Citra Allah 0.Pengantar Di dalam kehidupan manusia, manusia kerap mengalami banyak perasaanperasaan. Perasaan-perasaan itu membuat manusia kerap mengalami suka dan duka dalam kehidupan. Jika kita mencoba untuk berefleksi sejenak mengenai perasaan-perasaan itu kita mungkin bertanya, “Dari mana perasaan-perasaan itu muncul?” Mengapa manusia harus mengalami perasaan-perasaan ini? Untuk apakah Tuhan memberikan perasaan-perasaan ini kepada manusia? Pembahasan berikut ini adalah refleksi dan analisa kritis mengenai mengapa kita mengalami perasaan-perasaan di dalam hidup ini dan bagaimana perasaanperasaan itu memicu kita untuk berkembang ke arah yang baik atau yang ditunjukkan Tuhan. Perasaan-perasaan itu memicu, mengkondisikan dan mendorong kita untuk menjadi diri sendiri dan dengan demikian mengantar kita pada rahmat yang begitu agung yaitu misteri penciptaan di mana manusia diciptakan seturut gambar dan rupa Allah.
1.Gelombang perasaan Setiap orang pernah mengalami pengalaman-pengalaman sedih, duka, gembira, senang, ceria, bosan, muak, cemburu, iri, frustasi, putus asa, marah, takut, damai, tenang dan seterusnya. Perasaan-perasaan itu memicu kita untuk mencari sesuatu yang membuat kita merasa nyaman atau memelihara rasa nyaman dalam hidupnya. Di dalam tradisi Gereja, perasaan-perasaan ini menjadi subyek analisa dan permenungan selama berabad-abad. Perasaan-perasaan negative, seperti sedih, marah, cemas, takut, frustasi diberi nama desolasi, sedangkan perasaan-perasaan positif, seperti senang, tenang, damai, gembira dan takjub diberi nama konsolasi. Desolasi dan konsolasi datang terus menerus di dalam hidup manusia. Setiap kali manusia mengalami desolasi mereka mencari jalan untuk lepas dari situasi itu dan mencoba menghibur diri dengan pelbagai cara untuk memperoleh kembali perasaan positif. Berangkat dari situasi ini pertanyaan bagi kita adalah untuk apa semuanya ini terjadi dan dialami dalam hidup manusia? Apakah perasaan-perasaan ini hanyalah penghias kehidupan manusia belaka atau ada yang lain?
2.Arah hidup manusia
Henry Nouwen dalam bukunya berjudul “Engkau Dikasihi dan Thomas Green dalam bukunya berjudul ketika sumber air mengering mengungkapkan adanya suatu dorongan dalam hidup manusia untuk menuju kepada Tuhan. Nouwen menyebut perasaan dikasihi sebagai tanda kehadiran Tuhan. Perasaan dikasihi ini merupakan suatu peneguhan Tuhan yang membuat perasaan positif muncul di dalam diri kita. Perasaan dikasihi juga merupakan perasaan positif yang akan membangun rasa percaya diri dan membuat diri kita menjadi “well being” (perasaan nyaman akan diri sendiri). Perasaan positif ini perlu terus dipertahankan di dalam hidup manusia. Setiap saat manusia diminta untuk melihat pengalaman di dalam hidupnya di mana manusia merasakan dirinya dikasihi oleh Tuhan. Setiap pengalaman yang dirasakan tidak ada berkat ketika direfleksikan menampilkan berkat (atau yang biasa diistilahkan sebagai “blessing in disguise” dan di sanalah orang menemukan kembali rahmat yang berasal dari Tuhan. Thomas Green memiliki pemikiran yang agak berbeda, namun memiliki esensi yang sama. Dalam bukunya, “Ketika Sumber Air Mengering” ia menyatakan bahwa kekeringan jiwa yang dialami manusia merupakan saat di mana manusia di minta untuk lebih berkembang. Peristiwa kering atau yang dalam konteks pembicaraan kita kali ini adalah desolasi. Pengalaman ditinggal orang tua misalkan merupakan suatu tahap dalam pengalaman hidup manusia untuk dapat berkembang. Selama manusia belum mencapai perkembangan hidup maka manusia itu akan tetap dilingkari oleh perasaan negative. Berangkat dari dua pengalaman di atas kita dapat menyimpulkan bahwa ada suatu arah di balik perasaan-perasaan yang kita alami. Arah itu mengarahkan kita untuk dapat mempertahankan perasaan positif dan atau mencari serta merasakan kembali pengalaman positif itu. Bila digambarkan arah itu adalah sebagai berikut: Konsolasi
Desolasi Lebih lanjut Thomas Green mengatakan bahwa peristiwa desolasi merupakan peristiwa di mana manusia diajak untuk mengembangkan hidupnya. Hal yang membahagiakan pada masa perkembangan yang lalu sekarang ini tidak lagi mencukupi. Mereka diminta untuk semakin lebih lagi dalam hidup.
3.Akhir dari tujuan Sebuah pertanyaan kembali yang muncul dalam benak kita adalah, “apakah akhir dari tujuan itu?”. Teilhard de Chardin dalam bukunya yang berjudul Kristus
berusaha memberi jawaban atas pertanyaan di atas. Ia menganalisa dan merefleksikan peranan Kristus di dalam sejarah perkembangan manusia selama ini. Secara dramatis ia mengatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah menjadi seperti Kristus yang lain. Yesus adalah seratus persen manusia dan seratus persen Allah. Di dalam diri Yesus ada kesatuan antara Allah dan manusia. Setiap manusia di dalam dirinya sendiri baik itu sadar atau pun tidak sadar menginginkan memiliki kesatuan antara dirinya dengan Tuhan. Teilhard membuktikan hal ini dengan adanya usaha untuk mengembangkan kebaikan di dalam diri manusia. Hukum manusia dibuat agar kebaikan itu terjaga. Di dalam dirinya sendiri manusia memiliki semangat untuk menegakkan keadilan. Orang akan marah kalau dirinya diperlakukan tidak adil. Semangat dan dorongan itulah yang membuktikan bahwa orang ingin bersatu dengan Tuhan. Di dalam kitab suci dikatakan tentang siapakah yang baik. Yang baik adalah Allah sendiri sebab Ia adalah sumber segala kebaikan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa arah dan tujuan manusia adalah semakin dekat dan erat dengan Tuhan yang menciptakannya. Dalam pembahasan berikut kita akan mencoba untuk melihat bagaimana kita dapat dekat dengan Tuhan di dalam hidup. Tidak lain adalah agar kita semakin mendekat pada Dia dan itu terkait dengan citra Allah yang ada dalam diri manusia.
4.Carl Jung: Imago Dei
Kesadaran
Ketidaksadaran yang dialami Ketidaksadaran Ketidaksadaran yang tidak dialami
Carl Jung melanjutkan dan mengembangkan teori psikoanalisa dalam aliran psikologi. Psikoanalisa ini merupakan suatu metoda yang menganalisa kepribadian manusia dari sudut pengalaman dan kedalaman jiwa. Mengikuti Freud sebagai pendahulunya ia mengatakan bahwa diri manusia (self) terdiri dari dua bagian, yang pertama adalah kesadaran dan yang kedua adalah ketidaksadaran. Kesadaran adalah segala sesuatu yang diterima oleh budi dan akal serta diamini sebagai dirinya. Ketidaksadaran adalah segala sesuatu yang tidak masuk dalam kesadaran, karena sesuatu itu masih kabur dan abstrak serta belum dapat diterima oleh dirinya.
Kesadaran memiliki bagian yang kecil dan ketidaksadaran mengambil tempat yang besar. Freud dan Jung setuju untuk menggambarkan hal itu seperti gunung es. Gunung es memiliki bagian kecil dipermukaan, namun besar di bawah laut. Ketidaksadaran oleh Jung dibagi menjadi dua, yaitu ketidaksadaran yang dialami dalam hidup manusia dan ketidaksadaran yang tidak dialami dalam hidup manusia. Ketidaksadaran yang dialami adalah segala pengalaman hidup yang tidak diterima oleh kesadaran karena akan melukai gambaran diri atau segala hal yang direpresi. Ketidaksadaran yang tidak dialami dalam hidup manusia adalah ketidaksadaran yang terjadi karena budaya atau tradisi atau garis keturunan yang diwariskan oleh orang tua, opa – oma dan nenek moyang kita. Di dalam ketidaksadaran ini dikenal adanya archetype. Archetypes adalah sesuatu yang mengalir di dalam diri manusia dan bersifat universal dimiliki oleh banyak manusia, yang mana satu karakter bisa menjadi dominan bagi yang lain. Contoh archetypes ini adalah seorang ibu bisa merawat bayinya kendati belum mengalami pengalaman merawat bayi. Setiap orang memiliki kebijaksanaan, semangat kepahlawanan dan seterusnya. Robert A Johnson seorang psikoterapis mengatakan bahwa archetypes ini adalah blueprints yang diakruniakan Tuhan sejak manusia itu belum tercipta. Hal ini tentu mengingatkan kita akan teks dari nabi Yeremia yang mengatakan, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa." (Yer1:5) Johnson mengatakan bahwa blueprint yang diberikan oleh Tuhan merupakan rahmat yang mana kalau kita menyadarinya kita akan lebih mengenal diri dan tahu apa yang perlu dilakukan untuk menjadi lebih bahagia. Saya secara pribadi mengaitkan hal ini dengan citra Allah. Carl Jung sendiri sesungguhnya merujuk pada Kitab Suci ketika ia berbicara tentang archetype. Ia mengambil istilah ini dari istilah latin yaitu “imago Dei”. Imago Dei adalah gambar dan rupa Allah. Ia meyakini bahwa hal-hal universal itu berasal dari Allah dan ada pada saat manusia diciptakan seturut gambar dan rupaNya.
5.Enneagram Berikut ini adalah uraian secara singkat karena memang bukan tempatnya menuangkan teori ini secara menyeluruh. Yang akan diberikan kali ini adalah 9 tipe kepribadian menurut teori enneagram.Tujuan pembahasan ini adalah untuk melihat dan mengajak berefleksi mengenai citra Allah yang ada di dalam diri kita. Sejarah asal mula enneagram masih menjadi perdebatan saat ini. Menurut sebagian besar orang diyakini bahwa enneagram berasal dari tradisi para sufi islam. Para sufi ini membangun suatu komunitas dan mencoba melihat dan berefleksi secara mendalam mengenai kepribadian-kepribadian manusia, khususnya yang berada
dalam komunitas mereka. Richard Rohr, seorang imam Fransiskan dan seorang direktor dari “The Center for Action and Contemplation di Alburquerque, New Meksiko mengatakan bahwa Enneagram berasal dari tradisi kristiani. Enneagram ini ditemukan oleh kelompok para pertapa kristiani. Mereka berusaha untuk mendalami kepribadian-kepribadian manusia dan menyimpulkannya. Terlepas dari mana enneagram ini berasal kita dapat memetik buah-buah yang berguna bagi hidup kita. Enneagram ini tetap hidup dan terus berkembang sampai sekarang, terutama di Barat. Enneagram ini menjadi subyek penelitian dan bahkan menjadi subyek yang dapat dianalisa berdasarkan teori-teori psikologi saat ini. Dalam teori enneagram diyakini ada 9 tipe kepribadian Allah yang ada dalam diri manusia. Mengapa ada Sembilan? Kita tidak pernah tahu mengapa, hanya saja di dalam pengalaman manusia memang ada 9 tipe itu. Hanya saja dalam 9 tipe itu hanya satu yang akan menjadi dominan dalam diri manusia. Namun demikian bukan berarti orang hanya murni satu saja, melainkan ada tipe-tipe lain yang juga dekat dengan tipe dominan ini yang akan mempengaruhi tipe dominan tadi. Dalam enneagram, kepribadiam manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga bagia. Pertama adalah kelompok hati. Kedua adalah kelompok pikiran dan keempat adalah kelompok “Gut”. Kelompok hati adalah orang-orang yang dalam hidupnya lebih banyak menggunakan perasaan dan keinginan untuk diperhatikan dan memperhatikan. Ia lebih banyak terlibat di dalam rasa, terutama pada saat ia harus memutuskan sesuatu. Kelompok pikiran adalah kelompok yang lebih mengutamakan olah berpikir. Setiap ada sesuatu yang muncul dalam hidup, ia akan segera mencerna dengan pikirannya. Kelompok “gut” adalah kelompok orang yang lebih menggunakan kehendak dan keinginan dalam memutuskan sesuatu. Ia selalu memiliki hasrat yang besar untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keinginannya. Dengan kata lain keinginan mendapat tempat yang besar di dalam hidupnya. Masing-masing kelompok itu dapat dipecah lagi menjadi 3 bagian. Kelompok hati berawal dari tipe kepribadian no 2, yaitu penolong. Tipe ini suka membantu orang lain dan dengan demikian ia dapat mengambil hati orang yang ditolongnya. Tipe no 3 adalah penampil. Ia adalah orang yang senantiasa mencoba mengetahui apa yang dibutuhkan oleh orang lain dan ia sendiri akan berperan untuk memberikannya. Ia suka tampil dan berbicara di depan umum dan ia akan bahagia kalau orang merasa terpenuhi kebutuhannya. Tipe no 4 adalah orang yang suka seni. Ia selalu tampil unik dan menyenangi segala hal yang berbau seni. Ia suka untuk berkreasi dan mencari segala hal yang berbau inovasi. Kelompok kedua adalah yang berasal dari pikiran. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah tipe 5, 6, dan 7. Tipe 5 adalah orang yang bijaksana. Orang yang ada dalam tipe ini selalu merasa tidak puas akan pandangan satu hal. Ia selalu berusaha
mencoba mencari dan menggali kebijaksanaan yang lebih. Setiap kali ada hal yang harus diputuskan ia akan menimbang-nimbang terlbih dahulu dan mencoba mencari wawasan yang lebih untuk memberikan suatu keuputusan. Tipe no 6 adalah tipe loyal. Ia adalah orang yang setia di dalam suatu perkara. Ia tidak suka adanya perubahan dan pembaruan. Bila ia bekerja dan sudah merasa “in” ia tidak mau pindah pekerjaan. Dasar dari kesetiaan adalah adanya kukuatiran yang besar di dalam hidupnya. Setiap kali bangun dia khawatir aka nada sesuatu yang luput dari perhatiannya. Setiap kali melakukan tugas ia akan sangat berhatihati dan ada kecenderungan untuk mengulang-ngulangnya. Untuk itu ia suka hal yang stabil dan tidak berubah. Tipe no 7 adalah orang yang senantiasa ceria dan bersemangat. Ia adalah tipe yang tidak pernah menganggap berat suatu masalah. Ia selalu berpikir ke depan dan optimism. Ia bersemangat untuk belajar lebih dan menekuni ilmu pengetahuan yang mendalam. Kelompok ketiga yang pertama (no 8) adalah tipe orang yang merasa diri kuat. Ia selalu merasa dirinya mampu untuk melaksanakan segala hal yang diinginkannya. Setiap kali menerima tantangan ia akan merasa mampu mengerjakannya. Ia akan mudah marah dan bahkan dapat melakukan intimidasi bila orang lain merendahkannya atau ia melihat dirinya tidak memiliki kemampuan yang diyakininya. Tipe no 9 adalah tipe orang yang suka damai. Ia tidak menyukai konflik. Bila ia terlibat konflik ia cenderng untuk menjauhinya dan melupakan konflik itu dengan tidur misalnya atau melakukan aktivitas yang dapat melupakan konflik tadi. Tipe no 9 ini berasal dari pengalaman hidup yang menyatakan bahwa dunia itu tidaklah baik dan mungkin ia pernah mengalami diri diabaikan. Untuk itu ia mau menolak dunia dengan melupakannya. Namun dengan demikian ia berusaha untuk membawa damai dalam hidup manusia. Dalam kedamaian inilah orang merasa tenang dan damai. Tipe no 1 adalah tipe orang yang senantiasa mau tampil baik. Ia merasa sakit hati ketika orang menyatakan dirinya buruk. Dalam kehidupan sehari-hari ia juga ingin selalu tampil sempurna, hanya saja ia merasa terus belum sempurna. Hal ini membuat dia berusaha untuk menekuni segala hal dan mau semuanya sempurna. 9 tipe kepribadian di atas mengajak kita untuk berefleksi manakah tipe kepribadian kita. Kalau tipe kita adalah pendamai misalnya. Kita diajak untuk senantiasa menyadari apa yang terjadi dan bergolak di dalam kehidupan kita dan menyadari bahwa kedamaian adalah suatu surga kebahagiaan yang perlu ditawarkan pada orang lain. Kedamaian ini juga dapat menjadi bekal bagi kita untuk memimpin kelompok orang tertentu misalnya. Pemimpin yang memiliki jiwa damai akan dapat menyatukan anggota-anggotanya. Namun juga disadari bahwa dengan menjadi pendamai kita harus juga mau bertindak segera dalam hidup.
Tujuan dari pemaparan enneagram ini adalah mengantar kita berefleksi akan kehidupan kita masing-masing. Maka sekali lagi dikatakan bahwa kita tidak seluruhnya mendalami enneagram ini, karena teori ini sendiri adalah teori yang memiliki banyak variable. Bila ada yang berminat untuk mendalaminya silahkan mempelajari sendiri dari website-website yang ada. Hanya memang sumber dalam bahasa Indonesia belum banyak dan mungkin belum ada yang lengkap.
6.Kesimpulan Hidup adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan. Melalui hidup orang berusaha mengungkap jati dirinya. Ketika orang menemukan siapakah dirinya ia akan mengalami bahwa Tuhan ada bersama-sama dengan kita dan kita menyadari di dalam diri kita ada sinar yang mengagumkan. Setiap manusia diciptakan Tuhan dengan baik. Biarlah sinar itu menjadi terang bagi orang-orang yang ada di sekitar kita. Biarlah terang itu pun membawa kita pada kesejatian dkita dan menjadikan hidup ;ebih bermakna lagi. Mengeksplorasi citra Allah dalam diri kita berarti mengenal diri semakin jauh dan tahu apa yang perlu kita lakukan untuk memperoleh kebahagiaan abad dan membagikan diri kita bagi orang lain.
7.Daftar Pustaka 1. King, Ursula, 1981, Towards a New Mysticism, New York: The Seabury Press. 2. Green, Thomas, 1993, Bimbingan Doa: Hati Hati Terbuka Bagi Allah, Yogyakarta: Kanisius. 3. __________, 1979, When the Well Runs Dry, Indiana: Ave Maria Press. 4. De Chardin, Teilhard, 1976, The Heart of Matter, Orlando: A Harvest Book – Harcourt Inc. 5. Humbert, Elie, 1988, C. G. Jung, Wilmette: Chiron Publication.