan dan bisnis hanya merupakan salah satu upaya untuk memperkuat harmonisasi hubungan antara para pihak yang terlibat, bukan sarana hukum yang dapat memperbaiki hubungan para pihak yang telah terganggu. Penggunaan dan harapan yang terlalu berlebihan pada kekuatan sanksi pidana dalam konteks dunia perdagangan dan bisnis hanya akan mempertaruhkan masa depan dunia usaha ke dalam jurang kehancuran, dan tidak memperkuat segenap segmen kehidupan dunia bisnis dan perdagangan31. Sebenarnya masih ada satu lagi pranata hukum yang dapat melindungi konsumen dalam transaksi e-commerce yakni dengan asuransi. Namun sudah sangat jelas bahwa dengan penggunaan asuransi, maka beban biaya yang harus diberikan oleh konsumen dalam membeli atau menggunakan suatu produk menjadi lebih besar karena biaya pembayaran premi, karena umumnya konsumenlah yang akan terkena beban untuk membayar premi tersebut. Namun demikian, pranata ini dapat dijadikan salah satu upaya untuk pemberian perlindungan terhadap konsumen. Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka sudah sangat jelas bahwa demi kebutuhan perlindungan terhadap konsumen terutama konsumen yang melakukan transaksi bisnis dengan menggunakan teknologi elektronik (e-commerce), maka urgensi untuk membuat legislasi yang mengatur mengenai hal ini sudah sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena peraturan perundangundangan yang ada terutama undang-undang yang mengatur mengenai perlindungan konsumen belum mengakomodasi kebutuhan tersebut. Karakteristik yang berbeda dalam sistem perdagangan melalui teknologi elektronik tidak tercover dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut. Untuk itu perlu dibuat peraturan hukum mengenai cyberlaw termasuk didalamnya tentang e-commerce agar hak-hak konsumen sebagai pengguna teknologi elektronik dalam proses perdagangan khususnya dalam melakukan transaksi e-commerce dapat terjamin. Menurut saya perkembangan teknologi informasi sehubungan dengan transformasi global yang melanda dunia membawa akibat pada berkembangnya aktivitas perdagangan, salah satunya adalah perdagangan atau transaksi melalui media elektronik (transaksi e-commerce). Secara umum berbagai masalah hukum yang berhubungan dengan substansi hukum maupun prosedur hukum dalam transaksi e-commerce memang sudah dapat terakomodasi dengan pengaturanpengaturan hukum yang ada, terutama dengan aturan-aturan dalam KUH Perdata..
Sumber : http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/278/291 http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=%22aspek%20hukum%20perdagangan%20di%20er a%20informasi%22&source=web&cd=2&ved=0CCkQFjAB&url=http%3A%2F%2Fejournal.u mm.ac.id%2Findex.php%2Flegality%2Farticle%2Fview%2F278%2F291&ei=HIicT_WG4jIrQf4tqRI&usg=AFQjCNHGPtUAKKcqUw1Qprr0xXqKiW-oMA&cad=rja Gautama, Sudargo, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung : Eresco, 1986. __________, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung : Bina Cipta, 1987. Harland, David, The Consumer in the Globalized Information Society : the Impact of the International Organizations, dalam Thomas Wihelmsson, Salla Tuominen and Heli Tuomola, Consumer Law in the Information Society, The Hague Netherlands : Kluwer Law International, 2001 Khairandy, Ridwan, Nandang Sutrisno, Jawahir Thontowi, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Yogyakarta : Gama Media, 1999. Magfirah, Esther Dwi, Perlindungan Konsumen dalam E-Commerce, dalam http://www.solusihukum.com/artikel/artikel31.php, 2004. Nasution, Az., Konsumen dan Hukum, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995. Sanusi, M. Arsyad, E-Commerce : Hukum dan Solusinya, Bandung : PT. Mizan Grafika Sarana, 2001. Seto, Bayu, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1994. Sitompul, Asril, Hukum Internet : Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004 Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Cetakan Kedua, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003. Steger, Manfred B., Globalisme : Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta : Lafadl Pusataka, 2005. Diterjemahkan oleh Heru Prasetia dari Globalism, the New Market Ideology, Rowman & Littlefield Publishers, Inc., USA, 2002 Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesembilan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek, Edisi Revisi : Cetakan ke-29, Jakarta : Pradnya Paramita, 1999
Suherman, Ade Maman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Edisi Revisi, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005. UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, diadopsi oleh the United Nations Commission on International Trade Law, Resolution 51/162 of December 16, 1996 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Wibowo, Arrianto Mukti dkk., Kerangka Hukum Digital Signature dalam Electronic Commerce, dalam http://www.geocities.com/amwibowo/resource/hukum_ttd/hukum_ttd.html http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/278/291 Sumber : http://fungkypratiwii.wordpress.com/2012/04/29/aspek-hukum-transaksi-perdaganganmelalui-media-elektronik-e-commerce-di-era-global/
Selasa, 02 Mei 2006 Pertanyaan: Hukum E-commerce Bagaimana keabsahan suatu kontrak dan bentuk kontrak e-commerce, khususnya mengenai pembuktian dan masalah tanda tangan digital (digital signatur)? Terimakasih grattan Jawaban: Bung Pokrol
Pada prinsipnya, menurut KUHPer, bentuk suatu perjanjian adalah bebas, tidak terikat pada bentuk tertentu. Namun, bila undang-undang menentukan syarat sahnya perjanjian seperti bila telah dibuat secara tertulis, atau bila perjanjian dibuat dengan akta notaris, perjanjian semacam ini di samping tercapainya kata sepakat terdapat kekecualian yang ditetapkan undang-undang berupa formalitas-formalitas tertentu. Perjanjian semacam ini dikenal dengan perjanjian formil, apabila formalitas-formalitas tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut akan terancam batal (seperti pendirian PT atau pengalihan hak atas tanah). Untuk pengaturan e-commerce kita menerapkan KUHPer secara analogi, dimana terhadap ketentuan-ketentuan dari e-commerce diterapkan ketentuan dari Buku II tentang Hukum Perikatan dan KUHDagang). Dalam KUHPerdata ditentukan bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (ps.1313 KUHPer). Untuk sahnya suatu kontrak maka kita harus melihat kepada
syarat-syarat yang diatur di dalam ps.1320 KUHPer yang menentukan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian adalah sebagai berikut: i. kesepakatan para pihak; ii. kecakapan untuk membuat perjanjian; iii. suatu hal tertentu; dan iv. suatu sebab yang halal. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum. Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang (ps.1339 KUHPer). Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya (ps.1347 KUHPer). Saat ini, dengan makin pesatnya kemajuan teknologi informasi, dimana dengan adanya kemajuan tersebut orang dapat melakukan transaksi-transaksi perdagangan dengan tanpa kehadiran para pihak, seperti transaksi perdagangan dilakukan dengan online trading. Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Walaupun kemudian mungkin yang bersangkutan tidak membuka surat itu, adalah menjadi tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, karena perjanjian sudah lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu peijanjian jual beli. Tempat tinggal (domisili) pihak yang mengadakan penawaran (offerte) itu berlaku sebagai tempat lahirnya atau ditutupnya perjanjian. Tempat inipun menjadi hal yang penting untuk menetapkan hukum manakah yang akan berlaku. Sampai saat ini sistem pembuktian hukum privat masih mengunakan ketentuan yang diatur di dalam KUHPer, HIR (untuk Jawa Madura) dan RBg (untuk luar Jawa Madura). Dalam hukum pembuktian ini, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari: bukti tulisan, bukti saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan bukti sumpah (ps.1866 KUHPer atau 164 HIR). Sementara itu, dengan pesatnya Tekonologi Informasi melalui internet sebagaimana telah dikemukakan, yaitu telah mengubah berbagai aspek kehidupan, diantaranya mengubah kegiatan perdagangan yang semula dilakukan dengan cara kontak fisik, kini dengan internet kegiatan
perdagangan dilakukan secara elektronik (Electronic Commerce atau E-Commerce) atau di Bursa Efek dikenal dengan online trading. Keadaan tersebut di atas belum mendapat pengaturan dalam sistem hukum pembuktian, karena sampai saat ini hukum pembuktiannya masih menggunakan ketentuan hukum yang lama (KUHPer,HIR, dan RBg). Namun demikian, keberadaan Undang-undang No.8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (UU Dokumen Perusahaan) telah mulai menjangkau ke arah pembuktian data elektronik. Memang, UU Dokumen Perusahaan tidak mengatur masalah pembuktian, namun UU ini telah memberi kemungkinan kepada dokumen perusahaan yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis otentik untuk diamankan melalui penyimpanan dalam mikro film. Selanjutnya, terhadap dokumen yang disimpan dalam bentuk elektronis (paperless) ini dapat dijadikan sebagai alai bukti yang sah. Di samping itu dalam ps.3 UU Dokumen Perusahaan telah memberi peluang luas terhadap pemahaman atas alat bukti, yaitu: "dokumen keuangan terdiri dari catatan, bukti pembukuaan, dan data pendukung administrasi keuangan, yang merupakan bukti adanya hak dan kewajiban serta kegiatan usaha perusahaan". Selanjutnya, ps.4 UU tersebut menyatakan: "dokumen lainnya terdiri dari data atau setiap tulisan yang berisi keterangan yang mempunyai nilai guna bagi perusahaan meskipun tidak terkait langsung dengan dokumen perusahaan". Berdasarkan uraian tersebut, maka tampaknya UU ini telah memberi kemungkinan dokumen perusahaan untuk dijadikan sebagai alat bukti. Dari perspektif hukum, digital signature adalah sebuah pengaman pada data digital yang dibuat dengan kunci tanda tangan pribadi (private siganture key), yang penggunaannya tergantung pada kunci publik (public key) yang menjadi pasangannya. Eksistensi digital signature ini ditandai oleh keluarnya sebuah sertifikat kunci tanda tangan (signature key certificate) dari suatu badan pembuat sertifikat (certifier). Dalam sertifikat ini ditentukan nama pemilik kunci tanda tangan dan karakter dari data yang sudah ditandatangani, untuk kekuatan pembuktian (German Draft Digital signature Law, 1996). Beberapa masalah yang mungkin timbul dari sistem digital signature ini terkait dengan sistem hukum yang sudah ada. Pada banyak negara, disyaratkan bahwa suatu transaksi haruslah disertai dengan bukti tertulis, dengan pertimbangan kepastian hukum. Permasalahannya, bagaimana sebuah dokumen elektronik yang ditandatangani dengan sebuah digital signature dapat dikategorikan sebagai bukti tertulis? Di lnggris, bukti tertulis haruslah berupa tulisan (typing), ketikan (printing), litografi (lithography), fotografri, atau bukti-bukti yang mempergunakan cara-cara lain, yang dapat memperlihatkan atau mengolah kata kata dalam bentuk yang terlihat secara kasat mata. Definisi dari bukti tertulis itu sendiri sudah diperluas hingga mencakup juga telex, telegram, atau cara-cara lain dalam telekomunikasi yang menyediakan rekaman dan perjanjian" (UNCITRAL Model Law on Internatinal Commercial Arbitration, art.7 (2)). Sebenarnya, dari fakta-fakta tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dokumen elektronik yang ditandatangani dengan sebuah digital signature dapat dikategorikan sebagai bukti tertulis. Tetapi, terdapat suatu prinsip hukum yang menyebabkan sulitnya pengembangan penggunaan
dan dokumen elektronik atau digital signature, yakni adanya syarat bahwa dokumen tersebut harus dapat di lihat, dikirim dan disimpan dalam bentuk kertas. Masalah lain yang dapat timbul berkaitan dengan dokumen elektronik dan digital signature ini adalah masalah cara untuk menentukan dokumen yang asli dan dokumen salinan. Berkaitan dengan hal ini sudah menjadi prinsip hukum umum bahwa: a. dokumen asli mestilah dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang melaksanakan perjanjian; b. dokumen asli hanya ada satu dalam setiap perjanjian; dan c. semua reproduksi dari perjanjian tersebut merupakan salinan. Sumber: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5039/hukum-e-commerce
Perlunya Hukum Dalam Transaksi E-commerce Diposkan oleh Admin di 21.18 Abdul Halim Barkiatullah, dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin menilai perlu segera diatur hukum dalam transaksi e-commerce. Apalagi, katanya, mencermati kian tingginya pengguna internet di Indonesia ditambah peningkatan volume transaksi yang semakin pesat melalui media. Menurutnya, tidak tertutup kemungkinan berpotensi menimbulkan permasalahan yang merugikan konsumen. Yakni antara lain, berkaitan keamanan transaksi, mulai dari ketidaksesuaian jenis dan kualitas barang yang dijanjikan, ketidak-tepatan waktu pengiriman dan ketidak-amanan transaksi. "Pengaturan hukum dalam transaksi e-commerce perlu segera diatur guna menjamin hak dan kewajiban konsumen agar diakui secara nasional dan internasional," tegasnya yang hadir sebagai narasumber dalam Focussed Grup Discussion (FGD) tentang e-commerce, di kantor Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di Jakarta. Selain itu, ini juga bertujuan menjaga keseimbangan kepentingan dan menjamin kepastian hukum penyelesaian sengketa atau konflik dalam transaksi di dunia maya. Karena itu ia mendorong pengaturan Perlindungan konsumen e-commerce dalam revisi UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (UUPK) segera dilakukan. Menurutnya peraturan ini, bisa menanggulangi atau meminimalisir berbagai permasalahan hukum dalam semua fase transaksi. Baik itu pra-transaksi, pada saat transaksi dan pasca transaksi itu sendiri. Untuk itu, ia mengusulkan agar BPKN memberikan rekomendasi terhadap Kementerian Perdagangan membentuk lembaga yang diberi wewenang memperjuangkan hak-hak konsumen transaksi ecommerce dalam hal keamanan dan keselamatan. Dengan demikian, lembaga ini menjadi "telinga" mendengar semua keluhan konsumen dalam transaksi, memberikan informasi transaksi yang aman. Selain untuk memberikan pendidikan dan informasi yang memadai, pemberian sertifikat (CA), memberi lambang kepercayaan pada suatu website yang menyatakan bahwa website itu aman. Begitu juga
dengan membuat peringkat website yang memberikan keamanan dan keabsahan hukum dalam tahapan transaksi, dan melakukan penyelesaian sengketa dalam bentuk mediasi online. Lebih lanjut, dosen Universitas Lambung Amangkurat ini berpendapat, permasalahan hukum yang dihadapi konsumen dalam transaksi e-commerce meliputi, keabsahan kontrak e-commerce dan tanda tangan digital, kontrak baku yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha,perbedaan yuridiksi dalam transaksi e-commerce lintas negara. Kemudian, penyelesaian sengketa ditentukan oleh hukum negara pelaku usaha, kelemahan teori hukum perdagangan Internasional (HPI) dalam pemilihan hukum dan forum, dan pelaksanaan putusan pengadilan asing Sumber : http://www.gg.hari.asia/2012/10/perlunya-hukum-dalam-transaksi-e.html
Hukum dalam perdagangan elektronik (e-comerce)
Permasalahan hukum dalam perdagangan elektronik adalah “ Bagaimanakah aspek hukum perjanjian transaksi electronik (Electronic Commerce) dalam hukum perdagangan di Indonesia ? ” Dikarenakan belum adanya aturan perundangan (hukum positif) yang mengatur transaksi perdagangan dengan model transaksi elektronik (electronic commerce) , maka dibatasi pada beberapa aspek hukum dalam perdagangan di Indonesia yaitu dengan menggunakan perspektif hukum perjanjian yang berlaku termasuk juga dari KUHPerdata yang menjadi dasar atau sumber dari perikatan untuk adanya kesepakatan melakukan transaksi perdagangan yang selama ini telah digunakan sebagai dasar dari transaksi perdagangan konvensional . Aspek hukum Perjanjian tersebut adalah : 1 Perjanjian dalam perdagangan 2 Legalitas Perjanjian perdagangan A. Perjanjian dalam perdagangan mengacu pada 2 prinsip kebebasan sebagai prinsip klasik hukum ekonomi internasional : 1.
Freedom of Commerce atau prinsip kebebasan berniaga. Niaga ini diartikan luas dari sekedar kebebasan berdagang (Freedom of Trade). Niaga disini mencakup segala kegiatan yang berkaitan dengan perekonomian dan perdagangan. Jadi setiap negara memiliki kebebasan untuk berdagang dengan pihak atau negara manapun di dunia
2.
Freedom of Communication (kebebasan berkomunikasi, yaitu bahwa setiap negara memiliki kebebasan untuk memasuki wilayah negara lain, baik melalui darat atau laut untuk melakukan transaksitransaksi perdagangan internasional ( Huala Adolf, 1997: 26). Sistem hukum Indonesia tentang perikatan yang secara mendasar dibedakan menurut sifat perjanjiannya yaitu :
1.
Perjanjian Konsensuil -- perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian.
2.
Perjanjian Riil--perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan
3.
Perjanjian Formil--adakalanya perjanjian yang konsensuil, adapula yang disaratkan oleh Undang Undang, di samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau disertai formalitas tertentu ( J Satrio, 1995: 45). Kegiatan perdagangan adalah masuk dalam aspek hukum perdata dan sumbernya diatur dalam buku III KUHPerdata yaitu tentang perikatan yang secara umum dapat dijelaskan bahwa perdagangan terjadi karena adanya suatu kesepakatan antara para pihak dan kesepakatan tersebut diwujudkan dalam suatu perjanjian dan menjadi dasar perikatan bagi para pihak. Electronic data transmission dalam transaksi elektronik (ecommerce) dapat diantisipasi dengan adanya sistem pengamanan jaringan yang juga menggunakan kriptografi terhadap data dengan menggunakan sistem pengamanan dengan Digital Signature ( Arianto Mukti Wibowo, 1998). Digital Signature selain sebagai sistem tekhnologi pengamanan berfungsi pula sabagai suatu prosedure tekhnis untuk melakukan kesepakatan dalam transaksi elektronik atau standart prosedure suatu perjanjian dalam transaksi elektronik , dari proses penawaran hingga kesepakatan kesepakatan yang di buat para pihak. Permasalahan Hukum E-Commerce E-commerce merupakan model perjanjian jualbeli dengan karakteristik dan aksentuasi yang berbeda dengan model transaksi jual-beli konvensional, apalagi dengan daya jangkau yang tidak hanya lokal tapi juga bersifat global. Beberapa permasalahan hukum yang muncul dalam bidang hukum dalam aktivitas e-commerce, antara lain: 1. otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet; 2. saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum ; 3. obyek transaksi yang diperjualbelikan; 4. mekanisme peralihan hak; 5. hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam transaksi
6. legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tangan digital sebagai alat bukti; 7. mekanisme penyelesaian sengketa; 8. pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian sengketa. Permasalahan seperti diatas, ternyata telah diatur di Inggris yang didasarkan pada putusan pengadilan dalam perkara In Re Charge Sevices Limited. Perkara tersebut berisi suatu analisis yuridis mengenai hubunganhubungan hukum yang tercipta apabila suatu card digunakan untuk melakukan pembayaran. Dalam putusan tersebut, yang merupakan leading case di Inggris, hakim Millet J memutuskan pembayaran dengan charge card/credit card adalah pembayaran mutlak, bukan pembayaran bersyarat kepada pihak merchant. Selain itu Millet juga berpendapat, dalam penggunaan kartu, secara serempak bekerja tiga perjanjian yang satu sama lain saling terpisah, yaitu: 1.
Perjanjian penjualan barang dan/atau jasa antara pedagang.
2.
Perjanjian antara pedagang dan perusahaan penerbit kartu yang berdasarkan perjanjian itu pedagang yang bersangkutan setuju untuk menerima pembayaran yang menggunakan kartu.
3.
Perjanjian antara issuer dengan card holder. Selama ini penggunaan charge card/credit card di internet, ataupun di berbagai merchant secara offline, seperti di berbagai pusat perbelanjaan memang rawan dari penyalahgunaan. Kerawanan ini terjadi sebab pihak merchant dapat memperoleh nomor kartu kredit beserta masa berlakunya yang tentunya dapat digunakan untuk melakukan transaksi e-commerce. Perlindungan Kepentingan Konsumen Ada beberapa permasalahan terhadap konsumen, akibat tidak jelasnya hubungan hukum dalam transaksi e-commerce :
1.
mengenai penggunaan klausul baku, kebanyakan transaksi di cyberspace ini, konsumen tidak memiliki pilihan lain selain tinggal meng-click icon yang menandakan persetujuannya atas apa yang dikemukakan produsen di websitenya, tanpa adanya posisi yang cukup fair bagi konsumen untuk menentukan isi klausul.
2.
bagaimana penyelesaian sengketa yang timbul. Para pihak dapat saja berada pada yurisdiksi peradilan di negara yang berbeda. Untuk itu, diperlukan pula suatu sistem dan mekanisme penyelesaian sengketa khusus untuk transaksitransaksi e-commerce yang efektif dan murah.
3.
Hal lainnya adalah masalah keamanan dan kerahasiaan data si konsumen. Hal ini berkaitan juga dengan privasi dari kalangan konsumen. Di Indonesia, perlindungan hak-hak konsumen dalam e-commerce masih rentan. Undang-undang. Perlindungan konsumen yang berlaku sejak tahun 2000 memang telah mengatur hak dan kewajiban bagi produsen dan konsumen, namun kurang tepat untuk diterapkan dalam e-commerce. Untuk itu perlu dibuat peraturan hukum mengenai cyberlaw termasuk didalamnya tentang e-commerce agar hak-hak konsumen sebagai pengguna internet khususnya dalam melakukan transaksi e-commerce dapat terjamin. E-Commerce telah memenuhi syarat syah perjanjian (1320 KUH Perdata), namun masih ada celah hukum yakni pada syarat “kesepakatan” rentan adanya unsur penipuan dan “kecakapan” ini sulit diketahui, dan untuk pembuktiannya menggunakan alat bukti berupa “print out” dengan mendasarkan pada 1866 KUH Perdata, 164 HIR jo pasal 15 UU N0. 8 / 1997 tentang Dokumen Perusahaan Sebelum Cyberlaw terwujud, maka peraturan perundangan lain yang terkait dengan internet / ecommerce dapat digunakan untuk mengantisipasi persoalan-persoalan hukum yang timbul. Ada beberapa peraturan perundangan yang terkait antara lain: 1) UU larangan parktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat No.5/ 1999 UU, 2) Perlindungan Konsumen No. 8/ 1999, 3) UU Telekomunikasi No. 36/ 1999, 4) UU Hak Cipta No.12/ 1997, 5) UU Merek No. 15/ 2001, 6) UU Dokumen Perusahaan No. 8/ 1997 (pasal 15) jo Peraturan Pemerintah No.88/1999 tentang Tata Cara Pengalihan Dokumen Perusahaan, SEMA No.39/TU/88/102/Pid, dan 7) RUU Pemanfaatan Tehnologi Informasi (RUU PTI). Kesimpulannya adalah kehadiran TI yang berupa internet membuat sector perdagangan di dalam dan di luar negeri semakin maju pesat. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran transaksi e-commmerce dan akan memperlancar system produktivitas dan pendistribusian barang / jasa dalam memenuhi berbagai kebutuhan konsumen. Dalam transaksi e-commerce ini banyak permasalahan hukum yang berkembang, sehingga pengaturan hukum yang jelas dan tegas terhadap masalah transaksi e-commerce sangat dibutuhkan sebagai jaminan perlindungan hukum bagi para pihak. Harapan yang dikehendaki, dengan pengaturan hukum maka pemanfaatan TI akan semakin optimal, terutama untuk kebutuhan transakasi e-commerce itu sendiri
Sumber : http://rhiahanafi.blogspot.com/2012/05/hukum-dalam-perdagangan-e-comerce.html
PERJANJIAN JUAL BELI MELALUI INTERNET
A. Latar Belakang Dengan perkembangan teknologi informasi saat ini, telah menciptakan jenis-jenis dan peluangpeluang bisnis yang baru di mana transaksi-transaksi bisnis makin banyak dilakukan secara elektronika. Sehubungan dengan perkembangan teknologi informasi tersebut memungkinkan setiap orang dengan mudah melakukan perbuatan hukum seperti misalnya melakukan jual-beli. Perkembangan internet memang cepat dan memberi pengaruh signifikan dalam segala aspek kehidupan kita. Internet membantu kita sehingga dapat berinteraksi, berkomunikasi, bahkan melakukan perdagangan dengan orang dari segala penjuru dunia dengan murah, cepat dan mudah. beberapa tahun terakhir ini dengan begitu merebaknya media internet menyebabkan banyaknya perusahaan yang mulai mencoba menawarkan berbagai macam produknya dengan menggunakan media ini. Dan salah satu manfaat dari keberadaan internet adalah sebagai media promosi suatu produk. Suatu produk yang dionlinekan melalui internet dapat membawa keuntungan besar bagi pengusaha karena produknya di kenal di seluruh dunia.
Penggunaan internet tidak hanya terbatas pada pemanfaatan informasi yang dapat diakses melalui media ini, melainkan juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan transaksi perdagangan yang sekarang di Indonesia telah mulai diperkenalkan melalui beberapa seminar dan telah mulai penggunaannya oleh beberapa perusahaan yaitu electronic commerce atau yang lebih dikenal dengan E-Commerce, yang merupakan bentuk perdagangan secara elektronik melalui media internet. ECommerce pada dasarnya merupakan suatu kontak transaksi perdagangan antara penjual dan pembeli dengan menggunakan media internet. Jadi proses pemesanan barang dikomunikasikan melalui internet.
Kehadiran internet telah memberikan keyakinan akan pentingnya teknologi di dalam pencapaian tujuan finansial suatu perusahaan melalui modifikasi dan efisiensi proses bisnis yaitu dengan memanfaatkan E-Commerce. dan E-Commerce merupakan salah satu keunggulan baru dari internet yang kian digemari oleh banyak orang.
Keberadaan E-Commerce merupakan alternatif bisnis yang cukup menjanjikan untuk diterapkan pada saat ini, karena E-Commerce memberikan banyak kemudahan bagi kedua belah pihak, baik dari pihak penjual (merchant) maupun dari pihak pembeli (buyer) di dalam melakukan transaksi perdagangan, meskipun para pihak berada di dua benua berbeda sekalipun. Dengan E-Commerce setiap transaksi tidak memerlukan pertemuan dalam tahap negoisasi. Oleh karena itu jaringan internet ini dapat menembus batas geografis dan teritorial termasuk yurisdiksi hukumnya.
Penggunaan internet sebagai media perdagangan terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh berbagai manfaat yang di dapat oleh perusahaan ataupun konsumen dengan melakukan transaksi melalui internet.
Manfaat dari digunakannya E-Commerce ini adalah dapat menekan biaya barang dan jasa, serta dapat meningkatkan kepuasan konsumen sepanjang yang menyangkut kecepatan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan kualitas yang terbaik sesuai dengan harganya. Order cycle sebuah bisnis yang tadinya memakan waktu 30 hari, waktunya bisa dipercepat yakni bisa 5 hari saja. Proses yang cepat tentunya akan menigkatkan pendapatan.
Berbelanja atau melakukan transaksi perdagangan melalui internet sangat berbeda dengan berbelanja atau melakukan transaksi perdagangan di dunia nyata. Dengan E-Commerce memungkinkan kita bertransaksi dengan cepat dan biaya yang murah tanpa melalui proses yang berbelit-belit, di mana
pihak pembeli (buyer) cukup mengakses internet ke website perusahaan yang mengiklankan produknya di internet, yang kemudian pihak pembeli (buyer) cukup mempelajari term of condition (ketentuanketentuan yang diisyaratkan) pihak penjual.
Apabila term of conditionsnya telah disetujui dan dipenuhi oleh pihak pembeli maka langkah terakhir adalah dengan dilakukan pengeklikan tombol “SEND” oleh pihak pembeli yang menandakan suatu syarat persetujuan untuk perjanjian yang ditawarkan oleh pihak penjual. Seandainya pihak konsumen tidak setuju dengan term of condition yang ditawarkan oleh penjual, maka konsumen hanya tinggal membatalkan transaksi dalam jangka waktu tujuh hari. Setelah tombol “SEND” pada keyboard komputer ditekan konsumen hanya cukup menggesekkan kartu kredit sebagai tanda pembayaran atas barang yang di beli.
Pada transaksi E-Commerce ini, nomor kartu kredit yang diketik akan disandikan (encription), hal ini dilakukan untuk mencegah penggunaan yang tidak sah oleh pihak ketiga tanpa sepengetahuan konsumen. Tindakan hati-hati dari para pihak baik penjual maupun pembeli akan mengurangi terjadinya kecurangan yang dilakukan para pihak ketiga yang berusaha melakukan sabotase terhadap transaksi yang sedang berlangsung karena mudahnya sistem tersebut diakses orang.
E-Commerce di Indonesia masih belum dapat berkembang dengan pesat, meskipun pemerintah Indonesia telah menyadari akan pentingnya revolusi informasi tersebut. hal ini disebabkan bisnis ECommerce sangat rentan terhadap krisi ekonomi yaitu karena perbedaan nilai mata uang. Lebih-lebih pangsa pasar yang ada masih kecil dibandingkan dengan populasi penduduk Indonesia. Dan kenyataan yang ada di Indonesia, ternyata E-Commerce tidak mampu membuat perubahan yang cukup besar. Terdapat beberapa faktor yang dapat dipercaya tidak mendukung perkembangan E-Commerce di
Indonesia, dan terdapat enam kualifikasi utama yaitu
1. Infrastuktur
2. Kesadaran
3. Keamanan
4. Internet banking
5. Budaya atau kebiasaan
6. Penyedia E-Commerce
Keenam kualifikasi di atas akan dijelaskan dalam Bab II.
Selain keenam kualifikasi di atas ternyata masih ada lagi unsur yang menghambat perkembangan E-Commerce di Indonesia yaitu belum adanya peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang transaksi E-Commerce.
Dari sekian banyak permasalahan yang mungkin dihadapi atau akan dihadapi di media internet ini, belum ada satu peraturan pun yang dikeluarkan untuk mengaturnya, sedangkan kebutuhan bagi tersedianya media ini semakin meningkat dari hari ke hari, di mana semakin banyak orang sudah mulai melakukan transaksi jual beli dengan menggunakan media internet. Untuk itu penulis mencoba mengenali permasalahan hukum di media internet dan membaginya menjadi beberapa masalah yang terbagi atas beberapa bab sesuai dengan permasalahannya.
B. Permasalahan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan yang berkaitan dengan sistem transaksi E-Commerce, yaitu :
1. Bilamana kesepakatan itu terjadi dalam transaksi jual beli melalui internet ? 2. Apakah transaksi jual beli yang menggunakan media internet ini telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian menurut buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?
sumvber : http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=11&Itemid=11
UPAYA YANG HARUS DILAKUKAN DALAM MENJALANKAN E-COMMERCE
Latar belakang masalah E -commers atau biasa di sebut (Electronic commerce) yang mempunyai artinya dalam suatu website yang berhubungan dengan transaksi atau pemberlian secara online dan pembayarannya pun tidak harus langsung datang ke toko tersebut. Dalam pemasarannya pun tidak kalah canggih dengan kita memasang iklan di berbagai website orang lain yang mempunyai kunjungan website terbanyak, kita bisa bekerja sama dengan website tersebut.
Dalam perkembangan dunia yang semakin berkembang , teknologi yang canggih membawa banyak sekali perubahan yang signifikan berupa pandangan hidup instans terhadap informasi dan terhadap ilmu pengetahuan yang bisa di peroleh langsung dari dunia internet , internet juga mempengaruhi banyak pandangan lain terhadap dunia penjualan dan banyak fungsi lainya , dengan kemajuan di teknologi yang sangat cepat menjadi kan fasilitas internet menjadi kebutuhan umum , dan kebanyakan keberhasilan sebuah product tergantung pada proses penjualan dan periklanan , maka dengan demikian dunia internet atau teknologi sangat lah tepat pada saat ini untuk banyak perusahan-perusahan yang sedang berkembang dan bahkan perusahaan yang sudah maju .
Aplikasi dalam E-COMMERCE - Akunting dan sistem keuangan - Informasi pengiriman dan pemesanan - Newsgroup - On-line Shopping - Online Banking/internet Banking - Product Digital/Non Digital
Perdagangan elektronik atau E-COMMERCE adalah penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. E-COMMERCE dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis, oleh sebab itu maka dunia ECOMMERCE sangat la bergantung pada dunia jaringan , apabila terjadi sebuah penyalahgunaan ilmu pengetahuan yang lebih oleh beberapa orang yang bisa bermain di dalam jaringan akan lah sangat membuat masalah bagi perusahan yang beroperasi di dalam dunia internet / dunia maya , oleh sebab itu dalam makalah ini saya akan membahas tentang banyak nya masalah yang akan timbul dalam dunia ECOMMERCE.
Rumusan masalah Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah di uraikan di atas penyusun mengambil masalah yang muncul , permasalahan yang akan di bahas hanya proses untuk mengetahui solusi yang akan di cari Permasalahan nya yaitu : Sistem atau apa yang terjadi dalam sebuah E-COMMERCE Apa yang akan terjadi apabila masalah terjadi dalam sebuah E-COMMERCE Dan solusi apa yang harus diambil dalam kesalahan yang timbul dalam E-COMMERCE.
Tujuan Agar mengurangi terjadi nya kerugian konsumen dalam pembelian melalui dunia internet Berupaya untuk memberi ilmu kepada teman-teman agar tidak tertipu oleh orang yang mengambil keuntungan dalam dunia maya untu kejahatan
Memberikan pengetahuan kepada rakyat yang kurang menyukai pembelian dalam dunia internet atau jaring dalam E-COMMERCE Dan menjadi daya tarik pemerintah dalam kurang nya hukum yang ketat dalam kejahatan dalam dunia maya atau jaringan internet Dengan demikian para konsumen atau para pengguna dunia maya yang senang dengan gaya hidup instant tidak lagi meragukan berbelanja atau mengeluarkan uang nya melalui dunia E-COMMERCE , dan di tambah nya ilmu pengetahuan untuk berhati hatinya para konsumer dalam pembelian dan memilih web perusahaan mana yang terjamin dan bertanggung jawab .
MASALAH YANG TIMBUL PADA E-COMMERCE Apabila telah melakukan evaluasi untuk mencari kendala ataupun tekanan-tekanan yang akan timbul, maka langkah selanjutnya adalah mencari solusi dari masalah-masalah tersebut. Untuk tekanan dari dalam terkadang lebih sulit diatasi karena masalah yang timbul tidak dapat diprediksi kapan datangnya. Seperti kendala “server down”, pebisnis terkadang tidak dapat memprediksikan hal tersebut. Sehingga apabila tiba-tiba terjadi “server down”, maka akan sangat menghambat proses transaksi. Untuk mengatasi tekanan dari luar yaitu masalah pesaing dan jumlah komsumen yang terbatas, pebisnis harus memberikan inovasi pada produk dagangannya, yang membedakan dengan produk lainnya. Seperti memberikan penawaran harga yang lebih murah, jaminan keamanan transaksi, dan layanan pengiriman barang yang cepat, dan dapat juga dengan membuat tampilan E-Commerce yang menarik sehingga konsumen tertarik untuk melakukan transaksi. Pebisnis juga harus melihat apa yang kira-kira dibutuhkan oleh konsumen. Karena konsumen pengguna layanan E-Commerce ini masih terbatas jumlahnya. Apabila yang menjadi kebutuhan komsumen adalah barang-barang kebutuhan pokok, sebaiknya pebisnis menyediakan produk barang-barang kebutuhan pokok. Tetapi apabila memilih pasar yang konsumennya membutuhkan barang-barang elektronik, pebisnis berkonsentrasi pada penyediaan barang-barang elektronik. Selain itu pebisnis juga dapat melakukan “join” atau (Business-to-business) yaitu melakukan kerjasama dengan pebisnis lain. Seperti dapat bekerja sama dengan perbankan. Konsumen yang menggunakan fasilitas dari bank tersebut (kartu kredit, transfer) mendapatkan pengurangan harga. Atau dapat juga bekerja sama dengan perusahaan jasa pengiriman barang. Apabila konsumen telah berbelanja dengan jumlah item barang tertentu, maka juga bisa mendapatkan potongan harga. Dalam berbisnis, harus memahami cara atau jalan yang dipakai untuk melakukan transaksi, sehingga dapat meminimalisir kerugian. Apabila memilih cara E-Commerce, tetapi belum mengetahui dengan jelas apa yang dimaksud, apa yang harus disediakan, kendala-kendala teknik maupun non-teknis yang akan timbul, solusi-solusi dari segala kendala, akan sangat menyusahkan dalam menjalankannya.
Karena E-Commerce menggunakan internet, maka harus mempelajari dulu sistem dari E-Commerce tersebut. Seperti cara pembayaran, dan cara maintenance layanan internet. Server harus dijaga agar tidak “down”. Maka dari itu harus ada “backup server”. Pebisnis yang menggunakan E-Commerce juga harus memahami etika yang harus dipatuhi. Prosedur pembayaran yaitu konsumen harus mengirimkan atau transfer semua biaya yang diperlukan. Baru setelah itu barang akan dikirimkan ke alamat konsumen. Terkadang banyak konsumen yang tertipu. Setelah mengirimkan sejumlah uang, barang yang dipesan tidak sampai ke alamat tujuan. Tidak hanya pada barang, untuk penjualan tiket alat transportasi juga dapat menjadi penipuan. Pada saat check in, ternyata e-tiket tidak valid. Hal itu lah yang menyebabkan jumlah konsumen E-Commerce masih sangat terbatas. Karena banyak masyarat yang tidak percaya dengan sistem transaksi online ini. Pebisnis yang baik dan bertanggung jawab harus menjaga etika bisnisnya. Bisnis E-Commerce ini juga merupakan bisnis kepercayaan. Pebisnis harus memberikan kepercayaan kepada konsumen agar mau melakukan transaksi. Dengan cara memberikan informasi sejelas-jelasnya mengenai profil perusahaan. Dan dengan menjaga nama baik dari perusahaan tersebut. Dengan adanya kepercayaan dari komsumen, maka bisnis dengan E-Commerce ini dapat berjalan dengan baik. Kemudian penyalahgunaan ilmu pengetahuan komputer atau jaringan yang berlebihan , yaitu penyalahgunaan yang dilakukan berupa mengubah identitas nya menjadi identitas orang lain atau memblokir web tersebut dan menggunakan nya untuk hal hal yang buruk seperti misalnya : merusak web penjualan dan menggunakan nya dalam situasi tidak di pergunakan oleh perusahaan atau sistem yang di buat oleh perusahaan tersebut , atau dengan cara merubah identitas dirinya menjadi pegawai atau admin sehingga bisa berbuat leluasa di dalam jaringan perusahaan tersebut , oleh demikian ada baiknya kita membuat sebuah pengamannan yang lebih untuk menjaga nama baik perusahaan atau menjaga tetap aman nya akun – akun pelanggan yang setia membeli pada perusahaan tanpa harus takut terjadi nya kerugian yang di dapat kan oleh konsumen . Di dalam dunia jaringan sangatlah sensitif dalam jaringan keamanan sehingga banyak orang memanfaatkan kekurangan itu untuk menjadikan keuntungan pada dirinya , oleh sebab itu banyak nya terjadi penipuan di dalam dunia jaringan internet berupa penipuan , penjualan barang fiktif atau penjualan barang yang tidak ada , atau bisa di bilang orang yang mempunyai ilmu pengetahuan komputer yang bisa memanipulasi web sehingga menjadi web yang terlihat sebagai web penjualan yang mempunyai dunia hukum yang terjamin . Hukum yang kurang berkembang dalam bidang e-commerce ini yaitu buruk nya hukum atas perlindungan atas kejahatan atau penipuan yang banyak terjadi di karnakan dunia maya / jaringan internet sangat lah susah untuk di lacak , oleh karna itu banyak nya kejahatan yang terjadi mengakibatkan buruk nya pendapat masyarakat atas penjualan yang terjadi di dunia internet yang
bisa merugikan konsumen tanpa mendapatkan jaminan hukum atas kerugian yang di dapatkan nya , dan membuat para konsumen menjadi berpikir buruk terhadap penjualan yang terjadi di dalam dunia yang fiktif atau trauma yang di dapat kan atas kerugian yang di terima tanpa mendapatkan hukum yang jelas , dan banyak nya web yang berorientasi pada penjualan yang tidak mempunyai jaminan hukum atau tanggung jawab berdasarkan hukum , dan kekurangan lain nya yaitu berupa masih banyak nya masyarakat indonesia yang masih suka belanja dengan manual atau langsung pergi ke tempat penjualan dan kurang nya pengetahuan masyarakat tentang penggunaan dunia maya atau dunia internet dengan baik atau penggunaan internet untuk hal yang sia-sia .
Perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce Terjadi karena berkembangnya teknologi informasi dalam dunia internet sehingga mendorong munculnya berbagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat melalui kecanggihan teknologi informasi tersebut dalam hal ini internet. Salah satu kegaiatan di dunia maya termaksud antara lain transaksi jual beli secara elektronik (electronic commerce). Pada transaksi jual beli melalui internet ini tidak menutup kemungkinan timbulnya berbagai perbuatan yang melanggar hukum sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya. Oleh karena itu perlu dipikirkan solusinya berupa tindakan hukum yang dapat dilakukan atas suatu perbuatan melawan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli melalui internet ini. Dengan demikian kasus-kasus seperti itu tetap dapat diselesaikan secara hukum, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi.
Electronic Commerce Transaction adalah transaksi dagang antara penjual dengan pembeli dalam rangka penyediaan barang atau jasa termasuk melelangkan barang/jasa atau pengalihan hak dengan menggunakan media elektronik komputer maupun internet. Pertumbuhan E-Commerce di seluruh dunia yang semakin pesat membawa dampak tersendiri bagi Indonesia. Meskipun pada kenyataannya, pertumbuhan e-commerce dipengaruhi oleh banyaknya penggunaan internet oleh suatu negara. pada awal tahun 2008, pemerintah Indonesia yang dipelopori oleh Depkominfo membidani lahirnya Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU ITE lebih khusus lagi pada Bab V pasal 17 sampai dengan pasal 22 menciptakan suat aturan baru dibidang transaksi elektronik yang selama ini tidak ada. Meskipun aturan tentang transaksi elektronik tidak diatur secara khusus dalam suatu undang-undang, keberadaan pasal ini sangat penting untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pengguna sarana e-commerce. Terlebih saat ini pemerintah tengah mematangkan lahirnya Peraturan Pemerintah di bidang Transaksi Elektronik
Permasalahan
Dari latar belakang diatas kami mengangkat beberapa masalah yang berpengaruh pada perlindungan transaksi melalui media internet, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Perlindungan hukum dalam transaksi elektronik pada prinsipnya harus menempatkan posisi yang setara antar pelaku usaha online dan konsumen. Permasalahannya adalalah bagaimana jika pelaku usaha dalam e-commerce tersebut tidak berada pada wilayah domisili yurisdiksi Indonesia. Inilah yang kemudian disebut sebagai salah satu kelemahan penggunaan UU Perlindungan Konsumen dalam transaksi e-commerce. UUPK secara tegas menekankan bahwa aturan tersebut hanya dapat diberlakukan kepada pelaku usaha yang bergerak di dalam wilayah hukum Republik Indonesia. 2. Persoalan perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce tidak terbatas pada aspek penawaran dan penerimaan saja. Namun lebih jauh mencakup persoalan mengenai ruang lingkup, sengketa, transparansi, dan lain-lain. Lalu bagaimana jika terjadi perselisihan atau sengketa antara pelaku usaha dan konsumen dalam transaksi elektronik.
Pemecahan masalah Masalah yang pertama
Dilihat dari UU ITE, secara jelas menyebutkan bahwa prinsip utama transaksi elektronik adalah kesepakatan atau dengan ”cara-cara yang disepakati” oleh kedua belah pihak (dalam hal ini pelaku usaha dan konsumen). Transaksi elektronik mengikat para pihak yang bersepakat Sehingga dalam sudut pandang perlindungan konsumen, konsumen yang melakukan transaksi elektronik dianggap telah menyepakati seluruh syarat dan ketentuan yang berlaku dalam transaksi tersebut. Hal ini berkenaan dengan klausula baku yang disusun oleh pelaku usaha yang memanfaatkan media internet.
Masalah yang kedua
Di Indonesia, dalam UU ITE disebutkan bahwa transaksi elektronik dapat dituangkan dalam kontrak elektronik. Dalam kontrak elektronik tersebut dapat ditentukan pilihan hukum mana yang digunakan dalam menyelesaikan perselisihan (dispute). Jika pilihan hukum tidak dilakukan, maka yang berlaku adalah hukum yang didasarkan pada asas hukum perdata internasional. Begitupun dengan pilihan forum pengadilan mana yang berhak. Para pihak dalam transaksi e-commerce dapat menentukan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya mana yang dipilih dalam e-contract. Dan jika tidak dilakukan pemilihan forum, maka penyelesaian sengketa akan kembali pada asas dalam Hukum Perdata Internasional.
penutup
Dalam hal sengketa konsumen e-commerce yang terjadi di Indonesia, konsumen dapat memanfaatkan peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Apabila mencermati peraturan yang mengatur tentang gugatan dalam sengketa konsumen, maka dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui BPSK akan lebih cepat dibandingkan apabila sengketa tersebut dibawa ke jalur litigasi (pengadilan). Meskipun sifat putusan yang mengikat dan final BPSK pada teorinya dapat diajukan ke Pengadilan Negeri dan MA. Dalam transaksi e-commerce, posisi BPSK sebagai badan yang memfasilitasi penyelesesaian sengketa konsumen menjadi perhatian serius. Hal ini menyangkut kepercayaan para konsumen (cyber shopper) untuk melimpahkan permasalahannya ke BPSK. Apalagi jika para pihak yang berperkara tidak menyebutkan klausula pilihan hukum dan pilihan pengadilan dalam perjanjian elektroniknya. Apabila hal ini terjadi tentunya semuanya akan merujuk kembali ke dalam ketentuan Hukum Perdata internasional.
SIMPULAN:
Seperti yang dikatakan pada pembahasan diatas bahwasanya permasalahan e-commerce merupakan permasalahan yang cukup Kompleks, sehingga cara penanggulangan atau solusi untuk memecahkan masalah tersebut agaknya masih tergolong sulit. Namun kitapun boleh berharap bahwa kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam permasalahanya e-commerce dapat teratasi, dengan kerjasama yang cukup baik antara Aparat keamanan negara Indonesia, para pelaku ecommerce seperti pemasok dan pembeli, serta yang paling penting adalah adanya kesadaran diri dari para oknum yang selalu merugikan orang lain dalam bidang e-commerce atau hacker . Sumber: http://selviwie.blogspot.com/2013/01/upaya-yang-harus-dilakukan-dalam.html