Cv+port

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cv+port as PDF for free.

More details

  • Words: 2,327
  • Pages: 12
Rising Star : Kunto Aji Wibisono From Nothing to be Something Mungkin gak ada di pikiran Kunto Aji Wibisono sebelumnya bahwa kini ia mampu dikenal seluruh Indonesia, dipuja-puja fans, hingga didukung banyak musisi. Dulunya, ia hanya seorang mahasiswa biasa, “Yah, mahasiswa pada umumnya, sedikit kuliah sedikit ngeband, banyak nongkrong hehehe. Kesibukan aku selain kuliah aku ikut ukm, aku kebagian di sub Seni. Eh iya sebelum ikut idol ini aku juga ikut mini orchest gitu sama anak-anak ISI, ngamen di café-café dan wedding-wedding hehe.” Kemudian Aji mencoba peruntungan dengan mengikuti ajang Indonesian Idol season 5. Sejak kemunculannya yang pertama di Pre-Gala Indonesian Idol dengan Terima Kasih Cinta-nya Afgan, ia mampu membuat orang-orang tersihir dengan suaranya yang ‘cumadia-yang-punya’ itu. Penampilannya pun gak kalah unik dengan rambut kribo dan kacamata besarnya. Bukan dari outlook saja, di atas panggung pun ia selalu fresh dan dipenuhi kejutan di tiap Spektakuler Show. Ia pernah me-swing-kan lagu Ketahuan milik Matta Band dengan baik, meluruskan rambutnya dan bergaya ala tahun 70-an lengkap dengan sepeda tua, hingga rap dengan Bahasa Jawa. Suaranya yang jazzy dan swinging itu bahkan membuat Indra Lesmana berkata bahwa Aji akan menjadi satu-satunya penyanyi jazz terbaik di Indonesia dan memang dilahirkan untuk menjadi seorang entertainer sejati!

Gagal Menjadi Indonesian Idol Sayangnya, impian Aji untuk menjadi juara di Indonesian Idol 5 ini harus dikubur dalamdalam karena ia harus terhempas dan gagal untuk maju ke tiga besar. Gak sedikit dari fans nya yang kecewa hingga menangis di Sarbini, seolah terhempasnya Aji adalah bencana nasional. Kecewakah Aji? “Sedih dan kecewa banget memang. Jujur aku memang awalnya nothing to lose banget, dan semakin ke sini semakin gak pengen keluar, semakin pengen menang, karena pendukung aku ternyata banyak, dan itu yang jadi alasan aku kecewa dan sedih… liat mereka pada nangis itu,, tapi udah gini ya apa mau dikata, aku cuman bisa ikhlas dan kembali ke prinsipku awal, keluar di tv dan tampil maksimal.”

Siap Menjadi Entertainer Sejati Setelah gagal menjadi Indonesian Idol, pengagum Sandra Dewi ini mengaku sudah mempunyai hal-hal yang akan dilakukannya. “Yah apapun aku jalani, ada order apapun aku usahakan aku lakuin, aku lagi nulis-nulis lagu buat ancang-ancang, aku juga mau ikut les vocal biar gak bego-bego banget hehehe”. Sekarang kita sudah bisa melihat Aji lewat iklan telepon genggam di televisi bersama finalis Indonesian Idol lainnya, kalau ada tawaran sinetron bakal diterima juga gak Ji? “Tergantung, kalau sinetronnya judulnya “Rejeki Mantan Germo” ya pikir-pikir dulu hehehe. Tapi kayanya bakal aku terima ya, soalnya aku juga suka acting (sok acting maksudnya hahaha) tapi yang jelas frekuensinya aku lebih focus ke musik, pasti.”

Banyak Influence dan Hal yang Disuka Ditanya hal-hal yang disuka, jawabannya panjang sekali. Ternyata Aji ini termasuk orang yang menyukai banyak hal, dari musik hingga fotografi. “Aku suka musik, suka hal-hal baru, suka hal-hal yang berbau seni, fotografi (baru pengen belajar), suka ngonsep sesuatu, suka desain-desain juga walaupun masih mentok di corel12 hahaha… dan aku suka browsing hehehe. Tapi paling sering aku suka ngelamun, tapi dari situ biasanya aku dapat inspirasi.” Ternyata bukan hal yang disukanya saja yang banyak, ketika ditanya influence-nya siapa pun jawabannya banyak. “Influence banyak ya, tapi kalau terbesar siapa ya,, untuk saat-saat ini, James Morrison, John Legend, John Mayer, Jason Mraz, hehehe tetep banyak ya.” Lagi Nunggu Produser Setelah mengarungi Indonesian Idol hingga empat besar, kini Aji memiliki harapan besar ke depan untuk menjadi bagian dari industri musik di Indonesia. “Tinggal nunggu ada produser yang ngebet bikinin album aja heheheh..” ujarnya. Aji juga mengaku sudah memiliki beberapa hal yang sudah terbayang di kepalanya yang siap untuk direalisasikan. “Aku punya beberapa hal yang kebayang di kepala, yang jelas aku pengen ngasih warna baru di industri musik Indonesia, doakan saja amin,” tuturnya. Kita doakan saja semoga Aji benar-benar bisa menjadi the next big thing sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dan tidak melupakan tujuan utamanya di musik atau malah pindah jalur ke dunia sinetron dan asyik wara-wiri di infotainment seperti finalis Indonesian Idol yang lain itu. (/lala)

REVIEW TITANIUM Akhirnya, setelah tertunda Titanium liris juga. Kali ini Sitta Karina menceritakan tentang kisah Austin Hanafiah, yang juga merupakan kakak dari Inez Hanafiah (Pesan dari Bintang). Kisah dimulai dari 3 sepupu Hanafiah (Dio, Rae, dan Harsya) yang ingin mencarikan jodoh untuk Austin dengan menerobos masuk dan membobol komputer untuk memilih Permaisuri Budaya, hingga terpilihlah si commoner Romijn-Indira Singgih. Ternyata, sebelum dipertemukan dalam Cotillion--acaranya The Society, Austin dan Romy sempat bertemu sebelumnya di Portrait, walau sekilas. Austin adalah sumber Romy dalam menemukan nama untuk produk parfum yang sedang dibuatnya. Titanium : classy, dingin, dan tahan banting, seperti kesan pertama Romy saat melihat Austin. Sayangnya, hubungan Austin-Romy tidak berjalan mulus. Ada nenek Hanafiah yang ikut 'mengglojok' Romy, Tejas--sahabat Romy dari kecil--yang diam-diam juga mencintainya, Reiner--anak keluarga Romijn dari Belanda, teman Papa Romy dulu--yang juga ingin mendapatkan Romy, kembalinya Naren (baca Putri Hujan & Ksatria Malam) yang ingin membalaskan dendam kepada Austin, hingga kenyataan bahwa Romy ternyata pernah muncul di masa lalunya : dia juga dicintai oleh Audrey, saudara kembar Austin yang sudah meninggal. Dapatkah Austin lari dari bayang-bayang Audrey dan mendapatkan Romy? Lewat Titanium, ternyata Sitta Karina masih mampu membuat saya tidak mau melepaskan buku seharian, karena semakin tertarik untuk membaca kisah selanjutnya. Seperti biasa, Sitta Karina mampu menulis cerita secara detail dan menarik, hingga seolah saya masuk ke dalam cerita itu. Karakter yang dibangun pun kuat, chemistry antara Austin-Romy juga dibangun sangat baik tidak seperti Bianca-Aozora dalam Seluas Langit Biru kemarin yang lebih terkesan dikejar deadline. Titanium menurut saya mirip-mirip Pesan dari Bintang dalam penulisannya (yang begitu nyaman dibaca) namun mampu membuat tegang seperti Putri Hujan dan Ksatria Malam. Dan bagi saya, Titanium adalah salah satu dari 3 buku terbaik Sitta Karina, selain Lukisan Hujan dan Pesan dari Bintang--bahkan yang terbaik. Yang pasti Titanium mampu membalas penantian saya dalam menunggu peluncuran bukunya yang ditunda terus. Slogan baru Terrant Books--Hot Books for Cool Teens sedikit gak cocok ya, karena novel ini gak hanya bisa dibaca oleh teens (baca : abg labil), tapi juga bisa dibaca hingga wanita muda karena ini sudah termasuk chicklit, sudah bukan teenlit :) Sekarang saya jadi bertanya-tanya, Titanium kan direvisi hingga 70%, kalau jadinya aja seperti ini, sebelumnya jauh lebih bagus atau malah lebih menarik yang ini ya? hmm..

Imajinasi Satya Lalla Pratami

“Hujan lagi…” ujar Nazwa sambil berteduh di halte terdekat. Air terus menetes jatuh di depannya, semakin lama semakin deras, sehingga ia memutuskan untuk tunggu hujan reda, baru mengejar bus berikutnya. Nazwa mengusap tangannya yang basah karena cipratan air hujan. “Pakai ini aja.” sehelai saputangan tiba-tiba sudah ada di depan Nazwa. Ia mendongakkan kepalanya, melihat ke arah datangnya suara. “Ini safe kok. Daripada kamu usap pakai tangan, mending pakai saputangan aja, kan menyerap air.” Nazwa menatap mata orang itu, lalu akhirnya meraih saputangannya. Ia mengusap air di kedua tangannya, memeras saputangan, lalu mengembalikan kepada orang yang tidak dikenalnya itu. “Satya.” Nazwa tertegun ketika orang itu—Satya—mengulurkan tangannya untuk mengajak berkenalan. “In case kamu kenapa-napa setelah ngelap tangan pake saputangan saya tadi kan kamu tahu nama pelakunya.” Nazwa tertawa dengan manisnya. “Nazwa” ujarnya sambil menyambut uluran tangan Satya. “Terima kasih ya, Satya.” Satya menganggukkan kepalanya sambil menyimpan saputangan basah itu ke dalam tasnya. “Kamu gak bawa payung?” tanya Satya sambil menatap hujan yang masih deras, lalu memalingkan mukanya ke arah Nazwa yang kini mulai menggigil kedinginan. Nazwa menggeleng tanpa menoleh kepada Satya, lalu menunduk. “Gak suka hujan, jadi gak mau menyambut hujan.” “Kenapa?” “Terlalu sendu. Juga mengundang banyak sekali masalah. Banjir, penyakit, sampah, janji yang dibatalkan..” Hujan perlahan-lahan mulai reda. Nazwa berniat untuk pulang dengan menerobos hujan, toh sudah tidak deras lagi. Ia kemudian pamit kepada Satya saat melihat ada bus berhenti di depan mereka. ”Sampai jumpa lagi ya, terimakasih atas saputangannya.” ujar Nazwa sambil menjauh dengan bus yang membawanya pergi. *

Penasaran ingin bertemu lagi, Satya sengaja tidak buru-buru mengejar bus yang datang. Ia duduk di bangku halte sambil memperhatikan sekelilingnya, mungkin Nazwa datang lagi. Satu jam menunggu, sosok Nazwa tidak kunjung muncul. Mungkin karena hari ini matahari bersinar terang sehingga Nazwa tidak perlu menunggu di halte. ”Hey, kamu yang kemarin kan?” tiba-tiba saja Nazwa sudah ada di belakang Satya dengan seragam putih abu-abunya. Satya menengok ke arah Nazwa lalu menggeser badannya agar Nazwa dapat duduk di sebelahnya. Mukanya cerah, bersinar, berbeda dengan hari kemarin yang terlihat bete. ”Hari ini cerah ya,” ujar Nazwa sambil menatap ke atas, ke arah matahari yang bersinar dengan sengitnya. ”Hangat, cerah, tenang... kayaknya peaceful banget..” Satya memperhatikan Nazwa yang sedang menikmati sunshine itu dengan takjub. Ketika cewekcewek lain menganggap matahari itu sial—bikin item, keringat keluar—tapi cewek di depannya ini malah asyik menikmatinya. ”Kalau gini kan semua orang bisa beraktivitas dengan lancar.” Mata Satya terus memperhatikan Nazwa dengan heran. ”Kenapa?” tanya Nazwa ketika akhirnya sadar bahwa Satya dari tadi menatapnya seperti itu. ”Gak, cuma heran aja.” ”Heran?” ”Iya, kenapa mood kamu itu berbanding lurus dengan cuaca? Kemarin pas hujan kamu mendung, sekarang pas matahari bersinar kamu cerah.” Nazwa tertawa mendengar pendapat Satya tentang hubungan antara cuaca dengan moodnya. ”Ngomong-ngomong kamu sekolah dimana?” tanya Satya. Mereka pun larut dalam obrolan ringan, dari sekolah, kegiatan sehari-hari, hingga hal yang mereka suka. Hingga bus yang dinanti Nazwa datang dan mereka kembali berpisah di sore yang cerah itu. * Hujan lagi. Satya menunggu di halte dengan cemas. Hujan kali ini berbeda dengan hujan kemarin, hanya gerimis dan awan mendung sepanjang hari. Tapi tetap saja orang itu tidak menyukai hujan, sekecil apa pun air yang turun dari awan. Dari arah kejauhan Nazwa berjalan dengan muka kesal. Ia menutupi kepalanya dengan tas agar tidak kebasahan dan pusing. Satya melihat ke arah Nazwa dan tersenyum sedikit lega karena orang yang ditunggunya datang juga.

Nazwa duduk di sebelah Satya lalu keduanya diam. Satya tahu mood Nazwa pasti sedang buruk, dan Nazwa memilih untuk diam daripada mengeluh tentang hujan (lagi) kepada Satya. Air masih pelan-pelan membasahi tanah, tetapi awan hitam perlahan menghilang, diganti matahari yang malu-malu mulai bersinar. Seketika pelangi muncul, menghiasi langit dengan tujuh warnanya yang indah di depan Nazwa dan Satya. ”Pelangi...” ujar Nazwa pelan sambil menatap takjub kejadian alam di depan matanya. Satya menengok ke arah Nazwa, melihat raut wajahnya yang pelan-pelan kembali bersinar, seperti matahari yang pelan-pelan juga kembali menerangi mereka. ”Kamu suka pelangi tapi kok gak suka hujan.” Nazwa menengok ke arah Satya sambil cengir dengan wajah usilnya. ”It takes both rain and sunshine to make a rainbow. Kamu harus ketemu hujan dulu buat liat pelangi” ”Kalo hujannya di-skip aja bisa gak? Biar langsung liat pelangi?” Satya tertawa dengan pertanyaan Nazwa. ”Emang apa salahnya sih sama hujan?” Nazwa tertawa kecil, ”Kamu udah nanya itu pas pertama kali kita ketemu. Kamu tahu sendiri kan, di balik gedung tinggi yang megah itu ada sekumpulan orang yang tinggal di pinggir sungai. Saat hujan datang rumah mereka kebanjiran, penyakit berdatangan. Ah, jangankan orang yang tinggal di pinggir sungai, di tengah kota pun kebanjiran.” Satya tersenyum, ”Ternyata Miss Sunshine ini pecinta lingkungan ya. Tapi kalau cerah terus sepanjang tahun, apa kabar sawah? Gimana padi bisa tumbuh subur kalau gak ada hujan sama sekali?” ”Tapi kan kalau kebanyakan hujan juga malah bikin rusak tanaman.” potong Nazwa. Lagi-lagi Satya tertawa, ternyata gadis di depannya ini benar-benar tidak menyukai hujan. ”Hujan itu jahat, dia itu pembunuh. Gara-gara hujan ayah jadi sakit, lalu ambruk, hingga akhirnya benar-benar tidak bisa bangun lagi. Gara-gara hujan Heidi gak nepatin janjinya untuk datang, dia malah ditemukan tewas karena motornya tergelincir. Gara-gara hujan pula rumah kami setiap tahunnya kebanjiran membuat Mama sakit. Kalau sudah begitu masihkah ada pertanyaan kenapa aku gak suka hujan? Masihkah ada alasan aku harus suka sama hujan?” ucap Nazwa getir sambil menatap lurus ke depan, tanpa memedulikan Satya yang kini tertegun mendengar alasan sebenarnya dari Nazwa. Nazwa bangkit dari tempat duduknya saat melihat bus yang ingin dinaikinya mendekat. Ia juga merasa sudah cukup membuat cowok yang tidak dikenalnya itu shock dengan kata-katanya barusan. Mungkin Satya kini menjadi lebih bersyukur, karena ia masih bisa menikmati hujan, masih memiliki orang-orang yang disayanginya. Nazwa berlari mengejar bus yang semakin mendekat. Di belakangnya, Satya setengah berlari ke ujung halte untuk mengejar Nazwa. Ketika Nazwa sudah naik bus, Satya berteriak, ”Hujan itu bukan

pembunuh, dia selalu membawa berkah. Setidaknya hujan sudah membuat kamu menjadi mandiri dan kuat. Jangan marah sama hujan lagi ya,” ”Besok ke sini lagi kan?” tanya Satya yang kini mulai menjadi tontonan penumpang bus. Dari dalam bus, Nazwa tersenyum simpul lalu mengangguk. * ”Hujan lagi...” Satya menengok kaget ke arah suara. Nazwa? Ia melihat sekelilingnya dan seketika menjadi bingung. Lokasi ini persis sama seperti saat pertama kali Satya bertemu Nazwa. Dan yang berdiri itu, berdiri menatap sendu hujan di pinggir halte itu, bukankah itu Nazwa? Tapi mengapa ia kini malah membuka payung? Sejak kapan Nazwa membawa payung? Apakah sekarang Nazwa sudah mulai menyukai hujan? Sebuah bus datang langsung diserbu orang-orang. Tetapi Nazwa masih berdiri di situ, ia tidak segera pergi dengan bus seperti kemarin-kemarin. Nazwa menengok ke arah belakangnya, memandang kursi di halte yang kosong untuk segera duduk. Ia melirik sekilas ke arah Satya yang masih duduk memandang Nazwa dengan aneh. Lirikan Satya itu membuatnya memilih untuk tetap berdiri. Satya memandang Nazwa, sosok di depannya ini begitu nyata. Kalau Nazwa yang ini nyata, lalu yang tadi apa? Mengapa Nazwa terlihat takut kepadanya? Dan mengapa ia bahkan tidak punya nyali untuk menegur Nazwa? Sebuah motor berhenti di depan halte yang langsung disambut Nazwa. Nazwa menutup payungnya untuk memakai jas hujan dan helm sebelum naik motor. Ia berbisik kepada orang di depannya sambil menatap Satya, lalu tertawa. Satya masih memandang Nazwa dengan penasaran. Ia sempat mendengar kata-kata yang diucapkan Nazwa sebelum meninggalkan halte ini, ”Dasar orang gila.” Hujan yang turun perlahan-lahan mulai reda. Satya menatap kepergian Nazwa dengan tatapan kosong. Ia masih belum sadar bahwa Nazwa yang sebelumnya hanya hidup di pikirannya saja. Ia mungkin tidak ingat kalau ia-lah yang kehilangan orang-orang yang disayanginya karena hujan. Bahkan saat pelangi muncul, Satya sudah lupa bahwa mentari itu akan selalu datang untuk akhirnya menghapus sisa-sisa hujan. Ia tidak mampu sekuat Nazwa dalam imajinasinya, melanjutkan hidup yang terus berjalan dengan tangguh sebagai manusia normal. Satya yang kini malah sudah tidak bisa lagi membedakan antara imajinasi dan kenyataan.