Abu Nawas Abu Nawas adalah seorang pujangga yang lahir di Ahwaz, Persia dan tinggal di Basrah pada 747 M dan meninggal 810 M. Patingnya didirikan berbentuk logam, setinggi 3 meter berdiri kokok di tepi sungai Tigris. Syair-syairnya luar biasa. Suatu hari di pasar, Raja Harun Al-Rasyid begitu geram pada Abu Nawas yang menjelek-jelekkannya di depan umum. Ketika berpidato di pasar, Abu Nawas mengatakan Raja lebih kaya dari Allah dan sangat mencintai fitnah. Pasar menjadi ramai. protes menghujaninya, tetapi dia tenang2 aja. lalu dia ditangkap. dengna Murka Raja menginterogasinya. Apakah benar kamu yagn mengatakan itu di pasar? Abu Nawas membenarkannya, lalu Raja spontan memerintahkan punggawanya untuk menggantungnya besok pagi. Sebelon dibawa penggawal, Abu meminta izin Raja untuk menjelaskan maksud ucapannya. Tenang Baginda, beri saya kesempatan untuk menjelaskan apa maksud perkataan saya. katanya memohon. Abu pun menjelaskan apa yang dia maksud raja lebih kaya dari Allah, karena Raja punya anak sedangkan Allah tidak memiliki anak. Sedangkan raja sangat mencintai fitnah maksudnya karena raja sangat mencintai istri dan anak-anaknya. padahal mereka dapat menjadi fitnah baginya. Raja Harun geleng2 sambil bertanya kenapa kamu berteriak2 di pasar? yang tidak paham perkataanmu bisa marah. Abu menjawab kalau masyarakat marah, maka ia baru bisa dipanggil raja. Kalau aku sudah memanggil, memangnya kenapa, tanya raja. Abu menjawab : ya biar bisa dikasih hadiah, Baginda, jawabnya sambil tersenyum. lalu sekantung uang dinar diberikan kepadanya Aladin Aladin adalah seorang tukang jahit yang miskin dan tinggal bersama ibunya, dia mencintai putri raja yang bernama Yasmine, lalu suatu hari dia kedatangan seorang saudara jauh ayahnya orang itu meminta Aladdin untuk mencari sesuatu di sebuah Gua. benda itu adalah sebuat lampu ajaib. Setelah menempuh rintangan yang besar, Aladdin berhasil mendapatkan lampu ajaib itu, dan Orang itu berniat merampas tanpa memberikan imbalan apa2 kepada Aladdin, belum sempat dirampas, Aladdin mengetahui bahwa lampu itu dihuni jin
yang bisa memenuhi segala permintaan. lalu Aladin mengunakan nya, dan hidup bahagia bersama ibunya dan yasmin. Ali Baba Ali Baba orang yang miskin, sedangkan saudara tuanya, Qasim hidup kaya, tapi pelit dan tamak dan tidak mo bantu Ali Baba, suatu hari Ali Baba menemukan suatu gua tempat menyimpan harta para penyamun, lalu Ali Baba masuk dan mengambilnya ketika penyamun sedang pergi, dan menjadi kaya karenanya. Qasim, kakaknya menjadi iri dan menanyakan hal tsb kepada Ali Baba, karena jujur dan sayang ama kakaknya, Ali Baba membocorkan rahasia kepada kakaknya itu. Ketika Qasim ke tempat persembunyian penyamun itu, tak terduga, rombongna penyamun itu muncul dan dia tertangkap. masih ada cerita-cerita laen seperti Sinbad si pelaut, jin ifrit etc.. yang ada ceritanya bagi2 donk
Dongeng Seribu Satu Malam Putri Syahrazade berkata, Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang putri yang sangat rupawan. Kecantikannya serupa seorang dewi. Rambutnya panjang dan hitam kemilau bak malam berbintang. Kulitnya berwarna putrih kemerahan seperti mutiara. Alis matanya bak semut beriring. Matanya bercahaya seperti lilin dalam kegelapan. Bola matanya hitam dan jernih bak air. Kita bisa berkaca ke dalamnya dan mendapatkan diri kita masuk ke dalam pusaran gaibnya. Hidungnya mancung bak pahatan terindah dan bibirnya merah seranum buah beri di musim panas yang tampaknya manis menyegarkan. Tubuhnya molek bak Ratu Mesir yang memakan mutiara direndam asam agar awet muda dan tubuh tak berubah bentuk dari mudanya. Lalu terdengarlan kecantikan itu oleh seorang pangeran muda yang ingin melihat sendiri kecantikan sang putri dan menilai sejauh apa isi kepalanya yang katanya pintar dan bijaksana. Lalu apa lanjutannya, Putri? Besok saja Baginda… aku sudah mengantuk. Ayahanda sang putri ingin menikahkan putrinya. Tapi sang putri tidak ingin bersanding dengan siapapun karena ia tidak ingin terpenjara dalam istana dan kebebasannya terkungkung dalam rumah kaca. Kalau begitu bagaimana jika kita adakan sayembara agar yang terpilih kelak adalah pria rupawan pintar lagi kuat dan gagah yang pantas bersanding denganmu, Ananda? Baiklah Ayahanda, Ananda akan menjadi anak berbakti dan menuruti semua perintah Ayahanda, juga tradisi. Karena seorang wanita tak boleh hidup sendiri harus menuruti kodrat menjadi seorang ibu dan seorang istri. Lalu diadakanlah sayembara bagi para pemuda gagah dari seluruh pelosok negeri. Datanglah , wahai pesohor, para pangeran, dan raja-raja seantero bumi. Kapan lagi ada kesempatan ini? Putri yang cantik akan melihat adu kepandaian & ketangkasan dan ia sendiri yang akan menjadi pialanya. Kemudian bagaimana? Besok kita lanjutkan lagi, Baginda. Cerita ini masih panjang….. Putri cantik melihat dengan sedih. Semua pemuda tampan lagi gagah melihatnya dengan penuh hasrat. Tak ada seorangpun yang dikenalnya dan mereka juga tidak pernah mengenalnya. Bagaimana mereka bisa menilai isi hati dari kulit? Bagaimana bisa melihat kucing dalam karung? Apakah seluruh penampilan fisik ini dapat menjadi dasar sebuah mahligai yang indah? Dan bila semua ini usai aku akan masuk ke dalam sangkar untuk selamanya tak akan bisa kembali. Mengapa kau ceritakan ini, Putri? Mengapa tak seperti cerita yang biasa dikisahkan orang lain? Sayembara itu hal biasa, begitu juga perjodohan. Kenapa kau menjadikannya sebuah tragedi? Karena aku berwawasan jauh ke depan. Akan ada masanya seorang wanita bebas menjadi dirinya sendiri. Bukan lagi merupakan tulang rusuk hilang seorang pria. Kelak pernikahan akan merupakan perjanjian dua manusia untuk saling membahagiakan. Bukan pencarian seorang pria terhadap wanita maupun sebaliknya. Sudahlah Putri, kita lanjutkan besok saja. Hari ini aku tak lagi berhasrat mendengar kisah ini, tapi aku ingin tahu akhir ceritanya. Sayembara telah dimulai. Dari seribu pegagah seluruh negeri hanya seratus yang lolos
babak pertama. Padahal babak pertama hanya adu kekuatan. Dan tak ada lagi kesempatan untuk yang lemah mendapatkan sang putri cantik sebagai hadiah. Babak kedua adalah adu ketangkasan. Sang Pangeran menarik busur dengan jarak yang tepat dan membidik apel tepat ditengahnya. Ia pun lolos babak kedua. Dengan rasa penasaran ia melihat putri cantik bercadar hitam. Wajahnya tak terlihat, hanya matanya bersorot sedih seolah sedang memendam kepedihan bak datang ke upacara pemakaman. Apa yang kau sedihkan, wahai sang putri? Tak sabar aku ingin membuka cadarmu dan melihat seberapa cantiknya engkau sehingga berani mempermainkan seribu laki-laki. Wajah Raja semakin bersemangat. Aku suka bagian ini. Aku tahu sekali bagaimana rasanya keinginan mendapatkan seorang putri cantik yang sombong dan menaklukkan keangkuhannya. Putri Syahrazade menjawab dengan sedi. Kalau begitu kita lanjutkan besok, Baginda, karena aku harus mengingat dengan jelas urutan ceritanya….. Sepuluh orang lolos dalam dua babak besar. Kini tinggal babak terakhir, yaitu adu kepandaian. Sang putri sendiri yang akan menguji dan satupun tak ada yang tahu isi soalnya. Wahai pangeran-pangeran gagah perkasa yang kuat kepribadian lagi tangkas dan cekatan, hanya satu yang ingin kutanyakan, apakah itu cinta? Seseorang menjawab, cinta adalah kasih saying. Lainnya, cinta adalah perasaan yang tumbuh di antara manusia. Cinta bisa bermacam-macam, cinta orang tua pada anak, cinta dua lawan jenis, dan cinta tanah air, kata yang berwajah pintar. Cinta bisa menghangatkan jiwa. Cinta bisa pula menghanguskan. Cinta tidak bisa dijabarkan dalam satu kalimat pendek tapi kalau Putri berkenan akan saya buat satu buku tentang cinta untukmu. Sang pangeran berkata tidak sabar, Jangan beromong kosong Putri, sesudah mengalahkan sembilan ratus sembilan puluh orang, apakah kau ingin mempermainkan kami dengan menanyakan hal remeh ini? Putri menoleh padanya, Kalau begitu apa arti cinta bagimu, Pangeran? Pangeran tertawa dan menjawab, Aku akan mencintaimu Putri. Aku telah mendengar kecantikan dan luasnya wawasanmu. Sekarang, bukalah cadarmu dan aku akan mencintaimu. Karena wajahmu yang cantik itu akan membuatku mabuk kepayang. Lalu apa uang dilakukan sang putri? Tanya Raja tak sabar. Baginda, hari sudah menjelang pagi, kita harus tidur. Masih banyak hari esok… Sang putri membuka cadar hitamnya yang merupakan tabir yang membayangkan wajahnya yang cantik. Sinar matahari menerpa wajahnya memantulkan sosok sempurna seorang putri yang memang tak ada tandingannya. Seribu pegagah terpana memandangnya dan meraka merasa bahwa mereka mengerti arti cinta. Mereka jatuh cinta pada pandangan pertama dan mungkin sampai seumur hidup mereka. Sebab mereka tak akan lupa wajah secantik itu yang akan membuat mereka menyesal sampai akhir hayat karena hanya satu orang saja yang akan mendapatkannya. Aku sudah tahu Putri! Kata pangeran bersemangat. Cinta itu adalah sesuatu yang membangkitkan jiwa dari tidur pulasnya selama ini. Ia bisa menggolak seluruh isi kepalaku dan juga menggetarkan seluruh tubuhku. Aku sudah merasakannya… pada
dirimu. Sang putri berkata padanya dengan sorot mata sedih, Kau salah Pangeran… kau tidak lolos babak ini kalau hanya itu arti cinta. Berarti perasaanmu hanya sekejab saja. Jangan bilang kau akan melanjutkannya besok! Maaf Baginda, tapi Anda harus menjaga kesehatan. Sang Pangeran menjadi kecewa dan mengeluarkan pedangnya. Ia membelah meja di hadapan putri hingga pecah berkeping-keping. Seorang pangeran menjawab, Aku akan mencoba menjawabnya Putri. Kau benar, cinta itu adalah sesuatu yang sekejap, tapi kau salah bila mengira dengan cinta bisa bahagia. Pasangan jiwa adalah untuk dua orang yang saling mengerti dan memahami. Satu orang membantu yang lainnya melewati kehidupan ini. Perasaan cinta hanya hadiahnya. Sang putri memdadak berseri dan menunjuk pangeran tadi. Ini pemenangnya, Ayahanda! Aku mau melewati sisa hidupku bersamanya, bersama pasangan jiwaku ini, yang akan membuat sisa hidupku bermakna. Kau mambuatku kecewa Putri. Apakah hanya sampai di sini akhir cerita ini? Tidak Baginda, besok akan saya lanjutkan. Sang putri diboyong pangeran ke istananya, dan mengundang banyak tanya dari seantero negeri seperti apakah pernikahan mereka nanti? Apakah seperti yang diinginkan sang putri? Ketika ayahanda pangeran wafat, sang pangeran naik takhta. Sang putri menjadi permaisurinya. Tahun-tahun pertama kehidupan mereka bahagia.Tapi pangeran bosan dengan satu istri saja, sebab para menteri menyajikan beberapa gadis muda. Sekali lirik saja sudah tahu bahwa di dalamnya manis dan masak. Sang putri telah melahirkan beberapa putra, tapi anak-anaknya kehilangan kasih ayahanda mereka. Sebab para selir cantik tanpa isi lebih menarik dari pada ocehan seorang putri yang sok bijaksana. Apakah kau menyindirku Putri? Tidak Baginda. Lalu apa artinya kau memceritakan semua ini? Bukankah kau tahu haremku penuh berisi selir, dan seorang Syahrazade tidak dapat memuaskanku? Aku tahu Baginda, ini hanya sebuah kisah. Bukankah Baginda senang aku berkisah? Bila Anda bosan, kita lanjutkan lagi esok hari. Tahun demi tahun berlalu. Sang putri mempunyai seorang anak gadis. Ia menuruni kecantikan ibunya dan kegagahan serta kepandaian ayahnya. Anak gadis itu sudah saatnya menikah dan ayahnya ingin mengadakan sayembara untuknya. Sama seperti dulu, ketika ia memenangkan hati sang putri dan membawa piala itu pulang dengan penuh kebanggaan. Tapi sang gadis jatuh cinta pada pelayan istana dan telah menjalin hubungan cukup lama. Ketika sang ayahanda tahu, ia mengurung anak gadisnya dalam sebuah menara, tak melepaskannya sampai hari sayembara tiba. Kisah seperti apa ini? Bagaimana pula akhirnya? Sabar Baginda, akan saya lanjutkan lagi esok. Gadis muda menolak makan berhari-hari. Penganan mewah sampai kesukaannya tak
disentuh. Tubuhnya kian lama kian kurus dan tak punya daya lagi untuk berdiri. Lalu ibunda datang menjenguk. Sang putri berkata pada anaknya. Anakku, makanlah agar tubuhmu kuat. Saya tidak ingin hidup lagi, Ibunda. Makan dan hidup adalah suatu hal yang berbeda. Bila kau tak ingin hidup lagi, bunuh diri saja sekalian. Gadis itu menatap ibundanya dengan bingung. Aku tahu kau mencintainya. Malam ini, aku akan melepasmu pergi, berdua dengan kekasih pilihanmu. Mengapa kau berbuat ini, Ibunda? Karena aku tak ingin nasibmu sepertiku, terpenjara dalam dunia tanpa jeruji dan mengulangi nasib yang sudah sejak dulu berulang beribu generasi. Aku mau kau menjadi seorang wanita bebas. Pergilah. Bila kekasih pilihanmu takut membawamu pergi, pergilah sendiri. Lalu, apakah ia pergi? Aku tidak tahu Baginda. Ia butuh waktu semalaman untuk berpikir. Apa pun hasilnya, itu adalah kemauannya sendiri. Itu pilihan bebasnya, dan akibatnya harus ia tanggung sendiri.
Hikayat Bayan Budiman Sebermula ada saudagar di negara Ajam.Khojan Mubarok namanya,terlalu amat kaya,akan tetapi ia tiada beranak.tak seberapa lama setelah ia berdoa kepada Tuhan,maka saudagar Mubarok pun beranaklah istrinya seorang anak laki-laki yang di beri nama Khojan Maimun. Setelah umurnya Khojkan maimun lima tahun,maka di serahkan oleh bapaknya mengaji kepada banyak guru sehingga sampai umur Khojan Maimun lima belas tahun,ia di pinangkan dengan anak saudagar yang kaya,amat elok parasnya,namanya Bibi Zainab. Hatta beberapa lamanya khojan Maimun beristri itu,ia membeli seekor burung bayan jantan.Maka beberapa di antara itu ia juga membeli seekor tiung betina,lalu di bawanya ke rumah dan di taruhnya hampir sangkaran bayan juga Pada suatu hari Khojan Maimun tertarik akan perniagaan di laut,lalu minta izinlah dia kepada istrinya.Sebelum dia pergi ,berpesanlah dia pada istrinya itu,jika ada barang suatu pekerjaan,mufakatlah dengan dua ekor unggas itu,hubaya-hubaya jangan tiada ,karena fitnah di dunia amat besar lagi tajam dari pada senjata. Hatta beberapa lama di tinggal suaminya,ada anak Raja Ajam berkuda lalu melihatnya rupa Bibi Zainab yang terlalu elok.Berkencanlah mereka unyuk bertemu melalui seorang perempuan tua.maka pada suatu malam,pamitlah Bibi Zainab kepada burung tiung itu hendak menemui anak raja itu,maka bernasehatkah di tentang perbuatanya yang melanggar aturan Allah SWT.maka marahlah istri Khojan Maimun dan disentakkannya tiung itu dari sangkarnya dan dihempaskannya sampai mati. Lalu Bibi Zainab pun pergi mendapatkan bayan yang sedang berpura2 tidur.maka bayan pun berpura2 terkejut dan mendengar kehendak hati Bibi Zainab perg mendapatkan anak raja.maka bayan pun berpikir bila ia menjawab seperti tiung maka ia juga akan binasa.Setelah ia sudah berpikir demikian itu,mak ujarnya,"Aduhai Siti yang baik paras,pergilah dengan segeranya mendapatkan anak raja itu.Apapun hamba ini haraplah tuan,jikalau jahat sekalipun pekerjaan tuan,Insya Allah di atas kepala hambalah menanggungnya.Baiklah tuan pergi,karena sudah di nanti anak raja itu.Apatah di cara oleh segala manusia di dunia ini selain martabat,kesabaran,dan kekayaan? Adapun akan hamba,tuan ini adalah seperti hikayat seekor unggas bayan yang dicabut bulunya oleh tuannya seorang istri saudagar. Maka berkeinginanlah istri Khojan Maimun untuk mendengarkan cerita tersebut.Maka Bayanpun berceritalah kepada Bibi Zainab dengan maksud agar ia dapat memperlalaikan perempuan itu. Hatta setiap malam,Bibi Zainab yang selalu ingin mendapatkan anak raja itu,dan setiap berpamitan dengan bayan ,maka di berilah ia cerita2 hingga sampai 24 kisah dan 24 malam burung tersebut bercerita,hingga akhirny lah Bibi Zainab pun insaf terhadap perbuatanya dan menunggu suaminya Khojan Maimum pulang dari rantauannya.
Hikayat Bayan Budiman  Khoja Mubarak seorang saudagar kaya di negeri yang bernama Ajam. Beliau mempunyai seorang anak yang bernama Khoja Maimun. Apabila cukup umurnya, Khoja Maimun telah dikahwinkan dengan Bibi Zainab. Oleh kerana hampir kehabisan harta, Khoja Maimun bercadang untuk pergi belayar dan berniaga. Sebelum belayar, Khoja Maimun telah membeli dua ekor burung sebagai peneman isterinya sepeninggalan beliau pergi belayar. Seekor burung bayan dan seekor burung tiung. Apabila sampai masa hendak pergi belayar, Khoja Maimun berpesan kepada isterinya supaya sentiasa bermuafakat dengan burung-burung itu sebelum melakukan sesuatu perkara. Sepeninggalan Khoja Maimun, Bibi Zainab yang tinggal sendiri berasa kesunyian. Semasa duduk termenung di tingkap, seorang putera raja lalu dihadapan rumahnya. Kedua-duanya saling berpandangan dan berbalas senyum. Sejak hari itu Bibi Zainab telah jatuh berahi terhadap putera raja itu. Putera Raja itu juga telah jatuh cinta pada Bibi Zainab. Dengan perantaraan seorang perempuan tua, pertemuan antara mereka berdua telah dapat di atur. Sebelum meninggalkan rumahnya, Bibi Zainab telah menyatakan hasratnya kepada burung tiung betina yang diharapnya akan lebih memahami perasaannya. Maka jawab tiung; “ya, tuan yang kecil molek, siti yang baik rupa, pekerjaan apakah yang tuan hamba hendak kerjakan ini? Tiadakah tuan takut akan Allah subhanahu wataala dan tiadakah tuan malu akan Nabi Muhammad, maka tuan hendak mengerjakan maksiat lagi dilarangkan Allah Taala dan ditegahkan Rasulullah s.a.w. Istimewanya pula sangat kejahatan, dan tiada wajib atas segala perempuan membuat pekerjaan demikian itu. Tiadakah tuan mendengar di dalam al-Quran dan kitab hadis Nabi, maka barangsiapa perempuan yang menduakan suaminya, bahawa sesungguhnya disulakan oleh malaikat di dalam neraka jahanam seribu tahun lamanya…” Teguran burung tiung betina itu membuatkan Bibi zainab marah lalu dihempaskan burung itu ke bumi. Matilah burung itu. Bibi Zainab setertusnya meminta nasihat daripada burung bayan pula sambil mencurahkan hasrat hatinya itu. Setelah mendengar semuanya, burung bayan pun berkata; “Adapun hamba ini haraplah tuan, jikalau jahat sekalipun pekerjaan tuan, insyaAllah di atas kepala hambalah menanggungnya, jika datang suami tuan pun, tiada mengapa,
daripada hamba inipun hendak membuat bakti kepada tuan dan berbuat muka pada suami tuan itu. Baiklah tuan segera pergi, kalau-kalau lamalah anak raja itu menantikan tuan, kerana ia hendak bertemu dengan tuan. apatah dicari oleh segala manusia di dalam dunia ini, melainkan martabat, kebesaran dan kekayaan?Adakah yang lebih daripada martabat anakj raja? tetapi dengan ikhtiar juga sempurnalah adanya. Adapun akan hamba tuan ini adalah seperti hikayat seekor unggas bayn yang dicabut bulunya oleh seorang isteri saudagar….“ Burung Bayan tidak melarang malah dia menyuruh Bibi Zainab meneruskan rancangannya itu, tetapi dia berjaya menarik perhatian serta melalaikan Bibi Zainab dengan cerita-ceritanya. Bibi Zainab terpaksa menangguh dari satu malam ke satu malam pertemuannya dengan putera raja. begitulah seterunya sehingga Khoja Maimun pulang dari pelayarannya. Bayan yang bijak bukan sahaja dapat menyelamatkan nyawanya tetapi juga dapat menyekat isteri tuannya daripada menjadi isteri yang curang. Dia juga dapat menjaga nama baik tuannya serta menyelamatkan rumahtangga tuannya. Antara ceriota bayan itu ialah mengenai seekor bayan yang mempunyai tiga ekor anak yang masih kecil. Ibu bayan itu menasihatkan anak-anaknya supaya jangan berkawan dengan anak cerpelai yang tinggal berhampiran. Ibu bayan telah bercerita kepada anakanaknya tentang seekor anak kera yang bersahabat dengan seorang anak saudagar. Pada suatu hari mereka berselisih faham. Anak saudagar mendapat luka di tangannya. Luka tersebut tidak sembuh melainkan diubati dengan hati kera. Maka saudagar itupun menangkap dan membunuh anak kera itu untuk mengubati anaknya. Sebuah lagi cerita bayan ialah mengenai seorang lelaki yang sangat mengasihi isterinya. Apbila isterinya meninggal dunia, dia telahj memohon dioa kepada Tuhan supaya separuh daripada umurnya dibahagikan kepada isterinya. Doa itu dikabulkan dan isterinya hidup semual. Namun, si isteri tidak jujur dan lari dengan seorang saudagar kaya. Lelaki itu menjejaki isterinya kerana menyangka isterinya dilarikan oleh saudagar kaya itu. Tetapi dia telah dihina dan diusir oleh isterinya. Kerana marah dan kecewa, lelaki itu memohon agar Tuhan mengembalikan usianya yang telah diberi kepada isterinya. Dengan kehendak Tuhan, isterinya mati semula. Dalam cerita yang lain pula, bayan bercerita mengenai pengorbanan seorang isteri. seorang puteri raja yang kejam telah membunuh 39 orang suaminya. suaminya yang keempat puluh telah berjaya menginsafkannya dengan sebuah cerita mengenai seekor rusa betina yang sanggup menggantikan pasangannya, rusa jantan, untuk disembelih. Begitu kasih rusa betina kepada pasangannya sehingga sanggip mengorbankan diri untuk disembelih. Puteri itu insaf dan tidak jadi membunuh suaminya yang keempat puluh itu, malah sanggup berkorban apa sahaja untuk suaminya.
Hikayat Indera Bangsawan Ditulis oleh dahlanforum di/pada Juni 9, 2009 Tersebutlah perkataan seorang raja yang bernama Indera Bungsu dari Negeri Kobat Syahrial. Setelah berapa lama di atas kerajaan, tiada juga beroleh putra. Maka pada suatu hari, ia pun menyuruh orang membaca doa kunut dan sedekah kepada fakir dan miskin. Hatta beberapa lamanya, Tuan Puteri Sitti Kendi pun hamillah dan bersalin dua orang putra laki-laki. Adapun yang tua keluarnya dengan panah dan yang muda dengan pedang. Maka baginda pun terlalu amat sukacita dan menamai anaknya yang tua Syah Peri dan anaknya yang muda Indera Bangsawan. Maka anakanda baginda yang dua orang itu pun sampailah usia tujuh tahun dan dititahkan pergi mengaji kepada Mualim Sufian. Sesudah tahu mengaji, mereka dititah pula mengaji kitab usul, fikih, hingga saraf, tafsir sekaliannya diketahuinya. Setelah beberapa lamanya, mereka belajar pula ilmu senjata, ilmu hikmat, dan isyarat tipu peperangan. Maka baginda pun bimbanglah, tidak tahu siapa yang patut dirayakan dalam negeri karena anaknya kedua orang itu sama-sama gagah. Jikalau baginda pun mencari muslihat; ia menceritakan kepada kedua anaknya bahwa ia bermimpi bertemu dengan seorang pemuda yang berkata kepadanya: barang siapa yang dapat mencari buluh perindu yang dipegangnya, ialah yang patut menjadi raja di dalam negeri. Setelah mendengar kata-kata baginda, Syah Peri dan Indera Bangsawan pun bermohon pergi mencari buluh perindu itu. Mereka masuk hutan keluar hutan, naik gunung turun gunung, masuk rimba keluar rimba, menuju ke arah matahari hidup. Maka datang pada suatu hari, hujan pun turunlah dengan angin ribut, taufan, kelam kabut, gelap gulita dan tiada kelihatan barang suatu pun. Maka Syah Peri dan Indera Bangsawan pun bercerailah. Setelah teduh hujan ribut, mereka pun pergi saling carimencari. Tersebut pula perkataan Syah Peri yang sudah bercerai dengan saudaranya Indera Bangsawan. Maka ia pun menyerahkan dirinya kepada Allah Subhanahuwata’ala dan berjalan dengan sekuatkuatnya. Beberapa lama di jalan, sampailah ia kepada suatu taman, dan bertemu sebuah mahligai. Ia naik ke atas mahligai itu dan melihat sebuah gendang tergantung. Gendang itu dibukanya dan dipukulnya. Tiba-tiba ia terdengar orang yang melarangnya memukul gendang itu. Lalu diambilnya pisau dan ditorehnya gendang itu, maka Puteri Ratna Sari pun keluarlah dari gendang itu. Puteri Ratna Sari menerangkan bahwa negerinya telah
dikalahkan oleh Garuda. Itulah sebabnya ia ditaruh orangtuanya dalam gendang itu dengan suatu cembul. Di dalam cembul yang lain ialah perkakas dan dayang-dayangnya. Dengan segera Syah Peri mengeluarkan dayang-dayang itu. Tatkala Garuda itu datang, Garuda itu dibunuhnya. Maka Syah Peri pun duduklah berkasih-kasihan dengan Puteri Ratna Sari sebagai suami istri dihadap oleh segala dayang-dayang dan inang pengasuhnya. Tersebut pula perkataan Indera Bangsawan pergi mencari saudaranya. Ia sampai di suatu padang yang terlalu luas. Ia masuk di sebuah gua yang ada di padang itu dan bertemu dengan seorang raksasa. Raksasa itu menjadi neneknya dan menceritakan bahwa Indera Bangsawan sedang berada di negeri Antah Berantah yang diperintah oleh Raja Kabir. Adapun Raja Kabir itu takluk kepada Buraksa dan akan menyerahkan putrinya, Puteri Kemala Sari sebagai upeti. Kalau tiada demikian, negeri itu akan dibinasakan oleh Buraksa. Ditambahkannya bahwa Raja Kabir sudah mencanangkan bahwa barang siapa yang dapat membunuh Buraksa itu akan dinikahkan dengan anak perempuannya yang terlalu elok parasnya itu. Sembilan orang anak raja sudah berada di dalam negeri itu. Akhirnya raksasa itu mencanangkan supaya Indera Bangsawan pergi menolong Raja Kabir. Diberikannya juga suatu permainan yang disebut sarung kesaktian dan satu isyarat kepada Indera Bangsawan seperti kanak-kanak dan ilmu isyarat itu boleh membawanya ke tempat jauh dalam waktu yang singkat. Dengan mengenakan isyarat yang diberikan raksasa itu, sampailah Indera Bangsawan di negeri Antah Berantah. Ia menjadikan dirinya budak-budak berambut keriting. Raja Kabir sangat tertarik kepadanya dan mengambilnya sebagai permainan Puteri Kemala Sari. Puteri Kemala Sari juga sangat suka cita melihatnya dan menamainya si Hutan. Maka si Hutan pun disuruh Puteri Kemala Sari memelihara kambingnya yang dua ekor itu, seekor jantan dan seekor betina. Pada suatu hari, Puteri Kemala Sari bercerita tentang nasib saudara sepupunya Puteri Ratna Sari yang negerinya sudah dirusakkan oleh Garuda. Diceritakannya juga bahwa Syah Peri lah yang akan membunuh garuda itu. Adapun Syah Peri itu ada adik kembar, Indera Bangsawan namanya. Ialah yang akan membunuh Buraksa itu. Tetapi bilakah gerangan Indera Bangsawan baru akan datang? Puteri Kemala Sari sedih sekali. Si Hutan mencoba menghiburnya dengan menyanyikan pertunjukan yang manis. Maka Puteri Kemala Sari pun tertawalah dan si Hutan juga makin disayangi oleh tuan puteri. Hatta berapa lamanya Puteri Kemala Sari pun sakit mata, terlalu sangat. Para ahli nujum mengatakan hanya air susu harimau yang beranak mudalah yang dapat menyembuhkan penyakit itu. Baginda bertitah lagi. “Barang siapa yang dapat susu harimau beranak muda, ialah yang akan menjadi suami tuan puteri.” Setelah mendengar kata-kata baginda Si Hutan pun pergi mengambil seruas buluh yang berisi susu kambing serta menyangkutkannya pada pohon kayu.
Maka ia pun duduk menunggui pohon itu. Sarung kesaktiannya dikeluarkannya, dan rupanya pun kembali seperti dahulu kala. Hatta datanglah kesembilan orang anak raja meminta susu kambing yang disangkanya susu harimau beranak muda itu. Indera Bangsawan berkata susu itu tidak akan dijual dan hanya akan diberikan kepada orang yang menyediakan pahanya diselit besi hangat. Maka anak raja yang sembilan orang itu pun menyingsingkan kainnya untuk diselit Indera Bangsawan dengan besi panas. Dengan hati yang gembira, mereka mempersembahkan susu kepada raja, tetapi tabib berkata bahwa susu itu bukan susu harimau melainkan susu kambing. Sementara itu Indera Bangsawan sudah mendapat susu harimau dari raksasa (neneknya) dan menunjukkannya kepada raja. Tabib berkata itulah susu harimau yang sebenarnya. Diperaskannya susu harimau ke mata tuan puteri. Setelah genap tiga kali diperaskan oleh tabib, maka tuan puteri pun sembuhlah. Hatta sampailah masa menyerahkan Tuan Puteri kepada Buraksa. Baginda menyuruh orang berbuat mahligai di tengah padang akan tempat duduk tuan puteri. Di bawah mahligai itu ditaruh satu bejana berisi air, supaya Buraksa boleh datang meminumnya. Di sanalah anak raja yang sembilan orang itu boleh berebut tuan puteri. Barang siapa yang membunuh Buraksa itu, yaitu mendapat hidungnya yang tujuh dan matanya yang tujuh, dialah yang akan menjadi suami tuan puteri. Maka tuan puteri pun ditinggalkan baginda di mahligai di tengah padang itu. Si Hutan juga menyusul datang. Tuan puteri terharu akan kesetiaannya dan menamainya si Kembar. Hatta si Kembar pun bermohon kepada tuan puteri dan kembali mendapatkan raksasa neneknya. Raksasa neneknya memberikan seekor kuda hijau dan mengajarnya cara-cara membunuh Buraksa. Setelah itu, si Kembar pun menaiki kuda hijaunya dan menghampiri mahligai tuan puteri. Katanya kepada tuan puteri bahwa dia adalah seorang penghuni hutan rimba yang tiada bernama. Tujuan kedatangannya ialah hendak melihat tamasya anak raja yang sembilan itu membunuh Buraksa. Tuan puteri menyilakan naik ke mahligai itu. Setelah menahan jerat pada mulut bejana itu dan mengikat hujung tali pada leher kudanya serta memesan kudanya menarik jerat itu bila Buraksa itu datang meminum air, si Kembar pun naik ke mahligai tuan puteri. Hatta Buraksa itu pun datanglah dengan gemuruh bunyinya. Tuan puteri ketakutan dan si Kembar memangkunya. Tersebut pula perkataan Buraksa itu. Apabila dilihatnya ada air di dalam mulut bejana itu, maka ia pun minumlah serta dimasukannya kepalanya ke dalam mulut bejana tempat jerat tertahan itu. Maka kuda hijau si Kembar pun menarik tali jerat itu dan Buraksa pun terjeratlah. Si Kembar segera datang memarangnya hingga mati serta menghiris hidungnya yang tujuh dan matanya yang tujuh itu. Setelah itu si Kembar pun mengucapkan “selamat tinggal” kepada tuan puteri dan gaib dari padang itu. Tuan puteri ternganga-nganga seraya berpikir bahwa orang muda itu pasti adalah Indera Bangsawan.
Hatta para anak raja pun datanglah. Dilihatnya bahwa Buraksa itu sudah mati, tetapi mata dan hidungnya tiada lagi. Maka mereka pun mengerat telinga, kulit kepala, jari, tangan dan kaki Buraksa itu untuk dibawa kepada baginda. Baginda tidak percaya mereka sudah membunuh Buraksa itu, karena tanda-tanda yang dibawa mereka itu bukan alamatnya. Selang berapa lama, si Kembar pun datang dengan membawa mata dan hidung Buraksa itu dan diberikan tuan puteri sebagai isteri. Si Kembar menolak dengan mengatakan bahwa dia adalah hamba yang hina. Tetapi, tuan puteri menerimanya dengan senang hati.
Hikayat Seri Rama
Ramayana, Cerita yang Tidak Pernah Usang Judul : Hikajat Seri Rama Penerbit : Balai Poestaka Tahun : 1938 Tebal : 256 halaman RAMA dan Sita (Sinta) merupakan sejoli yang berasal dari epik Ramayana. Dalam proses perjalanan dari negeri asalnya, kedua sosok tersebut telah berubah dari versi aslinya menjadi bentuk cerita yang sarat dengan muatan lokal di mana cerita itu berkembang. Sebenarnya kisah Ramayana bukanlah sekadar cerita cinta seperti Romeo dan Juliet, tetapi sebuah drama kehidupan yang penuh idealisme, nilai moral, penggambaran kondisi sosial, budaya, dan politik. Inilah yang terjadi dengan Hikajat Seri Rama yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1938. Tradisi lisan yang mengusung kisah Ramayana ke Nusantara pada abad ke-13 itu biasanya dibawakan oleh seorang penutur cerita atau pendongeng dalam sebuah pertunjukan. Sejak abad ke-16, saling terjemah naskah genre "yang indah" atau kesusastraan antara Jawa dan Melayu terjadi. Itu pula yang terjadi dengan epik Ramayana. Kisah tersebut pernah diterbitkan PP Roorda van Eysinga tahun 1843, dan pernah dimuat di majalah Journal of the Straits Branch of Royal Asiatic Society, April 1917. WH Rassers, seorang ahli ilmu bahasa Timur yang menulis Disertasi De Pandji Roman (1922) mengungkapkan bahwa Hikajat Seri Rama, Rama Keling, dan lakon-lakon wayang purwa yang menceritakan tentang Rama sama dengan Rama Kekawin dan Serat Rama karangan Walmiki atau ada yang menyebut Valmiki. Akan tetapi, tradisi lisan tidak mampu menjaga cerita itu sama persis seperti aslinya. Lingkungan sosial yang kemudian diadaptasikan oleh penutur cerita menjadikan cerita Ramayana sarat dengan muatan lokal. Hal ini pernah diungkapkan oleh WG Shellabear yang menerbitkan epik Ramayana tahun 1957. Menurut dia, cerita itu sama sekali tidak
sesuai dengan karangan Walmiki sebab pengaruh Islam tampak kuat dalam cerita tersebut. Sementara cerita Ramayana yang diterbitkan Balai Pustaka adalah hasil tulisan PP Roorda van Eysinga. Sebenarnya sejak kapan Ramayana ditulis? Tidak ada yang tahu dengan pasti. Perkiraan kasar antara tahun 1500 SM sampai 200 SM. Sebuah laporan Press Trust of India, yang dimuat oleh koran Ananda Bazar Patrika pada tanggal 24 Desember 1980, mengungkap bahwa jika hasil penyelidikan yang dilakukan ahli geologi Ahmedabad bisa dipercaya, maka Ramayana tidak mungkin berumur lebih dari 2.800 tahun. Dalam Hikajat Seri Rama dikisahkan tentang Dasarata Maharaja dari negeri Ispaha Boga yang memiliki lima anak dari dua istri. Istri pertama Mandoe Daki memiliki anak Seri Rama dan Laksmana. Sementara dari Selir Balia Dari punya tiga anak, yaitu Tjitradana, Kikoewi Dewi, dan Berdana. Setelah dewasa, dikisahkan Dasarata menetapkan Seri Rama sebagai putra mahkota. Namun, atas desakan selir, akhirnya Tjitradana-lah yang harus menjadi raja. Hingga akhirnya Seri Rama harus dibuang ke hutan dan ditemani oleh istrinya, Sita Dewi, serta adiknya, Laksmana. Dalam pengasingannya itu Seri Rama dan Laksmana berkelahi dengan Soera Pandaki, raksasa perempuan adik Rahwana. Kalah bertarung membuat Soera Pandaki meminta kakaknya untuk menculik Sita Dewi. Cerita terbitan Balai Pustaka ini mengadaptasi kisah yang berasal dari India tersebut menjadi bermuatan lokal dan dengan bahasa Melayu, seperti dialog yang muncul saat Sugriwa bertemu Rama : "Ja toeanku sjah alam, hambalah yang bernama Soegriwa, saudara maharadja Balia (Subali), radja segala kera, beroek, lotong, dan koekang siamang, radja negeri Lagoer Katagina". Penulis India, P Lal, menerjemahkan Ramayana dari tulisan asli Walmiki dalam bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Inggris, dengan judul The Ramayana of Valmiki tahun 1981, kemudian diterjemahkan kembali ke bahasa Indonesia oleh Djokolelono tahun 1995. P Lal mencoba menyingkat karya asli Walmiki menjadi sepertiganya, tetapi dia tidak memperluas, mengadaptasi, menafsirkan. Namun, yang ia lakukan hanyalah memperpendek dengan jalan menyunting dengan taat mengikuti naskah Sansekerta asli, meskipun dia mengakui penyingkatan itu sendiri semacam penafsiran. Dalam epik terjemahan P Lal menunjukkan bahwa Walmiki seorang penyair utama, banyak dialog antartokoh diungkapkan secara puitis dengan gaya tulisan yang baik. Sementara dalam buku Hikajat Seri Rama, tradisi lisan masih tampak kuat di dalamnya. Tulisannya menggunakan gaya bertutur sehingga pembaca merasa seolah-olah ada pendongeng yang membawakan cerita itu secara lisan. Dalam tulisan P Lal dikisahkan, Dasarata, Raja Ayodya, mempunyai empat putra dari tiga istri. Yang tertua Rama dari permaisuri Kausalya, kemudian Laksmana dan Satrugna dari ibu Sumitra, serta Barata dari istri kesayangan raja, Keikayi. Menjelang usia tua, Dasarata memutuskan untuk menobatkan Rama sebagai putra mahkota. Namun, rencana itu berubah karena Dasarata pernah berjanji akan menjadikan putra Keikayi, Barata, sebagai penggantinya. Karena khawatir akan terjadi perebutan kekuasaan, maka Rama dibuang ke hutan selama 14 tahun. Ditemani istrinya, Sita, dan adiknya, Laksmana, Rama
meninggalkan Ayodya. dalam pengasingan tersebut, Laksmana dan Rama berkelahi dengan Sarpakenaka, adik Rahwana, kemudian hidungnya dipotong oleh Rama. Karena kekalahan tersebut, Sarpakenaka membujuk Rahwana untuk menculik Sita hingga terlaksana. Rahwana berkeras tidak akan mengembalikan Sita ke Rama hingga pertempuran terjadi. TAMPAKNYA epik Ramayana telah menjelma dalam berbagai bentuk di Indonesia. Ini terbukti dengan adanya Kekawin Ramayana dalam bahasa Kawi (Jawa kuno), yaitu cerita dalam bentuk macapat. Macapat adalah syair tertulis menceritakan kehidupan dengan filosofi tinggi. Macapat juga merupakan bagian dari tradisi lisan Jawa karena disampaikan secara lisan sambil berdendang atau biasanya dikenal dengan nembang. Penerjemahan Kekawin Ramayana itu dilakukan oleh Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Dati I Bali dari bahasa Kawi (Jawa kuno) ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan tahun 1987. Buku ini tetap menggunakan bentuk asli macapat dalam huruf latin dan diberikan terjemahannya. Ada lagi epik Ramayana yang ditulis Sunardi DM tahun 1976 bersumber dari buku Serat Padhalangan Ringgit Purwa Jilid 36 dan jilid 37, kemudian dipadu dengan cerita-cerita silsilah yang terdapat dalam buku Arjuna Sasrabahu karangan Raden Ngabehi Sindusastra terbitan Balai Pustaka Weltevreden 1930. Penulis sendiri menyebut kisah Ramayana yang dibuatnya adalah versi Indonesia sebagai terjemahan bebas dari Kekawin Ramayana. Nuansa Indonesia tampak dari ilustrasi tempat, seperti kutipan berikut: "Berbahagia juga Rama menyaksikan istrinya, Putri Mantili, itu bergembira selalu mengejar capung atau kupu-kupu, memetik bunga-bunga, atau duduk di bawah pohon-pohon rindang sambil mendengarkan burung-burung prenjak, srigunting, dan cocak berkicau bersahut-sahutan". Selain itu, kesan Jawa sangat terasa di sini, seperti Anoman (Hanoman) dikatakan sangat pandai mendendangkan macapat, dan dalam buku itu pun masih memuat beberapa macapat. Ada perbedaan mendasar tentang asal-usul Sita, dalam Hikajat Seri Rama diceritakan Sita adalah anak Rahwana yang dibuang saat bayi karena dia tak menghendaki anak perempuan. Sementara versi Sita tulisan P Lal mirip yang diceritakan Sunardi DM bahwa Sita adalah anak Janaka dari negeri Mantili. Selain dari penulisan Ramayana dalam fiksi roman, RA Kosasih membuat epik Ramayana dalam bentuk komik dan membuat kisah India itu menjadi sangat Jawa dengan bahasa lisan dan kostum para tokoh yang mengenakan pakaian seperti raja-raja Jawa. Sejak tahun 1980-an sampai sekarang, komik wayang ini masih beredar dan digemari masyarakat. (Umi Kulsum/Litbang Kompas)
Hikayat Lagaligo Isi hikayat La Galigo Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge’ langi’ kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili’timo’, anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu’, sebuah daerah di Luwu’, sekarang wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone. Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu’. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma’dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware’) dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai. Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempattempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu. Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja. Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta’ adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu’. Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumahrumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang
berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka. La Galigo di Sulawesi Tengah Nama Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan bahwa kawsan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu Luwu’. Sawerigading dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah danau iaitu Tasi’ Buri’ (Tasik Buri). Berdekatan dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila, seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu’. Sesampainya tentara Luwu’, kakak Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi daratan. Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga. Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi. La Galigo di Sulawesi Tenggara
Ratu Wolio pertama di Buntung di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu. Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah adalah keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi’, artinya, ‘Yang tinggal di surga’. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu. Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga). La Galigo di Gorontalo Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu’ dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya. Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu’. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang. La Galigo di Malaysia dan Riau
Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga unusur Melayu dan Arab diserap sama. Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh ‘Keraing Semerluki’ dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo’, dimana nama sebenarnya ialah Sumange’rukka’ dan beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai. Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo’. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta’ Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko’ dari Peneki, sebuah daerah di Wajo’, menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma’dukelleng, juga ke Johor. La Ma’dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda. Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng Menambun (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella’ (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana). Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke’, menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu’. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge’ kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.