Bukan Reformasi Pemuda

  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bukan Reformasi Pemuda as PDF for free.

More details

  • Words: 882
  • Pages: 4
REFORMASI DALAM RESPONSIBILITAS KEPEMUDAAN Oleh : M. Luthfi Aziz* Peristiwa reformasi yang menandai jatuhnya masa orde baru, akan diperingati untuk yang ke sebelas kalinya di negara kita, Indonesia. Seperti halnya peristiwa-peritiwa pada tahun 1908 (Budi Utomo), 1928 (Sumpah Pemuda), dan 1966 (Tri Tura dan penanda kejatuhan masa orde lama, serta berdirinya orde baru), tahun 1998 pemuda bergeliat, dengan idealismenya yang tinggi dan anti kemapanan, yang diilhami oleh gerak langkah dan fikiran murni atas nama rakyat, serta berbasis realitas sosial yang ada, reformasi pun berhasil mereka antarkan sampai terjadinya percepatan Pemilu tahun 1999. Sebelas tahun bukanlah masa yang pendek bagi perjalanan bangsa Indonesia. Selama masa itu rakyat Indonesia secara nasional telah mengikuti tiga kali pesta demokrasi dan empat kali pergantian Presiden RI. Reformasi memberikan peluang yang lebih luas bagi tegaknya demokrasi dan sangat memiliki peran yang sangat signifikan di dalam membuka kesadaran berdemokrasi bagi seluruh komponen bangsa. Selama masa pasca reformasi 1998 pula kita menggugat orde baru, sementara kita menganggap mereka sebagai orang-orang yang tidak mampu membangun pemerintahan yang lebih baik dan lebih kuat dari orde pendahulunya, orde baru. Masa berkuasa selama 32 tahun yang terkenang hanyalah bahwa orde baru ternyata menyisakan persoalan-persoalan yang sistematis terutama masalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Bagaimana halnya dengan orde reformasi? Masa kepemimpinan nasional yang berganti-ganti selama 11 tahun ternyata belum mampu mengangkat dan membangkitkan Indonesia dari problematika latennya; KKN. Supremasi hukum yang digadang-gadang menjadi panglima dari pembentukan pemerintahan yang bersih, kuat, dan efektif, ternyata berhenti pada tataran wacana publik akademisi dan praktisi saja. Wacana dan isu supremasi hukum ini pada akhirnya sedikit demi sedikit juga tergeser karena dianggap tidak penting lagi oleh sebagian elemen dari bangsa dan negara ini.

Rakyat sendiri lebih suka dengan isu pendidikan gratis dan kesehatan murah, atau yang sejenisnya, sementara sedikit sekali kalangan yang sangat peduli terhadap tegaknya supremasi hukum. Reformasi yang diantarkan oleh kalangan pemuda pada tahun 1998 telah berhasil melahirkan tokoh-tokoh penting pasca peristiwa reformasi, seperti Megawati, Amin Rais, Gus Dur, Akbar Tanjung, Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Hidayat Nur Wahid, Agung Laksono, dan tokoh-tokoh bangsa lainnya. Sementara pemuda kembali ke kampus, ke rumah atau kepada komunitas masing-masing seraya berharap reformasi akan berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan. Untuk yang ketiga kalinya sesudah reformasi 1998, masa kampanye dalam pemilu legislatif telah berlalu. Sekarang baru terasa kalimat-kalimat absurd politisi wakil rakyat itu ternyata menguap. Orientasi kekuasaan ternyata lebih menguasai alam pemikiran politisi bangsa ini, daripada pemikiran politik untuk kepentingan rakyat. Hal ini tampak dari rendahnya kemauan para politisi untuk melakukan pendidikan politik daripada pembodohan politik demi meraih kursi kekuasaan. Momentum Pemilu 2009 berakhir dengan janji-janji yang selalu diharapkan rakyat terwujud, namun kenyataan tidak selalu sama dengan yang diharapkan Rakyat kembali menjadi obyek politik yang laku laris saat pesta demokrasi berlangsung. Sementara kesadaran rakyat sendiri akan pentingnya berpolitik secara aktif dalam tata kehidupan sosial masih rendah. Kemauan elit politik untuk meraih kursi kekuasaan dan kemauan politik rakyat yang pasif di dalam mengelola tata hubungan sosial dalam berbagai bidang, seakan menjadi paradok yang selalu dipaksakan ketemu dalam momentum Pileg, Pilkada, sampai Pilpres berikutnya yang akan dilaksanakan pada bulan Juli 2009 mendatang. Demokratisasi yang menjadi salah satu agenda reformasi berhenti pada transaksi politik yang sering dilakukan oleh para elit politik (terutama senior), baik dalam skala lokal maupun nasional. Sedangkan elemen demokrasi yang sesungguhnya, yakni partisipasi secara luas oleh masyarakat melalui mekanisme

tertentu belum menjadi entry point yang urgen untuk dijadikan sense of critisism dalam membangun demokrasi secara nasional. Pikiran-pikiran reformasi 1998 dan segenap pernik-perniknya, yang dimobilisasikan oleh kalangan intelektual pemuda pada saat itu, bagaimanapun sampai sekarang merupakan visi yang membingkai bangsa Indonesia yang rindu akan perubahan. Proses transformasi sosial tidak boleh berhenti dan statis karena praktik politik yang paternalistik dan cenderung oligarkis. Karena tujuan sebenarnya reformasi bukanlah semata-mata mengganti pimpinan melainkan format kepemimpinan yang transformatif. Sementara pada sisi yang lain sistem sosial dan politik serta budaya begitu lemah untuk membiarkan kepemimpinan transformatif bersemi. Perilaku pemuda saat ini juga lebih banyak mengikuti kemapanan yang telah tercipta sedemikian rupa, melalui proses politik dan westernisasi budaya, menikmatinya sebagai pola hidup yang diasumsikan modern. Pemuda, dalam aspek apapun, selalu diharapkan menjadi cahaya yang menerangi kegelapan, dengan idealisme yang dimilikinya, basis intelektualitas yang visioner, dan gerakannya yang pro perubahan serta anti kemapanan. Meskipun peristiwa reformasi telah terjadi namun pemuda masih tetap harus mengawal. Karenanya sudah saatnya untuk memberikan kepercayaan yang lebih kepada kekuatan pemuda dalam berbagai peran yang dapat diambilnya, daripada terhadap format kepemimpinan bangsa yang tidak dapat berdiri tegak di atas supremasi hukum dan pemberantasan KKN. Dalam momentum demikian, pemuda harus kembali bangkit. Stigma yang saat ini terbangun dalam sebuah image bahwa pemuda lebih banyak disibukkan dengan urusan perolehan posisi strategis, untuk memperoleh akses kekuasaan, kekuasaan, dan kemudian meneruskan tradisi sistem yang telah berlaku. Padahal seharusnya arah peranan pemuda harus lebih diorientasikan sebagai dinamisator dan penggerak perubahan. Akibatnya kreatifitas dan produktifitas pemuda tidak dapat tereksplorasi secara luas dalam rangka pembangunan bangsa secara nasional.

Stigma tersebut harus dirubah dengan wajah kepemimpinan pemuda yang menjadi pelopor perubahan, bukan sebagai penikmat perubahan. Jika pada tahun 1998 pemuda telah berhasil mengantarkan reformasi sebagai momentum atas pergantian penguasa, dan merupakan awal perubahan sistem secara nasional, maka dalam masa kapan pun peran pemuda tetap dirindukan sebagai dinamisator dan penggerak perubahan. Dalam hal ini kita perlu mengingat kembali kalimat Ir. Soekarno “Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan ku guncang dunia”. *Tinggal di Jombang Email : [email protected]

Related Documents

Reformasi
June 2020 63
Reformasi Abadxxi
April 2020 62
Alasan Reformasi
July 2020 96
Era Reformasi
May 2020 53
Ham Reformasi
December 2019 37