Dunia Sunyi--jayadi Bosang Sau'

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dunia Sunyi--jayadi Bosang Sau' as PDF for free.

More details

  • Words: 1,761
  • Pages: 7
Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft  2005 biasawae.com

Dunia Sunyi

Sumber : Jayadi Bosang Sau' - cybersastra.net



!

"

Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft  2005 biasawae.com

Tak ada yang menarik dari perempuan itu. Sama sekali. Bahkan sejak pertama kali aku melihatnya. Badannya terlalu sintal dan berisi, walau menurut kebanyakan lelaki itu sedikit banyak bisa memuaskan fantasifantasi liar mereka. Wajahnya tidak terlalu mengecewakan, hanya perlu dipolesi bedak atau lipstik maka ia akan menjelma perempuan yang memiliki pesona lebih. Namun mengingat keadaannya sekarang, lelakilelaki yang sering bermainmain dengan fantasi liarnya pun bahkan tak berminat untuk menyelam terlalu dalam ke ingatan mereka. Mereka –lelakilelaki yang tak lebih liar dari seekor kucing jantan itu hanya akan menggerakgerakkan

ekornya

dengan

bolabola

mata

yang

berputarputar.

Hanya

mengendusendus dari jauh aroma perempuan yang kini tersekap dalam maya pikirannya itu. Fuih! Lelakilelaki itu memang hanya seekor kucing jantan yang meraungraungkan kepengecutannya dalam buta malam. Karena ketika perempuan berbadan sintal padat berisi itu lewat di ujung batang hidung mereka malahan tak ada yang tahan dengan penciuman mereka sendiri. “Huuaaaksss.” Lelaki-lelaki itu memuntahkan isi perut mereka. Semuanya sehingga yang tersisa hanya bunyibunyian keroncongan. Sejak itu mereka tak mau lagi bermainmain dengan perempuan itu. Menengok ke arahnya pun mereka begitu muak dan jijik. Heh tapi apa memang begitu? Lelaklelaki itu tetaplah seekor kucing jantan! “Kalau saja tubuhnya tidak mengeluarkan baubau yang aneh.’ Sesal mereka. Bahkan di pos ronda pun pembicaraan mereka tak jauhjauh dari perempuan itu yang tentu saja isinya kelakar kelakar nakal. Perempuan itu hanya mondarmandir kerjaannya. Hari demi hari dengan bajubaju yang selalu berganti. Sekali ia mengenakan blus berwarna biru. Orangorang yang pertama kali melihatnya tak akan segan mengirangira kalau ia perempuan berkarir. Sekali ia mengenakan daster berwarna merah. Orangorang yang pertama kali melihatnya tak perlu ragu lagi untuk mengatakan kalau ia perempuan bersuami. “Wah siapapun suaminya, lelaki yang sangat beruntung.’ Sekali ia mengenakan kain yang dibelitkan serampangan. Orangorang yang pertama kali melihatnya tak kan’ menunggu lama lagi untuk mensedekahkan kalimatkalimat menghasihani.

Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft  2005 biasawae.com

Dan! Sekali ia hanya mengenakan beha dan celana dalam. Orangorang yang pertama kali melihatnya tanpa berkompromi lagi untuk mengumpat. “Anjing, perempuan siapa yang kurang ajar begini.’ Mereka bersumpah serapah dengan kelicikan ekor mata yang tak jauhjauh arah lirikannya. Aku sendiri, melihat perempuan itu dengan perasaan yang tidak anehaneh. Biasa saja. Mungkin inilah, karena aku lelaki yang tidak mau menganggap segala sesuatu yang aneh sebagai sebuah keluarbiasaan. Menurutku, hanya orang gila yang berpikir seperti itu. Orang gila yang aneh. Atau orang aneh yang gila. Hakhakhak! Selain kerjaannya yang lebih banyak mondarmandir memamerkan bajubajunya, perempuan itu lebih suka menyendiri dengan mendekap ujungujung lutut di bawah batang lehernya. Kalau sudah begitu, nampaknya serupa pahatan granit Aphrodite yang berkerak daki. Satu sisi ia begitu cantik dalam keteduhan wajah menatap hampa. Namun, satu sisi lain dia hanya seorang perempuan yang tidak terawat. Kecuali warnawarna bajunya yang selalu terlihat muda dan menyala. Barangkali. Ada duka yang dalam. Ada luka yang menganga. Tanpa torehan atau tetesantetesan darah yang orangorang tak kan’ mengetahui kecuali ia sudi untuk menceritakannya. Sedang sejauh ini, tak seorang pun yang sudi untuk menyapanya selain tatapan yang menguliti kebodohan mereka sendiri. Hanya gonjangganjing, perempuan itu sedang menunggu kedatangan seseorang. Entah siapa. Orangorang mengetahui perempuan itu sejak keberadaannya di sana. Sejak dua bulan yang lalu. Tepat di bawah jendela rumah yang tuantuannya tidak merasa terusik karena daundaun jendela itu lebih banyak tertutup daripada mengirup udara. Ah iya, kota ini memang sudah tidak memiliki seteguk udara jernih yang sehat untuk dihirup. Jadi baik juga mengurung diri dalam ruangan sembari menikmati hembusan sepoisepoi air conditioner yang diimajinasikan sebagai kesegaran udara pegunungan oleh iklaniklan produk tersebut di selasela buaian acara televisi. Tak ada rumah yang merasa memilikinya. Apalagi sanak keluarga. Tapi perempuan itu bukanlah orang yang mau ambil pusing atau mau tahu dengan hal itu. Baginya rumah hanyalah sekatsekat tembok yang menghalangi terawangan mata menuju kumpulan awan perak berarak. Rumah hanyalah tatakan batubatu yang lambatlaun juga akan mengubah kita menjadi

Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft  2005 biasawae.com

batubatu. Rumah hanyalah kotak korek yang isinya penuh dengan si kepala hitam yang sewaktuwaktu siap meledakkan amarah yang akan membakar rumah itu sendiri serta seisinya. Tentang rumah, tak disangkal aku dan perempuan itu memiliki kesamaan. Dengan diamdiam aku mulai sering memperhatikannya. Semakin lama kuperhatikan ia seperti memiliki daya tarik yang kuat untuk membangkitkan gejolak penasaranku. Dari beranda rumahku yang tidak terlalu jauh dari tempatnya –yang merupakan kebiasaanku seharihari dari siang hingga sore duduk di kursi rotan dengan beberapa jurnal bisnis mingguan yang tagihan tetap langganannya dibayarkan kantor—kulihat perempuan itu mengenakan daster berwarna biru motif bunga melati dengan menekuk kedua kakinya. Pandangannya tak lepas dari ujung gang yang bergaris lurus dengan tempatnya sekarang. Kelopak matanya hampir tak berkedip sama sekali, di sana ia seperti baru menemukan sesuatu yang hilang darinya. Bila sudah duduk dengan posisi yang sangat disenanginya itu–mendekap ujungujung lutut di bawah batang lehernya dengan jarijemari kaki gidikgidik seirama decit rem mendadak atau dentum mesin tancap gas—maka tak ada lagi yang bisa mengusiknya. Lemparan batu atau celetukan anakanak yang mengejek tidak ditanggapinya. Bahkan, saat bajubaju yang dikenakannya melorot dengan gantungan payudara yang walau pun sudah tak setegak bukit kapur tapi masih cukup kenyal itu pun sudah tak dihiraukan. Perempuan itu begitu menikmati dunia sunyi yang dirajutnya sendiri dari nyanyiannyanyian sendu nan pilu yang selebihnya hanya merupakan sebuah gumaman begitu singgah di anak telingaku. Sampai beberapa jam tak ada yang berubah. Beberapa orang yang mau tidak mau harus melewati jalan itu ada yang ketakutan juga. Langkah mereka dipercepat dengan saling berhimpitan. Padahal perempuan itu sendiri tak sedikit pun memalingkan wajahnya ke arah mereka. Namun disengaja atau tidak tibatiba dalam gerakan sangat cepat dan tak bisa kuhindari, perempuan itu berpaling ke arahku. Hanya dalam sepersekian detik mata kami sudah beradu pandang. Spontan aku bereaksi dengan ekspresi yang tak terduga sebelumnya. Kikuk dan gugup. Keringat dingin mengucur deras dari jutaan poripori kulitku. Ingin rasanya aku segera beranjak dari tempatku itu tapi seperti ada bertonton batu yang menghimpit serta mendesakku sehingga untuk menggerakkan ujung jari pun sangatlah berat. Perempuan itu mungkin sudah membaca gelagatku sejak mula memperhatikannya. Kemudian dengan tangan kirinya ia menarik helaian rambut yang jatuh di keningnya lalu dijepitkan ke

Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft  2005 biasawae.com

belakang daun telinganya. Bibirnya pelanpelan bergerak, kali ini ia tak sedang bernyanyi karena ritmenya yang berbeda. Dan. Astaga! Perempuan itu tersungging. Sepasang bibir yang bergerak pelan itu ternyata isyaratnya merangkai sebuah senyuman yang mungkin telah lama dilupakannya.

---oOo---

Setelah lebih dari tiga bulan keberadaannya di sana –di bawah jendela yang daundaunnya selalu tertutup—membuat orangorang yang dulunya tak begitu perhatian mulai jengah. Bajubaju yang dikenakannya carutmarut tak patut lagi menutupi rahasiarahasia dibaliknya. Darah dengan aroma yang anyir dan busuk membius menetes dari selangkangannya, darahdarah itu tercecer di sepanjang jalan yang biasa dilaluinya dengan mondarmandir memamerkan bajubaju yang kini berwarna kusam dan kumal karena orangorang yang selama ini memberinya baju sudah enggan karena bajubaju itu selalu dicampakkan begitu saja ke tumpukan sampah setelah dikenakan sepanjang hari. Orangorang mulai berkasakkusuk mendesak tokohtokoh masyarakat untuk mengusirnya dari tempat itu. Apapun caranya karena mereka –orang per orang—sudah mencoba namun tetap gagal. Perempuan itu selalu datang lagi setelah orangorang yang menghalaunya dari tempat itu kembali ke ranjang mereka masingmasing untuk bermimpi. Tengah malam perempuan itu datang dengan ringkikan seperti lolong anjing yang disambangi banaspati. Perempuan itu semakin menampakkan kegilaannya. Dan itu merupakan ancaman nyata bagi mereka serta anakanak. “Perempuan itu sangat berbahaya kalau tetap kita biarkan di sini.” “Bagaimanapun ia harus disingkirkan.” “Iya. Dengan cara apapun!” Seru mereka dengan berapiapi. Para tokoh masyarakat menganggukangguk tanda setuju

Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft  2005 biasawae.com

dengan usulanusulan yang kian malam kian memanas dalam rapat mendadak di rumah salah seorang aparat pemerintahan tingkat RT itu. Malam itu dicapai kesepakatan, dengan dana swadaya perempuan itu akan dikirim ke RSJ. Besoknya, pagi sekitar jam tujuh sebelum orangorang beranjak pergi untuk memulai hariharinya tiga petugas dari RSJ berseragam putihputih datang untuk membawa perempuan itu. Ramai sekali orang berkerumun seolah peristiwa pagi itu begitu bersejarah untuk dilewatkan. Demikian juga aku padahal seharusnya aku sudah berada dalam ruang rapat di kantor untuk mempresentasikan rencana anggaran belanja bulanan perusahaan. Tapi ternyata segala sesuatu yang berhubungan dengan perempuan itu selalu lebih menarik perhatianku. Perempuan itu meronta sekuat tenaga melepaskan diri dari gotongan petugas yang akan membawanya dengan sebuah mobil. Seorang petugas terjungkal ketika kaki perempuan itu mengena tepat di lambung perutnya. Petugas yang lain juga terlihat meringisringis menahan perih dari luka cakaran di dahinya. Kuku perempuan itu menancap cukup dalam. Kini tinggal seorang petugas yang menahannya, mendekapnya dengan sangat erat dari arah belakang. Sebelah tangannya mengunci leher perempuan itu sehingga kepalanya mendongak ke atas dengan muka merah ketakutan. “Cepat ambil penenang di mobil!” perintah lelaki yang posturnya lebih besar pada kedua temannya. Petugas yang terjungkal itu bergerak cepat ke dalam mobilnya dengan badan masih terbungkukbungkuk

memegang

perutnya.

Rupanya

tendangan

perempuan

itu

cukup

menyakitkan. Tak lama kemudian ia datang dengan bergegas menyuntikkan insulin yang sudah terisi dengan cairan penenang ke pembuluh darah di pangkal leher perempuan itu. Penenang yang disuntikkan bereaksi dengan cepat. Perempuan itu terkulai lemas, pandangan matanya nanar beredar ke kerumunan orangorang yang menonton prosesi pagi itu. Kesannya dramatis sekali. Orangorang menjadi kasihan, tak mampu untuk sekedar berkatakata. Mulut mereka seakan terbungkam demi melihat tatapan terakhir yang memelas dan tak berdaya dari perempuan itu. Dunia seketika sunyi. Bulirbulir air mata mengalir dari dua sudut mata perempuan itu, begitu juga dengan orangorang yang mengitarinya dalam seribu diam. Aku menyeruak orangorang yang kini berdiri mematung tanpa bahasa itu menuju ke barisan paling depan. Di sana aku melihat perempuan itu telah disandarkan ke tembok oleh petugas yang sedang mempersiapkan tandu untuk membawanya. Ia nampak begitu menyedihkan.

Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft  2005 biasawae.com

Perlawanan yang sangat gigih tadi membuatnya terluka. Lebamlebam biru kemerahan membekas di sekujur tubuhnya. Yang lebih parah adalah bilurbilur merah di leher yang disebabkan oleh betotan kuat lengan petugas yang membekapnya. Begitu merahnya sampaisampai aku berpikir kalau ada salah satu dari pembuluh darahnya yang pecah! Sekejap kelopak matanya berkedip. Jarijemarinya tergerak menunjukku. Entah dengan maksud apa karena sejauh aku telah memperhatikannya, aku belum pernah menerjemahkan bahasabahasa tubuh yang disampaikannya. Tapi kali ini semuanya berbeda. Seperti ada ikatan khusus di antara kami berdua, yang menjadikan diri kami seolah begitu dekat. Ikatan yang aku sendiri tak mengerti. Tak begitu jelas bentuknya. Perempuan itu memanggilku ke dalam tatapan matanya yang kosong. Menarikku untuk menyelami dunianya yang hilang. Mengajariku untuk memahami dunianya yang sunyi. Dunia sunyi yang diciptakannya sendiri dimana tak perlu lagi memikirkan keinginankeinginan yang belum

terkabulkan

atau

rencanarencana

perhitunganperhitungan statistik!

Yogyakarta, 21 Desember 2004

besok

pagi

yang

harus

disusun

dengan

Related Documents