Nama : NIM
:
Boundary Demarcation (Batas Negara)
1. Tujuan dari boundary demarkasi saat ini? Saat ini fungsi batas wilayah sebenarnya hampir duplikasi dengan aktivitas manusia itu sendiri. Bertambahnya peran pemerintah dalam semua aspek kehidupan membuat fungsi batas menjadi semakin jelas dan penting. Pada tahap awal pasca kolonialisasi, klasifikasi batas wilayah khususnya batas internasional umumnya didasarkan atas fungsi militer (strategi pertahanan) dan non militer (John, 1945). Caflisch, (2006) mengklasifikasi fungsi batas wilayah internasional (antar negara) atas dasar tiga ciri yang berbeda yaitu pertama berfungsi sebagai batas kedaulatan (sovereignty) dan batas hak berdaulat atau yurisdiksi (sovereign rights). Kedua, batas wilayah berfungsi sebagai daerah/kawasan perbatasan (boundaries) dan garis alokasi (allocation lines). Ketiga, batas wilayah berfungsi tunggal (single) dan fragmented borders. Sedangkan menurut Wood, (2000), fungsi batas internasional bisa bermakna: ekonomi, kultural dan politik. Menurut Wuryandari, dkk., (2009) batas negara memiliki 7 fungsi yaitu: militer strategis, ekonomi, konstitutif, identitas nasional, persatuan nasional, pembangunan negara bangsa, pencapaian kepentingan domestik. Pada tulisan ini klasifikasi fungsi batas wilayah internasional (Caflisch,2006).
2. Apa praktik yang sesuai dalam batas demarkasi? Contoh Praktik :
Inggris pada tanggal 1 Maret 1604 yang meliputi perairan pantai Inggris pada lebih kurang 27 semenanjung (Andi,I.M.A.,2010).
Di benua Amerika bagian selatan ada garis alokasi antara Spanyol dan Portugis yang dibuat bulan September tahun 1882 (Huerta, 2006), sedang di benua Amerika bagian utara, Inggris membagi menjadi dua
wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kanada dan Amerika Serikat (Jones, 1945).
Perjanjian antara Perancis dan Portugis pada tanggal 12 Mei 1886 membagi wilayah Guinea di benua Afrika menjadi Guinea yang dikuasai oleh Perancis dan Guinea-Bissau yang dikuasai oleh Portugis (Caflisch, 2006).
Perancis pada tahun 1887 dan 1895 melalui Sino- Frence Treaties mengalokasi wilayah yang didudukinya menjadi beberapa daerah koloni yang sekarang dikenal sebagai Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar (Hoang Trong Lap dan Nguyen Hong Thao, 2006).
Sementara wilayah semenanjung Malaya dibagi antar Perancis dan Inggris melalui perjanjian (treaty) tahun 1909 yang sekarang menjadi negara Thailand dan Malaysia.
Pulau Borneo (Kalimantan) di bagi dua antar Inggris di sebelah utara (sekarang Malaysia) dengan Belanda di sebelah selatan (sekarang Indonesia) melalui perjanjian tahun 1891 (Nordin, A.F.,2006).
Pulau Papua dibagi dua antara Belanda di sebelah barat (sekarang Indonesia) dan Inggris di sebelah timur (sekarang Papua Nugini) pada garis bujur 1410 bujur timur melalui treaty tahun 1896.
Pada tahun 1854 dilakukan perjanjian batas antara Belanda dan Portugal di Pulau Timor. Timor bagian barat dikuasai Belanda (sekarang Indonesia) dan Timor bagian timur dikuasai Portugis (sekarang Timor Leste). Perjanjanjian 1854 tersebut kemudian direvisi pada tahun 1899 dan 1905 (National Archive London dalam Sumaryo, 2010).
3. Apa dampak demarkasi terhadap penduduki perbatasan ? Penduduk yang tinggal di perbatasan mengalami permasalahan kehidupan yang kompleks. Disamping secara fisik mereka mereka tinggal amat jauh dan terpencil dari Ibukota negara, tidak jarang mereka-pun tinggal jauh dan terisolir dari ibukota propinsi mereka sendiri. Sebaliknya, mereka berjarak amat dekat dengan negara tetangga. Bahkan, memiliki bahasa, budaya dan ciri-ciri fisik yang hampir sama dengan penduduk di negera tetangga sehingga penduduk menjadi seperti hilang akan identitas kewarganegaraannya.
4. Apakah prinsip dan praktik pembuatan batas perlu dikomunikasikan secara lebih efektif kepada para politisi dan publik? Ketentuan Hukum tentang wilayah negara Indonesia diatur dalam pasal 25A UUD 1945, Indonesia adalah negara kepulauan dengan ciri khas yaitu nusantara. Batas wilayah negara tidak diatur secara terperinci dalam pasal ini namun diatur dalam undang-undang. dan UU No.43 tahun 2008 di undangundang ini, diatur asas pengaturan wilayah negara, batas negara Indonesia di darat laut dan udara, wewenang negara dalam mengelola dan mengatur wikayah dan batas negara, larangan menghilangkan, merusak, mengubah, atau memindahkan tanda-tanda batas negara, atau melakukan pengurangan luas wilayah negara atau melakukan tindakan lain yang mengakibatkan tandatanda batas tersebut tidak berfungsi, serta hukuman bila pelanggaran tersebut dilakukan. Peraturan ini diperkuat aturan hukum internasional yaitu UNCLOS. Jones mengemukakan ada empat tahap utama proses adanya batas wilayah suatu negara, yaitu: (1) keputusan politik untuk mengalokasi wilayah teritorial (Allocation), (2) delimitasi batas wilayah di dalam perjanjian (Delimitation), (3) demarkasi
batas
wilayah
di
lapangan
(Demarkasi)
mengadministrasikan batas wilayah (Administration).
dan
(4)
Teori Boundary Making yang ditulis oleh Stephen B. Jones (1945) adalah teori untuk penentuan batas wilayah antar negara. meskipun teori ini menurut Sutisna, (2007) juga dapat diadopsi untuk batas wilayah sub nasional di suatu negara. Dalam konteks nasional tentang sejarah keberadaan batas daerah di Indonesia baik batas daerah provinsi maupun batas daerah kabupaten/kota, menurut Sutisna, (2010) keempat tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Ilustrasi Teori Boundary Making untuk konteks Indonesia pada era Otonomi Daerah ( Sutisna, 2007).
1. Alokasi Alokasi wilayah adalah sebuah keputusan politik yang dalam praktek kemudian dituangkan dalam suatu keputusan yang mengikat dan konstitusional. Dalam praktek otonomi daerah di Indonesia alokasi disebut juga dengan istilah cakupan wilayah. Dalam hal alokasi wilayah daerah otonom keputusan politik tertuang dalam konstitusi UUD 1945 pasal 18 ayat 1 yang berbunyi:” Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Namun dalam prakteknya alokasi ini hanya untuk wilayah darat, sedangkan alokasi wilayah laut (perairan) dituangkan dalam berbagai Undang-undang pembentukan daerah. Apabila berbagi kepentingan politik ini (alokasi) dipetakan secara geospasial, maka akan terjadi banyak gap atau overlap di wilayah perairan.
2. Delimitasi (Penetapan). Penetapan adalah sebuah keputusan hukum dan bagian dari adminstrasi publik, sehingga hal ini merupakan domain Pemerintah (pusat). Namun demikian dalam keputusan (sudah tertuang dalam Undang-undang), biasanya dilakukan konsultasi dan musyawarah dengan pihak-pihak terkait (pemangku kepentingan). Secara konstitusional penetapan batas dituangkan dalam undang-undang, baik yang bersifat “lex spesialis” seperti pada undang-undang pembentukan daerah otonom beserta peta cakupan wilayah yang dilampirkan, maupun bersifat “lex generalis” seperti pada Pasal 8 Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Ketidakjelasan
peta
lampiran
undang-undang
atau
ketidaksesuaian dengan daerah otonom lainnya di dalam NKRI menjadikan sebuah batas daerah menjadi sumber sengketa, sehingga sejak pada saat delimitasi tersebut dibutuhkan ketersediaan data dan informasi geospasial. Dalam berbagai kasus batas internasional maupun sub nasional, tahap delimitasi merupakan tahapan yang paling kritis dan diperlukan kerja yang sungguh-sungguh dan akurat (Blake,G.,1995). Ada tiga konsekuensi politik terhadap delimitasi batas daerah di Indonesia yang harus diperhatikan yaitu, pertama, delimitasi batas daerah bukan berarti membuat wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) menjadi terkotak-kotak dan terpisah satu sama lain, tetapi sifatnya lebih pada penataan batas wilayah kerja pengelolaan administrasi pemerintahan, yang
pada
gilirannya
mempermudah
koordinasi
pelaksanaan
pembangunan maupun pembinaan kehidupan dan pelayanan masyarakat di
daerah.
Kedua,
harus
dibangun
semangat
persaudaraan,
kebersamaan sebagai bangsa dan mengkedepankan musyawarah. Ketiga, selesaikan delimitasi cakupan wilayah administrasi dengan sikap kenegarawanan dan tetap menjunjung tinggi supremasi hukum (Subowo, 2009).
3. Penegasan (Demarkasi). Hasil delimitasi batas daerah, selanjutnya dituliskan dalam dokumen undang-undang pembentukan daerah. Selain dalam bentuk peta batas
daerah sebagai dokumen yang tidak terpisahkan dari undang-undang pembentukan daerah, klausal cakupan wilayah daerah juga dituliskan dalam pasal-pasalnya. Bila sudah diundangkan, maka hasil kegiatan delimitasi sudah memiliki aspek legal. Tahap selanjutnya adalah kegiatan demarkasi atau penegasan batas, yaitu memasang tanda-tanda batas di lapangan. Penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan. Penegasan batas dilakukan dalam rangka menentukan letak dan posisi batas secara pasti di lapangan sampai dengan penentuan titik koordinat batas di atas peta. Penegasan batas daerah berpedoman pada batas-batas
daerah
yang
ditetapkan
dalam
Undang-undang
Pembentukan Daerah (Permendagri No1/2006). Oleh karena hal ini banyak terkait dengan pekerjaan pengukuran dan pemetaan serta bentuk dan ukuran fisik di muka bumi, maka kegiatan penegasan batas daerah menjadi proses/kegiatan yang menjadi domain/kompetensi bidang survei pemetaan.
Pendefinisian
istilah
penegasan
batas
di
Indonesia
(khususnya untuk batas daerah) kini menjadi rancu. Di dalam Undangundang Pembentukan Daerah otonom selalu mengamanatkan bahwa penegasan batas daerah di lapangan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Di dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, dimana Kementrian Dalam Negeri tidak mempunyai unit organisasi teknis bidang survei pemetaan, semestinya pasal ini dibaca “ penegasan batas-batas pasti di lapangan ditetapkan oleh Pemerintah”. Dengan demikian Menteri Dalam Negeri selaku wakil Pemerintah dapat meminta Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) selaku lembaga pemerintah untuk melakukannya. Tetapi hal ini dapat berarti juga “penetapan” oleh Menteri Dalam Negeri dalam hal produk hukumnya, sedangkan “penegasan”nya dilakukan secara bersama-sama oleh daerah yang berbatasan dengan difasilitasi oleh instansi teknis di bidang survei pemetaan dan dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri (Pasal 9 dan 10, PP. No.78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah).
4. Administrasi Proses panjang penentuan batas daerah yang dimulai dari negosiasi oleh para arsitek batas (the boundary architecs), dilanjutkan dengan delimitasi dan pengesahan undang-undang pembentukan daerah kemudian dilakukan tahap demarkasi oleh ”the boundary engineers” akan diakhiri dengan tahap administrasi dan manajeman batas dan daerah perbatasan oleh masing-masing pemerintah daerah yang berbatasan. Proses panjang tersebut merupakan kulminasi dari proses politik, hukum dan teknis dan merupakan proses awal pengelolaan daerah perbatasan, yang tujuannya untuk mempermudah koordinasi dan kerjasama pelaksanaan pembangunan maupun pembinaan kehidupan dan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di daerah perbatasan. Adminstrasi batas daerah adalah kegiatan mengurus dan memelihara keberadaan batas daerah. Implementasinya dalam sistem otonomi daerah antara lain adalah menjadikan batas daerah dibuatkan produk hukum peraturan perundangan daerah (Perda). Disamping itu Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban untuk menciptakan situasi yang kondusif di perbatasan. Hal ini tentu saja terkait aktivitas sosial budaya, pelayanan publik,
lingkungan
dan
terutama
ekonomi
untuk
kesejahteraan
masyarakatnya.
5. Haruskah demarkasi dan pemeliharaan dihubungkan dengan boundary management? Iya. Indonesia sebagai negara yang berbatasan langsung dengan beberapa negara di sekitarnya perlu memberikan perhatian yang lebih mengenai masalah perbatasannya dan menyususn suatu manajemen pengelolaan perbatasan negara. Karena, hal ini berkaitan dengan masalah keamanan atas teritorialnya. Dalam konteks hubungan internasional, ada banyak kasus dimana konflik antar negara yang berawal dari belum terselesaikannya berbagai
persoalan
tentang
batas
negara.
Hubungan
internasional
memusatkan perhatiannya pada studi mengenai pola-pola hubungan antar negara yang diikat oleh batas-batas teritorial. Ruang teritotrial ini yang kemudaian akan menentukan kedaulatan, kekuatan bahkan keaamanan yang dimiliki oleh suatu negara. Sehingga, diperlukan suatu kerja sama antara pihak
militer dan non-militer untuk menjaga keamanan yang mana memiliki tujuan yang sama yaitu agar tercipta nation-state dan regional security building. (Mike & Robin, 1993)
6. Bagaimana kegiatan pembuatan batas dapat dicoordinated secara lebih efektif? Prescott (1987) mencatat prinsipnya ada dua metode delimitasi batas yaitu metode turning points yang merupakan kombinasi arah dan jarak dan metode natural features yang menggunakan kenampakan alam seperti sungai dan watershed. Menurut Jones (1945) di dalam mendefinisikan batas paling tidak dikenal ada enam metode. Dalam suatu perjanjian batas bisa saja enam metode tersebut digunakan bersamaan untuk digunakan pada segmen garis batas yang berbeda. Enam metode tersebut adalah: 1. Definisi Lengkap (Complete Definition) garis batas diusahakan langsung dapat didemarkasi dengan hanya melakukan pengukuran lapangan. Cara ini sangat mungkin dilakukan, tetapi tidak ada jaminan bahwa garis yang didefinisikan adalah yang paling sesuai dan cocok dengan kondisi lapangan untuk seluruh bagian garis batas ketika dilakukan demarkasi. Contoh Complete Definition adalah delimitasi batas antara Alaska dan Kanda yang menggunakan garis bujur 141 0 Bujur Barat, delimitasi batas Papua Nugini (Inggris) dengan Papua Belanda pada meridan 1410 Bujur Timur dan delimitasi batas antara koloni Inggris dan Belanda di Pulau Sebatik pada garis lintang utara 4 0 2. Definisi Lengkap dengan kekuasaan untuk dirubah (Complete Definition, with power to deviate) Cara ini sebenarnya adalah Complete Definition, namun para demarkator diizinkan untuk merubah batas yang telah didefinisikan disesuaikan dengan kondisi lapangan. Contoh Complete Definition with Power to deviate adalah delimitasi batas yang menggunakan garis bujur di Papua ketika antara Belanda dan Inggris pada tahun 1895 menetapkan batas koloninya di Papua menggunakan garis
bujur 1410 BT. Namun setelah dilakukan demarkasi oleh masingmasing pihak menggunakan metode astronomi geodesi, didapat perbedaan ukuran di lapangan antara pihak Belanda dan Inggris sebesar 398 m. Kemudian disepakati bahwa letak garis bujur 141 0 BT adalah ditengah-tengah perbedaan tersebut. Namun ketika garis bujur yang disepakti tersebut akan dipasang di lapangan, ditemukan lagi bahwa posisi baru ini tidak cocok untuk pendirian tugu/pilar, maka setelah konferensi lanjutan ditetapkan sebuah lokasi lain karena alasan kepentingan praktis, berjarak sekitar 31 meter di sebelah barat posisi hasil pembagian perbedaan jarak tersebut. Melalui pengukuran, tugu tersebut kini berdiri pada jarak 167,7 meter di sebelah timur posisi bujur 141° BT yang ditetapkan dengan observasi Belanda dan 230,3 meter di sebelah barat posisi bujur 141° BT yang ditetapkan dengan observasi Australia sebagai mandat dari Kerajaan Inggris. 3. Turning Points Mendefinisikan garis batas dengan metode Turning Points adalah metode yang sangat umum dipakai dan metode yang sangat logis karena setiap garis dapat didefinisikan dengan seksi (segmen) dan jarak seksi bisa bervariasi tergantung bentuk garisnya (Jones, 1945; Adler, 2001). Pada metode ini yang perlu didefinisikan lebih dahulu dengan akurat adalah titik-titik batasnya, kemudian garis batas didefinisikan dengan cara menghubungkan dua titik batas yang telah didefinisikan tersebut dengan garis lurus (lihat Gambar ). Pemilihan turning points harus dilakukan sehingga setiap seksi dapat di “stake out” di lapangan dan intervisibility antar turning points secara teknis tidak terlalu panjang, tetapi menguntungkan dalam kegiatan administrasi batas dikemudian hari.
Turning points dipilih pada titik-titik yang mudah dikenali baik di peta maupun di lapangan. Kalau turning points dipilih hanya pada kenampakan yang mudah dikenali di peta, tetapi sulit dikenali di lapangan maka akan menyulitkan ketika akan dilakukan demarkasi. Usahakan mendefinisikan turning points dengan koordinat geografis (lintang dan bujur) dengan referensi datum yang jelas dan pasti. Ketidakpastian dan ketidakjelasan datum yang digunakan dalam mendefinisikan koordinat turning points akan menjadi masalah dikemudian hari terutama pada tahap demarkasi. 4. Arah dan jarak Pendefinisian garis batas juga dapat dilakukan dengan Arah dan Jarak. Definisi ini sebenarnya termasuk dalam tipe Complete Definitian yang biasa dilakukan oleh para surveyor di lapangan yaitu dengan metode Poligon (Traverse). Dari suatu titik awal yang ditentukan, kemudian ditentukan garis batas dengan cara mengukur arah garis (Azimuth) dan jaraknya, sehingga akan didapatkan titik batas
berikutnya.
Cara
ini
mempunyai
kelemahan
yaitu
dimungkinkan adanya perambatan kesalahan dalam pengukuran. Cara ini sering dikombinasi dengan cara Turning Points, oleh sebab itu Prescott (1987) menyebutkan bahwa metode turning points adalah metode kombinasi arah dan jarak.
5. Definisi Zone Pendefinisian batas bisa juga dilakukan dengan mendefinisikan suatu zone yang memisahkan dua wilayah yang dalam jangkauan dan dalam batas-batas tertentu garis batas dapat didemarkasi. Di dalam memilih batas limit zone, harus diingat bahwa para demarkator dapat membagi wilayah secara sama (equal). Zone bisa dilakukan dengan jalan membuat dua garis sejajar.
6. Kenampakan alam (Natural features) Suatu garis batas dapat didefinisikan dengan meletakan garis tersebut mengikuti fenomena alam seperti sungai, punggung bukit atau danau tanpa memperhatikan secara mendetail apa yang ada sepanjang fenomena alam tersebut. Metode ini paling sering digunakan, namun juga merupakan metode yang paling sering bermasalah. Pada metode ini pendefinisian garis batas dilakukan di peta dan ketidaklengkapan serta ketidaktelitian peta yang digunakan sering menjadi sumber kesulitan dalam mendefinisikan garis batas dan akibatnya sering menimbulkan masalah dikemudian hari terutama pada saat dilakukan demarkasi. Pendefinisian dengan metode
ini
akan
lebih
menyulitkan
lagi
bila
orang
yang
mendefinisikan tidak mengenal medan daerah yang bersangkutan. Bila hasil delimitasi dengan metode ini akan dilanjutkan dengan tahap demarkasi, maka para demarkator harus diberi kekuasaan penuh untuk melakukan penyesuaian dengan kondisi faktual di lapangan.
Referensi
Caflisch, L. (2006). A Typology of Borders, International Symposium on Land and River Boundary Demarkasi and Maintenance in Support of Borderland Development Bangkok, Thailand, 7 - 11 November 2006.
Bowder, Mike & Brown, Robin. (1993).From Cold War to Collapse: Theory and World Politics In the 1980s. Cambridge: Cambridge University Press.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara