Biografi Pelukis Indonesia

  • Uploaded by: I Gede Gegiranang Wiryadi
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Biografi Pelukis Indonesia as PDF for free.

More details

  • Words: 7,940
  • Pages: 28
AFFANDI BASUKI ABDULLAH SINDUDARSONO SUDJOJONO BARLI SASMITAWINATA IRMA PRISCILLA HARDISURYA KH ACHMAD MUSTOFA BISRI KARTIKA AFFANDI

XII IPA OLEH :

I GEDE GEGIRANANG WIRYADI( ) I PUTU HERY SURYANATA( I GEDE BUDI HARTAWAN(

) )

SMA N 2 AMLAPURA 2008/2009

2

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan atas kepada TYME, dan berkat bimbingan dari Guru Seni Rupa SMA N 2 Amlapura atas tersusunnya makalah ini, walaupun belum mencapai kesempurnaan. Makalah ini merupakan penyajian dari beberapa Biografi tentang pelukis-pelukis yang berasal dari Indonesia. Makalah ini akan menceritakan tentang perjalanan dari beberapa pelukis terkenal dari Indonesia, dan juga kisahnya dalam berkarya hingga menggapai ketenaran dalam profesinya. Beberapa Pelukis tersebut diantaranya seperti Affandi yang menjadi figur yang sangat luar biasa dikalangan dunia Pelukis Indonesia. Dan juga banyak lagi pelukis yang lainnya. Bagi pembaca yang sempat membaca mohon kritik dan saran untuk lebih menyempurnakan lagi kekurangan dari makalah ini. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

Amlapura, 11 September 2008

Penyusun

3

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...............................................................................................................2 DAFTAR ISI..............................................................................................................................3

AFFANDI.............................................................................................................4 BASUKI ABDULLAH........................................................................................9 SINDUDARSONO SUDJOJONO.....................................................................11 BARLI SASMITAWINATA..............................................................................14 IRMA PRISCILLA HARDISURYA.................................................................18 KH ACHMAD MUSTOFA BISRI....................................................................20 KARTIKA AFFANDI........................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................27

4

AFFANDI KOESOEMA Affandi Koesoema

(Cirebon, Jawa Barat, 1907 - 23 Mei 1990) adalah seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia, mungkin pelukis Indonesia yang paling terkenal di dunia internasional, berkat gaya ekspresionisnya yang khas. Pada tahun 1950-an ia banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. Pelukis yang produktif, Affandi telah melukis lebih dari dua ribu lukisan. Biografi

Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri. Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya. Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi. Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis. Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis. Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai--yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur--memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno. Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil 5

dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Bung Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Lalu katakata apa yang harus ditulis di poster itu? Kebetulan muncul penyair Chairil Anwar. Soedjojono menanyakan kepada Chairil, maka dengan enteng Chairil ngomong: "Bung, ayo Bung!" Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Dari manakah Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu. Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India. Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi. Lalu apa topik yang diangkat Affandi? "Kita bicara tentang perikemanusiaan, lalu bagaimana tentang perikebinatangan?" demikianlah dia memulai orasinya. Tentu saja yang mendengar semua tertawa ger-geran. Affandi bukan orang humanis biasa. Pelukis yang suka pakai sarung, juga ketika dipanggil ke istana semasa Suharto masih berkuasa dulu, intuisinya sangat tajam. Meskipun hidup di jaman teknologi yang sering diidentikkan jaman modern itu, dia masih sangat dekat dengan fauna, flora dan alam semesta ini. Ketika Affandi mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah. Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya. Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana. Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Karuan saja semua tertawa. Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk 6

idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima atau Werkudara, Kresna. Namun, Affandi memilih Sokasrana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta. Affandi dan melukis Semasa hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari 2.000 karya lukis. Karya-karyanya yang dipamerkan ke berbagai negara di dunia, baik di Asia, Eropa, Amerika maupun Australia selalu memukau pecinta seni lukis dunia. Pelukis yang meraih gelar Doktor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974 ini dalam mengerjakan lukisannya, lebih sering menumpahkan langsung cairan cat dari tube-nya kemudian menyapu cat itu dengan jarijarinya, bermain dan mengolah warna untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan tentang sesuatu. Dalam perjalanannya berkarya, pemegang gelar Doctor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974, ini dikenal sebagai seorang pelukis yang menganut aliran ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang lain terutama oleh orang yang awam tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang menambah daya tariknya. Kesederhanaan cara berpikirnya terlihat saat suatu kali, Affandi merasa bingung sendiri ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Oleh para kritisi Barat, lukisan Affandi dianggap memberikan corak baru aliran ekspresionisme. Tapi ketika itu justru Affandi balik bertanya, Aliran apa itu?. Bahkan hingga saat tuanya, Affandi membutakan diri dengan teori-teori. Bahkan ia dikenal sebagai pelukis yang tidak suka membaca. Baginya, huruf-huruf yang kecil dan renik dianggapnya momok besar. Bahkan, dalam keseharian, ia sering mengatakan bahwa dirinya adalah pelukis kerbau, julukan yang diakunya karena dia merasa sebagai pelukis bodoh. Mungkin karena kerbau adalah binatang yang dianggap dungu dan bodoh. Sikap sang maestro yang tidak gemar berteori dan lebih suka bekerja secara nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya menjalankan profesi sebagai pelukis yang tidak cuma musiman pameran. Bahkan terhadap bidang yang dipilihnya, dia tidak overacting. Misalnya jawaban Affandi setiap kali ditanya kenapa dia melukis. Dengan enteng, dia menjawab, Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak pandai omong. Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan. Bagi Affandi, melukis adalah bekerja. Dia melukis seperti orang lapar. Sampai pada kesan elitis soal sebutan pelukis, dia hanya ingin disebut sebagai tukang gambar. Lebih jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup punya kepribadian besar untuk disebut seniman, dan ia tidak meletakkan kesenian di atas kepentingan keluarga. Kalau anak saya sakit, saya pun akan berhenti melukis, ucapnya. 7

Sampai ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap menggeluti profesi sebagai pelukis. Kegiatan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia dimakamkan tidak jauh dari museum yang didirikannya itu. Museum Affandi

Kopi dari lukisan diri yang dibuat oleh pelukis Affandi sendiri Museum yang diresmikan oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu dalam sejarahnya telah pernah dikunjungi oleh Mantan Presiden Soeharto dan Mantan Perdana Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohammad pada Juni 1988 kala keduanya masih berkuasa. Museum ini didirikan tahun 1973 di atas tanah yang menjadi tempat tinggalnya. Saat ini, terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan di Museum Affandi, dan 300-an di antaranya adalah karya Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah karya restropektif yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal karirnya hingga selesai, sehingga tidak dijual. Sedangkan galeri II adalah lukisan teman-teman Affandi, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik, dan lain-lain. Adapun galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga Affandi. Di dalam galeri III yang selesai dibangun tahun 1997, saat ini terpajang lukisan-lukisan terbaru Kartika Affandi yang dibuat pada tahun 1999. Lukisan itu antara lain "Apa yang Harus Kuperbuat" (Januari 99), "Apa Salahku? Mengapa ini Harus Terjadi" (Februari 99), "Tidak Adil" (Juni 99), "Kembali Pada Realita Kehidupan, Semuanya Kuserahkan KepadaNya" (Juli 99), dan lain-lain. Ada pula lukisan Maryati, Rukmini Yusuf, serta Juki Affandi. Affandi di mata dunia Affandi memang hanyalah salah satu pelukis besar Indonesia bersama pelukis besar lainnya seperti Raden Saleh, Basuki Abdullah dan lain-lain. Namun karena berbagai kelebihan dan keistimewaan karya-karyanya, para pengagumnya sampai menganugerahinya berbagai sebutan dan julukan membanggakan antara lain seperti julukan Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia bahkan julukan Maestro. Adalah Koran International Herald Tribune yang menjulukinya sebagai Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia, sementara di Florence, Italia dia telah diberi gelar Grand Maestro. Berbagai penghargaan dan hadiah bagaikan membanjiri perjalanan hidup dari pria yang hampir seluruh hidupnya tercurah pada dunia seni lukis ini. Di antaranya, pada tahun 1977 ia mendapat Hadiah Perdamaian dari International Dag Hammershjoeld. Bahkan Komite Pusat Diplomatic Academy of Peace PAX MUNDI di Castelo San Marzano, Florence, Italia pun mengangkatnya menjadi anggota Akademi Hak-Hak Azasi Manusia. Dari dalam negeri sendiri, tidak kalah banyak penghargaan yang telah diterimanya, di antaranya, penghargaan "Bintang Jasa Utama" yang dianugrahkan Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978. Dan sejak 1986 ia juga diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun ISI (Institut Seni Indonesia) di Yogyakarta. Bahkan seorang Penyair Angkatan 45 8

sebesar Chairil Anwar pun pernah menghadiahkannya sebuah sajak yang khusus untuknya yang berjudul "Kepada Pelukis Affandi". Untuk mendekatkan dan memperkenalkan karya-karyanya kepada para pecinta seni lukis, Affandi sering mengadakan pameran di berbagai tempat. Di negara India, dia telah mengadakan pameran keliling ke berbagai kota. Demikian juga di berbagai negara di Eropa, Amerika serta Australia. Di Eropa, ia telah mengadakan pameran antara lain di London, Amsterdam, Brussels, Paris, dan Roma. Begitu juga di negara-negara benua Amerika seperti di Brasil, Venezia, San Paulo, dan Amerika Serikat. Hal demikian jugalah yang membuat namanya dikenal di berbagai belahan dunia. Bahkan kurator terkenal asal Magelang, Oei Hong Djien, pernah memburu lukisan Affandi sampai ke Rio de Janeiro.

9

Basuki Abdullah Basoeki Abdullah (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 25 Januari 1915 – wafat 5 November 1993 dalam umur 78 tahun) adalah salah seorang maestro pelukis Indonesia. Ia dikenal sebagai pelukis aliran realis dan naturalis. Ia pernah diangkat menjadi pelukis resmi Istana Merdeka Jakarta dan karya-karyanya menghiasi istana-istana negara dan kepresidenan Indonesia, disamping menjadi barang koleksi dari berbagai penjuru dunia. Bakat melukisnya terwarisi dari ayahnya Abdullah Suryosubro yang juga seorang pelukis dan penari. Sedangkan kakeknya adalah seorang tokoh Pergerakan Kebangkitan Nasional Indonesia pada awal tahun 1900-an yaitu Doktor Wahidin Sudirohusodo. Sejak umur 4 tahun Basoeki Abdullah mulai gemar melukis beberapa tokoh terkenal diantaranya Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Yesus Kristus dan Krishnamurti. Pendidikan formal Basoeki Abdullah diperoleh di HIS Katolik dan Mulo Katolik di Solo. Berkat bantuan Pastur Koch SJ, Basoeki Abdullah pada tahun 1933 memperoleh beasiswa untuk belajar di Akademik Seni Rupa (Academic Voor Beldeende Kunsten) di Den Haag, Belanda, dan menyelesaikan studinya dalam waktu 3 tahun dengan meraih penghargaan Sertifikat Royal International of Art (RIA).

Aktivitas Lukisan "Kakak dan Adik" karya Basoeki Abdullah (1978). Kini disimpan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Pada masa Pemerintahan Jepang, Basoeki Abdullah bergabung dalam Gerakan Poetra atau Pusat Tenaga Rakyat yang dibentuk pada tanggal 19 Maret 1943. Di dalam Gerakan Poetra ini Basoeki Abdullah mendapat tugas mengajar seni lukis. Muridmuridnya antara lain Kusnadi (pelukis dan kritikus seni rupa Indonesia) dan Zaini (pelukis impresionisme). Selain organisasi Poetra, Basoeki Abdullah juga aktif dalam Keimin Bunka Sidhosjo (sebuah Pusat Kebudayaan milik pemerintah Jepang) bersama-sama Affandi, S.Sudjoyono, Otto Djaya dan Basoeki Resobawo. Di masa revolusi Bosoeki Abdullah tidak berada di tanah air yang sampai sekarang belum jelas apa yang melatarbelakangi hal tersebut. Jelasnya pada tanggal 6 September 1948 bertempat di New York Amsterdam sewaktu penobatan Ratu Yuliana dimana diadakan sayembara melukis, Basoeki Abdullah berhasil mengalahkan 87 pelukis Eropa dan berhasil keluar sebagai pemenang.

10

Lukisan "Balinese Beauty" karya Basoeki Abdullah yang terjual di tempat pelelangan Christie's di Singapura pada tahun 1996. Sejak itu pula dunia mulai mengenal Basoeki Abdullah, putera Indonesia yang mengharumkan nama Indonesia. Selama di negeri Belanda Basoeki Abdullah sering kali berkeliling Eropa dan berkesempatan pula memperdalam seni lukis dengan menjelajahi Italia dan Perancis dimana banyak bermukim para pelukis dengan reputasi dunia. Basoeki Abdullah terkenal sebagai seorang pelukis potret, terutama melukis wanita-wanita cantik, keluarga kerajaan dan kepala negara yang cenderung mempercantik atau memperindah seseorang ketimbang wajah aslinya. Selain sebagai pelukis potret yang ulung, diapun melukis pemandangan alam, fauna, flora, tema-tema perjuangan, pembangunan dan sebagainya. Basoeki Abdullah banyak mengadakan pameran tunggal baik di dalam negeri maupun di luar negeri, antara lain karyanya pernah dipamerkan di Bangkok (Thailand), Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris, Portugal dan negara-negara lain. Lebih kurang 22 negara yang memiliki karya lukisan Basoeki Abdullah. Hampir sebagian hidupnya dihabiskan di luar negeri diantaranya beberapa tahun menetap di Thailand dan diangkat sebagai pelukis Istana Merdeka dan sejak tahun 1974 Basoeki Abdullah menetap di Jakarta.

Kehidupan Pribadi Basoeki Abdullah selain seorang pelukis juga pandai menari dan sering tampil dengan tarian wayang orang sebagai Rahwana atau Hanoman. Beliau tidak hanya menguasai soal kewayangan, budaya Jawa di mana ia berasal tetapi juga menggemari komposisi-kompasisi Franz Schubert, Beethoven dan Paganini, dengan demikian wawasannya sebagai seniman luas dan tidak Jawasentris. Basoeki Abdullah menikah empat kali. Istri pertamanya Yoshepin (orang Belanda) tetapi kemudian berpisah, mempunyai anak bernama Saraswati. Kemudian menikah lagi dengan Maya Michel (berpisah) dan So Mwang Noi (bepisah pula). Terakhir menikah dengan Nataya Narerat sampai akhir hayatnya dan mempunyai anak Cicilia Sidhawati Basoeki Abdullah tewas dibunuh perampok di rumah kediamannya pada tanggal 5 November 1993. Jenasahnya dimakamkan di Desa Mlati, Sleman, Yogyakarta.

11

SINDUDARSONO SUDJOJONO Nama: Sindudarsono Sudjojono Nama Panggilan: Pak Djon Lahir: Kisaran, Sumatera Utara, 14 Desember 1913 Meninggal: Jakarta, 25 Maret 1985 Agama: Kristen Isteri: - Mia Bustam (cerai) - Rose Pandanwangi (penyanyi seriosa) Anak: 14 orang Pendidikan : - SD, Jakarta - SMP, Bandung - SMA Taman Siswa, Yogyakarta - Kursus Montir - Belajar melukis pada Pirngadie dan Chioji Yazaki Karir: - Guru Taman Siswa di Rogojampi, Jawa Timur (1930-1931) - Mendirikan Persatuan Ahli Gambar Indonesia, Jakarta (1937)

- Mendirikan Seniman Muda Indonesia, Madiun (1946) - Pelukis Profesional (1958-1985) - Mendirikan Sanggar Pandanwangi Pameran: - Pameran bersama pelukis Eropa di Jakarta (1937) - Fukuoka Art Museum (Japan, 1980) - Festival of Indonesia (USA, 1990-1992) - Gate Foundation (Amsterdam, Holland, 1993) - Singapore Art Museum (1994) - Center for Strategic and International Studies (Jakarta, Indonesia, 1996) - ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998). Penghargaan: Piagam Anugerah Seni (Indonesia, 1970) Alamat Rumah : Jalan Raya Pasar Minggu Km 18, Jakarta Selatan

BIOGRAFI

Sindudarsono Sudjojono (1913-1985)

Bapak Seni Lukis Indonesia Modern Dia pionir yang mengembangkan seni lukis modern khas Indonesia. Pantas saja komunitas seniman, menjuluki pria bernama lengkap Sindudarsono Sudjojono yang akrab dipanggil Pak Djon iini dijuluki Bapak Seni Lukis Indonesia Baru. Dia salah seorang pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) di Jakarta tahun 1937 yang merupakan awal sejarah seni rupa modern di Indonesia. Pelukis besar kelahiran Kisaran, Sumatra Utara, 14 Desember 1913, ini sangat menguasai teknik melukis dengan hasil lukisan yang berbobot. Dia guru bagi beberapa pelukis Indonesia. Selain itu, dia mempunyai pengetahuan luas tentang seni rupa. Dia kritikus seni rupa pertama di Indonesia. Ia seorang nasionalis yang menunjukkan pribadinya melalui warna-warna dan pilihan subjek. Sebagai kritikus seni rupa, dia sering mengecam Basoeki Abdullah sebagai tidak 12

nasionalistis, karena melukis perempuan cantik dan pemandangan alam. Sehingga Pak Djon dan Basuki dianggap sebagai musuh bebuyutan, bagai air dan api, sejak 1935. Tapi beberapa bulan sebelum Pak Djon meninggal di Jakarta, 25 Maret 1985, pengusaha Ciputra mempertemukan Pak Djon dan Basuki bersama Affandi dalam pameran bersama di Pasar Seni Ancol, Jakarta. Sehingga Menteri P&K Fuad Hassan, ketika itu, menyebut pameran bersama ketiga raksasa seni lukis itu merupakan peristiwa sejarah yang penting. Pak Djon lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa, buruh perkebunan di Kisaran, Sumatera Utara. Namun sejak usia empat tahun, ia menjadi anak asuh. Yudhokusumo, seorang guru HIS, tempat Djon kecil sekolah, melihat kecerdasan dan bakatnya dan mengangkatnya sebagai anak. Yudhokusumo, kemudianmembawanya ke Batavia tahun 1925. Djon menamatkan HIS di Jakarta. Kemudian SMP di Bandung dan SMA Taman Siswa di Yogyakarta. Dia pun sempat kursus montir sebelum belajar melukis pada RM Pirngadie selama beberapa bulan dan pelukis Jepang Chioji Yazaki di Jakarta. Bahkan sebenarnya pada awalnya di lebih mempersiapkan diri menjadi guru daripada pelukis. Dia sempat mengajar di Taman Siswa. Setelah lulus Taman Guru di Perguruan Taman Siswa Yogyakarta, ia ditugaskan Ki Hajar Dewantara untuk membuka sekolah baru di Rogojampi, Madiun tahun 1931. Namun, Sudjojono yang berbakat melukis dan banyak membaca tentang seni lukis modern Eropa, itu akhirnya lebih memilih jalan hidup sebagai pelukis. Pada tahun 1937, dia pun ikut pameran bersama pelukis Eropa di Kunstkring Jakarya, Jakarta. Keikutsertaannya pada pameran itu, sebagai awal yang memopulerkan namanya sebagai pelukis. Bersama sejumlah pelukis, ia mendirikan Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia), 1937. Sebuah serikat yang kemudian dianggap sebagai awal seni rupa modern Indonesia. Dia sempat menjadi sekretaris dan juru bicara Persagi. Sudjojono, selain piawai melukis, juga banyak menulis dan berceramah tentang pengembangan seni lukis modern. Dia menganjurkan dan menyebarkan gagasan, pandangan dan sikap tentang lukisan, pelukis dan peranan seni dalam masyarakat dalam banyak tulisannya. Maka, komunitas pelukis pun memberinya predikat: Bapak Seni Lukis Indonesia Baru. Lukisannya punya ciri khas kasar, goresan dan sapuan bagai dituang begitu saja ke kanvas. Objek lukisannya lebih menonjol pada pemandangan alam, sosok manusia, serta suasana. Pemilihan objek itu lebih didasari hubungan batin, cinta, dan simpati sehingga tampak bersahaja. Lukisannya yang monumental antara lain berjudul: Di Depan Kelambu Terbuka, Cap Go Meh, Pengungsi dan Seko. Dalam komunitas seni-budaya, kemudian Djon masuk Lekra, lalu masuk PKI. Dia sempat terpilih mewakili partai itu di parlemen. Namun pada 1957, ia membelot. Salah satu alasannya, bahwa buat dia eksistensi Tuhan itu positif, sedangkan PKI belum bisa memberikan jawaban positif atas hal itu. Di samping ada alasan lain yang tidak diungkapkannya yang juga diduga menjadi penyebab Djon menceraikan istri pertamanya, Mia Bustam. Lalu dia menikah lagi dengan penyanyi seriosa, Rose Pandanwangi. Nama isterinya ini lalu diabadikannya dalam nama Sanggar Pandanwangi. Dari pernikahannya dia dianugerahi 14 anak.

13

Di tengah kesibukannya, dia rajin berolah raga. Bahkan pada masa mudanya, Djon tergabung dalam kesebelasan Indonesia Muda, sebagai kiri luar, bersama Maladi (bekas menteri penerangan dan olah raga) sebagai kiper dan Pelukis Rusli kanan luar. Itulah Djon yang sejak 1958 hidup sepenuhnya dari lukisan. Dia juga tidak sungkan menerima pesanan, sebagai suatu cara profesional dan halal untuk mendapat uang. Pesanan itu, juga sekaligus merupakan kesempatan latihan membuat bentuk, warna dan komposisi. Ada beberapa karya pesanan yang dibanggakannya. Di antaranya, pesanan pesanan Gubernur DKI, yang melukiskan adegan pertempuran Sultan Agung melawan Jan Pieterszoon Coen, 1973. Lukisan ini berukuran 300310 meter, ini dipajang di Museum DKI Fatahillah. Secara profesional, penerima Anugerah Seni tahun 1970, ini sangat menikmati kepopulerannya sebagai seorang pelukis ternama. Karya-karyanya diminati banyak orang dengan harga yang sangat tinggi di biro-biro lelang luar negeri. Bahkan setelah dia meninggal pada tanggal 25 Maret 1985 di Jakarta, karya-karyanya masih dipamerkan di beberapa tempat, antara lain di: Festival of Indonesia (USA, 1990-1992); Gate Foundation (Amsterdam, Holland, 1993); Singapore Art Museum (1994); Center for Strategic and International Studies (Jakarta, Indonesia, 1996); ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998)

14

BARLI SASMITAWINATA Nama: Barli Sasmitawinata Lahir: Bandung 18 Maret 1921 Meninggal: Bandung, 8 Februari 2007 Agama Islam Profesi: Pelukis dan Guru Isteri: Atikah Basari (Almarhum) Ratu Nakisbandiah Anak: Drs Agung Wiwekakaputera dan Drg. Nirwati Chandra Dewi Ayah: RH Haroen Al-Rasyid Ibu: Hj. Djubaedah Pendidikan: :: HIS (1935) :: Studio Jos Pluimentz, Bandung (1935) :: Studio Luigi Nobili (1935) :: MULO (1938) Karir: :: Ilustrator Balai Pustaka, Sipataheonan, Algemeen Indische Dagblad :: Ketua Seksi Seni Rupa Keimin Bunka Shidoso (1942-1945) :: Wakil Kasi Propaganda Provinsi Jawa Barat (1945) :: Ilustrator di Modeme Boekhandel dan Der Lichtbogen, Belanda :: Pengajar ITB, Unpad, IKIP (UPI) dan Universitas Andalas :: Sekretaris FS Undap (1958) Organisasi: :: Ketua Kesenian Pusaka Sunda :: Ketua dan Instruktur Studio Gelanggang Karya, Bandung Ketua Lembaga Kesenian Unpad (1959) :: Ketua Umum yayasan Viatikara, Bandung (1960) :: Wakil Presidium Pusat Kebudayaan Jabar (pusdaya, 1962) :: Ketua Umum Liga Senirupawan Indonesia, bandung (1980) :: Ketua Umum Persatuan Pelukis Cat Air Indonesia (1995) Penghargaan: :: Menteri Pariwisata dan Budaya RI :: International Development Citra Awards (199) Rumah: Jalan Bukit Pakar Timur IV No.8, Bandung 40198 Kantor: Museum Barli, Jalan Prof. Ir. Sutami No.91, Bandung 40152 15

Barli Sasmitawinata Maestro Seni Lukis Realistik Indonesia Barli Sasmitawinata adalah seorang maestro seni lukis realistik. Pria yang lahir di Bandung 18 Maret 1921 itu menjadi pelukis berawal atas permintaan kakak iparnya, tahun 1935, Sasmitawinata, agar Barli memulai belajar melukis di studio milik Jos Pluimentz, seorang pelukis asal Belgia yang tinggal di Bandung. Barli lalu banyak belajar melukis alam benda dan dia adalah satu-satunya murid pribumi di studio tersebut. Di studio itu Barli banyak belajar mengenal persyaratan melukis. Barli dilatih secara intensif melihat objek karena realistik masih sangat populer ketika itu. Pluimentz sang guru, pun selalu berkata, cara melihat seniman dan orang biasa harus berbeda. Orang biasa tidak mampu melihat aspek artistik sesuatu benda sebagaimana seniman. Barli di kemudian hari belajar kepada Luigi Nobili, pelukis asal Italia. Di studio ini pula Barli mulai berkenalan dengan Affandi, yang waktu itu masih mencari uang dengan menjadi model bagi Luigi. Di studio milik Luigi Nobilo itu diam-diam Affandi ikut belajar melukis.Bersama Affandi, Hendra Gunawan, Soedarso, dan Wahdi Sumanta, Barli Sasmitawinata membentuk “Kelompok Lima Bandung”. Kelompok itu dibentuk berawal dari kekaguman yang sangat dari seorang Barli dan ketiga temannya terhadap Affandi. Hubungan di antara kelima anggota kelompok akhirnya terbentuk menjadi seperti saudara saja. Kalau melukis kemana-mana selalu bersama-sama. Termasuk kesempatan perjalanan Barli hingga ke Bali. Barli di tahun 1948 pernah mendirikan Sanggar Seni Rupa Jiwa Mukti. Lalu, sepulang dari Eropa, di tahun 1958 Barli kembali mendirikan studio Rangga Gempol. Sekarang Barli memiliki Bale Seni Barli di Padalarang. Barli menyebutkan sebuah cita-cita yakni ingin punya murid yang tidak saja pandai menggambar tetapi bisa hidup bersama dengan yang lain. Barli adalah pelukis sekaligus guru. Sudah banyak mahasiswa yang dia ajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) maupun murid yang dia bimbing di sanggar seni miliknya, tumbuh menjadi seniman mandiri. Beberapa di antara mantan mahasiswa dan murid itu terkadang ada yang mengabaikan Barli sebagai guru. Namun, yang membanggakan hati dia, tokoh semacam AD Pirous tetap mengakui Barli sebagai salah seorang guru. Selain AD Pirous, ada pula beberapa muridnya yang kini dikenang sebagai pelukis yang berkarakter, seperti (almarhum) Huang Fong. Atau, Chusin Setiadikara yang tetap memelihara bekal seni realistiknya tetapi menempuh jalan sulit untuk membuatnya menjadi seni yang terus bisa bermakna di tengah percaturan berbagai gaya dan kecenderungan seni yang baru. Perjalanan karir lukis Barli dimulai sejak tahun 1930-an sebagai ilustrator terkenal di Balai Pustaka, Jakarta. Dia juga dipakai sebagai ilustrator untuk beberapa koran yang terbit di Bandung. Keterampilan tersebut masih berlanjut di tahun 1950-an saat dia sudah melangglang buana ke mancanegara. Yakni, ketika Barli diangkat menjadi ilustrator pada majalah De Moderne Boekhandel di Amsterdam, dan majalah Der Lichtenbogen di Recklinghausen, Jerman. Barli adalah contoh pelukis dan guru yang mendapatkan pendidikan secara baik sejak usia remaja sampai kemudian dia berkesempatan belajar ke Perancis dan Belanda. Kesempatan Barli studi sekaligus berkiprah di benua Eropa berawal di tahun 1950 tatklala dia mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Belanda untuk belajar di AcademieGrande de la Chaumiere, Paris, Perancis. Barli masih meneruskan studi di 16

Rijksacademie voor Beeldende Kunsten, Amsterdam, Belanda, sampai tahun 1956. Karena kiprah kepelukisannya yang sedemikian panjang, kritikus seni Jim Supangkat dalam bukunya “Titik Sambung” menempatkan Barli Sasmitawinata sebagai ’titik sambung’ dua gugus perkembangan seni lukis Indonesia: seni lukis masa kolonial dan seni lukis modern Indonesia. Dijelaskan oleh Jim, di satu sisi Barli dapat dilihat sebagai meneruskan perkembangan seni lukis masa kolonial. Tetapi di sisi lain Barli merupakan bagian dari pertumbuhan seni lukis modern Indonesia yang menentang seni lukis masa kolonial itu sendiri.Pemerintah RI tampak sangat peduli atas perjalanan karir maestro seni lukis realistik Indonesia ini. Bertepatan dengan hari lahirnya pada 18 Maret 2004 beberapa karya lukisnya dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta. Termasuk dipamerkan sebuah lukisan yang Barli selesaikan hanya beberapa hari sebelum ulang tahunnya ke-83, berukuran lebih dari dua meter kali dua meter. Pembukaan pameran dilakukan langsung oleh Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, I Gede Ardika, berlangsung sejak 18 hingga 31 Maret 2004. Bahkan, PT Pos Indonesia turut menunjukkan penghargaan yang sangat tinggi kepada seniman besar kelahiran Bandung itu. Pos Indonesia khusus menerbitkan prangko yang bergambar reproduksi lukisan Potret Diri, sebuah lukisan terkenal yang Barli buat di tahun 1974. Bersamaan perayaan ulang tahun ke-83 itu diluncurkan pula sebuah buku karangan Nakisbandiah, istri kedua Barli setelah istri pertama meninggal dunia 11 Juli 1991, berjudul “Kehidupanku Bersama Barli”. Barli pertamakali menikahi (almarhumah) Atikah Basari di Pager Ageung tahun 1946 pada saat masih berada di dalam pengungsian karena perang. Pernikahan pertama itu dikaruniai dua orang anak bernama Agung Wiwekakaputera dan Nirwati Chandra Dewi. Barli lalu kembali menikah saat usia sudah 71 tahun, kali itu dengan Nakisbandiah yang masih tetap setia mendampingi hidupnya. Hasil pernikahan Nakisbandiah sebelumnya dengan (almarhum) D Mawardi dikaruniai empat orang putri, yaitu Kartini, Sartika, Mia Meutia (meninggal tahun 1977), dan Indira. Maka, secara keseluruhan keluarga Barli memiliki 15 cucu dan enam orang buyut. Barli berperan cukup besar menularkan ilmu kepada murid-muridnya. Entah di kampusnya mengajar ITB Bandung maupun di sanggar seninya. Barli adalah contoh pelukis dan guru yang mendapatkan pendidikan secara baik sejak usia remaja sampai kemudian belajar seni lukis ke Perancis hingga Belanda. Di Eropa Barli memperoleh banyak prinsip-prinsip melukis anatomi secara intensif. Pelajaran anatomi, untuk pelukis sangat melihat otot-otot yang ada di luar bukan otot yang di dalam. Pernah, selama dua tahun di Eropa Barli setiap dua jam dalam sehari hanya menggambar nude (orang telanjang) saja, sesuatu yang tidak pernah dipersoalkan pantas atau tidak di sana sebab jika untuk kepentingan akademis hal itu dianggap biasa. Barli menyebutkan, seseorang lulusan dari akademis menggambar orang seharusnya pasti bisa sebab penguasaan teknis akan merangsang inspirasi. Dia mencontohkan pengalaman saat belajar naik sepeda sulit sekali sebab salah sedikit saja pasti jatuh. Namun saat sudah menguasai teknis bersepeda sesorang bisa terus mengayuh sambil pikiran bisa kemana-mana. Melukis pun demikian, jika sudah mengetahui teknisnya maka adalah pikiran dan perasaan pelukis yang jalan. Walau pelukis realistik Barli mengaku cukup mengerti abstrak sebab menurutnya seni memang abstrak. Seni adalah nilai. Setiap kali melihat karya yang realistik Barli justru tertarik pada segi-segi abstraksinya. Seperti segi-segi penempatan komposisi yang abstrak yang tidak bisa dijelaskan oleh pelukisnya sendiri. Barli menyebutkan pula, pelukis yang menggambar realistik sesungguhnya sedang melukiskan meaning. Dicontohkannya lagi, kalau melihat seorang kakek maka dia akan 17

tertarik pada umurnya, kemanusiaannya. Sehingga pastilah dia akan melukiskannya secara realistik sebab soal umur tidak bisa dilukiskan dengan abstrak. Menggambarkan penderitaan manusia lebih bisa dilukiskan dengan cara realistik daripada secara abstrak. Telah Pergi Pelukis Barli Sasmitawinata meninggal pada Kamis 8 Februari 2007 sekitar pukul 16.25 di Rumah Sakit Advent, Bandung pada usia 86 tahun. Jenazah disemayamkan di Museum Barli, Jl. Sutami , Kota Bandung. Menurut Hendra (32), Guru Gambar di Bale Seni Barli, Barli dibawa ke RS Advent pada hari ini pukul 9.00 karena muntah-muntah. Ia meninggal pada pukul 16.25 dan dibawa ke rumah duka pukul 17.30. Banyak kerabat yang berdatangan untuk melayat. Dimakamkan pada Jumat (9/2/2007) di Taman Makam Pahlawan Cikutra. Sebelumnya Barli dirawat di rumah sakit selama sebulan karena sakit usia lanjut. Baru Minggu (4/2/2007) Barli pulang kembali ke rumahnya. Selama di rumah, Barli sempat beramanat agar keluarga besar Bale Seni Barli memelihara lembaga pendidikan seni tersebut. Barli juga sempat melukis. Sehari sebelum meninggal ia masih meneruskan lukisannya di kamar. Lukisan yang belum selesai itu masih belum diberi judul. Suami dari Alm Atikah Basari dan Ratu Nakisbandiah ini meninggalkan dua anak Agung Wiwekakaputera dan Nirwati Chandra Dewi.

IRMA PRISCILLA HARDISURYA

18

Nama: Irma Priscilla Hardisurya Lahir: 6 Juli 1943 Profesi: Wartawan, Konsultan dan Pelukis Prestasi: Miss Indonesia di International Beauty Pageant 1969 Tokyo = Miss Asia Manila tahun 1970 = Penerima tropi Miss Tourism Hollywood International 1972 Pendidikan: = S1 Senirupa Institut Teknologi Bandung (ITB) = Teknik mode di Hamburg dan Amsterdam = Diploma Beauty Therapist di London Karier: = Redaktur Mode, Redaktur Pelaksana, Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Femina 1972-1990 = Konsultan analisis warna mode di PT Promo Studio Rona dan Gaya Alamat: Jalan Wijaya II, Jakarta

Ratu dan Pelukis Realisme Romantik Bagi mantan ratu kecantikan pertama Indonesia (Miss Indonesia di International Beauty Pageant 1969 Tokyo), ini hidup adalah anugerah Tuhan. Dia mensyukuri apa pun yang Tuhan berikan. Setelah sukses sebagai ratu kecantikan, ia memilih menjadi wartawan Majalah Femina. Kemudian, lulusan Senirupa Institut Teknologi Bandung (ITB) itu dikenal sebagai seorang pelukis realisme romantik kontemporer. Miss Asia Manila 1970 ini meniti karier sebagai sebagai wartawan di Majalah Femina sejak pertama terbit tahun 1972 sampai 1990. Pemilik Diploma Beauty Therapist di London dan teknik mode di Hamburg dan Amsterdam, ini memegang posisi redaktur mode, redaktur pelaksana sampai terakhir wakil pemimpin redaksi di majalah wanita terkemuka itu. Kemudian, penerima tropi Miss Tourism Hollywood International 1972, ini bekerja sebagai konsultan analisis warna mode di PT Promo Studio Rona dan Gaya. Selain itu, dia pun menekuni bakat sebagai pelukis. Dia seorang pelukis realisme romantik kontemporer. Dia pun telah menggelar pameran lukisan di beberapa tempat. September 2004 dia menggelar pameran lukisan Warna dalam Lukisan di Paulineart Art Space & Studio di bilangan Jalan Denpasar, Kuningan. Pada saat bom di dekat Kedutaan Besar Australia pada hari Kamis (9/9/2004), dia melintas dari lokasi itu lebih kurang lima menit sebelumnya. Saat itu Irma baru kembali dari dokter gigi di kawasan Jalan Teuku Umar, Jakarta. Sesaat dia masuk galeri terdengar suara menggelar. Galeri tersebut berjarak kurang dari dua kilometer dari lokasi ledakan, hingga bunyi ledakan dan getaran terasa kuat. Suasana mencekam itu mengingatkan Irma pada kerusuhan Mei 1998. Irma mengenangnya sebagai masa yang sangat menekan. Suasana itulah yang memicu Irma untuk mulai aktif melukis kembali. Setelah terkumpul cukup lukisan, lalu memamerkan lukisan yang disebutnya sebagai realisme romantik kontemporer. "Katanya saya melukis benda-benda yang tak terlihat. Hah! mungkin saya ini pelukis gaib, 19

ha-ha-ha...," canda Irma Kompas (10/9/200). "Mungkin itu karena dia tidak melewatkan halhal detail. Titik air yang dianggap tidak penting itu baginya menjadi penting. Irma mengaku melukis tanpa beban konsep. Misalnya dengan membawa pesan perjuangan wanita. Ia melukis apa adanya. "Sekarang saya bebas. Yang penting saya melukis jujur dan saya menikmatinya. Mungkin ada yang tidak suka, tapi mungkin juga ada yang menikmatinya," kata Irma. Berada di tengah orang banyak membuatnya bahagia. Dia pun cukup bahagia bertahan single fighter. Itu bukan berarti ia tidak peduli dengan pernikahan. Sebenarnya dia tidak pernah memilih untuk hidup tak menikah. Tetapi sungguh pun begitu, dia menerima dan mensyukurinya sebagai pemberian Tuhan. Dia memang pernah punya kisah kasih yang pahit, menjalin hubungan serius dengan seorang pria. Namun, berhubung ada problem politik antara RI dengan negara asal sang pacar, maka ia memutuskan berpisah dengan lelaki itu. Walaupun bukannya dia lantas antipati pada pria.

20

KH ACHMAD MUSTOFA BISRI Nama : KH Achmad Mustofa Bisri Lahir : Rembang, 10 Agustus 1944 Agama : Islam Jabatan: Pimpinan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah Alamat Rumah : Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin, Jalan Mulyo No. 4 Rembang 59217 Telepon/Faksimile : 0295691483

KH Achmad Mustofa Bisri

Sang Kiyai Pembelajar Kiyai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim, ini telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia kiyai yang bersahaja, bukan kiyai yang ambisius. Ia kiyai pembelajar bagi para ulama dan umat. Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, ini enggan (menolak) dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama dalam Muktamar NU ke31 28/11-2/12-2004 di Boyolali, Jawa Tengah.

KARTIKA AFFANDI 21

Nama: Kartika Affandi Lahir: Jakarta, 27 November 1934 Ayah: Affandi Ibu: Maryati Suami: 1. RM Saptohoedojo (nikah 1952 cerai 1972, delapan anak) 2. Gerhard Koberl, warga Austria (nikah 1985 cerai 2000) Pendidikan: SMP Taman Dewasa Taman Siswa Jakarta 1949 Universitas Tagore di Shantiniketan, India Belajar seni patung di Polytechnic School of Art di London Belajar teknik pengawetan dan restorasi benda seni di Wina, Austria, yang dilanjutkannya di Roma Penghargaan: - Doktor honoris causa dari Northern California Global University - "The Best Indonesian Professional Award" dari Forum Wartawan Independen Jawa Tengah (Forwija)

KARTIKA AFFANDI Bunga Matahari Tanpa Busana Pelukis perempuan tanpa busana ini menggelar pameran tunggal bertajuk Menengok Perjalanan Kehidupan. Sejumlah lukisan putri maestro Affandi, ini merekam suasana kejiwaan dan perjalanan hidupnya. Mulai dari pemandangan tubuh perempuan tanpa busana, sampai wajah yang teralingi kawat berduri dan "potret diri" berupa tanaman bunga matahari lengkap dengan kembangnya yang mekar. Tak mudah menjadi anak seorang Affandi. Gaya ungkap empu seni lukis Indonesia itu, yang diakrabinya sejak usia dini, kelak membayangi kanvas-kanvasnya sendiri. "Saya tak mau menjadi papi ke-2," tutur Kartika menyebut ayahnya dengan panggilan "papi". Dorongan Affandi yang mengatakan bahwa kekuatannya justru pada dirinya yang perempuan telah membukakan jalan. Garis-garisnya kemudian lebih lembut dan terbukti ia lebih teliti. Ia juga sering memilih obyek yang khas seperti hewan menyusui. "Ketika papi mengatakan: kamu telah menemukan diri sendiri, saya seperti terlepas dari beban," tutur Kartika, di tengah ruang pamerannya di Galeri Nasional di Jakarta, yang peresmiannya pada Kamis (28/10/2004) malam begitu meriah. Di dalam pameran lukisan untuk menyongsong usianya yang ke-70 itu, ia menyajikan karyakarya penting sepanjang empat dekade kariernya. Boleh dikata, itu juga versi visual dari cuplikan hidupnya yang penuh drama.

22

Kartika dua kali menikah. Pernikahannya yang pertama dengan RM Saptohoedojo pada tahun 1952 berujung dengan perceraian pada tahun 1972 sesudah mendapat delapan anak. Ia menikah untuk kedua kalinya pada tahun 1985 dengan Gerhard Koberl, seorang warga Austria, namun bercerai tahun 2000. Sejumlah lukisannya merekam suasana kejiwaan yang ia alami, sejak pemandangan tubuh yang meruyak, sampai wajah yang teralingi kawat berduri. Di dalam sebuah lukisan yang disebutnya "potret diri", ia menggambar tanaman bunga matahari lengkap dengan kembangnya yang mekar. "Itu memang saya. Saya senang bunga matahari karena batangnya bisa sangat besar, tetap tegak walau agak doyong, dan bunganya selalu menantang, menghadap matahari," kata Kartika. "Di sisi lain, itu ada bunga matahari lain yang kecil, yang menjauh dari saya, itu Mas Sapto…." Potret diri yang khas ini rupanya bagian akhir pernikahan pertamanya. Ia menambahkan, "Saya tidak ada dendam lho, wong saya sampai sekarang yang mengurus kuburan Mas Sapto." Mungkin itu sebabnya ia memajang sebuah lukisan potret mantan suami tersebut di dalam pameran. Katanya, ia mengoleksi barang tiga buah lukisan tentang seniman yang kondang oleh kemampuan artistik sekaligus keahlian dagangnya ini.Sesudah bercerai, praktis Kartika mendapat dukungan penuh dari ayahnya. Ia menuturkan, "Waktu itu enggak ada modal, ya cat, ya kanvas, jadi ikut papi. Ke mana-mana saya ikut melukis." Seperti ayahnya, Kartika menghabiskan waktu hanya di dalam hitungan jam, terkadang kurang dari tiga jam, untuk membuat lukisan. Ia juga menggunakan tangan dan jari-jarinya untuk menorehkan cat ke permukaan bidang gambar, merasakan sentuhannya, dan tidak teraling oleh alat seperti kuas. Ayah dan anak ini sangat suka melukis langsung di tempat, di luar rumah. Kegiatan seperti ini, yaitu bepergian dan mendapatkan obyek menarik, termasuk para model, terus dilakukannya. Ia melakukan perjalanan ke berbagai daerah, juga ke berbagai negara untuk menemukan lingkungan dan suasana yang khas, yang cocok dengan perasaannya. Sebagian dari hasilnya ia pamerkan, seperti pemandangan sebuah warung kopi di Prambanan, potret dirinya di tengah salju, Tembok Besar di China, sebuah kampung di Penang, Malaysia, atau di Thailand. Kartika lahir di Jakarta, 27 November 1934, sebagai anak tunggal dari pasangan Affandi dan Maryati. Pada usia dini ia ikut hidup "menggelandang". Konon ia sempat ikut tidur hanya beratapkan papan reklame. Di tengah tidur lelap, keluarga ini harus selalu siap kalau tiba-tiba jatuh hujan dan segera menggulung tikar. Tidur dilanjutkan kalau hujan sudah reda. Mereka mandi dan buang air di WC sebuah gedung bioskop. Pendidikan formalnya hanya sampai kelas 1 SMP Taman Dewasa Taman Siswa Jakarta pada tahun 1949. Ia kemudian belajar di Universitas Tagore di Shantiniketan di India sebagai mahasiswa luar biasa berkat beasiswa dari Pemerintah India. Ia juga pernah belajar seni patung di Polytechnic School of Art di London. Tahun 1980 ia belajar teknik pengawetan dan restorasi benda seni di Wina, Austria, yang dilanjutkannya di Roma. Kini ia memang salah satu restorator lukisan di Indonesia. Menjadi restorator lukisan sangat menghabiskan waktu. Kartika mengaku menekuninya untuk membalas budi orangtuanya, untuk merawat lukisan-lukisannya. "Apa yang bisa saya berikan kepada mereka? Mobil punya, rumah punya lebih hebat daripada saya," tutur peraih berbagai penghargaan dari sejumlah negeri ini. Yang terbaru adalah gelar doktor honoris causa dari Northern California Global University yang ia ceritakan dengan cukup bersemangat.

23

Hubungan dengan orangtuanya cukup dekat. Tak banyak dijumpai lukisannya tentang Maryati, tetapi ia cukup sering menggambar Affandi, yang dianggapnya selalu memberi dorongan untuk terus maju. Katanya sang papi memberinya nama "Kartika" karena itu adalah nama bintang yang tetap bersinar walaupun langit tengah mendung. Itu dianggapnya sebagai harapan agar ia juga tetap bersinar menghadapi hidup yang sukar. Semangat ayahnya ini ia rasakan terus mendorongnya bahkan sampai di usia senja kini. "Itu sebabnya wajah papi mengisi bulatan matahari di lukisan saya, sedangkan saya bunga mataharinya. Papi terus memberi semangat agar saya tetap kuat sesudah dua kali pernikahan saya gagal," kata Kartika, yang di tengah percakapan didatangi oleh cucu-cucunya untuk sekadar memberi salam. Seluruhnya, ia memiliki 19 cucu dan lima buyut. Di usia senja ia masih bersemangat untuk terus melukis. Tahun ini ia sudah menghasilkan sekitar 30 lukisan, yang ia siapkan untuk pameran berikut. Ia juga merancang sebuah museum seni di kompleks rumahnya yang asri di tanah seluas satu hektar di kawasan Pakem, Yogyakarta. Untuk pengisi museum itu, kini ia sudah menyimpan sekitar 700 lukisannya, namun ia berpikir untuk memberi tempat pada karya sejumlah pelukis wanita lain. Kartika cukup sering terlibat di dalam kegiatan sosial. Ia antara lain telah mendirikan Yayasan Karnamanohara yang mengelola sebuah sekolah tunarungu. "Saya ingin berbagi...," katanya 70 Tahun Kartika Affandi Perempuan tanpa busana itu telentang santai di sebuah pembaringan. Tangan kirinya menyilang di bawah bantal yang mengganjal kepalanya. Matannya melirik sosok perempuan lain yang sedang duduk santai di depannya. Pada tubuh perempuan yang tengah duduk ini juga tak terlihat sehelai benang pun. Sepertinya kedua perempuan ini tengah tenggelam dalam obrolan santai. Sosok dua perempuan ini muncul dalam lukisan karya Kartika Affandi yang dipamerkan dalam pamern tunggalnya yang bertajuk Menengok Perjalanan Kehidupan. Lukisan berjudul Dialogue berukuran 150 x 120 cm ini menjadi salah satu dari 122 karya yang dipamerkan di Galeri Nasional hingga 6 November 2004. Pameran yang juga menjadi penanda usia 70 tahun Kartika ini sekaligus menjadi semacam rekaman perjalanan seni lukis putri seorang maestro Indonesia. "Karya-karya yang ada dalam pameran ini saya buat sejak 1957 hingga 2003," terang Kartika. Putri Affandi ini yang kini telah memiliki 19 cucu dan lima cicit ini menyatakan emosi menjadi pemompa semangatnya dalam melukis. "Lukisan-lukisan saya selalu dipengaruhi oleh apa yang terjadi di sekitar saya." Keterlibatan emosi ini menjadi syarat penting bagi Kartika saat berkarya. Sesosok wajah sedih atau sebuah suasana di tengah pasar bisa saja menjadi sumber inspirasinya asalkan melibatkan emosinya. Selama terjun dalam dunia seni rupa, Kartika dikenal dengan gaya yang sama dengan ayahnya, ekspresionisme. Bukan itu saja, teknik melukis khas Affandi dengan cara langsung menorehkan cat dari tube-nya juga dilakukan oleh Kartika. Hasilnya, muncullah lukisanlukisan yang sangat mirip dengan karya Affandi. 24

Kartika mengakui keterpengaruhan itu. Dia tak menganggapnya masalah. Kendati begitu, Kartika mengaku masih terus berusaha bisa lepas dari bayang-bayang ayahnya. Salah satu usaha untuk lepas dari bayang-bayang Affandi ini adalah menggunakan warna hitam putih saja pada 1973. Namun, cara ini akhirnya dia tinggalkan Pameran ini menyuguhkan karya-karya yang sangat beragam dan menarik. Mulai dari . lukisan-lukisan yang menyajikan pemandangan alam hingga yang lebih bersifat retrospektif. Tengok saja salah satu karya Kartika yang berjudul Rebirth. Lukisan berukuran 132 x 132 cm karya tahun 1981 ini tidak sekadar menampilkan kematangan teknik "pencet tube". Dalam lukisan ini Kartika menghadirkan sosok kepala manusia yang menyembul dari selangkangan seorang perempuan. Kemunculan kepala dengan wajah murung ini sekilas mirip dengan proses kelahiran seorang bayi. "Lukisan ini adalah lambang dari apa yang tengah saya alami waktu itu. Saat itu saya benarbenar merasa seperti telah dilahirkan kembali," terang Kartika sembari berbagi cerita mengenai masa-masa sulit yang berhasil ia lewati kala itu. Selain menampilkan karya lukisan, pameran ini juga memajang karya litografi. "Sebenarnya, saya banyak membuat karya litografi. Namun, dalam pameran ini hanya satu yang dipamerkan," jelas Kartika. (tir) Suara Merdeka Sabtu, 4 Januari 2003 Berobsesi Punya Galeri Pribadi KETENARAN nama pelukis seperti Kartika Affandi agaknya tidak terlepas dari nama besar ayahnya, maestro pelukis Affandi. Tetapi sebenarnya mungkin itu cuma kebetulan, sebab sosok Kartika sejak muda pun sudah berprestasi. Pada 1968, misalnya, dia meraih penghargaan berupa beasiswa dari Pemerintah Prancis. Dua belas tahun kemudian, 1980, Konservator Museum Affandi ini mendapat "Gold Medal" dari Academica Italia, dan 1983 mendapat AUREA Gold Medal dari International Parliament for Security and Peace USA. Pada 1984, putri pelukis Affandi ini memperoleh beasiswa dari ICCROM, berikutnya tahun 1985 meraih Master of Painter dari Youth of Asian Artist Workshop, pada 1991 mendapat penghargaan Outstanding Artist dari Mills College at Oakland California. Penghargaan terakhir, pada Desember 2002 memperoleh penghargaan "The Best Indonesian Professional Award" dari Forum Wartawan Independen Jawa Tengah (Forwija). Pada malam penganugerahan ini, lukisannya dibeli kolektor Budi Setiawan seharga Rp 34 juta. Usianya boleh merambat tua, tetapi untuk mewujudkan obsesinya memiliki galeri pribadi, tidak pernah surut, meski sebetulnya tempat pameran atau galeri yang sekarang ada (milik Affandi-Red) sudah sesuai dan pas untuk disajikan kepada pengunjung atau kolektor. "Saya ingin sebuah tempat untuk pameran secara pribadi, sebab tempat ini kan milik Bapak. Saya punya tanah di Pakem. Kalau Tuhan menghendaki, pasti ada jalan keluar," kata wanita pelukis yang pertama berpameran bersama wanita pelukis lain di Yogyakarta pada 1957. (ant-29t)

*** Suara Pembaruan, 1 November 2004 25

Menengok Perjalanan 70 Tahun Pelukis Kartika Affandi ME AND THE DANCER - Salah satu lukisan Kartika Affandi berjudul "Me and the Dancer" menunjukkan kecenderungannya menggarap potret diri. Sekitar 100 karya lukis Kartika dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia Jl Medan Merdeka Timur No 14 , Jakarta Pusat, hingga 6 November 2004. Tak banyak orang tahu, kapan seorang Kartika memutuskan menjadi pelukis. Ide mengikuti jejak sang ayah, Affandi, nyaris tak terpikirkan. Tetapi komentar sinis mantan suaminya, Saptohoedojo, justru melecut semangatnya. Kini sudah hampir 50 tahun Kartika berkarya. Itulah salah satu cerita di balik pameran tunggal Kartika Affandi. Pameran yang diberi tema Menengok Perjalanan Hidup Kartika Affandi (Looking Back Through Life) ini berlangsung di Galeri Nasional Indonesia, Jl Medan Merdeka Timur 14, Jakarta Pusat, hingga 6 November 2004. Acara ini digelar sekaligus dalam rangka ulang tahun Kartika yang jatuh pada 27 November. "Inilah saatnya bagi masyarakat Indonesia untuk memperoleh kesempatan melihat dan mengkaji lukisan-lukisan yang telah saya buat sekitar tahun 1957 sampai saat ini. Pameran ini merupakan sebuah perjalanan panjang dalam kehidupan berkesenian saya dan tidak pernah terlepas dari pengaruh, baik dari dalam maupun luar kehidupan keluarga. Satu tantangan besar bagi saya untuk berada di bawah bayangbayang nama besar Affandi yang merupakan ayah, guru dan teman sejak awal karier saya," kata Kartika. Dalam katalog pameran yang ditulis Ajip Rosidi, Kartika dikisahkan pernah kecewa dengan komentar suami, Saptohoedojo. Lukisan Kartika diragukan dapat menarik minat kolektor. Alih-alih, sang suami malah menyarankan untuk berganti aliran, agar lebih bernilai komersial. Tetapi Kartika menolak dan tetap melukis menurut kehendak hatinya. Meskipun menulis cerita itu, Ajip pun juga tak begitu yakin siapakah yang mengisahkan tentang awal karier Kartika sebagai pelukis. Tetapi Ajip setidaknya menyebut cerita itu berasal dari Affandi atau Kartika sendiri. Sekurangnya, sejak kejadian itu, Kartika akhirnya memutuskan untuk terus menekuni seni lukis. Menurut Ajip, Kartika memang nyaris identik dengan sang ayah, Affandi. Dalam hal gaya, bepergian, dan melukis diri. Tetapi Kartika punya kebebasan besar untuk berekspresi. Affandi tampaknya memang tak pernah memaksakan Kartika untuk membuat lukisan komersial. Mungkin itulah yang menjelaskan mengapa gaya Kartika lebih dekat dengan Affandi daripada Saptohoedojo, mantan suaminya. Beberapa kesamaan juga dikenali Ajip dari Kartika dan Affandi. Pasangan anak dan bapak itu sama-sama gemar bepergian dan mengunjungi tempat baru. Keduanya gemar melukis di lapangan dan berhadapan muka dengan objek. Tetapi lukisan Kartika tak memunculkan penderitaan kemanusiaan seperti lukisan Affandi. Soal potret diri yang juga menjadi kemiripan, Kartika tampak lebih menonjolkan pengalaman batinnya. Sementara Affandi lebih suka melukis dirinya saat sedang beraktivitas tertentu. Kartika juga tak sungkan menumpahkan perasaan hatinya di atas kanvas. Tak heran, muncullah lukisan-lukisan bertema sentimental dan personal. Hal itu tergambar dari sejumlah judul lukisan seperti, Self Potrait and Disappointment, My Head's Broken dan I'm Half Dead. "Saya menumpahkan berbagai bentuk kemarahan, kekhawatiran , rasa sakit, kesedihan daN juga kebahagiaan yang saya alami dan segala sesuatu yang terjadi di sekitar saya ke atas kanvas. Hal-hal lain yang mempengaruhi kesan di sekitar subyek lukisan saya adalah kejujuran, spontanitas dan keterbukaan yang dapat memberikan perubahan suasana," ujar wanita kelahiran Jakarta ini. Menurut Kartika, rekaman kehidupan seperti itu memiliki nilai yang tinggi dan mungkin tidak ada kesempatan kedua untuk menangkapnya. Melukis bagi Kartika merupakan cermin jiwa yang tidak akan terpuaskan dengan apa yang telah dipelajarinya. Kartika mencoba menapak selangkah demi selangkah dalam perjalanan kehidupan dan mencari kejujuran yang akan mengekspresikan kebenaran. Dalam pameran ini, seperti tulisan Amir Sidharta dan Farah Wardhani, karya-karya Kartika 26

terbagi dalam empat bagian. Antara lain, Wajah-wajah Akrab, Kehidupan, Tempat dan Potret Diri. Tema-tema itu terwakili beberapa judul lukisan seperti, My Father on Peddycab, A Fisherman Takes a Rest, A Coffe Shop in Prambanan Market, dan Self Potrait and Goat for Offering. "Saya melukis dengan senang hati. Dengan rasa cinta. Contohnya lukisan Self Portrait and Goat for Offering. Waktu itu minggu Idul Adha, saya melihat kambing kurban yang hendak dipotong. Andaikan saya menjadi kambing seperti apa rasanya hendak dipotong dan kepanasan. Sejak dulu, saya percaya kelahiran kembali," cerita Kartika kepada wartawan sebelum membuka pameran. Di usianya yang kian senja, Kartika masih menyimpan satu obsesi besar. Dia berencana mendirikan sebuah museum seni lukis di daerah, Pakem, Yogyakarta. Soal tempat sudah siap, tetapi dia masih menunggu izin dari pemda setempat. Kelak, museum tersebut diperuntukan khusus karya-karya pelukis wanita. "Coba bayangkan berapa banyak museum lukisan? Tetapi semuanya punya pelukis laki-laki. Mana ada museum untuk perempuan? Kalau saya sebagai pelukis perempuan lalu siapa yang akan memikirkan dan berbuat? " katanya retoris.

27

DAFTAR PUSAKA http://www.ensiklopediaindonesia.com http://www.tokohindonesia.com http://www.sinarharapan.com

28

Related Documents

Pelukis
July 2020 23
Biografi
August 2019 78
Biografi
August 2019 62

More Documents from "Muhammad Didin Hasanudin"

Him Pun An
June 2020 25
Pkm-p
June 2020 18
Sistem Saraf
June 2020 29
Drama, Bhs Bali
June 2020 23
Bhuwana Alit
June 2020 18