Detective Files.txt

  • Uploaded by: Asri L
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Detective Files.txt as PDF for free.

More details

  • Words: 52,325
  • Pages: 98
File 1 Misteri Hotel Merkuri PELATARAN hotel Merkuri di Jakarta Utara yang terletak di kawasan Ancol siang itu penuh sesak kerumunan. Para warga dan jurnalis berkerumun berjejalan. Sekuriti hotel tidak dapat berbuat banyak, hanya mengawasi dari lobi. Beberapa polisi yang mengatur kerumunan nampak kewalahan. Gerimis tipis yang menyelimuti kota Jakarta Utara sejak pagi tidak menyurutkan animo warga di sekitar Ancol. Rasa penasaran dari berita yang beredar santer di media jejaring sosial dan ponsel: seorang pria tewas mengenaskan akibat kutukan Ancol! Kali ini berita kutukan Ancol disertai foto-foto heboh. Sebagian disensor, sebagian tanpa sensor. Sensasi 'Kutukan Ancol' pun terlahir dari media. Kutukan Ancol, tulis media, segera menjadi topik hangat di jejaring sosial. Penghuni hotel yang menyebarkan berita dan foto-foto mayat korban. Foto-foto korban yang diambil salah seorang penghuni hotel yang menjadi saksi. Foto-foto yang mendirikan bulu tengkuk bagai mimpi buruk. Warga segera menghubungkan dengan hal mistis. Benarkah karena kutukan di Ancol? Siapa yang tidak mengenal hotel Merkuri? Hotel di kawasan Ancol itu terkenal karena angker. Hotel yang awalnya bernama hotel Harrison itu berganti nama menjadi Merkuri demi ‘buang sial’, namun kesialan seakan masih melekat di sana. Bekas salah satu vila gubernur Hindia Belanda abad ke-17 itu direnovasi tahun 1997 dan diperluas menjadi gedung hotel yang terdiri dari 444 kamar. Renovasi berakhir dua tahun kemudian. Fisik gedung yang ramping menjulang terdiri dari empat lantai. Seringkali terjadi kejadian mistis. Termasuk penampakan hantu wanita cantik legendaris yang terkenal sebagai Si Manis Jembatan Ancol. Dari kasus mutilasi hingga kasus bunuh diri dengan cara melompat dari balkon kamar lantai tiga pernah terjadi di hotel itu. Pemilik hotel menutup beberapa kamar yang sering terjadi kasus serupa, bahkan mengubah nama hotel dan manajemen. Namun, hotel yang memiliki restoran, bar, tempat fitnes, lapangan tenis dan gedung serba guna itu tidak pernah sepi pengunjung. Pengunjung yang datang justru karena ingin mengetahui kebenaran kisah gaib itu. Turis Belanda sering berkunjung. Lukisan-lukisan keluarga gubernur dan gaya bangunan dipertahankan dari aslinya menarik minat mereka. Namun, keangkeran hotel Merkuri menjadi daya tarik sendiri bagi sebagian orang. Dan merupakan kisah yang diburu beberapa media tertentu. Petugas hotel yang pertama kali menemukan mayat korban. Ia membuka pintu kamar korban memakai kunci cadangan. Dari ambang pintu ia melihat sesosok mayat yang terlentang di atas ranjang. Ia segera menghubungi polisi memakai ponselnya. Sebelum polisi datang, beberapa penghuni hotel menguji nyali mereka. Terdorong rasa penasaran, mereka berkerumun di depan kamar korban. Beberapa diantaranya bahkan masuk ke dalam kamar. Petugas hotel tidak berdaya mencegah mereka. Warga dan jurnalis yang berdatangan bahkan rela berdesakan demi mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Mereka mendapat informasi dari penghuni hotel. Mendung tipis menggelayut di atas langit. Menambah suram siang itu. Hari itu seperti awal dari sebuah mimpi buruk yang beranjak nyata. Seorang pria ditemukan tewas mengenaskan di lantai satu kamar hotel nomor 96. Kematian yang tidak wajar karena mayat korban mengering. Penghuni hotel yang baru itu ditemukan telah membusuk hanya semalam. Kulitnya melepuh dan memucat, dehidrasi, kehabisan cairan tubuh. Darah yang keluar dari sembilan lubang di tubuhnya beraroma tidak sedap. Darah hitam merembes ke celana korban. Membasahi sprei ranjang dan menetes ke lantai yang tertutup karpet di bawahnya. Membentuk genangan besar seperti jurang gelap di samping ranjang. Aroma kematian menyesakkan udara di dalam kamar. Seakan terperangkap untuk selamanya. Memenuhi ruang koridor dan menyusup ke kamar-kamar di sebelahnya. Salah seorang penghuni hotel yang pertama melapor. Pria Prancis, Jean Pierre. Pria berumur tiga puluhan itu mengendus aroma tidak sedap ketika melewati depan pintu kamar korban. Kamarnya berada di tepat sebelah korban, nomor 97. Ia segera melapor ke meja resepsionis. Bau bangkai manusia, berbau lebih menyengat. Laporan lain datang pada waktu yang bersamaan dari seorang penghuni wanita

berpenampilan kantoran, Claudita. Kamarnya tepat berada di depan kamar korban, kamar nomor 46. Wanita berumur sekitar dua puluhan itu mengeluhkan aroma tidak sedap di dalam kamarnya. Namun, ia tidak tahu dari mana datangnya. Ia menelepon resepsionis memakai telepon di kamar hotelnya. Dini hari kedua pelapor itu segera check out dari hotel. Padahal baru semalam mereka menginap. Manajer hotel Merkuri mengembalikan uang muka yang telah mereka bayar dan meminta maaf sembari menyerahkan kembali KTP dan paspor mereka. Polisi beserta tim forensik tiba lima belas menit setelah petugas hotel melaporkan kejadian itu. Mereka terlambat tiba di lokasi yang telah dijejali warga dan jurnalis dari berbagai media. Sebuah sedan patroli polisi mengawal mobil bertuliskan huruf kapital forensik. Mereka bergerak perlahan di antara kerumunan warga yang tumpah-ruah di pelataran hotel. Polisi anti huru-hara diterjunkan untuk menutup akses ke dalam hotel. Perlahanlahan kerumunan warga mulai terurai. Polisi melarang warga dan jurnalis berada di dalam hotel. Karena akan mengganggu jalannya proses evakuasi dan identifikasi. Bersama petugas hotel dan manajer hotel mereka melangkah panjang-panjang menuju kamar korban. Langkah kaki mereka berderap-derap di lantai koridor hotel. “Lewat sini, Pak!” Roomboy menunjukkan kamar korban sembari menutup hidung dengan jemari. “Kamar nomor 96 di ujung. Dekat tangga.” Pintu kamar korban terbuka lebar. Dari depan ambang pintu kamar dapat terlihat keadaan di dalam kamar. Polisi pertama hendak masuk, namun tiba-tiba ia membeku di depan ambang pintu. Sesaat kemudian polisi itu berbalik. “Mundur… jangan mendekat!” Polisi itu mengurungkan niat masuk ke dalam kamar. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan saputangan lalu membekap hidungnya. Namun, aroma kematian terlanjur terhirup masuk ke dalam pernapasannya. Ia merasakan belakang kepalanya terasa berat. Wajahnya memucat. Perutnya bergolak. Ia tidak berani mendekati mayat. Seumur hidupnya ia tidak pernah melihat kejadian mengerikan semacam itu. Tangannya melambai kepada rekannya agar tidak masuk ke dalam kamar. Suaranya bergetar, “Aduh, mengerikan….” “Ada apa?!!” sergah rekan polisi itu heran. Ia melangkah mendahului rekannya. Ia tidak percaya sebelum melihat dengan mata kepala sendiri. Setelah melongok ke dalam kamar, akhirnya polisi kedua juga melangkah mundur. Kini wajahnya sepucat rekannya. Keadaan mayat mengenaskan. Ditambah bau busuk yang menyengat hanya dalam semalam! Sekuriti hotel yang mengawal polisi tiba-tiba ambruk di lantai koridor. Beberapa penghuni hotel yang berada di belakang ikut ambruk. Ponsel yang digunakan untuk mengambil gambar dan merekam kejadian itu terlempar jatuh ke lantai berkarpet. Gejala yang sama nampak ketika hidung mereka berdarah dan wajah memucat. Rasa penasaran yang harus dibayar mahal. Resepsionis yang mengantar polisi menjerit ketakutan. Ia terjatuh terduduk di lantai. Lengannya bertumpu pada tembok. Manajer hotel, seorang wanita muda, bahkan lari ketakutan ke tangga, padahal ia belum melihat mayat korban secara langsung, hanya dari foto yang diperlihatkan di media jejaring. “Jangan mendekat!!” Polisi yang berada di depan terlihat waspada. Ia menyadari sesuatu. Ia berlari ke ujung koridor lalu merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. “Segera kirim pakaian pelindung dan masker, Pak! Diduga mayat korban menularkan penyakit….” Kemudian polisi itu merasakan cairan keluar dari hidungnya. Ia menyadari cairan itu adalah darah. Polisi segera mengevakuasi penghuni hotel yang berada di sepanjang koridor. Hari itu kamar di lantai satu hanya berisi beberapa penghuni. Mereka dimintai keterangan di lobi. Polisi memperingatkan agar mereka pindah ke kamar di lantai dua. Roomboy hotel nampak lemas di sudut koridor. Hidungnya mimisan, cairan darah mengalir ke bibirnya. Jemarinya menyentuh cairan di bibirnya. Wajahnya memucat ketika melihat darah di jemarinya. “Kutukan Ancol… kutukan Ancol!” racaunya.

Pandangannya kosong. Remaja berusia belasan tahun bernama Heri itu baru tiga minggu magang di hotel Merkuri. Ia sedang menunggu pergantian shif ketika kasus itu terjadi. Beberapa penghuni hotel yang berada di dekat kamar korban merasa pusing dan mual. Mereka mengusap dada mereka yang sesak. Suara-suara panik orang-orang terdengar dari sekitarnya: “Segera panggil ambulan!!” “Telat!! Bawa ke rumah sakit!!” “Pakai mobil gue!” “Hei, hati-hati kalian bisa tertular!” Seluruh penghuni kamar di sepanjang koridor lantai satu telah meninggalkan kamar hotel. Mereka tidak ingin tertular penyakit misterius dari mayat korban. Ditengarai mayat korban menularkan penyakit infeksi ke manusia dan hewan di sekitarnya. Masih belum jelas kematian yang menimpa korban. Korban yang tertular satu per satu dibawa ke rumah sakit terdekat. Karena masih misteri, mereka menamakannya ‘Kutukan Ancol'. Mistis adalah sebuah jalan pintas yang mudah untuk melewati hal yang masih misterius; yang belum mampu dijangkau nalar. Kabar kematian yang tidak wajar itu segera beredar dari satu ponsel ke ponsel lain. Media televisi menyiarkan secara live kehebohan di depan hotel. Garis polisi mulai dipasang di koridor lantai pertama untuk mencegah agar tak ada kru media atau penghuni hotel yang nekat menerobos masuk. Apalagi yang sekadar penasaran atau berfoto di dekat garis polisi. Sementara menunggu pakaian pelindung dan masker datang dari rumah sakit terdekat, tim dari kepolisian mengorek informasi dari saksi mata dan resepsionis hotel. Namun, tak banyak informasi yang bisa disampaikan. Lima menit kemudian, ambulan membawa beberapa set pakaian pelindung dan masker. Pakaian terusan sekali pakai berbahan plastik sekali pakai. Petugas forensik yang berada di lokasi mulai mengenakan pakaian pelindung dan masker. Plastik bening menutup sepatu mereka dan sarung tangan karet melindungi kontak dengan kulit jemari mereka. Mereka memperingatkan petugas lain agar mengenakan masker dan pakaian pelindung sebelum memasuki kamar korban. Petugas forensik membalikkan tubuh korban yang terlentang di ranjang. Mereka membungkus mayat korban dengan terpal plastik lalu memasukkan korban ke dalam kantong mayat. Sebuah label tanda peringatan ditempel di kantong mayat. Sepatu dan peralatan petugas yang keluar dari koridor disemprot klorin. Pakaian pelindung sekali pakai dan masker dimasukkan ke kantong khusus untuk dimusnahkan agar tak menularkan penyakit. Rekan mereka yang lain membawa korban ke ruang isolasi di rumah sakit. Derum mesin mobil diiringi decit ban meninggalkan pelataran hotel. Perlahan menerobos kerumunan warga dan kru media yang masih berkerumun. Polisi anti huru-hara membuat barikade pagar betis di pelataran hotel. Mereka mencegah agar warga dan jurnalis tidak mengambil gambar di dalam hotel. Reporter TV dan media cetak hanya dapat mengambil gambar dari depan pelataran hotel sampai di ujung koridor dekat garis polisi. Aroma kematian dari bau menyengat memenuhi koridor lantai pertama. Tim labfor membuka lebar-lebar pintu kamar dan jendela. Namun, aroma kematian seakan enggan keluar dari kamar. Masih melekat dan enggan keluar dari dalam kamar. Kematian misterius yang akan mengawali kematian lainnya. Setelah mengeluarkan mayat dari dalam kamar, tim forensik segera menyelidiki tempat kejadian perkara. Mereka mengolah TKP secara saksama dan memeriksa seluruh benda di atas ranjang. Mereka berhati-hati agar tidak tertular penyakit misterius yang telah membunuh korban hanya dalam waktu semalam. Dan telah menular ke korban lain hanya dalam hitungan menit. Tim forensik curiga penyakit di tubuh korban telah menyebar melalui udara. Karena itu mereka menyemprot gas antibiotik ke seluruh ruang koridor dan kamar korban. Mereka menutup pintu yang terhubung dengan koridor dan membuka jendela yang

mengarah ke laut. Sekujur tubuh para petugas forensik dari ujung rambut hingga kaki, tertutup pakaian pelindung terusan. Suara mereka terhalang masker. “Kematian yang tidak wajar….” “Hei, tumben nggak melihat orang itu? Ke mana dia?” Petugas forensik segera mengerti. “Oh, spesialis kasus hotel Merkuri itu?” “Ya, inspektur polisi itu….” “Kita akan meminta ia datang. Segera.” Tim forensik meminta tim polisi yang berada di luar untuk menelepon inspektur itu. Namun, panggilan mereka tak terjawab. Polisi mencoba menghubungi melalui radio yang ada di dalam mobil polisi. Bukan hanya polisi yang sibuk. Orang-orang dari media juga tengah memasang mata dan telinga atas kasus misterius di hotel Merkuri. Di tempat lain seorang produser acara kriminal di Metropolis TV juga tengah bersiap memburu berita. Ia menyiapkan tim, namun seorang reporter belum kembali bersama timnya. Ia sibuk menelepon dari satu orang ke orang lain demi menyiapkan tema baru di program TV yang dijalankannya. “Loh, anak itu ke mana sih?” “Dia pisah di Juanda tadi.” Terdengar suara dari sambungan ponsel itu. Produser itu bergegas menekan nomer ponsel sang reporter. Namun, hanya nada sambung yang terdengar. Bisakah mereka mengungkap kasus yang meneror Ancol? Hubungi inspektur polisi :Buka File 2 Hubungi sang reporter : Buka File 7 File 2 Jejak di Ruang Baca INSPEKTUR dari Satreskrim Jakarta Pusat itu sedang mengamati keadaan di dalam ruang perpustakaan pribadi. Melihat apa yang tak terlihat oleh mata biasa. Mengendus aroma yang tak biasa di dalam ruangan pengap itu. Mendengar apa yang tak terdengar oleh pendengaran manusia biasa. Bakat dan kemampuan yang diasah dari pengalaman dan selebihnya adalah pemberian Tuhan. Rambutnya yang berombak dibiarkan memanjang sampai daun telinga. Perawakannya mirip seniman jalanan. Dengan jaket, kaos bergambar dan celana kargo. Cambangnya yang pendek-pendek dibiarkan tumbuh tak terurus. Membuat penampilannya lebih tua dari usianya sebenarnya, tiga puluhan. Penampilannya membantunya saat tugas sebagai reserse. Di balik jaket kulitnya nampak kaos bergambar lukisan seorang dewi keadilan yang menutup mata dengan secarik kain dan memegang neraca. Ia tengah berada di ruang baca sebuah rumah mewah. Rumah megah yang hanya dihuni empat orang: seorang janda tua bernama Agate yang tinggal di rumah warisan keluarganya, seorang wanita muda bernama Inggrit, adiknya bernama Irfan dan tunangan wanita muda itu bernama Irwan. Inspektur itu tengah menginterogasi tersangka kasus lain ketika mendapat panggilan tugas. Berbagai kasus-kasus yang belum terungkap masih memenuhi kepalanya. Menumpuk bagai berkas-berkas dalam laci di kantornya. Kantor yang jarang didatanginya karena ia lebih banyak berada di lapangan atau di jalanan menyelidiki kasus. Ingatannya yang kuat tentang detail kasusnya bagai seorang dengan bakat ingatan fotografis. Dari sekian banyak penyidik di jajaran kepolisian hanya dirinya yang paling banyak dipercaya untuk memecahkan kasus kriminal. Selain karena prestasinya, seringkali tanpa pamrih atau mengharap naik pangkat, ia juga dikenal karena memiliki bakat yang tak dimiliki penyidik lain. Ada yang bilang insting, ada yang bilang supranatural, ada yang bilang unik bahkan beberapa rekan menjulukinya seorang paranormal. Sekarang, ia berusaha fokus pada kasus yang berada di hadapannya. Inspektur itu berhati-hati ketika melangkah mengitari tubuh wanita paruh baya yang sudah tak bernyawa. Rekannya telah mengangkat rak buku yang menimpa wanita malang itu. Mayat itu tergeletak di lantai ruang baca seperti boneka kuno. Rambut pendeknya yang telah memutih mengilap bagai sutra. Kerut-kerut di wajahnya

menampakkan garis usia. Pakaian terusannya berwarna krem keperakan. Ia memeriksa kacamata yang tertindih kepala mayat yang berdarah. Kacamata berlensa minus itu tidak rusak, masih utuh, lensanya tidak pecah dan gagangnya tidak patah. Luka ditemukan di pelipis kiri yang mengeluarkan darah. Nampaknya tulang tengkoraknya retak dan tewas seketika karena gegar otak. Ada sedikit lebam di lengan kanannya. Hidungnya patah dan berdarah seperti terhantam benda tumpul. Suara-suara mulai terdengar dalam kepala inspektur itu seolah dibisikkan di dekat telinga. Yang pertama kali didengarnya adalah suara jeritan pendek. Kemudian suara-suara bercakap-cakap seolah terperangkap di dalam ruangan itu. Suara bercakap-cakap seperti sedang merencanakan sesuatu. Inspektur itu tak menyentuh apapun selain melihat dengan matanya yang tajam. Gendang telinganya tak henti-hentinya berdengung kemudian terdengar suara-suara samar. Sejak terkubur hidup-hidup dalam keadaan koma ia mulai mendengar suara-suara dalam kepalanya. Suara-suara tak jelas seperti dengungan lebah. Ia pernah berada di ambang kematian, koma, karena pukulan benda tumpul di kepalanya oleh seorang preman ketika menyelidiki kasus seorang pejabat pemerintah. Untungnya nyawanya dapat tertolong ketika rekan-rekannya mengeluarkannya dari lubang kematian. Dirinya pernah menjadi incaran pembunuh bayaran. Karena itu rekan-rekannya di kepolisian menjaga sehari semalam selama ia dirawat di ruang ruang opname. Sejak mengalami koma, ia mulai mendengar bisikan-bisikan. Karena itu ia menyadari keanehan. Tidak ada suara pertengkaran? Hanya suara jeritan pendek dan orang bercakap-cakap? Apa yang sebenarnya mereka rencanakan? Ia membatin. Inspektur itu bertanya-tanya dalam batin. Ia memiringkan sedikit kepalanya agar suara-suara samar dalam telinganya lebih jelas, namun suara itu malah menghilang bersamaan dengan dengung panjang yang lama-lama reda dan lenyap. Lantai yang dipenuhi rak buku terlihat berantakan. Seakan ada perkelahian di ruangan itu. Buku-buku berserakan di sekitar mayat. Darah merembes dari pelipis wanita paro baya yang mengalami nasib malang itu. Darahnya menggenangi lantai yang ditutup karpet di sekitarnya. Dan merembes di buku-buku yang tergeletak di sekitarnya. Buku-buku berlumur darah. Aroma kematian menguar dari dalam perpustakaan pribadi itu. Inspektur itu memeriksa judul-judul buku yang bertebaran di lantai kemudian meneliti tulisan yang ada di setiap rak. “Buku botani… buku medis… buku ensiklopedi,” gumamnya kemudian berdeham. “Siapa yang terakhir kali berada di sini?” tanya inspektur itu. “Sa—saya melihat sendiri, adik saya membawa raket tenis berdarah itu,” ujar wanita muda itu sembari sesekali terisak. Air mata bergulir di pipinya. Pria di sebelahnya memeluknya, berusaha menenangkannya. “Ya—ya, ujung raketnya berdarah,” imbuh pria yang memeluk wanita kekasihnya itu. “Saya melihatnya sendiri. Ia melemparnya ke semak-semak di belakang rumah. Karena itu kami bergegas mengambil raket itu sebagai bukti!” “Kapan kalian mendengar keributan itu?” tanya inspektur itu dengan suara tenang. “Siang hari tadi sekitar pukul 11.45. Waktu itu saya dan Mas Irwan, calon tunangan saya baru pulang dari lapangan tenis. Awalnya kami bermain bersama adik saya yang bernama Irfan. Dia orangnya memang seenaknya sendiri dan sulit ditebak. Tadi Irfan pulang duluan dengan alasan tak jelas. Setelah kami tiba di rumah tibatiba terdengar suara pertengkaran dari dalam perpustakaan. Dari suaranya kami kami tau itu suara Irfan dan ibu yang sedang bertengkar. Kemudian… setelah kami periksa… ibu sudah terkapar di lantai dengan bersimbah darah… Dan kami melihat Irfan menghambur keluar kemudian melempar raket itu ke semak-semak di sisi rumah.” Wanita itu kembali terisak. Air mata bergulir di pipinya. “Ke mana Irfan sekarang? Apa kalian sudah menghubunginya?” Inspektur itu mengamati raut wajah lawan bicaranya. “Irfan jelas-jelas melarikan diri, Pak!! Kami tak tau kemana. Tadi kami sudah berusaha meneleponnya tapi tak diangkat. Orangnya memang susah kalau ditelepon. Silakan tangkap jika sudah berhasil menemukannya. Kami akan memberi petunjuk tempat yang biasa dikunjunginya. Dan sidik jarinya ada di raket ini. Coba saja periksa. Ya, pasti sidik jarinya tertinggal di sana.” Kekasih wanita itu menunjuk raket

tenis berdarah di tangannya. Ia mengenakan sarung tangan karet yang biasa dipakai untuk bersih-bersih. “Kami nggak mengira, Irfan tega membunuh ibu demi warisan. Kami mendengar mereka bertengkar. Ia butuh uang untuk bengkelnya yang nyaris bangkrut!” “Bagaimana kalian yakin ada sidik jari? Apa kalian telah memeriksanya?” Inspektur itu merogoh sarung tangan dari sakunya lalu mengenakannya. Ia memeriksa buku-buku yang bertebaran di lantai. “Ya jelas saja karena Irfan yang memegang raket itu,” ujar pria kekasih wanita itu. “Sidik jarinya pasti tertinggal di sana. Coba saja periksa!” Namun, inspektur itu hanya mengamati raket berdarah dengan matanya yang tajam. Tanpa menyentuhnya. “Kalau kalian yang mengambil raket berdarah ini dari semak belukar. Maka sidik jari kalian pasti juga tertempel di sini. Atau kalian cukup berhati-hati agar sidik jari Irfan yang hanya ada di raket ini.” “Ya, ya... betul. Saya memakai sarung tangan karet ketika mengambilnya dari semak belukar,” ujar wanita muda itu sembari menunjukkan tangannya yang tertutup sarung tangan karet. Bibir inspektur itu nampak tersenyum sekejap. “Sesuatu menghilang dari dalam ruangan ini.” Inspektur itu memindahkan bukubuku yang berserakan di bawah rak. Ia melihat goresan kelabu memanjang di tembok. “Apakah kalian memindahkan sesuatu? Atau menggeser sesuatu?” “Nggak. Ruangan ini sudah seperti ini ketika kami datang,” ujar wanita muda itu. Suaranya agak bergetar. Matanya berkejap-kejap meneteskan butir air mata. “Juga rak buku ini?” Polisi itu memperhatikan rak buku yang menyentuh langitlangit ruangan. Rak buku yang terbuat dari kayu mahoni. Buku-buku di rak sebagian berjatuhan, sebagian lain masih tertata rapi, namun, polisi itu menemukan keanehan. “Rak buku ini sengaja dijatuhkan. Menimpa ibu kalian. Ada beberapa buku yang berjatuhan dengan tema buku yang berbeda di rak baca. Pasti dipindahkan dari rak lain agar menambah berantakan seolah telah terjadi pergelutan di sini.” Kedua pasangan kekasih itu terdiam. Mereka hendak membantah, namun diurungkan. “Past ada tangga geser untuk naik ke atas rak ini.” Inspektur itu menunjuk bekas di tembok. Ia mengambil kursi baca lalu naik untuk menyentuh bekas akibat benda keras di tembok. “Tangga kayu itu… Ya, kami berencana membuat yang baru,” ujar kekasih wanita itu. “Tangga kayu itu ada di dalam gudang. Anda bisa periksa ke sana.” “Bukan tangga kayu… tapi tangga besi.” Inspektur itu mengusap bekas karat besi di jemarinya. “Dari mana Anda tau?” wanita muda itu heran. “Ada goresan karat besi di tembok… dari tangga besi yang telah membunuh wanita ini. Ia hendak naik mengambil buku ketika kakinya terpeleset dan jatuh.” “Ta—tapi kami mendengar suara keributan itu…,” kilah kekasih wanita itu. Tiba-tiba inspektur itu berteriak ke arah temannya yang sedang menunggu di luar jendela ruang perpustakaan. “Hei!!” serunya. Namun, temannya yang berada di luar nampak tak mendengar suaranya. “Dengar? Dinding ruang baca ini berperedam… tak mungkin suara dari dalam terdengar ke luar ruangan. Dan sebaliknya.” Kedua pasangan kekasih itu saling pandang. Wajah keduanya menegang. “Ini bukan pembunuhan. Tapi kecelakaan yang dibuat seolah-olah pembunuhan demi menuduh seseorang. Kalian kekurangan biaya untuk menikah? Pesta besar-besaran? Dan ibu kalian tak merestuinya.” sergah polisi itu. Sengaja memancing emosi mereka. “Berani sekali menuduh kami yang merencanakan ini!” seru wanita muda itu. “Kami bisa bayar pengacara!” Dan jebakan inspektur itu berhasil. Dengan tenang ia berkata. “Kejadiannya begini, kalian menemukan ibu ini terkapar karena terjatuh dari tangga besi, kemudian mendapat ide untuk menuduhkan pembunuhan kepada saudara anda untuk mendapatkan bagian warisannya. Karena jika dipenjara maka saudara Anda tak akan bisa mendapat warisan itu." “Anda gak perlu ikut campur!!” sembur Wanita muda itu. Wajahnya yang semula sedih kini berubah seratus delapan puluh derajat penuh amarah. Wajahnya memerah karena murka. Ia mengusap air mata dari pipinya dan tersenyum mengejek. Kedoknya terbuka. “Kami memiliki pengacara dan hakim. Dan bisa membayar kalian!”

“Oke, selebihnya jelaskan di kantor polisi.” Inspektur itu memberi tanda kepada rekan-rekannya. Mereka bergerak untuk memborgol kedua pasangan kekasih itu. Inspektur polisi itu belum dapat menghela napas lega ketika terdengar bunyi ponsel. Bunyi nada dering ponsel miliknya. Nada instrumen musik klasik. Ia merogoh ponsel di saku jaketnya. “Ya, saya Inspektur Anton… oke siap, saya segera kesana.” “Ada apa?” tanya rekannya. “Hotel Merkuri berulah lagi.” Wajah Inspektur Anton tanpa ekspresi. Ia bergegas keluar dari ruang baca itu. Ketika sudah berada di dalam mobil polisi, panggilan dari radio dua arah menyita perhatian inspektur itu. “Ada apa?” tanya Inspektur Anton. “Ada laporan kejadian yang mirip kasus es kopi. Kebetulan arahnya searah ke hotel Merkuri. Sekarang tim lain meminta bantuan dan saran dari Anda” Seorang rekan mengatakan isi dari panggilan di radio dua arah itu. “Kasus copycat?” Inspektur itu berpikir sejenak, kemudian ia memutuskan. Pergi ke Hotel Merkuri :Buka File 4 Menyelidiki Kasus Lain : Buka File 3File 3 Coffee, Crime and Cat INSPEKTUR Anton memutuskan untuk mampir di kedai kopi Antiq yang telah menjadi TKP. Kebetulan jalannya searah ke arah hotel Merkuri. Garis polisi melintang di pintu masuk dan nomer-nomer tanda tempat barang bukti telah ditempatkan di posisinya. Rupanya tim Labfor telah mengolah TKP. “Maaf, inspektur, menginterupsi kasus Anda.” Seorang anggota Reskrim memberi salam. “Kasusnya mirip seperti racun di dalam es kopi, bedanya, ini kopi hitam dengan racun arsenik karena mulut korban beraroma seperti bawang putih. Korban mentraktir keempat temannya kopi hitam. Pelayan di kedai ini mengatakan kelima gelas itu ditaruh bersamaan dan nyaris tak ada bedanya. Korban yang membawa sendiri gelas-gelas kopi itu dari konter pelayan. Ditengarai kasus ini meniru kasus es kopi. Kami ingin mendengar saran Anda?” “Entah kebetulan atau tidak, media yang berpengaruh menyiarkan berita itu. Apa ada pesan terakhir dari korban?” tanya Inspektur Anton mengamati tempat kejadian perkara. Kedai kopi itu seperti kafe pada umumnya, bedanya lebih bernuansa antik. Dindingnya ditutupi anyaman bambu dan kursi-kursinya terbuat dari rotan. Berbagai benda antik seperti sepeda onthel, radio kuno, foto-foto hitam putih dan barangbarang dari tembikar menjadi perabotannya. Lampu-lampu ditaruh di dalam batang bambu yang dipernis hingga mengilap. “Ada pesan undangan dari korban yang dikirim kepada keempat temannya.” Reserse itu menunjukkan salinan pesan teks dari ponsel teman-teman korban. “Mayat korban sudah dibawa ambulan ke rumah sakit bersama keluarganya. Proses otopsi masih menunggu ijin keluarga, mereka masih keliatan syok. Kejadiannya jam satu siang tadi. Korban datang bersama keempat temannya. Inspektur Anton membaca pesan itu. 13/13.00 datang ke kedai kopi, aku yang traktir. Dari Martha. Bunyi dengung lebah kembali mengusik pendengaran Inspektur Anton. Kemudian ia seperti mendengar suara-suara di dalam kedai itu. Suara-suara orang mengobrol kemudian terdengar gelak tawa dan jeritan pendek. Sekejap kemudian kembali hening. Tim Labfor memberi akses kepada Inspektur Anton untuk mengamati TKP. Ia mengamati garis yang dibuat menandakan posisi korban ketika tewas. Posisinya berada di antara kursi di sudut kedai. Posisi korban diapit keenam temannya. Gelas-gelas plastik yang bentuk dan warnanya sama berada di atas meja kayu. “Apa kalian sudah mendapat profil korban dan teman-temannya?” tanya Inspektur Anton. “Ya, korban seorang mahasiswi berusia dua puluhan yang sudah diwisuda. Untuk merayakannya ia mentraktir teman-temannya di sini. Ini catatan yang berhasil saya kumpulkan.” Inspektur Anton memeriksa catatan itu. “Nampaknya di sini tak ada CCTV.” “Ya, betul kedai ini tak memasang CCTV. Namun, kebetulan seorang teman Martha merekam kejadian itu dengan ponselnya.” Polisi itu menyalakan file rekaman yang

sudah berada di dalam tabletnya. Video rekaman diputar bersama suara-suara yang terdengar dari tablet itu. Rekaman dimulai dari sejak kedatangan mereka ke kedai itu. Adegan sepotong-sepotong yang menggambarkan keadaan ruang kedai. Suara-suara tawa yang terdengar mirip seperti yang didengar Inspektur Anton. Beberapa kali rekaman itu tak fokus dan bergerak-gerak. *** Martha menjengit. Terdengar suara batuk pendek lalu suara mendesis kepanasan. Jemarinya memegang leher seakan sesuatu tersangkut di tenggorokan. “Martha? Kamu kenapa?” tanya temannya. Keempat temannya yang lain ikut melongo keheranan. Mereka tengah berada di sudut kedai kopi Antiq. Kedai favorit mereka ketika tengah merayakan sesuatu. Martha mengernyit. “Airrrr....” Suaranya terdengar serak. “Eh, ambilin air!” seru temannya yang lain. “Anak ini tersedak kali ya?!” Temannya heran. Seorang temannya bergegas merogoh tasnya. Ia mengeluakan botol air mineral lalu menyodorkan kepada Martha. “Nih!” Ketika temannya hendak menyodorkan air mineral itu, tubuh Martha merosot di sofa. “Mar? Lu tersedak atau gimana?” tanya temannya. Namun, tubuh Martha tak bergerak. Seorang temannya mencoba mencari denyut nadi di pergelangan tangannya. “Martha lu kenapa?” ujar teman yang lain mulai panik. “Pasti mie atau kopinya ada sesuatu nih.” Teman-teman Martha saling pandang. “Gak mungkin Martha keracunan kan?” tanya temannya yang lain. “Ini bercanda kan? Ini pasti ulah kalian!” “Heh, berhenti merekam!” seru seseorang teman Martha. “Enggak, jangan dimatikan rekamannya. Penting untuk penyelidikan polisi.” “Polisi?!! Kalian serius?” “Gue gak mau terlibat! Gue gak mau ikut polisi!” “Hei—hei, tenang… ini kan belum terbukti! Siapa tau Martha cuma bercanda, iya kan? Kayak kasus es kopi? “Bercanda apanya? Ini bukan acara TV!” Kemudian tubuh Martha bergerak-gerak, suara serak terdengar. Kejadian itu hanya beberapa detik setelah itu tubuh Martha kembali mematung. Untuk beberapa lama tak terdengar suara. Wajah mereka nampak pucat, saling pandang, bibir bergerak dengan suara lirih yang tak terdengar ke perekam. “Hei, ayo bawa ke rumah sakit!” Terdengar suara dari seorang teman Martha. “Ini pasti dari kopinya. Ini tanggung jawab pemilik kedai!” Seorang pelayan yang sedari tadi hanya memperhatikan dari konter mulai melangkah mendekat. Ia tak ingin ikut campur, namun setelah mendengar tuduhan itu mulai bertindak. “Yang menyeduh kopinya tadi Martha. Dia sendiri yang menyajikan dan membawa kepada kalian bukan?” “Ehh, iya sih, denger tuh, jangan asal nuduh!” seru seorang teman Martha. Beberapa pengunjung juga mulai berkerumun di sekitar meja korban. Mereka membantu membawa Martha yang sudah lemas ke luar kedai. Rekaman masih berlanjut ketika korban dibawa ke mobil kemudian rekaman itu berakhir. *** Rekaman itu berakhir. Inspektur Anton meminta daftar nama-nama teman serta foto mereka. Namun, ia tak menemukan petunjuk di sana. Di dalam rekaman video itu juga tak ada petunjuk berarti. Kemudian ia pergi ke meja kafe yang ditempati seorang pelayan kafe. Nampaknya ia baru saja diinterogasi polisi. “Maaf, kalau boleh saya ingin mengajukan pertanyaan.” Inspektur Anton duduk di dekat pelayan itu. “Sudah saya katakan semuanya kepada polisi itu.” “Apa yang Anda katakan?” “Martha yang menyeduh kopinya. Dia berada di depan konter ketika menyiapkan kopinya.” Pelayan di kedai itu mengingat-ingat. “Saya ingat betul karena akibat

kejadian itu... saya nyaris dipecat. Sa—saya gak percaya akibat kejadian itu, bos saya sampai marah.” Wanita berusia dua puluhan bernama Lidya itu meraih tisu, namun hanya meremasnya. Matanya nampak berkaca-kaca. “Saya... saya gak menyangka akan terjadi pembunuhan di kedai ini. Seumur hidup saya baru pertama kali ini melihat….” “Apa ada yang aneh ketika Martha menyeduh kopinya sendiri?” “Ya, itu tidak biasa. Jarang pelanggan yang menyeduh kopi sendiri. Hanya pelanggan yang tipikalnya seperti Martha yang mudah akrab dengan pelayan di sini yang menyeduh kopinya sendiri.” “Apa sebelumnya pernah ada pelanggan yang menyeduh kopinya sendiri?” tanya Inspektur Anton sembari mengamati raut wajah pelayan itu. “Jarang, biasanya mereka terima jadi, kecuali memang seorang pelanggan yang memiliki pengetahuan lebih.” “Apa Anda melihat sesuatu yang dimasukkan ke dalam kopi itu? Dari tangan Martha atau teman-temannya? Selain krim tentu saja.” “Martha lebih suka kopi hitam dengan gula pasir tanpa tambahan susu atau krim. Ya, hanya gula.” “Dan ia menaruh gula di semua kopi itu?” "Iya, dan juga seperti menulis sesuatu di secarik kertas." “Sebelumnya, apa ada perkataan atau gelagat aneh dari Martha ketika datang ke kedai ini?” “Martha termasuk gadis yang ceria, cerewet dan aktif. Oya, ia pernah bilang kalau ingin kerja di kedai ini… katanya untuk tambahan biaya kuliah. Sekitar beberapa bulan lalu. Setelah itu ia mulai jarang ke kafe, katanya lagi persiapan sidang dan wisuda.” “Apa dia pernah cerita tentang masalah di kampus atau keluarganya?” “Hmmm… dia hanya pernah bilang kalau orang tuanya kolot, mungkin waktu itu suasana hatinya kurang baik atau karena siklus bulanan perempuan. Atau ada masalah lain, entahlah.” “Apa korban pernah mengajak teman spesial ke kedai ini?” “Maksudnya pacar?” “Ya.” “Kalau hanya berdua jarang. Ia selalu membawa dua sampai empat temannya. Oya, saya baru ingat, pernah seorang cowok menanyakan tentang Martha, ia menunggu di kedai ini sampai satu jam lebih, namun Martha tak datang.” “Apa cowok itu ada di tempat kejadian ketika Martha tewas?” “Iya… tapi dia tidak ikut bergabung. Dia datang lebih awal, wajahnya nampak cemas. Oya, dia mengeluarkan secarik kertas dari saku kemejanya. Meremasnya lalu membuang di tempat sampah. Saya melihat Martha menulis sesuatu di sana, setelah menyeduh kopinya. Kemudian ia keluar untuk bertemu dengan pacarnya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi nampaknya bukan hal yang bagus karena wajah pacar Martha nampak masam. Tadi polisi sudah memeriksa tempat sampah, namun tak menemukan benda yang mencurigakan. Anehnya, kucing yang biasanya bikin berantakan tempat sampah juga sepertinya malas memeriksa tempat sampah itu. ” Inspektur Anton segera memeriksa tempat sampah. Ia memakai sarung tangan karet dan mengeluarkan benda-benda dari kantong sampah itu. Melihat hal itu, anggota Labfor yang lain ikut membantunya. “Apa yang Anda cari inspektur?” tanya rekannya. “Kami sudah memeriksanya. Hanya ada struk belanja, kardus, bungkus makanan, dan secarik kertas kosong.” “Nah, ini dia.” “Tapi, itu hanya kertas kosong inspektur?” “Coba periksa di lab, saya berani bertaruh ada jajak racun di sini.” “Jadi, pelakunya pacar korban?” tanya pelayan itu. “Tapi ia tak ikut menyeduh kopi.” “Ini bukan pembunuhan… tapi bunuh diri. Mungkin karena masalah asmara.” Inspektur Anton menjelaskan. “Martha yang sakit hati menaruh serbuk racun di kertas itu. Kemungkinan bubuk arsenik. Setelah menuang sebagian di gelas kopinya lalu ia menaruhnya di saku kemeja pacarnya. Jadi pacarnya mengira bahwa itu adalah pesan. Sebenarnya serbuk racun itu ditaruh di lipatan kertas agar sisa racunnya jatuh di

saku kemeja pacarnya. Jadi ketika kemeja itu diperiksa masih ada sisa arsenik di saku kemeja itu. Mungkin itu sebabnya kucing yang biasa berkeliaran di kedai ini tak menengok ke tempat sampah itu, insting hewan itu merasakan ada bahaya di sana. Kalian dapat menyelidikinya lebih lanjut alasan Martha yang hendak menjadikan pacarnya sebagai tersangka kasus ini. Saya yakin ada hubungan dengan masalah asmara.” “Wah, terima kasih atas bantuannya inspektur! Boleh kami traktir kopi?” “Oke, kopi hitam satu. Aku minum di mobil saja karena harus segera ke hotel Merkuri.” Inspektur Anton bergerak ke konter bersama rekan-rekannya. “Siap inspektur!” *** Sesampai di hotel Merkuri, mobil Inspektur Anton tidak bisa masuk melalui lobi depan karena dipenuhi warga dan kru media. Belum lagi para penghuni hotel yang datang dan pergi untuk menghindari masalah atau malah berdatangan demi memenuhi rasa penasaran mereka. “Kita harus lewat mana inspektur? Pintu depan dipenuhi kerumunan. Seandainya kita langsung ke sini kita tak akan terjebak kerumunan warga dan wartawan.” “Ya, sabar saja,” ujar Inspektur Anton menenangkan. Mobil yang dikendarai inspektur Anton bergerak lambat di antara kerumunan warga dan kendaraan lain. Lewat Pintu Belakang Hotel Merkuri :Buka File 4File 4 Dengungan Lebah SESAMPAI di hotel Merkuri, Inspektur Anton segera mengenakan pakaian pelindung di salah satu kamar hotel. Ia tepat waktu. Kemudian bergabung bersama tim forensik. Ia telah disambut tim forensik yang telah menunggu kedatangannya. Koridor yang dilewatinya lebih panjang dari biasanya. Beberapa pasang mata dari tim yang berkumpul di ujung koridor mengawasinya. Namun, ia juga merasakan sesuatu yang tak nampak yang juga mengawasinya. Ia mengamati CCTV yang berada di koridor itu. Seseorang… atau sesuatu tengah mengawasi gerak-geriknya. Di arah kamera pengawas itu berada. Pendengarannya sudah mendengar suara-suara bisikan sejak masuk dari pintu belakang hotel. Suara-suara itu datang silih berganti, kadang saling menumpuk lalu lenyap begitu saja. Suara yang itu makin jelas ketika berada di tempat yang sunyi bersamaan dengan bunyi denging panjang yang disebutnya sebagai dengungan lebah. Inspektur Anton Alam adalah polisi berprestasi yang telah memecahkan beberapa kasus sebelumnya di hotel Merkuri. Dari kasus pencurian sampai kasus kematian yang terjadi di hotel angker itu. Seolah tak diberi kesempatan untuk menarik napas, ia baru saja menyelesaikan kasus di ruang baca tertutup ketika dipanggil mendadak ke hotel Merkuri. Dari satu kasus ke kasus lain. Resiko seorang polisi yang diandalkan di kesatuannya. Rambut panjangnya yang berombak tertutup kanopi pakaian pelindung. Suaranya terhalang masker di wajahnya. “Waktu kematian?” “Sulit memperkirakan.” Rekannya menimpali pertanyaannya. “Pembusukan di tubuh korban gak normal. Lebih cepat dari biasanya. Ini menyebabkan waktu kematian korban menjadi samar.” “Menurut resepsionis, korban check in sekitar pukul 21.30 semalam.” Tim yang lain menunjukkan catatan yang telah dikumpulkannya. “Mayat baru ditemukan pukul tiga dini hari atas laporan penghuni hotel.” “Kematian beberapa jam gak mungkin menyebabkan pembusukan.” Inspektur Anton nampak berpikir. "Apakah sengaja mengacaukan rigor mortis, jadi waktu kematian sulit ditentukan." “Beberapa organ di dalam tubuhnya hancur. Keping darahnya rusak, keruh kental menghitam. Penyakit aneh telah menjangkiti mayat ini, Let!!” ujar salah satu ahli forensik. Suaranya teredam masker. Setelah memotret genangan darah dan ceceran darah di ranjang, ia berhati-hati ketika memeriksa barang-barang korban. Tangannya tertutup sarung tangan karet. Darah hitam menetes di sprei ranjang meninggalkan noda di lantai. “Selaput mata korban menghitam dan mengeluarkan darah.” Seorang rekannya

menunjukkan foto korban yang tersimpan di kameranya. “Menangis darah? Apakah korban segera dievakuasi ke ruang isolasi?” “Ya, mayat sudah dievakuasi dari kamar ini. Karena ditengarai menular.” “Otopsi sedang dilakukan di kamar isolasi agar nggak menular,” timpal tim forensik lain. “Ya nanti kita lihat hasil otopsinya.” Ia memeriksa jaket korban yang tertinggal di kamar hotel. Mencari identitas dan petunjuk post mortem lain. Ia menemukan pisau lipat di saku jaketnya, tiket kereta api, sekotak rokok dan pemantik. Di dalam dompet korban tidak ditemukan identitas lain hanya kartu kredit dan dua lembar lima puluh ribu. Inspektur Anton dan rekan-rekannya segera mengolah TKP. Memeriksa setiap sudut ranjang dan kamar. Mencari sidik jari. Memotret dan memasukkan barang bukti ke dalam kantong plastik bening. Menandai posisi barang bukti dengan nomor. Mereka menemukan jejak sol sepatu wanita di atas karpet di dekat ambang pintu masuk. Kemudian jejak itu menghilang ke dalam kamar. Blitz kamera sekejap menerangi ruangan. Rekan-rekannya mengambil foto keadaan ruangan. “Kematian yang nggak wajar.” “Terjadi di hotel Merkuri lagi.” “Kutukan Ancol? Terdengar konyol, hah.” Inspektur Anton tidak berkomentar. Hanya menyimak. Ia menyimpulkan sesuatu. Ia sedang memeriksa sebuah gelas dari atas meja di dekat ranjang. Tangannya tertutup sarung tangan karet. Jemarinya menari melacak sidik jari memakai serbuk dan kuas pelacak sidik jari. Di sebelah gelas itu terdapat botol minuman keras yang telah kosong. Ia hanya menemukan sebuah sidik jari. Kemungkinan sidik jari milik korban. Ia seperti berbicara kepada dirinya sendiri. “Salah satu gelas terisi setengahnya, sedangkan tiga gelas lain tidak terpakai. Anehnya, dari ketiga gelas itu, hanya satu gelas yang tidak terdapat setitik pun debu. Kemungkinan satu gelas itu baru saja dicuci untuk menghilangkan jejak.” “Korban minum bersama seseorang?” “Mungkin tamunya meracuninya.” “Kasus pembunuhan berencana.” Inspektur Anton tidak menimpali. Ia mendekati wastafel. Setelah melepas masker di wajahnya, ia mengendus wastafel. “Aroma minuman keras masih samar-samar. Isi dalam botol itu telah dibuang ke dalam wastafel. Semuanya.” “Minuman bermerek mahal.” “Mungkin karena berisi obat bius. Atau berisi racun yang telah membunuh korban.” Inspektur Anton menarik sepotong tisu toilet lalu mengusap dinding wastafel kemudian memasukkannya ke dalam plastik barang bukti. Ia mengambil sampel cairan untuk diteliti di laboratorium. “Jadi ini pembunuhan berencana.” “Ya, pelakunya sangat rapi.” “Benar, pelakunya sangat rapi dan cerdik,” timpal Inspektur Anton. Ia memeriksa isi bak sampah. Kosong. “Ia bahkan sempat membuang isi bak sampah agar kita tak dapat menyelidiki jejaknya.” Rekan-rekannya memperhatikan sembari berdiskusi. “Menurut resepsionis pria itu datang seorang diri.” “Ia membayar tarif menginap hanya untuk semalam.” “Janjian dengan seseorang? Wanita panggilan mungkin?” “KTP korban palsu setelah dicek di komputer. Nomornya nggak terdaftar.” “Kita akan memeriksa rekaman CCTV di koridor dan daftar tamu malam kemarin,” ujar Inspektur Anton. “Bisa jadi pelakunya juga menginap di salah satu kamar hotel. Pria itu mengadakan pertemuan dengan seseorang. Seorang pembunuh.” Ia beranjak dari dekat bak sampah. Memeriksa sudut-sudut ruang di belakang perabotan. “Kamar ini akan disterilisasi dan diisolasi agar bersih dari bahan beracun,” ujar rekannya. “Kita harus bergegas.” “Sudah memeriksa kloset?” tanya Inspektur Anton. “Belum.”

Inspektur Anton menuju ke kamar mandi. Rekan-rekannya mengikuti dari belakang. Mereka memeriksa kloset. Sisa-sisa sobekan tisu yang telah hancur mengambang di air. “Tisu yang digunakan untuk membersihkan obat bius di dalam gelas.” “Sudah terlarut dalam air. Hancur.” “Kita nggak bisa mengangkatnya.” Kedua rekan Inspektur Anton mengambil botol dan keempat gelas dari dalam hotel. Mereka memasukkannya ke dalam plastik berukuran lebih besar. Mereka menandai posisi barang bukti. Kemudian membawa barang bukti keluar dari dalam kamar untuk diteliti di laboratorium. Garis polisi mulai direntangkan di depan kamar. Garis polisi juga dipasang di ujung koridor. Kamar-kamar di sepanjang koridor juga diperiksa. Namun, polisi tidak menemukan apapun. Inspektur Anton dan rekan-rekannya melepas pakaian pelindung di salah satu kamar hotel. Mereka memasukkan pakaian pelindung yang telah dipakai ke dalam kantong plastik. Pakaian pelindung sekali pakai itu akan dimusnahkan. Mencegah penularan penyakit yang telah melekat di pakaian itu. Koridor telah disterilisasi. Penghuni kamar hotel telah dievakuasi. Ruang kamar hotel di sepanjang koridor telah kosong. Polisi masih menahan warga dan wartawan di lobi hotel. Reporter TV dan wartawan memaksa untuk masuk. Perwakilan dari mereka bernegoisasi dengan polisi. Namun, polisi masih tidak mengijinkan mereka masuk. Manajer hotel memilih pulang ke rumahnya karena syok. Di ruang lobi hotel Merkuri, Inspektur Anton hanya bertemu resepsionis, wanita berumur dua puluhan itu terlihat cemas. Jemarinya menggenggam erat sapu tangan hingga buku-buku jarinya memutih. Wajahnya memerah dan berkeringat. “Jam berapa Anda terakhir kali bertemu dengan korban?” tanya Inspektur Anton. “Hanya waktu check in tadi malam sekitar pukul 21.30. Ia seperti terburu-buru. Saya sudah mengatakannya kepada petugas polisi lain.” Suara resepsionis itu terdengar sedikit bergetar. Ia bermata kaca. Keringat bergulir dari dahinya. Rekannya, seorang pria petugas hotel berusaha menenangkannya. Mereka bertugas dari kemarin malam. “Ada hal yang mencurigakan?” “Pria itu bersikeras meminta kamar nomor 96. Padahal kamar itu baru saja dipakai. Kami perlu merapikannya terlebih dulu. Pria itu bersedia menunggu hingga setengah jam.” “Apa seluruh kamar di lantai satu terisi penuh?” “Ya, dari kemarin seluruh kamar di lantai satu terisi penuh.” Tersirat kekecewaan di wajahnya. “Setelah kasus kematian ini, seluruh penghuni kamar memilih untuk pindah. Mereka membatalan penginapan mereka.” “Siapa yang pertama melapor?” “Dua orang. Nyaris bersamaan. Seorang pria Prancis bernama Jean Pierre dan wanita karir bernama Claudita. Mereka mengeluhkan bau menyengat. Mereka tidak dapat tidur. Keduanya langsung membatalkan penginapan mereka.” “Malam itu juga?” “Ya, malam itu juga.” “Anda sudah mencek KTP atau paspor mereka?” “Belum. Keduanya keburu check out.” Anda pernah melihatnya sebelumnya? KTP korban?” “KTP korban palsu. Butuh waktu untuk mengecek nomor KTP. Ia hanya menginap semalam untuk pertama kalinya. Korban bukan pelanggan kami.” “Kenapa berita ini sampai bocor ke publik?” “Petugas hotel, rekan saya, yang pertama kali melapor ke polisi. Ia membuka pintu kamar hingga penghuni hotel lain berdatangan. Mereka merekam memakai ponsel.” “Anda nggak mendekati korban?” “Saya hanya mengawasi dari ujung koridor. Nggak berani mendekat.” “Anda memiliki rekaman CCTV di koridor lantai satu?” Rekan resepsionis wanita itu mengeluarkan memory card dari bawah meja. Ia telah menyiapkan rekaman CCTV sesuai permintaan petugas polisi sebelumnya. “Ruang monitor

CCTV ada di ujung lantai satu. Ini rekaman CCTV dari sore hingga malam kemarin.” “Boleh kami pinjam buku tamu kemarin malam?” “Ambil saja. Kami akan menggantinya.” Setelah mendapat rekaman CCTV dan buku tamu dari resepsionis mereka segera meluncur ke kamar isolasi di rumah sakit Medikal Ancol untuk mengetahui proses otopsi korban. Inspektur Anton berada di jok belakang mobil polisi. Untuk sejenak ia merebahkan diri ke jok mobil. “Anda bisa istirahat di dalam mobil sementara proses otopsi berlangsung. Kalau sudah ada kabar kami akan menelepon.” Rekan inspektur itu berkata sembari berhati-hati mengemudi. “Ya, tolong bangunkan aku kalau sudah keluar hasil otopsinya.” Inspektur Anton berusaha untuk memejamkan mata. Butuh waktu beberapa menit untuk meredakan rasa letih dan pikiran kalut di dalam kepalanya. Kabin mobil bukan tempat yang nyaman untuk tidur nyenyak. Sesekali suara-suara dan bunyi derum mesin mobil masih terdengar. Rasa letih dan beban dalam pikiran membuatnya bermimpi yang sama. Mimpi buruk yang sama. Dalam mimpinya Inspektur Anton berada di dalam jurang dalam. Berbagai suara terdengar dari atas jurang. Kemudian ia merasakan tanah yang dilemparkan kepadanya. Orang-orang yang berada di atas jurang berusaha menguburnya hidup-hidup! Inspektur Anton berusaha keluar dari dalam jurang. Ia mencakar-cakar dinding jurang yang membuat dinding tanah itu makin longsor. Tanah sudah sampai ke batas dadanya. Membuatnya sesak. Ia tak bisa bernapas! Bunyi pintu mobil yang ditutup membuat Inspektur Anton terjaga dari mimpi buruknya. “Anda bisa istirahat di dalam mobil sementar kami mengawasi proses otopsi.” Inspektur Anton hanya mengangguk. Butir-butir keringat membasahi dahinya. “Tolong bawakan aku kopi. Aku tak bisa tidur di dalam mobil tapi akan kucoba untuk istirahat sejenak.” “Siap.” Rekannya segera mencarikan segelas kopi hangat. Pergi ke Ruang Otopsi : Buka File 5File 5 Tato Uroborus INSPEKTUR Anton hanya berdua bersama seorang rekannya yang dapat giliran piket. Rekan-rekannya yang lain telah pulang di tengah malam itu. Mereka berjanji meneruskan menyelidiki rekaman CCTV dan barang bukti lain esok pagi. Mereka telah melakukan usaha terbaik. Namun, hanya beberapa yang bersedia bekerja non stop nyaris dua puluh empat jam. Lagi-lagi Inspektur Anton harus lembur. Di koridor rumah sakit itu nampak hening. Namun, berbagai suara-suara samar masih mengganggunya. Suara-suara dari penghuni tak kasa mata di rumah sakit itu... Penyidik yang diandalkan oleh kesatuannya itu sedang menyimak penjelasan ahli forensik senior yang juga seorang dokter berdedikasi, dr. Morga Kusuma, tepat di depan pintu kamar otopsi. “Adakah hal yang unik atau tanda yang tak biasa di tubuh korban dari hasil otopsi ini?” tanya Inspektur Anton. “Ya—ya, ada beberapa keanehan. Karena yang kita hadapi ini bukan racun biasa melainkan virus mematikan. Oya, yang paling mencolok adalah korban memiliki tato bergambar ular di tubuhnya.” Suara dr. Morga terdengar cepat jadi harus mendengar baik-baik atau tertinggal. Proses otopsi baru saja selesai, dr. Morga sudah berganti pakaian. Pakaian terusan sekali pakai dan masker yang dikenakan selama otopsi harus dimusnahkan agar tidak menularkan penyakit dari tubuh korban. Percikan darah dan cairan dari tubuh cukup untuk menularkan penyakit misterius itu. Petugas medis yang hendak masuk dan keluar dari kamar isolasi harus disemprot gas disinfektan di ruangan khusus. Seluruh barang elektronik yang terpaksa di bawa ke dalam seperti ponsel, tablet atau laptop harus dibungkus plastik sekali pakai. Hanya petugas medis berpakaian khusus yang berwenang yang boleh memasuki kamar isolasi. Kamar yang pernah digunakan untuk mengisolasi pasien korban flu burung dan antraks mempunya dua lapis ruangan. Ruang pertama untuk sterilisasi tubuh petugas yang hendak masuk ataupun keluar kamar isolasi. Pakaian terusan sekali pakai

disediakan di sana. Ketika sudah keluar, sepatu dan peralatan medis disemprot klorin. Dokter Morga melepaskan masker dan penutup rambut yang menutupi kepalanya. Inspektur Anton dapat melihatnya keluar melalui ruangan berlapis kaca tebal. Pria paruh baya berumur empat puluhan itu masih terlihat enerjik. Rambutnya dibiarkan memutih. Kumis dan jambang di dagunya berantakan. Kecerdasannya terlihat ketika mulai berbicara. Caranya berbicara jelas dan sorot matanya tajam, namun teduh. Dokter Morga memperlihatkan foto-foto otopsi tubuh korban di layar tabetnya. “Ya, saya pernah melihatnya sewaktu menangkap orang-orang dari kelompok mereka,” timpal Inspektur Anton sembari mengamati foto di layar tablet dr. Morga. Ia agak merunduk karena tubuh dr. Morga lebih pendek darinya. Ingatannya tentang kejadian penguburan hidup-hidup dirinya kembali mengusiknya. “Tato kepala ular memakan ekor yang tergambar di dadanya.” Dokter Morga menggerakkan foto di layar tabletnya. Memutar dan memperbesarnya. “Ular yang memakan tubuhnya sendiri… Uroborus?” Inspektur Anton mengingatingat. “Boleh saya minta foto tato di badan korban itu? Kirim ke tablet saya.” “Ya, silakan.” Dokter Morga menyalakan jaringan dan mengirimkan foto tato itu. “Ah, ya, Uroborus. Ah itu hanya dongeng.” Dokter Morga berdeham. “Tim Anda apakah sudah mengenali wajah korban?” “Belum, tapi kami sudah memotret wajah korban. Meski sulit dikenali karena sudah rusak akibat membusuk,” ujar Inspektur Anton. “Masih dalam proses rekonstruksi wajah digital yang dilakukan rekan kami dari cyber forensik. Menurut ingatan saya, wajah korban mirip salah satu DPO geng King Kobra. Ia termasuk anggota organisasi pembunuh bayaran yang dicari karena kasus pembunuhan di Medan. Satu kelompok dengan gembong narkoba yang pernah saya tangkap waktu lalu. Mereka gak seorang diri kalau beraksi.” Inspektur Anton nampak gelisah mengingat kejadian penggerebakan gembong narkoba itu. Kemudian ia berusaha mengalihkan topik. “Oh ya, jam kematian korban?” “Agak sulit diperkirakan. Kemungkinan korban tewas tengah malam sekitar pukul 01.11.” Dokter Morga membuka file foto-foto lain. “Pembusukan akibat racun mengaburkan rigor mortis. Kekakuan mayat sulit dikenali karena organnya ‘meleleh’.” “Itu… mengerikan.” Rekan inspektur itu mengusap keringat di dahinya. “Penyebab kematian?” tanya Inspektur Anton. “Kami menemukan sel vegetatif mirip antraks yang sudah bermutasi. Spesies baru. Jenis penyakit baru dari virus baru. Gejala dan akibatnya berbeda dengan antraks. Apalagi dapat menular ke manusia,” jabar dr. Morga. “Nggak ditemukan luka lain yang menjadi sebab kematian di tubuhnya. Bekas luka melepuh baru seperti bekas terbakar berada di tengkuknya. Mungkin akibat reaksi penyakitnya. Luka-luka suntikan di lengan korban menandakan pecandu narkoba. Namun, luka suntikan itu sudah lama. Tidak ada luka suntikan baru. Organ tubuh korban hancur. Dari paru-paru, lambung, ginjal hingga kelenjar prostat. Darah keluar dari sembilan lubang di tubuhnya. Namun, pendarahan akut terjadi di alat kelaminnya. Darah mengucur deras karena pendarahan hebat. Suhu tubuh korban meningkat drastis seakan terpanggang hidup-hidup. Toksikologinya masih belum jelas karena bahan kimia atau virus baru jenis apa, tapi dalam darahnya mengandung obat bius. Kemungkinan korban dibius sebelum tertular penyakit aneh itu.” “Ya, seperti dugaan kami. Pelakunya membuang sisa obat bius ke wastafel. Ada sisa-sisa obat bius di kamar hotel itu,” timpal Inspektur Anton. “Apa racun itu juga dimasukkan ke minuman korban? Atau terhirup melalui udara?” “Di kerongkongan dan tenggorokan korban gak ditemukan racun. Hanya darah hitam kental. Penyakit itu merusak keping sel darah korban.” “Lalu dari mana penyakit itu menular?” Dokter Morga berpikir sejenak. “Mungkin dari sentuhan kulit atau hubungan intim. Tiga kali lebih ganas dari virus ebola atau AIDS.” “Pelakunya juga terjangkit?”

“Nggak mungkin karena akan tewas seketika.” “Jadi pelakunya dapat membawa penyakit itu tanpa kontak langsung.” “Jenis spora antraks yang sudah bermutasi. Harus berhati-hati membawanya.” “Korban dilumpuhkan memakai obat bius agar nggak melawan. Mungkin semacam tes, jika racun itu gagal. Setelah korban gak berdaya baru diracuni,” asumsi Inspektur Anton. “Bagaimana nasib penghuni hotel yang tertular penyakit dari korban.” “Korban pria gak tertolong, sedangkan korban wanita masih kritis. Tapi anehnya korban wanita yang terpapar virus ini tak separah korban pria.” Dokter Morga memperlihatkan file foto-foto korban yang tertular ‘Kutukan Ancol’ di layar tabletnya. “Seharusnya aku berada di sana lebih awal. Harusnya ada larangan bagi siapa saja yang masuk ke koridor itu.” Inspektur Anton mengepalkan jemarinya. “Mereka terlalu lama menghirup racun yang menyebar ke udara,” imbuh dr. Morga. “Racun di darah korban mudah menguap. Dan sama kuatnya ketika membunuh korban untuk pertama kalinya. Untung saksi mata berada agak jauh dari korban.” “Mereka yang pertama kali masuk memerika ke kamar korban.” Inspektur Anton terlihat menyesal. “Rasa penasaran memang seperti pisau bermata dua.” “Itu sudah nasib mereka,” timpal rekan polisi yang lain. “Sampel darah korban sudah saya kirim ke laboratorium untuk diteliti lebih lanjut. Mungkin mereka menemukan zat lain. Dokter spesialis juga angkat tangan. Mereka tidak mengerti penyakit apa yang menewaskan korban dalam semalam.” dr. Morga sibuk mencari-cari file di dalam tabletnya. “Saat ini ilmuwan biokimia, Evangela Eliza, gadis berusia dua puluh sembilan tahun, mulai menyelidikinya.” “Evangela?” Inspektur Anton mengingat-ingat. “Ya, saya pernah membaca risetnya di surat kabar.” “Nah, ini dia foto orangnya. Tetap low profile meskipun mempunyai segudang prestasi. Dunia ilmuwan memang jauh dari glamor. Artikelnya sering diterbitkan di jurnal ilmiah luar negeri, sedangkan foto dan orangnya jarang ditampilkan. Hanya pernah sekali masuk TV.” Dokter Morga memperlihatkan foto dan berkas profil di layar tabletnya. “Penemu anti radiasi. Kita menaruh harapan besar pada ilmuwan negeri berbakat ini.” Inspektur Anton memerhatikan catatan profil Evangela. “Bisa Anda kirim file profilnya ke email?” “Ya, tentu saja. Tadi ia keluar dari ruangan ini lima belas menit sebelum Anda. Nanti saya akan pertemukan Anda dengannya.” Rekan Inspektur Anton kembali berkicau. “Di kawasan Ancol sering terjadi kasus kriminal yang mengerikan. Mutilasi tiga belas, bunuh diri, dan penampakan ‘hantu’ legenda Si Manis Jembatan Ancol. Dan sekarang… kutukan Ancol?” “Anda percaya? Kutukan Ancol?!” Inspektur Anton tergelak. “Bukan.” Wajahnya kembali serius. “Nampaknya ini kasus pembunuhan berencana.” Rekannya terdiam. “Pelakunya sangat cerdik,” imbuh Inspektur Anton. “Pergunakan akal sehat kalian agar pelakunya segera tertangkap. Jangan sampai terkecoh kutukan Ancol, itu hanya sensasi media. Saya ingin tau siapa yang memulai menamakan kasus ini sebagai kutukan Ancol, bagian cyber forensik akan memeriksa jaringan internet.” Inspektur Anton dan rekan segera meninggalkan kamar isolasi. Rasa penasarannya makin menjadi. Ia hendak menyelidiki barang bukti lain yang telah diambil dari TKP. Ia ingin mengetahui hasil penelitian rekaman CCTV yang telah dilakukan rekanrekannya yang lain. Dan ia baru bisa mengetahui hasilnya besok. Walau ia tak akan ikut bicara banyak. Seperti yang udah-sudah, ia hanya akan memberikan laporan kepada atasannya yang akan mulai memberikan informasi di jumpa pers besok. Kutukan Ancol? Terdengar menggelikan memang. Namun, mereka akan segera menghadapi mimpi buruk. Bagi Inspektur Anton mimpi buruknya bukan hanya di dunia nyata, tapi juga dalam mimpinya. Rasa trauma akibat dikubur hidup-hidup terus saja menghantuinya. “Malam ini Anda menginap di jalan lagi? Hotel?” tanya rekannya ketika membawa mobil itu bergerak di jalanan yang lengang. “Saya merasa Anda masih trauma dengan kejadian penguburan itu. Apa tidak ada rasa cemas ketika kembali ke jalanan lagi?” “Trauma tentu masih ada. Seringkali muncul sebagai mimpi buruk. Tapi, setelah kejadian itu aku dapat pelajaran berharga bahwa maut haruslah dihadapi. Karena

kalau tidak, ketakutan itu akan makin menjadi-jadi,” ujar Inspektur Anton. “Jadi, itu sebabnya Anda jarang ke kantor untuk menghadapi kecemasan di lapangan.” Rekan inspektur itu berusaha menebak. “Ya begitulah. Oya, sudah lama aku tak menginap di kantor. Aku mau merekonstruksi kasus langka ini.” Inspektur Anton memeriksa kembali foto-foto hasil otopsi di layar tabletnya. Ketika foto tato Uroborus itu ia mengamatinya dengan saksama. Ia mencari data di mesin pencari. “Apa yang kau ketahui tentang tato Uroborus? Simbol medis juga berupa ular bukan?” “Uroborus… ular yang memakan bagian tubuhnya sendiri. Setahu saya itu simbol keabadian atau terlahir kembali.” “Uroboros atau Ouroboros. Ular yang memakan tubuhnya sendiri seperti King Cobra yang dapat menelan ular lain. Bisa juga simbol tak terhingga, atau simbol keberuntungan seperti angka delapan? Mirip seperti legenda Finiks yang terlahir kembali dari api, ya... terlahir kembali, berulang kali dan lagi. Mati berkali-kali dalam keabadian. Terulang kembali..." “Ya, nampaknya begitu.” “Jadi, apakah itu petunjuk? Atau pesan?” Rekan inspektur itu mengerutkan kening. “Bisa jadi. Pesan dari pembunuhnya. Korban ditengarai mengenal pelakunya. Bahkan bisa dibilang sangat dekat. Kalau pelakunya merencanakan mentato korbannya sebelum dibunuh. Pelaku kali ini nampaknya tak bisa bisa diremehkan. Pelakunya dengan tenang dan lihai mempersiapkan segalanya, sebelum melakukan aksinya.” Inspektur Anton mengetuk-ngetuk dasbor tanda sedang berpikir keras. “Malam ini lebih baik jika Anda istirahat dulu. Kalau terlalu diforsir kami tak mau kehilangan penyidik andalan. Simpan tenaga untuk besok.” Rekan inspektur itu memberi saran. Inspektur Anton hanya mengangguk. Namun, gerigi di otaknya masih berputar. Kepalanya masih terasa panas serta dengung seperti lebah yang masih terdengar. Pesan apa yang ada dalam simbol Uroborus? Virus macam apa yang dengan begitu cepat membunuh korbannya? Mobil yang dikendarai Inspektur Anton dan rekannya melewati jalan yang lengang. Rekan inspektur itu hendak bertanya sesuatu, namun diurungkan karena sebuah mobil tiba-tiba menyalip ke arah depannya. Mobil sedan itu beberapa kali berbelok tak tentu arah. Bunyi decit ban terdengar di badan jalan. Kemudian sedan silver itu menepi di dekat trotoar. Tiba-tiba bunyi seperti lebah terdengar kembali di telinga Inspektur Anton. Ia mendengar suara-suara pertengkaran yang tumpang tindih lalu lenyap. “Kau dengar suara pertengkaran itu?” tanya Inspektur Anton. “Suara apa?” “Hei—tolong, menepi di depan mobil silver itu.” Inspektur Anton memberi tanda dengan tangannya. “Mobil ini bukan mobil polisi, jadi mereka tak akan menyadarinya.” “Entah kita beruntung atau tidak. Anehnya kalau mengendarai mobil polisi malah jarang bertemu kejahatan mendadak. Enggak begini.” Rekan Inspektur itu menghela napas. “Tapi ini sudah hampir subuh. Mungkin hanya pengendara ngantuk?” “Kejahatan tak pernah tidur.” Inspektur itu mengamati mobil silver yang menepi tidak jauh di belakang mobilnya. “Aku merasa ada yang tidak beres.” "Sebaiknya kita tidak ikut campur. Kalau hanya masalah pribadi," ujar rekan inspektur itu. Inspektur Anton terdiam, ia menimbang-nimbang ucapan rekannya itu. Selidiki Mobil Silver :Buka File 6 Kembali ke KantorFile 6 King Cobra CAHAYA dari lampu kendaraan melesat cepat di jalan lengang itu. Namun, kegelapan menyelubungi kabin mobil itu. Untuk beberapa lama Inspektur Anton hanya mengawasi dari kaca spion. Ia memasang telinga demi mendengar suara-suara samar di depannya. Kendaraan lain yang melewati jalan itu berlalu lalang tanpa menyadari adanya kejadian itu. Atau mereka tak peduli?

Kemudian suara-suara pertengkaran dari dalam mobil itu makin nyaring. Ketika mobil sedan silver itu terbuka, bunyi pintu mobil yang dibanting keras terdengar. Seorang wanita muda yang baru saja turun dari mobil terduduk di trotoar. Ia seperti kesakitan sembari menutupi wajahnya. Kemudian sedan silver itu hendak bergerak pergi meninggalkan wanita itu sendirian di trotoar jalan. Mobil sedan yang menelantarkan wanita itu mulai menggelinding perlahan ke tengah jalan. Apa yang terjadi dengan wanita itu tengah malam begini? Kenapa wanita itu diturunkan di tengah jalan? “Belok terus halangi mobilnya,” desak Inspektur Anton. “Tapi…? Okelah, siap.” Rekan inspektur itu segera membanting setir sembari memindah kopling. Mobil itu bergerak ke samping menghalangi sedan itu. Bunyi klakson nyaring terdengar dari sedan silver itu. Nyaris saja mobilnya beradu. “Hei, kalau lecet gimana!” seru pengemudi itu. Inspektur Anton bergegas membuka pintu mobil. Ia membawa lencana polisinya sembari mendekati mobil itu. Ia mengetuk kaca jendala pintu sedan silver itu sembari menunjukkan lencana polisinya. “Turun!” seru Inspektur Anton. Untuk beberapa lama pengemudi itu tak bergerak juga tak bersuara. Ia nampak meraih ponselnya lalu mengetik sesuatu di sana. Inspektur kembali mengetuk jendela pintu mobil. Kali ini pengemudi menurunkan kaca jendela pintu mobilnya. “Saya punya kenalan… kalau kalian gadungan akan saya telepon polisi!” “Ya, coba saja telepon. Bilang kalau Inspektur Anton Alam ada di sini. Atau mari ke kantor bareng.” Pengemudi itu akhirnya keluar dari mobil. “Maaf, ada apa sebenarnya ini? Apa saya melanggar lalu lintas?” “Saya tadi melihat Anda menurunkan wanita itu? Anda bawa SIM?.” “Ini salah paham, Pak. Tadi wanita itu mengamuk di dalam mobil. Dia mabuk! Lalu menyambar setir saya. Bisa celaka!” Pria itu merogoh dompetnya lalu menunjukkan SIM miliknya. “Lalu kenapa wanita itu bersama Anda?” “Iya, tadi wanita itu memaksa ikut. Katanya tinggal di apartemen sekitar sini.” “Kalau gitu mari ikut.” Pria itu agak ragu ketika Inspektur Anton membawanya ke tempat wanita itu. Wanita muda itu nampak duduk di trotoar sembari memegangi kepalanya. Inspektur Anton dengan perlahan mendekatinya. Rekan Inspektur itu ikut keluar dari mobil. “Kau sudah mencatat nomer plat sedan itu?” tanya Inspektur Anton kepada rekannya. “Oya.” Rekan Inspektur itu mengambil ponselnya lalu mencatat plat nomer di ponsel digitalnya. “Kau tunggu di dekat mobil sedan itu.” Inspektur Anton melangkah perlahan di atas trotoar menuju wanita muda itu. “Hei, ada apa?” tanya Inspektur Anton mengamati wanita muda itu. Untuk beberapa lama wanita itu terdiam dan tampak syok. Ia memandang bergantian ke arah Inspektur Anton dan pria yang menelantarkannya. Wanita itu masih memegangi kepalanya. Duduknya mulai gelisah di atas trotoar itu. Suara isak tangis terdengar. Jaket kulit menutupi pakaian minim yang dikenakannya. Bibirnya nampak berdarah. Ia meremas tisu dan berusaha merapikan rambut lurusnya yang panjang sebahu. Tampaknya ia telah dipukuli di pelipis dan bibir hingga berdarah. Darah menetes dari bibirnya yang memakai lipstik merah menyala. “A—anda polisi beneran?” tanya wanita muda itu. Usianya sekitar dua puluhan. Suaranya sedikit serak dan bergetar. Ia tak percaya sosok seperti seniman jalanan itu adalah inspektur polisi. “Ya, Anda memiliki KTP?” tanya Inspektur Anton. Wanita itu agak kesulitan ketika membuka dompetnya. Isi dompetnya hanya berisi beberapa uang puluhan ribu dan kartu-kartu nama. Beberapa uang receh berjatuhan dan wanita itu memungutnya dengan gusar. “Ya, bisa ceritakan apa yang terjadi tadi?” tanya Inspektur Anton sembari

menunjukkan lencananya. Kemudian ia memeriksa KTP yang disodorkan wanita itu. Wanita muda itu masih terdiam. Matanya nanar mengamati pria yang tadi memukulnya. Wajahnya nampak ragu dan tersirat ketakutan di sana. “Jangan takut. Ceritakan saja dengan jujur.” Inspektur Anton ikut duduk di trotoar dan tetap menjaga jarak. Ia berusaha santai agar wanita itu tidak nampak makin tegang. Wanita muda itu masih memandang bergantian ke arah inspektur dan pria itu. Ia nampak kebingungan untuk bercerita, kemudian ia berkata. “Dia mengajak saya ke hotel Merkuri….” “Bohong!” seru pria itu. Ia menunjuk-nunjuk sembari mengucap sumpah serapah. “Dia yang….” Inspektur Anton memberi tanda dengan tangannya agar pria itu diam. “Saya sudah hendak pulang dari shif kerja di diskotek…pria itu sudah beberapa kali ke bar. Dia mengatakan bersedia mengantar saya pulang ke apartemen. Tapi, dia berbelok arah dan saya bertanya tak dijawabnya hendak ke mana….” “Hah, pinter banget berbohong!” celetuk pria itu. “Karena itu saya memaksa untuk diturunkan di jalan. Tapi, dia malah menampar dan memukul saya.” Wanita muda itu terisak. Inspektur Anton mengendus aroma parfum yang kuat. Dan ia mengendus aroma minuman keras. Mengingat tempat wanita itu bekerja. “Pria itu menuduh Anda yang menyambar setir kemudi hingga mobil oleng?” “Saya berusaha menghindari pukulannya… karena main pukul, dia kehilangan konsentrasi ke kemudi hingga mobil oleng.” “Bohong itu… tadi dia mencakar tangan saya. Ini buktinya.” Pria itu menunjuk luka gores di lengannya. Ia menggulung lengan kaosnya. Sebuah potongan gambar tato berbentuk sabit tergambar di lengannya. Inspektur Anton mengenal potongan tato di lengan pria itu. Kemudian ia memerhatikan wajah wanita itu. Mata wanita itu nampak kemerahan dan sembap karena menangis. Make up yang dipakainya luntur. “Saya Inspektur Anton… yang di sana itu rekan saya. Jika ada masalah katakan saja.” Inspektur itu beranjak dari trotoar sembari mengulurkan tangannya. Wanita muda itu awalnya ragu kemudian menyambut uluran tangan inspektur itu. “Saya Jessy….” Inspektur Anton merasakan jemari tangan wanita itu sedikit bergetar. Ketika berdiri wanita itu agak sempoyongan. “Anda yakin tidak apa-apa?” tanya Inspektur Anton. “Ya… saya agak demam dan mabuk kendaraan,” ujar Jessy. “Tolong panggilkan taksi. Saya mau pulang….” “Tidak. Anda dan pria itu akan dibawa ke kantor.” “Kantor? Kantor polisi? Ta—tapi apa salah saya, Pak?" Suara Jessy bergetar. “Karena bekerja sama dengan bandar narkoba….” “Tunggu apa maksudnya ini?” protes pria itu. “Dilihat dari kondisinya, wanita ini baru saja memakai obat-obatan terlarang. Mata merah, jemari bergetar, aroma miras yang berusaha ditutupi dengan parfum dan berjalan sempoyongan. Dan ketika ia meminta obat terlarang itu lagi, kali ini tak bisa membayarnya. Di dompetnya hanya ada beberapa lembar uang. Ia telah menghabiskan gajinya di awal bulan ini untuk membeli narkoba. Karena itu kau mengajaknya ikut serta. Agar ia bisa menurut dan dikendalikan sebagai anggota baru, ikut menjadi pengedar, diperalat sebagai budak. Ah, aku hafal modus operandi kalian.” Pria di belakang Inspektur Anton tiba-tiba mencabut benda berkilat dari balik kaosnya. Rekan inspektur itu menyadari bahwa benda itu adalah revolver. “Dia bawa pistol!” seru rekan inspektur itu. Inspektur Anton segera bereaksi melakukan tendangan terbalik ke arah belakang tubuhnya. Tendangannya inspektur itu telak mengenai perut pria itu. Suara rintihan terdengar. Ketika pria itu lengah, inspektur itu memelintir tangannya yang memegang pistol. Terdengar bunyi berderak ketika revolver itu terjatuh ke aspal jalan. “Kau anggota King Cobra! Jawab!” seru Inspektur Anton. Pria itu hanya meringis kesakitan ketika kuncian inspektur makin kencang.

“Bukan….” “Lantas tato apa di lenganmu itu? Uroborus!” “Saya… saya hanya meniru saja… saya bukan anggota King Cobra!” “Lantas kenapa wanita itu memakai narkoba?” “Ya, jelas-jelas dia dapat di diskotek….” “Bohong!” seru wanita itu. “Ya, saya mengakui mendapatkan barang itu dari dia!” “Ya, lebih baik jelaskan di kantor," ujar Inspektur Anton. Rekan inspektur Anton memborgol pria itu masuk ke mobilnya bersama wanita malang itu. Inspektur Anton memungut revolver yang terjatuh kemudian masuk ke dalam mobil silver milik pria itu dan mengendarainya. Ia mengikuti mobil rekannya yang menuju ke kantor Polres Metro. Dalam perjalanan sebuah letusan senjata api terdengar. Tiga sepeda motor yang datang dari arah belakang menembakkan peluru ke belakang mobil yang dikendarai Inspektur Anton. Terpaksa inspektur itu membanting setirnya menuju ke tempat yang sepi. Anehnya ketiga pengendara sepeda motor itu hanya mengejar mobil yang dikendarainya. Supir truk yang kebetulan melihat kejadian itu hanya beberapa saat menghentikan truknya kemudian melaju kembali karena tak ingin terlibat. Peluru nyasar bisa saja mengenai kendaraan yang masih melintas di pagi buta itu. Inspektur polisi itu mempercepat laju mobilnya. Pistolnya tertinggal di mobil satunya. Untung ia membawa revolver milik pria pengedar narkoba itu. Ia memegang revolver sembari terus mengendalikan kemudi. Tiga sepeda motor ikut menambah kecepatan. Ketika sampai di areal kosong inspektur itu menginjak rem. Sepeda motor yang mengikutinya menabrak bagasi mobil. Bunyi berderak terdengar nyaring. Makian dan seruan kemarahan terdengar. Inspektur Anton kembali menginjak gas kuat-kuat. Ia memutar kemudi karena tiba di areal buntuk yang hanya dijadikan tumpukan barang-barang bekas. Kali ini ban belakang menjadi sasaran tembakan. Mobil yang dikemudikan inspektur Anton berdecit ketika salah satu ban belakang terkena peluru. Bunyi letusan ban mobil terdengar. Mobil itu oleng dan tergelicir, berputar sembilan puluh derajat ketika inspektur polisi itu menekan rem kuat-kuat. Suara tembakan kembali terdengar beruntun. Kaca mobil bagian belakang pecah. Inspektur Anton memberi tembakan balasan melalui kaca jendela belakang yang pecah. Hanya dua kali tembakan, dan bunyi klik terdengar. Ternyata peluru di revolver itu hanya tinggal dua butir. Bunyi tembakan makin gencar. Penyerangnya memiliki senapan serbu. Wajah mereka tertutup helm, tak bisa dikenali. Inspektur Anton membuka kotak dasbor dan memeriksa isinya. Bukannya peluru yang ditemukannya, ia malah menemukan berbagai obat terlarang yang dibungkus plastik. Tidak hanya itu, ketika ia beringsut ke jok belakang, kotak-kotak kardus yang berada di jok belakang berisi barang haram yang sama. Dugaan inspektur polisi itu benar. Muatan di dalam mobil itu lebih penting dari pria yang telah ditangkapnya. Bunyi sirine terdengar dari kejauhan. Nampaknya rekan inspektur itu telah memanggil bantuan. Sebelum mobil polisi datang. Pengendara sepeda motor masih menembaki mobil itu. Untungnya inspektur polisi itu sudah bersembunyi di bawah jok belakang. Untuk beberapa detik inspektur polisi itu tak bersuara. Tembakan tak lagi terdengar ketika penyerang itu mendekati mobil. Ketika pengendara motor itu hendak membuka pintu mobil, inspektur Anton segera mendobrak pintu mobil. Kemudian ia masuk kembali ketika rentetan tembakan kembali diarahkan ke pintu mobil. Penyerang itu hendak mendekati mobil sekali lagi dengan senapan diarahkan ke tempat persembunyian inspektur polisi itu. Namun, bunyi sirine yang terdengar makin mendekat membuat seorang penyerang mundur. Mereka memberi tanda dengan siulan kepada penyerang yang lain, kemudian berpencar ke segala arah demi melarikan diri. Inspektur Anton dapat bernapas lega ketika penyerangnya bergegas pergi.

Langit sudah beranjak terang. Inspektur itu hendak memejamkan mata. Namun, ia harus kembali ke kantornya dan membuat keterangan mengenai kasus malam itu. Bunyi sirine dan mesin mobil terdengar mengelilinginya. Ia beranjak dari tempatnya dan melihat rekan-rekannya yang berhamburan ke arahnya. “Anda baik-baik saja inspektur?” tanya polisi yang sudah tiba di lokasi penyerangan. Inspektur Anton hanya mengangguk. “Bersiap bertemu wartawan untuk temuan baru ini," ujar rekannya yang lain. Inspektur itu hanya menghela napas sembari mengamati banyaknya lubang peluru di mobil itu. Harga mobil itu tak sebanding dengan barang haram yang diangkutnya. Hubungi sang reporter : Buka File 7File 7 Sang Reporter SELFI LENA menghela napas lega ketika akhirnya duduk di jok depan bus. Ia berada di bus yang hendak berangkat dari terminal Bungurasih. Bus dengan rute pulang pergi Banyuwangi-Madura, itu sepi penumpang. Masih banyak kursi kosong. Tujuannya setelah melewati perbatasan kota Probolinggo, yaitu kota Situbondo. Setidaknya memakan waktu kurang lebih lima jam. Ia mendapat kabar bahwa adik sepupunya sedang akan melangsungkan acara pernikahan. Diam-diam ia hendak mengambil cuti dan akan mengabarkannya sewaktu dalam perjalanan nanti. Produsernya pasti tidak dapat berbuat apa-apa. Ia sudah memiliki alasan yang tepat. Ia mendapat peluang untuk mendapat cuti di tengah kesibukannya. Jika tidak begitu kapan lagi ia akan mendapat cuti di tengah kesibukan kerja di kota Jakarta. Lagipula ia tak mengarang alasan. Sepuluh menit lalu, ia memisahkan diri dari timnya. Ia bergegas turun dari mobil operasional dari stasiun televisinya untuk korespondensi antar daerah. Mobil berlogo stasiun Metropolis TV itu berangkat ke bandara tanpa dirinya. Timnya hendak segera bertolak ke Jakarta dengan pesawat. Mereka telah selesai meliput kasus penyelundupan narkoba di Surabaya. Narkoba yang diselundupkan ke dalam mesin-mesin impor di dalam peti kemas berhasil digagalkan polisi dan petugas bea cukai pelabuhan Perak, Surabaya. Liputan yang akan segera tayang di program Fakta & Kriminal di Metropolis TV. Reportasenya telah direkam dengan durasi setengah jam. Setelah meletakkan tas ranselnya di atas rak, ia duduk di jok terdepan. AC bus membuatnya menggigil. Udara panas di luar bergumul dengan udara dingin di dalam bus. Tubuhnya menggigil. Rasa letih membuatnya demam. Tidak biasanya tubuhnya lemah seperti itu. Karena sering berada di lapangan membuatnya kebal. Biasanya hanya demam dan dehidrasi selama dua-tiga hari. Ia pernah dehidrasi hingga diinfus di rumah sakit. Selfi memindahkan posisi AC yang berada tepat di atas kepalanya. Ia tidak suka dingin dari AC mobil. Dingin yang tidak alami. Ia membuka jendela bus lebar-lebar. Ia lebih suka merasakan hembusan angin dari jendela bus. Keringat dingin di tubuhnya terasa lembab. Di luar tadi, udara panas yang meliputi kota Surabaya membuatnya bermandikan keringat. Pakaiannya terasa lengket ke kulitnya. Terasa tidak nyaman. Rasanya ingin berlari di bawah guyuran air hujan. Selfi Lena, gadis lajang berumur dua puluhan adalah jurnalis muda berprestasi. Meski masih muda, ia telah meliput berita ke berbagai daerah. Dari sejak belia ia sudah dikenal sebagai gadis tomboy. Jika warga setempat mengungsi, ia justru mendatangi daerah rawan. Pengalamannya meliput berita teroris di Aceh, kasus konflik SARA di Filipina hingga perang saudara di Timur Tengah. Waktu itu ia nyaris tertangkap di bawah todongan senjata dari pemberontak Libya, akhirnya ia kembali dengan selamat ke tanah air. Nama dan raut wajahnya sudah menjadi jaminan sebuah acara berita yang berbobot dan cerdas. Wajahnya familiar di layar televisi. Reputasinya sudah dikenal khayalak luas. Selain cantik, dia juga memiliki otak yang brilian. Wajahnya yang mirip orang asing membuatnya sering menyamar dengan rambut wig palsu memakai nama samaran Agatha Casey Holmes dalam setiap investigasi berbahaya yang dilakukannya. Selfi bersama timnya dari Metropolis TV; dua orang juru kamera, seorang asisten produser—produsernya memonitor dari Jakarta, dan tiga orang koordinator peliputan.

Mereka penggagas dan penggerak acara Fakta & Kriminal yang sudah tayang perdana sebulan kemarin. Acara tiga mingguan yang mendapat rating bagus. Program acara bergaya dokumenter yang berisi fakta di tempat kejadian berdurasi satu setengah jam. Mengupas kasus kriminal yang sudah atau belum terpecahkan kepolisian. Rambut panjang sebahunya diikat ekor kuda. Ia selalu mengenakan T-shirt warna hitam polos yang dipadu dengan rok karena panasnya udara Surabaya. Biasanya ia mengenakan celana kargo. Tas ransel dan kopor beroda yang dibawanya berisi perbekalan selama perjalanan. Aksesorisnya hanya arloji mekanik di pergelangan tangannya. Tidak ada kesan feminim dari penampilannya. Tubuh pendek dan proporsional membuatnya gesit. Orang tidak akan percaya ia telah pergi ke banyak tempat-tempat berbahaya. Kulitnya kecoklatan akibat sering terpapar sinar matahari. Ia mahir pencak silat dan berlatih memakai senjata api, walau belum memiliki ijin memakai senjata api. Bus yang ditumpangi Selfi masih ngetem di terminal Bungurasih. Sesekali ia mengamati arloji mekaniknya. Bosan menunggu, ia mencolokkan earset ke ponselnya lalu menyalakan musik favorit. Sebuah lagu jadul ringan dari The Coors berjudul Runaway. Ia menyandarkan tubuhnya ke jok kursi, berusaha menikmati lagu di ponselnya. Ketika hendak memejamkan mata karena terbawa irama, bunyi dering ponselnya menyela. Ia melirik ponselnya. Nama produsernya, Denara, tertera di layar ponselnya. Ia menghela napas kemudian segera mengangkat panggilan itu. “Yaa, halooo?!!” Suaranya terdengar serak. “Hihi, kau di mana?!! Kok, lemes banget, Fi!! Aku baru kontak rekanmu. Kok kamu enggak ikut ke Jakarta?” Suara produsernya terdengar dari sambungan ponsel itu. “Aku ada di dalam bus. Udah berangkat, nih.” Suara produsernya meninggi. “Turunn!! Kau harus ke Jakarta!!” “Duh, Den. Liputan udah selesai.” “Kau mau ke mana? Seenaknya saja nggak ijin.” “Ini aku baru akan ijin, uh, sebentar lagi. Aku mau menengok keluarga di Situbondo. Hanya tiga hari, nggak lebih. Janji deh, Den. Please....” Ia hendak menjelaskan bahwa adiknya hendak melangsungkan acara pernikahan. “Adikku akan menikah….” Denara memotong. “Tunda!! Kau harus segera ke Jakarta. Ada kasus menarik!!” “Tayang kapan?” “Kalau cepat, minggu ke depan.” “Lalu berita yang baru selesai diliput?” “Ya, juga akan segera tayang.” “Duh, aku minta cuti, deh. Tiga hari saja.” “Kau nggak baca atau nonton berita?” “Berita apaan?” “Seorang pria ditemukan tewas di dalam hotel Merkuri di kawasan Ancol.” “Ah, itu berita biasa… aku ….” Denara memotong. “Tubuh korban mengering. Kehabisan darah. Membusuk hanya dalam semalam. Aneh kan? Anehnya lagi, nggak ditemukan satupun luka di tubuhnya.” Selfi tiba-tiba terdiam. Otaknya berputar. Naluri jurnalisnya bangkit. “Beneran, nih? Udah ada saksi mata?” “Oke, kalau gak bisa, aku bisa cari reporter lain… kalau….” “Oke deh, tunggu… tunggu aku di Jakarta!!” *** “Maaf, Bu. Aku masih belum bisa pulang.” “Belum bisa pulang gimana? Rena kan paling dekat denganmu. Walau sepupu dia itu sudah seperti adik kandungmu sendiri loh….” Suara ibunya terdengar dari sambungan telepon yang lain. “Iya, Bu… tapi ada tugas mendadak nih.” Keramaian di Juanda membuat Selfi harus menutupi ponselnya dengan jemarinya. Ia hendak menyusul rekan-rekannya yang berada di bandara. Telat selangkah, pesawatnya sudah take off semenit lalu. Ia harus menunggu pesawat berikutnya. Keterlambatan dan keruwetan jadwal penerbangan pesawat sudah

menjadi hal biasa. “Iya—iya, semoga adik bisa berbahagia setelah menikah. Semoga keluarga di sana tetap sehat walafiat. Aku sudah transfer biaya untuk hadiah pernikahannya.” “Maksud ibu itu… kalau kau pulang dan mengikuti acara pernikahan adikmu, jadi kau bisa lebih bersemangat untuk menyusulnya… kebetulan keluarga dari teman-teman Ibu juga datang. Siapa tau ada yang berjodoh denganmu. Masa kau keduluan adikmu menikah… kamu kapan menyusul? Ingat usiamu, nanti kau susah sendiri. Kamu itu bukan anak laki-laki. Cewek punya batasan usia ketimbang cowok.” “Haduh Ibuuu… kayaknya udah ratusan kali deh bertanya begitu. Dan udah ratusan kali Selfi jawab kalau sudah bisa mandiri… baru cari suami. Sekarang ingin fokus ke karir dulu, Bu.” “Ya, udah, selesaikan dulu tugasmu, Nduk… kalau sudah longgar tengok adikmu itu ya.” “Iya, terima kasih pengertiannya, Bu. Wassalam.” Setelah terdengar salam dari ibunya, Selfi mematikan ponselnya. Ia tidak dapat membendung kesedihannya, namun ia berusaha agar tidak menangis di tengah keramaian. Bayangan wajah kedua orang tuanya seperti menari-nari di kerumunan keramaian bandara. Ia tau, niat ibunya baik begitu pun niatnya juga baik. Ia tak mau merepotkan siapapun termasuk kedua orang tuanya yang telah pensiun. Ia ingin mandiri ketika menemukan pasangannya nanti. Kali ini ia berusaha fokus. Nasihat ibunya selalu membuatnya gamang untuk meniti karir. Ia tak mau merepotkan siapapun, termasuk calon pasangannya nanti. Meski karena terlalu sibuk mengejar karir membuat Selfi tak memiliki waktu untuk menjalin hubungan yang serius. Meski sudah dua kali pinangan dari pria pilihan orang tuanya ditolak karena alasan belum mengenal dengan baik. Ia juga sulit menjaga hubungan jangka panjang dengan teman-teman yang sehati dengannya. Ia sempat pacaran dalam batas yang wajar dengan teman kuliahnya. Namun, hubungan itu berakhir, karena masing-masing lebih memilih karir. Ketika berada di dalam pesawat. Selfi masih belum dapat melenyapkan wajah adik sepupu dan keluarganya di sana. Permukaan awan kelabu bergulung-gulung di luar jendela pesawat. Hingga ia tertidur karena kelelahan. Tidurnya di dalam pesawat tidak sempurna. Tak terasa air mata bergulir di pipinya yang hangat. *** Pesawat terbang dari Surabaya mendarat mulus di Halim. Seraut wajah penuh harap sudah menunggunya di lobi bandara. Selfi tidak menyadari seseorang telah menunggunya di sana. “Hei!! Selfii!” seru seseorang dari arah belakang. Selfi menghentikan langkahnya sembari menoleh. Ia mendapati lambaian tangan produsernya diantara keramaian. Denara dari deretan kursi tunggu bandara. “Siniii!!” Selfi menggelengkan kepala sembari melangkah ke arah produsernya. Wahyu Denara, wanita berumur empat puluhan, seorang produser berita dari stasiun Metropolis TV. Meski umurnya sudah kepala empat, ia memilih melajang. Dan Selfi tidak pernah menanyakan atau mendengar tentang kehidupan pribadinya. Mungkin ia terinspirasi dari wanita teguh itu. Yang mampu mandiri tanpa pasangan di sisinya. Di sisi lain ia seringkali bertanya-tanya alasan Denara memilih untuk melajang. Alasan yang menjadi rahasia pribadi yang tak banyak orang bersedia mengungkapkannya. Ia produser profesional yang tetap menjaga jarak meski sudah lama bekerjasama. Potongan rambut pendek sebahu dan pakaian wanita kantoran selalu melekat pada dirinya. Ia mengenakan kemeja yang digulung di pergelangan tangan dan bawahan celana berbahan kain. Denara, mantan jurnalis senior, mengarahkan Selfi ke bidang jurnalis ketika baru lulus dari fakultas bahasa inggris. Mereka bertemu secara kebetulan di seminar jurnalistik yang diadakan di kampus Universitas Negeri Malang, tempat Selfi kuliah. Kemudian Selfi mengikuti pelatihan jurnalis selama tiga bulan di Jakarta. Karena cekatan dan memiliki nyali lebih, ia memulai karir meliput di daerah konflik.

Meski belum genap lima tahun, keduanya sudah melalui banyak pengalaman mendebarkan. Mereka bekerja sama dalam satu tim untuk meliput berita di daerah konflik. Duet mereka menjadi penentu kualitas program acara televisi mingguan bertajuk Fakta & Kriminal. Bukan hanya sebagai host yang sudah kondang, namun mereka juga seperti pasangan detektif yang ikut menginvestigasi sebuah kasus hingga layak untuk diangkat ke televisi. “Maaf, menarikmu kembali ke belantara ini.” “Aku lelah….” Selfi membanting tubuhnya di kursi ruang tunggu. “Tapi memang kuakui rasa penasaran mengalahkan segalanya.” “Ayo!! Berangkat!!” “Duh….” Selfi menguap untuk kesekian kalinya. Denara menarik pergelangan tangannya. Keluar dari keramaian bandara. Pergi ke Hotel Merkuri : Buka File 8 Hubungi inspektur polisi : Buka File 2File 8 Misteri Kamar 222 SELFI terkantuk-kantuk di dalam mobil. Ia menyandarkan kepalanya ke jok. “Pemirsa… kasus kriminal kembali terjadi di hotel Merkuri. Kali ini… hoahmm.” Tangannya bertumpu ke dasbor di depannya sembari memegang lembaran teks. Matanya terpicing membaca tulisan di depannya. Denara memaksanya membaca garis besar berita ‘kutukan Ancol’ yang telah dirangkum seadanya sebelum pengambilan gambar. Ia membaca lembaran di tangannya sembari terkantuk-kantuk dan sesekali menguap. Tulisan di script terasa berbayang-bayang. Ia berusaha mengucapkan sesuatu, namun ia tak mengerti apa yang diucapkannya. Kepalanya pening. Mungkin karena jetlag atau ia belum pernah tidur nyenyak seharian. Kemacetan Jakarta di sepanjang ruas jalan membuatnya tersiksa. Ia ingin segera meluruskan tubuhnya yang terasa babak belur di atas ranjang. Jok empuk di dalam mobil tak mampu mengusir rasa lelahnya. Bayangan untuk tidur lelap yang sempurna itu terasa masih jauh. Ia bahkan belum mandi sejak dua hari lalu. “Duh, kita harus putar lagi, nih.” Denara memegang setir. Ia berusaha mencari jalan alternatif ke Ancol. Sedan mungilnya merayap mudah di tengah jalur kendaraan. Selfi tidak memedulikan ocehan Denara. Ia berusaha memejamkan mata ketika sedan yang ditumpanginya mendadak berguncang. Lembaran kertas di tangannya terjatuh ke pangkuannya. Selfi hendak memejamkan mata ketika Denara mengerem mendadak. Ia berusaha menghindari mobil di depannya yang tiba-tiba memotong arus kendaraan. Perut Selfi bergolak. “Duh!!” Tidak bisa tidak, sedan Denara berhenti. Menunggu kemacetan terurai. Selfi membuka mata. Suaranya masih serak, “Kenapa harus terburu-buru.” “Rekan kita sudah stand by di hotel Merkuri. Bersama jurnalis lain.” “Mereka sudah bergerak?” “Mereka dan kita juga kelelahan. Tapi kita gak akan melewatkan berita heboh.” “Hah, heboh, ya.” Selfi melirik sinis. “Seberapa heboh, sih?” “Nanti kau mengerti.” Keduanya terdiam. Masih kesal karena kejadian mendadak itu. Mereka menenggelamkan diri dalam pikiran masing-masing. Lima belas menit kemudian, arus kendaraan yang mengular sepanjang lima kilometer mulai merayap perlahan. Kemacetan mulai terurai. Sedan mungil Denara melaju bebas melewati ruas jalan menuju Ancol. Kesadaran Selfi sesampai di lobi hotel Merkuri masih belum pulih sepenuhnya. Ia seperti tidak mengenali rekan-rekannya yang sudah siap merekam dirinya. Rekanrekannya hendak memulai merekam opening scene, adegan pembuka dari program acara Fakta dan Kriminal. Sebagai pembawa acara, Selfi selalu tampil dengan T-shirt hitam polos dan celana kargo. Seperti ketika tampil di layar kaca memandu berita di daerah konflik. Tidak jauh dari tempat itu, reporter lain tengah siaran langsung. Reporter yang lebih segar dan tangkas mengabarkan berita. Sedangkan Selfi… Selfi hanya berdiri beberapa langkah di depan kamera. Ia tidak merespon aba-aba

dari juru kamera. Melihat itu, Denara segera bertindak. “Tunggu! Biarkan Selfi istirahat.” Denara memberi tanda. “Sehari saja.” Padahal Denara yang memaksa mengambil gambar hari itu juga. Sekarang ia malah berbalik membela Selfi. “Kalian juga istirahat. Kita mulai besok lusa pagi-pagi. Lagian ini bukan acara live. Jadwal bisa berubah sewaktu-waktu.” Rekan-rekan Selfi membubarkan diri. Tanpa kasak-kusuk apalagi mengeluh. Kegiatan di dalam hotel sudah relatif normal, meski angka pengunjung kian menurun. Resepsionis sudah kembali menerima tamu meski tak sebanyak hari-hari sebelumnya. Selfi dan Denara menginap di kamar terpisah lantai dua hotel Merkuri. Hanya lantai pertama yang masih dikosongkan untuk proses penyidikan polisi. Garis polisi warna kuning terang dipasang di ujung koridor lantai pertama. Mencegah agar warga dan jurnalis tidak merusak TKP. Meski begitu masih ada jurnalis yang nekat menerobos masuk untuk mengambil gambar. Reporter televisi hanya diberi ijin menyiarkan berita dan mengambil gambar di luar garis polisi. Juga agar mencegah menularnya penyakit mematikan yang telah membunuh korban dalam semalam. Sampai saat ini dokter di antero Jakarta masih berkutat meneliti penyakit misterius itu. Entah disebabkan bakteri, virus atau overdosis obat-obatan terlarang. Sampel darah korban telah diteliti ilmuwan terkemuka dari dalam negeri. Polisi mencegah agar tidak terjadi intervensi dari ilmuwan asing. Bahkan ketika badan kesehatan dunia WHO meminta kepada ilmuwan Indonesia untuk mengirim sampel darah korban kepada mereka untuk penelitian. Mencegah negara maju agar tidak mengembangkan senjata biologi pemusnah massal. Atau membuat penawar yang dijual dengan harga tinggi. Berharap kepada ilmuwan terbaik dalam negeri, Indonesia berusaha memecahkan misteri ‘kutukan’ Ancol secara mandiri. Denara mengantarkan Selfi hingga masuk ke dalam kamarnya. Kamar nomor 222 di lantai tiga itu tampak terang benderang. Petugas hotel hanya mengantarkan mereka hingga ambang pintu kamar. Denara dan beberapa rekan-rekannya menginap di kamar lainnya. Mereka memesan tiga kamar bersebelahan. Sejak kasus kematian misterius, tarif menginap di hotel Merkuri anjlok menjadi separonya. Tingkat hunian menurun drastis. Mereka tidak ingin terkena kutukan Ancol. Hanya orang-orang yang nekat seperti Selfi dan Denara yang malah mendatangi tempat terkutuk itu. Bersama wartawan dari berbagai media dan orang yang sekedar penasaran. Selfi menaruh ranselnya di atas pinggir ranjang. Tidak banyak barang bawaannya. Membawa banyak barang malah akan merepotkannya. Segala keperluannya ada di dalam ransel yang selalu melekat di punggungnya. Beberapa keperluan wanita, beberapa potong pakaian, kamera digital, handycam, dan laptopnya dalam tas lain. Ia segera membanting tubuhnya ke atas ranjang. “Aku tutup, ya. Kau bisa istirahat sekarang.” Denara menutup perlahan pintu kamar hotel. Seruan Denara masih terdengar dari luar kamar, “Kamarnya kunci, ya. Jangan lupa!” Ia masih menunggu di depan pintu kamar. Mendengarkan dari balik pintu sebelum pergi ke kamarnya sendiri. Terkadang ia tidak mengerti kepada tingkahnya sendiri. “Cerewet… Ya, ya!!” Selfi sewot. Ia membanting tubuhnya ke atas ranjang. Tas ranselnya melompat-lompat di dekat betisnya. Ia tidak dapat beranjak lagi, seakan tubuhnya menyatu dengan ranjang. Tubuhnya lemas. Kepalanya terasa berat. Ia malas beranjak bahkan untuk sekedar mengganti pakaiannya. Ia tidak peduli aroma dari tubuhnya. Kedua matanya perlahan menutup. Seperti ayahnya, ia mudah tertidur, kapan saja dan di mana saja. Ia sudah berada di batas kesadarannya ketika samar-samar terdengar bunyi berderit di dekat ranjangnya. Tepat di depan ranjangnya. Angin dingin terasa mengusap telapak kakinya. Bunyi seperti seseorang tengah menyeret benda berat di atas karpet tebal. Srakkk … srakkkk Kedua mata Selfi terasa berat untuk sepenuhnya membuka. Namun, ia berusaha membuka matanya lebar-lebar. Alisnya naik. Matanya yang terpicing tidak dapat mengenali sosok gelap yang bergerak perlahan di depan ranjangnya. Dahinya berkerut.

Matanya tertutup air mata kantuk. Tertutup kabut. Sekelilingnya tampak buram dan berpendar. Selfi berusaha mengumpulkan kesadarannya. Sesekali ia mengucek matanya dengan punggung tangannya. Berusaha menyingkirkan air mata yang menggelayut. Ia melongok ke ujung ranjangnya. Bayangan gelap di depan ranjangnya semakin terlihat jelas. Hitam samar serupa bayangan. Ia mengenali rambut dan wajah dari sisi samping bayangan itu adalah seorang perempuan! Dari atas ranjangnya Selfi melihat sosok perempuan berambut panjang tengah menyeret sesuatu. Ia tidak habis pikir. Hantu?!! Di dalam kamar terang benderang seperti ini? Selfi membatin. Selfi beranjak dari ranjang lalu melongok ke lantai. Sesosok tubuh pria terkapar di lantai. Lehernya terpuntir ke belakang. Wajahnya yang tertutup rambut tidak dapat dikenali. Bunyi berasal dari gesper sabuk kulit yang menjerat leher mayat. Perempuan berambut panjang itu tengah menyeret sesuatu. Apakah itu mayat pria?!! Tubuh Selfi membeku. Napasnya terhenti. Ia menyaksikan ‘hantu’ perempuan itu menyeret mayat hingga sampai ke jendela kamar hotel. Setelah susah payah membuang mayat ke luar jendela, sosok perempuan itu ikut melompat. Sebelum melompat ia sempat menoleh ke Selfi dari ambang jendela. Tersenyum kepada Selfi yang terheranheran. Sebuah suara menggema dalam kepala Selfi. Tinggalkan tempat terkutuk ini!! Atau kau MATI!! Kalian mati!! Suara jeritan pilu menyertai sosok perempuan yang melompat ke luar jendela. Dari atas ketinggian lantai tiga, suaranya sirna perlahan. Sekejap kemudian bunyi benturan keras terdengar. Tiba-tiba Selfi membuka mata. Pandangannya menumbuk langit-langit kamarnya. Sekujur tubuhnya seperti tersengat listrik. Ia segera beranjak dari atas ranjang. Memandang linglung ke sekeliling kamar. Hanya mimpi!! Mimpi buruk!! Tidak ada jejak darah di atas karpet. Jendela kamar hotelnya tertutup. Gorden tebal menutupinya. Tidak ada bunyi mengerikan. Semua seperti keadaaan yang terakhir kali dilihatnya. Bunyi berderap di depan kamarnya mengalihkan perhatiannya. Terdengar seperti seseorang yang berlari. Denara? Atau siapa… “Kau masih disitu, Den?” Hening. Selfi segera melompat dari atas ranjang. Tenaganya seakan pulih kembali. Rasa letihnya tiba-tiba sirna. Jantungnya berdentam-dentam menggetarkan tubuhnya. Ia tidak pernah setakut ini. Apalagi kepada hal-hal tidak masuk akal. Ketakutan terbesar justru kepada hal yang tidak dapat kita lihat. Hantu?!! Hah, ia tidak percaya hal takhayul seperti itu. Selfi melangkah ke pintu kamar. Ia buru-buru menguncinya. Ketakutan yang tidak beralasan. Reporter yang pernah berada di daerah konflik dan medan perang seharusnya tidak gemetaran seperti itu. Musuh yang tidak tampak justru semakin mengerikan. Selfi hendak kembali ke ranjangnya ketika hasrat untuk ke kamar kecil itu muncul. "Duh, kenapa harus sekarang sih!!" gumamnya. Setelah dari toilet rasa kantuk kembali menyerangnya. Selfi mencari tombol lampu. Jemarinya meraba tembok. Ia lebih nyaman tidur dalam gelap. Karena di dalam gelap ia bisa lebih tenang. Dan tidak dapat melihat hal-hal aneh. Untuk sebagian orang, tidur di dalam gelap malah mengerikan, namun Selfi berbeda. Satu kali jentikan. Bunyi klik menyertai lampu yang padam. Kali ini Selfi terpana sekaligus kaget. Untuk beberapa saat tubuhnya membeku. Tembok kamar dipenuhi coretan bercahaya. Cahaya kehijauan berpendar dalam gelap. Angka dua berbagai ukuran dan tulisan loro berputar-putar dalam kepalanya. 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 Loro LORO L O R O

loro L-O-R-O LoRO LO120 Coretan yang berpendar itu seakan menghipnotisnya. Coretan hijau berpendar di tembok menari-nari memutarinya. Berubah serupa bintang gemintang di kegelapan dalam kepalanya. Tubuhnya serasa ringan hingga ia serasa melayang. Tubuh Selfi ambruk di atas lantai kamar hotel. Karpet tebal meredam rasa sakitnya. Ia tidak mengenal jeritannnya sendiri. Jeritannya seperti terdengar dari jauh. Dari dasar kegelapan. Ia pingsan. Ia tak sempat bertanya. Apa yang terjadi di kamar hotel yang ditempatinya? Apa maksudnya nomer dua yang dihubungkan dengan kata: Loro? Menyelidiki Kamar 222 : Buka File 9 Mengikuti inspektur polisi File 9 Dua Hati “Hi, sunshine… kau bukan seperti Selfi yang kukenal.” SELFI mengenal suara itu. Terdengar begitu dekat di sampingnya. Ia mengerjapngerjapkan mata. Silau. Dahinya berkerut. Cahaya matahari menyiram sekujur tubuhnya dari jendela besar yang berada di tembok kamar. Gorden terbuka lebar-lebar. Kaca jendela dengan butiran-butiran debu nampak kusam. Matahari pagi menerobos pucukpucuk pohon cemara yang mengelilingi hotel Merkuri. “Apa maksudmu?” tanya Selfi. Ia mencari suara yang dikenalnya itu berada tepat di sampingnya. Dan mendapati seraut wajah Denara di sana. Ia buru-buru beranjak dari atas ranjang ketika mendapati produsernya tengah berbaring tidak jauh di sampingnya. Jemarinya menari di atas tombol laptop. “Hah? Apa?” tanya Selfi tak mengerti pertanyaan Denara. “Kau yang sekarang jadi penakut,” sindir Denara. “Jika kau mengalami apa yang kualami kau juga akan pingsan!” Selfi berusaha membela diri. “Baru pertama kali ini melihat hal supranatural seperti itu.” Denara terdiam. Ia masih nampak sibuk mengetik. Dari wajahnya ia nampak tak percaya, namun ada keraguan di sana. Selfi berusaha mengingat-ingat kejadian semalam. Namun, ia nyaris tidak dapat mengingat apapun. Seperti terkena amnesia sekejap. Entah kenapa, mungkin karena kejadian semalam susah dicerna akal sehat. Dan Selfi masih syok. Serasa kepalanya terikat benang-benang yang tak tampak yang terus membuat otaknya berdenyut-denyut. Rasa sakit karena jatuh saat pingsan masih terasa dari kepala hingga ke bahunya. “Ini kamarmu ya, Den,” ujar Selfi meyakinkan dirinya sendiri. Matanya terpicing mengamati arloji di pergelangan tangannya. Pukul 07.56. Ia menghela napas panjang lalu melirik ke arah cermin. Bengkak yang menghiasi pelipisnya sudah nampak menipis. Ia meringis menahan sengatan rasa nyeri. Ingatan ketika terjatuh ke atas lantai kamar hotel menyeruak dalam kepalanya. Coretan-coretan cahaya hijau di dinding perlahan tergambar jelas dalam kepalanya. “Coretan… ada banyak coretan… di dinding.” Selfi mengingat-ingat. “Coretan apa? Jeritanmu membangunkan seluruh penghuni hotel.” Denara memperhatikan Selfi dengan prihatin. “A—aku menjerit keras banget ya?” Selfi sangsi. Ia memandang heran ke arah Denara. “Ya, jeritanmu itu loh, siapa lagi. Hahhhh … pokoknya heboh, deh.” Keduanya terdiam sesaat. Tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Denara berniat mencairkan suasana. “Menurutku, jeritanmu terdengar begitu seksi.” Selfi mendengus. “Nggak lucu.” Ia melompat dari atas ranjang. “Ini pertama kalinya aku mendengar kau menjerit, loh.” Denara tersenyum. “Karena aku tak pernah mendengarmu menjerit ketika bertemu masalah.” “Lupakan.” “Kau kesurupan?”

“Sudahlah.” “Kerasukan hantu?” Selfi memutar bola matanya. “Yaelah.” Ia grogi karena disebut penakut. Karena selama ini, ia dikenal paling rasional dan pemberani diantara rekan-rekannya. Mungkin karena selama ini yang dihadapinya adalah bahaya yang nyata, benar-benar bisa diendus dan nampak di depannya. Namun, sekarang yang dihadapinya sesuatu yang beraroma supranatural! Sesuatu yang kasat mata dan tak dapat diendus dengan panca indera biasa. Sesuatu yang tak dapat dijangkau akal sehat seringkali membuat ketakutan tanpa alasan. Ketakutan yang biasanya muncul dalam mimpi buruk dan halusinasi. Namun, ia merasa kejadian semalam bukan hanya halusinasinya semata. Ia memerhatikan sekelilingnya. Interior kamar kelas menengah hotel Merkuri sama, tentu saja. Ia duduk di kursi dekat jendela. Memandang suasana pagi di luar kamar. Interior kamar yang mirip membutnya linglung. Pemandangan di luar jendela itu sama seperti di kamarnya. Namun, ia tak melihat angka-angka coretan misterius itu di dindingnya. “Eh, ini kamarmu atau kamarku?” “Ini kamarku," jawab Denara. Tepat di sebelah kamarmu, nomor 223. Kamarmu sudah disegel polisi.” “Siapa yang memindahku kemari?” “Room boy dan rekan kita. Termasuk aku.” Denara tersenyum. “Heh, kecil-kecil tubuhmu berat juga, ya.” “Apa yang terjadi semalam?” Selfi masih kebingungan. Denara berhenti mengetik. Ia memijit-mijit dahinya dengan jemarinya lalu menoleh ke arah Selfi. “Bukankah aku yang seharusnya bertanya.” Ia menatap Selfi lekat-lekat. “Apa yang terjadi semalam?” Selfi terdiam. Samar-samar ia mencium aroma kopi. Ia menyadari di atas meja kecil di dekatnya sudah terhidang secangkir kopi. “Hei!!” Denara protes di atas ranjang. Laptopnya nyaris melompat. “Itu kopiku!!” Terlambat. Selfi telah menyesap secangkir kecil kopi yang ada di meja kecil dekat jendela. “Ups, maaf.” Ia mengibas-ngibas bibirnya yang kepanasan. “Nanti aku pesan lagi, deh!” “Huh, dasar! Itu kan masih panas, aku masih mengangin-anginkannya.” Kafein membuat kepala Selfi kembali normal. Setidaknya untuk sementara. Kopi di pagi hari banyak manfaatnya asal tidak berlebihan. Ia mulai dapat berpikir jernih. “Mimpi buruk. Semalam aku bermimpi buruk.” “Jadi, itu kesimpulanmu?” “Ya, apalagi?” Selfi mengangkat bahu. “Mandi dulu. Dinginkan kepalamu sebelum menghadapi kasus ini.” Selfi tidak menimpali. Ia hanya mengangguk pelan. Denara menunjukkan letak tas ransel miliknya yang telah dipindah semalam. Tas ranselnya menyandar ke kaki bufet. Ia membongkar tas ranselnya mengambil perlengkapan mandinya. Kemudian segera melangkah ke kamar mandi. *** Selfi masih berendam di baththub—hal yang jarang dilakukan dan akhirnya ia bisa berendam di dalam air hangat ketika terdengar sayup-sayup suara tepat di depan pintu kamar mandi. Suara-suara yang tidak dikenalnya. Ia menajamkan telinganya sembari beranjak dari bak mandi. Kamar mandi dalam terletak di sebelah pintu kamar hotel. Selfi perlahan meraih handuk lalu melilit tubuhnya. Kulitnya yang masih basah dan licin mengilap tersapu cahaya lampu. Ia berhati-hati melangkah di lantai kamar mandi yang licin. Setelah berada di dekat pintu kamar mandi, ia memasang telinganya. Suara-suara dari luar mulai terdengar jelas. Meski ia hanya dapat mendengar sepotong-sepotong suara dari percakapan itu. “…ya, saya Inspektur Anton Alam. Kami tengah menyelidiki kasus di hotel ini….” “…saya Denara… kami baru datang kemarin ….” “…yang menginap di kamar 222… ada beberapa pertanyaan. Bisa saya bertemu Selfi?”

“…Selfi kelelahan… mungkin ia berhalusinasi.” “…menulis coretan di dinding….?” “…hah, pekerjaan orang iseng ….” “…kami terpaksa menutup kamar 222….” “…nggak masalah….” Mendengar namanya disebut-sebut, Selfi memutar otak. Ia menyadari sesuatu dan mendapat ide!” Ia sengaja mengeraskan suaranya. “Denara!! Tolong ambilkan pakaianku, dong. Maaf, aku lupa!!” Mendadak pembicaraan di luar terhenti. Keadaan kembali sunyi. Selfi yang mulai kedinginan sudah tidak sabar menunggu. Ia masih memasang telinganya. Tidak sampai semenit kemudian bunyi ketukan terdengar di pintu kamar mandi. Selfi membuka sedikit pintu kamar mandi. Ia meraih pakaian yang disodorkan Denara. Lalu segera mengenakan pakaian di dalam kamar mandi. Setelah berpakaian Selfi bergegas keluar dari kamar mandi. Ia melongok ke kanan-kiri. Tidak ada seorang pun di dalam kamar selain Denara seorang. “Aku tadi mendengar suara pria.” Selfi mendekati sembari mengeringkan rambut basahnya memakai handuk. “Kau bicara dengan siapa?” Denara hanya menoleh sekilas lalu kembali berbaring di atas ranjang. Kembali ke laptopnya yang masih menyala. Ia berkata tanpa melepas pandangannya dari layar laptop, “Nggak ada siapapun. Mungkin kau salah dengar.” Ia tersenyum sinis. “Atau di kamar ini ada penghuninya?” “Jangan bohong, Den.” “Lebih baik kita jaga jarak dari polisi di lapangan. Oke?” “Jadi, barusan polisi yang datang ke sini?" tanya Selfi. “Ya, polisi bisa mengusir kita dari hotel ini.” Denara terlihat kesal. “Lihat saja, mereka menutup kamarmu. Untuk sementara kau bersamaku di sini.” “Tapi, informasi dari mereka bisa jadi materi, kan?” “Iya, mereka akan kita wawancarai. Tapi, nanti … kalau sudah waktunya.” “Kau menunjukkan identitas kita? Mereka tahu kita jurnalis.” “Tentu saja mereka tahu. Mungkin mereka salah satu penggemarmu. Wajahmu kan yang paling sering nongol di televisi.” Denara meraih ponselnya. Ia mencari-cari sesuatu. “Kita harus berurusan dengan polisi yang tepat.” “Lalu, bagaimana kita meriset kasus sebelumnya.” Selfi melemparkan handuk ke sandaran kursi. “Ini kasus ke sekian kalinya.” “Kita punya narasumber di kepolisian. Kau tahu itu.” Denara menempelkan ponsel ke telinganya. Selama sambungan ponsel masih berjalan, ia berkata. “Pangkatnya lebih tinggi. Semua laporan dari anak buahnya akhirnya berada di atas mejanya. Termasuk laporan dari polisi tadi.” Selfi urung menimpali ketika sambungan ponsel Denara diangkat. “Iya. Kami butuh informasi perkembangan kasus di hotel Merkuri….” Denara mengangguk-angguk mendengar suara penjelasan di sambungan ponselnya. “Oh, jadi kami harus menghubungi inspektur itu….? Ya… ya, terima kasih atas waktunya.” “Inspektur siapa?” tanya Selfi penasaran. “Inspektur Anton Alam… dia tadi yang ke sini. Dia yang menyegel kamarmu. Dia juga yang melarang kita menyelidiki kasus ini lebih jauh. Dia juga… masih lajang loh, Fi.” Denara tersenyum dan berkedip-kedip. “Emang apa salahnya melajang? Seperti apa wajahnya? Ganteng nggak?” Kemudian ia mulai mengingat-ingat. “Oh, iya—iya, pernah denger namanya. Reserse yang pernah dikubur hidup-hidup karena menyelidiki mafia narkoba itu kan? Duh, orangnya memang sulit untuk diendus media. Dia menolakku lewat telepon ketika mau mewawancara. Dia termasuk polisi yang low profile tapi berprestasi. Aku nyaris mengecohnya ketika menyamar sebagai agen polisi asing. Mungkin dia juga sedikit pemalu bertemu gadis secantik aku.” Selfi mengerjap-ngerjapkan mata genit ke arah Denara, menggodanya. “Kamu mulai centil ya, Fi. Lihat aja nanti kalau ketemu. Kamu pasti ketemu dengan polisi terlalu rajin itu. Orang-orang yang melajang demi karir itu menyebalkan juga… mereka terlalu serius menekuni karirnya dan biasanya sangat disiplin.” Denara menepuk bahu Selfi.

“Termasuk kita kan? Kita juga sering jadi menyebalkan karena karir!” Selfi mengingatkan. “Enggak juga sih, justru karena itu. Jika kita bisa memakmurkan diri sendiri maka kita juga bisa menolong orang lain juga kan,” sanggah Denara membela diri. Denara hanya dapat menghela napas panjang. Kemudian entah kenapa tiba-tiba sesungging senyum tergambar di wajahnya. “Nah, aku dapat ide bagus nih. Gimana kalau kamu saja yang melobi Inspektur Anton? Kalian kan sama-sama masih muda?” “Wait what?… Maksudnya melobi itu memanfaatkan aku untuk mencari informasi kan? Bukannya berniat jodohin aku dengan inspektur itu?” “Yah, bisa saja kan sambil menyelam minum air!” Denara melirik dari sudut matanya. “Hei? Menyelam sambil minum air? Haha emang lumba-lumba!” Selfi tertawa. “Enggaklah. Aku gak tertarik dengan inspektur atau segala yang berbau polisi gitu. Terlalu kaku dan banyak aturan.” “Emang kamu pernah pacaran ama polisi apa? Banyak gadis yang suka kepada halhal berbau prajurit gitu.” “Belum, eh, enggak pernah. Kan tiap orang beda-beda sis.” “Ya gak bisa menjustifikasi gitu dong.” “Orang juga gak bisa jodoh-jodohin begitu.” “Ya, liat saja nanti. Toh nanti kamu yang merasakan dan memutuskannya.” “Kalau urusan melobi bisa saja, tapi ini bukan ajang perjodohan iya kan? Kamu sendiri yang menyuruhku untuk fokus… fokus Selfi.. fokus…,” ujar Selfi menirukan gaya Denara. Lengkap dengan gestur dan intonasi khas Denara. Pagi itu dipenuhi gelak tawa, seakan mereka tak mengerti bahaya apa yang akan dihadapi dalam kasus virus Ancol kali ini.File 10 The Show Must Go On “Halo, pemirsa… kali ini Fakta dan Kriminal kembali menelusuri kasus kematian misterius yang menimpa penghuni hotel Merkuri… Hotel di kawasan Ancol yang terkenal karena sering terjadi kasus kematian yang mengejutkan. Apakah ini kutukan Ancol? Meski terdengar tidak masuk akal, namun, kenyataan mengatakan lain… Seorang pria ditemukan tewas di dalam kamar hotel Merkuri lantai pertama nomor 96… Anehnya, tubuhnya mengering, darah keluar dari sembilan lubang di tubuhnya. Diduga korban terkena racun yang mengakibatkan penyakit infeksi mematikan… hanya dalam semalam tubuh korban membusuk. Kami harus memakai masker dan mengambil resiko untuk masuk ke kamar korban… Polisi mengendus identitas korban sebagai salah seorang anggota organisasi pembunuh bayaran yang masuk DPO di kepolisian… Polisi menduga korban tidak tewas karena penyakit misterius, melainkan karena dibunuh… Obat bius yang ditemukan dalam darah korban menjadi bukti awal polisi untuk melakukan penyelidikan… Siapa pelakunya? Dan apa motifnya? Simak terus Fakta & Kriminal bersama saya, Selfi Lena untuk setengah jam kedepan….” Selfi melangkah keluar dari frame kamera. Kamera perlahan bergerak menjauhinya, merekam keadaan di pelataran hotel Merkuri. Kru lain mencatat dan mengawasi jalannya syuting. “Oke!! Cut!!” seru kameraman. Selfi membetulkan letak mikrofon yang tersemat di balik kerah T-shirt-nya. Ia memoles wajahnya sendiri memakai riasan tipis. Ia memakai celana kargo yang biasa dipakainya ketika tengah siaran. Ia punya tiga set kostum syuting yang sama. Reporter ala backpacker telah melahirkan trademark bagi dirinya. Hari itu Selfi tidak lagi menghuni kamarnya. Kamar 222 ditutup atas perintah polisi. Ia mempersiapkan segala sesuatu bersama Denara dalam satu kamar. Show must go on. Pengambilan gambar pada petang hari itu tidak ada halangan berarti. Mendung yang berarak rendah tidak menurunkan hujan, bahkan gerimis. Memasuki musim ke tujuh, acara Fakta & Kriminal kali ini berjudul Kutukan Ancol bagian pertama, telah dimulai. Opening scene diambil di depan pelataran hotel Merkuri. Gedung hotel bergaya klasik menjadi latarnya. Bagian pertama menceritakan jalannya penyelidikan awal atas kasus kematian yang terjadi di Ancol. Bagian kedua

menunggu penyelidikan polisi yang berikutnya. Rekan-rekan Selfi bergerak ke lobi hotel. Mereka hendak melakukan take selanjutnya di dalam hotel. Mereka telah mengantongi ijin dari kepolisian untuk melewati garis polisi yang dipasang di depan kamar nomor 96. Namun, Metropolis TV bukan satu-satunya stasiun yang mendapat ijin eksklusif. Mereka berpapasan dengan reporter televisi lain yang ‘bandel’ dan telah selesai meliput keadaan kamar korban. Mereka memakai masker dan sarung tangan. Tanda simbol dan peringatan ditempel di depan kamar. BIOHAZARD!! WAJIB MEMAKAI MASKER dan SARUNG TANGAN Seluruh ruang kamar di lantai pertama telah dikosongkan. Penghuni kamar hotel telah dipindahkan untuk proses penyidikan kepolisian. Polisi juga melakukan penyelidikan di kamar-kamar yang berdekatan dengan kamar korban. Karena diduga kuat pelaku adalah salah satu penghuni kamar hotel. Diduga korban mengadakan perjanjian untuk bertemu di dalam hotel. Di kamar yang telah direncanakan sebelumnya. Mencari bukti keterlibatan penghuni lain. Lampu di sepanjang koridor dipadamkan. Kegelapan menyelimuti ujung koridor bahkan pada siang hari. Satusatunya cahaya masuk melalui jendela yang berada dekat tangga. Namun, tidak cukup menjangkau seluruh ruangan di sepanjang koridor. Sebagian besar penghuni hotel menghindari menginap di dekat kamar korban-korban kematian. Sepanjang mereka tidak mengetahuinya. Pihak hotel memberi warna merah di nomor pintu kamar yang pernah terjadi kasus kematian. Hanya pengunjung yang sengaja menguji nyali mereka. Atau yang mempunyai tujuan ‘khusus’. Turis asing sering tidak mengetahui resiko sebenarnya. Begitupula kru televisi yang sering mengadakan acara ‘penampakan’ di ruangan hotel yang dianggap angker. Alhasil sering terjadi kesurupan. Hotel Merkuri terkenal angker. Puluhan kasus kematian terjadi di hotel tersebut sejak mulai berdiri tiga belas tahun lalu—perbaikan dilakukan setiap akhir tahun. Di sekitar kawasan Ancol sering terjadi berbagai kasus kematian. Banyak saksi mata yang melihat penampakan hantu dari para korban yang tewas mengenaskan. Namun, beberapa orang tidak pernah jera. “Pemirsa… kamar 96 adalah tempat pertama kali ditemukannya mayat korban… berada di ujung koridor… dekat tangga yang menghubungkan ke lantai dua… laporan dua orang penghuni kamar datang bersamaan di meja resepsionis. Kedua pelapor itu memilih untuk keluar dari dalam hotel malam itu juga… seorang pria Prancis dan seorang wanita kantoran yang pada waktu kejadian menginap di kamar dekat dengan kamar korban Kamar pelapor terletak di depan dan di sebelah kamar korban … ini kamar nomor 46 dan nomor 97 … mereka mencium bau yang menyengat … dari mayat manusia …” Take terus berlangsung. Lampu dari kedua kamera menjadi satu-satunya penerang yang menyorot Selfi di sepanjang koridor. Memandu setiap langkahnya. Dua kamera stand by di depan dan belakangnya. Mengikuti dan merekam setiap gerak-geriknya. “Penghuni kamar telah dievakuasi… dipindahkan ke kamar lain… dan sekarang polisi tengah menyelidiki kamar yang berada di dekat kamar korban ….” Pintu kamar korban tertutup rapat. Tangannya yang tertutup sarung tangan karet memutar perlahan kenop pintu. Setiap orang yang keluar-masuk harus menutup pintu kamar. Ia merunduk ketika melewati garis polisi yang melintang di ambang pintu. Ia berhati-hati ketika memasuki kamar korban. Kamera mengikuti gerakannya. Sebelum masuk ke koridor, Selfi dan rekan-rekannya telah mengenakan masker dan sarung tangan. Mereka berusaha agar tidak menyentuh apapun. Kontak dengan perabotan dalam kamar ditengarai akan menularkan penyakit yang telah membunuh korban. Kamar itu masih menjadi TKP yang masih dalam penyelidikan pihak kepolisian. Meski telah mengenakan masker, aroma busuk samar-samar masih tercium di dalam ruang kamar. Sia-sia jendela yang telah dibuka lebar-lebar sejak hari pertama penemuan mayat korban. Bercampur aroma antiseptik dan antibiotik dari gas yang telah

disemprotkan ke dalam ruangan. “Hingga saat ini identitas kedua pelapor tersebut masih diselidiki pihak kepolisian… karena ada dugaan kuat kedua pelapor tersebut menjadi saksi kunci yang sangat penting bagi penyelidikan kepolisian… ya, diduga mereka melihat pelaku ….” Lampu kamar tiba-tiba meredup. Seakan penata lampu telah mengaturnya. Angin dari jendela menyeruak masuk ke dalam koridor. Tim Metropolis TV merasakan dingin yang tidak biasa di dalam kamar korban. Mereka berusaha mengusir perasaan tidak nyaman di hati mereka. Selfi mendekati ranjang tempat korban ditemukan tewas bersimbah darah. Darah yang telah mengering dan menghitam memenuhi sprei ranjang. Darah kering juga menutupi lantai di bawah ranjang. Terpal plastik lebar dan transparan menutupi ranjang hingga karpet di bawahnya. Selfi membetulkan letak mikrofon di kerah bajunya. “Pemirsa. Ini adalah ranjang tempat ditemukannya korban tewas bersimbah darah… bisa Anda lihat pemirsa, ranjang ini masih ditutupi darah yang telah mengering… polisi masih hendak melakukan penyelidikan di dalam kamar ini… mereka….” Selfi tidak meneruskan kata-katanya. Suara jeritan terdengar dari samping tubuhnya. Ia terlonjak kaget. Seorang rekan Selfi ambruk ke atas lantai kamar hotel. Tubuhnya kejang-kejang. Cahaya lampu kamera menerangi tubuhnya yang terkapar di lantai. “Matikan kameranya!” sergah Selfi. Ia menutupi lensa kamera yang masih merekam kejadian itu. Namun rekannya tidak mengacuhkannya. Rekan Selfi yang ambruk, seorang wanita berumur dua puluhan dari koordinator peliputan bernama Tiara. Bola mata Tiara memutih. Suaranya tiba-tiba serak dan berat. Terdengar seperti suara seorang pria. “Pergi kalian!! Tempat ini terkutuk!” Kamera masih merekam kejadian itu. Kepanikan terjadi di dalam kamar. Suara-suara saling tumpang tindih, berputar-putar di dalam kepala Selfi “Minggir!!” “Bawa keluar!!” “Matikan kameranya!!” “Lu denger kagak?!!” “Gak apa-apa… nyalakan saja terus kameranya!” “Ini bukan setingan! Woy!” Kemudian seruan lain terdengar dari ambang pintu. “Apa yang kalian lakukan di tempat ini?!!” Tiga orang polisi bergegas masuk ke dalam kamar. Inspektur Anton termasuk diantara mereka. Tulisan peringatan yang sebelumnya tertempel di luar kamar ditutupi selembar kertas bertuliskan: SELAIN POLISI DILARANG MASUK! Namun, kru acara fakta dan kriminal terlalu jauh melangkah ke dalam koridor. “Tolong segera keluar!!” seru polisi yang datang. Mereka bergegas masuk setelah mendapat laporan dari seorang staf hotel yang tak setuju hotelnya dijadikan sensasi media. Berbeda dengan manajer yang justru mendukung acara itu. “Siapa yang mengijinkan kalian masuk ke TKP?!” Polisi yang lain mendorong seorang kameramen yang terus merekam pengusiran itu. “Hei, matikan kameranya!” “Kamera sudah mati!” bantah kameraman. “Lah, itu lampunya kok masih nyala? Kalian mau mati konyol?” “Sebaiknya kalian segera keluar agar tidak jatuh korban lagi.” Inspektur Anton menggotong tubuh Tiara yang pingsan keluar dari koridor. “Beri jalan!” Selfi baru menyadari bahwa lelaki yang dilihatnya itu adalah Inspektur Anton. Ia masih dapat mengingat suaranya. Entah kenapa ada perasaan cemburu ketika inspektur itu menggotong tubuh gadis bernama Tiara. Ia mengira itu perasaan normal ketika melihat lelaki gagah di depannya. Inspektur Anton menidurkan Tiara di kursi ruang tunggu. Ia meminta kru yang lain menyadarkan gadis itu dengan minyak kayu putih. “Tolong beri udara segar jangan berkerumun di sini. Hei, kau, ya kamu.” Kebetulan yang ditemuinya adalah Selfi. “Kau bawa minyak kayu putih atau parfum yang menyengat?” tanya Inspektur Anton.

“Enggak, tapi, apa deodoran bisa?” tanya Selfi nampak gugup. Sebagian karena rasa bersalah telah ikut menyebabkan seorang kru terlibat masalah dengan polisi. Di sisi lain, entah kenapa, pandangan Inspektur Anton membuatnya salah tingkah. Dalam pandangannya Inspektur Anton jauh berbeda dari bayangan seorang anggota polisi yang cepak dan rapi. Bahkan Inspektur Anton tak nampak seperti polisi dengan potongan rambut panjang dan pakaian santai. Petang itu Inspektur Anton hanya mengenakan celana jins, kaos dan selop. Dari kemarin malam ia menginap di kantornya yang pengap demi merekonstruksi kasus itu. Setelah mendengar kabar bahwa kru TV tengah merekam koridor tempat kejadian, ia segera menuju ke hotel Merkuri. Denara yang ikut panik karena seorang kru kesurupan nampak juga nampak gugup di depan Inspektur Anton. Ia tak menyangka seorang kru akan pingsan di tengah pengambilan gambar. Jika itu setingan dari krunya, ia tak akan memaafkan mereka. “Maaf, Inspektur. Kami tadi sudah mendapat ijin dari manajer.” Denara tak dapat memandang langsung tatapan mata Inspektur Anton. “Ini adalah peringatan pertama. Jika kalian tak mematuhi peringatan polisi maka akan ditindak tegas. Ini juga untuk kebaikan kalian, untuk kebaikan kita.” Inspektur Anton bergegas meninggalkan ruang tunggu di lobi hotel. “Kita semua masih menyelidiki kasus ini. Kita masih belum tau seberapa bahayanya kasus ini. Kita hanya bisa mengantisipasi. Karena itu bahayanya lebih dari yang dapat kita bayangkan.” Denara hanya mengangguk dan beberapa kali mengucapkan kata maaf. Selfi tak dapat berkata apapun hanya mengamati Inspektur Anton yang menurutnya cukup keren sebagai polisi berdedikasi. Meski telah diwanti-wanti agar menjauh dari kasus itu, dalam hati, Selfi bersyukur dapat bertemu lagi dengan Inspektur Anton. Kesan pertama itu begitu membuat Selfi penasaran terhadap inspektur satu itu. Dan entah kenapa ia merasa bahwa inspektur itu juga penasaran dengannya. *** “Sinting nih reporter sekarang. Rela menempuh bahaya.” Inspektur Anton mengomel di dalam mobil sepanjang perjalanan. Setelah mengusir para wartawan dari hotel Merkuri, ia berencana kembali ke kantornya. “Ya, apalagi itu reporter cantik yang bernama Selfi itu. Masih ada gadis cantik yang berani menempuh bahaya.” “Oh, dia, host acara TV itu ya. Aku dengar dia bahkan pernah berada di daerah konflik. Sayang banget, cantik tapi gila.” Wajah Inspektur Anton nampak cemas. Mobil inspektur polisi itu sudah menuju ke kantornya ketika sebuah bunyi sirine terdengar. Bukan sirine mobil polisi, tapi dari sirine pemadam kebakaran. Di kawasan mall yang dilewati mobil inspektur polisi itu tengah terjadi kebakaran di salah satu kafe. Pemadam kebakaran yang datang dapat menyelamatkan kafe yang terbakar, namun sayangnya mereka menemukan mayat. Korban tewas adalah pemilik kafe karena ia berada di kamar karyawan di sebelah dapur. Mayatnya hangus terbakar, namun anehnya perhiasan di tubuhnya ikut raib! Inspektur Anton yang berada di sekitar TKP segera memeriksa tempat itu. Ia memeriksa saksi yang berada di tempat kejadian. “Kalian berada di mana dan sedang apa saat kejadian?” tanya Inspektur Anton kepada tiga tersangka itu. Berikut pengakuan tiga tersangka itu. Pengakuan karyawan kafe. Ia mengatakan baru saja keluar dari toilet saat api sudah membesar dan melihat tubuh pemilik toko telah terbakar. “Kemarin pemilik toko sempat mengatakan hendak menggadaikan perhiasannya,” ujar karyawan kafe. Seorang koki mengaku dapat lolos dari kebakaran itu. “Saya nyaris terjebak di dalam kebakaran itu karena sedang memeriksa barang di gudang yang berada di dekat dapur. Untungnya saya bisa keluar melalui ventilasi.” Agen kafe mengatakan saat itu ia hendak menurunkan makanan kaleng dari mobil. Setelah melihat asap ia bergegas masuk dan mengatakan bahwa api berasal dari tabung gas yang bocor hingga membakar pemilik kafe yang berusaha keluar dari dapur. “Saya tak bisa menyelamatkannya karena tubuhnya sudah terlalap api. Saya tak tau mengenai perhiasan yang raib di tubuhnya.” “Kebakaran ini disengaja, seorang dari mereka telah berbohong,” ujar Inspektur

Anton. Siapakah tersangka yang dicurigai Inspektur Anton?File 11 Halusinogen INSPEKTUR Anton tidak percaya ketika mendengar bahwa ijin memasuki TKP turun langsung dari atasannya sendiri. Pihak kepolisian seakan tidak berdaya menghadapi tekanan dari media massa yang berpengaruh, termasuk Metropolis TV milik salah satu petinggi partai berpengaruh yang duduk di DPR. Kerja sama simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Kepolisian mendapat pencitraan positif, bonusnya promosi. Sedangkan media massa memperoleh berita aktual dalam waktu relatif singkat. Media saling bersaing meraih rating, menyajikan berita yang menyita atensi publik. “Rekan-rekan Selfi masih memenuhi koridor. Salah satu rekannya yang kesurupan masih terbaring lemas di atas kursi ruang tunggu di lobi hotel Merkuri. Jadwal syuting program Fakta dan Kriminal diundur. Rapat dadakan diadakan di tempat itu demi menentukan langkah berikutnya. Sehabis rapat, Denara segera datang bersama manajer stasiun televisi ke lokasi. Mereka tengah berada di kantor stasiun televisi ketika kejadian pada petang hari itu terjadi. Denara yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Karena ia meminta ijin dari atasan kepolisian yang anak buahnya tengah melakukan penyelidikan. “Kalian dilarang memasuki TKP,” ujar Inspektur Anton. “Kamar itu masih dalam proses penyelidikan tim forensik. Kamar itu diduga masih terkontaminasi penyakit.” “Saya kira kepolisian sudah memberi ijin,” ujar Denara. Ia menunjukkan surat ijin bermaterai. Tembusan Ajudan Komisaris Polisi Jakarta Pusat, atasan Inspektur Anton. “Maaf, itu bukan urusan saya.” Inspektur Anton menolak surat yang disodorkan Denara. “Saya melarang Anda atau siapapun merusak TKP. Saya yang bertanggung jawab penuh di tempat ini.” Ia mengerutkan dahinya mengamati Tiara yang sudah siuman dari pingsannya. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Inspektur Anton. “Apakah gadis yang pingsan itu belum makan atau apa? Kenapa bisa pingsan di tempat kejadian?” “Maaf, saya nggak berada di tempat kejadian,” ujar Denara. Waktu itu kebetulan saya sedang mengetik di lobi. Selfi yang mendengar pembicaraan menoleh. Ia beranjak dari samping rekannya yang masih nampak lemas. Ia melangkah mendekati Denara dan menyela, “Rekan kami tiba-tiba kesurupan.” “Kesurupan?” Inspektur Anton heran. Sebelumnya ia mengira karena terkena sisa racun yang masih melekat di dalam kamar. “Ya, saat pengambilan adegan di dalam kamar.” “Bukankah itu sebagian dari skenario kalian? Para penebar sensasi?” Telinga Selfi memerah. “Maaf, tapi kami bukan pembohong! Lagian itu bukan setingan. Saya melihat dengan mata kepala sendiri kejadian di dalam kamar!” “Kamu percaya hal mistis di hotel ini?” tanya Inspektur Anton. Selfi terdiam. Ia menyadari sesuatu. Berbagai suara terdengar dalam pikirannya. Bisa saja produsernya, Denara, dan rekan-rekannya diam-diam membuat ‘skenario’ lain. Setingan yang membuat acara di TV itu semakin menebar sensasi. Ia teringat ketika kameramen masih terus merekam bukannya menolong rekan mereka yang kesurupan. Ia hanya dapat bertanya-tanya dalam batin. Kesurupan disengaja? Tapi untuk apa? Atau memang hotel ini angker? Penghuni gaibnya berusaha memperingatkan kami? Mereka tidak perlu melakukannya jika rating Fakta dan Kriminal bagus. Bukan program acara penampakan picisan. Jika kejadian kesurupan itu ikut disiarkan maka acara itu nampak sebagai acara mistis picisan. “Entahlah,” sahut Selfi tidak habis pikir. “Saya nggak percaya hal-hal mistis. Namun, kemarin malam saya melihat sendiri coretan aneh di dinding kamar itu. Setelah bermimpi buruk.” “Jadi, Anda penghuni kamar 222 di lantai tiga?” Inspektur Anton menatap Selfi. “Saksi mata mengatakan Anda menjerit kemarin malam?” “Ya, mungkin karena saya kelelahan. Kemarin saya baru saja bertolak dari

selesai meliput di Surabaya. Kemudian datang kasus itu yang memaksa saya untuk kembali ke Jakarta.” Selfi melirik Denara yang ikut mendengarkan percakapan itu. Wajah Denara nampak ikut menyesal. “Kemari. Ikut saya. Saya butuh beberapa informasi terkait coretan di dinding itu. Kebetulan Anda sedang ada di sini.” Inspektur Anton melambaikan tangan agar Selfi mengikutinya. Denara terdiam. Ia melangkah di samping Selfi. Mereka berjalan ke tangga menuju lantai tiga. Kamar nomor 222 tidak jauh dari tangga. Di koridor itu tak ada tanda peringatan dari polisi karena tak termasuk area yang terjangkit. Satu-satunya tanda hanya garis polisi yang melintang di depan kamar nomor 222. “Kami tengah melakukan penyelidikan di kamar nomor 222.” Inspektur Anton membuka garis polisi yang menutupi kamar itu. “Ya, itu kamar tempat pertama kali saya menginap.” Selfi dan Denara melangkah di belakang Inspektur Anton. Koridor lantai tiga terang benderang, semua lampu di koridor dinyalakan. Sesampai di depan kamar nomor 222, garis polisi telah terpasang di depan pintu kamar itu. Kamar Denara berada di sampingnya, kamar nomor 223. “Jangan menyentuh apapun di dalam kamar ini.” Inspektur Anton membuka pintu kamar. Lampu di dalam kamar menyala terang. Ia mendekati saklar yang berada di tembok dekat pintu masuk. Sebelum menekan saklar, ia berkata, “Lihatlah baik-baik. Apa yang akan terjadi.” Lampu di dalam kamar padam. Kegelapan menutupi ruangan. Selfi dan Denara kaget. Mereka terheran-heran. Seluruh tembok kamar dipenuhi coretan warna hijau benderang. Coretan angka 2 dan kata loro tumpang tindih di tembok hingga ke langit-langit kamar. “Ini—ini … seperti kemarin malam.” Kedua mata Selfi tidak berkedip. Bayangan kejadian malam berkelebat dalam kepalanya. Coretan-coretan di tembok kamar semakin jelas. “Resorsinolftalein… atau fluoresen,” papar Inspektur Anton. “Zat yang mempunyai sifat memancarkan cahaya.” Ia nampak berlagak sok pintar karena Selfi memerhatikannya. “Pelakunya mencoret dinding ini dengan fluoresen?” Selfi segera mengerti. “Ya, namun ada campuran zat lain.” Inspektur Anton kembali menyalakan lampu. “Zat halusinogen yang mudah menguap jika terkena intensitas cahaya dalam waktu lama. Indikator kimia mendeteksi zat halusinogen dari udara. Hasil laboratorium baru keluar tadi pagi. Cahaya lampu di dalam kamar ini mampu menyebabkan zat itu menguap.” “Halusinasi?” Denara menimpali. “Persis seperti dugaanku kemarin.” “Dalam waktu setengah jam, penghuni kamar ini akan mengalami halusinasi.” “Siapa saja?” “Ya, siapa saja. Lebih efektif jika ia tengah tertidur.” “Benarkah? Jadi, yang aku lihat kemarin malam itu ….” “Apa yang kau lihat?” “Ah, hanya mimpi… mimpi buruk.” Untuk beberapa saat Selfi sangsi. Kemudian ia menceritakan kejadian kemarin malam. “Saat itu aku kelelahan. Nyaris tertidur di atas ranjang ketika bunyi itu membuatku terjaga. Bunyi benda diseret di atas lantai. Samar-samar bayangan sosok perempuan terlihat tepat di depan ranjang. Ia tengah menyeret sesuatu. Ketika saya beranjak untuk melihatnya, sesosok mayat pria yang tercekik gesper tengah diseret ke arah jendela.” Jemari Selfi menunjuk ke arah jendela. Inspektur Anton terhenyak. Ia terlihat berpikir keras. “Pelakunya sengaja memilih kamar ini. Karena di sini pernah terjadi kasus pembunuhan.” “Siapa saja bisa mengalami halusinasi semacam itu,” sahut Denara. “Seorang perempuan membunuh pria selingkuhannya. Lalu melemparkan mayatnya melalui jendela. Perempuan itu kemudian menyusul melompat, bunuh diri. Kejadiannya persis seperti yang Anda ceritakan,” papar Inspektur Anton. Untuk beberapa lama ruangan itu sunyi. Mereka terdiam. Kemudian suara Denara memecah kebisuan. “Ya, saya pernah mendengar kasus itu. Perempuan itu sakit hati karena kekasihnya urung menikahinya.”

“Sakit hati…? ya—ya, sakit hati berarti loro atau lara dalam bahasa Jawa,” timpal Inspektur Anton. “Itu pesan coret-coretan itu.” “Hai, bisa juga berarti angka dua… loro atau dua.” Selfi ikut mengerutkan dahi. “Apakah akan terjadi pembunuhan kedua? Coretan ini sebuah petunjuk. Siapa saja dapat menemukan petunjuk ini. Kebetulan kemarin malam saya yang menginap.” “Hah, jangan terhasut. Pelakunya hendak mengaitkan dengan legenda Nyi Rara Kidul. Banyak yang menyebutkan Nyi Rara Kidul atau Nyi Loro Kidul,” ujar Denara. “Ratu yang identik dengan warna hijau… seperti warna coretan itu.” “Semua mulai berkaitan. Roro atau rara berarti ratu… loro atau lara bisa berarti dua atau sakit hati. Rara juga berarti perawan… belum menikah.” Selfi seperti berkata kepada dirinya sendiri. “Bunyi pesan itu kira-kira begini ‘Ratu kedua yang masih perawan hendak membalas dendam atas sakit hatinya’.” “Hmmm, ya kurang lebih. Mungkin pelakunya hendak mengatakan pesan seperti itu,” pungkas Inspektur Anton. Ia melambaikan tangan agar mereka segera keluar dari dalam kamar. Ia menutup kamar rapat-rapat lalu kembali memasang garis polisi. Keraguan menyelimuti hati mereka. Antara percaya dan tidak, mereka bertanya-tanya: apakah Nyi Rara Kidul telah kembali? *** Selfi bersama Denara kembali ke kamar mereka. Mereka hendak berpisah dengan Inspektur Anton di depan pintu kamar. Inspektur itu seperti hendak mengatakan sesuatu, namun diurungkan. Jika tidak karena Selfi yang membuka topik. “Kalau ada bahaya kami harus menghubungi siapa?” tanya Selfi. “Oh, bisa langsung ke nomerku.” Inspektur itu mengeluarkan ponselnya. “Berapa nomor ponselmu?” Selfi nampak berhati-hati ketika mengucapkan nomer ponselnya. Kemudian ponselnya berbunyi. “Itu nomerku. Jika perlu bantuan panggil saja.” Inspektur Anton bergegas kembali ke koridor. “Tunggu informasi dariku atau rekanku tentang perkembangan kasus ini. Tugas menyelidiki kasus ini adalah tugas polisi. Kalian hanya perlu mengklarifikasi setelah kami mengadakan konferensi pers.” Denara hanya mengangguk, namun dalam kepalanya ia memikirkan langkah selanjutnya. Jejak di kamar nomor 222 memberi mereka bonus berita yang menarik. Berharap memberi titik terang bagi kasus yang tengah mereka hadapi. “Ini bisa jadi awal berita bagus.” Denara tampak bersemangat. “Setidaknya kita tahu apa tujuan pelaku yang sebenarnya.” “Dan aku berada di sana. Menyaksikan dengan mata kepala sendiri.” “Simpan itu. Ini penting nggak penting.” “Anehnya, legenda ternyata dapat masuk akal seperti ini.” “Belum semua.” “Ini program Fakta dan Kriminal.” “Kita harus mengantongi ijin untuk merekam keadaan kamar itu.” Denara menatap lekat-lekat ke arah Selfi. “Apa?” Perasaan Selfi tidak nyaman. “Aku berharap padamu.” Mata Denara mengatakan sesuatu. Selfi mengerti. “Ng—nggak, aku gak ingin merayu seorang Inspektur polisi lagi! Untuk kedua kalinya.” “Ayolah. Apa salahnya…? Ini untuk kita.” “Aku….” Dering ponsel Selfi memotong pembicaraan itu. Save by the bell. Ia buru-buru meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Panggilan dari ibunya. “Ya, haloo….” Beberapa menit tidak ada suara. Selfi hanya mendengarkan suara ibunya di dalam ponselnya. Tubuhnya membeku. Hanya kedua matanya yang bergerak-gerak. Kemudian suaranya mendatar, “Ya, ya… aku di Jakarta. Belum bisa pulang. Maaf, Bu. Semoga di sana lancar.” Selfi hanya mengiyakan perlahan kemudian mengakhiri pembicaraan itu. Selfi tanpa ekspresi. Ia duduk di tepi ranjang. “Ada apa?” tanya Denara. Namun, Selfi memandang kosong. “Selfi… ?” desak Denara. Sedikit meninggikan suaranya.

Selfi tersentak ketika menyadari Denara berbicara di dekatnya. “Keluargaku hendak mengenalkanku ke cowok. Lagi, ini sudah keberapa kali aku gak ingat lagi." “Cowok yang mana?” “Ya, gitu setiap ada acara keluarga, aku biasanya dikenalkan ke cowok yang mereka pikir baik untukku. Dan Ibuku berceramah seperti biasa.” “Kau menyerah sekarang?” “Tentu saja nggak!” Selfi mendengus. “Mau mendekati Inspektur Anton?” Denara kembali tersenyum. “Pleaseee jangan paksa aku.” Namun, Selfi tak nampak sungguh-sungguh dalam berkata. Wajahnya bersemu merah.File 12 Legenda Sang Ratu "LANGIT Pajajaran sore itu lebih cepat gelap dari hari biasanya. Pada abad ke15 masehi. Warga di pedukuhan di sekitar Kerajaan Pajajaran terheran-heran menyaksikan rombongan awan hitam yang terbentuk di atas gunung. Memenuhi langit wilayah kerajaan. Kemudian berarak terbang melintasi hutan menuju ke atas bangunan keraton Kerajaan Pajajaran. Diam tidak bergerak untuk beberapa lama. Dalam penglihatan orang awam, awan itu terlihat seperti mendung biasa. Namun, dalam penglihatan Mpu sakti di dalam kerajaan, awan mendung itu berujud ratusan keris pusaka. Sihir hitam yang ditujukan kepada putri Kerajaan Pajajaran, Putri Kadita. Sang putri yang tengah berada di dekat kolam ikan di tengah Keputren tengah bimbang. Ketika melongok ke kolam yang airnya jernih, ia terkejut melihat perubahan pada wajahnya. Ia meraba garis kasar dan kerutan dalam yang perlahan terbentuk di pipinya. Tidak berapa lama wajahnya seburuk kulit kayu. Membusuk dan mengeluarkan aroma nanah. Ia menyadari dirinya tengah terkena sihir hitam. Ia memilih melarikan diri dari kerajaan. Tidak ada yang melihat ketika Putri Kadita menyembunyikan wajahnya dengan jubah usang. Ketika sampai di atas karang pesisir pantai Laut Selatan, ia menceburkan diri ke tengah deburan ombak yang bergulung-gulung. Ombak membawa tubuhnya ke tengah samudera, laut selatan Jawa. Di kedalaman samudera yang membiru. Tubuh Putri Kadita mengapung dalam kegelapan samudera. Gelembung udara terakhir keluar dari hidung dan mulutnya. Tibatiba seberkas cahaya kehijauan datang dari atas permukaan laut. Menerobos kegelapan samudera. Menyelubungi tubuh Putri Kadita dengan pendaran cahaya kehijauan. Perlahan kulit yang membusuk mulus kembali. Kemudian muncul seekor naga dari batu karang. Tubuh naga itu melilit tubuhnya. Kulit naga itu mengeluarkan cahaya kemilau kehijauan. Kemudian Kanjeng Ratu Kidul mulai menampakkan diri dari dalam kerang raksasa, di dalamnya terdapat singgasananya. Kanjeng Ratu Kidul, penguasa laut selatan, bertitah bahwa saat itu Putri Kadita menjadi patihnya. Memberinya gelar Nyi Roro Kidul. Penghuni lautan berbondong-bondng keluar dari kegelapan samudera. Mereka menyambut Putri Kadita. Mereka memberi hormat dan bersumpah setia menjadi bala tentaranya. Pasukan kerajaan laut berencana membalas dukun kerajaan yang telah mengirim sihir hitam kepada Dewi Kadita. Namun, Sang Dewi menolaknya. Ia mengampuni orang yang telah menyihirnya. Ia memerintahkan pasukannya untuk memperluas kerajaan laut selatan. Dan menolong setiap perempuan yang juga mengalami nasib serupa. Abad berganti abad. Kerajaan Ratu Laut Selatan semakin ramai. Banyak perempuan sakit hati yang telah ditolongnya ketika hendak mengakhiri hidupnya. Pada Abad ke-19. Di tanah Betawi, tepatnya di kampung Ancol. Perempuan bernama Siti Ariah tengah bersusah payah dalam pelariannya. Ia menolak dijodohkan dengan pria tua, seorang bandit kaya raya di desanya. Cukong kaya itu mengirimkan anak buahnya untuk menangkap Siti Ariah, hidup atau mati, karena telah menolak lamarannya mentah-mentah. Ketiga centeng berhasil menangkap Siti Ariah di atas jembatan gantung Ancol. Namun, Siti Ariah memberontak. Niat untuk menggagahi Siti Ariah timbul. Sebelum ketiga centeng berhasil menggagahi Siti Ariah, mereka tibatiba terkena sihir hitam. Kulit ketiga centeng itu membusuk, kering seperti mayat hidup. Mereka tewas seketika di depan tubuh Siti Ariah yang nyaris telanjang. Siti Ariah merapikan pakaiannya kembali.

Dari ujung kegelapan di kali Ancol. Sosok perempuan bertubuh naga mengapung ke arah Jembatan Ancol. Perempuan itu tidak lain adalah Ratu Laut Selatan. Ia mengangkat tubuh Siti Ariah yang telah lemah dan terluka ke atas bagian tubuhnya yang berujud naga. Siti Ariah dan Nyi Rara Kidul menghilang dalam kegelapan di muara kali Ancol. Sejak saat itu Siti Ariah menghilang. Tubuhnya tidak diketemukan. Warga di kawasan Ancol sering melihat penampakan Siti Ariah alias Si Manis Jembatan Ancol. Sejak tahun 1995 sampai sekarang… legenda itu kembali lagi..." Narasi acara televisi berjudul Mitos yang tayang di Golden TV sesekali disertai cuplikan adegan dan foto-foto dari tempat kejadian. Foto yang diambil dari lukisan klasik jaman Belanda hingga foto digital jaman sekarang. Adegan-adegan diperankan oleh aktor. Mengisahkan legenda dari kisah Nyi Rara Kidul, Ratu Laut Selatan, patih Kanjeng Ratu Kidul sampai Si Manis Jembatan Ancol. Keduanya bernasib sama; wanita yang sakit hati. Opening scene program acara televisi berjudul Mitos mengawali berita tentang menghilangnya artis sekaligus model Maria Eliza di dekat Jembatan Ancol. Lalu host menggiring imajinasi pemirsa bahwa Maria telah diculik Si Manis Jembatan Ancol. Dan membuat kesimpulan bahwa kasus menghilangnya Maria merupakan rentetan kutukan dari penyakit aneh yang menyebar di hotel Merkuri. Program acara berdurasi satu jam tayang setiap hari pada siang tengah hari. Untuk setengah jam Selfi menyimak acara televisi itu. Tidak bergerak di kursi di ruang kantor stasiun Metropolis TV. Pikirannya tengah berkecamuk. Belahan dirinya memikirkan keluarganya yang berada di Jawa Timur. Ia membayangkan adikadiknya tengah menunggu kedatangannya untuk tertawa bersama. Sudah setahun ia tak pulang, kalau pun pulang hanya beberapa hari. Di sisi lain ia memikirkan misteri tanpa ujung yang tengah dihadapinya. Sampaisampai ia tidak menyadari seseorang yang mendekatinya. “Jurnalis lain tengah mengaduk-aduk berita ini. Persis gado-gado.” Suara Denara membuat Selfi terlonjak dari kursinya. Ia mendapati Denara sudah berdiri di sampingnya. “Kapan kau ke sini?” tanya Selfi. “Kau keasyikan nonton sih. Siaran itu dari Golden TV, saingan kita, bahkan lebih agresif,” sambung Denara. “Dan terkesan sembrono. Mereka menghubungkan kasus kematian yang terjadi di hotel Merkuri dengan pembalasan ‘hantu’ artis muda berbakat Maria yang dikabarkan telah meninggal dan merencanakan untuk balas dendam.” “Artis termahal saat ini?” Selfi menunjukkan majalah yang ditemukannya di kamar hotel. “Ya, Maria Eliza menghilang ketika syuting film terbarunya. Entah kebetulan atau tidak, ia menghilang di dekat Jembatan Ancol.” Denara nampak berpikir keras. “Aku masih gak ngerti.” Selfi mengerutkan kening. “Ssstt… kita simak dulu acara mereka. Sebelum mereka melihat acara kita.” Setelah jeda iklan, program TV Mitos tayang kembali. Selfi dan Denara membisu ketika menyimak acara itu. Host acara Mitos, Ratna Palin, muncul dengan ekspresi dan suaranya yang khas. Terdengar dibuat-buat. Menciptakan nuansa misteri yang kental. Ditambah musik latar acara yang serasi dengan suasana acara. “Berangkat dari mitos dan legenda… berbagai versi kisah Nyi Lara Kidul dan Si Manis Jembatan Ancol memberikan kesan tersendiri… Kisah perempuan yang dipasung martabatnya dari sejak jaman Siti Nurbaya sepertinya terulang kembali… benarkah hilangnya Maria berkaitan dengan legenda Nyi Lara Kidul dan Si Manis Jembatan Ancol? Kabar angin tentang meninggalnya artis berdarah Sunda-Rusia itu semakin menambah misteri… Apakah pria yang mati terkena kutukan Ancol di hotel Merkuri adalah orang yang bertanggung jawab atas kematian Maria? Apakah hantu Maria ditolong Si Manis Jembatan Ancol untuk menuntaskan dendamnya….?” Denara meraih remote lalu mematikan TV di depannya sembari mengeleng-gelengkan

kepala. “Nggak mungkin menghilangnya Maria karena diculik ‘arwah’ gaib. Nggak masuk akal!!” sindirnya. “Mistis adalah jalan pintas tercepat untuk menyimpulkan sesuatu dengan sembrono. Tapi ada sedikit fakta yang terungkap di sana. Kita perlu mencari hubungan Maria dengan kasus ini. Jurnalis lain dan polisi tengah memasang mata ke arah Maria. Anehnya, kasus menghilangnya Maria terjadi tepat setelah kasus kutukan Ancol itu, masih di kawasan yang sama. “Jadi berita tadi ada benarnya, dong?” tanya Selfi. “Walau sedikit?” “Ya, harus kuakui. Entahlah, benar atau tidak, kayaknya kita kalah selangkah dengan stasiun TV lain dalam mengembangkan kasus ini.” Denara menghela napas. “Bagaimana kabar Inspektur Anton?” “Loh, kok tanya ke saya? Emang saya siapanya?” Selfi heran. “Jadi kamu belum diajak makan malam bareng sama dia?” Denara mengedipkan mata. “Kalau gitu gimana kalau kamu yang mengajak dia untuk bertemu?” “Oh, pliss.” Selfi mendengus. “Kamu kan sudah diberi nomer ponselnya. Aku deh yang traktir, sebut saja nama restorannya.” “Kalau makan bareng gimana? Kalau sendirian aku belum bisa.” Selfi nampak memohon untuk tidak ditugaskan mendekati inspektur polisi muda itu. “Loh, kenapa aku harus ikut? Kan bisa merusak suasana. Kamu sendiri saja yang masih muda. Usia kalian kan masih belum terlalu jauh terpaut.” Denara masih bersikeras. “Gimana kalau kau menyamar saja? Mafia pun pernah kau kecoh kan? Masa dengan inspektur polisi saja takut? Dia gak akan menggigit kok.” “Dia itu bukan inspektur sembarang. Dengan satu kali melihat pun dia pasti bisa membongkar penyamaranku.” Selfi tersenyum geli. “Dan nampaknya dia juga ahli menyamar, lihat saja penampilannya yang seperti seniman.” “Coba saja dulu, ini perintah. Atau bonusmu kupotong bulan ini.” “Duh, kalau menghadapi mafia aku lebih berani daripada inspektur itu.” Selfi mendapat tatapan ‘seorang bos’ dari Denara. “Oke... oke... deh, aku coba.” Ia tak mau kehilangan bonus bulanan yang akan dipakai untuk membeli hadiah untuk adiknya yang baru menikah. Selfi melatih logatnya agar nampak seperti bule. Ia lancar lima bahasa: Arab, Mandarin, Prancis, Inggris dan Jerman. Bahasa inggrisnya cukup lancar dan fasih. Namun, biasanya lawan bicaranya akan mengajak untuk menggunakan bahasa setempat. Ia akan kembali menggunakan identitas sebagai reporter asing yang akan menulis kasus di hotel Merkuri. Sebagai Agatha Casey Holmes. Kali ini ia memakai rambut warna tembaga. “Sang Ratu Penyamaran telah kembali!” seru Denara menyoraki Selfi. “Plis deh jangan lebay. Salah-salah aku bisa ditangkap sama inspektur itu!” Selfi menghela napas. “Enak kan? Ditangkap ke dalam penjara hatinya?” goda Denara. “Hussshh!” Selfi segera mematut-matut diri di depan cermin. Mengawasi penampilannya yang baru. Perlahan ia memasang kacamata dan melatih logatnya. *** “Agatha… Casey… Holmes,” ujar Inspektur Anton di sudut kafe itu. Keningnya berkerut. Ia memeriksa tanda pengenal press yang disodorkan gadis itu padanya. “Jadi Anda dari Sidney? Majalah sains? Orang tua Anda pasti penggemar novel Agatha Christie dan Sherlock Holmes?” “Yap… agar lebih enak ngobrolnya, saya pakai bahasa Indonesia saja ya.” Agatha membetulkan letak kacamata yang melorot di hidungnya. “Ehem. Bisa kita mulai?” “Oke silakan. Tapi sebelumnya saya sudah pesan menu enak di kafe ini. Anda beruntung karena hari ini atasan saya yang traktir. Dia juga merekomendasikan Anda untuk menulis berita di media luar. Jadi santai saja ya.” Inspektur Anton di pagi itu memakai setelan kemeja lengan pendek dan celana katun. Topinya menutupi rambutnya yang berombak menutupi telinga. “Kebetulan aku juga belum sarapan. Jadi, santai saja makan perlahan, ngobrol santai ya.” Agatha melirik pasrah. Ia mengambil tisu dan mengusap butir keringat di dahinya. Ia mengira Denara yang telah mentraktirnya dan menyiapkan undangan itu. Ternyata Denara yang telah melobi atasan Inspektur Anton untuk menyiapkan pertemuan

itu. Ia tak mengetahui bahwa Denara berani berbuat sedemikian jauh. Agatha Casey Holmes alias Selfi Lena tak begitu tenang duduk dihadapan inspektur itu. “Jadi apa yang akan kita bahas kali ini?” Inspektur Anton bertanya sembari bersiap menyantap makan paginya. “Anda nampak gugup? Apa pernah berurusan dengan polisi di Indonesia?” “Ya… ya tentu saja saya pernah berurusan dengan segala prosedur di sini. Dan benar, polisi di sini selalu membuat saya gugup.” Agatha kembali ke topik. Berusaha kembali bersikap tenang. “Tentang kasus Ancol. Apa sebenarnya yang menyebabkan kematian di sana? Apakah benar kutukan?” Agatha masih tak menyentuh piringnya. Jemarinya bersiap mencatat. “Bukan kutukan sebenarnya. Tapi semacam virus baru yang sekarang sedang diteliti oleh ilmuwan kita. Jadi, saya harap Anda tidak ke sana, karena dikhawatirkan akan menyebarkan virus itu ke luar negeri.” Inspektur Anton membasahi tenggorokannya dengan segelas jus jeruk. “Jadi, catatan ini off the record. Saya juga belum tau virus apa. Kami akan infokan setelah mengetahui jenis virusnya.” Agatha hanya mengangguk sembari mencatat. Virus tanpa nama? Virus X? Apa yang sebenarnya terjadi di hotel Merkuri?File 13 Evatoxin DOKTER Morga dengan senang hati mengantarkan tamu istimewa Inspektur Anton ke laboratorium biokimia rahasia milik pemerintah. Demi penyelidikan tentang virus x yang meneror Ancol. Inspektur Anton nampak menyesal ikut dengan tim itu. Kunjungan pertama—dan ia berharap yang terakhir. Meski ia tamu istimewa karena biasanya tamu lainnya akan ditutup matanya. Seharian makan angin melewati pulau terpencil di Kepulauan Seribu. Hingga sampai di sebuah pulau buatan yang tak terdeteksi satelit. Melewati arus ombak di atas perahu motor. Melewati jalur berbeda yang sulit dijangkau karena berarus deras. Laboratorium yang terletak di pulau buatan itu tertutup bagi media dan publik. Hanya orang-orang ‘penting’ dengan ijin khusus saja yang mendapatkan akses. Setelah diambil alih dari pihak ilmuwan dari Amerika, ilmuwan Indonesia mulai mengembangkan penelitian secara mandiri. Laboratorium yang sedianya dibangun untuk penelitian virus flu burung itu didanai kedua negara. Pemerintah berhasil memenangkan klaim karena memiliki kontribusi paling banyak. Gedung laboratorium disamarkan sebagai bukit yang ditumbuhi rerumputan dan pepohonan. Lorong-lorong rahasia di dalam bukit menghubungkan ruang laboratorium yang berada di bawah pulau. Hasil penelitian berupa vaksin dari virus H1N1 dan H5N1 juga proyek pengembangan bioteknologi ramah lingkungan. Sebagai alternatif energi nasional dan penyelidikan program nuklir yang telah dimulai tahun 2012 lalu. Inspektur Anton terpana ketika memasuki ruang depan laboratorium. Daftar agenda penelitian, kegiatan, instalasi laboratorium dalam 3D, hasil penelitian dan rancangan pembangkit listrik tenaga biokimia terpajang di sana. Dalam monitor layar datar yang menempel di tembok. Di sisi lain terdapat tembok berkaca tebal. Melalui tembok kaca itu terlihat aktivitas di ruang utama laboratorium. Spesimen biologi dan sampel bahan kimia lengkap dengan kode berderet rapi di rak khusus. Indonesia memiliki kekayaan hayati yang selama ini diteliti ilmuwan asing. Sekarang beberapa diantaranya mulai diteliti ilmuwan dalam negeri. “Perkenalkan… ini Inspektur Anton.” Dokter Morga memperkenalkan polisi itu. “Ini di luar bayangan saya,” ungkap Inspektur Anton. Ia menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan wanita anggun di depannya. Ia merasakan genggaman wanita itu kuat menandakan pribadi yang teguh pendirian dan suka mendominasi. Tangannya yang kurus menandakan bahwa ia pekerja keras dan sering mengabaikan kesehatannya demi karirnya. Aroma disinfektan tercium samar-samar dari parfumnya. Tipe orang yang mengutamakan karir, rapi, berkelas dan higienis. “Terima kasih, tapi ini belum seberapa.” Evangela menyambut hangat kedatangan inspektur polisi itu polisi di laboratoriumnya. Kemejanya tertutup jas laboratorium putih tulang. Rambutnya yang pendek sebahu memperlihatkan satu dua uban yang memutih. Meski begitu tak mengurangi daya tariknya. Penampilannya begitu bersahaja

sebagai orang yang mendapat penghasilan tinggi. Wanita jenius berusia dua puluh sembilan tahun memiliki suara jernih dan meyakinkan. Rasa bangga terpancar dari raut wajahnya. “Akses satu masih bisa dikunjungi orang luar.” “Anda harus mengenakan pakaian khusus kalau ingin mengetahui lebih jauh,” ujar dr. Morga. “Di sini hanya ruang pertemuan.” “Ini sedikit merepotkan. Ah, kejadian di hotel Merkuri sudah cukup merepotkan.” Inspektur Anton tak membayangkan dirinya memakai pakaian pelindung seperti ketika berada di hotel Merkuri. “Sebenarnya dr. Morga bisa kapan saja datang ke tempat ini. Ia gak perlu meminta ijin untuk setiap kedatanganya kemari.” Evangela memberi tanda ke mana mereka harus melangkah. Sebuah koridor panjang yang dilapisi alumunium anti karat nampak putih berseri dengan panel-panel kaca yang menampakkan ruang laboratorium. “Dokter Morga sering datang kemari?” tanya Inspektur Anton sembari melihat ke dalam panel kaca. Deretan rak-rak yang berisi botol-botol kaca memenuhi ruangan itu. Di sisi lain nampak staf laboratorium yang tengah sibuk dengan mikroskop, sedangkan staf yang lain memasukkan cairan dari selang dengan pipet. Tak ada yang bicara karena wajah mereka tertutup masker. Komunikasi disampaikan melalui mikrofon yang melekat di dalam masker itu. “Oh, jadi beliau belum memberi tahu Anda?” Evangela tersenyum. “Ia kepala salah satu proyek. Ilmuwan multitalenta yang berjasa atas karir saya di sini.” “Ia pintar merendah,” timpal Inspektur Anton menatap dr. Morga. “Saya berniat merahasiakannya,” ujar dr. Morga. Wajahnya terlihat tidak senang. “Saya lupa berpesan atau Anda sengaja?” “Mungkin Inspektur bisa membantu kasus pencurian beberapa spesimen di dalam laboratorium,” ungkap Evangela. “Inspektur harus tahu kliennya, bukan?” “Saya masih gak setuju Anda mengungkap identitas saya.” Dokter Morga tampak tidak senang. “Nanti kita bicarakan lagi.” “Oh, ya, Anda datang kemari karena kutukan Ancol?” tanya Evangela. “Saya sempat membaca berita yang ditulis media.” “Kutukan Ancol, ya. Haha, jangan percaya,” Inspektur Anton tergelak. “Sebenarnya ada benarnya, sih. Disebut ‘kutukan’ karena akibatnya memang begitu mengerikan. Awalnya saya mengira akibat virus sejenis ebola yang dibawa turis manca.” Evangela mempersilakan kedua tamunya duduk. Meja berbentuk elips di tengah ruangan dengan empat kursi. Ia membuka laptop yang telah menyala di atas meja. “Saya ingin tau apakah virus ini diciptakan oleh alam atau akibat ulah manusia. Kebetulan saya telah memberinya nama.” Evangela tersenyum. “Seharusnya penemunya yang memberi nama,” ujar Inspektur Anton. “Seperti Edmund Halley yang menemukan komet. Anda menemukan virus baru.” Evangela hanya berdeham dan tersenyum. Inspektur Anton nampak salah tingkah karena berlagak sok tau. Ia berusaha memperbaikinya, namun malah membuatnya makin nampak tak mengerti apapun. "Ya, seperti Darwin yang menemukan teori evolusi." Kali ini Evangela tak dapat menahan tawanya. Suara tawanya terdengar renyah dan merdu. Namun, kemudian ia kembali nampak serius. “Bagaimana perkembangan antitoksinnya?” tanya dr. Morga. “Sudah memberi nama?” “Kabar baiknya, ya. Huh—saya harus meninggalkan proyek lain untuk menciptakan antitoksin. Dan kabar buruknya, antitoksin itu harus diberikan sesaat setelah korban terkena atau tertular penyakit itu. Atau….” Evangela menatap bergantian ke arah pendengarnya. “Atau?” sela Inspektur Anton. “Atau… korban tak tertolong.” “Sekejap? Berapa waktunya yang tepat?” Inspektur Anton terhenyak. “Virus ini dapat membunuh dalam hitungan detik. Tepatnya 19,7 detik setelah merusak jaringan kulit, merusak keping darah dan menghentikan denyut jantung. Nggak bisa nggak, antitoksin harus disuntikkan kurang dari semenit.” Evangela mengamati grafik di layar laptopnya. “Antitoksin terus disempurnakan. Penelitian belum final. Tapi ini adalah usaha terbaik kami.” “Bagaimana mencegahnya?” Inspektur Anton mengamati rangkaian kode kimia di layar laptop. Ia tidak mengerti. Namun, otaknya terus bekerja. “Bagaimana agar

tubuh kebal terhadap serangan evatoxin?” “Pertanyaan bagus. Itulah yang dikerjakan kami yaitu cara mengebalkan tubuh pria dan wanita dari virus itu.” Evangela membuka file-file foto korban yang terkena penyakit kutukan Ancol. Ia meringis melihat tubuh korban yang ‘terpanggang’ dan hanya melihatnya sekilas. Anehnya… resiko kematian terjadi hanya pada korban pria. Sedangkan korban wanita memiliki peluang untuk selamat. Enggak nol persen.” “Maksud Anda?” tanya Inspektur Anton dan dr. Morga nyaris bersamaan. “Uniknya, penyakit ini seperti sengaja diciptakan hanya untuk menyerang kaum Adam. Karena itu aku memberi virus itu nama Evatoxin. Filosofinya, Eva atau Hawa konon adalah wanita pertama dan satu-satunya yang berhasil membujuk Adam. Meski aku tidak setuju kalau semua kesalahan ada pada Hawa karena Tuhan-lah yang menciptakan Hawa… Oke, kalau dibahas aku bisa menulis buku tebal tentang itu….” Evangela tersenyum sambil memandang bergantian Inspektur Anton dan dr. Morga. Dengan pandangan angkuh, namun anggun. Wajah keduanya tanpa ekspresi. Saat itu mereka tampak lebih serius ketimbang dirinya. Ia berdeham lalu kembali ke topik. “Dan antitoksinnya, aku beri nama Adamin dari Adam.” Lambang kimia untuk racun dari penyakit infeksi tergambar di layar monitor laptop. “Akan segera saya patenkan. Setidaknya harus mengajukan klaim lebih cepat daripada penciptanya. Tentu saja kalau Inspektur Anton berhasil menangkap pelakunya.” Dokter Morga dan Inspektur Anton hanya saling pandang. Mereka mengamati simbol yang tertera di layar monitor laptop. Simbol kematian bagi kaum mereka. Evatoxin. *** Terpaan angin dan ombak yang meninggi di pantai utara pulau Jawa tidak menciutkan nyali penumpang perahu motor untuk meraih daratan. Jalur yang tidak biasa harus mereka lewati untuk mengalihkan perhatian orang luar. Dokter Morga terdiam di buritan perahu. Meringkuk kedinginan berselimut jas hujan. Jemarinya memegang erat koper kecil aluminium berisi lima botol anti virus, Antitoxin Adamin. Inspektur Anton tidak dapat menebak apa yang dipikirkannya. Tidak biasanya dokter Morga terdiam tanpa ekspresi. Ia masih kesal karena identitasnya diungkap orang lain. Inspektur Anton memandang ke arah horison. Memandang deretan pulau di Kepulauan Seribu yang serasa masih jauh. Pikirannya berkecamuk. Ia meraba flashdisk yang tergantung di lehernya, memastikannya tidak terlempar ke gulungan ombak. Ketakutan yang berlebihan. Ia telah membawa data-data mengenai Evatoxin. Ia tidak menyangka dr. Morga juga seorang ilmuwan di laboratorium rahasia itu. Ia baru mengetahuinya karena selana ini nyaris tak ada rahasia diantara mereka. Ia tak menyangka sebagai penyidik senior tak tau apapun tentang pulau rahasia itu. Evangela mengawasi mereka dari dermaga yang tersembunyi di sisi lain pulau buatan itu. Jas laboratoriumnya berkibar tertiup angin. Ia memberikan salam terakhir dengan lambaian tangannya. Sosok ilmuwan wanita itu perlahan sirna dari pandangan. Seolah tenggelam bersama pulau buatan di garis horison. Kecantikan yang eksotik, wajah Evangela masih bercokol di dalam kepalanya. Tidak mudah lenyap. Daya tarik seorang wanita muda. Wanita berdarah Sunda-Rusia itu adalah kakak artis yang tengah naik daun, Maria Eliza. Artis yang dikabarkan telah menghilang dan meninggal itu masih misteri. Tim lain di kesatuan lain tengah melakukan penyelidikan. “Wajahnya mungkin lebih cantik dari Ratu Pantai Selatan,” gumam Inspektur Anton. Ratu Pantai Selatan? Batinnya. Kemudian, sekelebat fakta memberikannya pertanyaan yang bisa jadi menjadi titik terang dan kunci dari kasus ini. “Ratu Pantai Selatan berada di laut bagian selatan… sedangkan Ancol menghadap laut di bagian utara… apa yang menghubungkan keduanya?” Keningnya berkerut tanda berpikir keras. Apa hubungannya legenda di pantai utara dengan pantai selatan? Apakah pelaku hendak mengecoh polisi dengan cara menyebarkan isu demi mengaburkan fakta yang sesungguhnya? Apakah si pelaku juga memakai media sebagai skenarionya? Berbagai pertanyaan memenuhi benak inspektur polisi itu. Seolah berdiri di atas lautan tak bertepi dengan jawaban yang tak pasti. Ia merasa kecil berada di tengah-

tengah lautan ilmu pengetahuan tanpa batas. Tanpa terasa speed boat itu telah sampai di daratan. Mobil yang sudah menunggu sudah bersiap untuk mengantarkan mereka kembali ke tempat masing-masing. Rekan Inspektur Anton dengan sabar menunggu dengan wajah cemas. “Ada apa?” tanya Inspektur Anton menyadari rekannya nampak cemas. “Sedari tadi ada panggilan dari markas, yang lainnya dari tim lain. Saya cemas karena sedari tadi ponsel inspektur berada di luar jangkauan sinyal.” “Ya, memang sinyal ponsel melemah ketika berada di tengah laut. Panggilan dari mana saja?” “Satunya kasus ledakan semacam bom rakitan. Satunya lagi masih ada kaitan dengan kasus Ancol, pencurian bahan kimia di laboratorium.” “Ya, kita selesaikan satu per satu dulu.”File 14 Sang Aktris DI ATAS jembatan Ancol. Mendung tebal yang menyelimuti langit di atas sebagian kawasan Ancol mengubah siang hari seperti masih pagi. Pukul setengah sebelas siang. Sesekali gerimis tipis berubah menjadi hujan deras. Angin kencang menghempas air hujan. Kru syuting film urung mengadakan pengambilan adegan di hari itu. Menunggu hujan reda. Mereka memilih berlindung di dalam mobil. Mereka tidak menyadari Maria Eliza tidak bersama mereka. Gadis remaja berumur delapan belas tahun itu diam-diam telah berpisah dari rekan-rekannya. Maria mendapat panggilan ponsel agar segera menjenguk kakaknya di dekat Jembatan Ancol. Ia melangkah menerobos gerimis tipis yang mengguyur sekujur tubuhnya. Di atas Jembatan Ancol sudah menunggu sesosok orang. Tidak jelas karena tirai hujan menutupi tubuh orang itu. Wajahnya tidak terlihat jelas. Hanya sebelah tangannya yang terlihat melambai ke seseorang. Dari kejauhan, Maria berlari kecil mendekati seseorang di atas jembatan. Mereka berjalan ke tengah Jembatan Ancol. Hujan semakin deras. Kedua sosok mereka menjadi bayangan yang tertelan deras hujan. Setelah sampai di tengah jembatan, sosok mereka berhenti. Tidak berapa lama mereka melompat dari atas jembatan. Tubuh mereka sirna seketika tertelan arus deras sungai Ancol. Hujan yang semakin menderas membuat suasana makin muram. *** Selfi terjaga dari tidurnya. Kali ia bermimpi buruk lagi. Maria Eliza menjadi mimpi buruknya. Tubuh Maria yang terombang-ambing di atas arus kali Ancol masih terbayang jelas dalam kepalanya. Wajah Maria yang cantik tampak mati, dingin dan pucat mirip hantu. Hantu? Lagi. Ah, ia sudah bosan. Ia juga mengakui kepada dirinya sendiri jika berhubungan dengan hantu ia lebih baik mundur. Ia akui dirinya ketakutan ketika berada di salah satu kamar Merkuri. Kali ini ia percaya pasti ada penjelasan yang masuk akal. Selfi sering mengingat jelas mimpinya, hingga detil-detil terkecil. Dan seringkali menjadi kenyataan. Meski ia tidak percaya indera keenam dan sejenisnya. Namun, kali ini ia berharap itu tidak terjadi. Dan kali ini ia tahu alasannya, kenapa ia bermimpi tentang Maria. Selfi mendapati dirinya tengah tertidur di atas ranjang kamarnya. Di depan laya laptopnya yang masih menyala. Tubuhnya rebah di atas segepok potongan surat kabar. Surat kabar yang memberitakan tentang menghilangnya artis Maria Eliza. Berbagai berita menyebutkan bahwa Maria menghilang ketika berlangsung syuting di dekat Jembatan Ancol. Ia juga mencari berita tentang Maria di arsip surat kabar online. Modem flashnya masih menancap di laptopnya. Di layarnya terpampang berita lama. Di sana tertulis: Fastnews Digital, News Paper KRONOLOGI KABURNYA MARIA JAKARTA—Maria, artis muda termahal saat ini, kabur dari rumah ternyata bukan untuk pertama kalinya. Ia sudah pernah melakukannya sekitar setahun lalu. Namun, kabur untuk kedua kalinya-lah yang diketahui publik. Keluarga Maria bungkam soal

kaburnya Maria. Namun saudara dan teman-teman dekatnya mempunyai cerita yang lengkap. Maria menghilang ketika kru syuting tengah berteduh. Film bertema cinta remaja berjudul Merpati Putih itu sudah memasuki pertengahan proses syuting. Pukul sebelas siang gerimis turun di sekitar kawasan Ancol. Arus kali Ancol makin deras. Angin kencang dan gerimis tipis mengaburkan pandangan. Saksi mata menyebutkan Maria pergi ke tengah Jembatan Ancol seorang diri. Kemudian seseorang mendekatinya. Tidak dapat dipastikan pria atau wanita. Saksi mata yang tengah berkendara hanya melihat mereka berdua di atas jembatan. Dan kejadian setelahnya masih misteri. Setelah menyadari Maria tidak bersama mereka, pihak kru film menelepon ke ponsel Maria dan hasilnya nihil. Maria juga tidak pulang ke rumah sampai petang. Setelah yakin Maria kabur dari rumah, pihak keluarga menghubungi polisi. Mereka mengatakan terakhir kali Maria memakai kaos, leging hitam dan membawa dompet yang berisi uang pecahan sekitar satu juta rupiah. Pencarian baru dilakukan keesokan harinya. Namun, tidak ada jejak Maria di manapun. Seakan Maria lenyap begitu saja. Ponsel Maria yang telah diberi penyadap tidak dapat dilacak. Dipastikan karena alat penyadap telah rusak. Bisa karena terlalu lama terendam air atau terbentur keras. Hingga saat ini pihak kepolisian masih terus melakukan pencarian. Tidak menutup kemungkinan Maria diculik atau dirampok. Di tengah Jembatan Ancol ditemukan sebelah sandal yang diduga milik Maria. “Jika benar diculik, pelakunya pasti akan meminta uang tebusan,” ujar ayah Maria ketika diwawancara. Selentingan beraroma klenik menyebutkan bahwa Maria telah diculik hantu Si Manis Jembatan Ancol. Saksi mata di sekitar Jembatan Ancol menyebutkan bahwa Maria berlari ke tengah Jembatan Ancol untuk menemui seseorang. Berita itu berkembang. Tersiar kabar bahwa Maria bertemu dengan sosok perempuan berambut panjang dan bergaun putih. Saksi mata lain menyebutkan bahwa Maria dijemput sebuah sedan hitam. Orang tua Maria segera menghubungi polisi. Mereka hanya menemukan sebelah sandal Maria di tengah Jembatan Ancol. Selfi tidak sengaja menindih potongan surat kabar di bawah lengannya hingga robek. “Aduh….” Ia berusaha merapikan potongan surat kabar itu sembari membacanya. GosipCek MARIA TENGAH DEPRESI BERAT Jakarta—Maria ditengarai tengah depresi berat karena banyak masalah. Orang tuanya hendak menjodohkannya dengan orang kaya yang berumur lebih tua. Manajer rumah produksinya memberinya jadwal syuting yang padat sehingga Maria tidak punya waktu untuk keluarga dan teman-temannya. Nilai-nilai sekolahnya anjlok, Maria terancam tidak dapat ikut ujian di semester depan. Bahkan ia pernah mendapat perawatan di rumah sakit karena kelelahan saat syuting film terbarunya. Ditambah lagi padatnya syuting sinetron. Polisi tengah menyisir kali Ancol. Namun, mereka tidak menemukan jasad Maria. Dugaan bahwa Maria telah diculik tidak terbukti, karena sampai seminggu tidak ada surat untuk meminta uang tebusan. Kuat dugaan Maria melarikan diri karena tidak tahan dengan tekanan dari keluarga, sekolah dan rumah produksinya. Maria juga dikabarkan pernah beberapa kali mencoba bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Namun, pihak keluarga langsung membantah keras. Di tengah kabar santer bahwa Maria telah meninggal mereka mengajukan gugatan kepada beberapa media atas berita mereka yang tidak memiliki bukti akurat… Selfi mengumpulkan berita-berita tentang menghilangnya Maria dari berbagai surat kabar kota dan infotaiment. Berita-berita itu menumpuk di alam bawah sadarnya kemudian keluar sebagai mimpi buruk ketika dirinya tertidur karena kelelahan. Berita-berita itu tanpa sadar hanyut dalam mimpinya. Ia seperti melihat Maria

bersama seseorang terjun dari atas Jembatan Ancol. Kejadiannya mirip berita yang baru saja dibacanya. Untuk kesekian kalinya, ia akan mendatangi kediaman keluarga Maria. Seorang diri. Usahanya sebelumnya sering gagal menemui kedua orang tua Maria. Keluarganya bungkam. Rumah mewah itu sering kosong ditinggalkan pemiliknya. Untuk menguji kebenaran berita yag tertulis di surat kabar. Karena sudah beberapa kali ke tempat itu, kali ini memutuskan untuk menyamar sebagai Agatha Casey Holmes. Kali ini ia hendak memberi pancingan tentang rekening Maria yang berada di luar negeri, karena Maria pernah lama tinggal di luar negeri. Jika tebakannya benar maka ia bisa mengorek info yang lain. Jika tidak, setidaknya ia bisa menarik perhatian keluarga Maria untuk berbicara padanya. “Nah, sekarang namamu adalah Agatha.” Selfi kembali meyakinkan diri di depan cermin. Ia mematut-matut diri untuk beberapa lama. *** “Maaf, tapi kami nggak menerima wartawan,” ujar seorang pelayan di rumah mewah itu. Sesampai di depan rumah Maria, ternyata Agatha tidak seorang diri. Jurnalis lain tengah berkerumun di depan gerbang rumah Maria. Untungnya ia memakai sepeda motor milik seorang kru TV yang memang disediakan untuk keadaan pencarian berita. Perumahan itu nyaris macet karena mobil-mobil dari stasiun TV yang lain. Rumah mewah itu terlihat sunyi. Hanya pembantu yang terlihat berada di halaman rumahnya. “Sudah saya bilang tuan gak ada di dalam rumah. Maaf, saya harus segera ke dalam,” pungkas pembantu wanita paruh baya itu. Kemudian meninggalkan para wartawan yang memilih tetap berada di depan gerbang rumah Maria. Agatha balik kucing. Sepeda motornya menderum meninggalkan rumah Maria. Namun, ia tak ingin pulang dengan tangan kosong, tanpa informasi tambahan. Maka ia memutari rumah mewah itu hingga ke bagian belakang rumah. Ketika melewat belakang rumah Maria, ia melihat sebuah sedan keluar dari pintu belakang. Agatha tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan segera mengikuti sedan hitam itu. Ia menjaga jarak dengan sedan di depannya. Lima belas menit berada di jalanan, sedan itu menepi. Tidak berapa lama mobil polisi muncul dari arah yang sama. Kemudian sedan itu kembali melaju mengikuti mobil polisi itu. Mereka mengarah ke rumah sakit di kawasan Ancol. Selfi mengikuti mereka hingga ke rumah sakit. Ia melihat seseorang keluar dari mobil polisi. Seorang polisi yang sudah dikenalnya, Inspektur Anton mengantarkan kedua orang tua Maria ke kamar mayat rumah sakit. Siapa yang telah meninggal? Agatha membatin sembari memarkir sepeda motornya. Ia mengikuti mereka hingga ke depan ruang kamar mayat. Isak tangis terdengar dari salah satu koridor rumah sakit. Koridor yang menuju kamar mayat itu penuh sesak. Ia mendengar suara-suara. “Benar… ini anak kami. Maria… malang benar nasibmu, Nak.” Tiba-tiba sepotong tangan menarik lengan Selfi. Ia tertangkap basah telah menguping. “Hey, apa yang kau lakukan?” Inspektur Anton memelankan suaranya. Selfi tidak melihat ketika polisi itu keluar dari kamar mayat. “Sejak kapan Anda membuntuti kami?” “Sorry… saya… saya nggak sengaja ngeliat kendaraan orang tua Maria keluar dari rumah mewahnya.” Agatha melangkah mundur. Ia gak ingin dituduh sebagai penguntit. Untungnya ia dalam penyamaran. Sehingga kesalahan tak menimpa Selfi. “Sebaiknya Anda segera pergi.” Inspektur Anton menarik pergelangan tangan Agatha. “Kasus ini masih dalam penyelidikan.” “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Agatha. “Kami baru saja menemukan tubuh Maria. Tepatnya mayatnya.” Inspektur Anton mengamati dengan pandangan curiga. “Saya kira kasus ini tak akan menarik di luar sana.” “Kecuali kasus ini berhubungan dengan virus baru itu. Bukan kebetulan terjadi di tempat yang sama dan dalam waktu yang nyaris bersamaan? Kutukan Ancol? Dunia bisa terancam jika Indonesia tidak bisa mengatasi virus baru ini, maka negara luar seperti Amerika apalagi Australia akan mengambil tindakan pengawasan dan pengalihan aset mereka.” Agatha juga mengamati Inspektur Anton. Berharap gertakannya mempan.

Ia tau Inspektur Anton akan lebih terbuka kepada dirinya karena identitas Agatha belum pernah melakukan pelanggaran seperti Selfi serta Denara yang menerobos garis polisi. “Ya… memang benar Indonesia pernah kerja sama dengan luar negeri tentang virus yang menjangkit di sini.” Inspektur Anton akhirnya melunak. “Tapi kali ini mayat itu tak membusuk seperti di hotel Merkuri. Bukan akibat virus apalagi kutukan Ancol!” Sepanjang koridor rumah sakit, Agatha berusaha mengorek keterangan dari polisi itu. Inspektur Anton mulai melepaskan pegangannya ketika mereka telah jauh dari kamar mayat. “Dari mana Anda tahu, kalau itu adalah mayat Maria?” tanya Agatha. “Orang tuanya mengenal tanda-tanda dan benda yang dikenakan Maria. Tubuhnya yang membusuk sudah tidak dikenali lagi. Wajahnya disayat-sayat. Kecuali cincin dan kalungnya. Orang tuanya mengenal dari pakaian dan perhiasan korban.” “Apa yang mengakibatkan Maria meninggal?” tanya Agatha. “Penyelidikan sementara Ia tewas tenggelam. Tubuhnya dilemparkan ke aliran deras kali Ancol.” Inspektur Anton nampak prihatin. “Jadi selama ini….” “Ya, selama ini Maria diculik.” “Apa motifnya? Siapa yang tega melakukannya?” “Kuat dugaan Maria dibunuh penggemar fanatiknya. Saya harap ini tak ada hubungan dengan hotel Merkuri,” pungkas Inspektur Anton sembari kembali melangkah mendekati keluarga Maria yang tengah berduka. Kesedihan mendalam yang terpancar dari kedua orang tua Maria menyesakkan ruangan itu. Inspektur Anton terpaksa keluar dari koridor. Ia tak lagi menemukan sosok Agatha di rumah sakit itu. Agatha diam-diam pergi keluar dari rumah sakit.File 15 Agatha Casey Holmes AGATHA kembali mengubah penampilannya sebagai Selfi sebelum kembali ke dalam hotel. Agar tak dicurigai sebagai orang asing yang mencolok. Ia melepas wig dan kacamata di dalam ruang toilet mall yang sepi. Menghindari CCTV agar tak merekam gerak-geriknya ketika berganti penyamaran. Ia menunggu sampai toilet wanita sepi ketika berganti penyamaran di dalam bilik. Sesampai di dalam kamar hotel, ia tak melihat Denara. Wanita itu pasti sedang sibuk menyiapkan kru TV untuk memulai acara syuting tentang kasus Maria. Mencoba peruntungan untuk menggali informasi lebih mendalam, ia mencoba menghubungi Inspektur Anton. Ia menekan nomer Inspektur Anton yang telah diberikan kemarin di ponselnya. Terdengar suara panggilan di sambungan ponselnya. “Ya, halo ada yang bisa saya bantu?” “Ini Selfi….” “Oya, Selfi ada apa?” “Bagaimana perkembangan kasusnya?” “Ya, sekarang sedang menangani kasus Maria, sementara penyelidikan kasus hotel Merkuri juga jalan terus.” “Apakah saya boleh ke sana?” “Belum bisa. Nanti setelah prosesnya selesai baru akan diadakan konferensi pers.” Selfi mengerutkan kening. Ia merasa Inspektur Anton tengah menjaga jarak dengannya. Kemudian ia memungkas di ponselnya. “Oke, kalau sudah selesai kabari ya.” Inspektur Anton hanya menjawab pendek. “Oke.” Tak habis akal, Selfi menunggu hingga beberapa menit kemudian ia mengubah logatnya menjadi Agatha. Ia menggunakan ponsel yang lain untuk menelepon Inspektur Anton. “Hellooo. Ini nomer saya, Agatha Casey Holmes.” “Ya? Ada apa?” “Bisa saya ke sana sekarang?” Untuk beberapa detik tidak ada jawaban dari Inspektur Anton. Kemudian ia menjawab. “Oya, silakan.” “Beberapa menit lagi saya akan berada di sana.” Kemudian sambungan ponsel itu

berakhir. Agatha kembali menjadi sosok Selfi. Gadis itu tak habis pikir, kenapa Inspektur Anton lebih memilih Agatha daripada Selfi? Daripada dirinya? Sebagian, ia seperti mengerti alasannya, mungkin karena Selfi mewakili acara Fakta dan Kriminal yang tak disukai inspektur itu. Atau Inspektur Anton tak ingin aku terlibat lebih jauh dalam kasus berbahaya itu? Selfi hanya dapat bertanya-tanya. Jadi penyamaranku berhasil mengecoh inspektur berbakat itu? Atau sebenarnya ia memiliki rencana lain? Dengan perasaan gamang, Selfi kembali menyiapkan penyamarannya. *** “Ini benar tulisan Maria?” Agatha berada di kantor Inspektur Anton. Ia berjanji tidak akan membeberkan fakta yang baru ditemuinya itu, sebelum penyelidikan polisi lengkap. Inspektur Anton menunjukkan surat dan suara dari ponsel Maria yang direkam orang tua Maria. Barang bukti masih dalam proses penyelidikan. Di dalam surat itu tertulis: Aku memutuskan kabur dari rumah karena tidak tahan lagi dengan keadaan di rumah, sekolah dan tempat syuting. Jika kalian masih sayang kepadaku, tolong jangan mencariku!! Aku akan pergi jauh dan tidak akan membuat masalah lagi dengan kalian… Suara Maria yang direkam di ponsel ibunya terdengar panik. Bunyi berkeresak keras menghalangi suara Maria. Seperti terdengar dari dalam gedung yang luas dan tinggi. Suara itu makin melemah dan seperti menjauh dari alat perekam. “…ular …banyak …tiga pria besar... sebentar lagi mereka akan memindahkanku lagi… tolong….” Kemudian terdengar suara-suara berat dan serak di belakang tubuhnya. Suara dari orang yang berbeda: ”Hei… rampas ponselnya... ikat dia ….” “Kenapa kalian diam saja….” "Ibu Maria juga menerima pesan SMS dan panggilan ponsel dari Maria yang hendak meminta tolong. Orang tuanya sudah siap merekam ketika datang panggilan itu." Inspektur Anton menunjukkan teks yang disalin dari ponsel orangtua Maria. From: Maria. Tolong aku di gudang tua… mereka bertiga… aku nggak mengenal mereka… Suara panggilan yang direkam orang tua Maria datang pada dini hari. Suara itu terdengar panik dan terburu-buru. Suara yang melemah dan seperti terdengar dari dalam gedung yang luas dan tinggi. Aku nggak akan kabur lagi dari rumah… aku menyesal… tolong aku… tolong “Ya, otentik. Pernyataan kedua orang tua korban menguatkannya.” Inspektur Anton duduk tepekur di kursinya. “Oh, ya, kami juga menemukan rekaman suaranya.” “Apa Anda memiliki tujuan atau kepentingan ketika menyampaikan semua informasi ini kepada orang asing seperti saya?” tanya Agatha. Berusaha mengetahui motif sebenarnya kenapa inspektur itu lebih terbuka kepada media asing. “Saya merasa Anda lebih tertutup kepada media lokal.” “Anda tau sendiri bagaimana media lokal memelintir informasi yang ditemukan di lapangan? Dan membuat sensasi berbau mistis? Dan cepat atau lambat berita ini pasti tersebar ke media. Melalui saya atau rekan saya lainnya yang juga tengah menyelidiki kasus ini.” Inspektur Anton membuka-buka arsip di depannya. “Saya ingin Anda menulis berita ini apa adanya, tanpa menambahinya. Seperti berita yang terlanjur berkembang di media-media lokal picisan.” “Maksud Anda?” tanya Agatha sembari mengamati raut wajah Inspektur Anton yang tak sekalipun menaruh curiga padanya. Ia berusaha agar suaranya terdengar lebih dalam dan berat daripada suara Selfi yang renyah. “Tentang Si Manis Jembatan Ancol. Ah, itu nggak masuk akal.” Inspektur Anton mengulum senyum. “Infotainment berusaha menghubungkan menghilangnya Maria di atas Jembatan Ancol dengan Si Manis dan Kanjeng Ratu Kidul. Berita seperti di acara Fakta dan Kriminal, atau Mistis, dan lain-lain. Stasiun TV tengah berlomba-lomba menyajikan sensasi untuk meningkatkan rating.” “Ah, ya, tentu saja.” Agatha merasa terbantu karena memiliki narasumber. “Kami sebagai redaksi surat kabar juga harus menyajikan berita yang menarik.” “Saat ini kami masih melakukan penyelidikan terhadap para pelakunya.” Inspektur

Anton memandang ke arah Agatha. Seolah ia mengingat-ingat orang yang dikenalnya. Merasa diperhatikan Agatha berusaha menghindari tatapan inspektur itu. Ia kembali memeriksa arsip yang berada di meja. “Ya, saya akan dengan senang hati menulis segala perkembangan kasus ini. Tanpa tambahan hal-hal berbau mistis seperti acara-acara di TV.” “Oke, sebagai rasa terima kasih apa Anda ada waktu untuk kopi atau makan siang?” Agatha berusaha menjalin hubungan yang lebih akrab. “Sayangnya tidak. Saya juga sedang menyiapkan informasi yang masuk akal untuk kru TV. Agar beritanya tidak lagi beraroma klenik.” Inspektur Anton tersenyum. “Oh, jadi Anda juga dekat dengan stasiun TV tertentu?” “Ya, lebih karena terpaksa. Karena mereka telah menerobos TKP dan juga telah mendapat ijin dari atasan. Dan kebetulan ada seorang yang tanpa sadar melibatkan diri dalam kasus ini. Namanya Selfi, Anda pasti mengenalnya kalau rajin menonton acara TV. Dia host sekaligus reporter.” Inspektur Anton mengamati raut wajah Agatha. “Selfi… ya, Selfi yang itu. Acara Fakta dan Kriminal.” Agatha memperbaiki letak kacamatanya. Ia memakai kacamata gradasi sehingga tak begitu menampakkan sorot matanya. Untungnya make up yang dikenakannya cukup tebal dibandingkan Selfi yang sering tampil natural tanpa make up. Sikap Selfi yang lebih tomboy berusaha ditutupi dengan bersikap lebih fenimin. “Sebenarnya saya suka cara menyampaikan Selfi di acara TV itu. Penampilannya yang tanpa make up malah lebih cantik dan natural. Ia juga tak seperti host acara lain yang sering over acting atau dibuat-buat.” “Jadi Anda pikir penampilan saya norak? Tunggu sampai Anda melihat saya tanpa make up. Tanpa lipstik. Dan udara tropis di Indonesia nyaris membuat saya setengah telanjang di dalam hotel.” Suara Agatha terdengar menggoda inspektur itu. Ia tak menyangka berani mengatakan hal selancang itu kepada inspektur polisi di depannya. Di sisi lain ia hendak mengetahui usahanya untuk mengatasi kebutuhan biologisnya. Mengetes apakah Inspektur Anton seorang playboy sehingga tetap memilih lajang atau orientasi lainnya. “Saya dengar Anda masih lajang? Ah, kita senasib.” “Kalau pria memiliki banyak waktu untuk membujang, tapi kalau wanita memiliki waktu lebih terbatas.” Inspektur Anton nampak enggan membahas hal pribadi itu lebih jauh. Ia berusaha mengakhiri percakapan itu. “Ada lagi yang perlu ditanyakan?” “Satu lagi, apakah Anda punya pacar atau sudah pernah berkeluarga?” Agatha masih bersikeras mengetahui hal pribadi inspektur itu. Pertanyaan yang pastinya tak akan berani diucapkan jika dirinya menjadi Selfi. “Apa hubungannya dengan kasus ini? Pertanyaan itu gak relevan.” Inspektur Anton nampak tersinggung. "Maaf, bukan maksud saya mengorek kehidupan pribadi Anda," ujar Agatha. "Coba cermati sekali lagi. Para korban di hotel Merkuri itu saya kira adalah lelaki hidung belang. Jadi Anda sebaiknya berhat-hati jika tak ingin ikut terkena sensasi kutukan Ancol.” "Dengar." Inspektur Anton mencari kata-kata yang tepat. "Profesi seperti saya menyita banyak waktu dan menguras pikiran. Lagian saya terus dihantui trauma ketika terkubur hidup-hidup. Untuk urusan biologis harus saya kesampingkan, atau terlibat masalah lain. Lagian banyak pasang mata yang mengawasi kinerja saya, dan saya harus menjadi teladan bagi yang lain.” “Jadi Anda tak memiliki pacar? Atau pergi berpesta di sela-sela kesibukan?” tanya Agatha sembari tersenyum tipis. “Keluarga saya masih memegang erat ada ketimuran, tidak bebas seperti di negara asal Anda. Dan saya masih merasa kasihan kepada calon gadis yang berusaha diperkenalkan oleh keluarga saya.... tak mau membagi rasa sakit dari trauma ini.” Akhirnya Agatha mendapat informasi tentang pribadi Inspektur Anton yang kaku dalam urusan percintaan. “Ya, saya pernah baca berita mengenai kasus mafia narkoba yang mengubur Anda hidup-hidup karena menolak menerima suap mereka. Maaf, saya masih belum melihat dan merasakan rasanya dikubur hidup-hidup. Saya bersyukur dapat bertemu dengan Anda dalam keadaan yang baik seperti sekarang. Inspektur Anton menghela napas panjang. Ia tak menyangka akan membicarakan masalah pribadinya yang jarang diugkapkan ke orang asing. Hanya beberapa rekan

dekatnya yang mengetahui kisah pribadinya. Ketika keduanya berpisah. Ada sedikit rasa lega di hati Agatha bahwa Inspektur Anton adalah pria baik-baik. Begitu pula Selfi makin mengagumi inspektur polisi itu dengan segala trauma, kekurangan dan kelebihannya. “Kembali ke topik. Apakah kasus ini memang ada hubungan dengan legenda setempat. Si Manis Jembatan Ancol dan Ratu Pantai Selatan?” tanya Agatha. “Saya yakin tidak ada hubungannya. Tidak ada hubungan antara pantai utara dan pantai selatan. Ini hanya pengalih perhatian yang dibuat pelakunya.” Inspektur Anton nampak yakin. Ada rasa lega karena Agatha tak lagi berusaha mengorek hal pribadinya. “Oke. Saya sangat berterima kasih atas waktunya. Maaf, kalau ada pertanyaan yang tak berkenan. Saya akan mengharap ada informasi baru tentang perkembangan kasus ini.” Inspektur Anton hanya mengangguk sembari menghela napas. Agatha pamit sembari keluar dari kantor inspektur itu. Ada kesangsian di benak mereka tentang kebenaran legenda Si Manis Jembatan Ancol. Dan isu kembalinya kekuatan Nyi Lara Kidul untuk melindungi perempuan yang harkat dan martabatnya tertindas. Pembalasan hantu Maria yang dibantu Si Manis Jembatan Ancol yang mendapat mandat dari Kanjeng Ratu kidul tidak berhenti sampai di situ. Keyakinan mereka akan diuji. Sekali lagi.File 16 Bayangan di Bawah Hujan SELANG tiga hari dari sejak penemuan mayat Maria. Mayat yang mati secara misterius kembali menggegerkan warga kawasan Ancol. Inspektur Anton datang ke TKP setelah garis polisi telah terpasang di sekitar trotoar di depan pertokoan kawasan Ancol. Mayat pria kedua yang mati secara misterius kali ini ditemukan di dalam selokan. Tubuhnya terjengkang di dalam selokan seperti habis terpeleset jatuh. Polisi mencurigai mayat dilempar ke dalam selokan dari dalam mobil. Namun, korban tengah memegang botol minuman keras. Dugaan lain korban terjatuh dan tewas seketika di dalam selokan. Tubuh mayat pria yang mati mengering sama dengan tubuh mayat pertama yang ditemukan tewas di dalam hotel Merkuri. Warga dihimbau agar tidak mendekati tempat ditemukannya mayat korban agar terhindar dari penyakit menular. “Ada bekas ban mobil di jalan beraspal. Sepertinya masih baru,” Inspektur Anton dan tim labfor segera mengadakan olah TKP. Warga menyaksikan dari jarak beberapa meter. “Kuat dugaan korban dibunuh sebelum dilemparkan ke dalam selokan,” ujar Faris, dari tim labfor. “Anehnya, jemarinya masih menggenggam botol yang masih utuh.” “Bagaimana kalau korban nggak dilemparkan, tetapi terperosok sendiri ke dalam selokan.” “Ada sedikit obat bius di dalam botol minumannya, Let.” Faris hati-hati ketika mengambil sampel cairan dari dalam botol. Ia segera menganalisanya di tempat kejadian. Ia membawa kopor kecil yang berisi perkakas laboratorium forensik. “Sama seperti kasus sebelumnya.” “Ya, tubuh mereka kering kehabisan cairan tubuh.” “Seperti tertular penyakit misterius. Efek racun gak akan seperti ini.” “Atau terkena kutukan Ancol?!!” Keraguan menyelimuti Tim Labfor dan Inspektur Anton ketika mengolah tempat kejadian perkara. Hanya inspektur polisi itu yang mengetahui tentang Evatoxin. *** “Sama. Kematian korban kedua identik dengan korban pertama.” Inspektur Anton mendengarkan penjelasan dr. Morga, ahli otopsi, di depan pintu ruang isolasi Rumah Sakit Medical Ancol. “Virus itu lagi?” “Ya, seperti terkena kutukan. Sampai saat ini kami masih belum mengirim sampel darah dari tubuh korban. Virus yang membunuhnya dalam semalam. Kami akan segera mengirim sampel ke laboratorium untuk diperiksa secepatnya. Mereka usahakan hari ini juga hasilnya sudah dapat diketahui.” “Apa ada bekas luka lain?” tanya Inspektur Anton.

“Lengan korban lecet. Dan kepalanya retak akibat menghantam beton selokan ketika terbentur dan terjatuh ke dalam selokan.” “Terjatuh atau dilempar?” “Kalau dilempar lukanya pasti tambah parah.” Kedua tangan dr. Morga bergerakgerak menggambarkan jika korban dilempar ke selokan. “Jadi menurut Anda?” tanya Inspektur Anton. “Korban berjalan di trotoar ketika virus itu membuatnya kehilangan kesadaran dan terjatuh ke selokan.” “Oya, kami juga menemukan jejak ban nggak jauh dari korban.” Inspektur Anton menunjukkan foto jejak ban mobil di dekat trotoar. “Ya, bisa jadi pelakunya membuntuti korban. Kemudian menulari korban dengan virus itu... Evatoxin.” Dokter Morga nampak prihatin. “Atau korban yang berada di dalam mobil? Lalu keluar mobil demi mendatangi pelakunya yang berada di trotoar?” Inspektur Anton seperti bertanya kepada dirinya sendiri. “Bisa jadi kronologinya seperti itu," Dokter Morga mengangguk tanda setuju. “Ya, bisa jadi korban berada di dalam mobil lalu menghentikan mobilnya di dekat trotoar. Demi menjemput seseorang.” “Seseorang yang berjalan sendirian tengah malam di trotoar? Siapa? Apakah mereka janjian?” tanya dr. Morga. “Kemungkinan seorang PSK jika mangkal di trotoar. Pelaku kita kali ini seorang wanita. Jadi korban keluar dari mobil karena tertarik untuk mendekati wanita itu." Inspektur Anton nampak berpikir keras. “Si Manis Jembatan Ancol.” Dokter Morga tersenyum. Inspektur Anton tersenyum getir. “Bukan. Jangan bercanda. Tim cyber sudah melacak bahwa isu itu sengaja disebarkan oleh beberapa media tertentu yang mendapat pesanan dari seseorang untuk menyebarkannya, kemungkinan si pelaku yang sama yang menyebarkan virus itu. Untuk mengecoh polisi.” Mereka terdiam. Kemudian satu persatu bubar. Mengakhiri obrolan di hari itu. Mereka berpisah dan kembali pekerjaan masing-masing. Benarkah kali ini mereka berhadapan dengan hantu? Benarkah Si Manis Jembatan Ancol datang kembali berkat dukungan dari Ratu Pantai Selatan? *** Segala sesuatu di bawah deras hujan siang itu terlihat terdistorsi. Jalanan kawasan Ancol Jakarta Utara tergenang air hujan. Badai tengah mengamuk di kota Jakarta. Air laut di pesisir Ancol pasang. Namun arus kendaraan yang nekat menerobos derasnya hujan memenuhi badan jalan. Mereka yang terjebak derasnya hujan. Sebuah kendaraan taksi melaju menembus derasnya hujan. Kemudian menepi ke trotoar di depan sebuah pertokoan. Seseorang telah menunggu taksi itu di sana. Ia melindungi kepalanya dari deras hujan dengan jaketnya. Kemudian masuk ke dalam taksi. Taksi itu tidak pergi jauh. Satu kilometer kemudian taksi itu berhenti. Bayangan dua sosok keluar dari dalam taksi. Meninggalkan taksi di pinggir jalan dengan pintu depan dan belakang terbuka lebar. Air hujan masuk dan membasahi jok mobil. Tidak berapa lama seorang pengendara yang melintas melewati taksi menaruh kecurigaan. Ketika melihat darah yang mengalir dari jok belakang ia segera melapor ke kepolisian terdekat. Tim labfor bergegas datang ke lokasi. Mayat pria ketiga yang mati secara misterius ditemukan telah mati mengering di dalam taksi. Darah yang telah membusuk dari dalam tubuhnya membasahi jok kursi belakang taksi. Mengalir ke jalan beraspal. Air hujan menghanyutkan darah yang mengalir dari dalam taksi. Melumuri jalanan dengan warna merah darah. Kemacetan panjang selama proses olah TKP terjadi selama kurang lebih dua jam. Para pengendara yang melihat proses olah TKP, menambah parah kemacetan. Setelah polisi membawa taksi ke kantor polisi, arus kendaraan kembali normal. *** Inspektur Anton kembali berada di kamar isolasi Rumah Sakit Medical Ancol. Kali

ini ia berada di dekat mayat. Ia mengenakan pakaian khusus dan masker agar terhindar dari penyakit yang dibawa mayat. Penemuan mayat ketiga semakin membuat polisi meningkatkan penyidikan. Mayat ketiga ditemukan di dalam taksi yang ditemukan terparkir di pinggir jalan. Dokter Morga, ahli otopsi itu menunjukkan kesamaan yang ada di tubuh ketiga mayat. Ketiga tubuh mayat yang dibungkus plastik dijejerkan di atas meja bedah. “Darah mengalir dari sembilan lubang di tubuh mereka.” “Sembilan lubang… ya, virus yang sama.” Wajah Inspektur Anton nampak geram. “Ya, penyakit yang sama. Merusak pembuluh darah mereka dan menghancurkan organ dalam seketika. Kami masih mengirim sampel untuk diperiksa di Lab. Kita semua dibuat sibuk oleh kasus kematian dan virus itu.” “Nggak ditemukan luka-luka lain di tubuh mereka?” tanya Inspektur Anton. “Kemungkinan virus itu menular melalui udara atau air.” “Saksi mata melihat pria ini masuk ke dalam taksi. Nggak berapa lama, taksi itu berhenti dan dua orang bergegas keluar. Derasnya hujan menutupi sosok mereka. Sekarang kita mendapat kepastian bahwa pelakunya dua orang. Entah pria atau wanita.” “Dan reaksi virus yang menyerang korban sangat cepat. Gak sampai satu menit. Lebih ganas dari bisa ular.” “Virus yang sama seperti di hotel Merkuri, Evatoxin.” “Ya, tapi, siapa yang telah membawa dan menyebarkan virus itu masih belum kami ketahui. Kami juga tengah menyelidiki beberapa sampel Evatoxin yang hilang dari laboratorium.” Dokter Morga tampak menyesal. “Anda sudah menemukan hubungan ketiga korban? Kami menemukan gambar tato yang sama di tubuh korban. Uroborus." Dokter itu menunjukkan foto di dalam tabletnya. “Ya, tato bergambar ular Uroborus itu sudah kami kenali. Dan ketiganya termasuk dalam sindikat mafia narkoba dan pembunuh bayaran, King Cobra. Mereka adalah rekan seprofesi. Setahun lalu, ketiganya terlibat kasus pembunuhan pengusaha di Medan, kasus penyelundupan narkoba dan traficking. Mereka menggunakan senjata api dalam tiap aksinya. Dan menggunakan nama samaran atau julukan. Korban pertama bernama Hendra ZR alias Kalong.” “Lalu, siapa dua orang yang keluar dari dalam taksi sesaat setelah korban tewas?” “Saksi mata nggak melihat dengan jelas karena deras hujan yang mengguyur. Tapi mereka melihat dua sosok di dalam deras hujan." “Jadi belum jelas apakah sosok pelakunya seorang wanita atau pria?” “Kemungkinan dua orang wanita. Ya, dari gerak-gerik mereka, saksi mata menduga keduanya seorang wanita.” “Jadi, pelaku penyebar virus mematikan itu adalah seorang wanita?” “Belum ada cukup bukti. Kaitan antara korban dengan pelaku juga belum jelas.” “Mungkin ketiganya terlibat penculikan Maria.” Dokter Morga menemukan satu mata rantai. Inspektur Anton terenyak. Ia teringat pesan ponsel yang terakhir dikirim Maria. “Dalam pesan ponsel dari Maria menyebutkan ‘tiga pria’ bertato ular… ya, kemungkinan Uroborus... dan tiga pria penculikan itu menjadi korban virus Ancol! Wah, Anda seharusnya menjadi penyelidik polisi.” “Bukankah saya juga penyelidik.” Dokter Morga merasa tersanjung. “Penyelidik forensik.” Inspektur Anton tersenyum sebelum buru-buru meninggalkan kamar isolasi. Ia hendak memastikan satu hal. Namun, di dalam hatinya sudah ada keyakinan. Titik terang itu membuatnya membatin. Ini bukan perbuatan Si Manis Jembatan Ancol! Juga bukan karena Nyi Lara Kidul! *** “...ular… banyak… tiga pria besar... sebentar lagi mereka akan memindahkanku lagi… tolong….” Suara-suara bergema di dalam ruang kantor Inspektur Anton. Suara dari rekaman ponsel Maria. Ia nyaris tidak menyadari bunyi ketukan di pintu ruang kantornya. Ia buru-buru membuka pintu dan menemukan wajah yang tidak asing lagi. Nyaris saja ia

menolak kehadiran Selfi, kalau saja jurnalis itu tidak segera bersuara. “Aku punya berita menarik!” Selfi buru-buru masuk ke dalam ruangan. Ia menangkap kesan bahwa Inspektur Anton terganggu oleh kedatangannya. Ia berusaha agar dapat menarik perhatiannya. Selfi datang untuk kesekian kalinya. Ia hendak mengetahui perkembangan dari kasus yang tengah berlangsung. “Aku juga sedang meneliti sesuatu.” Inspektur Anton tidak dapat berbuat banyak ketika Selfi nyelonong masuk ke dalam ruang kantornya. Padahal ia hendak menjaga jarak dari media. Apalagi dari Selfi, ia tak ingin gadis itu terlibat mara bahaya terlalu jauh. “Pelakunya dua orang wanita. Salah satu saksi mata mengenal salah satu dari kedua wanita itu adalah Maria.” Inspektur Anton mengerutkan dahinya. “Kau punya buktinya?” “Saksi mata itu nggak sengaja memotret menggunakan ponselnya.” Selfi melangkah mendekat dan menunjukkan layar ponselnya. “Saksi mata gak ingin namanya disebut. Ia tengah berteduh di depan pertokoan ketika kedua wanita itu keluar dari dalam taksi. Ia tengah memotret arus kendaraan yang terjebak badai di Jakarta.” Inspektur Anton meraih ponsel Selfi. Ia memperhatikan foto yang berada di layar ponsel. Lalu memperbesarnya beberapa kali. Foto-foto yang didapat sedikit buram karena tertutup derasnya hujan, namun kualitas foto cukup tajam. “Anda lihat dua sosok yang baru keluar dari dalam taksi. Keduanya keluar dari pintu yang berbeda. Satunya melalui pintu depan, satunya melewati pintu belakang. Keduanya berambut panjang dan mengenakan jas hujan.” “Kemarin aku nggak menemukan saksi mata lain di tempat itu.” Inspektur Anton merasakan keanehan. Namun, ia tidak dapat mengetahuinya. “Anda polisi. Nggak dapat berbaur seperti saya. Saksi mata adalah pelanggan di toko yang tepat berada di tempat kejadian.” “Seorang wanita?” “Ya, pelakunya dua orang... dan mereka wanita….” “Maksud saya, saksi mata itu.” potong Inspektur Anton. “Ya, seorang wanita.” “Pelapor di hotel Merkuri juga seorang wanita… sampai saat ini identitasnya masih belum jelas. KTP-nya ternyata palsu.” “Saya masih belum paham maksud Anda.” Inspektur Anton terdiam. Naluri penyelidiknya merasakan adanya keganjilan. Namun, ia masih belum mengetahuinya. “Apa yang Anda dapat?” Selfi memandang ke sekeliling ruangan. Ia memandang berkas-berkas kasus Ancol yang bertebaran di atas meja. Laptop di atas meja tengah menganalisa file suara yang diambil dari ponsel Maria. Grafik frekuensi suara nampak di layar laptop. “Dari rRekaman suara itu… kuat dugaan Maria melihat tato bergambar ular... bukan ular betulan, tapi hanya gambar. Karea pada waktu itu Mari tengah panik.” “Tato?” Selfi merasa baru menyadarinya. “Ya, aku ingat sekarang. Dalam rekaman itu….” “Ya, ketiga pelaku memiliki kesamaan tato di lengannya.” Inspektur Anton memperdengarkan lagi suara rekaman Maria. “Ia menyebutkan kata ‘ular’… maksudnya adalah tato ular… karena suaranya bergetar dan rekaman itu tidak terlalu jelas. Ia berusaha menggambarkan pelaku yang telah menculiknya.” “Apakah ini balas dendam dari Maria? Karena pelaku penyebar virus di Ancol juga seorang wanita.” “Nggak mungkin karena Maria telah tewas.” Inspektur Anton nampak ragu. “Mungkin perbuatan orang lain? Wanita lain?” “Bisa jadi. Setidaknya kita mempunyai sembilan fakta.” “Lagi-lagi sembilan? Kenapa harus sembilan? Sembilan lubang, sembilan bukti....” Dahi Selfi berkerut. Inspektur Anton tidak menjawab pertanyaan Selfi yang terakhir. Ia memperlihatkan catatannya di layar laptopnya. Di sana tertulis: Sembilan fakta: 1. Pelakunya menggunakan virus baru, Evatoxin

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Pelakunya lebih dari satu orang Ketiga korban memiliki gambar tato Uroborus di tubuhnya Maria menghilang di atas Jembatan Ancol Tubuh Maria ditemukan tewas Tidak ada luka di tubuh korban Ketiga korban adalah anggota King Cobra Ketiga korban terlibat dalam penculikan Maria Ketiga korban tewas dengan cara yang sama

Keduanya terdiam untuk beberapa lama. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kemudian suara Inspektur Anton memecah kesunyian. “Kita masih belum dapat memastikan sesuatu.” Inspektur Anton mengirim gambar dari ponsel Selfi ke dalam laptopnya. “Sebelum mengetahui pasti wajah kedua pelaku.” “Menurut Anda siapa kedua wanita yang jadi penyebar virus Ancol?” tanya Selfi. “Yang jelas bukan Si Manis Jembatan Ancol dan Nyi Roro Kidul," timpal Inspektur Anton. Keraguan masih menyelimuti hati kedua orang itu. Senyum sesaat di wajah mereka segera lenyap. Sembilan fakta, hanya itu yang mereka miliki.File 17 Angel of Death SELFI telah selesai mengumpulkan informasi mengenai Maria dan kisah hidupnya yang penuh sensasi. Sebagai bonus dari penyamarannya sebagai Agatha Casey Holmes ia mendapatkan latar kehidupan inspektur polisi yang tengah menyelidiki kasus itu. Memastikan bahwa ada bagian dirinya yang dapat mengenal inspektur itu lebih dekat. Ia merunut kisah hidup Maria dari depan hingga belakang. Dan menemukan tiga putra dari keluarga terpandang yang menjadi alasan Maria kabur dari rumah. Ia mengambil potongan berita dari surat kabar lama. Mengurutkan nama-nama yang berhubungan dengan kasus kaburnya Maria. Ia mendapatkan nama ketiga putra dari keluarga terpandang yang pernah melamar Maria. Dan Maria menolak semua lamaran itu. Nama-nama itu adalah: 1. Denny Darsa, putra bungsu pengusaha minyak. 2. Tomi Grandin, pejabat DPR, salah satu keluarga pemilik partai berpengaruh. 3. Roy Prakoso, salah satu putra pemilik stasiun televisi. Ketiga nama tersebut ada di potongan berita-berita yang dikumpulkan Selfi. Sementara itu, hal yang sama juga dilakukan Inspektur Anton. Ia menyelidiki dalang yang berada di balik penculikan Maria. Ia menaruh kecurigaan kepada ketiga putra keluarga terpandang yang sakit hati lantaran lamaran mereka ditolak. Tidak adanya bukti yang mengatakan bahwa ketiga putra terpandang itu menjadi dalang dibalik penculikan Maria. Inspektur Anton tidak dapat menginterogasi mereka. Entah kebetulan atau tidak, Selfi dan Inspektur Anton kembali bertemu. Mereka tengah mengawasi salah satu rumah putra dari keluarga terpandang. Selfi mengenali sedan hitam yang biasa dibawa Inspektur Anton dalam setiap penyelidikannya. Sedan itu terparkir di seberang jalan di depan rumah Denny Darsa, putra pengusaha minyak yang lamarannya ditolak Maria. Di atas sepeda motornya, Selfi mengawasi sedan hitam yang berada di arah yang berlawanan. Ia yakin Inspektur Anton berada di dalam sedan hitam itu, tengah mengawasi rumah mewah yang terlihat kosong itu. Untuk beberapa lama mereka menjaga jarak. Setengah jam berikutnya masih tidak ada gerakan di rumah mewah itu. Selfi memilih untuk turun dari sepeda motornya dan masuk ke dalam warnet yang berada tidak jauh dari rumah mewah itu. Dari dalam warnet Selfi dapat mengawasi aktivitas di dalam rumah yang terletak di seberang jalan. Ia duduk di bilik yang menghadap ke jalan. Kaca depan warnet membuatnya leluasa mengawasi rumah itu dari tempatnya berada. Satu jam kemudian ada gerakan dari dalam rumah. Selfi mengenal wajah Denny Darsa dari potongan berita surat kabar. Denny membuka garasi dan mengambil mobilnya. Ia mengeluarkan mobil dari pelataran rumahnya. Sore hari itu, Denny memakai kacamata hitam dan topi. Ia jarang keluar rumah. Pria yang baru pulang dari berlibur di luar negeri itu menjaga dirinya dari sorotan media massa. Sejak

lamarannya ditolak Maria, wajahnya mulai muncul di media cetak dan elektronik. Kemudian tidak ada kabar sampai hari itu. Sedan hitam Inspektur Anton mulai menggelinding perlahan di belakang sedan merah Denny. Selfi buru-buru keluar dari bilik warnetnya. Setelah membayar tarif interet di konter operator, ia bergegas menuju sepeda motornya yang tengah terparkir di pinggir trotoar. Selfi melompat ke atas sepeda motornya dan mengikuti kedua sedan di depannya. Perburuan di hari itu tidak berjalan mulus. Karena lima belas menit kemudian sedan silver Denny kembali ke rumahnya. Ia mengetahui dirinya dikuntit. Selfi dan Inspektur Anton harus bersabar lagi. Hari itu mereka berpisah kembali. *** Pukul 21.20 malam. Selfi mendapat panggilan ponsel dari produsernya, Denara, yang selalu mengabarkan perkembangan investigasinya. Ia berpapasan dengan sedan silver Denny. Ciri-ciri sedan yang dikatakan Denara sama seperti yang dilihatnya sore tadi. Ia meninggalkan begitu saja makan malamnya yang masih sisa di dalam kamar hotel dan segera bergegas menuju ke jalanan. Sepeda motornya meraung menuju lokasi terakhir sedan Denny. Denara memberi beberapa jalan alternatif yang dapat membuatnya bertemu sedan Denny. Sedan itu kemungkinan menuju ke tempat diskotek yang biasa dikunjungi Denny. Selang beberapa menit kemudian, Selfi yang sempat kehilangan jejak sedan silver itu menemukan sedan Denny berada di depan diskotek. Seperti dugaan Denara. Sesampai di dalam diskotek Selfi kehilangan jejak Denny untuk kedua kalinya. Sosok Denny menghilang di dalam keramaian di dalam diskotek. Bunyi musik trance yang berdentam-dentam bersahut-sahutan dengan sorakan pengunjung. Aroma asap rokok memenuhi udara. Pengunjung yang menari tumpah ruah di tengah-tengah ruang diskotek. Selfi berdesakan menerobos kerumunan. Ia melongok ke kanan-kiri mencari sosok Denny yang menghilang di dalam keramaian. Ketika akhirnya, sosok Denny terlihat, ia melangkah mendekatinya. Tetap menjaga jarak untuk mengawasinya. Kemeja biru bergaris yang dikenakan Denny membuatnya mudah ditemukan. Ia tengah bersama dua orang wanita. Ketika kerumunan pengunjung menutupi pandangan Selfi, ia kehilangan sosok Denny. Tidak berapa lama, ia dapat mengawasi Denny kembali. Kedua wanita yang bersama Denny sudah tidak bersamanya. Perasaan Selfi tak nyaman, merasakan keanehan. Denny tengah duduk di sofa merah di salah satu sudut diskotek. Kepalanya tertunduk lemas. Ketika seseorang mendekatinya, dan menepuk pundak Denny, tubuh pria itu ambruk ke lantai diskotek. Pengunjung yang menyadari itu menjerit. Mendadak suara sorakan berubah menjadi jeritan. Kerumunan pengunjung segera bubar. Mereka berebut untuk keluar dari dalam diskotek. Aroma busuk menebar kematian di dalam diskotek. Ketika keramaian mulai terurai. Di sudut ruang diskotek, tubuh Denny ditemukan tewas di atas kursi sofa merah. Darah hitam mengalir dari mata, hidung, mulut dan telinganya. Musik mendadak berhenti. Suara jeritan semakin jelas. Kedua malaikat maut baru saja melewati Selfi. Tanpa ia sadari. *** Polisi yang datang ke lokasi kewalahan. Setengah jam setelah kematian Denny, orang-orang yang berada di dekat mayat korban mulai dilarikan ke rumah sakit. Mereka merasakan pusing dan iritasi di mata. Virus di dalam mayat Denny meracuni seluruh sudut ruangan diskotek. Selfi sedikit terlambat melarikan diri. Ia merasakan tengkuknya mati rasa. Lendir cair keluar dari dalam hidungnya. Tidak berapa lama tubuhnya ambruk ke trotoar. Beberapa langkah dari sepeda motornya. Di ambang kesadaran ia mendengar suara-suara dan cahaya mulai meninggalkannya. Segalanya samar dan gelap. Apakah aku akan mati terkena kutukan Ancol? Apakah semua berakhir di sini? Sebelum kegelapan menelan Selfi, ia mendengar suara-suara dari sekitarnya yang

semakin menghilang. “Hei, ada seorang lagi yang pingsan…!!” “Gotong ke dalam mobil!!” “Hati-hati… pakai sapu tangan atau masker… mereka terkena racun….?!!” *** “Anda baik-baik saja?” Seraut wajah malaikat muncul di hadapan Selfi. Ia merasa dirinya sudah berada di dalam surga. Aroma parfum yang menenangkan membuat kesadarannya terjaga. Bunyi tabung oksigen membuatnya segera sadar dirinya berada di dalam rumah sakit. Ruangan isolasi yang serba putih menyilaukan penglihatannya. Perlu beberapa menit hingga matanya terbiasa dengan cahaya terang. “Aku ada di mana? Anda siapa?” Suara Selfi masih terdengar serak. Ia merasa lubang hidung dan tenggorokannya nyeri. “Saya Evangela, Anda sekarang berada di kamar isolasi.” “Kamar isolasi?” Selfi menyadari dirinya tidak sendirian. Setidaknya korban lain tengah berbaring di ranjang tidak jauh di sampingnya. “Anda dan korban lain terkena racun di diskotek.” “Anda dokter di sini?” “Bukan… saya ilmuwan kimia… virus itu tengah saya teliti.” “Sampai berapa lama saya di sini?” “Nampaknya besok Anda sudah bisa pulang… untung saja karena racun itu belum sampai ke syaraf Anda. Jumlahnya rendah….” “Korban yang lain?” “Mereka masih di sini… karena jarak mereka dengan mayat korban begitu dekat. Kemungkinan jumlah virus yang masuk ke dalam tubuh lebih banyak.” “Apa sudah ditemukan penawarnya?” “Saya mulai menelitinya. Pelakunya membuat racun jenis baru ….” Evangela memeriksa arloji di lengannya. “Semoga beberapa hari ini level penawarnya sudah bisa lebih ditingkatkan lagi.” “Anda sepertinya mirip seseorang….” Selfi menatap wajah Evagela lekat-lekat. Ia menyadari sesuatu. “Saya kakak Maria.” Evangela mengulum senyum. Satu senyuman yang manis. “Oya, sebaiknya Anda banyak istirahat. Semoga lekas sehat.” *** Keesokan harinya. Selfi keluar dari dalam kamar isolasi. Ia dijemput Denara yang menjaganya siang-malam. Denara sudah seperti keluarga sendiri baginya. Hanya beberapa orang yang diijinkan menjenguk Selfi di kamar isolasi dan dibatasi. Karena itu ketika Selfi hendak pulang, teman-temannya sudah berkerumun di luar kamar isolasi demi mengetahui keberadaannya. Denara meminta mereka untuk membiarkan Selfi istirahat agar segera cepat pulih. Ia buru-buru mengantar Selfi ke dalam mobil. Selfi masih merasakan efek virus beracun yang masuk ke pernapasannya. Lidahnya terasa kering. Kepalanya masih terasa berat. Ia malas mengeluarkan suara. Suaranya seperti masih tertutup lendir dalam mulutnya. “Kau bertemu kakak kandung dari Maria?” tanya Denara. Selfi mengangguk lesu. Matanya terpejam. Kepalanya bersandar. Denara tersenyum. “Kau perlu beristirahat beberapa hari. Evangela memberi tiga macam obat untuk kau minum. Salah satunya katanya vitamin.” Ia mengambil botol air mineral dari dasbor mobil lalu memberikan kepada Selfi. Sesampai di apartemen Denara, Selfi tidak dapat tidur. Rasa sesak di pernapasan masih membuatnya gelisah di atas ranjang. Denara untuk sementara memutuskan menghentikan perburuan berita sampai Selfi kembali pulih. Ia terpaksa mengundur jadwal tayang. Ia tak dapat meneruskan acara Fakta dan Kriminal di Metropolis TV tanpa Selfi, jika pun ia terpaksa harus mencari pengganti, maka acaranya akan terasa berbeda. Bunyi ketukan di pintu terdengar. Menyita perhatian Denara yang hendak membaca majalah di ranjang bersama Selfi. Denara segera beranjak dari ranjang dan memeriksa tamunya. Wajah Inspektur Anton nampak di celah pintu yang terhalang kunci rantai. Ia

membawa bungkusan di tangannya. “Maaf, mengganggu kalian. Saya bawa buah-buahan untuk Selfi.” Denara hanya bisa melongo sebelum mendengar Selfi berdeham. Kemudian ia tersadar bahwa inspektur polisi itu masih berada di luar pintu. “Oya, silakan.” Selfi nampak tersipu ketika inspektur polisi itu masuk ke dalam kamar. Denara yang entah kenapa nampak salah tingkah. Ia sampai menyiapkan kursi demi kedatangan tamu istimewa yang mendadak itu. “Santai saja. Anggap saja teman, bukan inspektur.” Inspektur Anton menghela napas. Raut wajahnya memancarkan rasa letih, namun masih terpancar semangat di sana. Selfi hanya tersenyum. Sesekali terdengar batuknya. Untuk beberapa lama kehangatan dan keceriaan terasa di ruangan itu. Inspektur Anton mencoba bercerita tentang hal-hal yang lucu selama menangani kasus kejahatan. Walau bukan sebagai pencerita yang baik, Selfi dan Denara pun tertawa lepas dibuatnya. Sampai waktu tak terasa dan Inspektur Anton pamit kembali ke kantornya. Selfi dan Denara mendapat pandangan baru tentang inspektur polisi itu: seorang pria baik-baik yang berusaha memberikan yang terbaik untuk karirnya, sama seperti mereka. Walau konsekuensinya adalah pengorbanan yang tak sedikit.File 18 Sang Ilmuwan “Evatoxin.” GUMAM Inspektur Anton. Ia masih berada di depan meja kerjanya. Satu-satunya cahaya hanya datang dari layar monitor komputernya. Ia kembali memeriksa arsip data yang telah ditemukannya di lapangan. Kemudian memeriksa korban-korban yang telah berjatuhan akibat kutukan Ancol. Semuanya pria. Korban wanita anehnya dapat selamat dari penularan evatoxin. Tidak jauh darinya, kemilau botol gelas memantul menerobos kegelapan. Botol kaca kecil berisi antitoksin adamin. Evangela mulai menyebarkan antitoksin adamin, terutama bagi petugas dan ahli forensik yang sehari-hari kontak dengan mayat yang tertular kutukan Ancol. Produksi antitoksin adamin mencapai lima ribu botol 5 cc seminggu. Ia menyalakan sambungan internet dan segera browsing. Mencari informasi tentang Evangela dan dr. Morga. Kata kuncinya: Evangela ilmuwan biokimia. Ia mengetiknya di search engine. Hasil paling banyak mengenai artikel sains berbahasa inggris dan jerman atas nama Evangela dan dr. Morga. Tidak banyak yang menceritakan kehidupan mereka. Keduanya low profile dan tidak banyak menebarkan foto diri. Ia menemukan artikel lama tentang kegiatan kedua ilmuwan. Di layar monitornya tertulis: ILMUWAN MUDA PERAIH HIROSHIMA AWARD Infosains (Artikel ini pernah dimuat di majalah Sains edisi 25/2003 hal 35-36) JAKARTA—Evangela Eliza, 21 tahun, peraih Hiroshima Award adalah ilmuwan biokimia muda Indonesia pertama yang memenangkan kompetisi sains di Jepang. Ia menjadi orang pertama di luar Jepang yang mendapat Hiroshima Award. Penghargaan bergengsi itu hasil risetnya selama lima tahun. Penemuan materi antiradiasi nuklir berbahan biota laut berhasil menyisihkan ilmuwan muda lain dari Eropa… LABORATORIUM ANTAR NEGARA TERMAHAL IPTEK, JAKARTA—Laboratorium standar internasional pertama mulai dibangun. WHO dan pemerintah RI sepakat bekerja sama menanggulangi wabah flu burung dan swine flu. Dana yang digunakan mencapai trilyunan rupiah. Pemerintah tidak menyebutkan nominal karena proyek rahasia itu akan jauh dari pemberitaan publik. Laboratorium yang diharapkan mencari solusi untuk energi ramah lingkungan tahun 2012 itu akan dibangun di atas pulau yang jauh dari publik. Karena dirahasiakan, banyak isu yang berkembang pemerintah juga mengembangkan senjata biologi. Wikileaks bahkan memiliki data laporan pengiriman alat-alat yang mampu mengembangkan senjata biologi. “Fisik sudah 60%, untuk detilnya saya tidak berwenang menjawab,” ungkap dr. Morga Kusuma, salah satu ilmuwan yang terlibat dalam proyek itu. Ilmuwan biologi dan ahli forensik itu mendapat gelar PhD di bidang plant toxins dan bidang

penularan penyakit di Amerika. Makalahnya tentang kekebalan tubuh menjadi rujukan ilmuwan di dunia. GARIS POLISI DI LABORATORIUM ANTAR NEGARA Qalamnet, JAKARTA—Untuk pertama kalinya laboratorium antar negara, Pusaka I dan II ditutup. Karyawan laboratorium terpaksa libur. Pencurian spesimen yang terjadi menyita perhatian publik. Pelaku membobol sistem keamanan sampai level ketiga. Anehnya, spesimen yang dicuri masih bahan mentah, artinya masih membutuhkan proses berikutnya. Badan Intelijen Nasional yang menyelidiki lokasi melarang media untuk melakukan investigasi. “Pelakunya sudah kami tangkap. Ia salah seorang karyawan di sana. Spesimen juga sudah dikembalikan. Kasus ini selesai,” ungkap penyidik dari BIN tanpa menyebutkan nama pelakunya. Ia juga melarang namanya disebut dalam media. “Ini gak ada hubungannya dengan saya dan senjata kimia,” Dokter Morga menampik isu bahwa dirinya terlibat. “Tujuan kami untuk melindungi ras manusia.” Inspektur Anton tidak pernah mendengar kasus di laboratorium rahasia. Ia menduga karena intelijen merahasiakannya bahkan kepada polisi. Kemudian ia teringat beberapa file yang diberikan Evangela. File-file tentang racun jenis baru yang tingkat rahasianya level medium, dapat disebarkan ke pihak yang berkepentingan. Ia membaca sekali lagi. Mengetahui resiko apa yang akan ditemuinya jika terkena kutukan Ancol. Di layarnya tertera salah satu penjelasan tentang kutukan Ancol. Racun yang telah membunuh korbannya hanya dalam waktu kurang dari semenit. EVATOXIN Kode: EV-X Lambang: EV Evatoxin atau EV-X adalah racun jenis baru yang sangat mematikan. Menyebabkan penyakit infeksi yang dapat menginfeksi manusia dan hewan. Diketahui pertama kali melalui kasus kematian misterius tiga pria di kawasan Ancol, Jakarta Utara pada tahun 2016. Racun yang merupakan senyawa bahan kimia beracun dari spora antraks yang berhasil dikembangbiakkan dalam gas sarin yang telah berbentuk cair dan atau dapat berupa uap gas. Racun lebih mematikan setelah berkembang biak di dalam tubuh korban pertama. Dapat menular melalui kulit, luka terbuka, selaput mata, dan pernapasan. Istilah Evatoxin berasal dari ilmuwan Indonesia yang pertama kali menelitinya, Evangela Eliza. Karena merupakan jenis racun baru. Evatoxin berarti, ibu dari segala racun karena hanya dapat membunuh kurang dari satu menit. Uniknya resiko kematian hanya pada korban berjenis kelamin laki-laki. Korban laki-laki mengalami pendarahan akut pada alat kelaminnya seperti perempuan yang tengah haid. Kulit korban memucat. Tubuh korban menjadi kering karena kehilangan cairan tubuh. Darah korban berwarna hitam pekat dan membusuk. Racun ini menular melalui cairan dari tubuh korban dan yang telah menguap ke udara. Korban perempuan yang terkena jarang menyebabkan kematian. Penawar racun berupa serum Antitoxin Adamin harus diberikan sesaat setelah racun menyebar ke tubuh korban. Namun, kebanyakan korban tak tertolong. Dapat menular setelah menyerang korban pertama dari manusia ke manusia. Kebanyakan korban tewas pada laki-laki. Korban wanita hanya mengalami mual, kelumpuhan dan pusing. Virulensi Penyakit ini disebabkan spora antraks yang diambil gas sarin berbentuk cairan. Racun spora yang pada awalnya tidak menular dari manusia ke manusia menjadi menular. Spora yang telah diselubungi cairan gas sarin menjadi lebih mematikan setelah bersentuhan dengan kulit. Kulit melepuh setelah ternsentuh Evatoxin. Setelah spora antraks masuk ke peredaran darah, sel vegetatif tersebut akan menghancurkan keping darah dan merusak jaringan organ. Mengakibatkan internal bleeding, pendarahan di dalam tubuh. Spora antraks mengeluarkan cairan gas sarin yang merusak paru-paru, pencernaan, mata dan kulit. Sel kulit yang mati menyebabkan kulit memucat dan

kering. Menimbulkan kematian kurang dari satu menit setelah terkena. Keping darah yang telah mati akan keluar dari sembilan lubang di tubuh korban. Darah hitam mengalir deras di alat kelamin karena Evatoxin merusak organ prostat dan ginjal. Penjangkitan Manusia yang terkena Evatoxin merasakan sekujur tubuhnya terbakar. Kulit yang bersentuhan dengan racun melepuh. Jika berbentuk cairan masuk melalui pori-pori kulit, luka terbuka atau selaput mata. Racun dari cairan tubuh korban semakin mematikan dan dapat membunuh. Evatoxin yang keluar dari cairan tubuh korban mudah menguap dan mudah masuk melalui pernapasan. Racun yang telah berkembang biak dan keluar dari tubuh menjadi lebih mematikan. Korban merasakan tidak dapat menahan buang air, namun cairan yang keluar berupa darah hitam kental yang telah membusuk. Uap dari darah yang keluar dari dalam tubuh lebih beracun dan dapat menular ke manusia dan hewan. Evatoxin dapat memasuki tubuh melalui sentuhan di kulit, pernapasan, kontak dengan mata dan pernapasan. Gejala (Simptom) Korban merasakan kulitnya terbakar, dehidrasi, haus, mual, pusing, muntah dan tidak dapat menahan buang air. Darah hitam keluar dari alat kelamin dan anus. Darah yang keluar dari alat kelamin lebih banyak dan tidak terkontrol seperti darah haid. Penawar Serum Antitoxin Adamin diambil dari antibodi darah korban. Harus segera diberikan setelah korban terkena racun. Percobaan pada tikus dan mamalia lain di laboratorium menunjukkan Adamin dapat menghancurkan Evatoxin. Namun, masih belum ada korban manusia yang dapat selamat. Karena terlambat menanganinya. Riset (catatan) Penelitian dan uji klinis masih berlangsung untuk menemukan antitoksin terbaik. Dan mengetahui detil karakteristik toksin. Antitoksin Adamin masih belum mencapai tahap terakhir. “Ya, Tuhan… siapa yang menciptakan kengerian semacam ini,” gumam Inspektur Anton. Ia tidak pernah merasa setakut ini. Ia tidak menyadari resikonya jauh lebih besar daripada yang ia ketahui atau bayangkan. Musuhnya kali ini tak tampak. Seperti hantu, atau memang benar jika disebut sebagai sebuah kutukan. Kutukan Ancol. *** Selfi terjaga di atas ranjang dalam kamar Denara. Ia merasaka tubuhnya sudah sehat. Ia menelan ludah dan merasakan tenggorokannya tidak tersumbat lendir. Obat yang diberikan kakak Maria bekerja dengan baik. “Denara!!” Selfi berseru dari atas ranjang. Suaranya telah kembali pulih. Ia mendapati dirinya seorang diri di dalam kamar itu. Cahaya matahari sedikit tertutup mendung. Siang itu Denara tidak berada di dalam apartemennya. "Mungkin masuk kantor… rapat mingguan…? Melaporkan keadaan diriku?" Selfi bergumam sembari duduk di tepi ranjang ketika ia mendengar suara ketukan di pintu depan kamarnya. Ia buru-buru melangkah hendak membuka pintu. Pintu terbuka dan ia mendapati beberapa orang yang mengenakan pakaian khusus dan masker gas di wajah mereka. “Siapa kalian?” tanya Selfi. “Mundur!!” Suara dari mikrofon membuat Selfi kaget. “Anda telah membunuh seluruh penghuni apartemen.” “Apa?!!” Selfi terkejut. Ia menoleh ke luar kamar dan mendapati puluhan mayatmayat yang terkapar di sepanjang koridor apartemen. Darah hitam menutupi lantai koridor. “Anda telah meracuni apartemen!!” Selfi mundur ketika beberapa orang berpakaian khusus mendekatinya. Mereka menyemprotkan asap biru ke tubuh Selfi. Asap beraroma tajam yang membuatnya air matanya berhamburan. Ia terbatuk-batuk. Dadanya serasa hendak meledak.

“Tunggu!!” Selfi menutup mulutnya dengan jemarinya. Suaranya terdengar tidak jelas. “Aku bukan pembunuh!!” *** Selfi membuka mata. Kepalanya masih terasa berat. Bantal di bawah kepalanya serasa karung pasir. Damn!! Aku bermimpi buruk!! Ia mendapati dirinya berada di dalam kamar apartemen Denara. “Kau mengigau lagi? Mimpi buruk....?” Denara berada tidak jauh darinya. Selfi memastikan kali ini bukan mimpi. Suaranya masih serak. “Kau gak takut tertular racun dariku?” Selfi terdengar paranoid. “Kutukan Ancol? Hah, nggak… itu resiko.” Denara tidak melepas pandanganya dari layar laptop di depannya. “Setiap pekerjaan memiliki resiko.” “Jika aku mati… apa yang akan kau lakukan?” “Menulis novel tentangmu. Enggak, cuma bercanda.” Kemudian Denara tertawa. Ia mengawasi Selfi melalui kacamatanya. Kaca mata yang dikenakan hanya ketika mengetik. “Hei, percayalah, kita pasti bisa menyelesaikan ini… kita akan menyajikan berita yang berbobot.” Selfi balik tersenyum. Dalam hatinya ia berkata, Ya, benar… kau harus menyiarkan fakta ini… Walau aku sudah tiada nanti Kemudian Selfi tertidur lagi. Kali ini tanpa mimpi. Mimpi buruk. Karena mimpi buruknya baru akan dimulai esok harinya.File 19 Don't Trust Anyone? SELFI tidak pernah merasa bersemangat seperti pagi itu. Rasa pesimisnya akibat terserang racun tempo hari sirna. Ia yakin tubuhnya sudah terbebas dari teror racun mematikan itu. Ia tidak berharap akan menjadi korban kutukan Ancol. Namun, siapa yang bisa meramal masa depan? Hanya Tuhan saja yang bisa mengetahui masa depan, bahkan utusan-utusannya tidak mengetahui kapan tepatnya kiamat terjadi? “Lihat siapa matahari yang bersinar sekarang?” Denara menggodanya. Selfi mengulum senyum. Ia baru saja mandi dan menghabiskan sarapannya. Lalu segera melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. “Apa yang telah aku lewatkan?” “Oke, pertama.” Denara membaca berita online di layar tabletnya. “Denny Darsa menjadi korban keempat kutukan Ancol. Kematiannya mirip dengan kematian tiga pria sebelumnya.” “Aku sudah tahu itu. Bahkan berada di tempat kejadian.” “Yah, setidaknya media massa ramai menulis seperti itu.” “Apakah mereka menulis keterlibatan korban dengan penculikan Maria?” “Mereka baru berasumsi… masih gak dapat membuktikannya. Begitu juga dengan kepolisian. Ya, polisi….” Ketika Denara mengatakan ‘polisi’ ketukan terdengar dari pintu kamarnya. Denara dan Selfi beradu pandang sejenak. “Biar aku yang membuka,” ujar Denara sembari beranjak dari kursinya. Selfi mengawasi dari kejauhan. Ketika ia mengenali wajah Inspektur Anton di luar kamar, semangatnya bertambah. Sekaligus merasa sedikit enggan. Ia bisa menduga alasan kedatangan polisi itu. “Saya nggak menemukan Selfi di hotelnya….” “Selfi harus beristirahat beberapa hari. Menjauhi ‘kutukan’ itu.” Denara menunjuk ke arah Selfi. “Anda hendak menculiknya?” “Hanya beberapa pertanyaan.” Inspektur Anton tersenyum mendengar kata penculikan itu. “Oya… ya… kalau gitu, silakan saja.” Denara nampak salah tingkah. Ia sudah menganggap Selfi sebagai anaknya sendiri. *** “Saya sudah memeriksa korban selamat lainnya.” Inspektur Anton merapikan tumpukan kertas yang berserakan di meja kerjanya. Kemudian menyingkirkan botol air mineral, bungkus makanan dan tumpukan pakaiannya. Sudah beberapa hari ia tidur di dalam kantor demi memecahkan kasus misteri hotel Merkuri. Biasanya ia menghabiskan waktu di jalanan, dari satu penginapan ke penginapan lain. Di ruang kantor Inspektur Anton, Selfi merasa tak tenang duduk di depan meja

kerja yang dipenuhi tumpukan berkas. Meski itu bukan pertama kalinya ia berada di sana, namun beberapa kali ia kehilangan fokus antara memerhatikan inspektur itu dan berkas-berkas lembar dokumen, kliping, dan foto-foto yang ditempel di whiteboard. Ia berusaha menduga-duga sampai sejauh mana penyelidikan dan data yang telah dikumpulkan kepolisian. “Berapa korban yang tewas?” tanya Selfi sembari mengamati foto-foto dan berkas yang berada di meja inspektur itu. “Eh, maksud saya berapa orang korban yang selamat? “Dari enam orang yang dirawat di kamar isolasi, dua masih kritis dan satunya selamat yaitu Anda seorang. Bisa dibilang sebuah keberuntungan atau keajaiban.” Inspektur Anton membacakan salah satu berkas yang bernomor dan berlabel laboratorium forensik. “Racun itu menyebar ke udara dari darah korban. Menyerang pernapasan dan kontak langsung dengan kulit. Untungnya Anda berada cukup jauh dari korban.” “Jadi saya hanya sedikit menghirup racunnya?” Selfi merasa bersyukur masih dapat lolos dari maut. “Ya… untung dalam kadar yang rendah. Karena di dalam ruangan itu banyak pengunjung lain yang juga menghirup racun yang sama.” “Siapa saja yang terkena?” tanya Selfi. “Seorang bartender, petugas medis dan…rekan-rekan saya yang berusaha mengevakuasi di tempat itu. Mereka terkena cipratan darah korban atau terlalu banyak menghirup udara yang terkontaminasi. Anda selamat karena hanya menghirup sedikit. Puluhan pengunjung lainnya merasakan mual, dan beberapa sampai opname di rumah sakit.” “Saya ikut berduka.” Selfi nampak menyesal karena tidak dapat berbuat banyak demi menolong korban. “Diskotek itu ditutup, ah, mungkin untuk selamanya atau lebih baik dikubur. Karena racunnya masih melekat di sana. Kamar korban di hotel Merkuri juga rencananya akan ditutup selamanya, diisolasi atau bahkan ditembok menjadi kamar rahasia.” Keduanya terdiam beberapa saat. Lalu Inspektur Anton bertanya, “Anda melihat seseorang yang mencurigakan di diskotek itu? Sebelum kejadian?” “Saya melihat korban bersama dua orang wanita sebelum tewas.” “Bisa Anda gambarkan ciri-cirinya.” “Suasana diskotek yang remang-remang dan keramaian pengunjung membuat saya gak begitu jelas melihat dua wanita itu. Saya harus menjaga jarak dari korban. Anda tau itu.” “Dari mana Anda tau bahwa kedua orang itu adalah wanita?” “Tubuh mereka tinggi semampai, cukup seksi, dengan rambut panjang.” Selfi mengingat-ingat. “Kedua rambut wanita itu panjang seperti ….” “Seperti?” Inspektur Anton mengerutkan kening. “Maria dan Si Manis Jembatan Ancol....” Selfi mendengus. Inspektur Anton tersenyum. “Salah satunya mirip Maria, itu yang saya tangkap. Apakah Anda yakin?” “Saya melihat dalam jarak yang cukup dekat.” “Anda mengenal Maria? Atau hanya mengenal dari fotonya saja?” “Rambut hitamnya panjang bergelombag sepinggang. Wajahnya yang cantik membuat siapa saja tidak akan melupakannya. Gadis blasteran Sunda-Rusia. Siapa yang gak tertarik?” Selfi mengulum senyum. “Anda sebagai lelaki pasti tertarik bukan?” “Saya juga penggemar Maria….” Inspektur Anton kembali tersenyum. “Saya suka perannya di film… duh, lupa judulnya waktu dia berperan sebagai mata-mata wanita.” “Judulnya Undercover… Ya, ada sembilan film yang dibintangi Maria.” Selfi diamdiam juga mengagumi peran Maria yang sedikit banyak menginspirasinya. Terutama ketika dirinya menyamar menjadi Agatha Casey Holmes. “Hmm, lagi-lagi angka sembilan, ya.” “Dan ia menghilang di film kesembilannya.” “Tepatnya tewas." Inspektur Anton mengingatkan. “Anda yakin itu mayat Maria?” tanya Selfi. “Kami sudah melakukan tes DNA. Dan hasilnya positif.”

“DNA pembanding siapa?” “Kakak Maria, Evangela.” “Ah, ya, saya baru pertama kali bertemu dengannya di kamar isolasi.” “Wajahnya mirip Maria. Kecuali rambutnya yang panjang sebahu.” Tiba-tiba Selfi menyadari sesuatu. “Anda gak mencurigainya?” “Siapa?” Inspektur Anton nampak heran. “Evangela, saudara Maria." Ya, wajahnya cukup mirip. Dan ilmuwan itu cukup mencurigakan karena memiliki akses ke penggunaan evatoxin… nama virus baru itu." Inspektur Anton tercenung beberapa saat. Tidak bisa tidak akhirnya ia menceritakan tentang virus baru itu kepada Selfi. "Evatoxin... jadi, Evangela bisa jadi tersangkanya?" Selfi nampak belum yakin dengan ucapannya. Gerakan matanya menyiratkan keraguan. “Kita tak bisa asal menuduh tanpa bukti kuat. Apalagi motifnya masih belum diketahui. Alibi Evangela juga kuat, dari data mesin presensi sidik jari ia berada di laboratoriumnya pada waktu terjadinya beberapa kasus itu. Saya sudah mengeceknya. Meski itu pun tidak menjamin seratus persen.” Inspektur Anton nampak berpikir, lalu berusaha tersenyum. “Dan Evangela sekarang sedang meneliti virus itu. Dia yang memberi nama virus baru dan membuat penawarnya bernama antitoxin adamin. Jika dia pelakunya, kenapa ia memberikan penawarnya kepada saya?" “Lalu siapa yang aku lihat di diskotek waktu kejadian itu?” “Hantu Maria? Kau yang melihat sendiri.” Inspektur Anton nyengir. Selfi mulai kesal melihat tingkah inspektur itu yang banyak tersenyum ketika menghadapi misteri kasus tanpa ujung. Masih belum ada titik terang. Kerja mereka selama ini tidak menghasilkan kemajuan yang berarti. Seharusnya polisi di depannya tidak sesenang itu. Inspektur Anton memang suka bercanda sejak pertama kali bertemu, tapi sekarang saatnya tidak tepat. “Bisa jadi itu penggemar fanatiknya… membalaskan dendam kematian artis yang digemarinya.” “Banyak asumsi. Banyak sekali. Kasus ini masih dalam proses penyelidikan.” Inspektur Anton mengamati wajah Selfi lekat-lekat. “Ya, saya juga tengah menyelidikinya.” “Nah, itu.” Wajah Inspektur Anton berubah prihatin. “Sekarang, Anda harus menjauhi kasus ini. Ini juga demi kebaikan kita semua.” Selfi sedikit tersinggung. “Ah, itu sudah resiko pekerjaan.” “Karena pelakunya melihat Anda… ia menggunakan dosis yang lebih mematikan untuk membunuh Anda. Sekarang Anda juga mangsanya.” “Iya, tapi kan saya perempuan, jadi virus itu tak terlalu berbahaya." Selfi masih bersikeras. "Harusnya kepolisian yang lebih berhati-hati karena mayoritas kalian adalah laki-laki.” “Rekan saya sudah jadi korban. Saya gak ingin Anda mengalami hal yang sama. Apakah Anda mau diopname di rumah sakit?” “Itu bukan urusan Anda…,” pungkas Selfi. Ia beranjak dari kursi dan buru-buru hendak keluar dari dalam ruangan. Ia merasa dedikasinya selama ini merasa telah diremehkan. Ia hanya dapat mengomel di dalam batin. Aku pasti bisa menangkap pelakunya… membeberkan segala kejahatan mereka ke publik... menangkap basah pelakunya lebih dulu daripada polisi yang penuh aturan… Selfi tidak menyadari bahwa dirinya telah masuk ke dalam perangkap dari kasus Ancol, karena itu Inspektur Anton berusaha mencegahnya. “Hei, tunggu,” ujar inspektur polisi itu menyusul Selfi yang sudah berada di ambang pintu. Ia menghalangi Selfi dengan dadanya yang bidang sebelum keluar dari ruangan. “Maaf, saya harus kembali bertugas.” Selfi nampak bersungut-sungut. “Jadi tolong minggir.” “Iya, maaf kalau mengganggu… sebenarnya saya ingin mengajak makan siang.” Inspektur Anton berusaha memberikan senyum terbaiknya. Selfi terdiam dan tak bergeming untuk beberapa saat. Ia menghela napas dan raut wajahnya yang semula tegang nampak lebih santai. “Apa ini semacam suap?” Inspektur Anton tertawa pelan. “Bukan… saya belum sarapan sejak pagi. Dan rekan saya… begini, sebenarnya saya sudah lama ingin mengajak Anda makan-makan.”

Selfi masih terdiam. Nampak ragu sembari memerhatikan inspektur itu. “Ini juga sebagai permintaan maaf saya jika ada sikap yang tidak berkenan selama ini.” Inspektur Anton masih berusaha membujuk. “Saya harap ini bukan yang terakhir kalinya kita bertemu. Maksud saya… saya harap kita bisa bertemu di kondisi dan waktu yang berbeda selain di tempat kejadian perkara atau di kantor.” “Okelah… tapi Anda yang traktir ya.” Selfi mengedipkan mata. “Ya, tentu… tentu.” Inspektur Anton nampak lega. “Mari kuantar ke mobil.” “Mobil polisi?” “Bukan. Tapi mobil pribadi yang sudah menua.” Selama dalam perjalanan, Selfi lebih banyak diam, sedangkan inspektur polisi itu berusaha berbicara sekenanya demi mencairkan suasana. “Asalmu dari mana?” tanya Inspektur Anton. “Situbondo, Jawa Timur. Sekitar lima jam dari Surabaya dengan kendaraan umum.” “Lumayan jauh ya.” “Ya, duh, sebenarnya jika bukan karena Denara, aku sudah berada di rumah sekarang.” “Oh, begitu?” “Saya gak hadir di pernikahan adik sepupu saya.” Selfi nampak enggan untuk membahasnya. “Wah sayang banget tuh. Dan semua demi karir?” Selfi yang mendengarnya agak tersinggung. Jadi ia berusaha mengganti topik yang juga bertujuan menegur inspektur itu. “Nampaknya Anda tidur di kantor? Gak ada keluarga yang menunggu di rumah?” “Saya masih membujang.” Selfi tidak berpura-pura kaget. Untuk apa? Toh ia sudah mendengar dari Denara dan pengakuan inspektur itu sendiri di hadapan Agatha, sosoknya yang lain. “Dan semua demi karir. Hah, kalau begitu kita impas.” “Keluarga yang menunggu di rumah hanya ibuku yang merawat nenek yang sakitsakitan bersama seorang adikku. Saudara-saudara saya merantau ke luar pulau… Sejak ayah tiada. Untungnya mereka cukup tegar dan mendukung setiap keputusan saya karena saya menjadi tulang punggung bagi mereka.” Selfi terdiam. Ia agak menyesal karena telah memulai percakapan itu. “Hei, makanan kesukaanmu apa? Kau biasanya makan di mana?” tanya Inspektur Anton berusaha mengalihkan topik. Selfi nampak lega ketika inspektur itu menanyakannya. “Kalau aku terserah apa saja deh, asalkan kenyang. Tau sendirilah orang lapangan. Yah, di lain waktu bisa sambil wisata kuliner, tapi kebanyakan makan yang instan.” Selfi tersenyum. “Oke.” Inspektur Anton ikut tersenyum. Senyum kemenangan. Senyuman yang berbalas. Selfi tak mengira, begitu pula inspektur itu, bahwa mereka bisa makan berdua tanpa sekalipun membahas kasus Ancol. Pembicaraan yang ringan di hari itu membuat hubungan mereka mengalami kemajuan. *** Sesampai di apartemen Denara, Selfi kembali mendengar ocehan Denara. “Polisi kembali melarang kita terlibat dalam kasus Ancol.” Denara mengomel sembari berjalan hilir mudik. “Mereka bahkan menyuruh kita menjauhi tempat kejadian.” “Bukankah kau sudah mengantongi ijin dari kepala kepolisian?” tanya Selfi heran. “Ah, ijin itu sudah dicabut. Ijin ditarik kembali, ya, tepat ketika kau kencan dengan Inspektur Anton.” Denara bersungut-sungut. “Mereka juga berusaha membujukmu, melalui inspektur itu.” Selfi tidak terkejut. “Ya, sebenarnya tujuan mereka baik, sih. Demi kebaikan kita juga.” “Mereka merebut ladang nafkah kita,” dengus Denara. “Lalu, apa yang bisa kita lakukan?” “Kita akan terus melakukan peliputan dengan atau tanpa ijin dari polisi.” Dua wanita itu tidak banyak bicara ketika berada dalam perjalanan menuju ke

lokasi diskotek yang telah ditutup. Mereka hendak melakukan pengambilan gambar yang sempat diundur dari jadwal beberapa kali. Selfi berharap, Inspektur Anton dapat memaafkan mereka. Dalam hati kecilnya ia tak berharap hubungan pribadinya dengan inspektur itu mengalami kemunduran walau demi karir sekalipun. Apakah ia harus berkorban demi ambisi Denara? Demi karir dan prestasi? Ia tak mengerti. Apakah ia mulai jatuh hati kepada inspektur itu. Apakah itu cinta? Atau hanya rasa belas kasihan? Ataukah keduanya? Ia masih butuh bukti untuk percaya bahwa inspektur itu juga memiliki rasa kepadanya. Selama ini ia belajar dari pengalaman: jangan percaya kepada siapapun, sebelum ada buktinya. Namun, sayangnya kebanyakan perempuan mudah percaya, karena perempuan memang begitu mudah membayangkan tentang masa depan.File 20 Alter Ego DI dalam mobil milik Denara, Selfi tengah melakukan pengintaian terhadap orang yang diduga menjadi dalang dibalik penculikan Maria. Lelaki yang lamarannya pernah ditolak oleh Maria. Ia memutuskan untuk menyamar sebagai Agatha demi berjaga-jaga jika bertemu inspektur polisi itu lagi. Denara akan kewalahan jika polisi kembali menegur seorang krunya. Dalam hatinya yang terdalam ia tak ingin membuat Inspektur Anton mencemaskannya. Agatha sudah lama tidak menyetir mobil. Selama ini ia lebih suka mengendarai sepeda motor. Selain lebih mudah masuk ke pelosok juga cukup mampu menghindari macet. Denara berbaik hati meminjamkan mobilnya. Produsernya itu sekarang tengah sibuk mempersiapkan acara lain setelah acara Fakta dan Kriminal mendapat banyak kendala dan investigasinya berjalan lambat. Tidak mudah membuntuti sedan di depannya. Sedan milik Tomi Grandin, anggota DPR yang merupakan putra seorang dewan partai, melaju dengan kecepatan tinggi. Tomi suka mengebut ketika mengendarai mobil. Ia lolos dari tuntutan tabrakan yang mengkibatkan kematian karena ugal-ugalan di jalan. Keluarga dari pemilik partai itu dapat mudah menyuap hakim dan polisi hingga dapat bebas di pengadilan. Walau wajahnya bersih, tampan dan jauh dari tampang kriminal, Tomi Grandin berkubang di kehidupan malam yang kelam dan suram di tengah-tengah dinasti keluarganya yang berada di gemilang. Bumi mamang terus berputar, apa yang berada di puncak tidak akan selamanya gemilang, pasti akan mengalami keruntuhan. Termasuk keturunan para pembesar yang terbuai oleh gemerlap dunia semu dan kemewahan. Agatha sering tertinggal di belakang sedan Tomi yang melaju kencang. Walau beberapa kali nyaris kehilangan jejak, ia harus menjaga jarak agar Tomi tidak menyadari dirinya telah dibuntuti. Namun, bukan hanya Agatha yang tengah membuntuti Tomi. Dari sisi jalan yang berbeda Inspektur Anton tengah berada di atas sepeda motornya. Ia tengah berada dalam penyamaran. Inspektur Anton mengenakan topi, kacamata, jaket dan membawa ransel seperti potongan mahasiswa. Ia dalam penyamaran. Bahkan Agatha sendiri belum menyadarinya. Kedua orang itu tidak menyadari bahwa mereka tengah sama-sama membuntuti sedan yang sama. Tomi yang menyetel musik keras-keras di dalam mobilnya juga tidak menyadari dirinya tengah dibuntuti dua orang. Satunya polisi dan seorang lagi jurnalis. Mereka sama-sama keras kepala. Jalanan yang merayap tidak memberi peluang bagi Tomi untuk lolos. Kedua pengintainya dapat leluasa mengikutinya tanpa kehilangan jejak. Setengah jam berputar-putar di kawasan Ancol, akhirnya tujuan Tomi diketahui. Ia berhenti di depan kafe demi menjemput seseorang. Dua orang wanita berambut panjang masuk bersamaan ke dalam mobilnya. Selanjutnya tujuan mereka selanjutnya adalah gedung hotel. Seakan tidak pernah jera dan menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin nasib telah digariskan padanya. Agatha memarkir mobilnya tidak jauh di depan mobil Tomi. Kesempatan yang langka itu tidak disia-siakannya. Ia segera meraih kameranya. Dari balik kaca jendela mobil, ia siap membidik Tomi dan kedua wanita kencannya. Menunggu mereka keluar dari dalam mobil. Dua menit berlalu. Pintu belakang mobil terbuka. Kedua wanita keluar bergantian dari dalam mobil. Rana kamera dengan cepat menangkap momen itu. Agatha membidik berkali-kali kedua wanita itu. Rambut mereka panjang dengan pakaian yang nyaris

seragam, gaun pesta backless warna putih mengilap. Warna kulit mereka mirip, pucat, seperti saudara kembar. Untuk beberapa saat wajah kedua wanita itu tak nampak karena membelakangi kamera. Kemudian seorang dari mereka menoleh dan tertangkap kamera. Walau terdistorsi karena suasana di tempat parkir agak gelap. Kedua wanita itu segera masuk ke mobil lain yang terparkir tidak jauh dari mobil Tomi. Mobil kedua wanita itu keluar dari areal parkir. Lima belas menit menunggu. Agatha tidak melihat pergerakan di mobil Tomi. Perasaanya mulai tak nyaman. Ia mulai merasakan keganjilan. Buru-buru Agatha meraih ponsel di atas dasbor. Ia menelepon petugas hotel. Nomor telepon mereka tertera di papan reklame di depan hotel. “Tolong, periksa sedan warna merah di lapangan parkir utara. Hati-hati terkena racun mematikan,” ujar Agatha dengan logat asing. Ia tidak menunggu waktu lama karena, seorang petugas hotel segera datang ke lokasi. Ia tidak menyangka jeritan laki-laki lebih mengerikan. Di dalam mobil itu, Tomi telah ditemukan mengering bersimbah darah hitam. Nyawa telah meninggalkan tubuhnya yang terperangkap di dalam mobil mewah. Agatha terpaksa keluar dari mobil ketika melihat kerumunan warga yang datang hendak memeriksa mayat itu. “Hei, bahaya! Jangan mendekat!” seru Agatha. Warga masih belum mengerti tak mengindahkan peringatan Agatha. “Mayat itu terkena kutukan Ancol!” imbuh Agatha lagi. Kali ini peringatannya diindahkan. Ia kembali masuk ke dalam mobil dan mengawasi kerumunan warga yang menjaga jarak dengan mobil korban. Beberapa menit kemudian bunyi sirine mulai terdengar dari kejauhan. Polisi yang mulai berdatangan memasang garis polisi dengan menjaga jarak dari TKP agar tak terkena racun. *** “Agatha? Ngapain di sini?!” Suara yang familiar itu mengejutkan Agatha. Ia masih belum sadar ketika Inspektur Anton menyapanya. “Hah?!!” Agatha mengerutkan kening. Inspektur Anton melepas topinya. Ia tengah berada di dekat garis polisi. Ketika sadar bahwa Agatha berada di antara kerumunan orang di seberang garis polisi. Inspektur polisi itu merunduk keluar melewati garis polisi. “Anda? Sejak kapan ….?” Agatha tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Di sisi lain ia dapat bernapas lega karena masih dalam penyamarannya. Ia tak menyadari sosok yang berpotongan seperti mahasiswa itu adalah Inspektur Anton. Apalagi kacamata dan topi itu membuat inspektur polisi itu nampak jauh berbeda. “Apa yang kau dapat?” Inspektur Anton melirik kamera yang berada di tangan Agatha. “Kau juga membuntuti orang ini?” “Sebaiknya kita bicara di tempat lain, nggak di sini,” ujar Agatha. “Oke, simpan fotonya sebelum aku melihatnya.” “Boleh kita bertemu di kantor?” “Ya, silakan. Foto itu harap disimpan dulu, jika polisi lain tau akan disita.” Inspektur Anton memperingatkan. Ia kembali ke TKP bergabung dengan tim Labfor yang berpakaian khusus. Kemudian, dari tempatnya sekarang ia menoleh mencari sosok Agatha di antara kerumunan, namun reporter itu telah menghilang di antara keramaian. *** “Kita tukar-menukar informasi. Cukup adil, bukan?” tanya Agatha. Ia berada di kantor inspektur polisi setelah mendapat panggilan dari Inspektur Anton. Dua jam setelah proses mengolah TKP selesai. Waktu itu Agatha tengah memproses foto digital yang didapatnya di dalam mobil. Foto resolusi tinggi itu harus diedit dan ditingkatkan cahayanya untuk memperjelas sosok yang terekam di sana. Di tempat parkir suasana agak gelap. Karena laptopnya tertempel stiker logo stasiun Metropolis TV, ia harus mengirim foto itu dengan jaringan nirkabel ke tabletnya. “Ya, silakan asalkan sepadan,” timpal Inspektur Anton. Bersiap mendengar informasi dari Agatha. “Apa yang Anda dapat di TKP?” tanya Agatha. “Aku duluan?” Inspektur Anton mengerutkan kening. “Oke, sama seperti kasus

sebelumnya. Korban tewas akibat evatoxin. Racun yang menyebabkan penyakit infeksi menular. Dan Anda seharusnya sudah tahu siapa korban. Tomi Grandin, anggota DPR yang suka begadang di diskotek itu akhirnya tewas mengenaskan. Untung Maria tidak menerima lamaran anak orang kaya itu atau ia akan menjadi janda.” “Eva… toxin? Anda baru mengetahui atau baru mengatakannya?” tanya Agatha, berpura-pura baru mendengar tentang virus itu. "Jika ini berhubungan dengan ilmuwan Indonesia di laboratorium antar negara, maka media asing patut mengetahuinya." “Saya berubah pikiran untuk tidak mengatakannya. Entah salah atau nggak, sebenarnya hanya pihak berwenang yang boleh mengetahuinya. Namun, saya masih merahasiakannya dari jurnalis lain. Tapi, data ini toh akhirnya akan disebarluaskan oleh narasumber lain demi mewaspadai virus mematikan itu.” Inspektur Anton nampak enggan bercerita tentang virus itu ke wartawan dari media asing. “Dari mana Anda mendapatkan informasinya?” “Infonya dari Evangela. Ya, saya memiliki datanya. Saya harap Anda nggak menulisnya di media asing sebelum penyidikan kami selesai.” “Jadi kutukan Ancol itu hanya isu belaka?” “Ya. Bisa jadi pelakunya turut menyebarkan isu itu. Ah, evatoxin adalah kutukan bagi manusia khususnya kaum Adam.” Inspektur Anton nampak mencelos. “Pria lebih beresiko. Jadi saya lebih punya resiko kematian jika terkena virus itu, ya, dibanding Anda.” “Lalu apa sudah ada penawarnya?” Agatha nampak cemas. “Antitoxin adamin… siap untuk diproduksi masal. Walau masih dalam tahap pengembangan.” “Apa ada bukti baru di TKP?” “Sama seperti kasus sebelumnya. Tubuh korban mengering dan mengeluarkan darah dari sembilan lubang. Pelakunya diduga kuat seorang wanita. Pertama, evatoxin hanya dapat membunuh kaum pria. Kedua, yang lebih penting, kami menemukan robekan pakaian yang dikenakan pelaku di genggaman korban. Jadi jelas ini bukan ulah hantu.” Inspektur Anton menyerahkan flashdisk miliknya. “Data yang kau perlukan ada di sana. Kau bawa informasi yang kubutuhkan, bukan? Nah, sekarang giliranmu.” Agatha mengeluarkan tablet dari tasnya. Ia meninggalkan laptopnya di dalam mobil. Ia menyalakan lalu memasang kabel USB On The Go. Untuk beberapa saat ia menyalin arsip di dalam flashdisk milik inspektur itu. Kemudian ia menunjukkan foto digital yang diambilnya dari tempat kejadian. “Aku menduga pelakunya adalah Maria, adik Evangela.” Inspektur Anton mengamati foto seseorang yang keluar dari pintu mobil. Foto yang tertera di layar monitor tablet itu terlihat agak buram, namun sisi wajahnya mirip aktris Maria. “Di area parkir sedikit gelap. Saya sudah mengedit foto. Meningkatkan level kecerahan foto dan hasilnya, yah, cukup bagus meski menjadi buram.” Agatha menangkap perubahan air muka Inspektur Anton. “Itu benar-benar Maria. Ia mirip kakaknya, Evangela.” “Meski gak mungkin. Karena Maria sudah meninggal!” Inspektur Anton nampak tercenung. Kali ini ia berharap mendapat petunjuk dari dengungan lebah dan suarasuara yang tak terdengar itu. *** Inspektur Anton mondar-mandir di ruang kantornya. Lewat tengah malam itu ia masih berada di sana. Seorang diri. Bersama misteri tanpa ujung yang menghantuinya. Sementara itu Agatha sudah melaju di atas sepeda motornya. Pikirannya berkecamuk. Jika Maria telah meninggal, lalu siapa yang dilihatnya? Bukti menyebutkan bahwa ditemukan sobekan pakaian wanita di jok belakang mobil korban. Tidak mungkin hantu meninggalkan jejak! Inspektur Anton memandang dari jendela kantornya sembari berpikir. Saat itu Agatha sudah membuka penyamarannya saat berada di lift sepi dalam perjalanan ke kamar apartemen Denara. Ia hendak melaporkan temuannya. Tiba-tiba Inspektur Anton meraih ponsel di atas mejanya. Ia menelepon dr. Morga. Kilatan cahaya menerangi kegelapan dalam kepalanya. Ia seperti mendapat ilham.

Misteri mulai menampakkan seringai tajam giginya yang berkilat. Menampakkan salah satu wajah yang selama ini dikenalnya. “Ya, haloo dokter Morga? Maaf, mengganggu Anda. Saya hanya ingin mengetahui nama petugas yang memeriksa DNA mayat Maria.” Satu jawaban dan penjelasan singkat. Tubuh Inspektur Anton membeku. Gagang telepon nyaris terlepas dari jemarinya. Ia merasa begitu bodoh sepanjang hidupnya. Kelemahan yang ada pada kaumnya sejak jaman purba; terkecoh oleh tipu daya seorang wanita. *** “Bagaimana, Fi?” tanya Denara sembari menyodorkan segelas coklat hangat kepada Selfi. Di luar jendela apartemen gerimis mulai turun. Butir-butir gerimis memburamkan kaca jendela apartemen Denara. Dini hari itu, langit mulai benderang. Malam merayap perlahan menuju pagi. “Terima kasih.” Selfi menyeruput coklat dan merasa semangatnya pulih. “Apa yang kau dapat?” “Entahlah.” Selfi hati-hati meletakkan gelasnya di meja dekat ranjang. “Semakin banyak yang kuketahui, semakin bingung jadinya. Mungkin juga karena lelah.” “Kau melewatkan sesuatu. Atau tersesat oleh petunjuk yang salah.” “Ada kemiripan wajah pelaku dan Maria dan seorang lagi yang mirip dengannya.” Selfi menunjukkan foto yang telah diperbesar tiga kali di layar tabletnya. “Lalu?” Denara ikut bingung. “Dan Maria sudah menjadi mayat. Mana mungkin ia melakukan pembunuhan.” “Bagaimana dengan kakaknya? Evangela mirip dengan Maria,” tanya Denara. “Ya, Evangela. Misteri lainnya, siapa wanita yang bersamanya?” “Si Manis Jembatan Ancol?” Denara tersenyum. “Hah?” Selfi melongo. “Hahaha, bercanda, Fi. Jangan terlalu serius.” Denara tertawa. Sejujurnya, perempuan itu tertawa karena tekanan depresi yang makin hari makin bertambah. Makin keras tawa seseorang, maka makin keras tingkat depresi yang berusaha ditekannya. “Aku harus menyelidiki kakak Maria, Evangela.” “Aku pikir juga begitu.” Denara menutup gorden jendela kamar apartemennya. “Hey, ini sudah pagi. Gak terasa ya. Oya, dari semalam kau belum istirahat loh, jadi sebaiknya kau tidur sebelum menyelidiki Evangela.” “Ya, terima kasih.” Mendengar kata ‘tidur’ Selfi menguap. Segelas coklat hangat membuatnya lebih rileks sekaligus menambah kantuknya. Ia harus berbaring, setidaknya untuk sejenak. Ia menyetel alarm di ponselnya kemudian berusaha memejamkan mata. Selfi tertidur. Kali ini tanpa mimpi buruk. Rasa letih membuatnya tertidur lelap. Hanya dalam tidur wajahnya nampak polos, tanpa mengenakan topeng apapun. Sejenak ia dapat menanggalkan identitasnya sebagai jurnalis berprestasi bernama Selfi atau sebagai sosoknya yang lain; Agatha... Setiap manusia memiliki beberapa sisi yang berbeda. Bisa jadi satu dua atau lebih. Setiap jiwa memiliki wajah-wajah yang lain dari alter ego. Jiwa purba yang bereinkarnasi dalam seribu satu kehidupan abadi di multi dimensi yang membentuk seribu satu wajah itu. Yang menari-nari dalam alam bawah sadar. Apakah mimpi adalah cerminan dari memori jiwa reinkarnasi yang berada di multidimensi? Di dunia lain? Namun, kali ini, Selfi kembali kepada jiwa murninya dalam tidur tanpa mimpi. Menjadi dirinya yang apa adanya. File 21 Sleeping Beauty SELFI dalam penyamaran sebagai Agatha ketika berada di mobil Denara. Dalam situasi itu ia mendapat telepon dari Denara yang mewanti-wanti agar berhati-hati. Setelah ceramah dari Denara, ia segera menonaktifkan ponselnya. Agatha tengah mengawasi kediaman Evangela. Mobilnya berada di gang yang lengang. Perumahan mewah yang sepi itu dipisah oleh taman-taman pribadi yang cukup

luas. Pepohonan cemara angin tumbuh mengitari taman itu menyempurnakan tempat pengintaiannya. Seminggu sekali ilmuwan itu berada di rumah bersama teman-temannya sesama ilmuwan. Mereka mengadakan diskusi ilmiah yang dikemas dalam acara santai. Biasanya Evangela memasak untuk teman-temannya, kali ini teman-temannya yang memasak untuknya. Gazebo di belakang rumahnya cukup luas untuk mengadakan acara makanmakan. Acara untuk melepas penat setelah berada di dalam laboratorium cukup lama. Agatha berusaha memejamkan mata sampai hari beranjak sore. Ia mendengar pagar besi rumah Evangela yang berderit membuka. Pagar rumah elektronik itu membuka secara otomatis. Melalui kaca depan mobilnya, ia dapat melihat sedan Evangela keluar dari pelataran rumahnya. Pos sekuriti yang berada di dalam pagar terlihat. Agatha merapikan rambut palsunya kemudian menyalakan mesin mobil. Mesin menderum perlahan. Ia menaruh tangan di atas setir dan membuntuti sedan Evangela. Sedan silver itu mudah terlihat. Pengejaran relatif mudah karena sedan Evangela berhati-hati melaju. Ilmuwan itu ternyata juga sopir yang cakap. Arah tujuan mobil Evangela menuju ke puncak. Agatha mengetahui dari berita bahwa ilmuwan itu memiliki vila yang mewah di sana. Namun, dugaan Agatha meleset. Mobil Evangela berbelok arah menuju ke dalan hutan. Keluar dari jalan beraspal menuju jalan makadam. Setelah beberapa menit melalui jalan makadam, dari balik pepohonan mulai nampak kabin yang cukup besar yang terbuat dari kayu. Tidak jauh dari kabin, di balik pepohonan, Agatha menghentikan sedannya. Ia menyembunyikan mobil di balik pepohonan di pinggir jalan tak beraspal. Ia menyadari Evangela bersama seseorang. Dari dalam mobil keluar seorang lagi. Dan penampilan Evangela berubah, rambutnya yang semula pendek kita berubah panjang. Sejak kapan? Agatha yakin itu rambut palsu, wig. Berarti wanita kedua adalah Maria, adiknya. Artis yang mayatnya ditemukan di kali Ancol! Orang yang selama ini disangka Si Manis Jembatan Ancol ternyata kakak Maria, Evangela. Apakah kedua wanita cantik itu yang melakukan pembunuhan? Jadi selama ini mayat Maria yang ditemukan itu palsu? Identitas mayatnya direkayasa? Agatha nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia meraih kamera dan membidik kedua kakak beradik itu ketika keluar dari dalam mobil. Tidak jauh dari sedan Evangela mobil lain terparkir di halaman kabin yang teduh. Seseorang keluar dari dalam mobil itu. Seorang pria. Dan Agatha segera mengenalnya sebagai Roy Prakoso, putra dari pemilik salah satu stasiun televisi. Agatha memilih jalan berputar demi mendekati kabin itu. Ia menuju ke belakang kabin. Dari balik pepohonan ia sempat melihat ketiga orang itu masuk ke dalam kabin melalui pintu depan. Ia memutari kabin itu dan sampai di satu-satunya kamar yang berada di sisi kabin. Ia menduga untuk mengurangi kecurigaan, mereka memilih kabin rahasia yang tak begitu menarik perhatian. Jendela kamar kabin itu menghadap ke jurang yang berada di tengah hutan. Agatha harus berhati-hati melangkah menghindari ranting-ranting kering yang bisa menyebabkan bunyi tak perlu. Jerih payahnya terbayar karena jendela lebar itu hanya tertutup gorden tembus pandang. Ia dapat leluasa mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar. Perlahan ia mengendap-endap di bawah jendela dan melongok. Samarsamar ia mendengar suara. “Kalian berdua pasangan yang sempurna….” “Dan kau boleh melakukan apa saja….” “Pria yang beruntung.” “Tunggu….” “Apa yang kau tunggu manis?” “A—aku rasa mengenal kalian….” Suara Roy terdengar bergetar karena syok. Jeritan pendek mengiringi napas kematian. Terdengar napas satu-satu dari dalam kamar. Pria itu seperti tercekik sesuatu. Dan Agatha menyaksikan kengerian itu. Dari gorden jendela yang menerawang, Agatha menjadi saksinya. Seorang dari mereka tiba-tiba membekap mulut pria itu dari belakang. Mungkin obat bius, pikir Agatha. Pria itu hendak melawan, namun Evangela yang berada di belakangnya dengan sigap mengunci lengannya. Tubuh kokoh pria itu ambruk ke lantai tanpa perlawanan

berarti. Kedua wanita itu mulai mengenakan jas hujan dan masker. Salah satu wanita mengenakan sarung tangan karet kemudian meneteskan cairan dari botol kecil ke sebuah tisu. Ia mengusapkan tisu itu ke leher pria yang masih setengah sadar. Tidak sampai semenit, hidung pria itu mengeluarkan darah seperti mimisan. Belum berhenti sampai di situ, matanya memerah. Darah keluar dari mulut dan telinganya. Menggenangi lantai. Darah merembes di celananya, tepat di selangkangannya, membuat celananya berlumuran darah. Kedua wanita menjauhi pria itu. Mereka melangkah perlahan mendekati jendela dengan wajah yang dipenuhi kepuasan. Mereka meraih botol lain dan mengusap ke kulit leher masing-masing. Agatha menduga mereka baru saja memakai penawarnya, antitoksin adamin. "Pria brengsek ini memang pantas mati. Sudah banyak perempuan yang menjadi korbannya. Ia seganas racun mematikan yang kita masukkan ke pembuluh nadinya. Penyelidik forensik hanya akan menemukan bekas melepuh di lehernya. Racun baru yang sangat mematikan.” “Hah, siapa yang akan menyangka, penelitian mengenai penularan penyakit ternyata menghasilkan senjata biologis. Mampu membunuh pria dewasa kurang dari satu menit. Siapa yang akan mengira penemunya sekaligus penciptanya. Terima kasih karena telah mengusulkan nama virusnya, Evatoxin, atau EV-X. Ahli forensik yang mengotopsinya pun akan kewalahan karena evatoxin akan menyamarkan rigor mortis. Dan tak lama lagi nama racun ini akan segera dipatenkan. Kemudian penawarnya akan mendapat tawaran tertinggi di negara-negara di dunia. Bahkan aparat yang mengatur kita pun akan tunduk. Keadaan akan berbalik!” “Nggak percuma mempunyai kakak ilmuwan dan cantik sepertimu. Ya, kebanyakan stereotipe wanita cantik tak memiliki otak. Dan lelaki cenderung akan lebih memilih wanita cantik, karena mereka pikir dapat membodohi kita. Sekarang siapa yang kena getahnya?" “Kita memang duet manis yang mematikan.” Wanita pertama melepas wig-nya. Rambut aslinya pendek sebahu. Ia kakak Maria, Evangela. Penemu virus yang menjadi kutukan Ancol. Selama ini ia membantu Maria membalas dendam atas aksi penculikan yang menimpanya. Beruntung ia bisa lolos. Keduanya mengulum senyum. Agatha melangkah mundur. Sial baginya karena bunyi ranting pohon yang terinjak kakinya memecah kesunyian di sekitar vila. Kedua wanita di dalam kamar mendengarnya. Mereka mengetahui kehadiran Agatha dari dalam jendela kamar. Walau ia masih dalam penyamaran, hidupnya berada dalam bahaya. Agatha tiba-tiba tidak dapat bergerak dari tempatnya. Entah kenapa, tiba-tiba kedua lututnya terasa lemas. Ia berusaha mengatasi rasa terkejutnya. Perlahan ia mulai bisa menggerakkan kakinya. Evangela, ilmuwan kimia itu adalah kakak Maria. Ia menghindari sorotan media massa dan tetap low profile. Karena itu wajahnya tidak mudah dikenali. Apalagi ia menyamar menggunakan wig rambut panjang. Wanita kedua yang selama ini diduga sebagai Si Manis Jembatan Ancol tidak lain adalah kakak Maria sendiri, Evangela! Selama ini merekalah yang menjadi eksekutor atas kematian yang mengakibatkan beberapa pria tewas mengenaskan. Begitulah deduksi yang terbersit di benak Agatha. Jika benar demikian berarti kepolisian telah kecolongan? Termasuk pemerintah yang bekerja sama dengan pihak asing dalam pengembangan laboratorium rahasia itu? Evangela menarik gorden jendela. Tepat ketika Agatha berbalik untuk melarikan diri. “Hei, ada yang menguntit kita!!” “Kejar! Jangan sampai lolos!” Agatha berlari ke halaman kabin itu. Ia hendak kembali ke mobilnya yang terparkir di balik pepohonan tidak jauh dari kabin. Ketika ia menuju ke arah mobilnya, tanpa diduga tiga orang pria yang mengenakan jaket hitam menghadangnya. Satu di antara pria itu mengenakan jaket yang menampakkan seragam polisi di baliknya. “Jangan bergerak!” seru seorang dari ketiga pria itu. Dua pria lainnya hendak menangkap Agatha. “Kalian polisi?” tanya Agatha. “Sedari tadi mengikutiku?”

“Ya, kami polisi... kami tidak mengikuti siapapun karena kami memang berjagajaga di pos hutan tak jauh dari kabin ini. Sekarang kamu jangan melawan dan menurut saja.” Pria pertama mencabut pistol dari balik jaketnya. “Tunggu, kalian salah paham. Saya Selfi….” Agatha membuka rambut palsunya. Rambut Selfi yang pendek dikibas-kibaskan. “Saya gak terlibat dengan Evangela dan Maria. Mereka yang….” “Diam dan berlutut!” seru seorang pria itu. Selfi tak berdaya ketika berada di bawah todongan senjata api berperedam. Pria yang lain mengikat kedua tangannya, sedangkan rekannya mengikat mulutnya dengan sapu tangan. Maria dan Evangela mendekati Selfi yang tak berdaya di bawah todongan senjata. Selfi tak mengira ternyata oknum di jajaran kepolisian juga ikut terlibat. Tentu saja intelijen sudah mengetahui tentang pengembangan virus itu. Itu pula sebabnya atasan polisi memberi ijin kepada Denara untuk menyebarkan berita tentang ‘kutukan Ancol’ dengan tujuan demi pengalihan isu. Karena itu isi kutukan Ancol yang dikaitkan dengan legenda berhasil mengalihkan perhatian publik dari rencana yang sebenarnya. “Siapa kau!! Apa yang kau lakukan di tempat ini!!” sergah Maria menyusul kakaknya yang memeriksa rambut palsu milik Selfi. Lidah Selfi kelu di bawah todongan senjata. “Oh, dia salah seorang reporter yang sering muncul di teve itu. Selfi Lena, reporter wanita yang cukup bernyali,” timpal Maria. Suaranya terdengar dingin. “Kami nggak memiliki urusan denganmu.” “Jangan ditembak! Lebih baik dihabisi memakai evatoxin. Kita memiliki orangorang di media lain yang akan menyebarkan berita tentang seorang reporter ternama yang tewas bersama korban di kabin itu.” Seorang pria berjaket menyingkirkan pistol dari tangan rekannya. “Jangan gegabah. Rencana kita masih panjang.” “Betul. Jika rencana ini gagal dan sampai bocor ke media, maka atasan kami pun akan menangkap kalian.” Seorang pria berjaket menunjuk ke arah Evangela. Ilmuwan cantik itu nampak bersungut-sungut mendengarnya. “Atasan kami tak mau jika operasi menghancurkan sindikat King Cobra dengan evatoxin mengalami kegagalan!” “Oke! Baiklah, lakukan apa yang sudah jadi kesepakatan! Lakukan apa yang ingin kalian lakukan! Kami sudah muak jadi bidak catur kalian!” Evangela melangkah mundur hendak menuju ke mobilnya. Maria dengan wajah kebingungan mengikuti kakaknya dari belakang. Kemudian seperti berubah pikiran, Evangela menoleh dan berkata, "Sebagai bayarannya aku ingin mereka berdua sebagai eksperimen." “Baiklah. Jadi jangan salahkan kami. Ini adalah resiko dari profesi kalian,” ujar pria berjaket itu. “Sebenarnya kabin di tengah hutan ini dapat menjadi kuburan yang sempurna bagi mayat seorang reporter dan polisi antisuap yang suka ikut campur….” Pria berjaket itu tak meneruskan ucapannya ketika bunyi tembakan terdengar dari balik pepohonan. Bunyi tembakan lagi. Kali ini sebutir peluru mengenai bahunya. Sontak kedua temannya mencabut pistol dan waspada. “Jatuhkan senjata kalian!!” Sebuah suara terdengar dari arah jalan setapak yang membelah hutan itu. Selfi mengenal suara itu. Suara Inspektur Anton terdengar tidak jauh darinya. Di balik pepohonan yang menjadi tempat persembunyiannya. Inspektur Anton sudah mengetahui bahwa Selfi dan Agatha sebenarnya adalah orang yang sama. Karena itu ia menaruh pelacak di mobil milik Denara yang seringkali digunakan oleh Selfi. Ia juga telah lama mengendus bahwa beberapa rekan dan atasannya melindungi Evangela dan Maria. Ia pikir, oknum polisi lebih memilih jalan pintas dengan cara mengendalikan evatoxin yang akan digunakan untuk menghancurkan para anggota King Cobra. Bonusnya, mereka mendapat keuntungan dari pemerasan yang dilakukan kepada Maria dan Evangela agar laboratoriumnya tidak ditutup. Inspektur Anton keluar dari tempat persembunyian. Ia melangkah panjang-panjang dengan senjata teracung ke arah Evangela dan Maria yang hendak melarikan diri dari kabin itu menggunakan mobil mereka. “Sejak kapan?” Evangela melangkah mundur. Terkejut dengan kedatangan inspektur

polisi itu. “Hei, aku kira kita bisa berteman. Karena kami juga menjadi kaki tangan kepolisian. Mereka bisa menutup laboratorium kami sewaktu-waktu jika tidak….” “Lebih tepatnya oknum di kepolisian... dan saya tidak bekerja sama dengan mereka,” potong Inspektur Anton. “Angkat tangan kalian. Buang benda-benda beracun dari pakaian kalian!” Evangela mengangkat kedua tangannya. “Misi kami sudah selesai! Evatoxin sudah berada di tangan polisi… maksud saya, oknum polisi.” Ia masih menggenggam sesuatu di tangannya. Botol berisi cairan virus mematikan itu! Inspektur Anton menyadari apa yang akan terjadi. “Buang botol itu!!” “Dengan senang hati!!” Diam-diam Evangela membuka tutup botol itu lalu melemparkannya ke arah Inspektur Anton. Cairan yang berada di dalam botol itu tumpah mengenai pakaian inspektur polisi itu. Evangela dan Maria segera mengenakan masker. Mereka memberi tanda ke arah ketiga pria berjaket untuk menjaga jarak dan menghindari arah angin agar tak tertular virus. “Botol itu berisi evatoxin!” seru Selfi ke arah Inspektur Anton. Apakah sudah terlambat? Efek evatoxin secepat malaikat kematian. Tubuh Inspektur Anton ambruk ke tanah. Darah mengalir dari hidung dan telinganya. Merembes ke kaos yang dikenakannya. Selfi berlari ke arah Inspektur Anton yang menjulurkan tangan ke arahnya. Namun, sebelum Selfi meraih tangan Inspektur Anton, tubuhnya terjungkal ke tanah. Kaki Maria menyambar pergelangan kaki Selfi hingga terjerebab ke tanah. Ia terlambat menutup hidung ketika evatoxin masuk ke dalam pernapasannya. Aroma menyengat tercium oleh Inspektur Anton. Tiba-tiba penglihatannya buram. Kepalanya terasa dipalu dari belakang. Tubuhnya ikut ambruk ke tanah. Ia lupa menutup hidungnya. Evatoxin menyebar melalui udara, masuk ke pernapasannya. Menyeretnya ke jurang neraka. Ia pernah berada di ambang kematian. Dan sekarang untuk kedua kalinya ia berhadapan dengan maut. Apakah kali ini Inspektur Anton masih dapat lolos dari kematian untuk yang kedua kalinya setelah pernah dikubur hidup-hidup? Perlahan kesadaran Selfi lenyap. Pandangannya gelap. Bayangan wajah-wajah berkelebat dalam benaknya untuk terakhir kali. Evatoxin menyebar di nadinya. Syarafnya memberi sinyal berbahaya ke sekujur tubuhnya. Menyeretnya ke jurang kegelapan tanpa batas. Kini ia dapat tidur lebih lama dari biasanya, entah sampai kapan. Apel terlarang dari buah pengetahuan telah membawanya kepada maut. Namun, wajah Selfi nampak tenang dalam tidur panjangnya yang tak berujung, bagai putri yang tertidur karena kutukan.. kutukan Ancol.File 22 Operasi Hiu Putih ”KITA berjumpa kembali di program Fakta dan Kriminal... Misteri kematian tiga pria berturut-turut yang mati secara mengenaskan ternyata memiliki benang merah dengan kasus menghilangnya artis dan model Maria Eliza… jurnalis yang juga ikut menghilang dalam investigasinya, Selfi Lena, menguatkan dugaan bahwa Ratu Pantai Selatan dan penghuni Jembatan Ancol berperan dalam kisah yang tidak masuk akal ini. Misteri Kutukan Ancol seakan tambah tak berujung setelah Inspektur Anton Alam, penyidik ahli kasus-kasus yang terjadi di hotel Merkuri juga menghilang. Selain itu, kunci kasus ini terletak pada menghilangnya Roy Prakoso, putra pemilik salah satu televisi swasta… benarkah orang-orang yang menghilang itu karena diculik Ratu Pantai Selatan? Atau bisa dijelaskan dengan akal sehat? Catatan terakhir yang ada di dalam laptop Selfi Lena menyebutkan kenyataan mengejutkan, bahwa para pria hidung belang yang mati mengenaskan telah dibunuh oleh hantu Maria dan Si Manis Jembatan Ancol... foto-foto di dalam laptop Selfi yang diambil dari tempat kejadian menunjukkan salah satu wajah wanita itu mirip Maria. Padahal fakta membuktikan bahwa jasad Maria telah ditemukan tewas di kali Ancol beberapa hari sebelumnya… Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah karena kedua ‘hantu’ wanita itu senasib? Apakah kisah Maria dan Si Manis Jembatan Ancol memiliki kesamaan? Apakah kedua wanita malang itu mendapat pertolongan ‘kekuatan’ dari Nyi Rara Kidul? Ratu Pantai Selatan? Simak penelusuran kami atas kasus ini.

Tetap bersama kami di Fakta dan Kriminal!” Suara Selfi terdengar dari siaran rekaman yang disiarkan dari Metropolis TV. Denara nyaris tak mendengarnya lagi karena terlelap di atas kursi di ruang kerjanya. Tiga hari tiga malam ia melekan, tidak sekalipun memejamkan mata. Di hari penayangan program acaranya, ia sudah tidak kuat lagi menahan kantuk yang menyerangnya. Seharusnya ia berada di studio tiga, ruang operator penayangan acara di stasiun Metropolis TV. Meskipun hanya rekaman, ia harus memastikan semuanya berjalan lancar. Segelas kopi coklat tidak banyak membantu. Ia sudah menyaksikan hasil editing tayangan Fakta dan Kriminal pada episode kedelapan tentang Kutukan Ancol. Dan puas terhadap hasil kerja rekan-rekannya. Hanya saja ia menjalani semuanya tanpa kehadiran Selfi. Namun, tugasnya hampir selesai. Ia berencana mengambil cuti dan tugasnya akan digantikan orang lain. Ia harus mencari host pengganti dan mengadakan rapat dadakan beberapa kali, mengedit kembali naskah yang sedianya akan dibaca Selfi. Walau tak ada penyiar pengganti yang bisa menyamai Selfi yang telah menjadi ikon dari acara Fakta dan Kriminal. Dengan data-data seadanya ditambah isu kutukan Ancol yang 'terpaksa' dimasukkan dalam materi yang akhirnya terkesan mengekor media-media lain. Padahal Denara anti mainstream. Penyidikan yang berakhir di tengah jalan mengubah jalan cerita naskah. Syuting dilakukan secara maraton di beberapa tempat. Hotel Merkuri, kemudian tempat menghilangnya Maria di dekat jembatan Ancol, rumah-rumah para korban kutukan Ancol dan terakhir jalan menuju Puncak di mana Selfi menghilang. Polisi melakukan pencarian atas Inspektur Anton yang ikut menghilang bersamaan dengan Selfi. Intelijen diduga kuat berada di balik menghilangnya kedua ‘penyidik’ kutukan Ancol itu. Pemerintah seakan menutupi-nutupi kasus itu. Membiarkannya tetap terselubung kutukan Ancol. Karena menyangkut laboratorium rahasia yang tengah mengembangkan senjata kimia. CCTV yang dipasang di jalan menuju Puncak, menangkap mobil Selfi dan mobil Inspektur Anton terakhir menuju ke tengah hutan di sekitar puncak. Namun, setelah polisi ke vila itu, tidak ada satupun jejak yang mereka temukan. Denara harus rela kehilangan mobilnya yang dipinjamkan kepada Selfi. Ia harus mengabarkan kabar menghilangnya Selfi ke orang tuanya. Dan mendapat telepon berkali-kali dari keluarga Selfi untuk mengetahui informasi pencarian putri mereka. Denara setegah terlelap. Ia menumpu kepalanya ke meja yang berada di depannya. Suara-suara dari televisi layar datar yang tertempel di tembok ruang kerjanya masih terdengar jelas. Ia masih mengawasi hasil kerja kerasnya dari tempatnya. Di batas kesadarannya yang masih tersisa. Perasaannya campur aduk. Ia pernah kehilangan rekan, tewas di daerah konflik, namun mayatnya ditemukan, tidak seperti kali ini. Karena sampai hari itu mayat Selfi masih tak ditemukan. Kberadaan Selfi seperti ditelan bumi dan menjadi misteri. Jika telah tewas karena racun seharusnya mayatnya ikut ditemukan di kabin di tengah hutan itu. “Selfi… ke mana kau, Nduk,” gumam Denara. Entah kenapa tiba-tiba butir air mata jatuh di pipi Denara. Perlahan bayangan ketika dirinya menyadari telah kehilangan Selfi itu menelusup kembali. Hari pertama ketika Selfi tidak meninggalkan apapun, bahkan ponselnya tidak dapat dihubungi. *** Empat hari sebelum deadline episode terakhir Fakta dan Kriminal tentang kutukan Ancol. Denara mondar-mandir di depan kamarnya. Ia tidak sekalipun melepas ponsel yang menempel di telinganya. Berkali-kali menelepon Selfi, namun tidak ada balasan. Maaf nomor telepon yang Anda tuju tidak dapat dihubungi atau berada di luar jangkauan… “Damn! Kabur dari masalah…? atau benar-benar terkena kutukan Ancol?” gumam Denara merasa kepalanya sesak. Ia masih mencoba menghubungi nomer ponsel Selfi. Berbagai pikiran berkelebat dalam benaknya. Kadang pikiran konyol pun muncul. Atau jangan-jangan Selfi kabur dengan Inspektur Anton? Kawin lari? Ah, mana mungkin? Ketika akhirnya ia menyerah menghubungi ke ponsel Selfi sebuah panggilan

datang. Di layar tertulis nama atasan polisi yang selama ini menjadi narasumbernya. Biasanya ia yang sering menelepon, kini keberadaannya terbalik. “Ya, haloo….” Untuk beberapa menit Denara terdiam mendengar informasi dari atasan polisi. “Saya juga kehilangan jurnalis saya, Pak. Selfi Lena, setahu saya, terakhir kali ia mengontak Inspektur Anton untuk menyelidiki Kutukan Ancol.” Samar-samar terdengar suara dari sambungan ponsel yang satunya. “Kamera CCTV di akses jalan menuju Puncak menangkap mobil Inspektur Anton …namun, setelah kami datangi, menyisir Puncak, namun, enggak ada jejak keberadaan mereka….” “Apa? Anak buah Anda juga menghilang?” “…ada seorang lagi yang menghilang… Roy Prakoso, Putra pemiliki stasiun teve… itu juga tidak pulang ke rumahnya setelah berangkat ke Puncak… tim pencari masih melakukan penyisiran di hutan.” “Ya, informasi dari Anda akan sangat berguna. Apa saya bisa ke sana?” “Silakan saja…. “ Denara mendapatkan kesempatan untuk meneruskan penyidikan Selfi yang sempat terhenti. Laporan penyidikan dari Inspektur Anton juga pasti telah sampai ke atasannya. Ia dapat menyusun berita dan menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan fakta-fakta yang masih ada dalam kepala Inspektur Anton dan Selfi menghilang bersamaan dengan menghilangnya jejak mereka. Keterangan dari rekan-rekan Inspektur Anton akan sangat berguna untuk melacak keberadaan Selfi. Namun, harapan untuk menemukan Selfi seakan sia-sia. *** Sepulang dari kantor polisi. Denara memiliki fakta-fakta yang telah dikumpulkan Inspektur Anton. Namun, tidak termasuk data-data mengenai evatoxin dan keberadaan laboratorium rahasia di pulau terpencil di Kepulauan Seribu. Namun, inspektur itu tak memiliki peta lokasi di mana tepatnya pulau itu. Data-data yang berhasil dikumpulkan Inspektur Anton yang berasal dari dokumen dan foto-foto yang dicetak dan menumpuk di meja di kantornya telah diarsipkan dalam dokumen rahasia, sedangkan sisanya masih berada di laptop inspektur polisi itu dan tak ada yang mengetahui sandinya selain pemiliknya. Denara mencoba berbagai kata kunci, namun gagal. Denara hanya menyusun berita. Bukan untuk memecahkan misteri yang selama ini dikenal sebagai Kutukan Ancol. Denara harus memutar otak agar acara Fakta dan Kriminal tetap tayang sesuai jadwal. Ia memeriksa data-data dalam laptop milik Selfi yang ditinggalkan di apartemennya. Password dibutuhkan untuk membuka laptop Selfi. Ia mengingat-ingat kata kunci yang pernah dibilang Selfi padanya. Ia hanya pernah sekali dua kali membuka laptop milik Selfi. Passwordnya: faktadankriminal. Denara terpaksa turun tangan menulis dan mengedit berita yang data-datanya belum lengkap. Ia bukan penyidik. Ia menyerahkan data-data ke publik dan membiarkan spekulasi berkembang. Biarlah polisi yang menuntaskan masalah ‘kutukan Ancol’, ia tidak berwenang. Selfi keburu menghilang sebelum merampungkan investigasi beritanya. Acara Fakta dan Kriminal tak pelak menjadi berita beraroma klenik. Suara penyiar program acara TV Fakta dan Kriminal terdengar dari ribuan televisi. Serentak ditonton jutaan pemirsa dari seluruh negeri. Si Manis Jembatan Ancol dan Nyi Rara Kidul memang telah kembali. Melalui isu-isu yang dilahirkan dari media. Lantas ke manakah Selfi dan Inspektur Anton? Rekan-rekan Inspektur Anton menemukan titik terang. Mobil milik Denara yang terakhir kali dikendarai Selfi ditemukan tertutup ranting dan semak belukar di dekat kabin di tengah hutan. Mereka hanya menemukan seorang mayat pria yang terkena evatoxin di dalam kabin itu. Kepolisian pun mengerahkan satuannya untuk menyisir hutan demi menemukan jejak Inspektur Anton, namun pencarian sia-sia. Jejak-jejak yang ditemukan di tempat itu menandakan bahwa Inspektur Anton dan Selfi dibawa ke tempat lain. Walau tidak mendapat perintah dari atasan, rekan-rekan Inspektur Anton terus melakukan penyelidikan secara diam-diam. Kesatuan di kepolisian terpecah belah ketika beberapa orang dibebastugaskan karena masih melakukan penyelidikan. Sebagian data-data tentang kasus kutukan Ancol dipindah ke bagian dokumen rahasia untuk

dipeti eskan. Bahkan mereka bekerja sama dengan tim detasemen khusus demi melacak keberadaan Inspektur Anton. Tim detasemen khusus mendapatkan sinyal dari alat pelacak milik Inspektur Anton yang timbul tenggalam. Rekan-rekan inspektur itu curiga kali ini King Cobra berada di balik kejadian itu. Jika inspektur polisi itu masih membawa alat pelacak di tubuhnya pasti bukan di dalam ponsel atau di arlojinya. Tempattempat yang menjadi markas King Cobra satu per satu diselidiki. Reserse membayar informan untuk mendapat setitik informasi mengenai rekan mereka, namun hasilnya nihil. Tidak ada informasi yang menyebutkan tentang penculikan inspektur polisi. Namun, rekan-rekan inspektur Anton tetap waspada jika King Cobra terlibat. Titik balik penyelidikan terjadi ketika perintah turun langsung dari atasan. Rencana pun berubah, berganti strategi. Bahkan detasemen khusus dilengkapi dengan senjata lengkap dan alat-alat canggih untuk mencari keberadaan Inspektur Anton. Apalagi ketika koordinat sinyal dari alat pelacak memberikan lokasi keberadaan inspektur polisi itu: berada di sekitar Kepulauan Seribu. Tim pun dibentuk, dipilih secara hati-hati, bahkan di antara mereka tak saling kenal dan memiliki nama dan sandi. Sembilan orang pasukan khusus diterjunkan menuju ke posisi sinyal di sekitar Kepulauan Seribu. Anehnya mereka ditugaskan dari kesatuan yang berbeda-beda sehingga tak saling kenal satu dengan yang lain. Bahkan identitas asli masing-masing harus dirahasiakan. Mereka memiliki nama alias yaitu Panther, Puma, Ghost, Sakera, Barong, Leak, Garuda, Srikandi dan dipimpin oleh ketua tim yang mengenal identitas mereka, yaitu Rajawali. Operasi yang diberi nama Hiu Putih pun dilakukan pada dini hari itu. Meski operasi itu memiliki keganjilan karena tidak biasanya kepolisian mengerahkan pasukan khusus hanya untuk mencari satu dua orang. Misi sebenarnya yang dapat diendus dari operasi Hiu Putih adalah tidak lain demi menyelamatkan aset pemerintah di laboratorium rahasia itu. Tujuan sebenarnya adalah untuk mengamankan evatoxin sekaligus penawarnya. Dan pencarian inspektur polisi itu hanyalah kedok belaka yang dapat menjadi bonusnya. Pasukan khusus pun diterjunkan dengan menggunakan perahu boat siluman tercanggih X3R Pasopati menerobos laut utara. Tanpa gentar apapun, termasuk kepada awan kumulonimbus pertanda badai yang akan menerjang Kepulauan Seribu. Bisakah pasukan khusus menemukan keberadaan Selfi dan Inspektur Anton? Walau dalam keadaan hidup atau mati?File 23 Pasukan Khusus SELFI membuka mata. Pandanganya sedikit buram. Serasa berada di balik plastik transparan. Tulisan pertama yang dilihatnya ditulis kapital: BIOHAZARD, berada tidak jauh darinya. Ia melihat orang-orang dari balik jendela kaca besar. Orangorang yang berpakaian jas laboratorium itu tengah mengawasinya. Apa yang dilakukan orang-orang itu di dalam ruang kaca? Salah seorang dari mereka mengenakan masker dan pakaian terusan sekali pakai. Kemudian membuka ruang kaca itu. Selfi mulai menyadari bukan mereka yang berada di ruang kaca, melainkan dirinya. Aku berada di mana? Kenapa aku ada di dalam sini? Ingatannya perlahan pulih. Seraut wajah terbayang dalam benaknya. Dan kejadian di vila itu seperti mengempasnya kembali ke kejadian masa lalu. Setelah melihat Inspektur Anton ambruk, pandangannya buram dan dirinya seperti masuk ke dalam lorong gelap. Setelah itu tidak ada yang diingatnya lagi. “Apa yang kau rasakan?” Selfi tersentak ketika mendengar suara yang dikenalnya dari dekatnya. Suara berkeresik yang aneh. Ia menyadari suara itu berasal dari mikrofon yang menempel di samping kepalanya. Seraut wajah yang berada di balik masker membuatnya tersentak. Wajah yang sangat dikenalnya. Evangela! “Di mana Inspektur Anton! Apa yang kau perbuat padanya?!” tanya Selfi dengan suara serak. “Pria tangguh itu tengah bergulat dengan kematian… ia juga menjadi kelinci percobaan.” Selfi mengerang. Ia berusaha beranjak dari tempatnya, namun tidak berhasil. Ia menyadari tangan dan kakinya terikat.

“Aku berada di mana? Kenapa aku bisa berada di sini?” “Kau aman di istanaku. Istana rahasia di laut selatan. Aku sudah pulih dari evatoxin karena mendapat antitoksin yang lebih kuat. Jangan banyak bergerak. Kau masih dalam masa percobaan. Eksperimen masih belum selesai.” “Kau pembunuh!” Selfi merasakan tenggorokannya sakit. “Shh... tenang kelinciku. Racunku hanya membunuh pria. Itu sudah takdir mereka sebagai pria, bukan?” “Apa yang kau inginkan dariku?! Sudah berapa lama aku di sini!” “Senjata biokimia butuh antitoksin. Kau kelinci percobaan kami. Kau nggak sendirian sendirian. Kami membutuhkanmu … lebih lama dari perkiraan kami. Lima tahun? Lima belas tahun? Selamanya? Entahlah… kau tahu sains itu sebenarnya relatif… nggak ada yang benar-benar pasti... kita memaindan dadu yang telah diciptakan Tuhan.” “Lepaskan!! Ternyata selama ini kaulah dalang di balik virus Ancol?” Selfi berusaha mengeluarkan seluruh suaranya, akibatnya tenggorokannya serasa terbakar. “Aku yang mengganti DNA mayat gelandangan dengan DNA milik adikku sendiri, Maria. Sehingga Maria dinyatakan tewas. Dokter Morga menugaskan aku untuk menganalisa DNA, jadi aku memiliki kesempatan untuk menukar hasil DNA. Inspektur Anton juga tak mengira bahwa aku bisa mengubah data presensi sidik jari. Meski inspektur itu mencurigaiku, ia tak akan memiliki cukup bukti. Isu penculikan, rekaman, dan pesan minta tolong dari Maria berhasil mengecoh polisi. Bahkan Inspektur cerdas sekelas Anton Alam pun tertipu. Sekarang terbukti siapa yang lebih pintar. Wanita harus lebih pintar dari pria. Filosofi Adam dan Hawa sudah membuktikannya.” “Apa tujuanmu sebenarnya?” tanya Selfi sembari mengerang kesakitan. “Rencana kami berhasil. Para korban yang selama ini mengintimidasi, meneror, dan membuntuti Maria. Hah, mereka telah tewas.” “Kalian sama dengan mereka. Kalian tetap pembunuh!” “Dokter Morga… tolong bius kelinci berisik ini.” “Kalian semua pembunuh!” Dokter Morga menyuntikkan obat bius di selang infus yang mengalir ke pembuluh darah di pelipis Selfi. Selama ini ia membantu pengembangan dan penelitian senjata kimia, racun mematikan Evatoxin. Tentu saja harus dibuat penawarnya, Antitoxin Adamin yang tengah dikembangkan merupakan versi perdana. Hasil akhir yang lebih sempurna aman di tempat rahasianya. Kesadaran Selfi perlahan sirna. Mulutnya kelu. Ia hanya dapat memandang dua raut wajah yang perlahan memburam di depannya. Obat bius telah menyebar dalam pembuluh nadinya. Kemudian disusul bahan kimia lain untuk mengembangkan antitoxin. “Cepat tidur kelinciku… ini juga untuk kebaikan kaum kita… Suatu saat kuharap kau akan mengerti. Kau telah ditolong oleh dewi perang.” Suara itu lenyap. Selfi kembali tertidur tanpa mimpi, hanya kegelapan panjang dan dalam di alam bawah sadarnya. Otaknya memang tertidur karena bius. Namun, berbagai bahan kimia tengah bertarung dengan sisa virus di dalam tubuhnya. Di tempat lain, kelinci percobaan kedua mengalami reaksi yang sebaliknya. *** Inspektur Anton hanya dapat merasakan tubuhnya dari leher hingga kepalanya. Ia merasa kepalanya telah terpotong dari tubuhnya karena virus evatoxin sedang menggerogoti tubuhnya. Virus itu merangsek hingga ke dalam sel. Tangan dan kakinya lumpuh tak dapat digerakkan. Walau begitu otaknya masih dapat bekerja. Sekujur tubuhnya seolah dipanggang di atas perapian. Selang-selang yang menancap di tubuhnya tak henti-hentinya mengeluarkan darah hitam dan memasukkan kembali darah segar. Inspektur polisi itu pernah merasakan sekarat ketika di ambang koma. Namun, kali ini rasanya berkali-kali lipat rasa sakitnya. Ia berharap kesadarannya sirna karena otaknya masih terus-menerus menerima sinyal rasa sakit yang membuatnya sangat tersiksa. Beberapa kali ia pingsan karena tak tahan dengan rasa sakit yang luar biasa di tubuhnya. Karena otak di kepalanya adalah pusat syaraf yang ikut terbakar ketika tubuhnya merasakan akibat dari virus evatoxin dan antitoksin adamin

dengan dosis tinggi yang diuji coba padanya. Kesadarannya timbul tenggelam. Selain rasa sakit indera keenamnya makin kuat. Berbagai suara-suara terdengar dalam kepalanya. Seperti suara ramai orang yang sedang mengobrol sampai jeritan, tangisan dan bunyi seperti berkerisik dari frekuensi radio. Tidak mungkin ia dapat mendengar sinyal dari radio frekuensi karena tidak ada antena di otaknya. Namun, ia hanya dapat terheran-heran ketika mendengar seperti suara radio. Ia menduga seseorang di ruangan itu telah menyalakan radio yang disambungkan ke dalam kepalanya yang panas. Hentikan! Seru Inspektur Anton, namun tak ada suara lagi yang keluar dari mulutnya kecuali gelegak darah berwarna hitam kental. Hentikan suara-suara itu… hentikan eksperimen sinting ini!! Namun, tak ada yang mendengar suaranya. Suara itu berasal dari kepalanya. Hanya dirinya seorang yang mendengarnya. Berbagai bayangan masih berkelebat dalam benaknya. Bayangan wajah Selfi mengusiknya. Di mana gadis itu sekarang? Ia hanya dapat bertanya-tanya tanpa jawaban. Kemudian kesadarannya mulai lenyap ketika otaknya berdenyut-denyut karena menerima sinyal rasa sakit yang kembali memuncak. Ubun-bunnya seolah ditusuk dengan paku panas. *** Pulau kecil yang dirahasiakan di wilayah kepulauan seribu itu tertutup tiraitirai hujan deras. Di atas langit awan mendung menari-nari bersama angin badai. Beberapa kru di dalam gedung fasilitas rahasia sibuk mendeteksi badai yang mendekat. Seagian mulai panik. Radar mereka mendeteksi badai yang bergerak mendekat. Badai yang baru pertama kali akan menerjang pulau kecil itu. Bunyi alarm tanda bahaya terdengar sayup-sayup dalam laboratorium yang tersembunyi di antara hutan di tengah pulau. Beberapa tim sudah membereskan barang-barang penting ke dalam bungker. Lorong bawah tanah mulai dibuka untuk mengatasi kemungkinan terburuk, pasang naik air dan banjir yang akan menggenangi laboratorium itu. Mereka tak berharap laboratorium tercanggih di Asia itu tenggelam. Meski antisipasi telah dibuat dengan membuat bungker dan terowongan kedap air. Namun, alam selalu memberikan kejutan. Tak ada yang dapat menduga bahwa operasi hiu putih tetap berlangsung di tengah badai. Perahu boat menerobos badai. Petugas keamanan yang mengawasi pergerakan sinyal radar di ruang kendali dalam laboratorium rahasia itu lengah. Mereka tak menyadari perahu boat yang mendekati pulau rahasia itu karena mengawasi pergerakan badai. “Ada perintah untuk menghentikan misi karena badai ini!” seru seorang dari anggota detasemen khusus itu. Ia harus mengeraskan suaranya melawan deru hujan deras yang menerjang kapal itu. Untungnya kapal boat itu dibuat khusus oleh Pindad untuk melaju di segala kondisi lautan yang ganas. Tubuhnya berguncang mengikuti perahu yang terombang-ambing ombak. Deru angin dan gemuruh petir bersahut-sahutan tepat di atas kapal. “Gimana Rajawali?” tanya rekannya yang lain. “Ya, kita tetap maju… perintah mundur itu datang dari pemimpin kesatuan kalian masing-masing. Bukan dari atasan.” Rajawali yang memegang kendali perahu siluman X3R Pasopati. Perahu tercanggih buatan Pindad dan perusahaan lokal PT. Gajah Mada yang sering mendapat pesanan alutisista dari luar negeri. Perahu canggih yang berkapasitas sepuluh penumpang itu didesain khusus untuk strategi infiltrasi ke perairan musuh tanpa terdeteksi radar. Desainnya yang aerodinamis dan dapat diving di bawah permukaan laut mampu menerobos badai sekalipun. “Kalau belum ada perintah dari atasan untuk mundur berarti misi tetap lanjut.” Pria bersandi Rajawali itu mencoba kemampuan diving untuk menghindari badai yang mengamuk. Ia mengurangi kecepatan mesin. Pandangannya tak lepas dari indikator arah angin dan arus laut demi memilih jalur agak jauh dari lokasi sinyal yang ditunjukkan di peta digital. Dengan perhitungan cermat sehingga mereka akan sampai ke lokasi yang dituju. Beruntung kapal boat itu dapat mendarat di pulau buatan dengan koordinat yang tepat, namun sayang tidak mulus. Ombak menyeret perahu boat itu hingga membentur penahan ombak. Sensor di haluan perahu rusak ketika membentur beton pemecah ombak.

Meski terombang-ambing di kabin perahu selama beberapa jam, namun, sabuk pengaman menghindari penumpangnya dari goncangan dan benturan. Pasukan khusus itu segera keluar dari perahu dan menuju ke laboratorium. Mereka tak mengalami kendala berarti karena sekuriti laboratorium tidak berada di posnya. Penghuni laboratorium sibuk memindahkan barang-barang berharga ke dalam gudang kedap udara. Ratusan botol evatoxin serta penawarnya berada dalam kopor-kopor besi di rak lemari kaca anti peluru, hanya tiga petugas yang mengetahui kode pin yang berubah setiap lima jam, termasuk Evangela. Sekuriti dengan mudah dilumpukan. Apalagi bunyi alarm terdistorsi dengan peringatan bahaya badai. Sistem keamanan yang dialihkan untuk melindungi laboratorium dari banjir memudahkan pasukan khusus untuk menyusup. Kanal-kanal yang dibuat dialiri luapan air laut. Pasukan khusus menangkap satu per satu petugas laboratorium. Dengan kode pin dari petugas lab mereka dapat mengambil cadangan evatoxin berikut penawarnya. Pasukan dibagi menjadi dua, satu tim mengambil evatoxin, tim yang lain berusaha mencari keberadaan Inspektur Anton dan Selfi. Setelah menemukan inspektur polisi itu mereka segera memberikan dosis penawar demi menyelamatkan nyawanya. Kondisi Selfi lebih baik dari Inspektur Anton. Inspektur Anton dan Selfi dapat diselamatkan dengan kondisi kritis. Dalam keadaan setengah telanjang Selfi dipakaikan pakaian pelindung anti radiasi. Satu-satunya wanita dalam pasukan khusus itu bernama alias Srikandi yang mengevakuasi Selfi, sedangkan Inspektur Anton dievakuasi oleh seorang pasukan khusus bernama alias Ghost. Mereka dibawa ke kamar isolasi untuk mendapat perawatan. Evangela berhasil lolos dari sergapan itu dan menghilang menggunakan kapal selam pribadi yang telah dipersiapkan. Maria dan dr. Morga berhasil ditangkap. Denara berharap Selfi dapat sembuh total dan kembali ke dalam acara Fakta dan Kriminal. Walau membutuhkan waktu. Karena melibatkan oknum kepolisian dan intelijen pemerintah, kasus hotel Merkuri akhirnya dipeti eskan. Walau beberapa kaki tangan dan eksekutor kasus itu telah ditangkap, namun dalang dibalik hotel Merkuri masih kebal hukum. Apalagi Evangela telah melarikan diri dan jejaknya sulit dilacak. *** Empat bulan kemudian Selfi lebih cepat pulih daripada Inspektur Anton. Ketika kesehatannya sudah pulih, Selfi berjaga siang malam di dekat inspektur polisi di ruang isolasi rumah sakit. Akibat eksperimen di pulau rahasia itu membuat Selfi menjadi kebal terhadap evatoxin. Meski ia harus memakai sarung tangan agar benda yang disentuhnya tidak ikut terkontaminasi kadar evatoxin dalam tubuhnya. Sedangkan Inspektur Anton juga menunjukkan gejala aneh akibat eksperimen itu, ia menjadi kebal terhadap rasa sakit. Karena siksaan evatoxin dan adamin yang beredar di tubuhnya membuat syaraf rasa sakit di tubuh inspektur polisi itu menjadi berefek sebaliknya, menjadikan rasa sakit sebagai perangsang syaraf. Hampir setiap hari famili, kerabat dekat dan teman-teman mereka datang menjenguk. Walau hanya melihat di luar ruang isolasi yang dibatasi kaca tebal. Termasuk pasukan khusus bernama Ghost yang telah menolong Inspektur Anton. Ghost rajin mengunjungi inspektur polisi itu. Perlahan kesehatan inspektur polisi itu membaik, walau terkadang ia meracau tak jelas tentang bunyi dengungan lebah yang makin nyaring terdengar dan suara-suara yang didengarnya entah dari mana. Padahal tak ada siapapun di ruang isolasi itu selain Selfi dan inspektur polisi itu. Setelah Inspektur Anton pulih, Selfi memanfaatkan sisa cuti yang diberikan Denara. Inspektur polisi itu yang berinisiatif mengutarakan perasaan sukanya kepada Selfi yang langsung disambut dengan hangat. Mereka berkunjung ke keluarga Selfi di Situbondo. Walau hanya seminggu kemudian Selfi kembali ke Jakarta bersama Inspektur Anton dengan status baru yaitu terikat oleh cincin pertunangan. Selfi sedang mempersiapkan segala dokumen kepindahannya sebagai warga tetap

Jakarta, walau masih bimbang, sedangkan, Inspektur Anton masih terus melacak keberadaan Evangela yang ditengarai melarikan diri keluar negeri. Ia tak berharap evatoxin jatuh ke pihak asing, walau kemungkinannya besar, Evangela termasuk ilmuwan yang tak senang diatur selain oleh dirinya sendiri. Di tengah-tengah investigasinya, berbagai kasus lain terus berdatangan. Beruntung sekarang, Inspektur Anton memiliki pasangan yang setia bersama dirinya. Selfi Lena akan selalu mendukungnya, karena mereka telah melalui masa-masa sulit, jadi segala rintangan ke depan akan mereka hadapi apapun resikonya. Dari beberapa kasus kejahatan yang memiliki level tingkat tertentu. Ada yang mudah dipecahkan, namun ada kasus yang sulit diurai. Termasuk informasi dari intelijen bahwa akan ada pembunuhan terhadap direktur perusahaan yang ikut mendanai evatoxin, demi membersihkan nama-nama oknum pejabat yang terlibat. Inspektur Anton nampak terkejut ketika membaca nama salah seorang pasukan khusus yang terlibat dalam rencana pembunuhan itu. “Tidak mungkin Ghost terlibat….” Gumamnya. Ataukau ia hanya boneka yang menjadi korban rantai perintah? Inspektur polisi itu hanya dapat bertanya-tanya.File 24 The Assassins PRIA itu agak membungkuk, mengendurkan kakinya, jemarinya memegang erat tongkat golf lalu diam bagai manekin di area rough. Pandangannya bergantian dari bola golf ke green ketiga belas yang ditandai dengan bendera putih di kejauhan. Lalu mengayunkan tongkat golfnya kuat-kuat. Udara terdengar berdesing di sekitar pemukul. Bola melesat ke udara. Meleset jauh dari harapannya. Bola jatuh di dalam bungker pasir. Namun, ia tidak begitu kecewa. Bibirnya tersenyum tipis mengingat koper itu telah berada di tangannya. Tepatnya dipegang salah satu caddy yang setia bersamanya. Ia melangkah tenang menuju cekungan bungker. Mendekati bolanya di atas pasir putih. Pikirannya bebas sekarang. Ia merasa berada di puncak kesuksesan. Hari-hari gemilang penuh kemenangan telah menunggunya. Ia kembali tak bergerak bagai patung di area bungker pasir. Pandangannya menyapu ke sekitarnya. Namun, ketika ia sadar tengah seorang diri di padang rumput hijau itu, sebuah gigitan tajam terasa di tengkuknya. Jemarinya meraba luka di lehernya. Ia melihat darah. Darah segar. Tubuhnya ambruk dan wajahnya menghantam pasir. Kemilau langit di atas menyilaukan matanya. Ia berusaha melihat siapa yang telah berkhianat, namun tidak ada seorang pun di tempat itu. Bahkan kekasih tercintanya. Perlahan kegelapan menyelimuti pikirannya. Seperti mendung kelabu yang mulai berarak menutupi kawasan itu. Nama yang tersemat di topi golfnya bertuliskan inisial NZ dari Nazrudin Zulfikar, tertutup bayangan kelabu orang-orang yang mendekati tempat itu. Kemudian bunyi tembakan tidak lagi terdengar olehnya. *** Udara lembab dipenuhi distorsi dari frekuensi radio dari earset radio dua arah di frekuensi aman yang berisi suara-suara komunikasi. Sesekali bunyi berkerisik. Memakai sandi operasi: 343 menuju poin C.. C—Charlie… peti mati udah jalan a 343 ditemani sebutir 99… jangan diam aja di sana 441 lapor sudah di poin zero Zero—zero siap Ndan Lanjut… menuju zero Serius penuh tekanan. Agak gugup, manusiawi, namun terlatih. Hanya mereka yang paham. Siang tengah hari itu tanggal 24 Maret, sepanjang jalan Hartono Raya kawasan Modernland, Tangerang, tampak seperti hari-hari biasa. Meski langit sedikit mendung dan udara berubah dingin. Lingkungan sekitar tampak asri berbalut prestise. Gedunggedung yang berderet dalam sistem kepatuhan. Dibalik keteraturan itu tersembunyi hasrat pemberontakan. Kendaraan yang berlalu-lalang sibuk dengan urusan masing-masing.

Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Mereka terlalu sibuk hingga tak menyadari kawanan yang datang ke tempat itu. Seperti hantu tak kasat mata. Mereka sudah berlatih berulang kali. Di sini, di sana dan di beberapa tempat berbeda. Sesuai plot. Mereka tampak sigap saat menempati posisi masing-masing. Rencana yang sudah dipersiapkan matang. Nah, sekarang saatnya. Mereka mulai menyetel ulang hitungan mundur. Tidak ada gerakan percuma. Diatur seperti ketukan jam mekanis. Namun, tetap bagai bola-bola liar. Seperti permainan bola biliar, meski telah diatur dan diprediksi, tidak ada telekinesis. Pasti ada bola ketiga dan keempat yang melenceng jauh dari jalurnya. Hanya masalah waktu. Puluhan pasang mata para aktor tidak berkedip. Mereka mengatur napas. Mobil BMW silver keluar dari kawasan lapangan golf, diikuti Avanza dan sepeda motor Yamaha. Di kejauhan mobil Panther dan Timor mulai muncul dengan tetap menjaga jarak. Mereka begitu mudah menghindari CCTV karena telah memiliki peta lokasi. Tim lain sudah berjaga di sepanjang trotoar, menyamar sebagai pejalan kaki. Antara satu tim dengan tim lain tidak mengetahui keberadaan masing-masing. Kecuali orang yang memberi perintah kepada mereka, bayangan kelabu di balik layar putih. Hanya menonton melalui kamera CCTV yang telah disusupi. Di dalam mobil BMW, seorang direktur diposisikan tetap bersandar di jok. Usianya sekitar empat puluhan. Dan tidak banyak bergerak. Satu setengah jam lalu ia masih menenteng koper penuh uang. Merasa telah berada di puncak dunia. Tapi, takdir berkata lain. Dan yang lain akan segera mengetahuinya. Sekitar pukul 13.00 WIB tiba-tiba dua kali bunyi tembakan pecah di antara keramaian jalanan. Menyita perhatian pengendara dan pejalan kaki di trotoar. Disusul bunyi raungan mesin sepeda motor serta decit bunyi ban. Sebuah mobil silver BMW tiba-tiba mengerem dan berhenti di tengah jalan. Kendaraan yang berada tidak jauh di belakangnya sontak ikut berhenti. Pengendara lain terkejut dan bertanya-tanya. Mereka menyaksikan Avanza silver dan sepeda motor motor Yamaha Scorpio biru mengebut bergegas menjauhi tempat itu. Deru debu dan kepulan asap putih dari sepeda motor meninggalkan jejak sekejap, lalu lenyap. Seperti misteri yang tiba-tiba melingkupi tempat itu bak hantu. Orang-orang di sekitar kejadian tidak mengetahui penumpang yang duduk di jok belakang mobil telah tewas. Luka tembak menjadi penyebabnya. Supir mobil, Suparman, melihat melalui spion pria bernama Nazrudin masih di posisinya semula. Tidak bergerak seperti manekin. Seharusnya ia telah terbiasa mendengar bunyi tembakan. Namun, ia tidak akan pernah terbiasa mendengarnya. Dari saking takutnya, ia akan bungkam. Bahkan ketika ia melihat keanehan atau mengetahui sesuatu, ia akan bungkam. Atau nyawanya juga ikut terancam karena terlibat pembunuhan. Keringat berjatuhan dan jemarinya gemetaran. Ia harus ikut dalam drama, mendramatisir. Namun, debaran jantungnya bukan drama. Ini nyata. Jadi ketika supir itu keluar dari mobil dan berteriak-teriak itu bukan drama. Bos yang setiap hari bersamanya; ke kantor, ke lapangan golf, ke hotel, telah ditembak orang. Bunyi tembakan dan teriakan supir itu menyita perhatian orang-orang di sekitarnya. Mereka berdatangan. Sebagian karena rasa penasaran, lainnya hendak memastikan keadaan korban. Di antara mereka ada tim penembakan yang ikut berbaur. Jika orang-orang di sekitar tempat kejadian kaget karena tidak tahu apapun, justru pria bernama sandi Ghost itu mengetahui lebih banyak. Bahkan ia pun belum mengetahui sepenuhnya. Sedari tadi ia mengawasi keadaan melalui tele snipernya. Seharusnya kaca jendela kanan mobil terbuka, sesuai rencana. Karena kaca mobil terbuat dari kaca film spektrum, tidak mungkin menembak dalam keadaan tertutup. Ia hendak protes melalui HT lalu diurungkan. Pura-pura tidak mengerti akan apa yang terjadi di depan mata adalah tindakan ceroboh. Hanya masalah waktu dirinya akan dijadikan tumbal. Sebagai gantinya terdengar suara rekan-rekannya yang lain. Mereka yang naik sepeda motor, berada di dalam mobil atau yang berada di trotoar. 343 gak bisa lihat ke dalam peti nih Ndan… musti distop nih... 343 apanya yang gak bisa? Udah beres gitu Zero udah jatuh… zero udah jatuh

Zero belum jelas Ndan… lapor ulang statusnya Melalui tele snipernya, ia melihat korban sudah tergeletak bersandar di jok belakang. Setelah itu terdengar bunyi dua kali tembakan disusul teriakan supir dari dalam mobil. Seorang pejalan kaki dengan mudah membuka pintu belakang sedan yang tidak dikunci. Ghost menyingkirkan tele dari wajahnya. Matanya terpicing demi melihat ke kejauhan, ke seberang jalan, ke dalam mobil, seolah lebih jelas daripada telenya. Lalu kembali mengintip telenya. Sekarang ia mulai mengerti ke mana arah skenario itu. Merasa telah dibodohi, ia menyadari korbannya telah tewas. Ia melihat luka tembak yang tertutup darah di kepala korban. Ia tidak dapat memastikan dari mana arah datangnya peluru lain itu. Ia bertanya-tanya apakah rekannya juga mengetahui? Pria itu bergegas membongkar senapannya. Senapan serbu jenis sniper dengan telekop canggih buatan Pindad. Lalu mengemasnya ke dalam tas khusus yang disamarkan dalam hitungan detik. Membuka pakaian ‘tukang kebun’ dan berganti kasual. Bahkan rekannya tidak tahu rencana penyamarannya. Ia lalu mengenakan topi dengan rambut palsu—ikal berombak, yang sudah menempel di dalam topi, menutupi rambut cepaknya. Sebelum keluar dari sana, ia menyembunyikan tasnya di dalam kotak es krim yang kosong di bagian belakang sepeda motornya. Pria itu mendekat ke tempat kejadian. Ia berbaur di antara keramaian. Namun tidak dapat lebih mendekat. Dua lubang peluru terlihat di jok dan jendela. Dan di sana, ia melihat korban yang duduk sudah meregang nyawa. Tubuhnya bersandar di jok. Di pakaiannya terdapat percikan darah. Kali ini, ia tak pernah merasakan kecemasan seperti itu. Bisa jadi peluru berikutnya mengarah kepadanya. Ia pernah melihat mereka melakukan apapun, ya apapun, untuk menutupi kedok mereka. Ia merasakan sniper lain tengah mengawasinya dari jauh. Instingnya sudah peka kepada muslihat seperti itu. Ia harus menemukan pelakunya, atau dirinya yang akan mendekam di penjara atau jika tidak beruntung, tewas di jalanan lalu lenyap dalam sejarah. Hujan mulai turun mengikis jejak mesiu dari penembakan yang terjadi di sana. *** “...Kita kembali di program acara Fakta dan Kriminal... pemirsa... penembakan yang terjadi di Modernland menjadi awal babak baru misteri pembunuhan direktur perusahaan yang ditengarai terlibat kasus misteri hotel Merkuri… Ikuti terus Fakta dan Kriminal.” Selfi keluar dari jangkauan kamera. Ia menuju ke arah Inspektur Anton yang sedari tadi mengawasinya. Inspektur polisi itu baru dua jam yang lalu selesai mengolah TKP. Sebelum para kru dari berbagai media cetak dan elektronik berdatangan ke tempat itu. Termasuk Denara yang segera mengendus berita baru untuk program acara Fakta dan Kriminal. Tak mau kalah langkah dengan stasiun TV lain. “Kita nampaknya kenal seorang yang terlibat operasi ini… pria dengan sandi Ghost yang menyelamatkan kita waktu itu dari laboratorium rahasia,” ujar Inspektur Anton sembari menyodorkan softdrink kepada Selfi. Karena eksperimen di laboratorium rahasia itu, kedua jemari tangan Selfi selalu tertutup sarung tangan demi menghindari kontaminasi ke sekitarnya. Ia berharap keadaan Selfi dapat segera membaik dan racun evatoxin akan berangsur-angsur lenyap dari dalam tubuhnya. “Terima kasih, tau banget aku haus.” Selfi hendak meraih minuman ringan itu sebelum Denara menegurnya. “Eh, eh, minum air mineral saja, Selfi masih belum kelar syuting,” tegur Denara yang juga berada di dekat Selfi. “Gimana kalau di bersendawa pas syuting?” Selfi hanya dapat menghela napas, sedangkan Inspektur Anton hanya dapat tersenyum-senyum melihatnya. “Yee... mentang-mentang udah tunangan nih, jadi makin perhatian dan mesra nih. Bikin ngiri aja, huh!” Denara memasang tampang manyun, kemudian tertawa. “Iya, terima kasih Den. Kita bisa jodoh juga berkat kamu. Jadinya kita bisa ketemuan. Coba kalau waktu itu aku jadi pulang ke Situbondo waktu itu?” Selfi mengedipkan mata sebelah matanya. “Kalau gitu carikan dong buatku… aku gak mau jadi perawan tua.” Kemudian Denara

tertawa. Selfi memutar bola matanya. “Ada rekan saya yang masih bujang kalau mau dikenalin,” ujar Inspektur Anton terdengar serius. “Eh, enggak kok cuman bercanda. Haha... biasa ngurangin depresi akibat kejar tayang.” Tawa Denara makin nyaring hingga menyita perhatian para kru TV yang berada di sektiar TKP. “Kalau perempuan ketawa itu tandanya dia gak ngerti situasi dan kondisi atau melepas rasa depresinya?” tanya Inspektur Anton. “Dua-duanya bener….” Denara berusaha menahan tawanya, namun tak bisa. Selfi dan Inspektur Anton jadi ikut terhibur melihat tingkah Denara yang mampu mencairkan suasana. Lain di bibir, lain di hati. Walau nampak riang gembira, namun sebenarnya Denara merasa frustasi dengan jadwal tayang program acara Fakta dan Kriminal. Belum lagi investigasi yang harus dilakukan bersama Selfi. Beruntung sekarang Inspektur Anton berpihak kepada mereka. Bonusnya Selfi mendapat perlindungan dari inspektur polisi itu. Bisakah mereka memecahkan kasus kali ini? Bahaya apa yang akan mereka hadapi dalam investigasi nanti? Berbagai pertanyaan tanpa jawaban berkelebat dalam benak Denara. File Selanjutnya Update Daftar Isi Update Folder Detektif Update Case FileFile 25 Jejak Peluru “AKU TAK percaya kembali ke sini,” gumam pria itu. Sudah berapa lama aku terjebak dalam bangunan pucat itu? Pria paro baya itu berhati-hati saat mengemudi VW-nya memasuki pelataran Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Melewati kendaraan lain yang bergegas keluar dari bangunan pucat itu. Guyuran air hujan nyaris menutupi kaca depan. Gerakan lambat wiper ke kanan dan ke kiri nyaris tak berguna. Bunyi ambulan sudah tidak terdengar lagi dari depannya. Mobil jenazah tiba lebih dulu di RSCM. Di balik tirai hujan, semuanya terdistorsi. Buram. Seperti alasan kenapa ia masih ada di tempat itu. Dari sekian banyak ahli forensik, kenapa dirinya yang ditunjuk? Di RSCM ada sebelas ahli forensik, tiga orang profesor dan delapan dokter spesialis forensik. Ia masih belum mengerti kenapa ia dipaksa kembali ke kantornya. Melalui pesan elektronik singkat alasan itu juga belum jelas. Di SMS yang diterimanya tertulis: Sore, babe harus segera ke RSPAD. Ada kasus penting menyangkut keamanan negara. Harus segera diperiksa. Penting dan peka. Tidak boleh diwakilkan. Oke? “Sok penting atau memang ada kepentingan lain…,” gumam pria itu. “Penting atau gak penting, seharusnya sekarang sudah waktunya istirahat.” Belum cukup SMS semenit kemudian telepon berdatangan. Mulai dari pejabat setingkat Letkol, Kolonel, hingga Komisaris Jenderal. Dua jam dari sejak kejadian penembakan. Sejak bertolak dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, suara tak enak itu masih terdengar. “Pokoknya Bapak harus segera ke RSPAD Gatot Subroto,” ujar suara itu penuh tekanan. “Tapi saya capek, biar rekan saya di RSCM yang ke sana, besok pagi-pagi saya akan ke sana,” sahut pria itu melalui ponselnya. “Tidak bisa, harus babe yang memeriksanya. Ini kasus penting.” “Siapa yang tewas?” “Ini seorang direktur PT. Putra Rajawali, Nazrudin Zulfikar. Perusahaan besar rekanan pemerintah yang ikut dalam beberapa proyek besar termasuk pengembangan pulau buatan di Kepulauan Seribu.”

“Orang penting? Pejabat?” “Bukan pejabat—tapi ya, berhubungan dengan orang penting. Ini pengusaha berduit.” “Pengusaha ataupun bukan, berduit atau nggak, ya harus diselidiki dong.” “Utamakan yang ini dulu karena menyangkut keamanan negara. Nanti babe akan mengerti.” Mendengar demi ‘keamanan negara’ membuatnya berpikir dua kali. Bukan hanya penting, perlu perhatian dan kehati-hatian, namun juga beresiko. Ia benci terlibat dalam politik. Meski profesinya kerap bersinggungan dengan politik. Menurutnya politik lebih mudah ditebak, tidak ada misterinya. Ia lebih suka berada di labnya daripada di pengadilan. Mendengarkan cerita picisan dari masalah yang sudah jelas sangat membosankan. “Ya—ya, saya akan segera ke sana,” pungkas dr. Watsen. Pejabat tinggi itu lantas menutup sambungan ponselnya. Mendung menebal, langit makin gelap. Suasana temaram mengawali kejadian muram di hari itu: sebuah pembunuhan kembali terjadi, seolah tak pernah berhenti. Oya, ia teringat, iblis tak pernah tidur karena sudah berjanji untuk menggelincirkan seluruh umat manusia… Dirinya butuh istirahat, tidak seperti waktu muda dulu. Walau memiliki kecerdasan di atas rata-rata tubuhnya tetap menua seperti yang lain. Di usianya sekarang, ia harus kembali kepada profesinya, ahli forensik. Bukan sekedar ‘membongkar’ mayat dan mencatat setiap organ. Lebih kepada panggilan moral untuk menyusun kembali kepingan kebenaran, walau dari mayat yang telah membisu. Ya, sekali lagi. Ia tidak pernah setengah-tengah turun ke dalam kasus. Dokter Watsen Munim, pria berusia enam puluhan itu kerap enggan menulis gelar dokternya. Sosoknya kecil namun gesit dengan otak brilian. Jalannya agak timpang karena pernah mengalami kecelakaan saat tengah menyelidiki kasus berbau politik. Banyak yang mengira ia selalu lolos dari usaha pembunuhan, namun ia hanya menganggapnya musibah biasa. Ya, dr. Watsen Munim, namanya adalah jaminan bagi kebenaran hakiki di atas meja dingin forensik. Dari namanya, publik percaya kepada kejujuran dan ketenangan yang dianggap melawan arus. Ia tidak merasa melawan arus jika berjalan di jalur yang semestinya. Jadi, seperti hari itu, tidak heran jika ia didaulat menangani kasuskasus skala besar. Sebagai ahli forensik terkemuka, berada di posisinya adalah sebuah tekanan luar biasa. Tentu saja, tak jarang ia mendapat getahnya. Seperti hari itu. Sore itu seharusnya ia sudah berada di dalam rumahnya yang hangat. Namun, sebuah telepon dari seorang pejabat menyeretnya kembali ke lab. forensik. Beban di pundaknya terasa makin sarat. Ia memang tidak tak dapat menghindari cengkeraman konstitusi. Dingin di luar dan dingin di dalam membuatnya menggigil. Jaket kulitnya seakan tak mampu mengusir rasa dingin yang melingkupi. Dingin yang berasal dari kematian di sekitarnya. Dokter Watsen mendorong pintu mobil lalu bergegas keluar. Meski cukup letih fisik dan pikiran, ia tetap gesit, seperti biasa. Ia membanting pintu mobil lalu berjalan ke teras, tidak memedulikan butir-butir air hujan yang membombardir tubuhnya. Jaket dan topinya basah kuyup. Ia melangkah menghindari genangan air di pelataran. Di sana sudah menunggu perawat yang berdiri mengawasinya sejak tadi. Sepertinya, ia juga diperintah agar memastikan dr. Watsen berada di jalurnya. “Sudah datang?” tanya dr. Watsen mengeluarkan notesnya. Ia tidak menulis apapun di sana, hanya sebagai jimat keberuntungan. “Pukul empat sore ini korban sudah sampai di lab,” sahut perawat itu. Mereka berjalan di lorong rumah sakit. Wajah pria yang berminyak itu mengilap tertimpa cahaya lampu koridor. “Dibawa dari rumah sakit Mayapada, Tangerang, lalu sempat dirawat di RSPAD Gatot Subroto baru ke sini.” “Ya, tadi dari RSPAD. Bagaimana dengan keluarga korban?” “Mereka sudah ditelepon.” “Sudah mendapat ijin otopsi?” “Keluarga korban menentang. Tapi akan kami akan jelaskan kembali.”

Dokter Watsen melewati lobi dan masuk ke koridor rumah sakit. Ia melangkah cepat menuju ruang forensik dengan jaket basah kuyup. Tetes air hujan berjatuhan dari lidah topi kumalnya. Ia membuka jaket lalu mengenakan baju khusus. Dokter Watsen masih tercenung memandang mayat yang tergeletak di atas meja visum. Kekesalannya dari RSPAD masih belum hilang. Mayat dari TKP itu sudah dibersihkan, tanpa label catatan, tanpa pakaian yang menjadi barang bukti. Pintar atau ceroboh seharusnya pada mayat tercantum label sesuai KUHP 133 ayat C. Apalagi rambut kepala korban sudah digundul licin dan luka sudah dijahit. Seperti baru saja dikirimi sebuah paket parsel. Ia tidak dapat memeriksa jejak tembakan di rambut korban. Ketika ia menanyakan pakaian korban, perawat di UGD mengatakan bahwa pakaiannya sudah dibuang. Ia tersenyum geli seraya geleng-geleng kepala. Kesal. Apalagi setelah mengetahui bahwa mayat itu datang dari rumah sakit lain. Intuisinya berbisik bahwa ia tengah menghadapi kasus yang tidak biasa. Memang bukan kasus biasa. Ahli forensik kawakan itu berusaha menemukan petunjuk. Bahkan dari mayat sekalipun masih dapat berbicara padanya. Dari wajahnya tersirat kebingungan. Selain karena minimnya barang bukti juga karena barang bukti telah diacak-acak. Jika diteruskan memeriksa maka ia mengikuti jejak yang salah. Dokter Watsen belum menyentuh mayat itu. Ia hanya memerhatikan. Ia memasang kacamata yang tergantung di lehernya lalu mengenakan sarung tangan karet. Sesekali ia masih menggelengkan kepala. Tidak ada catatan yang lengkap membuatnya kerepotan. "Sungguh tidak profesional," gumamnya. Lalu, untuk apa dirinya memeriksa lagi jika sudah diotopsi? Apakah dirinya hanya mengukuhkan apa yang telah direkayasa sebelumnya? Ia menyalakan rekaman ponselnya lalu mulai berbicara. “Korban berusia sekitar empat puluhan. Dari perkiraan rigor mortis tubuh bagian perut sampai kaki sudah kaku, jadi korban tewas sekitar 5 sampai 6 jam. Tidak ada pakaian korban jadi tidak dapat memeriksa residu mesiu. Rambut kepala sudah dicukur licin sehingga ia tidak dapat memeriksa bekas tembakan. Seharusnya hanya di sekitar luka rambut dicukur… Kemudian ia mulai membuka jahitan luka di pelipis kiri, tepat di sebelah alis. Ia menemukan proyektil di dalam kepala korban. Ia memeriksa proyektil di bawah suryakanta. Keadaan proyektil mulus tidak ada goresan. Seharusnya jika melewati media kaca akan tampak goresan. Apalagi mayat sudah dibersihkan, rambut sudah dicukur bersih. Ia tidak menemukan serbuk pecahan kaca, atau debu yang menempel. Di bawah kuku-kuku jari korban juga bersih. Ada dua luka tembakan di kepala korban. Ia yakin salah satu proyektil peluru telah menembus kepala korban. Anehnya ia menemukan proyektil peluru di sana. Dia luka tembak yang mengakibatkan Nazrudin Zulfikar, direktur PT. Putra Rajawali, tewas seketika. Bukan. Luka tembakan pertama tidak menyebabkan kematian, namun luka kedua yang mengakhiri nyawa korban. Luka tembakan kedua yang mengakibatkan korban tewas seketika. Bayangan kejadian penembakan tampak buram dalam kepalanya. Ia seolah berada di tempat kejadian. Ruang lab. forensik seperti berubah menjadi TKP. Dokter Watsen seolah berada di sana, mengawasi kejadian penembakan dalam gerak lambat. Peluru pertama berputar di udara lalu menembus pelipis kanan sampai tembus ke pelipis kiri persis di bawah telinga. Harusnya proyektil berada di luar. Peluru kedua menembus pelipis kiri kali ini peluru bersarang di dalam tengkorak. Dokter Watsen kembali membandingkan dengan foto mobil korban. Hanya ada satu foto penembakan yaitu di jendela mobil, sedangkan keadaan jok dan kabin tidak diambil fotonya. Ada dua lubang tembakan di jendela. Pecahannya mengarah ke dalam. Benar, ada dua tembakan dari luar. Ia sadar tidak mudah menembak sasaran yang berada di dalam mobil, apalagi dengan jendela tertutup dan terhalang kabin... Kali ini dahi dr. Watsen berkerut. Dari mana datangnya luka tembakan di bawah telinga kiri jika korban sedang duduk di jok? Tembakan itu pasti terhalang kabin. Jadi hanya satu peluru yang

benar-benar mengenai korban. Jika korban benar-benar berada di sana. Ia mengambil poster anatomi di dinding lalu menandai. Benar ada perbedaan antara foto tembak di TKP dan luka di jasad korban. Jika korban duduk di jok belakang, seharusnya luka tembak pertama korban terletak di ubun-ubun bukan di pelipis atas alis. Apalagi menurut supir korban roboh ke kanan jok. Ia menyadari keganjilan, apalagi setelah memeriksa plastik barang bukti berisi dua butir proyektil peluru. Menurutnya kedua pecahan peluru 9 mm itu ditembakkan dari pistol yang sama, kaliber 38. Tapi, keduanya memiliki berat yang berbeda karena satu proyektil telah rusak, lainnya masih utuh. Dokter Watsen sampai pada kesimpulan berikut: Peluru pertama ditembakkan dari jarak jauh, tepat dari arah depan korban, persis di pelipis kanan atas, luka berbentuk corong ke dalam hingga menembus kepala korban sampai ke bawah telinga. Mungkin ditembak ketika korban berada di dalam mobil atau di lapangan golf. Peluru yang bersarang di tengkorak sudah tidak utuh lagi. Jika ditembak dari arah dekat, pasti jejak mesiu melekat di pakaian korban. Anehnya, pakaian yang melekat di tubuh korban sudah raib. Bukti yang sangat penting, entah kenapa, bisa raib begitu mudah. Petugas di kepolisian dan rumah sakit tidak ceroboh, mereka tidak akan menghilangkan barang bukti. Kecuali disengaja. Peluru kedua dari jarak jauh, tepatnya di luar mobil. Peluru menembus kaca jendela hingga bentuknya tidak utuh lagi ketika menghantam kepala korban kemudian bersarang di pelipis kiri. Jadi, dari mana datangnya lubang kedua di jendela korban? Apakah ada peluru ketiga? Lalu di mana proyektilnya? Di tempat yang berbeda, Inspektur Anton juga tengah bergelut dengan barang bukti yang ditemukan di TKP. Dari berbagai kasus yang ditanganinya, rekan-rekannya meminta untuk fokus kepada kasus penembakan di Moderland. Jika nyawa bisa melayang dan hilang, berbeda dengan jejak forensik. Bahkan hantu pun memiliki jejak. Tak ada yang dapat lolos dari penyelidikan, bahkan kebaikan dan kejahatan sampai atom terkecil pun akan dipertanggung jawabkan. File Selanjutnya Update Daftar Isi Update Lab. ForensikFile 26 Pasangan Detektif INSPEKTUR Anton masih memeriksa jok belakang mobil BMW silver di dalam garasi laboratorium forensik. Barang bukti proyektil yang ditemukan dua rekannya dari reserse malah membingungkannya. Proyektil peluru ditemukan dengan mudah di bawah jok. Namun, mereka melupakan lubang peluru yang membekas di jok belakang. Malam itu, ia hanya seorang diri di dalam ruang forensik. Kaca belakang mobil tertutup boneka mainan yang digantung di kaca jendela. Apalagi kaca film mobil jenis spectrum stell yang tidak mudah dilihat dari luar karena memantulkan cahaya. Jadi tidak mudah pelaku penembakan dapat mengawasi korban dari luar. Tadi inspektur polisi itu melihat bekas tembakan di bingkai jendela, bekas penyok dan terbakar warna coklat gelap. Bukti bahwa revolver ditekan ke jendela karena pelaku kesulitan melihat korban. Keberuntungan saja tidak cukup untuk dapat menembak tepat sasaran. Membutuhkan latihan berkali-kali dan kecermatan yang tepat. Apalagi objek bergerak akan lebih sulit ditembak. Inspektur Anton melihat sekali lagi dua lubang peluru di jendela mobil dari dalam kabin. Kemudian mengukur dengan jarak ke jok menggunakan meteran. Ia menemukan peluru agak melenceng menghantam sandaran jok. Di dalam sandaran jok itu pasti masih tersimpan proyektil peluru. Untuk mengambil proyektil, ia perlu membongkar busa jok itu. Lalu dari mana rekannya menemukan proyektil jika masih ada di dalam jok? Apakah proyektil lain yang ditemukan di dalam mobil? Inspektur Anton bertanya-tanya dalam

batin. Ia tengah berpikir keras ketika sebuah suara terdengar dari belakangnya. “Inspektur masih lembur? Hey, sudahlah jangan diforsir. Barang bukti udah diambil,” tegur rekannya dari kesatuan lain. “Kalau butuh kopi atau katering bisa saya belikan," ujar rekan yang lain. “Ya, terima kasih.” Namun, Inspektur Anton masih tak keluar dari dalam kabin. Ia masih melanjutkan pemeriksaan di dalam kabin mobil. “Masih ada yang kurang lengkap. Aku akan istirahat setelah jok belakang difoto.” Teman-temannya tertawa pendek. “Begitu kalau gak kebagian.” Inspektur Anton masih belum mengerti apa yang mereka katakan. “Kau boleh menginap di dalam mobil karena akan segera disegel dan jadi pajangan,” canda rekannya sebelum pergi. Terdengar tawa mereka. Inspektur Anton mendengus. Kali ini ia merasa berhadapan dengan jajarannya sendiri. Walau hanya beberapa oknum di dalam kepolisian, namun dapat menjadi nila yang merusak rekan-rekannya yang anti suap. Seringkali yang antisuap tanpa sadar ikut ke dalam pusaran sistem yang tak ada ujungnya, seperti simbol Uroborus; pusaran kehidupan yang terus berputar dalam keabadian. Ternyata lebih mudah menyelidiki bukti yang masih utuh daripada yang sudah direkayasa. Banyak petunjuk menyesatkan seperti labirin. Jika ia memasuki ruang yang salah maka akan semakin bertambah tersesat. Jika tidak cermat, ia bisa saja mengikuti jejak petunjuk yang salah hingga makin menyulitkan kecuali mengulang lagi penyelidikan dari awal. Pengalamannya selama ini menjadi penyidik seolah ditantang. Tidak ada yang membayarnya untuk itu selain karena terpanggil oleh rasa keadilan semata. Ia memeriksa ponselnya dan menyadari telah menonaktifkan suaranya. Ada satu pesan dari Selfi. Isi pesannya agar ia tak memaksakan diri melakukan penyelidikan. Ia baru menyadarinya. Walau mereka sudah berjanji untuk tidak terlalu banyak mengontak selama melakukan pekerjaan masing-masing. Namun, dirinya tak seorang diri berkutat dengan kasus itu. Ada seorang lagi yang tengah lembur dalam kasus misteri penembakan itu. Di tempat lain seorang penyelidik juga masih lembur di ruang kerjanya. *** Bunyi ketokan di pintu membuyarkan pikiran dr. Watsen. Ia melirik jam, sudah larut malam. Tidak terasa waktu berjalan begitu saja dalam kantornya di dekat lab. forensik. Ia biasa tidak pernah mengunci pintu, jadi pintu mudah dibuka. Tiga orang pria dari petugas kepolisian masuk di ambang pintu. Hanya menengok sekilas dari balik kacamata kecilnya, dr. Watsen sudah mengerti mereka reserse. “Ada apa?” tanya dr. Watsen sedikit kaget melihat kedatangan petugas. “Sudah sampai mana, Pak?” “Oh, saya baru saja sampai. Ini baru menulis laporan visum.” “Bisa kami bawa? Proyektilnya?” “Besok saja. Belum uji balistik.” Tiga petugas itu tak menjawab. Mereka masih berdiri di sana. Seolah hendak memaksakan kehendak mereka. “Kalau sekarang gimana?” tanya mereka sekali lagi seakan tidak paham atau berpura-pura tidak memahami prosedur. “Besok pagi saja, malam ini saya selesaikan laporannya,” ujar dr. Watsen. Kali ini dengan nada mengusir. Ia tidak suka diganggu. Ia pikir mereka sudah mengerti. Kedua petugas itu diam kembali beberapa lama. Watsen tidak memedulikan mereka lagi dan melanjutkan pemeriksaan. Ketika ia menengok ke ambang pintu, kedua petugas itu sudah tidak ada di sana. Dokter Watsen seperti melihat benang-benang tak kasat mata yang menggerakkan boneka-boneka hantu di sekitarnya. Ia tidak ingin menjadi salah satu dari mereka. Fakta dari meja forensik, harus ditulis apa adanya. Malam itu dr. Watsen berada di kantonya sampai hampir tengah malam. Setelah menulis beberapa catatan ia hendak pulang. Namun, ia mengingatkan dirinya lagi untuk menulis catatan laporan tambahan. Catatan dr. Watsen Munim, ahli forensik

Jika kau membaca laporan ini, berarti telah terjadi sesuatu padaku. Aku yang membuat laporan ini menulis hasil visum pada pria bernama Nazrudin Zulfikar pada 24 Maret. Pada pria bernama Nazrudin Zulfikar berusia empat puluhan tewas akibat dua luka tembak di kepala. Satu luka menembus pelipis kanan. Satu luka akibat peluru yang ditembak dari jauh menembus pelipis kanan hingga tembus ke belakang kepala di bawah telinga dengan luka membentuk corong ke dalam, tidak ditemukan peluru. Peluru kedua menembus pelipis kiri korban di atas alis. Peluru yang bersarang di tengkorak korban sudah tidak utuh, berupa pecahan dari peluru 9 mm, diduga dari revolver kaliber 38. Note: Catatan ini masih dalam penyelidikan dan dapat berubah karena mayat sudah dibersihkan sewaktu divisum. Di pelataran parkir menuju mobilnya, ia merasakan tengah diawasi. Entah penglihatannya salah atau tidak, ia melihat dua orang pria yang bertampang mirip seperti petugas yang mendatanginya. Atau, kedua orang itu benar-benar mereka? Menunggu di dalam mobil dalam bayang-bayang kegelapan kabin? Dokter Watsen sudah biasa dikuntit. Dengan tenang ia masuk lalu mengemudikan mobil keluar dari pelataran RSCM. Ia yakin nyawanya masih aman. Setidaknya, mereka masih membutuhkan dirinya hidup-hidup untuk mendapat laporan peluru besok pagi. Mereka hanya memastikan bahwa dirinya masih hidup. *** “Bagaimana hasil olah TKP tadi?” tanya Selfi. Suaranya terdengar santai tidak ngotot seperti seorang jurnalis yang bertanya kepada penyelidik. Bahkan ia tak begitu serius bertanya hanya sekadar basa-basi saja. ia berusaha memisahkan antara pekerjaan dan kehidupannya yang sekarang. Sepulang siaran di Metropolis TV dari acara bincang-bincang tentang kisah dirinya di laboratorium rahasia itu, ia berusaha pulang ke apartemennya. Sesuai janjinya dan Inspektur Anton untuk setidaknya berusaha bertemu tatap muka sehari sekali. Seringkali Inspektur Anton yang pulang terlambat, seperti hari ini. Namun, ia berusaha mengerti dan menunggu inspektur itu. Untuk memberi privasi, inspektur Anton menyewa kamar lain yang dijadikan ‘ruang kerja kedua’. Kamar inspektur polisi itu penuh dengan berkas-berkas, foto tempat kejadian dari berbagai kasus yang tengah ditangani. Makin hari kasus yang berdatangan dari kesatuan lain makin menumpuk. Sebagai detektif berbakat “Masih banyak keganjilan yang harus diungkap.” Inspektur Anton merebahkan diri ke sofa di apartemen Selfi. Ia pulang terlambat lagi. Namun, sudah saling mengerti. Selfi membuatkan teh hangat untuk tunangannya. Ia mendekati inspektur polisi itu yang memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya ke sofa. “Hei, minum teh dulu biar hangat.” Inspektur Anton membuka mata. “Terima kasih.” Ia mengangkat kepalanya yang terasa berat dari sandaran sofa. Ia nampak masih canggung karena sekarang ada seorang gadis manis yang memerhatikannya. Kebahagiaan yang menghangatkan dadanya itu malah makin menyesakkan. Ia teringat ketika Selfi dibawa ke ibunya. Itu kali pertamanya ia bingung melihat ibunya menangis. Sebelumnya ia memang sering melihat ibunya menangis, namun waktu itu tangisnya berbeda. Tangis bahagia. “Loh, kok malah ngelamun.” Selfi mengamati wajah inspektur Anton dari dekat hingga hidungnya nyaris bersentuhan. Inspektur polisi itu nampak canggung dibuatnya. “Ngelamunin polwan cantik siapa hayoo?” goda Selfi. “Ya, namanya polwan dibilang cantik, bukan ganteng.” Inspektur Anton lantas menggenggam jemari Selfi yang mengenakan sarung tangan kulit. Akibat eksperimen evatoxin membuat keringat yang keluar dari kulit di jemarinya beracun. Ia memberi tanda agar gadis itu duduk di sofa di sampingnya. Selfi hanya tersenyum dan menurut saja. “Aku akan mengambil antitoksin adamin agar sisa racun evatoxin ditubuhmu bisa benar-benar bersih. Dosis yang tepat harus diberikan secara berkala.” Inspektur

Anton tersenyum sekejap. Lalu wajahnya nampak cemas. “Aku melihat tidurmu gelisah. Aku tak mau melihatmu tak bisa tidur karena evatoxin di tubuhmu itu. Sekarang antitoksinnya dalam tahap diproduksi lebih banyak lagi. Walau penelitian dan pengembangan menjadi tersendat karena tidak ada Evangela. Oya, aku kenal beberapa ilmuwan yang tengah meneliti racun itu. Mungkin mereka bisa dibujuk untuk memberikan antitoksin itu.” Selfi terdiam untuk beberapa lama. Ia hanya menghela napas. Kemudian berkata, “Antitoxin adamin berusaha diproduksi lagi walau tanpa Evangela. Entah ilmuwan itu ada di mana sekarang. Tapi, untuk sekarang kan persediaannya untuk para korban yang masih diopname? Belum lagi jika ada racun itu muncul lagi sebagai wabah menular. Dan tindakan menyelundupkan antitoksin kan ilegal?” “Iya, aku hanya ingin melihat kau tidur dengan tenang.” “Tidurmu juga gak tenang kan inspektur? Kadang pindah ke sofa, kadang tertidur di ruang kerja karena lembur, kadang tidur di dalam mobil... maklum karena sekarang kau menangani kasus besar lagi sejak kasus di hotel Merkuri.” “Kalau aku masih bisa menahan rasa sakit yang masih menyiksa dada… anehnya rasa sakit itu hilang sewaktu terkena hantaman benda keras.” Selfi memandang prihatin ke arah tunangannya. Ia berusaha tersenyum sembari mendekat lebih dekat. “Tapiii… kalau french kiss kayaknya gak bakal menular kok. Apalagi kau kan kebal? Mau coba?” Wajah Selfi menyiratkan antara serius dan setengah bercanda. Inspektur Anton hanya tersipu sembari mengusap ubun-ubun Selfi. Kemudian ia mencium dahi Selfi untuk beberapa lama. Gadis itu memejamkan mata ketika menerima kecupan di dahinya. Selfi yang tak tahan dengan kasih sayang yang meluap itu segera menyambutnya dengan pelukan erat. Ia menyandarkan kepalanya di dada Inspektur Anton. Memeluk tubuh inspektur Anton dengan erat seakan tak ingin berpisah lagi seperti ketika melihat pria itu koma sewaktu opname di rumah sakit. Entah kenapa air mata bergulir di pipinya. Ia tak paham perasaan yang campur aduk dalam batinnya. Awalnya ia hanyalah gadis selfish yang mengutamakan karir dan karir daripada orang-orang yang selama ini perhatian kepadanya. Ia tak menyadai bahwa inspektur polisi itu dari awal mengenali penyamarannya sebagai Agatha Casey Holmes. Berusaha melindunginya dengan memberikan teguran dan teguran agar tak mendekati mara bahaya. “Terima kasih… maafkan aku yang selama ini egois,” ujar Selfi lirih. Inspektur Anton mengusap-usap bahu tunangannya. Ia memberikan tanda agar tetap tenang. Kemudian bunyi perut inspektur polisi itu membuat Selfi menyadari sesuatu. “Eh, kau terlambat makan lagi? Kupesankan nasi goreng ya?” “Oya, aku baru ingat beli bahan-bahan untuk memasak. Ada di kulkas.” “Owh, kalau gitu biar kumasakkan sesuatu yang spesial ya. Tunggu di sini atau mau ikut ke dapur?” tanya Selfi sembari menarik tangan inspektur itu. Inspektur Anton hanya mengangguk sembari mengikuti kekasihnya ke dapur. Inspektur itu tau, sekarang ia tidak lagi sendiri, tidak bebas seperti dulu, ada belahan hatinya yang menjadi tambatan dermaga hatinya. Sekarang ia memiliki 'rumah' untuk pulang. Rumah yang sesungguhnya bersama keluarga barunya kelak. File Selanjutnya Update Lab. Forensik Update Daftar Isi Update GlosariumFile 27 Femme Fatale RENI JULIANA memandang ke arah ponselnya di atas ranjang. Entah sudah berapa kali. Ia tengah menunggu berita penting. Namun, sepenting apapun ia sudah tahu. Ia bukan tipe wanita bebal yang hanya bertampang cantik. Kedua tangannya bersedekap. Sesekali mondar-mandir di dalam ruang kamar. Lalu menengok keluar melalui jendela apartemennya. Gedung-gedung lain tampak terlihat

dari sana. Seolah ia tengah diawasi setiap waktu. Bergegas ia menarik gorden jendela dan menutupnya. Ruangan itu menjadi temaram. Di dalam ruangan yang temaram, ia jadi risau. Ia berubah pikiran lantas kembali menyalakan lampu kamar. Wajahnya menegang, meski begitu tetap cantik. Wanita berumur dua puluhan itu sudah seharian mendekam di dalam kamar. Sudah seminggu ia tidak masuk kantor. Ia kaya raya sekarang, merasa tak perlu kerja keras lagi seperti dulu. Bahkan ia telah berencana mengundurkan diri sebagai caddy. Menikmati masa-masa gemilangnya dan berfoya-foya bersama lelaki barunya. Karena hanya seorang diri, ia mengenakan kaos hijau tanpa lengan dan celana pendek yang menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya. Aroma asap rokok dari pria yang datang semalam ke kamarnya masih melekat di tengkuknya. Ia tidak akan keluar kamar sebelum datang perintah. Kulitnya yang putih tampak kontras di dalam kamar yang temaram. Bunyi dering ponsel berbunyi. Ia merenggut ponsel dari ranjangnya. Walau sudah dapat menebak isi panggilan itu. Suara pria di dalam ponsel terdengar santai. “Sudah beres. Jangan cemas,” “Lalu gimana, Pap?” suara Rani terdengar bergetar. “Loh—ya, seperti rencana semalam. Pulang dan bersiap pindah.” “Yakin sudah aman?” “Aman dari siapa? Wartawan? Polisi? Paparazi? Jangan khawatir.” “Ya, terima kasih.” “Jangan cemas, Nduk.” Kemudian pria di sambungan itu menutup ponselnya. Reni merasa debaran jantungnya mulai teratur. Ia mengenakan jaket menutupi kaosnya. Ia mengikat rambut panjangnya lalu mengenakan topi. Sebelum membuka pintu ia merendahkan lidah topinya. Wajahnya tersembunyi dalam bayangan lidah topinya. Reni keluar dari lobi apartemen dengan wajah tersembunyi. Tidak ada yang tahu bahwa wanita simpanan seorang direktur berada di sana. Di luar sudah ada seorang pria tegap yang menunggunya di sebelah mobil hitam. Berdiri di pintu yang terbuka. Di dalamnya seorang pria yang tadi meneleponnya. Dari luar mobil wajahnya tak tampak. Setelah masuk ke dalam kabin wajahnya baru terlihat. Wajahnya sangat familiar di TV. Setelah Reni berada di dalam kabin, pria itu membuka koper. Di dalam koper tampak setumpuk uang dolar ratusan dan rupiah dalam dalam dua pecahan, ratusan dan lima puluhan. Itu kedua kalinya ia melihat isi kopor itu. Pertama ketika dipegang suami sirinya, Nazrudin. Sekarang Reni beranjak ke bahtera lain setelah menyadari bahtera yang ditumpanginya mulai oleng di tengah ombak besar. Namun, kenangan bersama mantan suaminya yang telah tiada itu kembali berkelebat. Bahkan ia tidak dapat menghapus kejadian manis sebelum hari menjelang penembakan itu. Ia cukup terlatih memendam perih di hatinya. Ia sudah berpengalaman bagaimana agar jeritan hatinya tak sampai membuat bibirnya ikut menjerit. Kenangan masa silam itu menyeruak kembali dalam ingatannya. *** Beberapa hari yang lalu “Posisimu begini bareng Azhar,” ujar Nazrudin bergerak ke sofa. Memberi arahan. “Hanya merapat saja. Ingat, gak boleh lebih dari instruksi ini apalagi sampai intim. Soalnya ada yang akan cemburu di sini… dan cemburuku bisa benar-benar buta!” “Loh kenapa gak boleh? Ananta orangnya gagah juga kan, Pap? Ketua PKPN lagi.” Reni mengedipkan mata. Bulu matanya nampak lentik. “Coba aja. Atau kamu kupecat!” “Bercanda, Pap. Serius amat.” “Ya, harus serius dong. Ini serius… Nanti dibereskan di berita acara.” Nazrudin mengetahui berbagai informasi tentang situasi waktu itu. Istilahnya hendak mengail di air keruh. Setidaknya ada dua kubu yang sedang bertarung, perang urat syaraf, penyadapan ilegal, dan intrik politik. Seperti permainan catur, namun ia tidak berada di pihak putih atau hitam. Ia berada di kubunya sendiri; uang, wanita dan

kedudukan. Meski bergelut dengan politik, namun ia tidak suka berada di sana terlalu lama. Ia lebih suka memukul bola di lapangan golf atau mengencani beberapa teman wanitanya. Nama pria yang disebutnya adalah Ananta Azhar. Ia biasa bertemu Azhar di lapangan golf atau di kantor sebagai penyidik kasus korupsi. Azhar adalah ketua di KPKN, Komisi Pemberantasan Korupsi Nasional. Awalnya mereka saling membantu memberikan informasi seputar bisnis dan korupsi bersama pejabat dan kepolisian. Mereka biasa bertemu di lapangan golf Moderland. Azhar juga memiliki kepentingan bekerja sama dengan nara sumber pelaku bisnis dan intelijen di kepolisian. Namun, hubungan mereka berbalik ketika Azhar tidak menggubris laporan korupsi yang diajukannya. Laporan korupsi untuk menjerat lawan bisnisnya. Azhar pun mengetahui perusahaan Nazrudin juga tidak bersih dari tindak korupsi. Bahkan salah satu kasus terlibat dalam pendanaan racun evatoxin. “Papa gak cemburu kan?” Reni memagut bahu Nazrudin. Manja. Kakinya disilangkan hingga blusnya terangkat. Kulitnya yang kuning langsat selaras dengan warna blusnya. Sekilas kulitnya nampak polos, namun jika diperhatikan ada bekas tato kecil bergambar kupu-kupu yang berusaha dihapus. “Cemburu pasti. Dan itu bukti cinta.” Nazrudin membalas pelukan Reni. “Gombal, ah. Emang cinta masih ada?” “Kau menyebutnya apa? Uang? Perhiasan? Dasar cewek matre.” “Idih, cowok juga matree kok….” Reni menggoda pria itu. Naluri primitif Nazrudin makin mendesir. Namun, kilatan tidak biasa di mata Reni membuatnya menghindar. Tidak seperti malam-malam biasanya. Di kedalaman mata gadis itu kini lebih bercahaya dari sebelumnya. Apalagi senyum tipisnya… “Kenapa? Capek?” tanya Reni kembali menarik-narik kemeja Nazrudin. “Istirahat saja, karena besok kau akan bertemu Ananta.” “Kalau udah bosen bilang…,” sindir Reni datar. “Apa ada caddy lain yang lebih hot dari saya?” Nazrudin melayangkan jemarinya menampar Reni. Wajah Reni tertunduk lesu tertutup rambutnya yang tergerai panjang sebahu. Namun, hal itu hanya ada dalam bayangan Nazrudin. Jemarinya terkepal menahan emosi dalam dadanya. Ia tidak ingin mengacaukan rencana yang telah lama diatur hanya demi luapan emosi sekejap. “Kau harus pintar kalau ngomong. Apalagi di hadapan Azhar.” Kali ini Nazrudin kembali serius. Reni dapat melihat perubahan raut wajah Nazrudin. Ia mundur lalu merapikan blusnya. “Ya—udah Reni ngerti… ngerti Pap. Besok di kamar hotel 803 Grand Mahakam. Aman dari evatoxin kan? Oya, bagaimana dengan sopirnya?” *** Reni menyadari dirinya tengah berada di kabin mobil. Ia masih mengenang masamasa bersama mantan suaminya yang telah tiada. "Hey, ngelamun saja." “Oya, bagaimana dengan sopirnya?” tanya Reni. “Sopir siapa?” “Sopir Pak Naz?” “Sudah diperiksa di kantor. Gak usah cemas.” “Orang yang terlalu banyak tahu itu berbahaya,” ujar Reni. Ucapannya seperti ditujukan untuk dirinya sendiri dan orang yang duduk di sampingnya. “Sudah ngerti kau cerdas. Orang yang banyak tahu memang berbahaya. Seperti Nazrudin, kau—aku. Tapi hanya yang beruntung yang bisa selamat.” “Kita beruntung?” “Ya, udah jelas, situasinya mendukung.” “Menurut saya Anda yang lebih beruntung.” “Terserahlah. Yang penting kamu jadi primadona dalam cerita ini. Wanita cantik pemikat bos-bos besar harus ada. Seperti film James Bond!” Pria itu terkekeh. “Ah, bapak bisa aja.” “Chercez la femme,” pungkas pria itu berbahasa Prancis. “Cari wanitanya.” “Iya, udah tau. Tapi saya udah di sini, Pak. Gak usah jelalatan ke mana-mana.” Reni berusaha mencairkan suasana dengan bercanda. Pria itu hanya terkekeh. Selain cantik, wanita di sampingnya juga cerdas.

***

“Cari wanitanya. Maka kau akan dapatkan motifnya,” ujar pria itu sembari mengayunkan tongkat golfnya seraya memberikan arahan. Desingan udara terdengar ketika tongkat golf membelah udara. Di dekat pria itu seorang caddy mengerutkan dahi, tidak mengerti apa yang dibicarakan. Ia hanya tertarik dengan tips yang akan diberikan padanya setelah permainan selesai. Tipsnya tergantung kemampuannya memasang tampang polos, senyum manis dengan gincu merah merona di bibir. Ia juga lebih pandai menggerakkan tubuhnya seperti peragawati di panggung catwalk daripada memahami tentang selukbeluk hal berbau politik yang didengarnya di tempat itu. Satu jam lalu ia adalah pejabat tinggi negara dengan seragam dan pangkatnya. Namun, kini ia telah berganti mengenakan baju yang lebih santai. Tiga anak buahnya mengikuti ke mana langkahnya. Sebelumnya mereka pernah mendengar kata-kata itu. Namun, kali ini berbeda karena tidak jauh dari tempat itu telah terjadi pembunuhan. Pria itu sudah sedikit santai karena semua kartu sudah berada di tangannya, juga kopor uangnya. Ketiga anak buahnya kembali ke lapangan golf setelah menuntaskan tugas mereka. Sekarang giliran tim lain yang bergerak. Seperti efek domino. Yang lain akan otomatis bergerak tanpa diperintah dan tanpa mengetahui siapa yang memulainya. “Nanti malam kalian datangi keluarga korban. Buatlah jadi dendam pribadi antar keluarga. Habislah Ananta.” “Siap Ndan.” Gila benar… Batin salah satu anak buahnya. Hanya berani membatin. Tugas satu belum kelar sudah datang tugas lain. Suka atau tidak suka, perintah harus dijalankan atau tak mendapat bayaran. Jam tiga dini hari itu, mereka mendatangi rumah Nazrudin. Setelah mengawasi rumah dr. Watsen Munim dan Ananta. Mereka bertemu dengan adik Nazrudin, Adi Zulfikar. Kemudian menunjukkan foto-foto kematian kakaknya yang menjadi korban penembakan. Mereka mengatakan korban Nazrudin terlibat cinta segitiga dengan Reni dan Ananta. Detailnya mereka simpan untuk nanti di pengadilan. Biarlah tim lain yang melakukan penyidikan mendalam, yang mereka butuhkan hanya sebuah cerita seperti novel picisan di berita acara. Namun, berita acara tanpa penyidikan adalah konyol. Lima belas jam setelah penembakan, motif pembunuhan berencana telah ditemukan. Mengalahkan rekor pemecahan kasus manapun di dunia. Namun, ketiga pria itu tidak sadar bahwa mereka tengah diawasi. Mereka lengah karena sibuk mengawasi target. Malah tidak sadar mereka juga tengah dikuntit. Pria bernama sandi Ghost telah menguntit mereka sejak dari RSCM. Helm yang dikenakan Ghost menyamarkan wajahnya. Apalagi ia menyewa sepeda motor dengan nama samaran sehingga akan cukup sulit melacaknya. Ia juga memiliki identitas ganda dari aset yang memang disediakan untuknya secara rahasia dan hanya dirinya saja yang bisa menggunakan beberapa identitas itu. Lima belas jam sejak penembak misterius menggantikan dirinya. Sniper misterius yang seharusnya tidak ada dalam plan A dan B. Dan ia baru mengetahui bahwa ada plan C yang tak pernah diketahuinya. Jika harus terpaksa ia sudah siap menghadapi rekanrekannya sendiri. Apalagi ia cukup mengenal cara kerja dan sistem masing-masing unit yang bergerak di bawah tanah. Dan sekarang, ia makin bertekad menggantikan mereka sebagai umpan hidup! Ia merencanakan pembalasan yang setimpal karena telah menjadikan dirinya sebagai DPO; sebagai buronan polisi. File Selanjutnya Update Daftar IsiFile 28 Code Name: Ghost LIMA BELAS jam setelah kejadian penembakan, pria bernama sandi Ghost tidak pulang ke apartemennya. Karena belum berkeluarga, ia lebih mudah bergerak. Sejak siang ia mengikuti ambulan yang membawa mayat Nazrudin dari TKP ke rumah sakit. Tak seorang pun yang mengenali penyamarannya. Di RS Mayapada ia mendapatkan baju korban yang tergeletak di sudut ruang UGD. Lalu di RSPAD Gatot Subroto ia mendapatkan rambut kepala korban dari tempat sampah. Penyamaran sebagai pasien atau cleaning

service memudahkannya. Malam itu, Ghost mengawasi mobil VW yang keluar perlahan dari RSCM. Ia kenal dengan dr. Watsen Munim, walau tak begitu akrab. Bahkan ia pernah diperintah untuk untuk mencelakakan dokter itu dengan cara menyabotase mobilnya. Namun, dokter itu hanya mengalami luka ringan. Kali ini ia membutuhkan dr. Watsen untuk menjelaskan kasus itu kepadanya. Ghost nyaris tak beregrak di dalam mobil sewaan di seberang jalan. Ia tidak tenang berada di dalam apartemannya, jadi ia berada di jalanan. Apalagi rekanrekannya yang lain memilih untuk menjaga jarak selama beberapa waktu, sesuai rencana mereka. Setelah ia mengatakan bahwa ada rencana lain dan mereka dalam bahaya, rekannya-rekannya segera berpencar ke persembunyian masing-masing. Bahkan beberapa keluarga mereka mengungsi untuk sementara. Mereka tahu lebih aman menyerahkan diri daripada lenyap satu persatu tanpa jejak. Selang beberapa menit, Ghost melihat mobil lain mengikuti VW itu. Di dalam mobil itu terlihat dua orang pria yang sedari tadi dikuntitnya. Pria ketiga tengah mengawasi rumah Ananta. Ia hendak mendapatkan informasi hasil visum korban Nazrudin. Menurut dugaannya korban sudah tewas sebelum berada di dalam mobil. Jika benar-benar sniper lain menembak ketika mobil bergerak, berarti memang beruntung. Ya, sangat beruntung. Karena menembak dari luar jendela mobil terlalu berisiko gagal. Selain sulitnya menembak objek bergerak juga korban tidak benar-benar tewas. Ghost menduga ada rencana cadangan yang telah dipersiapkan, plan D, jika korban masih hidup atau masih sekarat. Assassin atau pembunuh bayaran lain pasti ditempatkan di lapangan golf, jalanan bahkan di rumah sakit. Mereka bisa saja terpisah dari tim lain dan bergerak seorang diri. Bahkan baru tahu misi mereka setelah mendapat perintah saat itu juga. Menunggu memang tidak efisien. Ia menduga di ruang jenazah itu ada mayat korban. Beserta bukti-bukti yang mungkin masih melekat di tubuh korban. Jadi diam-diam ia menyelinap ke dalam RSCM. Ghost berpura-pura sebagai keluarga pasien yang datang menjenguk. Ia melewati pengawasan satpam. Namun, setelah susah payah masuk ke kamar mayat, di sana ia melihat tubuh korban Nazrudin sudah bersih. Sebelum keluar ia mengambil foto kepala korban dengan kamera ponselnya. Ia menyadari peluru yang menembus kepala korban dimuntahkan dari sniper. Bukti penting lain telah berada dalam mobilnya. Hanya saja ia tidak memiliki alat untuk memeriksa bukti penting itu. Kecuali ia meminta bantuan ahli forensik untuk memeriksanya. Atau membuat eksperimen sendiri. Ghost yakin dokter Watsen Munim adalah orang yang tepat untuk diajak kerja sama, namun, ia sadar akan menarik perhatian. Jika dr. Watsen termasuk bagian dari skenario berarti tengah diawasi. Terutama oleh reserse yang memang bertugas mengawasi dr. Watsen. Jadi, ia hendak mendatangi ahli forensik lain. Ghost hendak menutup ruang pendingan ketika seorang perawat melewatinya. “Anda siapa ya? Kok masuk ke mari?” tanya perawat itu. “Saya keluarga korban,” ujar Ghost berusaha nampak wajar. “Ada surat ijinnya?” “Ketinggalan di mobil, akan saya ambil.” Ghost balik kucing. Perawat itu mulai curiga, ia memanggil satpam yang berada di sekitar sana. Ghost bergegas melewati perawat itu. Ruang pendingin belum tertutup penuh. Di sana terlihat mayat korban penembakan Nazrudin yang masih terbuka. “Hei, tunggu!” seru satpam itu. Ghost mulai mempercepat langkahnya hingga mulai berlari melewati lorong, nyaris menabrak brankar. Kemudian Ia mendorong brankar hingga melintang di lorong. Berusaha menahan satpam. Namun, satpam itu tampak berbicara melalui HT. Ia meminta bantuan dari luar. Karena hendak dikepung, Ghost memilih jalan lain menuju ke trotoar tempat mobilnya berada. Ia berusaha menghindari CCTV. Namun, wajahnya sempat terekam salah satu kamera itu. Sesampai di mobilnya, ia mendengar bunyi sirine. Ia menutupi wajah ketika mobil polisi melewatinya. Ia masuk ke dalam mobil dan menunggu beberapa lama. Beberapa satpam dan pria berjaket hitam tampak keluar dari pelataran. Ia mematikan lampu dalam mobil. Sekuriti RSCM masih memeriksa keadaan di luar, ketika Ghost memutuskan

untuk memeriksa ruang apartemennya. Sesampai di apartemen, ia tidak kaget melihat kamarnya diacak-acak. Sepeda motor es krim yang berada di tempat parkir juga dirusak. Untung ia telah memindah tas sniper ke bagasi mobil. Ia mengambil pakaian dan barang penting seperlunya lalu keluar dari apartemen. Ia tidak mengindahkan panggilan pemilik apartemen di ujung lorong. Malam itu, Ghost memutuskan tidur di luar apartemennya. Ia memilih tidur di dalam mobilnya dengan alarm dan kamera mini yang ditaruh di atas kabin mobilnya, jadi ia bisa merekam aktivitas di luar mobil. Ia sudah terbiasa tidur hanya dua jam sembari memegang pistol di tangan. *** “Polisi masih menyelidiki kasus penembakan Nazrudin Zulfikar, direktur PT Rajawali Putra. Korban ditembak di kepala oleh dua pria misterius dalam perjalanan usai bermain golf di kawasan Modernland, Tangerang, hari sabtu lalu. Polisi juga menduga pejabat negara terlibat dalam penembakan Nazrudin. Berdasarkan pengakuan adik korban, Nazrudin pernah menerima ancaman dari salah satu pejabat negara. Ditengarai penembakan juga terkait dengan kasus korupsi di Departemen Kesehatan yang telah dilaporkan oleh korban kepada KPKN. Perusahaan PT Rajawali Putra merupakan perusahaan yang menyediakan peralatan medis dan mendanai penelitian evatoxin. Selain itu perusahaan lain juga menjadi pesaingnya. Pada selasa malam, tim buser Polres Metro Tangerang beserta Polda Metro Jaya melakukan pengejaran para pelaku yang diduga masih berada di Jabodetabek. Polisi memeriksa beberapa saksi mata yang berada di lapangan golf, jalan raya dan di rumah sakit. Namun, polisi membantah telah mengetahui motif penembakan dan mengelak membeberkan nama-nama tersangka. Seperti yang dikatakan oleh adik Nazrudin bahwa polisi telah mengetahui motif dan tersangkanya yaitu cinta segitiga antara Nazrudin, Ananta dan Reni Juliana, seorang caddy dari Modernland. Beberapa petugas kepolisian nampak disiagakan siang malam bergiliran di rumah keluarga Nazrudin karena adanya SMS teror dan telepon ancaman… Tetap di program acara Fakta dan Kriminal… kami akan kembali setelah pariwara berikut ini… jangan ke mana-mana tetap di Metropolis TV.” Suara Selfi Lena, penyiar acara program Fakta dan Kriminal terdengar dari dalam ruang apartemen itu. “Tiga belas saksi… siapa Reni Juliana?” gumam Ghost lalu berdeham sembari melangkah melewati monitor TV layar datar yang berjejer di rak swalayan. Ia beruntung karena siang itu sempat mendengar berita penembakan di TV. Karena itu ia membeli surat kabar dari beberapa media sekaligus. Mungkin yang mengacak-acak apartemennya semalam adalah anggota buru sergap, untung ia membawa serta laptop dan perlengkapan lain di dalam mobil. Sehari sejak kejadian penembakan ia masih memakai topi penyamarannya. Ia membeli keperluan sehari-hari di dalam swalayan kemudian memutuskan pergi ke toko bahan kimia. Ia hendak memeriksa residu mesiu di baju korban melalui tes alpha naphthylamine. Jika benar ada residu mesiu di baju korban berarti Nazrudin ditembak di dalam mobil tanpa penghalang atau dieksekusi di tempat lain. Di toko bahan kimia ia membeli kertas saring whatman, bahan kimia alpha naphthylamine dan sebotol aquades. Siang itu ia mencari hotel kecil untuk tempat menginap sehari. Di dalam kamar hotel setelah beristirahat dua jam dan mengisi perut, Ghost mulai memeriksa pakaian korban. Ia melarutkan bahan kimia lalu memakai kertas saring. Kemudian ia meletakkan potongan baju korban di atasnya dan meletakkan lagi kertas saring yang telah dibasahi aquades. Lalu meletakkan mug kopi alumunium yang telah dipanaskan di atas kompor listrik. Ketika melihat bercakbercak warna merah muda pada kertas saring, ia tahu bahwa korban ditembak tanpa menggunakan penghalang. Peluang korban dieksekusi di tempat lain tidak nol. Sekarang, ia harus mengetahui di mana korban dieksekusi sebenarnya. Di dalam mobil atau di tempat lapangan golf. Ketika memeriksa rambut korban, ia juga menemukan bekas terbakar bukti bahwa ada tembakan dari jarak dekat. Karena itu ia harus berhati-hati, bisa jadi pelakunya adalah orang yang dikenalnya. Ia sudah bersiap jika harus berhadapan dengan temannya sendiri. Apalagi ia pernah melihat

cara kerja dan sedikit banyak mengetahui strategi mereka. *** Selfi cengar-cengir melihat rekaman acaranya sendiri. Program acara Fakta dan Kriminal mengenai kasus penembakan itu masih dalam tahap penyelidikan. Sore itu ia tidak ada acara selain bersantai, untungnya Denara telah memberinya kelonggaran, apalagi ia diingatkan oleh kekasihnya agar mengurangi investigasinya. Sementara menunggu inspektur polisi itu pulang, ia bersantai-santai menonton TV. Pandangan Selfi memang ke arah TV, namun pikirannya tidak. Sedari tadi ia teringat hal lucu ketika tengah merekam kejadian itu Inspektur Anton tiba-tiba datang ke dalam studio. Karena sebagai inspektur polisi, sekuriti yang menjaga tak dapat berbuat apapun. “Loh, ngapain ke sini? Belum kelar ini. Kurang setengah jam lagi setelah itu break kita lunch bareng ya.” Selfi mendekati inspektur polisi itu yang nampak salah tingkah. “Ya, itu, aku mau mengabarkan bahwa nampaknya aku akan menginap lagi di kantor.” “Kenapa gak lewat ponsel saja?” “Kalau bertatap muka kan lebih enak ketimbang chat online.” “Aku percaya kok… eh, jangan-jangan kamu yang kangen?” Selfi menggoda inspektur polisi itu. Inspektur Anton hanya tersenyum mendengarnya. Alasan sebenarnya, ia cemas karena sekali lagi Selfi dan Denara akan terlibat dalam kasus pelik yang beresiko tinggi. Bahkan dirinya tak dapat berbuat banyak melawan rekan-rekannya sendiri. Apalagi ia termasuk dalam dalam tiga belas saksi yang diperiksa oleh rekannya sendiri. Namun, ia masih mencari kata-kata yang tepat agar Selfi tidak terlibat lagi di dalam kasus yang berbahaya itu. Inspektur Anton mulai merasakan kecurigaan rekan-rekannya sejak dirinya melibatkan diri menyelidiki kasus penembakan misterius itu. Walau duduk di samping Selfi dalam perjalanan mencari makan siang. Setelah itu makan siang, Inspektur Anton kembali lagi dalam tugas penyelidikan. *** Pagi tadi Inspektur Anton diperiksa rekannya sendiri di tempat terpisah. Semua yang diketahuinya tentang kasus itu dicatat karena hendak melengkapi bukti penyidikan. Termasuk temuannya tentang proyektil yang bersarang di jok. Ia juga adalah petugas jaga yang pertama kali menerima laporan penembakan. “Jam berapa Anda menerima laporan penembakan?” tanya rekannya. “Sekitar pukul satu siang, 13.00.” “Siapa yang menghubungi?” “Petugas patroli di sana menghubungi saya. Kemudian ketika saya ke TKP mobil BMW itu sudah bergerak ke arah RS Mayapada. Mobil itu kemudian kami bawa lagi ke TKP untuk penyidikan. Sopir itu menunjukkan posisi terakhir mobil. Kami sempat menutup jalur dengan garis polisi, tapi tidak lama dibuka kembali.” “Apa yang Anda temukan di TKP?” “Hmm... jejak ban, selongsong peluru. Kami juga mendapat rekaman CCTV yang ada di depan beberapa bangunan di sekitar TKP.” “Anda juga membawa mobil BMW ke garasi untuk diperiksa?” “Ya, sekarang masih ada di garasi.” “Apa yang Anda temukan dalam mobil itu?” “Penyidikan masih belum selesai.” “Anda berhenti menyelidiki mobil itu karena barang bukti sudah ditemukan. Mobil itu akan segera disegel. Kami juga meminta semua catatan penyidikan selama Anda di TKP.” “Akan segera saya berikan.” Namun, sampai keesokan harinya Inspektur Anton masih belum melaporkan hasil penyidikannya. Alasannya karena belum selesai. “Aku harus memeriksa kembali rongsokan mobil itu…,” gumam Inspektur Anton. Walau terpaksa meninggalkan acara makan malam bersama Selfi. Ia harus mengorbankan rencana jangka pendek, untuk keselamatan orang-orang terdekatnya. Bisakah kali ini, Ghost maupun Inspektur Anton memecahkan kasus penembakan misterius di Modernland? Bisakah mereka mengungkap kasus itu sebelum menjadi korban

penembakan yang berikutnya? File Selanjutnya Update Glosarium Update Folder Detektif Update Daftar IsiFile 29 Investigasi Tiga Dimensi MALAM hari itu di garasi ruang forensik, Inspektur Anton masih memeriksa mobil korban. Ia sudah melupakan pesan teks yang dikirimkan kepada Selfi bahwa dirinya pulang telat, lagi. Ia sudah terbiasa lembur di Lab. Forensik. Karena waktunya makin sempit, ia menyisir kembali seluruh bagian jok mobil. Ia membawa lampu UV dan luminol. Bahkan ia membuat gambar denah mobil berikut lintasan tembakan. Ia juga menemukan jejak darah di sandaran jok depan bagian kanan, tepat di belakang supir. Jejak darah yang mengering itu muncul pada tes luminol yang dilakukannya. Anehnya di atas jok malah tidak ditemukan jejak darah. Ketika menyemprot cairan luminol di jendela mobil kanan juga bersih dari darah. Seharusnya tembakan jarak dekat dari jendela ke arah kepala membuat cipratan darah menyebar di sekitar jok dan jendela dalam mobil. Ia juga menemukan jejak darah di luar pintu mobil dan di bawah jok di atas karpet. Rasa lelah menggelayut di pundak inspektur polisi itu. Lehernya seperti berkalung baja. Kemudian bunyi dengungan itu terdengar kembali. Anehnya ia tak mendengar suara-suara dari dalam kabin mobil itu. Seperti suara hantu yang terperangkap di dalam kabin itu. Tidak berapa lama ia menyandarkan diri di jok mobil lalu memejamkan mata. Awalnya ia hendak beristirahat sejenak, namun kemudian terdengar suara panik. Suara yang terdengar dari jok depan. Suara yang menyebut asma Tuhan dan terdengar seperti gumaman doa itu berada di arah kemudi mobil. Kenapa hanya terdengar satu suara? Apakah suara si sopir? Kenapa tidak terdengar suara korban? Tiba-tiba bunyi letusan terdengar tepat dari samping inspektur polisi itu. Bersamaan dengan bunyi kaca pecah. Setelah itu hening… kemudian terdengar lagi suara-suara panik dari kejauhan. Suara-suara orang-orang yang berdatangan di sekitar TKP, sekejap kemudian suara itu makin menjauh hingga akhirnya lenyap. Apa yang terjadi sebenarnya? Inspektur Anton beranjak dari jok dan keluar dari kabin. Kemudian ia menghitung ketinggian sepeda motor Yamaha Scorpio sesuai ciri-ciri sepeda motor yang ditumpangi penembak. Ia menggunakan simulasi hologram tiga dimensi dari program yang ada di dalam komputer Labfor. Gambar hologram tiga dimensi sepeda motor itu didekatkan dan diukur dengan cermat. Penanda laser ditempelkan di kedua lubang jendela. Ia mendapati dua lubang peluru di jok kiri mobil yang proyektilnya telah diambil. Jadi kedua peluru itu pasti telah menembus tubuh korban. Atau sama sekali tidak mengenai tubuh korban? Dari gambar yang dibuatnya jika korban memang duduk di jok kiri peluru itu memang akan mengenai kepalanya. Apalagi jika korban tidak bergerak dan diam saja di sana. Tapi tidak mungkin korban diam saja ketika mobilnya dihadang Avanza silver atau ketika sepeda motor itu mendekat. Dari dalam kaca jendela mobil, korban akan leluasa melihat pelaku, tetapi pelaku tidak dapat melihat korban. Inspektur Anton menuliskan hasil kesimpulannya: 1. Korban tidak duduk di jok kiri 2. Jejak darah ditemukan di bawah jok kanan di atas karpet. Namun, percikan darah sedikit. 3. Ada dua lubang bekas proyektil di jok kanan. 4. Kedua peluru itu menembus kepala korban. Atau tidak mengenai korban sama sekali. 5. Gotri atau proyektil peluru ketiga masih ada di dalam lubang di sandaran jok. 6. Ditemukan jejak mesiu di kabin dekat jok supir.

7. Darah juga ditemukan di luar pintu mobik sebelah kanan. 8. Anehnya tidak ditemukan jejak darah di jok belakang dan di jendela. Setelah selesai menulis laporan, Inspektur Anton memberikannya kepada rekan satu timnya di Bareskrim dan Labfor. Namun, mereka hanya tersenyum. “Hah, ini gak bisa membuktikan apapun. Karena berbeda dengan keadaan korban," ujar rekan inspektur itu. “Tapi gimana jika korban dieksekusi di luar mobil atau di dalam?” tanya Inspektur Anton, lebih terdengar seperti meyakinkan dirinya sendiri. “Jangan ngawur, waktu itu jelas-jelas ditonton banyak orang di tempat umum. Gimana bisa mengeksekusi korban di luar atau dari dalam mobil?” “Supir itu saksi kuncinya.” “Ya—ya mungkin inspektur ada benarnya. Supir itu sedang kami periksa sekarang.” “Bisa saya menemui supir itu? Siapa namanya?” “Tak perlu karena sudah ada petugas yang memeriksa.” “Di mana, kok tadi saya cari gak ada di kantor?” “Oh, sudah pulang mungkin.” Inspektur Anton hanya diam saja ketika rekannya membawa laporannya. Namun, ia berjanji akan menemukan supir itu. Sehari setelah penembakan supir itu menghilang dari rumahnya. Inspektur Anton tidak mengetahui di mana rekan-rekannya membawa supir itu. Supir itu mengetahui kebiasaan korban dan berada di dalam mobil bersama korban. Ia harus menemukan saksi kunci lain, yaitu Reni Juliana yang disebut sebagai wanita dibalik motif cinta segitiga. Namun, ketika ia datang ke rumah Reni, rumahnya sudah kosong. Bukan hanya saksi kunci yang menghilang, keluarganya pun juga ikut mengungsi. Di sana ia malah bertemu dengan seorang wartawan yang bertanya tentang tiga belas saksi kepadanya. Awalnya ia menolak memberi informasi, tapi karena wartawan itu mengetahui di mana letak pakaian dan rambut kepala korban, merupakan pertukaran yang bagus. Meski ia merasa telah dibodohi. Karena tidak ada lagi pakaian korban di sana. *** “Dua saksi kunci menghilang sehari sejak penembakan,” gumam Ghost. Ia baru saja memeriksa rumah supir dan rumah keluarga Reni Juliana. Ia mengumpulkan berita penembakan dari berbagai media. Dari media ia menemukan nama adik korban Adi Zulfikar yang ikut menjadi saksi, juga Ananta, ketua KPKN, dan Reni Juliana, seorang caddy di Modernland. Dari dalam mobil ia juga melihat seorang petugas polisi yang tampak mondarmandir di rumah itu lalu pergi. Sepertinya polisi masih mengawasi rumah itu sekaligus menyembunyikan saksi kunci berikut keluarganya. Apakah mereka takut seorang pembunuh bayaran seperti dirinya membantai satu keluarga? Untuk apa? Alasan menyembunyikan satu keluarga menjadi tidak logis. Kecuali memang ada informasi yang berusaha disembunyikan. Ketika ia melihat seorang pria tegap berjaket kembali menuju rumah Reni, ia bergegas keluar dari dalam mobil. Ia yakin pria itu juga seorang polisi. Tidak seperti polisi tadi yang mengenakan seragam, pria kedua tampak lebih lama mengawasi rumah itu. Sepertinya ia tidak tahu bahwa keluarga Reni telah mengungsi. “Bapak tahu ke mana perginya orang-orang di rumah itu?” Ghost mendekati pria berjaket itu. Ia telah memakai topi berikut rambut keriting palsu yang menutupi rambut cepaknya. “Maaf, saya bukan orang sini,” tanya pria itu hendak bergegas pergi. “Tunggu... saya wartawan kota. Kalau bukan orang sini, bapak siapa?” Awalnya pria itu ragu-ragu. Kemudia ia berkata. “Saya polisi di wilayah ini.” “Tadi saya juga melihat polisi mondar-mandir di tempat ini.” “Oh, itu rekan saya.” “Bapak tahu siapa saja tiga belas saksi itu?” “Saya juga tengah menyelidikinya. Maaf, saya tidak bisa katakan namanya.” “Saya tahu letak pakaian dan rambut kepala korban. Jika mau bertukar info.” Untuk beberapa lama pria itu kembali menimbang-nimbang. “Anda jangan bohong. Sekarang juga Anda bisa saya bawa ke kantor polisi,” ancam

polisi itu. Namun, wajahnya tidak benar-benar tampak serius. “Ini kartu nama saya, Fadil, wartawan Metro.” Ghost menyerahkan kartu wartawan palsu yang telah disiapkannya. Namun, polisi itu hanya memeriksa sekilas. Benar ada foto pria itu di kartu yang bertuliskan PERS. “Jadi, anda punya informasi mengenai pakaian korban yang hilang?” “Ya... jadi anda benar-benar polisi atau detektif swasta?” “Saya Inspektur Anton. Jadi di mana pakaian korban berada?” “Boleh tahu siapa saja ketiga belas saksi itu?” Inspektur Anton mengeluarkan notes dan menulis sesuatu. Lalu mengangsurkan selembar kertas itu kepada Ghost. “Ini nama ketiga belas saksi yang sedang saya selidiki. Agak berbeda dengan tiga belas nama yang dipegang rekan-rekan saya.” “Kok bisa beda ya, Pak?” “Rekan-rekan saya lebih memilih jalur yang mudah.” “Oh, begitu… Oya, pakaian korban ada di sekitar UGD RS Mayapada.” “Tapi, saya sudah cari ke sana.” “Di tempat sampah?” “Ya, bahkan di tempat sampah.” “Oh, berarti sudah dibersihin, Pak.” “Oke, nanti saya periksa lagi ke sana.” Ghost berbalik menjauhi Inspektur Anton. Inspektur polisi itu juga tidak berkata-kata apapun lagi. Namun, ia memotret dengan kamera ponsel, khususnya ciri-ciri mobil Ghost. Termasuk plat nomernya untul berjaga-jaga. Ghost sudah mengetahui bahwa polisi itu akan mencatat mobilnya. Ia tenang saja karena nomor platnya palsu. Kecuali ciri-ciri fisik mobilnya, sedan Civic hitam. Di dalam mobil yang terparkir Ghost mengeluarkan laptop dan mencatat 13 saksi seperti yang tertulis di atas kertas. Tanpa banyak catatan tambahan. Di sana tertulis: Saksi 1 Supir korban, Suparman. Saksi 2 Pejalan kaki, Erwin yang hendak memancing Saksi 3 Pedagang asongan, Sardi yang berada di trotoar bersama Erwin Saksi 4 Reni Juliana, kekasih Nazrudin Saksi 5 Ananta, ketua KPKN Saksi 6 Adi Zulfikar, adik Nazrudin Saksi 7 Heri, Manajer Modernland Saksi 8 Saskia, salah satu caddy Modernland Saksi 9 Melani, perawat UGD RS Mayapada Saksi 10 Anto, perawat RSPAD Gatot Subroto Saksi 11 Toni, petugas patroli di sekitar TKP Saksi 12 dr. Watsen Munim, saksi forensik Saksi 13 Inspektur Anton, penyelidik kasus penembakan “Inspektur Anton….” gumam Ghost. “Saksi ketigabelas.” Ia sadar untuk menyelidiki kasus itu ia harus kembali ke tempat awal. Dari lapangan golf Modernland. *** Inspektur Anton memeriksa sketsa wajah pelaku penembakan. Ia tidak mengerti dari mana rekannya mendapat sketsa wajah utuh pelaku serinci itu. Padahal menurut saksi pejalan kaki di sekitar TKP, mereka juga memakai helm topong. Jika helm topong standar terbuka yang akan terlihat hanya bagian mata dan hidung. Rencana penembakan telah direncanakan dengan matang. Apalagi para pelaku menyiapkan dua kendaraan. Sesuai olah TKP dari beberapa saksi yang iilustrasikan. Wajah yang memakai helm akan sulit dilihat, apalagi mengenai bentuk wajah oval atau kotak. Biasanya sketsa pelaku akan dicocokkan beberapa kali dengan beberapa saksi. Kadang antara satu saksi dengan yang lain berbeda informasinya. Para tersangka pasti akan menyembunyikan wajah mereka juga menutup nomor plat kendaraan mereka hanya selama aksi berjalan. Adanya saksi pedagang asongan yang

melihat pelaku membeli ketoprak juga cukup aneh. Pelaku penembakan tidak akan begitu saja membeli makanan di sekitar TKP pada hari ketika mereka harus mencabut nyawa seseorang di sana. Ia juga mencoba menanyakan kehadiran wartawan Metro bernama Fadil kepada rekanrekannya, namun mereka tidak pernah mendengar nama itu. Ia lalu melacak nama itu di kantor surat kabar Metro. Memang ada wartawan bernama Fadil, namun seorang perempuan. Ia menduga pria misterius yang ditemuinya seorang detektif partikelir atau… salah satu pelaku penembakan? Ghost? Walau ia memiliki foto ponsel mengenai ciri-ciri pria misterius yang mengaku wartawan itu berikut ciri fisik mobilnya, namun ia tak yakin dapat mengungkap identitasnya. Apakah aku telah bertemu dengan hantu? Ghost? Inspektur Anton hanya dapat bertanya-tanya dalam hati. File Selanjutnya Update Lab. Forensik Update Glosarium Update Daftar Isi File 30 Sang Srikandi “YA, saya kenal Reni, orangnya cantik tapi pilih-pilih teman,” ujar caddy di sebelah Ghost. Ghost sedang menyamar sebagai pengunjung di lapangan golf. Wajahnya tertutup bayangan lidah topi golfnya. Ia berancang-ancang memukul dari teebox sembari berusaha mengorek keterangan. Karena siapa saja dapat mendaftar sebagai pemain golf di Modernland, asal memiliki biaya yang cukup. Ia bertanya seputar Reni, Nazrudin dan Ananta di tempat itu. Karena hanya obrolan seraya bermain golf, caddy yang bersamanya tidak curiga. Apalagi topik itu tengah hangat di media cetak dan TV. “Jadi Reni orangnya pilih-pilih teman?” Ghost masih belum memukul. Ia mengulur waktu. Bersikap seperti pegolf profesional. “Ya, Reni sukanya kalangan atas aja, pejabat, anak orang kaya.” “Tiga hari lalu lihat Pak Naz main di mana?” “Waktu itu saya sif malam. Tapi sepertinya dari siang ada yang booking Reni. Teman saya yang cerita,” beber caddy itu. “Apa ada yang hal aneh atau tingkah tak biasa yang dilakukan Nazrudin di hari naas itu?” tanya Ghost. Untuk beberapa lama caddy itu mengingat-ingat. “Katanya Pak Nazrudin sempat pingsan karena kecapean.” “Kecapean?” “Ya, gak biasanya minggu kemarin sering merumput.” “Apa ada pejabat lain yang datang?” “Waktu itu nggak ada, tapi biasanya mereka merumput bareng pengusaha lain atau pejabat negara.” “Oh,” Ghost mengayunkan tongkatnya. Bola melenceng jauh. Ketika ia melihat ke sekeliling, sebuah kilatan cahaya terlihat di kejauhan. Ia makin waspada karena seseorang tengah mengawasinya melalui teropong medan atau... tele dari senjata sniper! Bisa jadi alat penyadap juga dipasang di tongkat golf hingga para pengawasnya dapat mendengar dari jauh. Ia tak melihat tanda-tanda bahwa caddy itu ikut terlibat. Wanita itu nampak polos dan tingkahnya tak dibuat-buat. Caddy itu berjalan lambat, jauh tertinggal di belakang Ghost. Caddy itu itu masih tak menyadari bahwa mereka tengah diawasi. Ghost sudah berada di tengah lapangan golf seorang diri. Ketika ia berjongkok di dekat bola, sebuah bunyi desing terdengar di belakang kepalanya. Refleks ia tiarap di lapangan rumput. Lalu berguling-guling ke bungker pasir terdekat. Ia mengingat-ingat posisi kilatan cahaya itu dan menunggu waktu yang tepat untuk bergerak.

Caddy yang mengikuti dari kejauhan nampak kebingungan melihat Ghost tiarap di dalam bungker pasir. Ia hanya mematung saja dari kejauhan, memandang heran. Ceruk bungker itu tidak bisa digunakan untuk bersembunyi. Jika sniper berada di tempat yang lebih tinggi maka ia akan mudah terlihat. Ia masih berguling-guling acak untuk mengecoh snipernya. Namun, jika penembak jitu yang mengejarnya memakai senapan buru dengan teleskop, maka pilihannya adalah mundur berlindung di balik pepohonan yang mengelilingi lapangan golf itu. Atau bergerak maju menghadapi secara frontal para penyerangnya. Kedua cara itu juga bisa menyelamatkan seorang caddy yang tak berdosa itu. Jika ia menjauh maka wanita itu akan aman dari area tembakan. Atau bergerak maju dan melindungi wanita itu ke tempat aman agar tak terkena peluru nyasar. Lapangan golf menjadi tempat yang mudah untuk melakukan penyerangan, dan dirinya bisa menjadi sasaran empuk. Ia harus memutuskan. Atau kalau tidak, waktu yang akan menghabisinya. Nasibnya akan ditentukan oleh keputusannya. Maju mengejar penyerang. Atau berlindung ke balik pepohonan. *** Ghost melompat keluar dari bungker pasir. Kemudian berlari zigzag ke arah pepohonan yang mengelilingi lapangan golf itu. Ia memutuskan untuk mundur ke balik pepohonan. Kali ini rentetan peluru membuat debu pasir berterbangan. Ia mendengar bunyi mesin kendaraan golf cart mendekat. Sebelum lari jauh, ia mengenali jejak darah di atas rumput. Jejak darah yang menuju salah satu bungker. Ia berlari mengikuti jejak darah itu sampai ke sebuah bungker lain. Ia masuk merunduk dan menghempas pasir di sana. Di balik pasir itu ia melihat bekas noda warna kecoklatan. Ia menggenggam pasir itu dan menaruh di saku celananya. Bunyi mesin mobil golf makin mendekat. Ghost berlindung di antara batang pepohonan ketika bunyi rentetan tembakan makin gencar. Kulit batang pohon dan dedaunan dari dahan ranting yang rendah koyak tercabik peluru. Sekilas ia melihat pengejarnya memakai topong dan seragam seperti pasukan detasemen khusus. Karena kesulitan menembak dari luar pepohonan, dua orang pasukan khusus melompat turun dari mobil golf. Mereka masuk ke dalam deretan pepohonan demi mengejar Ghost. Bunyi senapan serbu sesekali menyalak. Namun, peluru tajam hanya menghantam batang pohon. Mereka tidak tahu bahwa Ghost diam-diam sudah naik ke atas pohon. Ketika salah satu pasukan khusus menyadari, Ghost melompat turun dan melempar belatinya tepat ke leher pasukan khusus. Ia meninggalkannya dan kembali bersembunyi di antara batang pohon. Ketika rekan pasukan khusus itu datang hendak memeriksa temannya, Ghost membekuk dari belakang dan membuatnya pingsan. Ghost menginterogasi pasukan khusus yang tengah kesakitan. Belati yang dilempar Ghost melukai lehernya, namun tidak fatal. “Siapa yang menyuruhmu?” sergah Ghost. Pasukan khusus itu masih merintih. Ghost menekan lukanya hingga terdengar erangan dari pasukan itu. “Katakan siapa yang memberi perintah?” ulang Ghost lagi. “S—Srikandi….” Ghost terkejut. “Sungguh?!” imbuh Ghost lagi lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. Pasukan khusus itu berusaha mengangguk walau agak kesulitan. Bunyi sirine mulai terdengar dari kejauhan. Ghost merampas senapan buru salah satu pasukan khusus lalu bergegas meninggalkan tempat itu. Pikirannya berkecamuk. Pasukan khusus berkode sandi Srikandi adalah anggota yang dikenalnya ketika dalam operasi Hiu Putih. Srikandi merupakan satu-satunya wanita dan juga satu-satunya sniper dalam kesatuan itu. Ia tak mengetahui bagaimana wajah Srikandi karena selalu tertutup masker.

Srikandi merupakan nama sandi dari seorang anggota pasukan khusus yang mengevakuasi reporter Selfi Lena yang dijadikan kelinci percobaan di pulau buatan. Ghost dan Srikandi yang menjaga pasukan khusus itu dengan menggunakan senapan snipernya. Hanya itu yang diketahuinya. Di antara pasukan khusus Rajawali tak ada yang saling kenal. Sewaktu operasi Hiu Putih, Srikandi nampak pendiam, tak banyak bicara. Hanya bicara bila benar-benar penting saja. Atau hanya memberi tanda. Karena sikapnya yang dingin itu, Ghost kesulitan membaca pikirannya. Kemampuan yang sudah dibekali kepada Srikandi sejak di pelatihan. Jika Srikandi merupakan ketua tim pasukan yang hendak memburunya, maka mau tak mau ia harus berhadapan dengan sesama sniper. Ghost memandang ke sekitar tempat itu. Ia merasakan seorang sniper masih mengawasinya. Menunggunya keluar dari balik pepohonan. Menunggunya lengah. Karena itu Ghost keluar dari lapangan golf melalui jalur pepohonan yang mengelilingi tempat itu. Bayangan pepohonan menutupi tubuhnya yang bergerak hatihati menyusuri areal pepohonan itu. Polisi mulai berdatangan. Caddy yang berada di lapangan yang melaporkan pertama kali adanya bunyi rentetan tembakan. Sniper misterius dengan kode sandi: Srikandi yang mengawasi Ghost juga bergegas turun dari persembunyiannya di atap gedung yang menghadap lapangan golf itu. Misinya di hari itu gagal. Ia mengemasi senapannya, membuka pakaiannya dan berganti pakaian di atas atap sebelum turun dan berbaur. *** Dokter Watsen Munim kembali mengeluarkan mayat Nazrudin untuk diperiksa. Apalagi setelah ada orang yang membuka kamar ruang pendingin tanpa ijin. Namun, tidak ada yang diotak-atik, mayat seperti waktu pertama kali diterimanya, kecuali sekarang tubuh mayat sudah benar-benar lemas dan menuju ke proses pembusukan. Aroma tak sedap mulai tercium. Karena itu ia buru-buru memeriksa mayat sekali lagi sebelum dikubur oleh keluarganya. Pada pemeriksaan lanjutan ini, dr. Watsen menemukan luka kecil di tengkuk korban. Jika disesuaikan dengan hasil pemeriksaan bahan kimia di tubuh korban ia menemukan kadar anestesi yang berlebihan. Jika bukan dari obat bius di rumah sakit maka ia menduga korban telah ditembak menggunakan peluru bius. Dokter Watsen menggunting celana korban. Ia memeriksa di bawah mikroskop. Terdapat butir pasir kuarsa yang mengandung silika atau silikon berwarna putih di serat pakaiannya. Mungkin pasir itu didapat ketika korban bermain golf. Namun, ketika memeriksa lubang telinga dan hidung korban, ia juga menemukan butir pasir kuarsa. Menurutnya korban terjatuh di area bungker lapangan golf karena dibius, sebelum diseret keluar dari bungker pasir. Mungkin menggunakan golf cart?. ***

“...Kasus penembak misterius di Modernland belum terpecahkan… terjadi kasus lagi… seorang caddy melaporkan adanya suara tembakan dan pasukan tak dikenal yang berada di lapangan golf… Anehnya tanpa sasaran yang jelas… Dari saksi seorang caddy yang tak mau disebutkan namanya, bunyi tembakan terdengar ketika ia tengah menemani seorang pengunjung pada siang tengah hari itu… Polisi menduga pengunjung yang identitasnya masih dirahasiakan itu merupakan kunci dari kasus penembakan yang terjadi di lapangan golf… Apakah kasus penembakan di lapangan golf memiliki mata rantai yang sama dengan penembakan di Modern Land….? Ikuti terus program acara Fakta dan Kriminal pada waktu dan jam yang sama… Saya Selfi Lena dari studio tiga Metropolis TV… selamat siang dan sampai jumpa.” Selfi menghela napas ketika Denara memberi tanda bahwa jadwal di hari itu sudah selesai. Namun, episode kali ini belum selesai. Masih ada rentetan investigasi dan jadwal lain yang sudah siap menunggunya. Selfi duduk di sofa dan meraih botol air mineral yang disodorkan Denara. “Kamu akhir-akhir ini kok keliatan lemah lesu sih?” tanya Denara. “Apa karena inspektur polisi itu?” “Hush, kita masih tunangan, belum merit, Den… jangan ngeres.” Selfi agak kesal.

Ia lelah karena jadwal kerjanya. Ditambah karena efek evatoxin yang masih tersisa di dalam tubuhnya membuatnya tak dapat tidur nyenyak. “Eh, maksudnya apa kalian sibuk menyiapkan acara pernikahan? Honey moon?” Denara mengedipkan mata. “Oya, acara pernikahan… acara pernikahan ya….” Selfi mengingat-ingat lagi apa yang telah dibicarakannya dengan Inspektur Anton. “Entahlah… rencananya kita akan menikah di Situbondo… dan bulan madu mungkin di tempat wisata dalam negeri saja. Eh, tumben kau tanya? Apa sudah mengijinkan untuk cuti?” “Nah, karena itu, kau harus ijin lebih awal untuk cuti agar aku bisa mengatur jadwal acaranya. Oke?” “Oh, iya… betul. Ntar deh kita bicarakan lagi.” “Eh, eh, panjang umur... tuh kekasihmu dateng.” Denara menujuk Inspektur Anton yang mengenakan pakaian santai masuk ke dalam studio. Selfi menoleh ke arah yang ditunjuk Denara. Di ambang pintu studio sudah menunggu Inspektur Anton yang melambaikan tangan kepadanya. Selfi membalas lambaian itu lalu bergegas menuju kekasihnya. “Den, aku cabut dulu ya. Aku kabarin deh kalau mau ambil cuti.” “Okay, oya, jangan lupa undangannya ya.” “Belum Den, Sip.” Selfi memberi tanda dengan lambaian tangannya, kemudian melangkah mendekati Inspektur Anton. Ia mencari-cari kata yang tepat tentang rencana pernikahan mereka. “Eh, iya, sebelum lupa lagi, tadi Denara tanya tentang rencana acara pernikahan kita.” “Ya, sepertinya kita harus secepatnya melangsungkan pernikahan. Agar kau tak lagi terlibat jauh dalam kasus penembak misterius kali ini.” Inspektur Anton menatap Selfi. “Aku akan membawamu ke Situbondo. Kita akan mengadakan acara pernikahan di sana.” “Kapan?” tanya Selfi. “Aku masih mencari tanggal yang tepat. Nanti kita diskusikan dulu dengan keluarga kita. Tapi, ya, secepatnya...” Selfi hanya mengangguk-angguk, namun wajahnya menyiratkan kebimbangan. Apakah ia akan melepaskan karirnya? Berhenti di tengah-tengah investigasinya? Namun, yang pasti, ia tau bahwa inspektur itu hendak melindunginya. Ya, sekali lagi. File Selanjutnya Update Lab. Forensik Update Daftar Isi

Related Documents

Detective
June 2020 15
Detective Obama
April 2020 9
Detective Files.txt
April 2020 16
God's Detective
June 2020 13
Debt Detective
May 2020 23

More Documents from "Independence Institute"

Detective Files.txt
April 2020 16
Uv Vis.docx
June 2020 39
Hasi.docx
June 2020 39
F3
December 2019 47
Hasi.docx
June 2020 36