Cinta Satu Benua-Cinta Itu Fleksibel Oleh: Lea Willsen
“Karena cinta itu fleksibel, dapat menerima kondisi terburuk dengan keputusan terbaik, berbeda dari sekadar hasrat yang kerap menyakitkan...”
Prolog MENINGGAL..., atau mati...? Perempuan itu tersenyum kecut. Bukankah itu menarik?! Ya, apa yang harus ditakutkan dari sebuah kematian? Sedari dulu perempuan itu sudah mengharapkan hal itu. Lebih cepat lebih baik. Semoga kematian akan membebaskan roh dan batinnya dari tubuh yang telah terlanjur dikotori dan tak lagi dikasihi siapapun. Ia membayangkan kalau kematian hanya ibarat sebuah alat transportasi yang akan ditumpanginya untuk tiba di sebuah dunia baru. Dunia di mana ia tak perlu lagi menjalani penderitaan yang selama ini terus mengikutinya ke mana pun. Satu lagi, di sana perempuan itu akan berjumpa dengan papanya. Pria itu pasti memiliki banyak waktu untuk menemaninya, karena di sana tak ada lagi sebuah kehidupan yang bergantung dengan uang, bisnis, atau apa pun itu yang semasa hidup telah menyebabkan mereka jarang memiliki waktu kebersamaan. Ah, sungguh menggembirakan! Perempuan itu menatap wajah dari tubuh lainnya yang tengah terbaring di atas ranjang. Tak ada sedikit penyesalan baginya untuk berpisah dengan tubuh itu. Tekadnya telah bulat. Ia tertawa lepas di sisi ranjang. Bertepatan dengan itu, sesuatu terjatuh dari genggaman dirinya yang lain. Ah, apa itu? Ia membungkuk dan memungut barang itu. Sebuah kepingan puzzle. Ia terpanah melihat sosok pria yang muncul di sana. Pria itu sedang berdoa dengan khusyuk. Untuk siapa...?
Kegembiraan menghilang dari wajahnya. Sebuah perasaan menyesal timbul di hatinya. Tanpa sadar airmata terjatuh. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menyembunyikan isak tangisnya. Pria itu telah berbuat banyak untuknya. Mengapa ia sama sekali tak memikirkan posisi dan perasaan pria itu? Bukankah pria itu akan sangat berduka? Seandainya... ***
Bab 1 PEREMPUAN itu berjalan gontai, dan seketika menubrukkan tubuhnya pada meja bartender. Telunjuknya terarah pada si bartender bernama David, seraya menyebutkan sebuah jenis minuman beralkohol dengan suaranya yang tidak terdengar jelas. Ia benar-benar telah mabuk parah, hingga kelopak matanya terasa berat untuk dibuka. “Ini sudah botol keenam... Kau serius?” David terlihat ragu untuk menyerahkan botol di tangannya. Wajahnya jelas melukiskan rasa cemas serta prihatin yang tengah mengganggu pikirannya. Bukan sebagai seorang bartender ia bersikap demikian, tetapi sebagai seorang sahabat lama. “Bagaimana kau harus pulang dengan keadaan mabuk seperti ini? Kurasa sebaiknya kau henti...” “Biarkan aku...,” potong perempuan itu seraya merampas botol minuman beralkohol itu dari tangan David. “Untuk malam ini saja..., biarkanlah aku melupakan sejenak segalanya, Dav...” “Kau menggunakan minuman beralkohol untuk menghilangkan rasa sakit di hati. Namun setelah pengaruhnya memudar, kau akan kembali tersadar sebagai diri sendiri...”
“Hei, Dav... Tidakkah kau lebih cocok menjadi seorang pendeta daripada bekerja di sini...?” “Aku hanya menasihatimu. Jika kau memang masih mencintainya, mengapa tidak coba kau telepon atau bertemu langsung dengannya untuk mencari sebuah solusi?” “Mencari solusi?” Perempuan itu mendongak kepada si bartender, dan memerlihatkan seulas senyum kecut. “Kau pikir hubungan asmara itu seperti hubungan pertemanan di masa kecil? Mengemis cinta kepadanya sama saja memintaku melompat ke jurang...” “Terserah kamu. Tapi ingatlah, setelah menghabiskan botol keenam, kau harus segera meninggalkan tempat ini.” David kembali menyibukkan diri pada layar ponselnya. Lima meter dari meja bartender itu, sedari tadi Willy memerhatikan perempuan itu. Kendatipun ingar-bingar musik disko tak hentinya bedebam-bedebum di sana, jarak yang lumayan dekat itu masih memungkinkan Willy untuk mendengar segala percakapan perempuan itu bersama si bartender barusan. Willy meletakkan gelasnya di atas meja di sebelahnya. Kerlap-kerlip lampu di ruangan itu memantulkan cahaya pada gelas itu. Merah, hijau, kuning, ungu, dan terus bergantian dengan urutan itu. Sebagian manusia berbahagia karena cinta. Sebagian menderita karenanya. Sebenarnya cinta itu apa? Mengapa manusia harus terlibat dengan perasaan demikian? Perasaan seperti terperangkap dalam labirin, bercabang dan berkelok-kelok, terkadang berhasil menemukan jalan keluar, terkadang harus kembali pada jalan yang itu-itu saja, dan tak jarang juga ada yang tersesat di dalamnya untuk selamanya. “Willy!” Vonny tiba-tiba menepuk bahu Willy dari belakang. “Apa yang sedang kau lamunkan?”
“Oh, Vonny...” Willy tersentak dan menoleh. “Tidak..., aku hanya sedang memerhatikan perempuan itu.” Ia menunjuk dengan dagu, lalu berbisik ke telinga Vonny, “Dia putus cinta...” “Oh, putus cinta?!” seru Vonny dengan volume yang lumayan keras. Willy buru-buru memberi isyarat untuk meminta Vonny mengecilkan suaranya. Agaknya bekerja dua bulan di pub dengan musik-musik ribut itu telah membuat pendengaran perempuan itu terganggu, dan harus berbicara dengan suara yang keras. Tetapi, tidak juga, sedari dulu suara Vonny memang agak keras. “Kita akan dituding mengusik privasi orang lain...” Vonny ketawa ringan. “Bukankah itu yang sedang kita lakukan?” “Maka dari itu kita harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi,” canda Willy. Vonny hanya membalas dengan gelengan kepala. “Barang itu...,” suara Willy tertahan. “Bukankah kau memintaku datang ke sini untuk mengambil sesuatu?” “Ohya, kau benar!” Vonny lekas mencari-cari sesuatu di dalam tas selempangnya, mengeluarkan sebuah kotak kue, kemudian disodorkannya kepada Willy. “Terimalah!” “Apa ini?” Willy menatap barang di genggamannya itu. “Strawberry cake yang baru kupelajari. Aku ingin kau mencicipinya. Aku sulit menyerahkannya kepadamu di kampus tadi, sementara aku tidak menyiapkan bagian untuk yang lainnya, maka kuputuskan untuk memintamu datang mengambilnya di sini.”
“Oh, kau tak perlu repot-repot...” Willy tersenyum, memamerkan sepasang lesung pipinya. “Tidak juga. Asal kau tidak merasa repot harus datang ke sini.” Vonny membalas senyum itu. “Tentu tidak. Untuk kembali ke apartemen, aku memang melewati jalan ini... Lagipula, kau bisa membawaku masuk tanpa harus membayar apa pun.” “Baguslah kalau begitu! Kemarin aku baru saja mempelajari resep roti saus tiram. Besok pagi aku akan coba mempraktikkannya di rumah. Nanti kamu datang ambil sendiri saja ya?!” “Terima kasih... Kau sungguh rajin. Setiap hari harus kuliah, belajar, dan kerja malam lagi, tetapi tidak mengurungkan niatmu untuk mengikuti kursus membuat kue...” Willy mengacungkan sebelah jempolnya. “Jangan terlalu memuji. Atau… kau sedang merayuku…?” “Hei! Kau mengotori bajuku!” pekik seorang pria menciptakan kegaduhan di sana. Willy menoleh ke arah sumber suara. Perempuan mabuk tadi sedang dalam masalah. Ia baru saja menghadiahkan muntahannya di baju seorang pria berwajah bengis yang kini tengah berdiri berhadapan dengannya. Tatapan pria itu melotot tajam, seakan hendak menelannya. Sementara perempuan itu hanya bersikap acuh tak acuh, dan bahkan tidak menunjukkan sikap menyesal ataupun niat untuk mengucapkan maaf. Separuh kesadarannya tengah terganggu akibat efek dari berbotol-botol minuman beralkohol yang telah memenuhi lambungnya. Perempuan itu benar-benar parah!
Pria berwajah bengis itu menjambak kerah baju si perempuan mabuk dengan kasar. Emosinya meledak hingga ke ubun-ubun. Sepertinya ia juga sedang dalam pengaruh alkohol. David coba melerai, tetapi preman mana yang bersedia menuruti kata-kata seorang pria kurus kering yang hanya memiliki tinggi badan kira-kira 165 cm? Tiba-tiba Vonny cekikikan di sebelah. Willy menatap heran kepada perempuan itu. Satu detik kemudian, Vonny menarik lengan Willy dan menuntunnya ke arah sumber kegaduhan. Hei! Apa yang sedang dipikirkan oleh Vonny?! Sungguh, Willy tiba-tiba merasakan firasat buruk! Byuuur...! Minuman dingin yang tadinya masih berada di meja sebelah Willy telah mengguyur punggung si pria bengis. Sontak ia tersentak, melepaskan perempuan di hadapannya, dan menoleh ke belakang. Gerahamnya gemeretak. Kini ia bukan saja hendak menelan manusia, tetapi sorot matanya seakan menegaskan bahwa ia bercita-cita untuk menghancurkan Bumi beserta isinya! Apa yang telah Vonny perbuat?! Perempuan itu hanya bersembunyi di punggung Willy, dan melimpahkan seluruh masalah itu kepada Willy. Willy tentu saja terkejut bukan main. Bagaimana mungkin Vonny melemparkan seekor bebek ke dalam kandang beruang, dan meminta kedua hewan itu bertarung? Ah, orang bodoh pun tidak akan bertaruh untuk kemenangan bebek! -BERSAMBUNG-
NB: Dapatkan novel “Cinta Satu Benua-Cinta Itu Fleksibel” di toko buku kesayangan Anda, dan baca cerita selengkapnya!