Analisa Perusahaan : PT Bank DKI Unit Usaha Syariah Makalah Pengganti Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Manajemen Keuangan Islam; Dosen Ibu Rahmatina A. Kasri Di susun oleh: Irwan Abdalloh, Sepki Mardian dan Resha Yogaswara
Ringkasan Eksekutif Hasil analisa yang dilakukan secara menyeluruh terhadap kinerja Bank DKI Unit Usaha Syariah (UUS Bank DKI) menunjukkan hal-hal sebagai berikut: 1. UUS Bank DKI mempunyai profil risiko yang cukup tinggi, yang ditunjukan oleh: a. Nilai market risk UUS Bank DKI (βeta=1,51 atau 1,12) yang lebih besar dibandingkan dengan risiko industri b. Risiko pembiayaan sebagai trade-off antara dominasi pinjaman murabahah dengan sumber dana pihak ketiga yang berasal dari deposito mudharabah c. Risiko Likuiditas dimana DTAR mempunyai nilai yang sangat tinggi melampaui standard internasional (maksimal 50%) 2. Biaya dana yang harus di tanggung oleh UUS Bank DKI relatif tinggi karena di dominasi oleh deposito mudharabah dan ditunjukan oleh rata-rata tertimbang dari Cost of Funds UUS Bank DKI (=Expected Return UUS Bank DKI) sebesar 6,22% lebih besar dibandingkan dengan Cost of Funds industri perbankan syariah (=Expected Return industri) yang sebesar 5,68%. 3. Kemampuan menghasilkan laba perusahaan menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun tetapi dengan pondasi yang cukup rentan karena masih di dominasi oleh margin yang berasal dari skema murabahah (tahun 2007 sebesar 57%). 4. Kinerja permodalan UUS Bank DKI sangat baik yang ditunjukkan oleh nilai CAR yang selalu di atas 8% atau diatas persyaratan Bank Indonesia untuk bank syariah. 5. Tetapi di lain pihak, kinerja operasional perusahaan dalam menjalankan usahanya relatif kurang bagus dan efisien yang ditunjukkan dengan nilai BOPO yang cukup besar bahkan pada tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi 84% dari 49% di tahun 2006. 6. Meskipun beberapa informasi menunjukkan hasil yang positif tetapi UUS Bank DKI untuk saat ini belum layak untuk dijadikan sebagai sasaran investasi karena nilai ROA tahun 2007 sangat kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar 2,08%. Artinya, kemampuan untuk menghasilkan return dari setiap aset yang diinvestasikan pada perusahaan sangat kecil bahkan lebih rendah dari return yang dihasilkan oleh Risk Free Asset berupa deposito syariah sebesar 9,07% di tahun 2008. Dengan hasil analisa seperti itu, dapat disimpulkan bahwa untuk saat ini, UUS Bank DKI bukan merupakan pilihan yang layak untuk dipertimbangkan sebagai tujuan investasi jangka panjang. Hal ini ditunjukkan oleh potensi risikonya yang lebih besar dibandingkan dengan potensi return yang dihasilkan.
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
1
Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif I.
Pendahuluan
4
II.
Analisa Singkat Perkembangan Industri Perbankan Syariah
5
III.
Analisa Profil Perusahaan
6
3.1. Sejarah Berdiri dan Legalitas Unit Usaha Syariah Bank DKI
6
3.2. Visi dan Misi
7
3.3. Susunan Dewan Komisaris, Direksi dan Dewan Pengawas Syariah
7
3.4. Struktur Organisasi UUS Bank DKI
8
IV. Analisis Tata Kelola Perusahaan
9
V.
12
Analisa Komposisi Pemegang Saham
VI. Analisa Finansial Perusahaan 6.1. Analisa Profil Resiko
13 13
6.1.1. Profil Risiko Bank DKI
13
6.1.2. Profil Risiko Finansial UUS Bank DKI
14
6.2. Analisa Rasio Finansial Lainnya
20
6.2.1. Analisa Cost Of Funds
20
6.2.2. Analisa Profitabilitas
21
6.2.3. Analisa Kinerja Perusahaan
22
VII. Kesimpulan
25
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
2
Daftar Tabel dan Gambar Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9
Pangsa Pasar Perbankan Syariah Terhadap Perbankan Nasional Per Juli 2008 Jaringan Kantor Perbankan Syariah Komposisi Dana Pihak Ketiga dan Pembiayaan Perbankan Syariah Remunerasi BOD dan Dekom Jumlah Anggota Dekom dan BOD Penerima Paket Remunerasi Rasio Gaji Tertinggi dan Terendah Hasil Audit Internal terhadap Penyimpangan Komposisi Pemegang Saham Komposisi Cost Of Funds UUS Bank DKI
5 6 11 11 11 12 12 20
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Gambar 12 Gambar 13 Gambar 14 Gambar 15
Struktur Organisasi UUS Bank DKI Komposisi Dana Pihak Ketiga UUS Bank DKI Komposisi Pembiayaan Syariah UUS Bank DKI Perkembangan Non Performance Financing (NPF) Perkembangan Nilai FDR (Financing to Deposits Ratio) Komposisi Aktiva UUS Bank DKI Komposisi Pasiva UUS Bank DKI Perkembangan DTAR UUS Bank DKI Perbandingan Cost of Funds UUS Bank DKI dengan Pasar Pertumbuhan Laba (Rugi) UUS Bank DKI (Rp Juta) Komposisi Pendapatan Operasional UUS Bank DKI Komposisi Pendapatan Operasional Syariah UUS Bank DKI Perkembangan CAR UUS Bank DKI Perkembangan rasio BOPO UUS Bank DKI Perkembangan ROA UUS Bank DKI
9 16 16 17 17 18 19 19 20 21 21 22 23 24 24
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
4
3
I.
Pendahuluan
Sejak perekonomian Indonesia mengalami ”pendarahan” yang sangat serius pada tahun 2008 sebagai dampak dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, hampir seluruh industri mulai melakukan pembenahan di berbagai sektor. Industri perbankan sebagai salah satu sektor yang paling parah terkena krisis tersebut, merupakan industri yang melakukan pembenahan secara serius dan cukup radikal. Konsolidasi industri maupun konsolidasi internal di masing-masing bank dilakukan secara konsisten dan sangat hati-hati. Ketiadaan risk management sebagai salah satu pemicu terjadinya krisis mulai mendapat perhatian yang sangat ketat. Salah satu dampak positif dari krisis tersebut adalah berkembangnya model perbankan syariah sebagai alternatif dari model perbankan yang saat ini berlaku. Meskipun perbankan syariah di Indonesia sudah diperkenalkan sejak tahun 1991, dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia, dan dual banking system mulai digunakan oleh Bank Indonesia sejaka tahun 1992, tetapi kesadaran masyarakat untuk menjadikan perbankan syariah sebagai salah satu model alternatif baru meningkat sejak terjadi krisis yang melanda Indonesia. Kesadaran tersebut dipicu oleh fakta yang memperlihatkan bahwa perekonomian yang sangat bertumpu pada bunga mengakibatkan fondasi ekonomi menjadi sangat rapuh. Meskipun demikian, fakta menunjukkan bahwa perkembangan perbankan syariah sampai saat ini masih belum optimal. Pangsa pasar perbankan syariah terhadap total perbankan nasional masih sangat kecil. Per Juli 2008, pangsa pasar total aset perbankan syariah hanya sebesar 2,11% dari total aset perbankan nasional. Padahal target Bank Indonesia adalah mencapai pangsa pasar 5% di akhir tahun 2008. Tabel 1. Pangsa Pasar Perbankan Syariah Terhadap Perbankan Nasional Per Juli 2008
Sumber: Statistik Perbankan Syariah, Bank Indonesia Juli 2008
Sebagai salah satu model industri yang baru berkembang, sangat wajar apabila masih terdapat banyak hal yang perlu dibenahi oleh berbagai pihak yang terlibat, baik itu pemerintah sebagai regulator maupun para pelaku industri perbankan syariah. Hal yang Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
4
paling krusial adalah pembenahan dalam hal model manajemen keuangan industri perbankan syariah yang sudah seharusnya memiliki perbedaan dengan model manajemen finansial yang selama ini berlaku di industri perbankan konvensional. Hal paling mendasar yang menyebabkan model manajemen finansial industri perbankan syariah berbeda dengan industri perbankan konvensional adalah dalam hal sumber pendapatan perbankan yang berbasis non bunga (interest free basis). Bunga sebagai sumber utama pendapatan industri perbankan konvensional merupakan variabel yang di larang (bersifat haram) dalam industri perbankan syariah. Dengan harapan dapat memberikan sedikit kontribusi bagi perkembangan industri perbankan syariah nasional maka makalah ini di susun dengan berbasis analisa finansial pada salah satu bank di Indonesia yaitu Unit Usaha Syariah Bank DKI. Fokus utama dari makalah ini adalah untuk menganalisa apakah komposisi keuangan dari suatu lembaga berbasis perbankan syariah adalah layak secara manajemen finansial.
II.
Analisa Singkat Perkembangan Industri Perbankan Syariah
Sebagai suatu industri yang sudah memasuki usia remaja, dimana tahun ini memasuki usia ke 17, sudah selayaknya apabila Bank Indonesia sebagai regulator perbankan nasional merasa perlu mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat akselerasi untuk mendorong percepatan pertumbuhan perbankan syariah. Fakta menunjukkan bahwa apa yang saat ini diperlihatkan oleh perbankan syariah masih jauh di bawah harapan. Market share perbankan syariah terhadap perbankan nasional sampai Juli 2008 baru mencapai 2,11% masih jauh dari target Bank Indonesia sebesar 5% di akhir tahun 2008. Di sisi lain, jumlah bank yang berstatus Bank Syariah masih sangat sedikit yaitu hanya 3 bank, Bank Muamalat Indonesia, Bank Mandiri Syariah dan Bank Mega Syariah. Akselerasi dari perkembangan unit syariah juga relatif lambat, dimana sampai dengan bulan Juli 2008 hanya terdapat 28 unit syariah atau hanya bertambah 2 unit usaha syariah sejak Desember 2007. Demikian juga dengan perkembangan BPR Syariah yang hanya berjumlah 128 BPR per Juli 2008. Tabel. 2 Jaringan Kantor Perbankan Syariah
Bank Umum Syariah Unit Usaha Syariah BPR Syariah Total
Desember 2007 3 26 114 143
Juli 2008 3 28 128 159
Sumber : Statistik Perbankan Syariah, Bank Indonesia, Juli 2008
Fakta lain menunjukkan bahwa selama 6 bulan pertama di tahun 2008, pertumbuhan aset perbankan syariah ternyata relatif konstan, hanya tumbuh sebesar 9,75%.
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
5
Apabila kita lihat dari sisi pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah, terdapat kondisi yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena adanya potensi resiko yang cukup besar sebagai dampak dari terjadinya trade-off antara sumber dana dengan pembiayaannya. Sampai dengan Juli 2008, sumber utama dana pihak ketiga perbankan syariah berasal dari deposito mudharabah yaitu sebesar 52,48%, sedangkan pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah sebesar 58,84% disalurkan dalam bentuk pinjaman murabahah. Artinya, pembiayaan yang bersifat konsumtif dibiayai oleh sumber dana yang peruntukan asalnya bersifat usaha. Tabel 3. Komposisi Dana Pihak Ketiga dan Pembiayaan Perbankan Syariah Dana Pihak Ketiga Pembiayaan Des 2007 Juli 2008 Des 2007 Juli 2008 Deposito Mudharabah 52,86% 52,48% Mudharabah 19,96% 18,53% Tabungan Mudharabah 33,75% 33,66% Musyarakah 15,77% 17,87% Giro Wadiah 13,46% 13,87% Murabahah 59,24% 58,84% Lainnya 5,03% 4,76% Sumber : Statistik Perbankan Syariah, Bank Indonesia, Juli 2008
Komposisi pembiayaan murabahah yang dominan dan perkembangannya yang relatif konstan menunjukkan bahwa perbankan syariah masih belum berfungsi sebagai akselerator pertumbuhan usaha sektor riil. Padahal, secara konsep, ekonomi islam adalah ekonomi yang berbasis usaha riil bukan berbasis pinjaman konsumtif. Itulah sebabnya, banyak pihak yang menyebutkan bahwa perbankan syariah di Indonesia masih berkutat dengan aktivitas yang hanya bersifat memenuhi shariah complience belum memasuki tahap mewujudkan maqasid syariah. Banyak faktor yang menyebabkan lambatnya perkembangan perbankan syariah di Indonesia, salah satu faktor yang paling utama adalah masih langkanya sumber daya yang dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi syariah.
III. Analisa Profil Perusahaan 3.1. Sejarah Berdiri dan Legalitas Unit Usaha Syariah Bank DKI Persiapan Bank DKI agar dapat memperoleh izin usaha syariah telah dilakukan sejak tahun 2002, mulai dari menyiapkan sumber daya manusia, studi kelayakan, pengkajian dan workshop bank syariah, hingga membentuk Dewan Pengawas Syariah. Meskipun demikian, efektif beroperasinya Unit Usaha Syariah Bank DKI adalah sejak diterimanya surat Bank Indonesia No. 6/39/DpbS tanggal 13 Januari 2004 dan mulai melakukan kegiatan operasional pada bulan Maret 2004 dengan menempatkan satu cabang penuh dan satu cabang pembantu. Modal awal untuk pendirian Unit Usaha Syariah Bank DKI (selanjutnya disebut UUS Bank DKI) adalah sebesar Rp 2 milyar yang dikeluarkan secara penuh oleh Bank DKI. Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
6
Karena secara entitas bisnis, UUS Bank DKI adalah bagian dari Bank DKI, maka dana yang dikeluarkan tersebut tidak dicatatkan sebagai modal UUS Bank DKI. Di sisi lain, legalitas UUS Bank DKI mengikuti legalitas Bank DKI sebagai suatu entitas usaha perbankan. Dengan demikian, pembahasan mengenai sejarah berdirinya UUS Bank DKI tidak terlepas dari sejarah berdirinya Bank DKI sebagai Bank umum devisa milik pemerintah DKI Jakarta. PT Bank DKI semula merupakan Bank Milik Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta yang berbentuk Perusahaan Daerah. Perusahaan tersebut didirikan berdasarkan Peraturan Daerah No. 13 tahun 1962 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah dan terakhir dengan Peraturan Daerah No. 1 tahun 1993 tanggal 15 Januari 1993 yang merubah modal dasar dari Rp 50 M menjadi Rp 300 M sampai dengan tanggal 5 Mei 1999. Sejak tanggal 6 Mei 1999 perusahaan daerah tersebut berubah menjadi Perseroan Terbatas yang telah disetujui oleh Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta dengan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 1 tahun 1999 tanggal 1 Februari 1999 dan telah diaktakan dengan Akta Notaris Harun Kamil, SH, No. 4 tanggal 6 Mei 1999 serta telah disahkan oleh Menteri Kehakiman dengan Surat Keputusan No. C8270.HT.01.01.Th.99 tanggal 7 Mei 1999 dan telah diumumkan dalam Berita Negara No. 45, Tambahan No. 3283 tanggal 4 Juni 1999. Sesuai dengan akta notaris Ny. Poerbaningsih Adi Warsito, SH, No. 101 tanggal 28 September 2007 yang merupakan pernyataan kembali atas akta notaris yang sama No. 25 tanggal 12 Juni 2007, Bank melakukan penambahan modal dasar dari Rp 1.000.000.000.000 menjadi Rp 1.500.000.000.000 dan modal disetor ditingkatkan dari Rp 553.917.000.000 menjadi Rp 600.325.000.000 yang berasal dari Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penambahan ini telah mendapatkan persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No.C-04111.HT.01.04TH.2007 tanggal 22 Nopember 2007. Penambahan modal disetor tersebut berasal dari hasil tagih sisa kredit Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sejak April 2005 sampai dengan April 2006 sejumlah Rp 46.408.851.656. Sisa lebih besar sebesar Rp 851.656 dibukukan sebagai cadangan setoran modal Bank. 3.2. Visi dan Misi UUS Bank DKI mempunyai visi “menjadi bank terbaik dan membanggakan”. Sedangkan misinya adalah ”bank berkinerja unggul secara syari’ah, mitra strategis dunia usaha / masyarakat dan andalan Pemprov DKI yang memberi nilai tambah bagi stakeholder melalui pelayanan terpadu dan profesional”. 3.3. Susunan Dewan Komisaris, Direksi dan Dewan Pengawas Syariah Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa UUS Bank DKI merupakan bagian dari entitas Bank DKI yang setingkat dengan business unit. Dengan demikian, susunan Dewan Komisaris dan Direksi dari UUS Bank DKI adalah mengikuti Bank DKI. Hal Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
7
khusus yang harus dimiliki oleh UUS Bank DKI sebagai lembaga keuangan syariah, adalah keberadaan Dewan Pengawas Syariah yang memang diatur oleh Bank Indonesia. Adapun susunan Dewan Komisaris (Dekom), Dewan Direksi (BOD) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) UUS Bank DKI adalah sebagai berikut: Susunan Dewan Komisaris: • Komisaris Utama : Suryo Danisworo • Komisaris Independen : Idris Kadir Joni Mulianto Susunan Dewan Direksi: • Direktur Utama : Winny E. Hassan • Direktur Umum : Mamad Sachroni • Direktur Pemasaran : Muhamad Irfandi • Direktur Operasional : Ilhamsyah Joenoes • Direktur Kepatuhan : Aris Anwari Pimpinan Group Syariah
: Athouf Ibnu Tama
Susunan Dewan Pengawas Syariah: • Anggota : Kanny Hidaya SE., Ak. • Anggota : DR. H. Surahman Hidayat 3.4. Struktur Organisasi UUS Bank DKI Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa pimpinan grup syariah bukan merupakan bagian dari BOD tetapi setingkat group head atau business unit head. Artinya, secara struktural keberadaan UUS Bank DKI langsung berada di bawah kendali BOD. Meskipun demikian, UUS Bank DKI mempunyai struktur organisasi tersendiri yang terdiri dari 2 divisi dan 5 departemen. Selain itu, keberadaan DPS pada UUS Bank DKI juga tidak berhubungan dengan pimpinan unit syariah tetapi langsung berhubungan dengan Direksi Bank DKI. Dengan struktur organisasi seperti itu, maka wewenang group head unit syariah menjadi relatif terbatas. Setiap keputusan yang diambil harus selalu mendapatkan persetujuan dari BOD. Konsekuensinya, pertumbuhan organisasi UUS Bank DKI menjadi relatif terhambat karena birokrasi yang cukup berjenjang harus dilalui sebelum mengambil suatu keputusan bisnis. Secara lebih jelasnya, struktur organisasi UUS Bank DKI dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
8
Gambar 1. Struktur Organisasi UUS Bank DKI
Sumber: Annual report Bank DKI, Desember 2007
Sampai dengan akhir tahun 2007, jumlah jaringan kantor UUS Bank DKI relatif terbatas, terdiri dari 1 kantor cabang, 5 kantor kas syariah dan 21 layanan syariah (office channeling) yang berlokasi di kantor cabang dan kantor cabang pembantu Bank DKI.
IV. Analisis Tata Kelola Perusahaan Sebagai suatu unit usaha dari Bank DKI, maka penerapan tata kelola perusahaan (selanjutnya disebut GCG) UUS Bank DKI mengacu kepada penerapan GCG di Bank DKI. Dalam hal tata kelola perusahaan, Bank DKI telah berusaha secara maksimal untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG secara baik dan benar. Komitmen tersebut dituangkan ke dalam suatu slogan yang diciptakan untuk memudahkan karyawan dalam menerapkan prinsip-prinsip GCG dalam kegiatan sehari-hari. Slogan Bank DKI untuk penerapan prinsip-prinsip GCG dikenal dengan sebutan TARIF, yang berarti: T : transparency, yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta dalam proses pengambilan keputusan; A : accountability, yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaa pertanggungjawaban organ bank sehingga pengelolaan berjalan efektif; R : responsibility, yaitu kesesuaian pengelolaan Bank dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat; I : independency, yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun F : fairness, yaitu keadilan dan kesetaraaan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
9
Bahkan pada tahun 2007, sebagai salah satu komitmen dalam menerapkan prinsip-prinsip GCG, manajemen Bank DKI telah meningkatkan struktur maupun kerangka GCG sesuai dengan perkembangan terkini di dunia perbankan internasional maupun lokal, seperti rekomendasi Basel II tentang manajemen risiko bank, Sarbanes-Oxley Act tentang standar keterbukaan laporan keuangan, cetak-biru Arsitektur Perbankan Indonesia dari Bank Indonesia, serta International Financial Reporting Standards. Implementasi Tata Kelola Perusahaan berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang meliputi: (1) Pemenuhan Komposisi Dewan Komisaris dan Direksi beserta pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini ditunjukan oleh adanya komisaris independen yang sesuai dengan PBI Nomor 8/14/PBI/2006 yang mengatur bahwa sedikitnya 50 % dari anggota komisaris merupakan komisaris independen; kebijakan bahwa dewan komisaris tidak boleh memiliki kepemilikan saham yang mencapai 5 % atau lebih, baik pada Bank DKI maupun pada bank dan perusahaan lain yang berkedudukan di dalam atau luar negeri serta tidak memiliki hubungan keuangan dan keluarga dengan anggota dewan komisaris lain, anggota direksi dan atau pemegang saham pengendali; kebijakan tidak boleh rangkap jabatan (2) Kelengkapan dan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Komite-Komite yaitu Komite Audit, Komite Pemantau Risiko dan Komite Remunerasi dan Nominasi. (3) Pelaksanaan fungsi kepatuhan, audit intern dan audit ekstern (4) Pelaksanaan fungsi manajemen risiko (5) Pemenuhan ketentuan Bank Indonesia terkait dengan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana kepada Pihak Terkait dan Debitur Besar (6) Penyusunan rencana strategis bank sesuai dengan ketentuan mengenai Rencana Bisnis Bank (7) Pelaksanaan transparansi kondisi keuangan dan non keuangan (8) Penyusunan Buku Pedoman Kerja Dewan Komisaris dan Buku Pedoman Kerja Direksi (9) Penetapan Visi, Misi dan Nilai Budaya kerja Perusahaan yang terdiri dari 7 (tujuh) Nilai KTPP DKI, yaitu Komitmen, Teamwork, Profesional, Pelayanan, Disiplin, Kerja Keras dan Integritas (10) Penunjukkan Direktur Kepatuhan dan pembentukan Satuan Kerja Kepatuhan, Satuan Kerja Manajemen Risiko dan Satuan Kerja Audit Intern, serta penetapan fungsi pengelolaan GCG pada Satuan Kerja Kepatuhan, Grup Manajemen Risiko dan Kepatuhan. Salah satu bentuk dari implementasi tata kelola perusahaan tersebut dapat terlihat dari transparansi yang dilakukan oleh manajemen dengan menyampaikan informasi kepada masyarakat tentang remunerasi yang diterima oleh Dewan Direksi dan Dewan Komisaris, jumlah anggota Dewan Komisaris dan Direksi Penerima Paket Remunerasi serta Komposisi Gaji Tertinggi dan Terendah. Semua informasi tersebut dapat dilihat oleh seluruh masyarakat melalui annual report perusahaan.
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
10
Tabel 4. Remunerasi BOD dan Dekom
Sumber: Annual Report Bank DKI Tahun 2007
Tabel 5. Jumlah Anggota Dekom dan BOD Penerima Paket Remunerasi
Sumber: Annual Report Bank DKI Tahun 2007
Tabel 6. Rasio Gaji Tertinggi dan Terendah
Sumber: Annual Report Bank DKI Tahun 2007
Implementasi GCG juga terlihat dari pelaksanaan Internal Audit yang telah melakukan 34 pekerjaan audit umum dan 11 pekerjaan audit khusus. Atas audit tahun 2007, terdapat sebanyak 342 temuan audit, menurun dibandingkan tahun 2006 sebanyak 658 temuan. Temuan dalam hal kelemahan administrasi sebanyak 202 temuan (59%), sedangkan dalam hal pelanggaran terhadap prosedur sebanyak 126 temuan (37%), serta penyetoran kewajiban kepada bank 14 temuan (4%). Untuk tindak lanjut penyelesaian, sebanyak 144 temuan telah selesai, sebanyak 195 temuan masih dalam proses penyelesaian, sedangkan yang belum dapat diselesaikan sebanyak 2 temuan. Hasil audit internal pada tahun 2007 juga menunjukkan bahwa terdapat 31 sanksi yang telah dikeluarkan oleh manajemen, dimana sanksi berupa teguran lisan yang paling Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
11
banyak dikeluarkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat penyimpangan yang terjadi masih relatif ringan. Tabel 7. Hasil Audit Internal terhadap Penyimpangan
Sumber: Annual Report Bank DKI Tahun 2007
Dalam hal keterbukaan informasi keuangan dan non keuangan, Bank DKI secara rutin selalu melakukan publikasi, baik melalui internet dengan alamat www.bankdki.co.id. dan www.bankdki-syariah.com maupun di media cetak. Untuk mengukur tingkat implementasi GCG, manajemen Bank DKI secara rutin melakukan self assesment tentang pelaksanaan GCG dengan menggunakan metode assesment yang telah baku dan diakui oleh dunia usaha. Berdasarkan hasil assesment tahun 2007, Bank DKI memperoleh predikat baik dengan nilai komposit akhir sebesar 1,81 dengan 9 area masalah yang perlu dicermati dan ditindaklanjuti oleh manajemen.
V. Analisa Komposisi Pemegang Saham Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa UUS Bank DKI merupakan bagian dari struktur organisasi Bank DKI setingkat unit usaha. Artinya, UUS Bank DKI bukan merupakan suatu entitas bisnis yang berdiri sendiri sehingga UUS Bank DKI tidak mempunyai pemegang saham khusus. Dengan demikian, komposisi pemegang saham UUS Bank DKI sama dengan komposisi pemegang saham Bank DKI. Pemegang saham Bank DKI adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PD Pasar Jaya dengan komposisi sebagai berikut: Tabel 8. Komposisi Pemegang Saham
Sumber: Annual Repot Bank DKI Tahun 2007 Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
12
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa sebenarnya saham Bank DKI dimiliki 100% oleh pemerintah DKI Jakarta, karena PD Pasar Jaya, yang memiliki 0,17% saham Bank DKI, adalah milik pemerintah DKI Jakarta.
VI. Analisa Finansial Perusahaan 6.1. Analisa Profil Resiko Sebagai suatu aktivitas usaha, sudah pasti UUS Bank DKI mempunyai profil resiko yang perlu diwaspadai oleh manajemen. Dalam hal ini, profil resiko yang dimiliki oleh UUS Bank DKI relatif sama dengan Bank DKI dan ditambah dengan profil resiko khusus sebagai akibat dari kegiatan perbankan syariah yang dilakukan. 6.1.1. Profil Risiko Bank DKI Adapun profil resiko usaha yang dimiliki oleh Bank DKI adalah sebagai berikut (diambil dari annual report Bank DKI tahun 2007) : 1. Risiko Pasar adalah Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) dari portofolio yang dimiliki oleh Bank, yang dapat merugikan Bank. Variabel pasar adalah suku bunga dan nilai tukar. Gejolak yang timbulkan oleh kenaikan dan penurunan suku bunga di pasar serta kenaikan dan penurunan kurs terhadap portofolio perdagangan Bank DKI yang terkandung dalam Risiko Pasar ratarata berpengaruh terhadap penurunan CAR sebesar 1,5%. 2. Risiko Operasional adalah Risiko yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. 3. Risiko Kredit adalah Risiko sebagai akibat kemungkinan kegagalan dari counterparty memenuhi kewajibannya. Implementasi Risiko Kredit agar mendukung pemberian kredit yang sehat terus dikembangkan. Berbagai model pemberian kredit terus disempurnakan termasuk mengembangkan sistem scoring untuk pemberian kredit. Sebagai informasi kami sajikan data terkait dengan aktivitas perkreditan. • NPL Desember 2007 sebesar 4,15% • PPA Desember 2007 sebesar 100,46% • Kualitas Aktiva Produktif sebesar 1,9%. • Konsentrasi kredit: i. Sektor Konstruksi Desember 2007 sebesar 4,70% ii. Sektor Perdagangan Desember 2007 sebesar 5,53% iii. Kredit Karyawan Desember 2007 sebesar 5,13% iv. Kredit Multi Guna Desember 2007 sebesar 64,45% v. KPR Desember 2007 sebesar 6,67% vi. Lainnya sebesar Rp.10,02% 4. Risiko Likuiditas adalah risiko yang disebabkan Bank tidak dapat memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Risiko ini terdiri dari:
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
13
5.
6.
7.
8.
• Risiko Likuiditas Pasar yaitu risiko timbul karena Bank tidak mampu melakukan offsetting posisi tertentu dengan harga pasar karena kondisi likuiditas pasar yang tidak memadai atau terjadi gangguan di pasar (disruption). • Risiko Likuiditas Pendanaan yaitu risiko yang timbul karena Bank tidak mampu mencairkan assetnya atau memperoleh pendanaan dari sumber dana lain. Risiko Hukum adalah Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis antara lain tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna Risiko Strategis adalah Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi Bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya Bank terhadap perubahan eksternal. Risiko Reputasi adalah Risiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha Bank atau persepsi negatif terhadap Bank. Risiko Reputasi dikelola dengan memperhatikan keluhan nasabah serta dengan merespon setiap berita yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap Bank. Untuk meningkatkan citra di masyarakat, Bank berusaha seoptimal mungkin dengan memberikan pelayanan terbaik. Hal ini dilakukan dengan berbagai upaya diantaranya mendidik karyawan Bank untuk dapat memberikan pelayanan terbaik dengan pelatihan service excellent. Risiko Kepatuhan adalah Risiko yang disebabkan Bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Pengelolaan Risiko Kepatuhan dilakukan melalui penerapan sistem pendendalian intern secara konsisten.
6.1.2. Profil Risiko Finansial UUS Bank DKI Selain resiko tersebut diatas, UUS Bank DKI juga mempunyai risiko yang berasal dari aktivitas kegiatan perbankan syariah. Berdasarkan laporan keuangan yang telah dipublikasikan, profil risiko finansial dari UUS Bank Syariah adalah sebagai berikut: 1. Risiko Pasar Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan data keuangan selama dua tahun, yaitu tahun 2006 dan 2007, dapat diketahui bahwa nilai risiko (βeta) dari UUS Bank DKI adalah sebagai berikut: a. Apabila menggunakan obligasi syariah sebagai risk free asset, maka market risk value dari UUS bank DKI (βeta) adalah 1,12 b. Apabila menggunakan SWBI sebagai risk free asset, maka market risk value dari UUS bank DKI (βeta) adalah 1,51 Angka tersebut menunjukkan bahwa tingkat risiko pasar UUS Bank DKI relatif lebih tinggi dibandingkan dengan risiko industri perbankan syariah. Asumsi yang digunakan dalam menghitung nilai risiko pasar tersebut adalah kondisi perekonomian di masa yang akan datang relatif sama dengan waktu perhitungan dilakukan. Selain itu, sebagai entitas bisnis yang belum diperdagangkan di bursa dan tidak memiliki saham, maka penggunaan data pergerakan saham maupun indeks saham sebagai indikator dalam menghitung market risk (βeta) UUS Bank DKI Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
14
menjadi tidak mungkin. Oleh sebab itu, asumsi data yang digunakan dalam menghitung βeta UUS Bank DKI adalah sebagai berikut: a. Expected return UUS Bank DKI (ErDKI) merupakan weigthed average dari rate of return indicative tabungan dan deposito mudharabah. b. Expected return market (ErM) merupakan weigthed average dari rate of return indicative tabungan dan deposito mudharabah dari industri perbankan syariah c. Risk Free Asset menggunakan dua jenis aset yaitu SWBI dan obligasi syariah dengan dihitung berdasarkan weigthed average dari masing-masing aset terhadap total risk free assets yang terdiri dari SWBI, IMA dan obligasi syariah. Dengan menggunakan rumus Capital Assets Pricing Model (CAPM) sebagai berikut: ErDKI = Rf + (ErM – Rf)β, maka untuk mencari nilai β, rumus tersebut berubah menjadi: β = (ErDKI – Rf) / (ErM – Rf), dimana ErDKI = Expected return UUS Bank DKI Rf = Risk Free Asset ErM = Expected return market β = Market Risk UUS Bank DKI (βeta UUS Bank DKI) Nilai dari ErDKI adalah 6,22% dengan menggunakan data sebagai berikut: Average Tabungan Mudharabah Deposito Mudharabah Rate of Return (Indicative) 6,58% 9,05% Weigthed 0.28 0.48 Total 1,87% 4,35% Nilai dari ErM adalah 5,68% dengan menggunakan data pasar sebagai berikut: Average Tabungan Mudharabah Deposito Mudharabah Rate of Return (Indicative) 3,52% 8,63% Weigthed 0,34 0,52 Total 1,20% 4,49% Nilai Rf berasal dari data industri yang rutin dikeluarkan oleh Bank Indonesia Average SWBI Obligasi Syariah Rate of Return/bagi hasil 4,64% 1,33% 2. Risiko Pembiayaan terhadap Dana Pihak Ketiga Dalam konteks perbankan konvensional, risiko ini disebut sebagai risiko kredit yaitu risiko yang muncul akibat terjadinya trade-off antara kredit yang disalurkan dengan sumber dana pihak ketiga. Berdasarkan data laporan keuangan UUS Bank DKI selama periode 2004 – 2007 terdapat potensi risiko kredit yang cukup tinggi karena terjadi trade-off yang cukup besar antara jenis pembiayaan yang disalurkan dengan sumber dana pihak ketiga.
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
15
Komposisi terbesar dari sumber dana pihak ketiga UUS Bank DKI selama periode tersebut berasal dari deposito mudharabah. Sempat mengalami penurunan di tahun 2005 dan 2006 tetapi kembali meningkat di tahun 2007. Akibat dari porsi deposito mudharabah yang besar mengakibatkan cost of funds UUS Bank DKI relatif tinggi. Gambar 2. Komposisi Dana Pihak Ketiga UUS Bank DKI
Di sisi lain, pembiayaan yang dilakukan oleh UUS Bank DKI selama periode tersebut lebih banyak disalurkan dalam bentuk pinjaman murabahah yang bersifat konsumtif dibandingkan dengan pembiayaan usaha, seperti mudharabah maupun musyarakah. Meskipun dari tahun ke tahun mengalami penurunan tetapi komposisinya masih sangat besar dibandingkan dengan yang lainnya. Sebenarnya kondisi ini juga terjadi di industri perbankan syariah nasional, dimana seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa per Juli 2008, sumber utama dana pihak ketiga perbankan syariah berasal dari deposito mudharabah yaitu sebesar 52,48%, sedangkan pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah sebesar 58,84% disalurkan dalam bentuk pinjaman murabahah. Gambar 3. Komposisi Pembiayaan Syariah UUS Bank DKI
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
16
Profil risiko pembiayaan UUS Bank DKI terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatkan nilai pembiayaan dan juga penyebarannya yang semakin beragam. Pada saat pertama kali beroperasi, tahun 2004, tidak ada satu pun pembiayaan yang tergolong NPF (Non Performance Financing) karena jenis pembiayaan yang dilakukan pada saat itu hanyalah berbentuk pinjaman murabahah. Memasuki tahun selanjutnya terjadi peningkatan NPF dari UUS Bank DKI, meskipun di tahun 2007 NPF-nya lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Gambar 4. Perkembangan Non Performance Financing (NPF)
Indikator lainnya yang harus diperhatikan dalam melihat risiko pembiayaan adalah nilai dari FDR (Financing to Deposits Ratio) yaitu menggambarkan perbankan syariah sebagai lembaga intermediasi. Semakin besar FDR menunjukkan bahwa bank bersangkutan telah menjalankan fungsi intermediasi secara optimal. Rasio yang melebihi 100 % menunjukkan bahwa semua DPK yang dihimpun telah disalurkan dalam pembiayaan dan ditambah dengan modal sendiri. Gambar 5. Perkembangan Nilai FDR (Financing to Deposits Ratio)
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
17
Dari gambar diatas terlihat bahwa tingkat FDR UUS Bank DKI selalu diatas 100% dengan puncaknya pada tahun 2005 sebesar 348%. Artinya, fungsi intermediasi UUS Bank DKI berjalan sesuai dengan yang seharusnya. Meskipun demikian, perlu di ingat juga bahwa nilai FDR yang tinggi bukan berarti fungsi intermediasi yang dijalankan oleh UUS Bank DKI adalah tepat sasaran. Perlu dilihat juga komposisi dari jenis pembiayaannya karena apabila masih di dominasi untuk penyaluran pinjaman murabahah maka peranan intermediasi UUS Bank DKI masih belum optimal. 3. Risiko Likuiditas Untuk melihat risiko likuiditas yang dihadapi oleh UUS Bank DKI, yang harus diperhatikan adalah komposisi current liabilities terhadap current assets atau sering disebut dengan current ratio. Berdasarkan data yang ada terlihat bahwa current ratio dari UUS Bank DKI sangat aman karena komposisi terbesar dari asetnya berbentuk aktiva lancar. Nilai rata-rata current ratio UUS Bank DKI selama periode 2004 – 2007 adalah sebesar 92%. Komposisi terbesar dari current assets UUS Bank DKI berbentuk pembiayaan syariah sedangkan komposisi terbesar dari current liabilities adalah berasal dari dana pihak ketiga. Kondisi tersebut sangatlah wajar karena UUS Bank DKI bukan merupakan suatu entitas yang berdiri sendiri tetapi bagian dari organisasi Bank DKI sehingga komposisi aset tetapnya relatif kecil. Gambar 6. Komposisi Aktiva UUS Bank DKI
Dari gambar diatas terlihat bahwa lebih dari 80% aktiva UUS Bank DKI terdiri dari aktiva lancar sedangkan aktiva tetapnya sangat kecil hanya di bawah 2%.
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
18
Gambar 7. Komposisi Pasiva UUS Bank DKI
Dari gambar diatas terlihat bahwa lebih dari 90% pasiva UUS Bank DKI berasal dari pasiva lancar. Yang perlu digarisbawahi adalah dalam komposisi pasivanya, ternyata tidak terlihat adanya sumber pasiva yang berasal dari modal. Hal ini didasarkan kepada bentuk entitas UUS Bank DKI yang tidak berdiri sendiri tetapi termasuk ke dalam Bank DKI sehingga tidak ada setoran modal yang dicatatkan dalam pasiva. Salah satu alat ukur likuiditas yang sering digunakan selain current ratio adalah Debt to Total Assets Ratio (DTAR). Berbeda dengan current ratio yang mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban lancarnya maka DTAR merefleksikan seberapa besar asset yang dibiayai dari kewajiban yang dimiliki dan juga menunjukkan kemampuan bank dalam membayar kewajiban yang dimiliki. DTAR dihitung dengan membandingkan antara total kewajiban dengan total asset yang dimiliki. DTAR yang tinggi mengindikasikan bahwa bank memiliki resiko yang tinggi. Berdasarkan RBC Royal Bank, standar benchmark maksimum adalah sebesar 50 %. Gambar 8. Perkembangan DTAR UUS Bank DKI
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
19
Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa UUS Bank DKI menunjukkan angka DTAR yang sangat tinggi, diatas dari standar internasional (maksimal 50%). Artinya, resiko yang dihadapi oleh UUS Bank DKI sangat tinggi karena hampir seluruh asetnya berasal dari kewajiban. 6.2. Analisa Rasio Finansial Lainnya 6.2.1. Analisa Cost Of Funds Seperti telah di bahas sebelumnya bahwa dalam komposisi pasiva UUS Bank DKI tidak terdapat variabel modal dan sangat di dominasi oleh dana pihak ketiga. Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah maka UUS Bank DKI tidak memiliki cost of capital tetapi yang ada adalah cost of funds. Komposisi dana pihak ketiga UUS Bank DKI di dominasi oleh deposito mudharabah (lihat gambar 2) daripada tabungan mudharabah maupun giro wadiah. Artinya, cost of funds yang harus dikeluarkan oleh UUS Bank DKI relatif tinggi. Profil cost of funds UUS Bank DKI selama 2 tahun adalah sebagai berikut: Tabel 9. Komposisi Cost Of Funds UUS Bank DKI Skim Mudharabah 2006 2007 Average Weigthed Deposito 10,56% 8,88% 9,05% 0,48 Tabungan 7,70% 5,46% 6,58% 0,28 Weigthed average cost of funds (ErDKI) 6,22% Dengan komposisi skim deposito mudharabah yang bervariasi mulai dari 1, 3, 6, 12 bulan dan 24 bulan, maka nilai 9,05% pada tabel di atas merupakan nilai rata-rata tertimbang dari deposito mudharabah UUS Bank DKI. Sebagai indikator tertimbangnya menggunakan komposisi skim deposito mudharabah di industri perbankan syariah. Gambar 9. Perbandingan Cost of Funds UUS Bank DKI dengan Pasar
Melihat komposisi cost of funds UUS Bank DKI yang di dominasi oleh deposito mudharabah dan lebih tinggi dari cost of funds industri (5,68% lihat perhitungan ErM pada halaman sebelumnya), maka sangat wajar apabila market risk UUS Bank DKI lebih Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
20
tinggi dibandingkan market risk industri. Konsekuensi dari kondisi tersebut, maka sangat wajar juga apabila pembiayaan yang dilakukan oleh UUS Bank DKI masih terpusat pada pembiayaan pinjaman murabahah yang notabene akan menghasilkan margin yang lebih besar dibandingkan dengan bagi hasil mudharabah maupun musyarakah. 6.2.2. Analisa Profitabilitas Sejak mulai beroperasi UUS Bank DKI, pada tahun 2004 dan sampai dengan tahun 2007 pertumbuhan laba perusahaan menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Pada tahun 2004, UUS Bank DKI mengalami kerugian sebesar Rp 574 juta, sedangkan pada tahun 2007 telah membukukan laba sebesar Rp 4.220 juta. Gambar 10. Pertumbuhan Laba (Rugi) UUS Bank DKI (Rp Juta)
Meskipun pertumbuhan laba UUS Bank DKI selama periode 2004 – 2007 sangat mengesankan tetapi perlu di lihat juga sumber utama yang mendominasi pendapatan operasionalnya. Secara umum, komposisi pendapatan operasional UUS Bank DKI cukup baik dimana pendapatan yang berasal dari pendapatan operasional pembiayaan shariah sangat dominan dibandingkan dengan pendapatan yang berasal dari operasional lainnya. Gambar 11. Komposisi Pendapatan Operasional UUS Bank DKI
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
21
Karena pada tahun 2004, operasional perusahan baru mulai berjalan maka sangat wajar apabila pendapatan operasionalnya masih di dominasi oleh pendapatan lain-lain. Hal lainnya yang harus juga diperhatikan dalam melihat kemampuan profitabilitas UUS Bank DKI adalah komposisi dari pendapatan operasionalnya. Melihat data sebelumnya yang menunjukkan bahwa pembiayaan yang dilakukan oleh UUS Bank DKI adalah berbentuk pinjaman murabahah, maka sudah dapat dipastikan komposisi terbesar pendapatan operasional syariah UUS Bank DKI adalah margin murabahah baru diikuti oleh bagi hasil mudharabah. Fakta yang menarik ditunjukan oleh komposisi pendapatan operasional UUS Bank DKI pada tahun 2007, dimana sumber pendapatan yang berasal dari bagi hasil mudharabah hampir mendekati pendapatan yang berasal dari margin murabahah. Gambar 12. Komposisi Pendapatan Operasional Syariah UUS Bank DKI
Dari data di atas terlihat bahwa komposisi pendapatan operasional UUS Bank DKI yang berasal dari bagi hasil mudharabah (dan musyarakah) pada tahun 2007 sebesar 42% mendekati margin murabahah yang 57%. Ini sangat menarik, karena apabila kita lihat gambar 3 dimana pembiayaan yang berasal dari murabahah sebesar 57% dan yang berasal dari mudarabah dan musyarakah sebesar 36%. Dengan komposisi pembiayaan seperti itu ternyata dapat menghasilkan suatu komposisi pendapatan yang berasal dari bagi hasil sebesar 42% sedangkan margin relatif sama komposisinya yaitu sebesar 57%. Apabila kita lihat lagi lebih detil ternyata pada tahun yang sama prosentase Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) pinjaman murabahah sebesar 3% lebih besar dibandingkan dengan PPAP yang berasal dari mudharabah dan musyarakah yang hanya 1%. Dengan demikian, sangat wajar apabila profit yang dihasilkan oleh pembiayaan mudharabah dan musyarakah mengalami peningkatan. 6.2.3. Analisa Kinerja Perusahaan Untuk melihat kinerja dan kemampuan UUS Bank DKI dalam menjalankan usahanya akan digunakan tiga rasio keuangan yang biasa digunakan untuk mengukur kinerja suatu Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
22
bank yaitu CAR (Capital Adequacy Ratio) atau rasio kecukupan modal, BOPO (Operating Expense to Operating Income) dan ROA (Return on Assets). CAR (Capital Adequacy Ratio) CAR adalah ukuran yang digunakan untuk melihat kecukupan modal bank dalam menjaga kepentingan deposan dan menunjukkan tingkat stabilitas dan efisiensi sistem keuangan suatu bank. Berdasarkan regulasi yang ditetapkan Bank Indonesia bahwa minimum CAR yang harus dimiliki oleh bank syariah di Indonesia adalah 8%. Dengan menggunakan standar tersebut, maka CAR UUS Bank DKI menunjukkan nilai yang sangat baik, bahkan untuk tahun 2007 CAR yang diperoleh UUS Bank DKI jauh diatas persyaratan Bank Indonesia. Gambar 13. Perkembangan CAR UUS Bank DKI
BOPO (Operating Expense to Operating Income) BOPO menunjukkan tingkat efisiensi operasional suatu bank dalam menghasilkan pendapatan. Dengan melihat rasio dari biaya operasional dalam mendorong pendapatan operasional maka akan terlihat kemampuan UUS Bank DKI dalam mengelola efisiensi dari biaya usaha. Semakin kecil nilai rasio BOPO menunjukkan semakin efisien suatu perusahaan dalam menjalankan bisnisnya. Pada saat pertama kali beroperasi tahun 2004, UUS Bank DKI sangat tidak efisien karena biaya operasional yang dikeluarkan ternyata lebih besar dibandingkan dengan pendapatan operasional yang dihasilkan. Kinerja perusahaan di tahun 2007 menunjukkan penurunan dibandingkan dengan tahun 2006, dimana rasio BOPO tahun 2006 lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2007. Kondisi ini perlu diwaspadai jangan sampai kinerja yang tidak efisien tersebut terbawa pada tahun berikutnya.
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
23
Gambar 14. Perkembangan rasio BOPO UUS Bank DKI
ROA (Return on Assets) Rasio ini menunjukkan kelayakan dalam menghasilkan return dari setiap aset yang dimilikinya. Rasio ini juga menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mengelola aset yang dimilikinya sehingga dapat menghasilkan return yang menarik. Semakin besar nilai ROA berarti semakin bagus kinerja yang ditunjukkan oleh manajemen dalam mengelola perusahaan. Nilai ROA yang bagus juga dapat dijadikan sebagai indikator bagi para investor apabila ingin menanamkan modalnya dalam perusahaan tersebut. Berdasarkan data laporan keuangannya, rasio ROA UUS Bank DKI sejak tahun 2004 menunjukkan kinerja yang relatif stabil. Meskipun sempat mengalami peningkatan di tahun 2006 tetapi nilainya masih relatif kecil. Bahkan pada saat pertama kali beroperasi nilai ROA UUS Bank DKI negatif 7,23%. Gambar 15. Perkembangan ROA UUS Bank DKI
Rasio ROA yang ditunjukkan oleh gambar di atas sangat tidak menarik bagi investor. Karena tingkat pengembalian aset ke dalam bentuk return paling tinggi hanya sebesar 7,06%. Nilai tersebut ternyata lebih kecil dari return yang dihasilkan oleh risk free asset, Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
24
dimana obligasi syariah pada tahun 2006 menghasilkan return sebesar 8,04% sedangkan tahun 2007 meningkat menjadi 9,07%. Berdasarkan hasil analisa tersebut dapat dikatakan bahwa UUS Bank DKI sangat tidak layak untuk dijadikan sebagai tujuan investasi, mengingat kemampuan perusahaan yang masih lemah dalam menghasilkan return.
VII. Kesimpulan Hasil analisa yang dilakukan secara menyeluruh terhadap kinerja Bank DKI Unit Usaha Syariah menunjukkan hal-hal sebagai berikut: 7. UUS Bank DKI mempunyai profil risiko yang cukup tinggi, yang ditunjukan oleh: a. Nilai market risk UUS Bank DKI (βeta=1,51 atau 1,12) yang lebih besar dibandingkan dengan risiko industri b. Risiko pembiayaan sebagai trade-off antara dominasi pinjaman murabahah dengan sumber dana pihak ketiga yang berasal dari deposito mudharabah c. Risiko Likuiditas dimana DTAR mempunyai nilai yang sangat tinggi melampaui standard internasional (maksimal 50%) 8. Biaya dana yang harus di tanggung oleh UUS Bank DKI relatif tinggi karena di dominasi oleh deposito mudharabah dan ditunjukan oleh rata-rata tertimbang dari Cost of Funds UUS Bank DKI (=Expected Return UUS Bank DKI) sebesar 6,22% lebih besar dibandingkan dengan Cost of Funds industri perbankan syariah (=Expected Return industri) yang sebesar 5,68%. 9. Kemampuan menghasilkan laba perusahaan menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun tetapi dengan pondasi yang cukup rentan karena masih di dominasi oleh margin yang berasal dari skema murabahah (tahun 2007 sebesar 57%). 10. Kinerja permodalan UUS Bank DKI sangat baik yang ditunjukkan oleh nilai CAR yang selalu di atas 8% atau diatas persyaratan Bank Indonesia untuk bank syariah. 11. Tetapi di lain pihak, kinerja operasional perusahaan dalam menjalankan usahanya relatif kurang bagus dan kurang efisien, yang ditunjukkan dengan nilai BOPO yang cukup besar bahkan pada tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi 84% dari 49% di tahun 2006. 12. Meskipun beberapa informasi menunjukkan hasil yang memuaskan tetapi UUS Bank DKI untuk saat ini belum layak untuk dijadikan sebagai sasaran investasi karena nilai ROA tahun 2007 sangat kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar 2,08%. Artinya, kemampuan untuk menghasilkan return dari setiap aset yang diinvestasikan pada perusahaan sangat kecil bahkan lebih rendah dari return yang dihasilkan oleh Risk Free Asset berupa deposito syariah sebesar 9,07% di tahun 2007. Dengan hasil analisa seperti itu, dapat disimpulkan bahwa untuk saat ini, UUS Bank DKI bukan merupakan pilihan yang layak untuk dipertimbangkan sebagai tujuan investasi jangka panjang. Hal ini ditunjukkan oleh potensi risikonya yang lebih besar dibandingkan dengan potensi return yang dihasilkan.
Corporate Analysis – Bank DKI Unit Usaha Syariah
25