Cherish Hai… aku Cher. Aku malaikat yang bertugas untuk mendampingi setiap manusia yang telah menyelesaikan kehidupan di dunia dengan baik. Dan mengantar mereka ke surga yang jauh di sana… Manusia yang terakhir kudampingi adalah seorang gadis remaja yang sangat polos dan kasihan. Dari kecil ia tidak pernah memperoleh kasih sayang orang tua. Ia tinggal dan terkungkung di balik gerbang tinggi panti asuhan yang dingin. Pneumonia merenggut hidupnya dan mengantarkannya kepadaku. “Aku bahkan belum sempat diadopsi… Aku ingin menyentuh sesuatu yang bernama kasih sayang dan cinta sedikiiit saja.” Katanya. “Di sana kau akan dihadiahi kasih sayang yang begitu besar dari-Nya, Angel…” lantas ia tersenyum. Dan sekarang… Ia mengingatkanku akan satu hal. Suatu yang kontras dari apa yang ia rasakan semasa hidupnya dulu. Sesuatu yang membahagiakan. Masa laluku…. “Ehm… begini Cher… aku… aku… aduh gimana nih, ngomongnya?” Dean kemudian menarik nafas. “AKU SUKA KAMU!” aku terkejut dengan ungkapannya. Ia adalah Dean Darlene, sahabatku sedari TK yang sekarang menyatakan perasaannya dengan cara yang lucu kepadaku. “Y..ya..mm.. and then?” namun aku lebih terkejut lagi dengan kalimat yang dilontarkan Dean selanjutnya. “Would you be my fiancée?” Semenjak kejadian itu status Dean sebagai sahabat berubah menjadi ‘sahabat spesial’. Aku sudah berteman dengannya dari kecil, jadi dia sudah sangat mengerti tentang diriku. Sungguh aku pun juga sudah menaruh perasaan kepadanya dari dulu. Dean adalah seseorang yang to the point, ia memang tidak bisa merayu apalagi mengungkapkan kata-kata indah yang puitis. Tapi hal itu justru yang membuatnya selalu tulus dalam hal apapun dan kepada siapapun. Banyak orang yang menyukainya. Pribadinya sangat menyenangkan. Dan beruntungnya aku menjadi gadis yang diminta untuk menjadi tunangannya di usia 17 tahun! Hehe.. By the way, Dean memiliki darah campuran Indonesia-Austria. Matanya coklat tua dengan rambutnya yang berwarna brunette. Dan aku suka pandangan lembutnya… Saat itu di sudut kantin sekolah, kami duduk berdua sambil menikmati makanan yang sudah kami pesan. Ini adalah suatu momen-entah itu lucu-aneh atau menyenangkan bagiku. Ia menulis sesuatu yang terlihat seperti sebuah list. Dengan mulut yang masih penuh pudding, ia mulai bersuara… “Cher. Read it, please.” “Apaan nih?” Dean menyerahkan buku agenda yang baru selesai ia tulis kepadaku. Aku tersenyum setiap membaca kalimat yang tertulis di dalamnya. Dan terkesima dengan kalimat terakhir yang ditulisnya. “Ini… rencana masa depan?” “Exactly.” “Do you really want to be an architect?” “Yes.” “And you wrote at the last sentence that you will marry me soon?” “Of course.” Dean menjawabnya dengan senyuman tulus yang paling ku sukai. “I think you are the best thing in my life, Cher.” Kemudian ia menyeruput soft drink di hadapannya yang tinggal seperempat gelas… *** Hidupku bahagia. Walau memang ada saja masalah, ada saja halangan, dan ujian. Menurutku apa yang ku dapat adalah anugerah maha indah dari Tuhan. Keluarga, teman-teman, dan Dean. Roda hidupku terus berputar. Kadang di bawah, kadang di atas, dan terus berputar. Hingga berhenti di suatu hari. Bukan karena meninggal. Tapi karena sebuah keajaiban yang luar biasa. Changed me into an angel… Dan akan kuceritakan hari-hari indahku menjelang ‘perubahan’ ini… Suatu hari Dean mengunjungi rumahku. Ia membawa satu kantong besar jeruk dan apel. Dean langsung menuju ke dapur untuk membereskannya. Kebetulan di situ juga ada mommy. “Pagi tante…” “Eh, Dean. Ya ampun… repot-repot segala.” “Iya, dari mama. Mama juga titip salam buat tante...” “Oh, ya? Thanks ya. Bilang juga terima kasih sama mama kamu!” “Oke deh, Tan!” aku tertawa melihat keakraban mereka. Keluarga kami memang sudah saling kenal dari dulu. Rumahku dan Dean satu daerah dapi beda cluster. “Leo mana, Cher?” “Aaaku…dii..cinii…!! Hyaatt!” Leo-adik kecilku tiba-tiba muncul dari belakang dan menubruk Dean setelah loncat dari atas kursi. Ia berlaga seperti Batman. “Astaga Leo! Jangan begitu!” “Hihi… never mind… namanya juga anak cowo. Eh… hey! Leo hari ini pake kostum tema Batman ya? Wah kalo gitu kak Dean jadi jokernya deh! Wahahaha… hayo!” Aku senang. Senang sekali. *** Setelah lelah bermain Dean memutuskan untuk duduk di sampingku. “Fiuuh… cape juga! Udah semakin tua nih!”
“Huuh.. baru 17 tahun aja kok tua?” Dean tersenyum. “Dean…” “Hmm?” “Apa yang kamu sukai dari seorang Cherish?” Dean berdiam diri sebentar dan mulai berkata. “Cher itu charming. Cher itu lucu. Cher itu unik. Cher itu.. orang yang kau cintai.” Aku tersenyum mendengar jawabannya. Dean memang selalu bisa membuatku tersenyum. “Cher..” “Ya?” “Minggu depan…” “Minggu depan awal liburan semester.” “Ya aku tau. Maksud aku, minggu depan aku akan berangkat ke Austria.” Diam sejenak. “Oh… begitu.” Kentara sekali nada kecewaku saat itu. Dean memilih menghabiskan liburan di Austria. Ruamah keluarga ibunya. “But, you will go with me!” “Hah?” “Ya. Aku akan mengajak kamu kesana. Ketemu nenek, kakek, auntie and so on. Bahkan aku udah minta ijin mommy dan papa kamu. Dan diijinin!” “Se..serius? Aku? Wow! Dean keren!” aku langsung memeluk Dean karena saking senangnya. Ku kira aku akan melalui liburan tanpa Dean. Sungguh aku tidak sabar ingin pergi bersama Dean, saat itu. Malamnya, hatiku tidak bisa diam karena memikirkan liburan nanti, tentang rencana Dean dan tentang hal-hal seru yang akan ku lalui di Austria. Lama-lama, mataku pun akhirnya terpejam… Wanita itu cantik sekali. Ia memiliki sayap putih yang indah di balik punggungnya… dan ia mulai bicara kepadaku.. “Cherish… sudah saatnya” saatnya apa? Aku kebingungan. Oh..! jangan bilang kalau aku akan meninggal?! “Jangan bilang kalau kamu ingin mejemputku? Aku belum sempat ke Austria!” wanita dengan auranya yang bercahaya itu tersenyum. “Tidak.. maksudku, sudah saatnya kau menjalani takdir terbesarmu untuk menjadi malaikat…” Aku terkejut. Terkejut setengah mati. “Bagaimana mungkin aku yang seorang manusia menjadi malaikat?!” “Kenapa tidak? Tuhan maha segala-galanya, Cher…” ia hendak memegang kedua pipiku dan aku menghindar. “Tapi…” “Kamu memang dilahirkan sebagai manusia, tapi waktumu menjadi manusia sudah hampir habis… takdirmu sudah tercatat jauh sebelum kamu lahir.” “Tapi kenapa aku?!” aku berubah menjadi seorang yang penuh emosi. Aku tidak seperti itu. “Semua ini adalah urusan-Nya. Aku pun tidak tahu mengapa. Kau tidak boleh marah kepada siapapun.” Ia tersenyum. “Kau tahu, Cher? Menurutku kau nantinya akan menjadi malaikat yang paling beruntung…” aku tidak mengerti. Air mataku mengalir deras… dan aku terbangun… *** Keesokannya adalah hari Minggu. Hari dimana diadakannya festival di kompleks tempat ku tinggal. Aku dan Dean menemani Leo yang megenakan kostum zorro. Suasana makin ramai saat marching band mulai beraksi. Di tengah keramaian aku melihat seorang wanita di seberang dengan kostum sayapnya sambil menatapku. Aku berpikir, padahal ini kan festival yang pesertanya anak-anak. Mungkinkah ia hanya orang iseng? Setelah ku perhatikan lagi ternyata ia mengenakan kostum angel. Dan ia bercahaya. Apakah kostumnya itu yang membuat ia seakan mengeluarkan cahaya? Aku heran. Dan beberapa saat kemudian ia menghilang dari pandanganku. Sedetik kemudian aku ingat, wanita itu adalah wanita yang semalam ada di mimpiku...” *** Tibalah hari yang aku nantikan kedatangannya. Aku mengucapkan salam perpisahan dengan mommy, papa dan Leo. Entah mengapa perpisahan itu terasa menyedihkan. Belum lepas dari perasaan sedih dan bingung, Leo tiba-tiba memberikanku sesuatu. Selembar gambar buatannya. “Itu kakak… cemalem aku gambay itu…” aku terharu. Dean memberikan tanda kepadaku agar lekas berangkat. Di dalam pesawat ku lihat lagi gambar Leo. Di gambar itu aku memegang bunga dan memiliki sayap… Tertulis satu kalimat di bawahnya, “Kakak adalah malaikatku.” *** Langit Austria begitu cerah. Aku disambut baik oleh kakek nenek Dean yang ramah. Mereka benar-benar hangat. Mereka adalah keluarga yang humoris dan aku tak berhenti tersenyum setiap kali berada di dekat mereka. Hari-hari berikutnya, Dean mengajakku jalan-jalan. Kami mengunjungi tempat-tempat indah dan bersejarah. Innsbruck di Tyrol, tempat kelahiran Mozart di Salzburg, indahnya istana Belvedere, mencicipi wiener schnitzel yang lezat dan pergi ke Austria Hulu yang bagian puncaknya adalah pegunungan Alpen bagian Timur. Disana aku benar-benar merasa bahagia. Menghabiskan waktu bersama seakan waktu tidak berjalan hanya untuk kami… Hingga sampailah waktu dimana aku dan Dean menikmati pemandangan Austria yang cantik dari puncak Dachstein. Rasanya damai sekali. Namun ia datang.. malaikat itu… yang ada di mimpiku dan di festival. Sekarang dia disini. Tersenyum dan memperhatikanku yang sedang memeluk Dean dari belakang. Tak ada satu diantara kami yang bersuara. Entah saat itu aku tidak tahu untuk apa aku menangis. Yang jelas, entah juga mengapa aku yakin sekali akan suatu hal. Perpisahan. Perasaanku mengatakan ini lah
saatnya. Walaupun aku belum bisa percaya dengan jalan hidupku yang baru sebagai maliakat, tapi aku harus percaya… ini akan terjadi… Aku masih bertahan dengan pelukan ini. Dean mulai berkata. “You’re the best thing in my life.” Kalimat yang tak pernah bosan ia lontarkan dan tak pernah bosan aku dengarkan. Tiba-tiba syal ku terjatuh dari ke bagian terjal tak lama ia bicara. Biar. Mungkin syal itu tidak tahan berlama-lama di leherku dan memutuskan untuk berpisah juga. Aku lantas memejamkan mata. Menghirup udara segar Austria dan menghembuskannya dengan lega… aku merasa tubuhku ringan sekali sekarang… *** Tim penyelamat di kerahkan untuk mencariku padahal aku tidak hilang. Mereka bilang kepada keluargaku dan Dean bahwa sudah tidak ada harapan lagi. Aku dianggap sudah tewas jatuh ke jurang dan jasadku tak ditemukan. Dean saat itu mengira aku melepaskan pelukanku dan terjatuh selagi ia menikmati pemandangan Austria. Ia berbalik saat sadar sudah tidak merasakan kehadiranku lagi. Padahal aku masih ada di sebelahnya. Kemudian melihat syalku yang tersangkut di tebing terjal dan ia diam membisu. Semuanya… semuanya terpukul. Keluargaku, teman-teman, dan Dean yang ku tahu masih tak banyak bicara hingga saat ini. Untungnya… di sampingku ada malaikat cantik itu… yang belakangan ku tahu namanya Theresa. Ia menyemangatiku. Suatu saat Theresa berkata kepadaku… “Kamu tahu mengapa kamu menjadi malaikat yang paling beruntung? Karena kamu adalah malaikat yang pernah merasakan cinta dan kasih sayang yang tulus dari mereka… orang-orang di sekitarmu dulu.” *** Lama-kelamaan kesedihanku pulih seiring dengan tugas yang kujalankan. Orang-orang baik yang ku jemput memberikanku banyak pelajaran…. Itu lah masa laluku. Dan sekarang pun aku sedang berpendar di puncak Dachstein. Tepat di sebelah Dean yang sedang menerawang jauh ke pemandangan Austria yang indah….