Browsing Q

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Browsing Q as PDF for free.

More details

  • Words: 6,706
  • Pages: 18
Hafalan sholat delisa Ada sebuah keluarga di Lhok Nga - Aceh, yang selalu menanamkan ajaran Islam dalam kesehariannya. Mereka adalah keluarga Umi Salamah dan Abi Usman. Mereka memiliki 4 bidadari yang solehah: Alisa Fatimah, (si kembar) Alisa Zahra & Alisa Aisyah, dan si bungsu Alisa Delisa. Setiap subuh, Umi Salamah selalu mengajak bidadari-bidadarinya sholat jama'ah. Karena Abi Usman bekerja sebagai pelaut di salah satu kapal tanker perusahaan minyak asing Arun yang pulangnya 3 bulan sekali. Awalnya Delisa susah sekali dibangunkan untuk sholat subuh. Tapi lama-lama ia bisa bangun lebih dulu ketimbang Aisyah. Setiap sholat jama'ah, Aisyah mendapat tugas membaca bacaan sholat keras-keras agar Delisa yang ada di sampingnya bisa mengikuti bacaan sholat itu. Umi Salamah mempunyai kebiasaan memberikan hadiah sebuah kalung emas kepada anak-anaknya yang bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Begitu juga dengan Delisa yang sedang berusaha untuk menghafal bacaan sholat agar sempurna. Agar bisa sholat dengan khusyuk. Delisa berusaha keras agar bisa menghafalnya dengan baik. Selain itu Abi Usman pun berjanji akan membelikan Delisa sepeda jika ia bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Sebelum Delisa hafal bacaan sholat itu, Umi Salamah sudah membelikan seuntai kalung emas dengan gantungan huruf D untuk Delisa. Delisa senang sekali dengan kalung itu. Semangatnya semakin menggebu-gebu. Tapi entah mengapa, Delisa tak pernah bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna. 26 Desember 2004 Delisa bangun dengan semangat. Sholat subuh dengan semangat. Bacaannya nyaris sempurna, kecuali sujud. Bukannya tertukar tapi tiba-tiba Delisa lupa bacaan sujudnya. Empat kali sujud, empat kali Delisa lupa. Delisa mengabaikan fakta itu. Toh nanti pas di sekolah ia punya waktu banyak untuk mengingatnya. Umi ikut mengantar Delisa. Hari itu sekolah ramai oleh ibu-ibu. Satu persatu anak maju dan tiba giliran Alisa Delisa. Delisa maju, Delisa akan khusuk. Ia ingat dengan cerita Ustad Rahman tentang bagaimana khusuknya sholat Rasul dan sahabat-sahabatnya. "Kalo orang yang khusuk pikirannya selalu fokus. Pikirannya satu." Nah jadi kalian sholat harus khusuk. Andaikata ada suara ribut di sekitar, tetap khusuk. Delisa pelan menyebut "ta'awudz". Sedikit gemetar membaca "bismillah". Mengangkat tangannya yang sedikit bergetar meski suara dan hatinya pelanpelan mulai mantap. "Allahu Akbar". Seratus tiga puluh kilometer dari Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai bertakbiratul ihram, persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis di tengah lautan luas yang beriak tenang. LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA. Dasar bumi terban seketika! Merekah panjang ratusan kilometer. Menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tarian

kematian mencuat. Mengirimkan pertanda kelam menakutkan. Gempa menjalar dengan kekuatan dahsyat. Banda Aceh rebah jimpa. Nias lebur seketika. Lhok Nga menyusul. Tepat ketika di ujung kalimat Delisa, tepat ketika Delisa mengucapkan kata "wa-ma-ma-ti", lantai sekolah bergetar hebat. Genteng sekolah berjatuhan. Papan tulis lepas, berdebam menghajar lantai. Tepat ketika Delisa bisa melewati ujian pertama kebolak-baliknya, Lhok Nga bergetar terbolak-balik. Gelas tempat meletakkan bunga segar di atas meja bu guru Nur jatuh. Pecah berserakan di lantai, satu beling menggores lengan Delisa. Menembus bajunya. Delisa mengaduh. Umi dan ibu-ibu berteriak di luar. Anak-anak berhamburan berlarian. Berebutan keluar dari daun pintu. Situasi menjadi panik. Kacau balau. "GEMPAR"! "Innashalati, wanusuki, wa-ma... wa-ma... wa-ma-yah-ya, wa-ma-ma-ti..." Delisa gemetar mengulang bacaannya yang tergantung tadi. Ya Allah, Delisa takut... Delisa gentar sekali. Apalagi lengannya berdarah membasahi baju putihnya. Menyemburat merah. Tapi bukankah kata Ustadz Rahman, sahabat Rasul bahkan tetap tak bergerak saat sholat ketika punggungnya digigit kalajengking? Delisa ingin untuk pertama kalinya ia sholat, untuk pertama kalinya ia bisa membaca bacaan sholat dengan sempurna, Delisa ingin seperti sahabat Rasul. Delisa ingin khusuk, ya Allah... Gelombang itu menyentuh tembok sekolah. Ujung air menghantam tembok sekolah. Tembok itu rekah seketika. Ibu Guru Nur berteriak panik. Umi yang berdiri di depan pintu kelas menunggui Delisa, berteriak keras ... SUBHANALLAH! Delisa sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi. Delisa ingin khusuk. Tubuh Delisa terpelanting. Gelombang tsunami sempurna sudah membungkusnya. Delisa megap-megap. Gelombang tsunami tanpa mengerti apa yang diinginkan Delisa, membanting tubuhnya keras-keras. Kepalanya siap menghujam tembok sekolah yang masih bersisa. Delisa terus memaksakan diri, membaca takbir setelah "i'tidal..." "Al-la-hu-ak-bar..." Delisa harus terus membacanya! Delisa tidak peduli tembok yang siap menghancurkan kepalanya. Tepat Delisa mengatakan takbir sebelum sujud itu, tepat sebelum kepalanya menghantam tembok itu, selaksa cahaya melesat dari "Arasy Allah." Tembok itu berguguran sebelum sedikit pun menyentuh kepala mungil Delisa yang terbungkus kerudung biru. Air keruh mulai masuk, menyergap Kerongkongannya. Delisa terbatuk. Badannya terus terseret. Tubuh Delisa terlempar kesana kemari. Kaki kanannya menghantam pagar besi sekolah. Meremukkan tulang belulang betis kanannya. Delisa sudah tak bisa menjerit lagi. Ia sudah sempurna pingsan. Mulutnya minum berliter air keruh. Tangannya juga terantuk batang kelapa yang terseret bersamanya. Sikunya patah. Mukanya penuh baret luka dimana-mana. Dua giginya patah. Darah menyembur dari mulutnya.

Saat tubuh mereka berdua mulai perlahan tenggelam, Ibu Guru Nur melepas kerudung robeknya. Mengikat tubuh Delisa yang pingsan di atas papan sekencang yang ia bisa dengan kerudung itu. Lantas sambil menghela nafas penuh arti, melepaskan papan itu dari tangannya pelan-pelan, sebilah papan dengan Delisa yang terikat kencang diatasnya. "Kau harus menyelesaikan hafalan itu, sayang...!" Ibu Guru Nur berbisik sendu. Menatap sejuta makna. Matanya meredup. Tenaganya sudah habis. Ibu Guru Nur bersiap menjemput syahid. Minggu, 2 Januari 2006 Dua minggu tubuh Delisa yang penuh luka terdampar tak berdaya. Tubuhnya tersangkut di semak belukar. Di sebelahnya terbujur mayat Tiur yang pucat tak berdarah. Smith, seorang prajurit marinir AS berhasil menemukan Delisa yang tergantung di semak belukar, tubuhnya dipenuhi bunga-bunga putih. Tubuhnya bercahaya, berkemilau, menakjubkan! Delisa segera dibawa ke Kapal Induk John F Kennedy. Delisa dioperasi, kaki kanannya diamputasi. Siku tangan kanannya di gips. Luka-luka kecil di kepalanya dijahit. Muka lebamnya dibalsem tebal-tebal. Lebih dari seratus baret di sekujur tubuhnya. Aisyah dan Zahra, mayatnya ditemukan sedang berpelukan. Mayat Fatimah juga sudah ditemukan. Hanya Umi Salamah yang mayatnya belum ditemukan. Abi Usman hanya memiliki seorang bidadari yang masih belum sadar dari pingsan. Prajurit Smith memutuskan untuk menjadi mu'alaf setelah melihat kejadian yang menakjubkan pada Delisa. Ia mengganti namanya menjadi Salam. Tiga minggu setelah Delisa dirawat di Kapal induk, akhirnya ia diijinkan pulang. Delisa dan Abi Usman kembali ke Lhok Nga. Mereka tinggal bersama para korban lainnya di tenda-tenda pengungsian. Hari-hari diliputi duka. Tapi duka itu tak mungkin didiamkan berkepanjangan. Abi Usman dan Delisa kembali ke rumahnya yang dibangun kembali dengan sangat sederhana. Delisa kembali bermain bola, Delisa kembali mengaji, Delisa dan anak-anak korban tsunami lainnya, kembali sekolah dengan peralatan seadanya. Delisa kembali mencoba menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Ia sama sekali sulit menghafalnya. "Orangorang yang kesulitan melakukan kebaikan itu, mungkin karena hatinya Delisa. Hatinya tidak ikhlas! Hatinya jauh dari ketulusan." Begitu kata Ubai salah seorang relawan yang akrab dengan Delisa. 21 Mei 2005 Ubai mengajak Delisa dan murid-muridnya yang lain ke sebuah bukit. Hari itu Delisa sholat dengan bacaan sholat yang sempurna. Tidak terbolak-balik. Delisa bahkan membaca doa dengan sempurna. Usai sholat, Delisa terisak. Ia bahagia sekali. Untuk pertama kalinya ia menyelesaikan sholat dengan baik. Sholat yang indah.

Mereka belajar menggurat kaligrafi di atas pasir yang dibawanya dengan ember plastik. Sebelum pergi meninggalkan bukit itu, Delisa meminta ijin mencuci tangan di sungai dekat dari situ. Ketika ujung jemarinya menyentuh sejuknya air sungai. Seekor burung belibis terbang di atas kepalanya. Memercikkan air di mukanya. Delisa terperanjat. Mengangkat kepalanya. Menatap burung tersebut yang terbang menjauh. Ketika itulah Delisa menatap sesuatu di seberang sungai. Kemilau kuning. Indah menakjubkan, memantulkan cahaya matahari senja. Sesuatu itu terjuntai di sebuah semak belukar indah yang sedang berbuah. Delisa gentar sekali. Ya Allah! Seuntai kalung yang indah tersangkut. Ada huruf D disana. Delisa serasa mengenalinya. D untuk Delisa. Diatas semak belukar yang merah buahnya. Kalung itu tersangkut di tangan. Tangan yang sudah menjadi kerangka. Sempurna kerangka manusia. Putih. Utuh. Bersandarkan semak belukar itu. UMMI............... 09/09/08 Welma La'anda rated it: bookshelves: fiksyen---kehidupan Read in January, 2007 Saya sangat menyayanginya. Saya bersyukur kerana saya dizinkan Allah untuk mengenali dan membacanya. Saya sendiri tidak tahu bagaimana secara professional untuk menilai kebagusan sebuah novel, tetapi sebagai pembaca saya menilai kebagusan sebuah buku itu daripada aspek pengaruhnya terhadap kejiwaan saya dan novel ini telah berjaya membawa saya berfikir sejenak tentang erti keyakinan dan kehidupan saya. Saya sendiri tidak tahu apa perkataan yang paling sesuai untuk meringkaskan mesej dalam novel ini tetapi ia cukup mengusik jiwa saya untuk terus memahami status kehambaan saya kepada Dia. Saya mulakan kembara membaca Hafalan Shalat Delisa pada 5 Januari 2007 , hari Jumaat sambil duduk dibawah sepohon pokok sementara menunggu solat Jumaat selesai. Awal cerita dimulakan dengan suasana subuh di suatu tempat yang dikenali sebagai Lok Nga (pada mulanya saya tidak pasti Lok Nga terletak di daerah mana, akhirnya saya faham ia adalah satu kawasan yang terdapat di Acheh). Penulis membawa saya mengembara ke sebuah rumah yang sudah ‘ribut-ribut pada waktu shubuh. Suara-suara bising kak Aisyah mengejutkan adik Delisa daripada tidur, dan suara-suara kak Fatimah yang menegur Aisyah serta cuba untuk mengejutkan Delisa untuk kali kedua. Perkataan baru bagi saya ialah Meunasah (surau), menyeringai (sampai sekarang tidak tahu apa maknanya, mungkin menjeling), mukena (telekung) dan cut (perkataan ini digunakan di awal nama contohnya Cut Aisyah, Cut Fatimah, adakah maksudnya kakak?). Untuk kali pertamanya saya terkesima dan tidak pernah terfikir untuk mempraktikkannya

dalam mendidik anak iaitu tentang kaedah yang diguna pakai keluarga ini dalam mendidik Delisa menghafal bacaan solatnya. Umi akan menjadi imam dan Aisyah akan ditugaskan membaca bacaan solat nyaring sedikit dari ummi agar boleh didengar Delisa dan Delisa boleh mengikutinya. Kita mungkin sudah biasa dengan kaedah ini di masjidmasjid yang tidak ada mikrofon. Suara imam tidak kedengaran terutama untuk jemaah wanita, jadi ada seorang mubaligh (makmum lelaki ) yang akan menyaringkan suara agar boleh didengar oleh jemaah wanita. Begitulah setiap kali solat berjemaah, sudah menjadi tugas utama Aisyah menjadi mubaligh walaupun Delisa mempunyai 2 orang kakak yang lain iaitu Fatimah dan Zahra. Tetapi Ummi tidak mahu memindahkan tugas itu kepada kakak yang lain kerana mahu mendidik Aisyah agar lebih bertanggungjawab terhadap adiknya. Saya semakin dibuai untuk terus membaca buku ini kerana penulis cukup bijak menghuraikan suasana keluarga ini yang cukup bahagia mempraktikkan ajaran Islam dalam keluarga mereka. Setiap Ahad selepas Shubuh, sudah menjadi rutin, Ummi akan menyemak bacaan Quran anak-anaknya walaupun mereka semua juga mengaji quran di masjid. Ummi dan Abi (panggilan untuk mak dan ayah) dikurniakan 4 orang anak, Alisa Fatimah 15 tahun( merupakan kakak sulung), disusuli dengan kembar Alisa Aisyah dan Alisa Zahra(13 tahun) dan si bongsu Alisa Delisa (6 tahun). Setiap daripada mereka mempunyai karakter yang berbeza. Fatimah suka membaca buku dan pembicaraanya juga lebih kepada buku-buku yang dibacanya, Aisyah pula terkenal dengan sifat kenakalannya yang suka menyakat dan bergaduh dengan Delisa. Zahra adalah seorang yang pendiam dan Delisa adalah watak utama dalam novel ini, yang comel, yang suka bertanya dan seorang yang sentiasa riang walau apa pun dugaan yang menimpanya. Abi bekerja di pelantar dan akan balik 3 bulan sekali, tetapi Abi akan menelefon setiap Isnin selepas Shubuh. Oleh kerana itu, selepas shubuh setiap Isnin, sudah menjadi rutin Ummi dan 4 orang anaknya akan menunggu panggilan daripada Abi. Ummi pulak adalah seorang suri rumah dan mengambil upah menjahit (membordir). 02/03/09 Tiwik rated it: bookshelves: fiction Read in February, 2009 Ini adalah kisah tentang tsunami… Ini adalah kisah tentang kanak-kanak… Ini adalah kisah tentang proses memahami… Ini adalah kisah tentang keikhlasan… Ini adalah kisah tentang Delisa… Bila sebelumnya tidak membaca frequently asked questionnya, pastilah saya akan mengira ini adalah kisah nyata yang terekam oleh Tere Liye dan dikembangkan menjadi sebuah cerita yang hebat. Kisah yang dimulai dengan keharmonisan dan kelucuan tingkah sebuah keluarga bahagia yang terdiri dari ummi Salamah yang perhatian tetapi juga tegas dan abi Usman yang

bekerja di perusahaan kapal asing yang baru pulang 3 bulan sekali dengan keempat putrinya, Fathimah si sulung berusia 16 tahun yang suka membaca dan sering diskusi hebat dengan ayahnya, si kembar berusia 12 tahun Aisyah yang jahil, Zahra yang pendiam tetapi penuh perhitungan dan si bungsu Delisa, berusia 6 tahun, tokoh utama kisah ini dan seorang gadis kecil polos dengan rambut curly, mata kehijauan, cerewet, suka bertanya, suka ngeles,suka warna biru, ceria, cerdas, dan yang suka manyun bin ngambek bila main sepak bola ditempatkan diposisi kipper karena dia ingin berada di posisi striker. Kisah tentang sesuatu yang sebenarnya sangat sederhana, episode Delisa dalam menundukkan hafalan shalatnya untuk mendapatkan hadiah kalung emas dengan liontin huruf D untuk Delisa dari ummi, liontin yang sempat menyulut cemburu kakaknya Aisyah. Kalung yang sempat hilang dari memorinya, kalung yang akhirnya mempertemukannya kembali dengan umminya meskipun dalam kondisi yang sangat mengejutkan. Hari itu Delisa sedang bersiap untuk ujian hafalan shalat oleh bu guru Nur dan didampingi oleh umminya yang menggenggam kalung hadiah keberhasilannya nanti. Sekarang gilirannya… Allahu Akbar… Persis ketika Delisa usai ber-takbiratul ihram, 130 km dari Lhok Nga lantai laut retak seketika, bumi menggeliat, mengirimkan pertanda kelam menakutkan. Ka-bi-ra- wal-ham-du-lil-la-hi- ka-tsi-ro… Tanah bergetar dahsyat, menjalar merambat menggentarkan seluruh dunia radius ribuan kilometer, air laut seketika tersedot ke dalam rekahan tanah maha luas. Innashalati, wanusuki, wa-ma-…wa-ma…wa-mah-ya-ya, wa-ma-mati... Gempa dahsyat tidak terbendung, Banda Aceh luluh lantak, Nias lebur, Lok Nga menyusul. Tepat ketika Delisa mengucap wa-ma-ma-ti, lantai sekolah bergetar hebat, genteng berguguran, papan tulis jatuh berdebam, gelas bunga bu guru Nur pun jatuh yang pecahannya menggores lengan Delisa. Anak-anak dan orangtua berteriak berhamburan, kepanikan melanda. Delisa bergeming… Delisa mengulang bacaannya yang terganggu, Ya Allah…Delisa takut…Delisa gentar… tapi Delisa ingin untuk pertama kalinya ia shalat bacaannya sempurna dan khusuk seperti kisah shahabat nabi yang tak bergerak dari shalatnya ketika kalajengking menggigitnya ataupun dipanah berkali-kali oleh musuh… Delisa bergetar… La-sya-ri-ka-la-hu-wa-bi..wa-bi..wa-bi-dza-li-ka-u-mir-tu-wa-ana minal mus-li-min… Bagai dipukul tenaga raksasa, air yang tersedot ke dalam rekahan bumi seketika mendesak keluar menghempas balik menuju pantai. Tingginya tak kurang sepuluh meter, kecepatannya bagai deru pesawat, melibas apa saja.

Al-ham-du-lillahirabbil ‘a-la-min. Ar-rah-man-nir-ra-him. Ma-li-ki-yau-mid-din… Ih-di-nas-sirotol-mus-ta-qim… Para nelayan itu berseru panik saat melihat lautan seperti ditinggikan dan ombaknya menelan mereka tanpa daya Delisa meneruskan ujian hafalan shalatnya, Al fathihah sukses dilafalkan, surat Al-Ma’un mulai dibacanya. Aduh lupa…bu guru Nur akan membantu, tetapi Delisa menggeleng, jangan! jangan dibantu…Delisa bisa ingat kok.., jembatan keledai kak Aisyah membantu mengingatnya…asal dia khusuk… Gelombang itu sudah menyapu Banda aceh, rumah bagai sabut disapu air, pepohonan bertumbangan, tiang listrik roboh seperti lidi, mobil terangkat seperti mainan. Sa-mi’-allahu-li-man-ha-mi-dah… Gelombang menyentuh tembok sekolah Rab-ba-na-la-kal-ham-du… Delisa terpelanting, megap-megap oleh air kotor yang terminum olehnya, tubuhnya terbanting, kepalanya siap menghujam tembok sekolah yang masih tersisa, seketika tubuhnya terlempar kesana kemari, kakinya remuk menghantam pagar besi sekolah, tangannya terantuk batang kelapa dan patah, mukanya dihajar pelepah daun kelapa, giginya tanggal. Delisa tidak merasakan apa-apa lagi. Pingsan. Tetapi Delisa tetap Delisa… Semua kesedihan yang melanda, semua kehilangan yang dirasakan, semua kengerian yang telah dialami, semua dilaluinya dengan optimis dalam bingkai pengharapan. Sampai pada suatu saat dia mendapati Allah tidak lagi adil padanya. Berita ditemukannya ummi Umam tanpa ummi Salamah telah membakar amarahnya. Mereka bilang, anak yang baik, do’anya selalu terkabul. Delisa sudah menjadi anak yang baik dan selalu berdo’a agar segera dipertemukan dengan umminya, tetapi kenapa justru Teuku Umam yang jahil, nakal, pelit mendapat hadiah dengan dipertemukan dengan umminya. Sungguh tidak adil, mereka semua pembohong. Ustadz Rahman bohong, bu guru Nur bohong, abi bohong, ummi bohong. Kebencian Delisa atas ketidakadilan yang menimpa dirinya telah menjalar ke seluruh tubuhnya, ‘nisan’ kakak-kakaknya diinjakinjak beserta bunga mawar biru terakhir yang dipetik dari halaman rumahnya, meninjuninju gundukan tanah. Pengkhianatan dari pasukan hatinya. Terluka… Meskipun buku ini distempel sebagai buku revisi tetapi masih banyak dijumpai kesalahan ketik, kalimat tanpa spasi, pemakaian kata sambung yang kurang tepat dan yang paling menggangguku adalah pemakaian kosa kata sempurna yang menurutku terlalu sering sehingga kesan dramatisirnya menjadi kurang. NB: Bila anda ingin membacanya dan termasuk orang yang mudah menangis, sediakan tisu disebelah anda dan akan lebih ϑ baik bila tidak membacanya di ruang publik (less)

04/08/08 Inna rated it: bookshelves: fiksi-indonesia Read in April, 2008 Delisa bungsu dari 4 bersaudara dibesarkan dalam keluarga hangat dan sangat religi disalah satu kota di Nanggro Aceh Darussalam.. Delisa yang mendamba kalung ”D” untuk Delisa! Untuk hafalan shalatnya. Kalung yang kemudian tidak dimilikinya karena Tsunami menghantan Lhok Ngah saat hafalan shalatnya disetor pada Ibu Guru Nur pada saat itu Ahad, tanggal 26 Desember 2004.yah saat tsunami meluluhlantakkan Aceh dan 80% penghuni Lhok Ngah beserta penghuninya. Sampai dengan lembar 50pertama, saya masih bisa tertawa dengan tingkah delisa yang lucu, jujur, lugu. Tersentuh membaca kehangatan dalam keluarga yang huidup sederhana dan dibesarkan dengan Cinta oleh ummi-nya. Aahh...saya jadi ingat Toto Chan.! Tapi seketika saya merinding ketika Delisa menyetorkan hafalan kepada Guru Nur saat dimana bumi Aceh dan sebagian dunia lainya tergoncang dengan Gempa 8,9 SR. Merinding ketika Delisa ingin khusuk dalam shlatnya dan tetap dalam posisi shalat -Delisa Ingat Cerita Ustd Rahman ttg kekhusyukan shalat Nabi- dan sampai dengan posisi akan sujud tubuh mungilnya tidak bisa lagi menahan kuatnya tumpahan air dari pantai. Seketika saya malu dengan rutunitas shalat saya yang tidak bermakna selama ini. Astagfirullah..... Kemudian lembar selanjutnya.., cerita kesedihan mengalir, keajiban datang. Delisa mampu bertahan selama 6 hari tanpa makan dan minum –Delisa menemukan 5 biji apel tak bertuan dsiamping nya- dan ditemukan oleh tentara AS!.Masya Allah....saya makin cemburu dengan keajaiban yang dialami oleh Delisa...orang-orang baik disekitarnya... saya tak brehenti mengalirkan air mata. Emosi saya sukses diaduk2 Tere Liye –sang pengarang-....sedih....lucu...inspiratif terangkai dengan indah dalam untaian kata sederhana dan bermakna. Saya suka baca footnote dari Tere –Leye yang tak henti mendoakan Delisa dan mengungkapkan kecemburuannya. Saya ikut cemburu ketika anak sebesar Delisa bisa merubah hidup orang lain! Subhanallah...saya belajar ikhlas dari prinsip sederhana Delisa..., belajar mencinta dengan tulus..berbagi dengan cinta...karena hal hal indah tercipta hanya karena cinta (Ubai sang petugas PMI) *untuk Ayu, makasih pinjaman bukunya.., menyesal saya menlantarkan buku ini hampir setahun yang lalu....*ketaun kalo minjam buku lamaa.he..he..* buku ini sukses saya baca dalam satu hari kok! (less) 02/26/09 Rahmi rated it: Read in March, 2008 Cerita yang sangat menyentuh, membuat bulu kuduk berdiri (tapi jangan salah ini bukan cerita hantu, mistis, klenik dsb). Cerita dengan background tragedi tsunami di Aceh tahun

2004 ini melahirkan sebuah kontemplasi tentang makna rutinitas sholat sebagai sebuah wujud penghambaan makhluk pada Rabb-nya. Beberapa point penting yang dapat diambil: Pertama, niat untuk beribadah hanya kepada Allah (sesungguhya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah penguasa semesta alam) karena dengan demikian kita akan dengan mudah mencapai khusyukan dalam sholat. Kedua, mengukur sejahmana kita mengerti makna sholat. Dimulai dari ritual berwudhu, sudahkah kita berwudhu' dengan benar, bacaan sholat sudahkah tahu artinya atau memahami maknanya, atau bahkan selama ini kita sholat hanya membaca bacaan yang kita tidak tahu artinya (Na'udzubillah), begitu juga dengan gerakan sholat apakah sudah sesuai dengan yang di ajarkan Rosul.......(tanya pada diri sendiri). dan yang ketiga, mengingatkanku akan janji Allah SWT tentang rewards dari sebuah keikhlasan.(less 01/02/09 Basmin Maarof rated it:

(review of other edition)

Kisah Delisa, anak bongsu yang berusia 6 tahun dan mempunyai 3 orang kakak yang suka mengusiknya. Delisa berusaha kuat menyempurnakan hafalan solatnya demi untuk mendapat hadiah kalung dari ibunya. Namun pada hari dia mempersembahkan hafalannya, Acheh dilanda Tsunami yang akhirnya mengambil nyawa ketiga-tiga kakaknya dan ibunya yang tercinta. Delisa terselamat tapi telah kehilangan sebelah kakinya. Walaupun begitu, ia tetap optimis ceria meneruskan kehidupan bersama bapanya dan tetap terus berusaha cuba menghabiskan hafalan solatnya walapun ibunya, kakaknya dan kalung yang dijanjikan ibunya sudah tiada. Dan kali ini, ia menghafal bukan untuk mendapatkan kalung, sebaliknya menghafal kerana ia mahu memenuhi tuntutan yang diwajibkan Allah. Sedih dan terharu membaca bagiamana Delisa menghadapi hari-harinya dengan kuat semangat, malah turut sentiasa ingin naikkan semangat orang lain walaupun dia sendiri kehilangan banyak dalam Tsunami itu. Seronok membaca watak Delisa dalam buku ni sebagai kanak-kanak ceria, jujur, pintar dan bersih fikiranya. Ia mengajari kita supaya tidak penat berusaha malah menjadikan hal yang berlalu sebagai ibrah untuk terus berjaya di masa hadapan dalam keadaan sentiasa mendekati Rabb....(less

05/19/09 Ummu Auni Ahmad rated it:

(review of other edition)

bookshelves: read-2009 Read in May, 2009 Ini buku yang gerak hatiku bersuara untuk membelinya, tanpa mengenali siapa Tere Liye. Terasa kagum aku membacanya, adunan tulisan berjaya menghasilkan getaran di jiwa. Bagiku sebagai rakyat Malaysia, yang kukira bukanlah begitu jauh dengan Acheh, masih tidak dapat menyelami hakikat peristiwa tsunami yang berlaku sekitar Disember 2004.

Penulis berjaya menghidupkan kembali suasana setelah berlakunya tsunami, bagaimana sebuah bandar yang ranap dibangunkan dengan kadar perlahan, tetapi berjaya bangkit semula walaupun ditimpa bencana. Dan tentang cerita keredhaan, ketulusan dan kesabaran seorang gadis cilik, Delisa yang kehilangan hampir keseluruhan keluarganya, yang kehilangan sebelah kakinya dalam pristiwa tsunami tersebut. Novel ini mengajar aku erti sabar, dan redha, dan hidayah Allah - pendek kata bagaimana untuk menjadi orang lebih sabar, lebih redha dengan ketentuan Allah. Delisa dengan tulus hati, jiwa murni berjaya menyentuh insan di sekelilingnya untuk belajar bersyukur dan tetap dengan ketentuan Tuhan. Dan kesungguhan Delisa untuk menjadi hamba-Nya yang ikhlas, akhirnya membuahkan hasil. Tiada keajaiban/peristiwa yang aneh/pelik, tetapi ketulusan yang dapat mendekatkan hati kita kepada Allah dan kembali kepada jalan yang diredhai. Tidak sedikit air mataku berlinang membaca kisah ini. Insya Allah, akan ku usaha untuk membeli tulisan Tere Liye yang lain. (less) 04/28/09 Rika Moniarti rated it: Read in April, 2009 Delisa adalah gadis kecil berusia 6 tahun, bungsu dari empat bersaudara. Mereka tinggal di Lhok Nga, sebuah kota di pesisir pantai Aceh bersama sang Ummi. Adapun Abi mereka, bekerja di tanker perusahaan minyak yang pulang tiga bulan sekali untuk menengok keluarga tercinta. Bagi Delisa, menghafal bacaan-bacaan shalat memiliki kesulitan tersendiri. Terutama ia sering tertukar menempatkan susunan kata-kata dalam satu ayat, begitu juga ia sering tertukar antara bacaan ruku dan bacaan sujud. Ada sesuatu yang kemudian membuatnya jadi begitu bersemangat untuk melancarkan hafalan shalatnya, sebuah kalung dengan bandul inisial namanya, D untuk Delisa. Ummi berjanji akan memberikan kalung tersebut begitu Delisa lulus melewati ujian bacaan shalat di sekolahnya. Namun takdir berkata lain, tepat di hari Delisa mengikuti tes bacaan shalatnya, gelombang tsunami datang meluluh-lantakkan semuanya. Peristiwa datangnya tsunami bersamaan dengan setiap ayat yang keluar dari mulut Delisa, digambarkan dengan begitu menggetarkan. Delisa berusaha dengan sekuat tenaga untuk tetap merampungkan hafalannya, berusaha untuk tetap khusuk. Apa mau dikata, bacaan itu tak jadi sempurna, gelombang besar menyeret semuanya, tubuhnya yang kecil, ibu gurunya, umminya, saudara-saudara perempuannya, teman-teman sekolahnya, serta harapan Delisa untuk bisa mendapatkan kalung yang dijanjikan umminya. Penulis sangat pandai mengaduk-aduk emosi pembaca dengan terus menggulirkan peristiwa-peristiwa yang mengharukan sampai di akhir cerita. Terdamparnya Delisa selama berhari-hari di sebuah bukit dengan kondisi mengenaskan, terpanggang matahari kala siang, menggigil kedinginan saat malam, pertemuan dengan Abinya yang

menggetarkan, serta kisah-kisah mengharukan lainnya. Dan cerita ini, bukan sekedar kisah gadis kecil yang giat menghafal bacaan shalat karena diiming-imingi hadiah, tidak hanya sampai di situ tentu saja. Karena, ada banyak pesan moral yang dapat saya ambil dari keseluruhan kisah ini. Pesan tentang makna hidup, kehidupan, keadilan Alloh, bagaimana menjadi ikhlas yang sebenar-benarnya, serta hal-hal lain untuk jadi bahan perenungan. Kisah yang sedih namun sarat makna. Ada yang sudah baca buku ini? Di bagian mana teman-teman mulai menangis? (less)

01/14/09 Haryadi 'Fathin' Yansyah rated it: bookshelves: novel Menceritakan mengenai Delisa, anak berusia 6 tahun yang hidup bersama ummi dan ketiga kakaknya di Lhok Nga, Aceh. Sedangkan Abinya bekerja di kapal dan hanya pulang tiga bulan sekali. Indah sekali keluarga ini. Ummi yang penyabar dan tegas. Fatimah yang pintar, Zahra yang pendiam, dan juga Aisyah yang suka jahil dan jadi temen berantem Delisa. Setiap pagi, sehabis Shalat subuh, mereka bisa belajar Al-Quran kepada ummi mereka. Itu tiap hari dilakukan, kecuali hari senin. Karena disaat seperti itulah, Abi mereka yang bekerja di Canada, menelepon. Delisa kecil, merasa kesulitan dengan hafalan Shalatnya. Bahkan Ummi, akan menghadiahkan sebuah kalung manis jika Delisa bisa menghafal semua doa untuk Shalat. Delisa hampir menghafal semuanya ketika Ummi mengajaknya membeli kalung di Koh Acan, seorang Konghuchu yang baik, yang suka memberikan separuh harga, ketika tahu kalung itu untuk hadiah hafalan Shalat. Delisa kecil yang polos dan pintar bisa membuat senang banyak orang. Ia mengucapkan Khamsia kepada koh Acan karena diberi separuh harga. Delisa yang susah bangun Shalat Subuh, sering diolok oleh Aisyah. Aisyah juga sempat ngambek karena merasa kalung Delisa lebih bagus dari kalungnya. Untung ada Ummi mereka yang bijaksana, yang mampu mengatasi itu semua. Di Minggu pagi, tangal 26 Desember 2004, Delisa ditemani Ummi, berangkat sekolah untuk menguji sejauh mana hafalan Shalatnya. Sebegitu khusyunya ia mengucapkan bacaan Shalat, sampai ia tidak sadar bahwa Bumi Aceh berguncang. Tapi Delisa tidak peduli, ia terus membacakan hafalannya. Begitupun ketika air bah datang, Delisa masih tidak sadar, hingga tubuh mungilnya dihempas air.

Mereka semua terhempas. Ummi, teman-temannya, gurunya, semuanya terhempat air bah. Ibu Gurunya –Ibu Nur. Memberikan papan yang ia temukan kepada Delisa, agar Delisa selamat. Mulia sekali pengorbanan Ibu Nur. Dengan memberikan papan itu, ia sendiri meninggal diterjang air. Selama dua minggu, Delisa terkapar disemak-semak. Tubuhnya penuh luka. Tulangnya patah, ia kelaparan dan kehausan. Keajaiban datang, ada setumpuk Apel disampingnya. Dengan apel itulah ia bertahan, serta dengan membuka mulut lebar-lebar menadah air hujan dimalam hari. Tak jauh dari tubuhnya, Jasad Tiur –sahabatnya, terlihat disana. Ia diselamatkan tentara Amerika dan dirawat di RS tengah laut. Ia sempat tak sadar berapa hari. Untung semua merawatnya dengan baik. Terlebih seorang perawat muslimah keturunan Turki, yang selalu menjaganya setiap saat. Di tempat yang lain, Abi, hanya bisa memasrahkan rumahnya yang hancur, serta kehilangan anak dan istrinya. Pertemuan Delisa dan Abinya sangat mengharukan *huaaa..huaaa... Abi tidak sanggup menjawab pertanyaan Delisa yang datang terus menerus. “Mana Umi? Kok kak Fatimah, kak Zahra dan Kak Aisyah tidak diajak?“ Abi sulit bagaimana menjelaskan kepada putri bungsunya itu. Ia ingin menjelaskan bahwa Zahra dan Aisyah, ditemukan meninggal dalam posisi berpelukan. Begitu juga dengan Fatimah. Sedangkan jasad sang ibu sampai sekarang belum ditemukan. Berulang kali Delisa bertemu dengan Ummi dan kakaknya di dalam mimpi. Ia berteriak keras untuk diajak tinggal disana. Namun, Ummi bertindak tegas. Delisa belum bisa tinggal, ia harus menyelesaikan urusannya yang tertunda. Yakni hafalan-hafalan shalatnya.... Sungguh mengharukan. Sampai kata terakhir buku inipun, keharuan tidak hilang. Walau begitu Tere Liye, tidak melupakan sisi humor, dengan menceritakan keluguan Delisa. Buku ini mengajarkan banyak hal. Banyak sekali malah. Novel ini juga seperti menyentil hati. Pembaca diajak untuk berfikir. Sudahkan kita sebaik Delisa? Sudahkah kita bisa bersikap seperti Delisa? Anak umur 6 tahun, yang mengajarkan banyak hal.(less)

moga bunda disayang allah “Dia mencintai anak-anak, Ryan. Bukan! Bukan karena mereka terlihat menggemaskan, tetapi karena menyadari janji kehidupan yang lebih baik selalu tergenggam di tangan anak-anak..“ (Hal 234) Bang Darwis kembali memakai anak-anak sebagai tokoh utama. Kali ini bernama Melati, yang secara fisik aku bayangkan tak jauh daripada Delisa. Namun, karena kecelakaan kecil disaat liburan pada usia tiga tahun, Melati harus menjadi buta, tuli dan bisu. Persis yang dialami Hellen Keller pada usia 2 tahun.

Melati adalah anak pengusaha kaya, sepasang suami istri, yang dari awal hingga akhir hanya disebut dengan nama Bunda dan Tuan HK. Bayangkan! Rumah mereka berada di atas bukit, yang dari sana bisa melihat pemandangan seluruh kota (antah berantah) dan laut. Pembantunya saja ada 9 orang (kalo gak salah). Salah satu yang paling setia bernama Salamah yang sudah mengabdi pada keluarga HK sejak berapa generasi diatasnya. Di tempat lain, ada seorang pemuda yang menenggelamkan dirinya pada alkohol selama tiga tahun lamanya. Selalu bertingkah seenaknya, kasar, dan (seperti) tak berperasaan. Pemuda itu –Karang, ternyata menyimpan sebuah teraumah akan kecelakaan perahu yang menewaskan 8 anak didik taman bacaannya, terutama Qintan, bocah cerdas yang sangat disayangi. Semenjak kejadian itu, yang dikerjakan Karang hanya tidur sepanjang hari dan pergi mabuk ketika malam hari, begitu terus selama tiga tahun. Takdir akhirnya mempertemukan Karang dan Melati. Bukan hal mudah mempertemukan mereka. Bunda Melati sampai harus datang dan memohon (jika tidak ingin dikatakan menyembah) pada Karang untuk mencoba membantu Melati. Ntah datang darimana perasaan itu, akhirnya Karang memutuskan untuk membantu Melati. Cara Karang mendidik Melati yang sangat keras (lebih keras dari pada Mrs Sulivan mendidik Hellen Keller) ditentang oleh Tuan HK. Karang tidak segan-segan membentak (walau Melati tak mendengar), memukul, bersikap kasar, dan lain sebagainya. Melihat itu dan terlebih ketika mengetahui Karang seorang pemabuk, Tuan HK menjadi kian marah. Dia mengusir Karang. Namun Bunda Melati memiliki satu keyakinan Karang bisa membantu Melati. Jadilah selama hampir satu bulan Karang tinggal dikediaman keluarga Tuan HK. Selama itu tuan HK bertugas ke Jerman untuk mengurusi bisnis keluarga mereka. Kisah ini berakhir dengan bahagia. Melati akhirnya bisa melihat, walau tetap bisu. Menurutku, di tangan bang Darwis semua tipe ending bisa menjadi menarik. Andai berakhir menyedihkan, pembaca akan merasa itu masuk akal, karena menyembuhkan Melati memang hal yang sulit. Dan dengan berakhir bahagia seperti ini, pembaca akan mendapat kelegaan dari kehidupan Melati yang menyedihkan. Tinggal bersama Melati pula akhirnya Karang bertemu kembali dengan kekasihnya, Kinasih, dan juga menemukan kembali hidupnya dulu, tanpa bayang-bayang teraumah. Buku yang luar biasa, walau rasanya sulit menemukan hubungan Melati dan Karang diwaktu sekarang. (Apalagi cara mendidik Karang yang sangat tak biasa). Selamat buat Bang Darwis. Di tunggu karyanya yang lain. :) “ Benarlah. Jika kalian sedang bersedih, jika kalian sedang terpagut masa lalu menyakitkan, penuh penyesalah seumur hidup, salah satu obatnya adalah dengan menyadari masih banyak orang lain yang lebih sedih dan mengalami kejadian lebih

menyakitkan dibandingkan kalian. Masih banyak orang lain yang tidak lebih beruntung dibandingkan kita. Itu akan memberikan pengertian bahwa hidup ini belum berakhir. Itu akan membuat kita selalu meyakini : setiap makhluk berhak atas satu harapan

Melati, gadis kecil yang hampir "sempurna" terputus dari dunia karena cacat fisiknya : buta, tuli dan hampir bisu maka hanya HITAM-GELAP dunia yg dikenalnya. Melati tak pernah mengerti apa itu bunyi, apa itu cahaya bahkan tak pernah tahu apa arti "Bunda"?. semua aktivitas yg dilakukannya hanya berdasarkan insting, hampir seperti hewan yg belajar mengenal lingkungannya. Perjuangan Bunda bersama Karang (Pak guru) nyaris menguras habis kesabaran, ketabahan demi membawa Melati keluar dari kegelapan dunia. Fiuhh...novel yang sangat menyentuh, membangunkan diri dari kealpaan akan rasa syukur pada setiap inci kesempurnaan yang telah Dia anugerahkan pada kita yang tergolong manusia normal dan sehat. Melati adalah bocah kecil berusia 6 tahun, anak tunggal sepasang suami istri, Bunda dan Tuan HK, yang cukup dilimpahi materi. Kelahiran Melati sangatlah diidam-idamkan setelah bertahun-tahun pernikahan Bunda tak jua dikaruniai anak. Malangnya, pada usia 3 tahun Melati mengalami kecelakaan yang membuatnya menjadi buta dan tuli, otomatis tak bisa bicara pula. Sejak saat itu tertutuplah semua akses Melati untuk melihat dunia di sekitarnya, membuat Melati tumbuh menjadi bocah dengan segudang amarah, sulit dikendalikan. Satu harapan muncul saat Bunda bertemu dengan Karang. Sesungguhnya Karang adalah sosok yang sangat dekat dengan anak-anak, sangat mencintai anak-anak, dan dengan mudah pula dicintai anak-anak. Sangat disayangkan saat Bunda meminta pertolongannya Karang masih larut dalam bayang-bayang peristiwa di masa lalu yang membuatnya tak henti-henti menyalahkan diri-sendiri. Pertemuan dengan Melati ternyata cukup meluluhkan kerasnya hati Karang dan kemudian memutuskan untuk membantunya. Karang bertekad akan menemukan jalan agar Melati dapat mengenal dunia, mengenal kedua orang tuanya, dan mengenal penciptanya. Sayang, kebiasaan buruk Karang membuatnya kemudian diusir oleh Tuan HK. Menyimak novel Tere-Liye yang satu ini saya merasakan ada sesuatu yang berbeda dari segi penuturan cerita dibandingkan dengan Hafalan Shalat Delisa dan Bidadari-Bidadari Surga. Kejadian-kejadian lucu atau mungkin kalimat-kalimat lucu terselip diantara kalimat-kalimat yang lebih serius. Sedikit menganggu buat saya walaupun mungkin hal tersebut dimaksudkan untuk tidak membawa pembaca terlalu larut dalam konflik demi konflik. Berbicara tentang tokoh Karang, bisa jadi ada dua hal yang membuat saya kurang sreg dengan tokoh ini. Pertama, saya pribadi memang kurang suka dengan tabiat sok tahu, sok mengerti segala keputusan Allah atas manusia, dan sok pintar seolah-olah mampu mengatasi segala situasi yang dihadapi model Karang. Kedua, memang begitulah

gambaran tokoh Karang yang diinginkan Tere dan saya rasa Tere cukup berhasil. Tentang pesan yang ingin disampaikan melalui cerita ini, diantaranya mengingatkan pembaca bahwa segala sesuatu yang telah terjadi sepenuhnya atas kuasa Allah, sang Maha Pencipta, sang Maha Memiliki Kehendak. Ada maksud dan rencanaNya di balik setiap kejadian. Karena segala sesuatu berasal dari Allah, maka hanya kepada Allah lah manusia memohon segala kebaikan, memohon dibukakan pintu hikmah atas semua cobaan, sekaligus memohon keajaiban atas segala sesuatu yang dianggap mustahil oleh manusia tapi tidak olehNya, karena bukankah tidak ada yang mustahil bagi Allah? 03/03/09 Siska Nurohmah rated it:

(review of isbn 9793210796)

Read in January, 2008 Ini juga buku yang menguras air mata... terutama ketika mengingat bahwa kita kerap tak sadar akan keadilan-Nya...tidaklah beban itu diciptakan melainkan manusia diberi kekuatan untuk memikulnya... Hmm... betapa sering keluhan2 yang terlontar tanpa sadar itu menyiratkan ketidaktahuan kita bahwa ada hikmah yang belum kita temukan di baliknya...Musibah, cobaan, segala kekurangan... memang sudah didisain Yang Maha Kuasa agar kita semakin dekat padaNya..(kalau lulus dan sabar menghadapi ujiannya...) Jadi, begini garis besar ceritanya... Ada sebuah keluarga, materi berlimpah tiada terkira, istrinya shalihah, suaminya mencintainya, hidup rukun dan damai tidak kekurangan suatu apa... hanya saja, anak mereka satu-satunya...ternyata ditakdirkan tak bisa mengindrai dunia sebagaimana orangorang pada umumnya. Ya, dia buta..tuli..dan bisu. Bahkan kata "Ibu" pun dia tak pernah tahu. Dia tak mengerti apa itu lapar dan bagaimana mengekspresikannya, baginya hanya ada gelap dan frustrasi, tidak mengenal apa-apa dan tak tahu bagaimana mengungkapkan rasa. Nah, gadis kecil keluarga tersebut, yang setiap waktu menguji kesabaran orang tuanya, yang membuat orang tuanya kehabisan air mata karena tak tahu cara agar gadis itu mengenal Pencipta-nya, pada akhirnya bisa mengindrai dunia dengan cara yang tak disangka-sangka... yakni dengan bantuan dari seorang pemuda frustrasi juga (biar frustrasi tapi baik hati, ceritanya...xp) Gimana caranya? Hmm...rahasia... hehe... kalau diceritakan mungkin akan mengingatkan kita tentang biografi seorang tokoh terkenal, Hellen Keller, yang memang mengilhami cerita ini... Hm.. bahkan Hellen yang memiliki keterbatasan itu pun bisa menulis buku, menguasai lima bahasa... subhanalloh... jadi inget kata2nya Hellen Keller itu, if you keep your face to the sun, you'll never see the darkness...(less) 12/06/08

Aina Dayana Hilmi rated it:

(review of isbn 9793210796)

bookshelves: --motivasi-diri--, children, kekeluargaan, read-2009, wishlist Read in June, 2009 Moga Bonda Disayang Allah menceritakan tentang kisah seorang anak muda yang hidup dengan rasa kesal dan bersalah kerana menyebabkan kematian 18 anak didiknya tiga tahun lalu. Karang, berubah menjadi seorang yang pemabuk, meninggalkan solat, menjadi pemarah dan bersikap sinis kepada semua orang. Ibu angkatnya tidak putusputus berdoa supaya dia berubah menjadi baik seperti dahulu. Dalam masa yang sama, ada sebuah keluarga, si ibunya mengharapkan pertolongan Karang untuk mengajar anaknya, Melati yang buta dan tuli. Hati siapa yang tidak sedih melihat seorang anak berusia 6 tahun tetapi tidak dapat berbuat apa-apa lantaran kekurangan yang dialaminya. Melati sebenarnya tidaklah buta dan tuli sejak kecil tetapi peristiwa dihentam dengan objek tumpul di tepi pantai ketika usianya 3 tahun secara perlahan-lahan mengubah keadaan dirinya. Melati hidup dalam keadaan yang kosong, gelap, dan tidak berasa kewujudan apa-apa pun di dunia ini. Hanya dengan kehadiran Karang, pemuda ini berusaha mengubah dan mengharap kemajuan diri Melati. Pak HK pula tidak menyukai Karang kerana pantang baginya orang yang pemabuk mengajar anaknya. Lalu diusirnya Karang. Tetapi tempoh 3 minggu Pak HK ke Frankfurt atas urusan perniagaan, Karang mempergunakan waktu tersebut untuk mengajar Melati. Kemajuan Melati sangat lambat. Kerana Melati tidak memahami bahawa semua benda tidak boleh dibaling. Sepanjang pembacaan saya juga ikut berfikir-fikir, bagaimana mendidik anak yang buta dan tuli ini? Satu cabaran yang maha hebat bagi seorang guru. Akhirnya pada hari ke-20, iaitu sewaktu Pak HK balik dari Frankfurt secara mengejut (sengaja membuat kejutan) satu keajaiban berlaku. Nyaris-nyaris berlaku pergaduhan besar kerana baru Pak HK menyedari bahawa Bonda telah menipunya dengan mengatakan Karang telah pergi dari rumah itu. Walhal, Karang masih dengan amannya duduk sarapan makan bersama keluarganya pagi itu :) Melati hilang tanpa disedari ketika berlaku kekecohan di ruang makan itu. Semua orang di dalam rumah ikut mencarinya. Rupa-rupanya Melati telah berada di halaman rumah dengan keadaan yang sangat seronok tatkala air dari pili mengenai tapak tangannya. Dan Karang akhirnya berasa sangat bersyukur kerana baru diketahui cara mengejar Melati. Tapak tangan Melati merupakan akses kepada sumber pembelajarannya. Karang menulis perkataan “A I R” pada tapak tangan Melati dan Melati berasa sangat teruja. Maka pada hari itu, berjuta soalan dikemukakan oleh Melati lantaran sikap ingin tahunya yang tersimpan bertahun-tahun. Sudah pasti ibunyalah yang paling merasa bahagia kerana dapat melihat anaknya begitu eager mempelajari sesuatu yang baru dan yang paling penting dapat mengenal dunia ini. Cerita ini sebenarnya adalah adaptasi dan pengubahsuaian daripada cerita Helen Keller, seorang budak perempuan yang juga deaf-blind. Bezanya ialah gurunya seorang

perempuan dan buta juga bernama Anne Sullivan. Filem mengenai Helen Keller telah beberapa kali dilakukan dan ceritanya sangat menyentuh hati. Ia mengajar ketabahan hati seorang guru, ibu bapa dan juga menuntut kesabaran dan kegigihan dalam menimba dan mencari ilmu. Namun begitu, saya sebenarnya beberapa kali terhenti pembacaan buku ini kerana penceritaannya terlalu panjang dan saya sedikit bosan untuk membacanya sehingga ke ayat yang terakhir tetapi akhirnya saya berjaya juga ;)(less) 02/03/08 Toffan arief rated it:

(review of isbn 9793210796)

bookshelves: indonesian Novel ini menceritakan seorang anak bernama Melati bocah berusia 6 tahun yang buta dan tuli sejak dia berusia 3 tahun. Selama 3 tahun ini dunia melati gelap. Dia tidak memiliki akses untuk bisa mengenal dunia dan seisinya. Mata, telinga dan semua tertutup baginya. Melati tidak pernah mendapatkan cara untuk mengenal apa yang ingin dikenalnya. Akibatnya Melati menjadi frustasi, sering mengamuk, dan acap sulit dikendalikan. Orang tua Melati adalah orang kaya. Tim dokter ahli sudah didatangkan untuk membantu memulihkan dan mengendalikan Melati. Namun nihil, bahkan salah satu dokter mengalami luka parah di jarinya (nyaris putus) karena gigitan Melati. Dalam novel ini diceritakan tokoh yang bernama Karang, yang akhirnya menjadi guru Melati. Sesuai namanya, Karang adalah pribadi yang keras bak karang di lautan. Ketus, jutek, dan sangat tidak menyenangkan. Hal yang melatar belakangi perilaku karang yang jutek dan cenderung kasar ini adalah peristiwa ketika 18 anak didiknya tewas dalam kecelakaan perahu tiga tahun lalu. Karang telah kehilangan semangat hidupnya dan merasa sangat bersalah atas peristiwa tersebut. Namun demi cintanya terhadap anak-anak Karang akhirnya datang memenuhi permintaan Bunda untuk mendidik Melati. Hanya seminggu waktu yang diberikan tuan HK (ayah Melati) kepada Karang untuk mendidik Melati. Tuan HK sangat tidak setuju bila putri semata wayangnya dididik oleh pemuda kasar dan gemar minum minuman keras. Namun demi Bunda yang berkeyakinan dan menaruh harapan besar atas kesembuhan Melati, Tuan HK mengizinkan Karang menjadi guru dan mendidik Melati. Sungguh tidak mudah untuk menemukan metode pengajaran bagi Melati. Bagaimana Melati bisa mendengar apa yang dikatakan Karang sementara Melati tuli ?. Melati buta sehingga tidak tidak terbuka segala hal untuk dia tahu. Semua yang ada hanya gelap dan sunyi. Dia tidalk mempunyai cara untuk mengenal apa yang ingin dia kenal. Sampai akhirnya keajaiban datang ketika air mancur membasuh tangan Melati, Melati tertawa… dan itu adalah kali pertamanya Melati tertawa. Karang menuliskan kata air, dan meletakkan telapak tangan Melati ke mulutnya sambil mengatakan a-i-r. Akhirnya Melati

dapat mengerti bahwa benda itu bernama air. Sejak itu, Melati belajar melalui telapak tangan tempat bermuara semua panca indra. Dunia Melati menjadi terang sejak saat itu. 08/09/07 Unai rated it:

(review of isbn 9793210796)

bookshelves: novel Read in June, 2007 Ini adalah Novel kedua Tere-Liye, setelah sukses dengan novel pertamanya yang berjudul Hafalan Shalat Delisa yang mengharu biru dan menguras energi spiritual. Kembali Tere Liye mengusung cerita beraroma religi. Namun berbeda dengan judul yang kental unsur religinya, Tere menyajikan cerita dengan sangat akrab, sehingga novel ini mampu menginspirasi dan memberikan memotivasi bahwa keterbatasan fisik bukanlah hal yang patut disesali karena dunia dan seisinya tidaklah terputus hanya karena keterbatasan. Novel ini diilhami oleh kisah nyata Helen Adams Keller (Alabama 1880–1968). Hellen sebenarnya tidak terlahir buta dan tuli ( sekaligus bisu), hingga usia 19 ketika keterbatasan itu datang. Ibunya membawa Hellen menemui Alexander Graham Bell yang saat itu sedang menangani anak-anak tuli. Bell, menyarankan Hellen dan ibunya ke Institute Perkins for The Blind, di Boston. Institut ini lalu mengirimkan Anne Sullivan untuk menjadi guru Hellen. Dan setelah menemui banyak kesulitan, Hellen akhirnya menemukan cara untuk berkomunikasi ketika ia menyadari gerakan jari gurunya di telapak tangan bersamaan dengan aliran air sebagai simbol dari kata : air. Novel ini menceritakan seorang anak bernama Melati bocah berusia 6 tahun yang buta dan tuli sejak dia berusia 3 tahun. Selama 3 tahun ini dunia melati gelap. Dia tidak memiliki akses untuk bisa mengenal dunia dan seisinya. Mata, telinga dan semua tertutup baginya. Melati tidak pernah mendapatkan cara untuk mengenal apa yang ingin dikenalnya. Akibatnya Melati menjadi frustasi, sering mengamuk, dan acap sulit dikendalikan. Orang tua Melati adalah orang kaya. Tim dokter ahli sudah didatangkan untuk membantu memulihkan dan mengendalikan Melati. Namun nihil, bahkan salah satu dokter mengalami luka parah di jarinya (nyaris putus) karena gigitan Melati. Dalam novel ini diceritakan tokoh yang bernama Karang, yang akhirnya menjadi guru Melati. Sesuai namanya, Karang adalah pribadi yang keras bak karang di lautan. Ketus, jutek, dan sangat tidak menyenangkan. Hal yang melatar belakangi perilaku karang yang jutek dan cenderung kasar ini adalah peristiwa ketika 18 anak didiknya tewas dalam kecelakaan perahu tiga tahun lalu. Karang telah kehilangan semangat hidupnya dan merasa sangat bersalah atas peristiwa tersebut. Namun demi cintanya terhadap anak-anak Karang akhirnya datang memenuhi permintaan Bunda untuk mendidik Melati.(less)

Related Documents

Browsing Q
June 2020 16
Safety Browsing
May 2020 7
Browsing Pasar.docx
December 2019 11
Browsing A
November 2019 9
Web Browsing
May 2020 9
Q
June 2020 12