Nugraha
MuharaFandy
BENDERA SETENGAH TIANG Musuh… Mungkin itulah anggapan mereka terhadap kami. Tapi yang pasti kami musuh para hakim yang merasa berkuasa untuk memvonis benar tidaknya sebuah perkara. Mungkin kami memang musuh. Tapi bukan musuh para aparat meskipun harus sering berhadapan dengan mereka. Juga bukan musuh anggota dewan walaupun gedung itu terlalu sering kita satroni. Pun, kami bukan musuh seorang presiden meski namanya sering tertulis di posterposter yang kami usung. Musuh kami adalah setiap kezoliman. Lawan kami adalah tirani. Pemberontakan kami hanya tertuju pada semua ketidakadilan. Siapapun pelakunya!! Wajah-wajah itu terlihat semakin tegang di bawah sengatan terik matahari. Muka hitam mereka berlipat dibalik helm besar. Mata mereka menyipit tajam, menahan silau matahari yang menerobos kaca gelap helm. Sebuah pentungan kayu tergenggam erat di tangan kanan dan perisai di tangan kiri. Beberapa kawat berduri tak kalah rapi berbaris di sebelah kiri mereka. Kawat itu siap menyambut siapa saja yang berani menerobosnya. Di tempat yang agak jauh tampak gas air mata dan water canon memperlengkap ketegangan. Sungguh sebuah pasukan yang terlalu lengkap untuk sekedar
menghadapi
musuh
yang
berjumlah
tujuh
puluhan
mahasiswa tanpa senjata. Seorang mahasiswa muncul dari ujung kanan barisan. Saat langkahnya berhenti tepat di depanku, barulah aku mengenalinya sebagai Sandy, ketua BEM universitasku. Sebuah megaphone tersangkut lunglai di pundak kirinya. Matanya mengecil mencermati barisan dari ujung kiri ke ujung kanan. Topi yang menutupi
Bahasa Indonesia
Nugraha
MuharaFandy
sebagian rambutnya tak mampu menghalau cahaya matahari yang menyipitkan mata. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh!“ Suaranya tenang, memecah bising kendaraan yang lalu lalang di sekitar barisan. “Sebelumnya kami mohon maaf kepada pengguna jalan, karena mungkin keberadaan kami mengganggu aktivitas bapak ibu sekalian. Tapi yakinlah, insyaallah keberadaan kami di sini juga dalam rangka memperjuangkan nasib bapak-ibu sekalian.“ “Hidup mahasiswa!“ “Hidup mahasiswa!“ “Allahuakbar!“ “Allahakbar!“ Tangan-tangan mengepal, membangun semangat agar tak luruh bersama tetesan peluh. “Bapak-bapak polisi yang terhormat, kami sadar bahwa Bapak hanya
melaksanakan
tugas
untuk
menjaga
ketenangan
dan
keamanan. Begitupun kami di sini. Kami sedang mengemban sebuah
tugas
besar.
Sebuah
kewajiban
yang
tidak
bisa
ditinggalkan. Telah mejadi kewajiban kami untuk mengingatkan bapak-bapak yang duduk di kursi panas kantor dewan agar mereka bekerja seperti yang diamanatkan rakyat. Bukankah demikian saudara-saudar?!“ “Betuu…ul!!..“
Bahasa Indonesia
Nugraha
MuharaFandy
“Tapi apa yang kita lihat? Ternyata BBM terus menanjak! Koruptor
masih
berkeliaran
dengan
tenang!
Bencana
terus
mendera. Kapan negri ini tenang? Kapan negri kita yang kaya ini makmur? Kapan rakyat dapat sekolah dengan nyaman? Kapan kita bebas dari cengkraman hutang?“ “Hidup mahasiswa! Hidup mahasiswa!“ “Allahuakbar!!“ “Allahuakbar!!“ Tangan-tangan
kembali
terangkat.
Mengepal
ke
udara.
Bendera-bendera berkibar. Panas matahari kian merekah. Angin berhembus, menyambut bahana takbir yang menggema. “Bapak-bapak yang terhormat, kami adalah anak negri yang cinta damai. Kami adalah generasi bangsa yang cinta tanah air. Tapi kami lebih mencintai keadilan. Kami lebih mencintai saudarasaudara kami yang kelaparan. Anak-anak yang terlantar. Maka ijinkan kami mengadukan nasib mereka ke bapak-bapak yang ada dalam gedung dewan!” “Bagaimana saudara-saudara?! Apakah kita siap memasuki rumah rakyat ini?!” “Siaa..aap!!” Pandangan Sandy beralih ke barisan polisi yang setia mengawasi semua tingkah polah kami. Dengan sopan Sandy mengarahkan megaphone ke arah deretan bapak-bapak yang berseragam cokelat.
Bahasa Indonesia
Nugraha
MuharaFandy
“Bagaimana, Bapak-bapak polisi? Apakah kami diijinkan masuk ke gedung ini?“ Tak ada jawaban. Hanya tatap mata mereka dari balik helm hitam mereka. “Baiklah, kita beri kesempatan kepada bapak-bapak polisi untuk berpikir. Sambil menunggu teman-teman kita bernegosiasi, mari kita lantunkan mars perjuangan kita.“ Sambil melakukan
bernasyid
sesekali
pemanasan.
Tak
kami
peduli
melompat-lompat suara
pecah
untuk
kami
yang
terdengar. Kami memang tidak sedang konser nasyid. Karena kami bernasyid untuk menumbuhkan gelora semangat agar mengalir di setiap nadi kami. Di sela-sela bernasyid, kucoba melirik jam yang melingkar longgar di pergelangan tangan kananku. Hampir jam 11. Tepatnya 10.50. Sepertinya agenda aksi molor dari rencana semula. Kulemparkan pandanganku pada gerombolan mahasiswa yang bernegosisasi
dengan
beberapa
aparat.
Wajah-wajah
mereka
sangat serius. Sesekali Mata Sandy bertemu dengan salah seorang dari mereka. Tanpa sadar, acara bernasyid telah selesai. Dan konsentrasiku kembali
terpusat
pada
Sandy
yang
telah
siap
dengan
megaphonenya. Panas. Peluh-peluh mengalir teratur. Tetes demi tetes, menanti kepastian dari pimpinan aparat berseragam coklat. “Baiklah, teman-teman, sejenak kita dengarkan sebuah puisi dari saudara Rahman.“ Seorang mahasiswa menerobos maju dari tengah-tengah barisan. Sebuah ikat kepala terikat rapi menutupi sebagian
rambut
di
keningnya.
Tangan
kanannya
menerima
megaphone dari Sandy. Setelah megaphone terpasang, tangan
Bahasa Indonesia
MuharaFandy
Nugraha
kirinya merogoh saku alamaternya. Sebuah kertas yang telah terlipat kusut terangkat. Dengan tangan agak tergetar, ia pun memulai puisinya. “Sebuah Cerita dari Negri Harapan“ Hening. Semua mata, termasuk para aparat tertuju pada Rahman. Rahman pun melanjutkan puisinya. Kudengar negri itu begitu kaya Kudengar, tanah itu sangatlah suburnya Kudengar jamrud itu amatlah eloknya Kudengar gemericik air dengan jernihnya Kudengar kicau burung nan riang dari langitnya Sungguh, negri dengan sejuta pesona Hamparan tanah dengan timbunan harta Bangsa yang terkenal ramah bretatakrama Sungguh, persada yang menjadi surga dunia Tapi sayang….. Apa yang kulihat tak seindah yang kudengar Apa yang kusaksikan tak seindah khayalan Telingaku tuli mendadak tanpa bisa mendengar Lidahku kelu tanpa bisa merasa
Bahasa Indonesia
MuharaFandy
Nugraha
Jantungku terhenyak tanpa detak Hanya mata…. Hanya mata yang terbuka Terpana ………. Menyaksikan derai air mata di negri katulistiwa Menyaksikan kobaran api kekuasaan di sela gemericik air sejuknya Menyaksikan burung-burung sekarat kelaparan di rantingranting rindangnya Menyaksikan ceceran darah jelata di mulut pongah penguasa Inikah negri harapan itu? Inikah surga dunia itu? Ooo… Tuhan Aku luruh, bersimpuh dalam rapuh Ooo.. Tuhan Aku akan berteriak dalam kebisuan Dengan jutaan selaksa harapan Dengan tangan-tangan yang terus terkepalkan Dengan segenggam keyakinan Bahwa semua akan berakhir dengan kemenangan
Bahasa Indonesia
Nugraha
MuharaFandy
Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar! Rahman melipat kembali kertasnya dan memasukkan ke saku almamaternya. Ia melangkah ke tengah-tengah barisan setelah menyerahkan megaphone ke Sandy. “Komando saya ambil alih kembali.“ Mata Sandy memastikan bahwa semua masih dalam kondisi terkendali. Sebuah kode kutangkap saat mata Sandy saat matanya bersiborok dengan beberapa mahasiswa yang baru menyelesaikan negoisasi. “Alhamdulillah, sepertinya bapak-bapak polisi yang kita cintai memperkenankan kita masuk ke gedung dewan tepat jam 11.30“ Sekilas mata Sandy melirik lagi ke gerombolan negosiator. Tak lama kemudian, enam orang mahasiswa dengan tiga almamater berbeda melintas di depanku dan bergabung dengan barisan. Sambil menunggu waktu, beberapa mahasiswa melakukan orasi
bergantian.
Jam
di
tanganku
serasa
berjalan
lambat.
Menunggu detik-detik ke angka 11.30. “Allahuakbar!“ Telunjuk Sandy terangkat bersama takbirnya. Tepat jam 11.30. “Allahuakbar!“ Kami pun menyambut takbir Sandy dengan merapatkan barisan. Tangan-tangan saling bergandengan. Siap-siap menyambut komando berikutnya. Beberapa polisi tampak berbisikbisik dengan tatapan curiga. Perwakilan mahasiswa telah berada di depan pagar masuk. Beberapa orang tampak sibuk membuka pitu pagar gedung yang terkunci.
Bahasa Indonesia
Nugraha
MuharaFandy
“Allahuakbar!!“ Kali ini tangan Sandy terkepal. Dan itu berarti kami harus bergerak cepat menyusul teman-teman kami yang hampir masuk ke gedung. Situasi langsung berubah. Aparat segera bergerak cepat. Barisan kami tepat di belakang para negosiator. Beberapa polisi berteriak agar kami mundur. “Mundur!! Semua mundur!“ “Siapa yang mengijinkan kalian masuk??!!!“ Sepasang mata garang menghadang di depan barisan. Tampangnya bersungut. Helaan nafas sengalnya terdengar jelas. Barisan terhenti sejenak. Sandy mencoba mencoba mengendalikan suasana. Barisan polisi pun tak kalah kaget. Beberapa orang polisi saling berbisik satu sama lain. Semua waspada. “Saudara-saudara
sekalian,
kita
tenang
sebentar.
Jangan
terprovokasi oleh siapapun! Ingat hanya ada satu komando!“ Sandy mondar-mandir di depan barisan. “Barisan rapikan kembali! Ayo rapikan! Kita ke sini untuk menyampaikan isi hati dan jeritan rakyat. Kita datang tidak untuk mencari musuh! Kita juga tidak suka dengan segala bentuk anarkisme!“ “Sepakat!“ “Sepakat!“ Seorang mahasiswa maju menerima megaphone dari Sandy. “Saudara-saudara sekalian. Saya hanya ingin menyampaikan hasil negosiasi kita dengan bapak-bapak aparat yang terhormat.
Bahasa Indonesia
MuharaFandy
Nugraha
Bahwa dari negosiasi tadi kita diijinkan masuk jam 11.30. Tapi entah alasan apa, ketika kita masuk ternyata dilarang.” “Huu…..uuu!!!” “Polisi payah!” “Penipu!” “Pembohong!” Panas. Matahri semakin terik. Bau keringat semakin tengik. “Masuk! Masuk! Masuk!“ Teriak kami kompak menyaingi sumpah serapah para polisi. “Tenang!! Semua tenang!!” Sandy berteriak keras. Seorang mahasiswa tampak mendekat dan berbisik di telinga Sandy. “Saudara-saudara, apakah kita rela kalau di bohongi??!!” “Tidaa….ak!” “Apakah kita mau di tipu lagi??!” “Tidaa….ak!” “Kalau bapak-bapak kita sudah berani membohongi kita, mereka akan pasti lebih berani membohongi rakyat. Betu….ul?!“ “Betuu….ul!“ Seorang polisi tampak tersinggung. Tangannya mengangkat pentungan. Namun polisis lain mencoba menahan. “Gedung ini milik siapa?“
Bahasa Indonesia
MuharaFandy
Nugraha
“Rakyat!“ “Dan kitasiapa?“ “Rakyat!“ “Tiga langkah ke depan, jalan!“ Barisan bergerak kompak. “Satu. Dua. Tiga!“ Jarak barisan dengan polisi tinggal 2 meter. Beberapa polisi kembali waspada. Ada yang mermas-remas tangan, ada yang semakin erat memegang tameng dan pentungan. “Maju satu langkah!“ “Satu!“ “Mundur dua langkah!“ “Satu! Dua!“ “Tiga langkah ke depan!“ “Satu! Dua! Tiga.“ Jarak kami dengan polisi semakin dekat. Wajah-wajah lelah pun semakin jelas terlihat.
“Tiada kata lagi…“ “Kami takkan kembalii..“
Bahasa Indonesia
Nugraha
MuharaFandy
“Tiada kata lagi…“ “Kami takkan kembalii..“ “Mundur! Mundur!“ Teriak seoarang polisi yang tepat di depan pagar masuk. “Bagaimana teman-teman?!“ Sandy berteriak dengan serak. “Masuk! Masuk!“ “Maju dua langkah!“ “Satu! Dua!“ Jarak kami dengan barisan polisi hanya dua langkah. Kami semakin waspada. Barisan di seberang kami juga semakin siaga. Tangan-tangan kami semakin erat berpegangan. Lantunan dzikir terus kami kumandangkan. “Satu langkah ke depan!“ Kaki kami hampir melangkah, namun gelombang barisan di depan menghambur dan mendorong barisan kami. Aksi saling dorong tak dapat dihindari. Aku terjepit di antara tubuh berat aparat.
Tangan-tangan
kekar
itu
mencoba
mencerai-beraikan
barisan. Dengan pentungan, dengan tameng, dengan sumpah dan umpatan. Beberapa mahasiswa terkena pentungan. Jeritan takbir dan makian kasar menyatu di udara. Sekelompok mahasiswa berhasil mendekati pagar. Mereka berjuang untuk membuka pagar masuk ke gedung dewan. Sementara aku dan teman-teman sibuk mempertahankan barisan.
Bahasa Indonesia
Nugraha
MuharaFandy
“Cepat masuk!“ Rupanya pagar telah terbuka. Tepat di tengah-tengah pagar, beberapa
mahasiswa
berhenti
dan
siap
menanggung
resiko
terberat, termasuk jika harus terjepit pagar. Sebuah sirine memaksa para polisi menghentikan pekerjaannya.
“Berhenti! Tenang! Tenang!“ Sebuah komando dari seorang polisis berpangkat…….. Beberapa orang polisi yang baru datang, menarik tangan rekannya agar tidak lagi memukuli mahasiswa. “Biarkan mahasiswa masuk!“ “Allahuakbar!
Allahuakbar!“
Takbir
langsung
menggema
menyambut komando Dengan sedikit alot akhirnya barisan kami dapat masuk. Beberapa
mata
polisi
masih
tak
dapat
menyembunyikan
kekesalannya. Gelombang barisan mahasiswa segera menerobos pagar menuju halaman gedung. “Terimaksih, bapak-bapak yang kami cintai. Akhirnya kami diijinkan masuk ke halaman ini.“ Dika menggantikan Sandy yang telah kehabisan suara. “Kami berjanji tidak akan merusak apapun! Bahkan bungabunga dan tumbuhan lain di gedung ini tidak akan kami sakiti. Sepakat teman-teman?!“ “Sepakat!“
Bahasa Indonesia
Nugraha
MuharaFandy
“Baiklah.
Sesuai
dengan
rencana
semula
kali
ini
kita
mengharap pimpinan Dewann yang terhormat bersedia menemui kami. Kami ke sini hanya ingin menuntut sebuah keadilan. Kami datang hanya ingin mendapatkan kebenaran. Mengapa di tanah subur ini masih banyak yang kelaparan? Mengapa di negri yang kaya ini masih banyak kemiskinan? Mengapa di tanah yang hasil buminya melimpah semua harus mahal? Tapi mengapa masih ada yang bebas berkeliaran keluar negri? Juga masih ada yang tega melakukan korupsi?“ “Allahuakbar!“ “Allahuakbar!“ “Apa mereka tak melihat rakyat yang dilanda bencana bergantian? Yang tak punya rumah? Tak punya harta, juga saudara. Di mana nurani mereka? Ke mana hati mereka?“ Dika melihat jam tangannya, kemudian pandangannya menyebar ke sekeliling. “Baiklah
kawan-kawan.
Karena
hari
semakin
siang
dan
pimpinan yang kita tunggu belum menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Sesuai agenda kita acara ini kita akhiri dengan teaterikal sebelum ditutup dengan do’a.“ Aku melihat sekeliling, mencari beberapa orang. Segera aku maju dan diikuti tiga orang yang lain. Sebuah keranda yang dibungkus kain hitam kami letakkan tepat di bawah tiang bendera. Aku maju menuju tiang bendera. Segera aku membuka ikatan tali pengerek. Setelah itu aku menengadah, melihat merah putih yang berkibar ditiup angin. Seorang mahasiswa emabntuku dengan
Bahasa Indonesia
Nugraha
MuharaFandy
memegangi satu tali yang lain. Aku mulai menarik turun bendera itu. Ya,, aku harus menariknya ke- bawah, sampai setengah tiang. Perlahan, kibaran kain itu semakin dekat ke bawah. Namun tanganku langsung terhenti ketika suara keributan terdengar. “Hentikan sekarang juga1“ Sebuah suara berat membuatku begidik.“Lanjutkan, Han!“ Suara lain menyemangatiku. “Saya perintahkan berhenti!“ Aku
melirik
ke
sumber suara.
Seorang berbadan tegap
menatap tajam. Sementara beberapa mahasiswa tampak berdialog dengannya. “Turun! Turun!“ Teriak teman-teman yang lain tak mau kalah. Beberapa polisi yang mengzawasi kami tampak tersenyum penuh kemenangan. Kulihat sekali lagi bendera yang tak lagi berada di ujung tiang. Hampir aku menariknya,, tapi kurasakan sebuah benda menempel di punggungku. Dan teriakan takbir kembali menyatu denngan makian dan umpatan.
------oo0oo-----Nama
: Nugraha
MuharaFandy Kelas : X
2
[Sepuluh Dua]
Bahasa Indonesia
MuharaFandy
Nugraha
SMA N PLUS PROPINSI RIAU T.P 2008/2009
Bahasa Indonesia