BUKIT DAN LEMBAH Angin
tahu
kalau
hembusan
sejuk
kewajah
pemuda
penyendiri
itu
memberikan kedamaian tersendiri. Angin pun tahu, sejak tadi sipemuda memang menunggu hembusan lembut darinya. Bukan seolah, namun sejak adanya angin, memang
ditugaskan
memberikan
hembusan
pada
setiap
orang
untuk
menerbangkan beban yang ada dihati. Angin gunung masih menari bersama pohon, gunung, awan, hutan, sungai dan lembah dengan bebas dan riang. Angin memiliki perilaku periang dan agresif, dan memang begitulah perilakunya. Seperti anak kecil yang kalau kehilangan mainan atau teman, maka sianak akan marah dan meronta. Angin gunung pun akan marah dan meronta saat teman-temannya pergi menghilang meninggalkan. Hutan yang
menghilang,
karena
musnah
pohon-pohon,
angin
akan
marah
dan
hembusannya tidak lagi bersahabat apalagi untuk menerbangkan beban yang ada dihati setiap orang yang diterpanya. Kali ini awan kumulus yang terlihat bagai permen kapas putih menyelimuti punggung gunung. Bidadari dengan selendang putih anggun berdiri. Permen kapas putih raksasa merenda menemani angin yang selalu berhembus. Begitu ramah seluruh penghuni gunung saat menyambut setiap pengunjung yang menghampiri pada bulan Januari. Sipendaki gunung baru saja turun dari angkutan umum yang membawanya sampai di kaki bidadari berselendang putih. Sipendaki terlihat ditemani carier, dan selendang leher batik terikat menutupi kepala. Dia hanya sendiri, namun tak merasa sepi, dia ingin bertemu dengan yang telah lama dinantinya. Tas kecil yang dibawa menyelempang di pinggang didekatkan ketangan kanan, kemudian dibuka resletingnya. Sebuah kamera tele digital 8 mega pixel cepat diraih, dengan lincah sipendaki dengan kedua tangan yang tak canggung memfungsikan tugas kamera. Lima bidikan cepat terekam oleh kamera dengan engle
yang masing-masing
berbeda namun tepat. Seorang penduduk asli mendekat membawa dayung bidak kecilnya yang baru saja dilabuhkan di tepi danau kecil berwarna hijau bertahtahkan keemasan dibawah kaki gunung. Dengan latar belakang hutan gunung, hijau membentang
disepanjang danau. Pantulan air berfungsi menjadi cermin membuat perahu dan pemiliknya bagai kembar yang sedang bersama, tapi sayang sikembar yang satunya tejungkal kebawah, kedalam air. Kilatan lampu blitz pertanda jepretan keenam diselesaikan dengan sempurna. Tiba-tiba melantun sebuah lagu Franky Sahilatua “Bukit dan Lembah” Setiap kurasakan sejuknya angin Sedang pandanganku menembus bukit dan lembah Aku tak tahu mengapa selalu ingat Kamu Memang dulu kita sering kegunung Memandang bukit dan lereng Yang pernah dulu kita datangi Aku tak tahu mengapa selalu ingan Kamu
Panggilan dari telepon selularnya sengaja tidak langsung diterimnya hingga beberapa kali terulang lagu itu. Lagu itu menyatu dengan suasana yang ada. Diaraihnya tas kecil yang terletak diatas tanah tempat telepon genggamnya bertempat. Terbaca di layar telepon, “ Kribo Memanggil”. “Angkutanku mogok di Kuta Rakyat, bannya pecah. Kau dimana?” Begitu diterima panggilan tersebut, telepon genggam itu nyerocos menirukan penelpon diseberang sana. “Setengah Jam aku sudah sampai disini. Kau tunggulah sampai selesai bannya dierbaiki!” Penutup kepala sengaja tidak dilepas untuk melindungi dari dinginnya angin yang bertiup. Kalau saja tidak digunakanseluruh kepala bisa membeku dan wajah akan cepatkering seperti melepuh. Untunglah semua telah dipersiapkan.
Tenda telah terpancang menghadap danau agar matahari bisa merenda bersembunyi dibelakang tenda. Sementara itu malam mengintip-intip, bersiap menggantikan matahari senja menanti giliran perintah sang maestro. Warna danau yang keeamasantertimpa matahari senja perlahan dibaluri tinta gelap dipermukaan air danau. Masyarakat setempat percayawarna-wara yang dipantulkan danaukecil itu memiliki makna dan memberikan reaksipada peristiwa-peristiwa yang tidak lazim. Danau memberikan pertanda kepada masyarakat setempat untuk peka dan awas pada perilaku sehari-hari. Warna yang muncul
seperti hijau menandakan
ketenangan bagi penghulu danau dan sekitarnya, penghulu danau merasa tenang dan tidak terusik, masyarakat sangat menghormati warna hijau danau tersebut. Pada aktu yang lain warna danau yang menjadi biru memerintahkan pada orangorang di kaki gunung untuk tidak bermalas-malasan tanpa melakukan apapun yang berguna. Pada saatnya danau juga menjadi jingga warnanya yang berarti masyarakat untuk beribadah dan berfikir juga mengkoreksi segala perbuatannya. ************ Kribo datang dengan carier
besar dipunggung. Pukul 18.45 Wib. Cengar-
cengir dari kejauhan sudah dapat kulihat wajahnya yang sedang berbicara dengan seorang wanita berpenampilan pendaki. Aku
tak asing dengan wajah itu namun
bukan berarti aku mengenalnya. Lambaian tangan Kribo menggerakan tubuhnya menjauh dari siwanita dan membuatnya semakin mendekat ke tenda yang baru terpancang di bawah pohon cemara---sengaja memancangkan dibawah pohon cemara demi keamanan. “Tugasmu memasak Krib!”, belum sempat Kribo duduk, langsung saja Awan memberikannya tugas. “Aku sudah pasang tenda”, Awan melanjutkan. Sedikit dengan nada protes Kribo menjawab, “ Ah… kaulah memang gak bisa lihat saudaramu ini senang, belum lagi aku duduk dan isirahat sudah kau suruh aku masak”. “Bukannya kau dari tadi sudah duduk dan ditemani sama cewek itu, aku mau sholat magrib.”
“Mona Maksudmu? Oh, dia teman ku
dulu waktu di Pecinta Rimba
Komunitas.” Tanpa bicara, awan hanya menatab Kribo dengan pandangan menyelidik sedikit berfikir sambil menuju bibir danau. *********** Malam pun pekat, udara dingin dikaki gunung semakin terasa, untungnya ini bulan januari, jadi curah hujan tidak ramai berkonvoi seperti bulan agustus sampai desember. Udara dingin semakin menggoda untuk menyerah pada dinginnya udara di kaki gunung. Api unggun kecil yang dinyalakan dari kayu-kayu pohon jatuh yang dikumpulkan tadi sore sangat menolong menghadapi dingin. Menghirup udara di kaki gunung yang sejuk dan basah, syarat dengan oksigen dan masih jauh dari polusi asap knalpot kendaraan dan mesin-mesin produksi. Rasi bintang menuntun mataku untuk tidak tak memandang
kemudian
mengikuti tariannya. Begitu jelas pedaran cahayanya ditangkap oleh sepasang mata, sehinga dengan muda jika ditarik garis yang akan menghubungkan tautan bintang-bintang yang membentuk rasi bintang. Aquarius, carpricorn, rasi bintang laying-layang yang setiap malam cerah dia muncul, atau rasi bintang ketupat. Disini tidak ada polusi cahaya yang membuat pandangan kita terhalang melihat pemandangan langit dengan mata telanjang. Pemilik malam beraktifitas memenuhi kebutuhannya, sedang pemilik siang waktunya memberikan ruang pada pemilik malam. Keteraturan ekosistem masih berlangsung dengan seimbang. Tidak seperti di ibu kota , banyak burung-burung dan serangga yang mati karena kelelahan dan menemukan ajalnya dikarenakan polusi cahaya yang berakibat pada daur hidup binatang tesebut. Ahli astronomi juga banyak mengeluhkan polusi yang terjadi di ibu kota yang merusak pengamatan langit. Entah apa yang dilakukan oleh manusia. Manusia menganggap dirinya yang paling pintar dan berkuasa dengan konsep free will-nya yang didefenisikan sendiri. Keseimbangan malam dan alam diubah, seolah malam dan alam lebih harmonis jika tunduk dibawah perinta manusia. Malam dibuat terang seperti malam itu kosong
tiada berpenghuni dan tiada yang memiliki. Hutan dan gunung ditebangi pohonnya dijadikan lahan-lahan perkebunan kelapa sawit, seolah uang mampu mengatur kestabilan alam. Manusia berfikir hutan itu barbar, kosong tidak berpenghuni dan harus tunduk pada peraturan mereka. Pukul 23.37, peristiwa mistis terulang kembali diperkemahan. Seorang perempuan berteriak histeris dari dalam tenda. Kesurupan. Tenda tersebut hanya berjarak 100 meter dibelakang tenda awan dan Kribo. Seorang laki-laki keluar dari tenda itu dan meminta tolong. “Mona Kesurupan. Tolong!!!” , sambil berlari dia menuju Kribo. Sepertinya lelaki itu pacar Mona. Langsung saja dia menghampiri tenda Awan dan Kribo. “Krib, tolong Mona! Laki-laki tersebut menarik tangan Kribo menuju tenda mereka dengan nafas yang masih berkejaran. Mona yang kesurupan terus berteriak-teriak dan menendang-nendang apapun yang didekatnya. Penduduk desa berkeyakinan, leluhur mereka, walau telah lama mati dan memiliki alam yang berbeda tetapi arwahnya tetap berada disekitar mereka. Apabila terjadi perbuatan yang mengotori kaki gunung, setiap pelakunya kan mendapatkan kesialan dan hukuman. Mona terikat dibawah pohon cemara dipinggir ujung danau. Tubuhnya bergelonjotan dan meronta-ronta. Teriakannya memekik kemudian merobek jiwa yang mendengar, pakaian kemanusiaannya terlepas. Dalam keaadaan itu Mona tak mampu lagi mengenali dirinya sebagai manusia, Mona telah kehilangan pakaian kemanusiaannya dan berbuat dosa. Lepaslah harkatnya dengan dipertontonkan pada penghuni kaki gunung merupakan hukuman baginya. Air danau berubah menjadi merah kegelapan dan bau busuk, menyebar di seluruh ruangan dikaki gunung. Masyarakat melakukan upacara kecil menenangkan suasana.
DIATAS 6500 KAKI Pukul 00.22 dini hari, Peristiwa tadi masih terasa walau samar perlahan disapu cahaya bintang. Bulan menyodorkan sinarnya yang lembut, angin semakin meninggi kecepatannya, namun semakin diperendah suhunya. Pantulan cahaya bulan pada riak air danau seperti tanda koma pada tulisan pujangga, seperti tinta tersentuh kuas pada pelukis, dan bagai nada yang menurun dan meninggi pada seorang musisi. Suasana kembali hening, tapi tidak sepi. Awan dan Kribo bersama rombongan pendaki lain bersiap untuk memulai perjalanan menapaki puncak. Teriakan Mona tak terdengar lagi, hilang dibawa angin, namun menjadi goresan yang kuat bagi setiap orang yang ada disitu.
Wajah
Kribo
masih
terlihat
tidak
bersemangat,
namun
Awan
Mengingatkannya. “Sudalah, Kita datang kesini buat mengisi kekosongan hati, memulihkan jiwa kita yang lelah, bukan untuk melipat wajah atau mengetatkannya.” Sambil menepuk bahu Kribo awan melanjutkan bicara. “Udah penat coy di ibu kota dengan seabrek gelagat kota yang penuh dengan curiga, jangan tambahi lagi dan merusak pendakian kita.” Sambil menghisap rokok, Awan menaikan carier kepunggung. “Ok Wan. Tapi aku belum puas juga walau suda kutonjok muka sibodat itu.” Kribo menghisap rokok melanjutkan ucapannya yang terputus,”Udah tau ini gunung, eh…malah mesum. Bajingan si Bogo. Rupanya tadi sempat terjadi perkelahian antara Kribo dan Bogo, pacar Mona. Kribo
langsung
saja
meninju
hidung
Bogo,
setelah
tau
penyebab
kesurupannya Mona. “Dasar tak tau diri”, Kribo melanjutkan dan melampiaskan kemarahannya. Diam-diam
kribo
menyimpan
kenangan
bersama
Mona
yang
hampir
membawanya pada perilaku free sex. Dimasa kuliah dulu, Mona yang pernah jadi pacar Kribo hampir melakukan kehidupan free sex yang liar ala mahasiswa. “Krib, aku sih Cuma ngingatin kau, lebih baik kau putusin aja dia, sebelum semuanya berjalan dan keadaan semakin rumit.”, sambil menenggak kopi hangat dicangkir keramik Awan menghisap rokok. Kribo lebih berani jujur cerita tentang hubungan pribadinya pada Awan, karena awan menanggapinya tidak subjektif dan menjustifikasi perbuatannya. Bukannya tidak ada teman lain yang bisa diajak bicara tentang ini, namun Kribo beranggapan kalau bercerita dengan yang lain pasti aku akan dihujat, dikutuk dan dimaki, tanpa mereka memahami secara kontekstual dan laki-laki.
Keesokan harinya, Kribo membawa Mona keperpustakaan tapi bukan untuk mengerjakan tugas kuliah, atau meminjam buku dan membacanya. Kribo membawa Mona ke perpustakaan universitas untuk membicarakan menyelesaikan hubungan mereka. Mona tak dapat menerima awalnya, namun Kribo punya alas an yang kuat. Sejak saat itu Kribo tidak lagi behubungan dengan Mona. Mona yang berbeda fakultas dengan Kribo berusaha menjalani harinya tanpa Kribo, demikian pun Kribo. Sesekali saja mereka bertemu secara kebetulan atau disengaja di sekretariat PKR. Kribo mengenal dan dekat dengan Mona saat mereka sama-sama melewati seleksi penerimaan calon anggota Pecinta Rimba Komunitas. Kedekatan mereka berlanjut dari seringnya bertemu di sekkretariat PKR saat ada kegiatan atau sekedar ngumpul-ngumpul. Kribo sering menemani Mona, demikian juga menemani Kribo ditemani Mona. Kribo sering berkunjung ke Kost-kost-an Mona. Rutinitas itu berjalan dan menghantarkan mereka pada kehidupan yang tidak sehat, sampai akhirnya Kribo mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan personalnya dengan Mona. Mungkin Kribo masih menyimpan kenangan bersama mona, dan beriktikad baik memutuskannya agar menjadi perenungan bagi mereka berdua. Dalam hati Kribo, dia akan kembali meminta hati mona untuk menjadi penghuninya. Namun roda waktu berputar begitu cepat dan kadang tidak seperti Matematika. Kehidupan tidak bisa dihitung dan diprediksikan secara pasti. Harapan tinggal harapan yang menyimpan goresan dalam hati Kribo. “Aku mau dia dapat cowok yang lebih baik dari aku, bukan yang mesum kayak gitu.”, Kribo membakar gulungan rokok yang kedua bercampur emosi. “Kau tenangi aja pikiranmu Krib, masih perlu banyak energi yang kita butuhkan untuk sampai di puncak jangan di sia-siain disini.” Awan menyapu lintasan dengan senter ditangan kanannya. Dia melanjutkan ucapannya,”Pakaianlah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, pakaian juga yang menjaga hakikat kemanusiaan. Norma, hukum, nilai, pengetahuan, dan moral adalah pakaian manusia. Jadi kalau
manusia telah kehilangan salah satu dari aspek tersebut maka telanjanglah manusia tersebut karena telah tanggal pakaiannya.” Hutan belantara dikiri kanan dengan jalan menanjak menjadi medan dalam lintasan menapaki lereng gunung. Sampailah di pintu rimba 01.00 dini hari. Semua menghentikan langkah. Ada yang istirahat, ada yang memiliki kesempatan yang tidak disia-siakan untuk membakar rokok, kemudian semua berdoa memohon izin dan meminta keselamatan. Dipintu rimba, awal dari pendakian yang sebenarnya. Segala niatan buruk dan sifat sombong harus di jauhkan dari diri. Menaklukan alam bukan berarti alam harus tunduk pada peraturan manusia, namun manusia harus memahami gelagat dan perilaku alam menjaga gerak kosmos. Banyak juga yang pernah bercerita kejadian janggal yang tidak dapat dihitung oleh rasionalitas
terjadi dipintu rimba. Belum lagi kami selesai berdoa,
sayup-sayup terdengar suara adzan. Kribo menyolek tanganku, “ Kau Dengar Itu?” Kutatap wajahnya, sambil memberikan pandangan yang seolah kembali bertanya padanya, “Berasal darimana Suara itu?, apakah ada pendaki lain yang mendahului kita melantunkan adzan untuk qiyamul lail?” Kribo menggaruk kepala, “Setahuku kita orang yang pertama bersama rombongan yang lain yang melakukan.” Mereka masih bertanya dan berfikir juga menyelidik untuk menemukan sumber suara itu. Anehnya pendaki yang lain tidak mendengar suara yang mereka berdua dengarkan. Suasana gunung memang penuh dengan mistis. Jika dihitung, jarak pintu rimba dengan pemukiman masyarakat sejauh 2 km, dan dipemukiman terdekat tidak ada surau atau masjid. Mesjid terdekat letaknya berada di Kuta Rakyat, berjarak lebih dari 10 km. Hal tersebut memang kalau kita menggunakan rasionalitas sangat jauh untuk dapat menemukan jawabannya. Namun seorang ilmuan pernah menemukan teori, ditempat lain, dikehidupan selain kita ada kehidupan juga, kalau kita mampu menyamakan frekwensi dan rentang waktu dan ruangnya, barulah kita percaya mereka ada. Ilmuan itu mengibaratkan perbedaan itu seperti perbedaan frekwensi
gelombang
radio
secara
sederhananya.
Kalau
kita
menyamakan
frekwensi
gelombang radio dengan stasiun pemancar radio maka dapatlah kita dengar siaran yang disiarkannya. Demikianlah kata sang ilmuan. Mereka melanjutkan perjalanan menapaki lajur-lajur yang pendaki lain sering lewati. Dalam hati mereka berkata, juga brdasarkan cerita yang mereka dengar, bahwa memng bukan manusia saja yang memiliki ala mini. Walaupun manusia hidup sebagai makluk tertingi, namun bukan berarti tidak menghormati makluk yang lain. Mereka hanya menjawab dengan pengetahuan dan kemampuan yang mereka miliki. Namun itu semua tetap jadi misteri yang belum terselesaikan. Namun bukankah manusia adalah hewan yang berfikir, dan hadir untuk memahami. Bukankah dulu Galileo juga memecahkan misteri pengetahuan, yang mengusik kemapanan manusia pada zamannya, setelah dia mampu mendalami bidangnya. Pendapat di zamannya mengatakan bahwa bumi adalah pusat tata surya, namun Galileo menyangkal pendapat itu secara ekstrem. Bahwa bumi bukanlah pusat tata surya, justru bumi yang mengelilingi matahari. Galileo dihukum mati, namun pencarian dan pengorbanannya tidak dapat dibunuh. Kebenaran dan realitas empiris berada dipihaknya, sampai sekarang. Angin gunung menderu bagaikan suara truck yang melewati tanjakan dan derpapasan dengan truck yang lain. Sejuknya udara menembus sweater dan pakaian namun tak terasa dingin lagi, karena tubuh telah melakukan pembakaran dan membuat suhu tubuh menjadi tinggi untuk memberikan kestabilan peredaran oksigen kedarah. Darah itu mengumpul dalam jantung kemudian memberikan semangat yang berkobar didalam hati. “Bagaimana defenisimu tentang free will?, Awan bertanya pada Kribo, namun pertanyaan itu juga ditujukan pada dirinya juga. Kribo menatap dengan lirikan menyelidik kearah Awan,” Kita berjalan disini bawa ransel untuk melangkah agar sampai dipuncak, itulah free will, tapi kalau tadi aku pilih tinggal di rumah aja, tidur-tiduran atau minum TST (Teh Susu Telur, minuman khas kota medan) di warung, ya disanalah aku
sekarang. Tapi aku sekarang ada disini, sama kau menghirup udara hutan gunung di pagi dini hari.” Kemudian suasana hening, seperti memberikan jeda bagi mereka untuk merenung. Awan menambahkan,”Krib, namun free will itu harus dilandasi dengan dasar yang jernih. Kejernian itu adalah kebenaran, dan kebenaran harus dipelajari tanpa perdebatan. Itu yang harus dipelajari dan dipahami, agar kebebasan berkehendak tersebut tidak mencelakakan.” “Ah Kaulah Wan, mulai lagi. Kita menjelajah gunung bukan menjelajah alam pikiran.” “Ya enggaklah ini Cuma sambilan, daripada kita bengong. Bukankah pendakian gunung ini juga adalah wujud empiris dari pikiran kita.”, awan menenggak air dari botol air mineral dari carier-nya, dia melanjutkan, “pendakian ini juga untuk memahami nilai-nilai yang kita butuhkan.” “Benar wan, aku kesini kan bukan karena jadi residifis atau bukan karena sekedar menghibur dan menenangkan hati sebab gak punya pacar. Hahaha…… ********** Pukul 05.40 Wib, Awan dan Kribo beserta kelompok pendaki lain sudah berada dipuncak tertinggi di propinsi sumatera utara. Matahari bundar terlihat seperti lempengan logam bercahaya jingga keemasan mengintip di balik awan. Awan yang hitan bercampur awan jingga dan kebiruan menjadi gilang-gemilang bak cat yang dioleskan pada kanvas oleh pelukis handal. Namun lukisan ini begitu sempurna, dan melimpah ruah. Belum ada cat sebanyak ini dijual di took cat, atau di galeri seni. Awan langsung mengeluarkan kamera yang sejak tadi digendong dalam tas khusus. Dengan tangkas, mengatur diagfragma dan pengaturan lensa teleskop, Awan mengambil potongan-potongan lukisan itu dan mengabadikan dalam memory card kamera.
Kebun petani, rumah warga, jalanan, sawah dan ladang terlihat kecil dari sini lebih menyerupai wujud main board komputer. Begitu cerdas penciptanya yang membuat
menyerupai main board
komputer. Daratan, sungai dan pepohonan
membentu baris dan garis yang harmonis terlihat dari puncak gunung ini berlaku sebagai main board raksasa. Awan membidik sekali lagi dengan jepretan dari puncak gunung Sinabung. Disebelah tenggara pada pukul 08.00 Wib segera muncul hamparan Danau Toba yang hanya berukuran sebesar piring nasi, tak lupa disimpan dalam memory card melalui camera yang masih berada pada Awan. ****************