DILEMA TAHDZIR, ANTARA SEBUAH TUNTUTAN DAKWAH DAN TUMBAL SENSASI SEORANG DAI .Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A )Mahasiswa Doktoral, Universitas Islam Madinah( أما بعد. والصلة والسلم على أشرف النبياء نبينا محمد وعلى آله وأصحابه ومن سار على نهجه إلى يوم الدين،الحمد ل Di dalam menjalankan kewajiban berdakwah menuju kepada jalan Alloh ta’ala, para ulama pasti akan senantiasa menghadapi berbagai tantangan dan aral yang melintang. Dan di antara tantangan yang sering menghadang setiap derap langkah para da’i kebenaran ialah adanya lawan dari sesama mereka, yaitu para pelaku kesesatan dan kebatilan. Dan karena hal ini adalah hal yang telah masyhur dan dirasakan oleh setiap dai yang menyerukan kebenaran, maka saya tidak merasa perlu untuk membuktikannya. Akan tetapi yang saya anggap perlu ialah mengingatkan diri saya dan kawan-kawan saya tentang hikmah dan manfaat adanya pertentangan ini. Sebab segala hal yang ada dan terjadi di dunia ini adalah bagian dari ciptaan Alloh ta’ala dan berjalan selaras .dengan kehendak-Nya. Dengan demikian tidak mungkin semua itu terjadi dengan sia-sia, tanpa ada manfaat dan hikmahnya َعبِين ِ سمَاء وَالْأَرْضَ وَمَا َب ْينَ ُهمَا لَا ّ خَل ْقنَا ال َ َومَا Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada diantara keduanya dengan bermain-main.“ (QS Al Anbiya’: “ (16 Ibnu Katsir rohimahulloh berkata, “Alloh ta’ala mengabarkan bahwa Ia menciptakan langit dan bumi dengan kebenaran, maksudnya dengan keadilan, agar Ia mengganjar orang yang berlaku buruk setimpal dengan apa yang mereka amalkan, dan membalas orang yang berlaku baik dengan balasan kebaikan pula. Sebagaimana Alloh mengabarkan bahwa Ia tidaklah )menciptakan semua itu dengan sia-sia dan juga tidak karena main-main.” )Tafsir Ibnu Katsir 3/174-175 :Dan dalam ayat lain Alloh berfirman ِن َكفَرُوا مِنَ النّار َ ن َكفَرُوا َف َويْلٌ لّلّذِي َ ظنّ الّذِي َ َسمَاء وَالْأَرْضَ َومَا بَ ْي َنهُمَا بَاطِلً ذَِلك ّ َومَا خََل ْقنَا ال Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah (sia-sia). Yang demikian itu “ adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk ke dalam neraka.“ (QS (Shaad 27 Sehingga tidaklah layak bagi seorang mukmin apalagi seorang da’i untuk berkecil hati bila pada suatu saat menghadapi tantangan atau hambatan dalam menjalankan dan memperjuangkan kebenaran. Dan hendaknya adanya tantangan tersebut semakin menambah keimanan dan keyakinan kita kepada apa yang kita yakini dan perjuangkan, karena ini merupakan bukti bahwa Alloh .ta’ala telah merahmati kita, sehingga kita dapat memilih jalan kebenaran dan terhindar dari kesesatan جمَعِينَ ن ْ َجنّةِ وَالنّاسِ أ ِ ْج َهنّ َم مِنَ ال َ ّحمَ َرّبكَ وَلِذَِلكَ خََل َقهُمْ َوتَ ّمتْ كَِلمَةُ َرّبكَ لَمْلن ِ ّل مَن ر ّ ختَِلفِينَ ِإ ْ ُن م َ جعَلَ النّاسَ ُأمّةً وَاحِ َدةً َولَ يَزَالُو َ َوََلوْ شَاء َرّبكَ ل Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, “ kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Alloh menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) (semuanya.“ (QS Hud: 118,119 Adanya kekufuran dan keimanan di kehidupan dunia ini adalah salah satu bagian dari sunnatulloh, sehingga dengan demikian akan terbukti bagi umat manusia bahwa Alloh ta’ala Maha Pengasih lagi Penyayang dan di waktu yang sama Alloh Maha pedih .siksa-Nya Perseteruan antara kebenaran beserta pemeluknya melawan kebatilan beserta seluruh antek-anteknya bukanlah hal yang baru, akan tetapi merupakan sunnatullah yang telah dimulai semenjak manusia pertama yaitu Nabi Adam ‘alaihis salaam dan istrinya : Hawa melawan nenek moyang pemuja kebatilan, yaitu Iblis la’natullah ‘alaihi ّضكُمْ ِلبَعْضٍ عَ ُدو ُ ْوَ ُق ْلنَا ا ْه ِبطُواْ بَع (Turunlah kamu, sebahagian kamu menjadi musuh bagi yang lain“. (QS Al Baqoroh: 36 “ :Sebagaimana Alloh ta’ala juga telah memperingatkan umat manusia agar senantiasa waspada dari tipu daya iblis dan pengikutnya شيَاطِينَ َأوِْليَاء ّ جعَ ْلنَا ال َ ح ْيثُ لَ تَ َر ْو َنهُمْ ِإنّا َ ْس ْوءَاتِ ِهمَا ِإنّهُ يَرَاكُمْ ُهوَ وَ َقبِيُل ُه مِن َ سهُمَا ِليُ ِر َيهُمَا َ ع ْن ُهمَا ِلبَا َ ُجنّ ِة يَنزِع َ ْش ْيطَانُ كَمَا أَخْ َرجَ َأ َبوَ ْيكُم مّنَ ال ّ يَا َبنِي آ َدمَ لَ يَ ْف ِتنَّنكُمُ ال َل ُي ْؤمِنُون َ ن َ لِلّذِي Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat tertipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu “ bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya (Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.“ (QS Al A’raaf: 27
1
Di antara metode yang diajarkan Alloh ta’ala dan Rasul-Nya kepada kaum mukminin dalam menghadapi kesesatan dan para pelakunya ialah metode tahdzir, yaitu menyebutkan kesalahan dan kesesatan mereka agar masyarakat menyadari akan kesalahan dan jati diri mereka, sehingga mereka tidak terpengaruh dan terperdaya oleh berbagai propaganda dan manisnya .perkataan mereka Untuk sedikit memberikan penjelasan kepada para pembaca tentang metode ini, saya akan sedikit sebutkan tentang beberapa dalil dan keterangan ulama’ Ahlusunnah seputar permasalahan ini. )Bagi yang ingin mendapatkan kejelasan lebih banyak dan lengkap, silahkan baca keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ fatawa jilid 28, dan kitab Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, oleh Dr Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaily. Dan tulisan saya ini, saya sarikan dari kedua kitab )ini :DALIL-DALIL DISYARI’ATKANNYA TAHZIR :Dalil Global Dengan kita merujuk berbagai dalil, baik dari Al Quran atau As Sunnah dan juga keterangan ulama Ahlusunnah, kita dapatkan bahwa upaya melindungi agama masyarakat dengan cara menyebutkan kesalahan pelaku bid’ah atau kemungkaran yang dirasa akan mempengaruhi mereka adalah suatu hal yang diperbolehkan, dan bahkan tindakan ini termasuk salah satu bentuk .pengingkaran terhadap kemungkaran, yaitu pengingkaran dengan lisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata, “Bila seseorang menampakkan perbuatan dosa, seperti tindak kelaliman, perbuatan keji, dan berbagai amalan bid’ah yang jelas-jelas menyelisihi As Sunah, bila ia berani menampakkan kemungkarannya, :maka wajib untuk mengingkarinya sekuat kemampuan kita, sebagaimana sabda Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف اليمان Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya (kekuatannya), jika “ ia tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah(lemahnya iman.“, (Riwayat Muslim).“ (Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 28/219 :Dalil Khusus Banyak sekali dalil-dalil, baik dari Al Quran atau As Sunnah yang menjelaskan akan bolehnya menyebutkan kesalahan seseorang :yang dirasa akan mempengaruhi orang lain atau masyarakat luas. Di antara dalil-dalil tersebut ialah hadits-hadits berikut يا رسول ال: قلت.) فلما دخل ألن له الكلم، (ائذنوا له بئس أخو العشيرة أو ابن العشيرة: استأذن رجل على رسول ال فقال:عن عائشة رضي ال عنها أنها قالت اتقاء فحشه) متفق عليه- إن شر الناس من تركه الناس –أو ودعه الناس، (أي عائشة: ثم ألنت له الكلم؟ قال،قلت الذي قلت Dari sahabat ‘Aisyah radhiallohu ‘anha, ia menuturkan: Ada seorang lelaki yang memohon izin kepada Rosululloh shalallahu “ ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun bersabda: “Izinkanlah untuknya, ia adalah seburuk-buruk kerabat ialah dia, maka ketika ia telah masuk, beliau (Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam) bermanis kata kepadanya.“ Aku pun bertanya: Wahai Rosululloh, engkau telah mengatakan perkataanmu tadi, kemudian engkau bermanis kata kepadanya? Beliau menjawab: “Wahai ‘Aisyah sesungguhnya manusia paling buruk ialah orang yang dijauhi oleh orang lain karena mereka menghindari kata-katanya yang (keji.“ (Muttafaqun ‘alaih :Al Qurthuby mengomentari hadits ini dengan berkata مع جواز مداراتهم اتقاء شرهم ما لم يؤد ذلك إلى المداهنة في،في الحديث جواز غيبة المعلن بالفسق أو الفحش ونحو ذلك من الجور في الحكم والدعاء إلى البدعة ترك الدين لصلح: والمداهنة، وهي مباحة وربما استحبت، أن المداراة بذل الدنيا لصلح الدنيا أو الدين أو هما معا: والفرق بين المدارة والمداهنة..…دين ال تعالى . والنبي إنما بذل له من دنياه حسن عشرته والرفق في مكالمته ومع ذلك فلم يمدحه بقول فلم يناقض قوله فيه فعله.الدنيا Pada hadits ini terdapat petunjuk bolehnya mengghibahi )menyebutkan kesalahan( orang yang menampakkan kefasikan atau” perbuatan keji dan yang serupa dengannya berupa tindak kelaliman ketika memutuskan sesuatu, menyeru kepada perbuatan bid’ah. Sebagaimana ada petunjuk bolehnya bersikap mudaraah )mengambil simpati/sikap bijak( kepada mereka, guna menghindari kejahatannya, selama sikap bijak tersebut tidak sampai menjerumuskan kita kepada sikap mudahanah )menjilat( dalam urusan agama Alloh ta’ala. Dan perbedaan antara sikap bijak dan menjilat ialah sikap bijak adalah mengorbankan sebagian kepentingan duniawi demi menjaga kemaslahatan duniawi lainnya atau kemaslahatan agama atau kedua-duanya, dan sikap ini adalah sikap yang diperbolehkan, bahkan kadang kala dianjurkan. Sedangkan sikap menjilat adalah mengorbankan urusan agama demi mencapai kepentingan duniawi. Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kisah ini hanya mengorbankan dari kepentingan duniawinya untuk orang tersebut berupa sambutan baik dan berlemah lembut ketika berbicara dengannya. Walaupun demikian beliau sama sekali tidak pernah memujinya dengan suatu ucapan apapun, sehingga tidak ada pertentangan antara ucapan )beliau pertama dengan sikapnya.” )Dinukilkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 10/454 Di antara dalil yang menunjukkan akan bolehnya menyebutkan kesalahan ahli bid’ah atau pelaku kemaksiatan demi menjaga kemurnian agama masyarakat ialah kisah sahabat Fathimah binti Qaish ketika meminta nasihat kepada Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang siapakah orang yang paling layak menjadi suaminya? Yaitu ketika datang kepadanya )Fathimah binti Qaish( dua orang sahabat yang sama-sama melamarnya, mereka itu adalah: sahabat Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahem bin Huzaifah semoga Alloh senantiasa meridhai keduanya. Menjawab pertanyaan sahabat Fathimah ini, Rosululloh shalallahu :‘alaihi wa sallam bersabda رواه مسلم.) انكحي أسامة بن زيد.(أما أبو جهم فل يضع عصاه عن عاتقه وأما معاوية فصعلوك ل مال له
2
Adapun Abu Jahm maka ia tidak pernah menurunkan tongkatnya dari bahunya (suka memukul istrinya), dan adapun “ (Mu’awiyyah maka ia adalah orang yang miskin tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.“ (Muslim Bila dalam hadits ini Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kekurangan sahabat Abu Jahm dan Mu’awiyyah kepada wanita yang mereka lamar, padahal kekurangan tersebut bukan berupa kemaksiatan atau perbuatan bid’ah yang pernah mereka lakukan. Maka ini merupakan dalil nyata dan amat kuat bagi diperbolehkannya menyebutkan kesalahan pelamar yang berupa .perbuatan kemaksiatan atau bid’ah Dan bila Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kekurangan keduanya demi kepentingan seorang wanita, maka ini merupakan dalil nyata nan kuat bagi diperbolehkannya menyebutkan kemaksiatan atau bid’ah seseorang yang dirasa mengancam kemurnian agama masyarakat luas, sampai-sampai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa menjelaskan kesesatan ahlul bid’ah dan para penganut paham yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah adalah wajib hukumnya, dan ulama islam telah )menyepakati akan kewajibannya. )Lihat Majmu’ fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 28/231 Imam An Nawawi rohimahulloh berkata: “Ketahuilah bahwa perbuatan ghibah diperbolehkan bila ada tujuan yang dibenarkan secara syariat dan tidak mungkin untuk dicapai melainkan dengan cara ghibah, tujuan yang dibenarkan itu ada enam hal:…..sebab kelima: bila ia menampakkan dengan terang-terangan kefasikan atau bid’ahnya, misalnya orang yang minum khamar di hadapan umum, merampas harta orang, memungut pajak, menarik pungutan terhadap harta orang lain dengan cara lalim, melakukan berbagai kebatilan, maka diperbolehkan untuk disebutkan perbuatan yang ia lakukan dengan terang-terang tersebut, dan tidak boleh untuk disebutkan aibnya yang lain, kecuali bila ada sebab lain yang membolehkan untuk disebutkan selain yang telah kami )jelaskan.” )Riyadhus Shalihin oleh Imam An Nawawy, 529 Ini adalah sekelumit dalil dan keterangan ulama salaf tentang disyariatkannya tahdzir ahlil bid’ah. Dan sekali lagi, bagi yang ingin .mendapatkan keterangan lebih luas dan jelas, silakan membaca kedua kitab yang saya sebutkan di atas Dan saya yakin bahwa kebanyakan ikhwah Salafiyin atau yang pernah mengikuti pengajian-pengajian mereka sering dan sudah cukup banyak mendengarkan penjelasan para ustadz tentang hal ini. Oleh karena itu saya rasa, sudah tidak perlu untuk dijabarkan dengan panjang lebar. Akan tetapi yang saya rasa masih amat perlu untuk didudukkan dan dijelaskan kepada masyarakat, ialah permasalahan syarat dan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan dalam menjalankan syariat ini )mentahdzir pelaku kesalahan atau bid’ah(. Sebab tidak setiap pelaku kesalahan harus di tahdzir dan tidak setiap pelaku bid’ah harus ditahdzir. Dengan kata lain: tahdzir bukanlah sebuah harga mati atau tujuan, akan tetapi lebih tepat sebagai salah satu sarana ingkarul mungkar, dan upaya .preventif dalam menjaga kemurnian agama masyarakat :SYARAT-SYARAT DISYARI’ATKANNYA TAHZIR Sebagaimana telah diketahui dari penjelasan di atas bahwa tahdzir adalah salah satu bentuk ingkarul mungkar yang diajarkan dalam syariat islam, maka sudah barang tentu berbagai persyaratan yang telah dijelaskan oleh ulama’ dalam menjalankan ingkarul :mungkar, juga berlaku dalam menjalankan tahdzir. Persyaratan tersebut ialah Ikhlas .1 Maksudnya, ketika seorang dai hendak menyebutkan kesalahan atau kemaksiatan seseorang, -baik ahli bid’ah atau lainnya yang dirasa akan mengancam kemurnian agama masyarakat- ia benar-benar sadar bahwa maksud dan tujuannya ialah menjalankan kewajiban nasihat kepada umat islam secara umum, agar mereka dapat terhindar dari kesalahan dan bid’ah orang tersebut, serta tidak terperdaya oleh berbagai propaganda pelakunya. Sebagaimana ia juga harus menyingkir jauh-jauh dari niatnya berbagai tujuan lain, baik kepentingan pribadi, dendam, kecemburuan sosial, ikut-ikutan, bumbu ngobrol dll. Karena sesungguhnya tujuantujuan lain ini tidak dapat menjadikan harga diri pelaku kesalahan atau bid’ah halal untuk dibicarakan atau ditahdzir, karena tujuan-tujuan ini tak lain hanyalah kepentingan pribadi, sehingga tindakannya tidak dapat dikatakan sebagai ingkarul mungkar .atau nasihat untuk umat Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Kemudian orang yang menjalankan tahdzir ahlil bid’ah, yang tindakannya itu ia dasari dengan ilmu, ia harus memiliki niat yang baik. Seandainya ia berbicara atas dasar ilmu, akan tetapi karena ingin berbuat kesombongan di muka bumi, atau kerusakan, maka ia bagaikan orang yang berjihad karena dendam golongan dan karena riya’ )ingin pujian(. Dan bila ia berbicara benar-benar karena Alloh ta’ala, penuh dengan ikhlas, maka ia termasuk orang-orang yang )berjuang di jalan Alloh, penerus para Nabi dan Rasul.” )Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/235 Dan pada kesempatan lain beliau juga berkata: “Sebagian orang ada yang menyebutkan kesalahan orang, hanya karena ikut-ikutan dengan rekan semajelisnya, atau sahabatnya, atau keluarganya, padahal ia sendiri tahu bahwa orang yang ia bicarakan terlepas dari apa yang mereka sebut-sebut, atau mungkin saja padanya ada sebagian dari apa yang mereka sebut. Akan tetapi ia merasa bahwa seandainya ia mengingkari perilaku kawannya, niscaya sikapnya itu akan mengacaukan jalannya majelis, atau mereka akan marah dan menjauhinya. Oleh karena itu ia beranggapan bahwa ikut-ikutan dengan mereka adalah bagian dari tuntutan dari pergaulan yang baik, dan persahabatan yang mulia. Kadang kala mereka marah, maka ia pun jadi marah, karena mengikuti .kemerahan mereka, sehingga ia pun hanyut bersama mereka Dan di antara mereka ada yang mengemas perbuatan ghibahnya dengan berbagai kedok, kadang kala ada yang menampakkannya dalam bentuk kebaikan atau amal shaleh, sehingga ia berkata: Aku tidak biasa untuk menyebutkan seseorang kecuali dengan kebaikan, dan aku tidak suka dengan perbuatan ghibah juga perbuatan dusta, yang aku lakukan hanyalah mengabarkan kepada kalian jati diri orang tersebut, kemudian ia pun berkata: Sungguh demi Alloh dia itu kasihan sekali, atau orangnya baik, akan tetapi padanya ada hal demikian-demikian. Dan kadang kala ia berkata: Janganlah sebut-sebut dia, semoga Alloh mengampuni kita dan dia. Padahal tujuannya hanyalah untuk meremehkan orang tersebut dan melecehkannya. Mereka mengemas perbuatan ghibah dalam bentuk amal shaleh dan perbuatan baik. )Yang terjadi sebenarnya adalah( mereka itu sedang berupaya mengelabui Alloh, sebagaimana mereka sedang berupaya mengelabui manusia……..Dan di antara mereka ada yang mengemas perbuatan
3
ghibahnya dalam bentuk kemarahan, ingkarul mungkar, sehingga dalam permasalahan ini muncul berbagai kata-kata indah nan )manis, padahal maksudnya berbeda dengan apa yang ia nampakkan.” )Idem, 28/237-238 Saya yakin, bila kaum muslimin yang ada di negeri kita Indonesia, dan Salafiyin secara khusus sudi untuk sedikit mawas diri, dan kembali mengoreksi niat masing-masing ketika hendak menyebutkan kesalahan dan kekhilafan saudaranya, niscaya kejadian yang terjadi di masyarakat tidak seperti yang sekarang dikeluhkan oleh banyak pihak. Karena keimanan dan ketakwaan kita masih terlalu rendah dan lemah untuk bisa senantiasa ikhlas dalam setiap perbuatan dan ucapan, apalagi bila berkaitan dengan menyebutkan kesalahan orang yang tidak sepaham dengan kita, atau pernah berseberangan kepentingan dengan kita. Semoga Alloh melimpahkan kerahmatan dan maghfirah-Nya kepada kita semua, dan semoga kita dibimbing Alloh agar dapat ikhlas dalam .setiap ucapan dan sikap yang kita lakukan Kesalahan Orang Tersebut Dilakukan Dengan Terang-Terangan .2 Bila pelaku kesalahan atau bid’ah melakukan bid’ahnya dengan sembunyi-sembunyi, maka tidak boleh ditahdzir, atau dibongkar kesalahannya di hadapan umum. Karena tahdzir adalah salah satu bentuk ingkarul mungkar, dan ingkarul mungkar dengan cara .seperti ini tidaklah dilakukan kecuali bila kemungkarannya dilakukan dengan cara terang-terangan Imam Al Auza’i berkata: “Dan dahulu ulama salaf amat keras ucapannya terhadap ahlul bid’ah, dan hati mereka membencinya, serta mereka senantiasa memperingatkan masyarakat dari bid’ah mereka. Seandainya mereka melakukan bid’ahnya dengan sembunyi-sembunyi, maka tidak boleh bagi siapa pun untuk menyingkap tabir yang menutupi mereka, atau menyebarkan aib mereka. Alloh-lah yang berhak untuk menghukumi mereka atau mengampuni mereka. Adapun bila mereka telah berterangterangan dengan bid’ahnya, gencar menyebarkan bid’ahnya, pengikutnya pun telah banyak, maka menebarkan ilmu adalah kehidupan, dan menyampaikan sunnah Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah kerahmatan, yang dengannya kita berlindung dari kejahatan setiap orang yang menyeleweng lagi nekat.” )Diriwayatkan oleh Ibnu Waddhah dalam kitabnya Al )Bida’ wan Nahyu ‘anha, dengan perantaraan kitab Mauqif Ahlis Sunnah, oleh Dr. Ibrahim Ar Ruhaily 2/507 Ibnu Taimiyyah juga berkata: “Barang siapa yang menampakkan kemungkaran, maka wajib untuk diingkari, dijauhi dan dicela karenanya. Dan inilah maksud dari ucapan ulama: “Barang siapa telah mencampakkan jilbab rasa malu, maka tidak ada lagi ghibah baginya”, beda halnya dengan orang yang menutup-nutupi dosanya dan ia lakukan dengan bersembunyi, maka orang semacam ini harus ditutupi, akan tetapi tetap harus dinasihati dengan cara tersembunyi, dan hendaknya orang yang kenal dengannya, memboikotnya, hingga ia benar-benar bertaubat, dan perbuatannya tersebut disampaikan )kepada orang yang dapat )menasihatinya( dengan cara yang selaras dengan maksud dari nasihat.” )Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 28/220 .Sebagaimana telah berlalu nukilan dari ucapan Imam An Nawawi yang semakna dengan ucapan kedua ulama di atas Bila persyaratan ini kita terapkan pada berbagai kasus tahdzir yang terjadi di negeri kita Indonesia, maka saya rasa masih banyak dari saudara-saudara kita yang kurang mengindahkannya. Sebagai salah satu buktinya, sering kita mendengar ucapan yang terlalu jauh menembus batasan gaib, sampai-sampai mulai membicarakan tentang niat dan tujuan orang lain. Misalnya ucapan sebagian dari kita yang menyifati sebagian saudaranya dengan ucapan: “menjilat para donatur”, “menggunting dalam lipatan”, hingga .tuduhan kepada saudaranya sesama muslim, sebagai seorang munafik, dan ucapan-ucapan yang serupa Pelaku Kesalahan Tersebut Masih Hidup .3 Bila pelaku bid’ah atau kesalahan telah meninggal dunia, maka tidak boleh bagi kita untuk mengungkit-ungkit kesalahannya, atau :menyebut-nyebut amalan bid’ahnya, atau mencelanya, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda (ل تسبوا الموات فإنهم قد أفضوا إلى ما قدموا) رواه البخاري Janganlah kamu mencela orang-orang yang telah meninggal dunia, karena mereka telah mendapatkan balasan apa yang telah “ (mereka kerjakan.“ (HR Bukhori Hikmahnya ialah, orang yang telah meninggal dunia sudah tidak dikhawatirkan lagi akan dapat merusak agama masyarakat. Oleh karena itu bila seorang pelaku bid’ah meninggalkan kitab atau karya tulis yang dapat dibaca oleh orang lain atau pengikut yang menyebarkan ajarannya, maka kita tetap masih diperbolehkan untuk menyebutkan kesalahannya, demi menjaga kemurnian agama masyarakat, dan agar mereka tidak terpengaruh oleh buku-bukunya atau pengikutnya yang mengajarkan kebid’ahan yang pernah .ia ajarkan Al Qarafi Al Maliky berkata: “Orang sesat yang telah meninggal dunia, sedangkan ia tidak meninggalkan pengikut yang mengagungkannya, juga tidak kitab-kitab yang dapat dibaca, juga tidak hal lain yang dikhawatirkan akan merusak agama orang lain, maka hendaknya ia ditutup-tutupi )tidak disebut-sebut kesalahannya( sebagaimana Alloh ta’ala telah menutupinya, dan hendaknya tidak pernah lagi disebut-sebut kesalahannya, sedangkan pertanggung jawaban atas amalannya adalah terserah kepada )Alloh.” )Al Furuq, oleh Al Qarafy, 4/208 Jujur dan Obyektif Ketika Menyebutkan Kesalahan Orang .4 Hendaknya ketika menjalankan tahdzir, kita senantiasa bersikap adil dan obyektif, sehingga kesalahan yang disebutkan benarbenar ada pada orang yang sedang kita tahdzir. Dan hendaknya tidaklah disebutkan kecuali kesalahan yang menjadikan orang lain :menjauhinya. Hal ini berdasarkan firman Alloh ta’ala ل َتعْدِلُواْ اعْ ِدلُواْ ُهوَ َأقْ َربُ لِل ّت ْقوَى ّ علَى َأ َ ٍشنَآنُ َقوْم َ ْسطِ َولَ يَجْ ِر َمنّكُم ْ ِشهَدَاء بِا ْلق ُ ِيَا َأيّهَا الّذِينَ آ َمنُو ْا كُونُواْ َقوّامِينَ لِّله Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Alloh, menjadi “ saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
4
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh maha (Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“ (QS Al Maaidah: 8 Adapun menuduh ahlul bid’ah atau pelaku kesalahan dengan hal yang tidak ada padanya, baik perbuatan bid’ah lainnya atau kesalahan lainnya, maka perilaku ini termasuk perbuatan buhtan/kedustaan, sebagaimana disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi :wa sallam (إن لم يكن في أخيك ما تقول فقد بهته) رواه مسلم (Bila apa yang engkau sebut tidak ada pada diri saudaramu, maka berarti engkau telah berdusta atas namanya.“ (HR Muslim “ Dan perbuatan dusta )buhtan( tidak pernah diizinkan dalam syariat, baik berkenaan dengan Ahlusunnah ataupun ahlul bid’ah, karena perbuatan ini termasuk kezaliman dan kezaliman adalah perbuatan haram yang tidak pernah diizinkan apalagi dihalalkan, .dalam keadaan apapun Persyaratan ini adalah salah satu persyaratan yang paling sering dilupakan oleh sebagian dari kita, sehingga sering kali kita mendengar ucapan yang berupa tuduhan kosong: “Fulan menerima dana dari yayasan tertentu, bahkan sampai berenangrenang di lautan dinar“ padahal ketika ucapan ini ia ucapkan, ia hanya berdasarkan isu, sehingga ia tidak mampu mendatangkan buktinya. Ada lagi yang berkata: “Kebanyakan mahasiswa Madinah (Jami’ah Islamiyyah) terutama yang masuk program pasca sarjana, berhasil diterima di program tersebut adalah berkat bantuan hizbiyyun, sururiyyun dll“. Padahal saya yakin ini hanya .bualan dan mimpi di siang bolong belaka, dan pelakunya tidak akan mampu mendatangkan bukti otentik tentangnya Ada lagi yang berkata: “Fulan adalah seorang surury, harus dijauhi, dan tidak boleh ditimba ilmu darinya“ atau bahkan: “Fulan adalah termasuk da’i yang mengikuti hawa nafsu, karena mengajar di sekolahan tertentu“, akan tetapi ia tidak menyebutkan satu .bukti pun yang dapat dibenarkan Mungkin ada yang berseloroh dan berkata: Ah itu kan hanya terjadi pada beberapa orang saja, dan hanya beberapa kali saja! Maka jawabannya: kejadian ini bukan hanya sekali, akan tetapi telah terulang berpuluh-puluh kali, dan menimpa berpuluh-puluh .da’i Untuk sedikit membuktikan kepada pembaca, maka saya merasa perlu untuk mengungkit permasalahan yang telah mulai dikubur oleh para pelakunya, yaitu permasalahan jihad di Ambon, berapa banyak orang yang ditahdzir, dan diklaim telah keluar dari manhaj salaf, karena tidak setuju mengatakan bahwa jihad di sana adalah fardhu ‘ain hukumnya? Akan tetapi setelah terbukti bagi para pelakunya, bahwa tindakan mereka tidak selaras dengan fatwa ulama termasuk fatwa ulama yang mewajibkan jihad di sana, adakah perubahan sikap terhadap da’i-da’i yang telah menjadi korban mereka?! Adakah pelurusan sikap terhadap kesalahan tahdzir yang terlanjur mereka kumandangkan!? Adakah pengakuan bahwa tahdzir yang di dasari perbedaan pendapat dalam hal jihad tersebut tidak benar? Apa lagi pengakuan bahwa sebagian dari mereka telah berbuat kejahatan besar, yaitu menyembunyikan .fakta dan fatwa ulama lain yang jelas-jelas menyelisihi apa yang mereka amalkan Bukti selanjutnya: Berapa banyak da’i-da’i yang telah menjadi korban tahdziran sebagian kita, akan tetapi ternyata di kemudian hari terbukti bahwa yang mentahdzir dan yang ditahdzir sama-sama tidak paham atau salah paham tentang manhaj ulama .Ahlusunnah dalam hal tahdzir, dan sama-sama hanya berdasarkan isu dan kabar burung Di antara buktinya: Betapa banyak ikhwah du’at yang ditahdzir karena mereka mengambil dana yang disalurkan oleh sebagian yayasan sosial yang dipermasalahkan oleh sebagian ulama. Akan tetapi giliran dana tersebut, dan dari sumber yang sama, mengalir kepada dirinya dan kelompoknya, maka ia bungkam seribu bahasa, bahkan bukan hanya dari yayasan islam yang bermasalah, akan tetapi dari dukun sekalipun tidak pernah ia dan para pendukungnya permasalahkan. Mungkinkah manhaj salaf yang mereka anut dan yakini membenarkan standar ganda semacam ini?! Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang .telah masyhur di masyarakat Dan sudah barang tentu ini adalah amat memilukan bagi seorang da’i yang mengaku bermanhaj salaf, apalagi sampai menobatkan .dirinya sebagai Ahlil jarh wat ta’dil. La haula wala quwwata illa billah حلية. الغضب في غير شيء والكلم في غير نفع والعظة في غير موضعها وإفشاء السر والثقة بكل أحد ول يعرف صديقه من عدوه:ست خصال يعرف بها الجاهل الولياء Ada enam perangai, yang dengannya kita dapat mengenali orang bodoh: marah tanpa sebab, berkata-kata yang tidak ada” manfaatnya, menyampaikan peringatan tidak pada tempatnya, membocorkan rahasia, senantiasa percaya kepada setiap orang, )dan tidak dapat mengenali kawan dari lawannya”. )Hilyatul Auliya’, oleh Abu Nu’aim Al Asbahani 10/217 Tahdzir Dilakukan Seperlunya .5 Telah disampaikan di atas bahwa tujuan tahdzir ialah melindungi kemurnian agama masyarakat dari pengaruh bid’ah atau kesalahan seseorang. Maka bila tujuan ini telah tercapai dengan cara menyebutkan sebagian dari kesalahan orang tersebut, dan dengannya masyarakat telah terlindungi, dan tidak ada yang terpengaruh dengannya, maka kita tidak boleh melampaui batasan tersebut, dengan cara menyebut-nyebut kesalahan-kesalahan lain yang tidak dirasa perlu. Sebab Hukum asal menyebutkan kesalahan orang lain ialah haram, karena itu termasuk perbuatan ghibah, akan tetapi diperbolehkan karena adanya kepentingan dalam agama atau dunia dan dengan berbagai syarat di atas, maka bila kepentingan ini telah tercapai, maka selebihnya kembali :kepada hukum asal yaitu haram. Hal ini berdasarkan kaidah dalam ilmu fiqih الضرورات تقدر بقدرها
5
.“Suatu darurat itu harus diukur sesuai dengan kadarnya “ :Dan sikap melampaui batas adalah salah satu hal yang diharamkan dalam syariat islam, dan dibenci oleh Alloh ta’ala َحبّ ا ْل ُم ْعتَدِين ِ ُل ي َ َولَ َت ْعتَدُواْ إِنّ اللّ َه Janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.“ (QS Al Baqoroh: “ (190 Oleh karena itu Ibnu Taimiyyah berkata: “Hendaknya orang yang menunaikan nasihat itu tujuannya adalah agar Alloh memberi petunjuk kepada orang tersebut, dan melindungi kaum muslimin dari gangguannya, baik dalam hal agama ataupun dunia mereka. )Dan hendaknya tujuan ini ditempuh melalui jalan termudah yang dapat dilakukan.” )Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 28/221 Oleh karena itu kita tidak dapatkan ulama-ulama kita senantiasa membicarakan kesalahan Ahlul Bid’ah dalam setiap kesempatan dan majelis. Beda halnya dengan sebagian kita yang menjadikan pembicaraan ini sebagai bumbu majelis, dan pengajian, bahkan dengan cara-cara yang jelas-jelas melampaui batas, misalnya dengan melontarkan berbagai julukan-julukan yang tidak ada .dasarnya, misal: julukan munafik, pengkhianat, penjilat, tukang macul dll Permasalahan yang Menjadi Penyebab Ia Ditahdzir Benar-Benar Kesalahan .6 Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa hukum asal ghibah )menyebutkan kesalahan dan kekurangan( orang muslim adalah haram. Dan diperbolehkan karena ada kepentingan dalam urusan agama atau dunia serta dengan berbagai syarat di atas. Oleh karena itu hukum asal dari perbuatan ini tidak akan berubah hanya karena kesalahpahaman atau perbedaan pendapat belaka. .Atau perbedaan tempat belajar atau guru ngaji atau yang serupa Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak dibenarkan bagi siapa pun untuk menggantungkan pujian, celaan, rasa cinta, kebencian, loyal, permusuhan, doa, dan kutukan dengan selain nama-nama yang telah Alloh gantungkan dengannya. Misalnya nama-nama kabilah, kota, mazhab, metode belajar yang dinisbatkan kepada para guru )syaikh( dan imam atau yang serupa yang tujuannya adalah :untuk membedakan, sebagaimana firman Alloh ta’ala ٌخبِير َ ٌشعُوبا وَ َقبَائِلَ ِلتَعَارَفُوا إِنّ َأكْ َرمَكُمْ عِندَ اللّهِ َأ ْتقَاكُمْ إِنّ اللّهَ عَلِيم ُ ْجعَ ْلنَاكُم َ َيَا َأّيهَا النّاسُ ِإنّا خََل ْقنَاكُم مّن َذكَرٍ وَأُنثَى و Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita, dan menjadikan kamu “ berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Alloh adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.“ (QS Al Hujuraat: 13). Oleh karena itu menyebutkan zaman, nama-nama keturunan, perwalian, negeri, menisbatkan diri kepada seorang ulama atau syaikh tujuannya hanyalah untuk kenal mengenali, agar ia dapat dibedakan dari lainnya. Adapun pujian, celaan, kecintaan, kebencian, loyal, dan permusuhan, hanya boleh dilakukan karena hal-hal yang telah Alloh jelaskan, dan penjelasan Alloh adalah kitab-Nya. Sehingga barang siapa yang beriman, maka wajib untuk diloyali, dari golongan manapun ia berasal, dan siapa pun yang kufur, maka wajib untuk )dimusuhi, dari golongan manapun ia berasal.” )Idem, 28/227-228 Hal ini tentu bertentangan dengan perilaku sebagian da’i yang mentahdzir orang lain hanya karena ia berasal dari daerah tertentu, atau dari sekolahan tertentu, atau karena pernah belajar dengan ulama tertentu, atau sekolahan tertentu, tanpa melihat fakta dan kenyataan yang ada padanya. Sehingga hal ini membingungkan banyak kalangan, sampai-sampai banyak orang yang mengatakan: sebenarnya antara yang ditahdzir dan yang mentahdzir tidak ada perbedaan, yang diajarkan juga sama, dan ulama yang dijadikan .panutan juga sama Di antara pengalaman yang pernah saya saksikan sendiri di hadapan Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali hafizhohulloh, ketika ada beberapa asatidzah Salafiyin yang berkunjung ke rumah beliau, dan hadir pula di majelis tersebut beberapa mahasiswa Jami’ah Islamiyyah termasuk penulis sendiri juga hadir. Ketika Syaikh Muhammad mempertanyakan sebab terjadinya kerenggangan antara asatidzah yang datang dengan beberapa mahasiswa Jami’ah Islamiyyah, maka sebagian dari asatidzah tersebut menjawab: “Wahai syaikh, mereka ini, yaitu para mahasiswa yang masih belajar di Jami’ah Islamiyyah, ketika berlibur ke tanah air, tidak ada yang berkunjung ke rumah saya.“ Mendengar jawaban ini, syaikh Muhammad Al Madkhaly terkejut dan .bingung, apakah hanya karena permasalahan ziarah-menziarahi, antum saling tahdzir dan saling memusuhi? Subhanalloh Ini adalah salah satu contoh nyata yang pernah saya saksikan sendiri dan langsung di hadapan seorang syaikh salafy. Maka :kejadian-kejadian serupa yang tak kalah serunya, saya yakin banyak terjadi, dan di antaranya Mungkin sebagian ikhwah ada yang masih ingat bahwa ada sebagian da’i yang ditahdzir hanya karena perbedaan pendapat dalam metode menentukan awal bulan dalam islam, apakah harus mengikuti penentuan yang dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia )pendapat satu mathla’/tempat terbitnya bulan(, ataukah boleh mengikuti penentuan pemerintah setempat? Padahal yang benar menurut seluruh ulama zaman sekarang ialah masing-masing masyarakat suatu negeri harus mengikuti keputusan pemerintahnya, agar tidak menimbulkan perpecahan di masyarakat, walaupun menurut sebagian mereka: yang ideal adalah seluruh umat islam di seluruh belahan bumi berpuasa secara serempak dan bersamaan. Untuk membuktikan ucapan ini, silahkan baca Fatawa Al Lajnah .Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia, dan juga Tamamul Minnah oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Al Bany Yang lebih ironis, sikap membabi buta ini sampai-sampai menjadikan banyak da’i berusaha menutup-nutupi keterangan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam kitabnya Tamamul Minnah, yang menjelaskan kewajiban mengikuti keputusan .pemerintah masing-masing
6
Dan sebagian da’i ada yang menjadikan tempat belajar/sekolahan sebagai standar dalam mentahdzir seseorang. Sehingga sebagian mereka sampai merasa perlu untuk mentahzir Islamic University of Madinah )Al Jami’ah Al Islamiyyah(, yaitu dengan menyatakan bahwa Universitas ini telah dikuasai oleh ahlul bid’ah, sehingga sudah tidak layak lagi untuk menimba ilmu di sana. Ini adalah suatu amalan hina yang tidak pernah dilakukan oleh seorang ulama’ pun, dan sebagai buktinya, hingga saat ini masih terlalu banyak ulama Ahlusunnah yang menjadi dosen dan tenaga pengajar di Universitas ini, sebagai contohnya: Syaikh Abdul .Muhsin Al ‘Abbad, Sholeh As Suhaimy, Muhammad bin Hadi Al Madkhaly, Dr. Ibrahim Ar Ruhaily dan lain-lain Yang lebih ironis lagi bila yang melakukan tahdziran ini adalah salah seorang alumni Al Jami’ah Al Islamiyyah itu sendiri, dan tahdziran ini ia ucapkan tak lama dari kelulusannya dari Universitas tersebut. Kenyataan pahit ini, menjadikan sebagian orang bertanya-tanya: sebenarnya tahdzir itu apa? Apakah benar tahdzir itu merupakan tuntutan dan bagian dari dakwah salaf, ataukah :hanya sekedar tumbal seorang da’i yang sedang mencari sensasi, seperti dalam pepatah Arab خالف تعرف “tampillah beda, niscaya engkau akan terkenal “ Dan di antara salah satu bentuk penyelewengan yang pernah terjadi ialah adanya seorang da’i yang mentahdzir orang lain, dengan ucapannya: “Fulan itu tukang macul (nyangkul)“. Subhanalloh, layakkah suatu pekerjaan yang mulia dan halal dijadikan !?sebagai bahan memperolok-olokkan orang lain, bahkan bahan untuk mentahdzir seorang da’i Karena kerancuan berpikir sebagian da’i tentang masalah ini, sehingga bila kita membaca daftar ustadz-ustadz yang ditahdzir )harus dijauhi dan diwaspadai( niscaya kita dapatkan bahwa alasan dimasukkannya mereka ke dalam daftar tersebut hanyalah dakwaan: Fulan adalah link/jaringan yayasan tertentu, atau berkawan dengan orang tertentu. Seakan-akan kesalahan yayasan tersebut atau orang tersebut merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri lagi, bak iblis atau Abu Jahl, atau Jahm bin Shofwan, tokoh ahli bid’ah lainnya, yang nyata-nyata sesat, dan telah disepakati kesesatannya. Ini mengisyaratkan bahwa sebenarnya penulis daftar kelam tersebut kekurangan atau bahkan mungkin tidak memiliki bukti yang autentik tentang kesalahan .)ustadz-ustadz tersebut )terkecuali sebagian kecil Semoga dari sekelumit penjelasan tentang manhaj Ahlusunnah wal Jamaah ini, saya mengharapkan para pembaca sedikit mendapatkan kejelasan dan keterangan, sehingga dapat membedakan antara tahdzir yang merupakan tuntutan dakwah dari tahdzir yang merupakan tumbal sensasi seorang da’i. Dan semoga Alloh senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua dan .menjaga kita dari pengaruh godaan hawa nafsu dan berbagai fitnah ختُلِفَ فيه من الحق ْ ا ْه ِدنَا ِلمَا ا،ختَِلفُون ْ َعبَادِك فيما كانوا فيه ي ِ حكُمُ بين ْ أنتَ ت، عالمَ الغيبِ والشّهادة،ِاللهم ربّ جبرائيلَ وميكائيلَ وإسرافيلَ فاطَر السّماواتِ والرض وآخر دعوانا أن الحمد ل رب، وال أعلم بالصّواب. وصلى ال وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين.بإِ ْذ ِنكَ؛ إنّك َتهْدِي من تَشَاء إلى صراط مستقيم .العالمين Ya Alloh, Tuhan malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Zat Yang telah Menciptakan langit dan bumi, Yang Mengetahui hal yang gaib “ dan yang nampak, Engkau mengadili antara hamba-hambamu dalam segala yang mereka perselisihkan. Tunjukilah kami –atas izin-Mu- kepada kebenaran dalam setiap hal yang diperselisihkan, sesungguhnya Engkaulah Yang menunjuki orang yang Engkau kehendaki menuju kepada jalan yang lurus. Sholawat dan salam dari Alloh semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Dan Alloh-lah Yang Lebih Mengetahui kebenaran, dan akhir dari setiap doa .“kami adalah: “segala puji hanya milik Alloh, Tuhan semesta alam .Madinah, 08 Muharram 1427 H - 7 Februari 2006 M
7