Sebelum Kami Meninggalkan Anda, Beberapa Pemikiran Luddisme “Luddisme” berdasarkan makna mutakhirnya ---“rasa takut akan teknologi dan suatu sikap menolak pada kemajuan”---adalah sebuah alasan yang cukup disesalkan untuk sebuah ide besar. Tapi, gambaran sejarah dari penganut Luddisme ini menawarkan sebuah kisah yang lebih kompleks dan menarik; dan sementara hari mereka di bawah sinar matahari ini sangat singkat (1811-1816), concern mereka masih tetap diperhitungkan, terutama di negara-negara berkembang. Gerakan ini, menurut dugaan, mengambil namanya dari seorang manusia pemberontak dari Leicestershire (Inggris Tengah), Ned Ludd, dimana Oxford English Dictionary memberi acuan sebagai “orang gila yang hidup sekitar tahun 1779”. Tak seorang pun yang benar-benar tahu persis apa yang ingin dilakukan (perpetrate)1 oleh Ludd, tapi ada satu kisah yang menyatakan bahwa dia menghancurkan sebuah mesin perajut kaos kaki di sebuah pabrik tempat dia bekerja karena sang bos telah memarahinya. Apapun kebenaran yang dikatakan, Ludd menjadi pahlawan penduduk desa itu, dan gelar “Raja Ludd” dan “Jenderal Ludd” dilekatkan padanya setelah berbagai pemberontakan antiindustri. Tidak seperti Ludd, pengikut Ludd (Luddites) di awal abad sembilan belas adalah bukan para pekerja pabrik, atau setidaknya tidak memulai dengan cara 1
Perpetrate = melakukan perbuatan yang negatif dan buruk (misalnya: kejahatan, penipuan). Penerjemah.
itu. Mereka kebanyakan adalah para perajin (craftsmen) desa yang mempunyai ketrampilan tinggi, terutama di Yorkshire, yang mengerjakan berbagai macam perdagangan di bidang industri kain wool. Mereka memperoleh bayaran yang pantas, dan informasi tambahannya, bahwa mereka adalah para pemimpin komunitas dengan ikatan famili yang kuat, sebuah ikrar kesetiaan pada industri domestik, dan sebuah pengabdian pada tradisi. Tapi, berbagai hal berubah dengan cepat. Terluka oleh Revolusi Amerika dan Perang Napoleon, ekonomi Inggris sedang terpuruk. Pada waktu yang sama, industrialisme memperoleh momentumnya, secara sangat cepat, sebagai pabrik-pabrik dan mesin otomatis yang menyebar melalui pedesaan. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak dipaksa bekerja di pabrik-pabrik, dan cara-cara tradisional harus takluk dibawah disiplin ketat di tempat kerja. Bagi para perajin yang mempunyai ketrampilan tinggi, ini berarti kehancuran bisnis kecil mereka dan tercabik-cabiknya struktur-struktur rumah dan kehidupan komunitas mereka. Revolusi Amerika adalah sejarah yang baru saja lewat, dan ia terbukti memberi inspirasi kepada penduduk Yorkshire, yang telah diabaikan oleh para politisi mereka. Dalam suatu cara yang terorganisir sangat rapi dan sistematis, para perajin dan aliansi mereka---kaum “Luddites”---mendobrak paksa tempattempat penggilingan gandum dan merusak kerangka-kerangka mesin hingga hancur berkeping-keping. Ini lebih mirip Pesta Teh Boston dengan palu-palu. Pemberontakan kaum saleh atau terorisme industri? Sejarah berpihak pada para pemenang, dan orang-orang yang kalah harus membayar sangat mahal. Banyak diantara mereka yang ditembak atau digantung, dan sekarang
istilah Luddite hampir digunakan secara bergantian dengan istilah luny (keadaan gila atau sangat bodoh). Amuk massa dari para perajin Yorkshire, yang dapat dimengerti, yang melawan kaum kapitalis (bukan melawan mesin) dewasa ini dianggap sama dengan penolakan secara ksatria dan romantis untuk mempercayai sebuah mesin penjawab berdasarkan pada alasan-alasan yang prinsipil. Tentu saja, sekarang ini hanya sedikit yang meyakini bahwa gerak maju teknologi ini dapat dihentikan, tapi, di suatu masa dimana hasil bukanlah suatu kesimpulan yang bersifat pasti. Dan masih ada negara-negara, seperti India, dimana sebuah tradisi dari perajin desa masih dapat bertahan dan demikian pula halnya menghadapi ancaman dan bahaya dari kemajuan zaman. Luddisme sejati masih hidup di tempat-tempat yang demikian ini, tapi sejarah tidak begitu memberi harapan.
Gagasan Salah yang Menyedihkan (The Pathetic Fallacy) [Ada] sebuah gagasan salah yang ditimbulkan oleh keadaan perasaan gembira, yang membuat kita, untuk saat itu, menjadi lebih atau kurang irrasional.... Semua perasaan yang kuat mempunyai efek yang sama. Mereka menghasilkan di dalam diri kita sebuah kepalsuan dalam semua kesan-kesan kita tentang berbagai hal eksternal, dimana saya ingin mengkarakterkan secara umum sebagai “gagasan salah yang menyedihkan”. John Ruskin, “Of the Pathetic Fallacy”, in Modern Painters (1856), Part IV, chapter 12 Apakah perut anda mengeluhkan pizza pepperoni? Apakah uang membakar dan menimbulkan sebuah lubang di dalam kantong saku anda? Apakah langit tersenyum pada romansa terakhir anda? Jika demikian halnya, anda divonis
bersalah telah menerapkan “gagasan salah yang menyedihkan” ini, tapi jangan menganggapnya terlalu serius karena hampir setiap orang melakukannya. Apapun yang terjadi, yang menyedihkan (pathetic) ini tidak berarti apa yang anda pikirkan sebagai telah ia lakukan. Kritikus era Victoria, John Ruskin (1819-1900), penemu ungkapan ini, mengetahui dalam benaknya akar makna dari pathos, bahasa Yunani untuk “emosi”. Yang dia maksudkan dengan kesalahan adalah jenis kesalahan yang dibuat terutama oleh tipe-tipe yang kreatif---yaitu, perasaan-perasan untuk memenuhi (mengabulkan) sesuatu, niatniat, dan sifat-sifat manusia lain terhadap obyek-obyek yang tidak dapat kita miliki. Singkatnya, kesalahan yang menyedihkan ini adalah suatu spesies dari antropo-morfisme. Jenis kesalahan ini tidak bersifat intelektual. Kita tidak benar-benar memikirkan perut dapat mengeluh, atau bahwa laut dapat menjadi marah, atau bahwa kursi yang dimaksudkan untuk membuat jari kita memar. Tapi, kadangkadang, didorong oleh gairah (Ruskin menyebutnya “perasaan kuat”), kita melihat berbagai hal dengan cara itu. Dalam jerat rasa senang atau amarah, persepsi kita menjadi berwarna-warni, dan imajinasi kita menaklukkan rasio kita. Semua ini tidak harus sesuatu yang buruk. Dalam kenyataan, bagi para penyair dan pelukis, ini adalah bahan bagi jualan mereka. Dengan menggambarkan dalam kata-kata tentang perjuangan menuju pantai, penyair Alton Locke menulis: “Mereka mendayungnya mengarungi buih yang bergulunggulung---/ Buih yang ganas, yang bergerak perlahan.” Tentu saja, catat Ruskin, “buih tidak ganas, tidak juga ia bergerak perlahan.” Dalam kasus lain, Oliver
Wendell Holmes menulis dengan penuh khayal tentang: “[Bunga] Crocus yang boros, merekah seperti dicetak/Telanjang dan menggigil, dengan piala emasnya.” Ini, jelas Ruskin tanpa mengeluarkan air mata, “adalah sangat indah, namun sangat tidak benar. Bunga Crocus bukanlah pemboros, tapi tanaman yang punya daya tahan bagus terhadap cuaca dingin; warna kuningnya bukan kuning emas, tapi kuning kunir (kunyit).” Klaim-klaim dari para penyair ini, dengan demikian, adalah kesalahan, tapi, untuk alasan yang sama inilah kita sangat menyukai puisi. Tapi, pengaruh-pengaruh emosional dan antropo-morfisme, tidak cukup untuk membuat puisi yang bagus. Tidak juga keduanya diperlukan karena, jelas Ruskin, kesalahan yang menyedihkan ini sulit ditemukan dalam karya-karya Shakespeare, Homer, atau Dante. (Namun, ia mudah ditemukan dalam puisi “reflektif, terutama oleh para penyair beraliran Romantik---Coleridge, Wordsworth, Shelley, Keats, dan lain-lain). Selanjutnya, ia sebenarnya bukan “tidak benar” dalam dirinya sendiri yang menyenangkan kita; lebih tepatnya, untuk membuatnya paradoks, ketidakbenaran yang mengandung kebenaran. Jika seorang penyair berniat untuk melakukan kesalahan, dia harus memastikan bahwa kekaburan atau ketidakbenaran ini adalah compatible (sesuai) dengan emosi yang dianggap mengilhaminya. Dalam kenyataan, ia tidak berfungsi dengan baik, tapi ia menyenangkan, untuk menggambarkan dengan kata-kata tentang seseorang yang terkungkung oleh amarahnya, mengagumi senyuman matahari.
Singkatnya, pengaruh-pengaruh dari perasaan harus serasi dengan kekuatan dan karakter dari perasaan. Diantara para penyair yang terbesar, seperti Shakespeare, kekuatan perasaan ini diserasikan dengan kekuatan pemikiran, sehingga kesalahan dapat dihindari: perasaan-perasaan bisa saja diasosiasikan dengan sebuah pohon primrose (pohon yang berbunga kecil dan menyerupai tabung dengan warna yang bermacam-macam), tapi pohon primrose ini masih tetap sebuah primrose. Demikian pula, tidak ada kesalahan yang dilakukan oleh mereka yang sedikit merasa atau sama sekali tidak merasakan sesuatu, karena mereka hanya melihat sesuatu sebagai “benar-benar” apa adanya mereka. Kesalahan muncul baik ketika seorang penyair yang memiliki berbagai talenta tapi mempunyai intelek yang hebat, penyair seperti ini dikalahkan oleh emosi (Penyair aliran Romantik menjadi salah satu hasilnya) atau ketika seorang penyair yang kuat, dan kecerdasan pikiran, ditundukkan oleh sebuah pengalaman intens yang tidak biasa, dengan melihat sejenak pada berbagai hal yang transenden sifatnya, dengan meliputi kebenaran. Ini mengilhami kesalahan, dan ini adalah jenis yang terbaik. Pada sisi lain, metafor-metafor yang diulang-ulang, emosi yang tidak otentik, dan tuntutan puitis---dari jenis yang derivatif dan sangat dielaborasi, yang ditulis oleh penulisnya setelah acara bubar---adalah cukup buruk dan tak dapat dimaafkan. Hingga pada tingkat dimana kesalahan yang menyedihkan ini bersifat khayalan daripada dirasakan, ia hanya sekadar kesalahan; hingga pada tingkat bahwa ia benar secara emosi, ini adalah menyedihkan. Jadi, simpul Ruskin,
“kesalahan yang menyedihkan adalah powerful hanya sejauh ia bersifat menyedihkan, lemah sejauh ia mengandung suatu kesalahan.” Ide Ruskin, selanjutnya akan dimunculkan kembali dalam jargon psikoanalisa. Apa yang dia sebut dengan “kesalahan yang menyedihkan”, disebut oleh Freud sebagai “proyeksi”, pen-transfer-an sensasi-sensasi obyektif dan emosi-emosi terhadap obyek-obyek di luar dunia. “Proyeksi dari persepsipersepsi batin menuju luar,” tulis Freud, “adalah suatu mekanisme primitif yang, misalnya, juga mempengaruhi persepsi-persepsi indera kita, sehingga ia secara normal mempunyai bagian terbesar [diantara pertahanan-pertahanan psikhis] dalam membentuk dunia kita.” Dan juga, menurut J.A.C Brown, “kapan saja aspek internal dan subyektif dikaburkan dengan aspek eksternal dan obyektif, kita boleh jadi berbicara tentang proyeksi.” Bukan hanya dilakukan oleh para penyair dan seniman; kita semua juga melakukan ini.
“Bentuk Mengikuti Fungsi” semua benda secara alami mempunyai sebuah bentuk (shape), untuk mengatakan, sebuah bentuk (form), suatu penampakan luar, yang menjelaskan kepada kita tentang identitas mereka yang sebenarnya, yang membedakan mereka dari diri kita sendiri dan dari satu sama lain.... Apakah ia menjadi burung elang yang sedang menyambar dalam aksi terbangnya atau bunga pohon apel yang terbuka, kerja keras dari kuda pekerja, angsa yang ceria, pohon oak yang bercabang, aliran air yang berkelok-kelok pada bagian bawahnya, awan-awan yang terbawa angin, semuanya mengarah ke matahari, bentuk selalu mengikuti fungsi, dan inilah hukum itu. Dimana fungsi tidak berubah, bentuk (juga) tidak berubah. Batu-batu granit, bukit-bukit yang selalu merenung, masih terus ada selama berabad-abad; kehidupan yang cerah, memasuki bentuk, dan mati dalam waktu yang singkat. Louis Sullivan, “The Tall Office Building Artistically Considered” (1896)
Louis Sullivan (1856-1924) memikirkan arsitektur Amerika di akhir abad ini sebagai suatu keadaan yang sangat menyedihkan. Amerika yang dinamis, kekuatan ekonomi yang berkembang pesat, rumah bagi gedung-gedung pencakar langit, sedang mendirikan gedung-gedung yang didasarkan pada masa lalu---gedung-gedung yang diilhami oleh Yunani, Roma, era Gothic dan Baroque, era Renaisans dan era Abad Pencerahan---(Pokoknya) segala hal kecuali Amerika modern. Arsitektur profesional di saat itu terutama sekali adalah suatu lembaga bisnis yang historis, sangat artifisial (dibuat oleh manusia daripada berlangsung secara alami), fokus pada tradisi dan terbiasa dengan pemberian ornamenornamen yang netral. Penekanan terletak pada penemuan sang arsitek dan wawasannya yang luas. Namun, Sullivan, mendesak bahwa para arsitek harus mengkonstruk bangunan-bangunan berdasarkan prinsip-prinsip yang natural daripada bersandar pada prinsip-prinsip yang artifisial. Dan determinan (faktor penentu) paling penting dalam arsitektur alami adalah untuk apa sebuah bangunan itu didirikan---tujuannya, esensinya, raison d’ětre-nya. Dia menyebut ini sebagai “fungsi” bangunan dan pada tahun 1896, mengeluarkan diktum terkenalnya, yang sekarang ini lebih dikenal ketimbang pencetusnya: “Bentuk selalu mengikuti fungsi.” (Bahwa kata “selalu” yang merusak aliterasi2 huruf f, selalu dibuang). Sullivan menemukan ungkapan ini dalam sebuah esai tentang apa yang kemudian disebut dengan “bangunan kantor yang tinggi menjulang”. (Kita menyebutnya sebuah “pencakar langit”; yang paling pertama dari bangunan jenis 2
Aliterasi = pemakaian kata-kata yang sama awal katanya, yaitu huruf F (Form Follows Function)
ini adalah the Home Insurance Building di Chicago, yang dibangun tiga belas tahun sebelum esai Sullivan ditulis). Apa esensi dari bangunan semacam ini? Tanya Sullivan, Apa fungsinya? Bagi orang yang berada di jalanan, bangunan ini harus mengkomunikasikan kehebatan, kemuliaan, dan ambisi. Prinsip arsitektur yang alami yang mengikuti adalah untuk mendesain bangunan ini sehingga aspek tinggi menjulangnya ditekankan dan tidak terputus. Tapi, cara mayoritas dari gedung-gedung pencakar langit itu dibangun, pemberian ornamen dan variasi-variasi ide yang aneh telah merusak garis kemenjulangannya, dengan memutus pergerakan mata dari lantai dasar menuju puncak bangunan. Jadi, salah satu dari fungsi bangunan ini telah dikhianati oleh bentuknya. Ada beberapa fungsi lain, dilihat dari perspektif pemanfaatan gedung ketimbang pengaruh estetikanya. Lantai dasar dan tingkat pertama mempunyai tujuannya masing-masing: untuk bisnis rumahan (house businesses) dan bank-bank, untuk menyediakan ruang yang terbuka dan yang mengundang para pengunjung dan para pekerja, untuk melengkapi dengan perabot yang memancarkan sikap terbuka dan kebebasan untuk mengakses. Tujuan-tujuan semacam ini barangkali secara alami disediakan oleh bentuk-bentuk arsitektur khusus: “liberal [sikap terbuka], ekspansif, [dan] mewah”, “yang didasarkan secara pasti di atas keharusan-keharusan praktis, tapi diekspresikan dengan sebuah sentimen yang lapang dan bebas”. Tapi, bagaimana dengan sisa bangunan lainnya? Setiap lantai antara lantai pertama dan lantai paling atas, secara fungsional, akan menjadi identik: masing-masing “deretan persis seperti deretan yang lain, sebuah kantor persis
seperti semua kantor-kantor yang lain”. Ini adalah persyaratan praktis tentang penggunaan ruang secara efisien. Secara alami, jelas Sullivan, berbagai hal yang menyediakan fungsi yang sama (katakanlah, deretan anak-anak tangga), semuanya mempunyai bentuk yang sama (yaitu, sayap-sayap). Selama sebuah obyek yang alami terus menyediakan tujuan yang sama, ia mempertahankan bentuk yang sama. Dengan istilah “fungsi” Sullivan memaksudkannya sebagai sesuatu yang seperti “esensi natural”: bentuk burung mengekspresikan fakta dan esensi dari menjadi seekor burung, yang dipertentangkan dengan yang selain burung; tidak ada burung yang terlihat seperti seekor monyet, tidak ada batu karang yang terlihat seperti sebuah pohon. (ini adalah sejenis tautologi). Jadi, sebuah bank harus tidak terlihat seperti sebuah kuil Yunani atau rumah yang besar dan indah khas Ghotic; jadi, setiap tingkat (lantai) dari sebuah bangunan yang menyediakan fungsi yang sama, harus mempunyai bentuk yang sama. Ini tampak sangat jelas sekarang ini, ketika gedung-gedung pencakar langit yang kita lihat, secara praktis, semuanya mengikuti diktum Sullivan. Tapi, yang sedemikian ini bukan menjadi maslaah di masa Sullivan. Sullivan menyalahkan gedung berlantai enam belas yang terdiri dari “enam belas bangunan yang terpisah, berbeda-beda dan tidak saling terhubung, yang ditumpuk satu di atas yang lain hingga tumpukan yang paling atas dapat dijangkau.” Keadaan yang tidak normal semacam ini tidak didesain oleh arsitekarsitek yang bodoh atau naif, tapi oleh para arsitek yang “terlatih” yang dikepung oleh rasa takut akan terlihat tidak canggih atau tidak cerdas dan imajinatif.
Sullivan agak sedikit membesar-besarkan masalah. Dan, dalam kenyataan, dia tumbuh lebih getir bersama dengan berjalannya waktu, ketika bisnisnya anjlok, yang dipengaruhi secara negatif oleh agenda sosialnya yang radikal. Tapi, sementara praktek dia telah berakhir, dia mulai mengubah konvensi-konvensi di masanya. Bekerja berdasarkan pijakan ajaran filsafat tentang demokrasi alami dan pertumbuhan organik, Sullivan berupaya untuk membawa spirit alam ke dalam arsitektur dunia bisnis Amerika. (Barangkali, contoh terbaik yang masih bertahan adalah Gedung Wainwright yang dia bangun di St. Louis, dibangun tahun 1890-1891). Ide-idenya tidak sepenuhnya orisinal, tapi cukup berpengaruh, terutama ketika dipraktekkan oleh murid Sullivan, Frank Lloyd Wright, sang pemuncak “arsitektur organik”. Diantara para arsitek, Sullivan dan Wright membawa arsitektur Modern ke Amerika, dengan penekanannya pada ruang dan struktur yang telanjang, fungsionalitas dan modernitas. Dibawa ke sisi ekstrim dari utilitas yang telanjang, prinsip-prinsip semacam ini dapat menghasilkan bangunan-bangunan yang buruk dan yang mengasingkan, seperti contoh-contoh paling buruk dari “Gaya Internasional”. Tapi, kesalahan tidak dapat benar-benar ditimpakan kepada Sullivan atau pada ungkapan (frasa)nya yang sangat menarik yang seringkali disalahpahami “Bentuk selalu mengikuti fungsi.” Dia bukan musah dari nilai-nilai estetika, atau bahkan dari dekorasi dan ornamen, dimana dia hanya ingin untuk menghadirkan sesuatu yang bersifat organik daripada yang artifisial. Dia menyerukan suatu arsitektur yang merespon pada hal-hal spiritual sebagaimana
halnya dengan kebutuhan-kebutuhan kaum utilitarian dan yang mengekspresikan spirit zaman itu. “Dan dengan demikian,” dia menyatakan dalam kesimpulan esainya, “ketika insting bawaan dan kemampuan untuk mencerap akan mengatur penggunaan seni kita yang tercinta; ketika hukum yang dikenal, hukum yang dihormati, adalah bentuk yang selalu mengikuti fungsi,” maka “mungkin dapat dinyatakan bahwa kita berada di high-road (jalan yang lurus dan nyaman dilalui) menuju seni yang alami dan memuaskan, suatu arsitektur yang akan segera menjadi seni berkualitas tinggi berdasarkan pemahaman terbaik dan yang paling benar dari kata-kata itu, sebuah seni yang akan hidup karena ia akan menjadi dari masyarakat, untuk masyarakat dan melalui masyarakat.” Tapi tidak, tentu saja, seluruhnya orisinal.
“Kurang adalah Lebih” paradoks pemikiran Barat yang terbesar, harus dikatakan, jarang sekali mempunyai akibat-akibat praktis. Kemungkinan yang akan terjadi adalah baikbaik saja, jika seandainya anda menghidupkan mesin mobil anda, mengarahkannya menuju pusat pertokoan, dan melaju, anda akan sampai disana cepat atau lalmbat, tak perduli dengan apa yang dikatakan oleh Zeno [lihat, hal. ....]. Demikian pula, paradoks Russel [hal. ... ] bisa saja telah menimbulkan keadaan kacau dengan perangkat teori, tapi akibat yang terjadi setelah itu akan, sangat mungkin, berlangsung seperti sebelumnya.
Pengecualian yang membuktikan aturan ini adalah “Kurang adalah lebih,” sebuah ungkapan [sangat menarik] favorit dari arsitek Jerman, Ludwig Mies van der Rohe (1886-1969). Sebenarnya, Mies tidak menemukan ungkapan ini; tidak juga dia menemukan “Tuhan ada dalam detail-detail,” sebuah slogan lain yang diatributkan kepadanya. “Kurang adalah lebih” telah muncul dalam puisi hebat Robert Browning, “Andrea del Sarto” (1855) dan telah menyebar di dunia seni Jerman dalam beragam bentuk. (Sumber acuan paling langsung dari Mies adalah gurunya, Peter Behrens). Tapi, adalah Mies yang telah memperkenalkan dan menjadikan akrab paradoks ini yang menyenangkan berbagai pihak dan, masa sekarang ini, menjadi bahan ejekan dari banyak orang. Apa yang dia maksudkan dengan ungkapan adalah sebagai berikut: sebuah bangunan harus dikonstruksi berdasarkan pada esensi-esensi yang dikandungnya; simbol-simbol ekstra atau tambahan-tambahan hanya akan membelokkan dari kejelasan, manfaat, dan pengaruh. (Inilah esensinya tentang bagaimana kita memanfaatkan ungkapan ini sekarang: “Yang lebih dari sesuatu yang baik tidak harus menjadi lebih baik”). Yang diupayakan oleh seorang arsitek adalah bukan “kurang” demi dirinya sendiri---dengan sekadar melucuti detaildetail yang berlebihan dan yang tak berhubungan dengan struktur bangunan--tapi lebih tepatnya adalah apa saja yang dirasa cocok dan sesuai dengan peralatan, lokasi, desain yang diinginkan. Tujuan ini, di permukaan, mirip dengan tujuan dari Louis Sullivan, yang memenagi kesatuan organik dengan ungkapannya: “Bentuk selalu mengikuti fungsi.” Namun, Mies lebih fokus pada rasionalitas dan presisi (akurat, pasti)
daripada metafisika Sullivan. “Fungsi” yang bersifat langsung dari sebuah bangunan tidak menarik minatnya secara berlebihan; dia, tidak seperti Sullivan, meramalkan bahwa struktur apapun di masa depan, akan dirancang berdasarkan pada beragam penggunaan yang menyediakan berbagai macam fungsi. Ini adalah salah satu alasan utama dari tuntutan untuk kesederhanaan: semakin terbuka dan murni sebuah gedung itu, semakin ia dapat diadaptasikan. Dalam praktek, diktum Mies “Kurang adalah lebih” telah menghasilkan bangunan-bangunan yang menekankan pada rigiditas (baku, tidak bergerak, tidak fleksibel) geometris, daripada mencoba untuk menyembunyikan, bahanbahan dan alat-alat konstruksi. Contoh paling terkenal, setidaknya di Amerika, adalah Seagram Building di Park Avenue, New York, yang didesain oleh Mies di akhir tahun 1950-an bersama dengan Philip Johnson. Sangat biasa dalam konstruksinya, gedung Seagram ini secara struktur hampir tanpa dekorasi dan perabot-perabot, sebuah menara kaku yang terbuat dari kaca dan perunggu. Meskipun bukan bangunan pertamanya, ia adalah proto-tipe “kotak kaca”, yang memberi inspirasi kepada bangunan-bangunan imitasi yang inferior dan yang tak akan pernah berakhir pada dekade-dekade selanjutnya. Yang bersifat kurang yang terkandung dalam gaya ini, pastinya, akan menjadi kelebihannya.
“Mereka Yang Tidak Dapat Mengingat Masa Lalu Akan Dihukum untuk Mengulanginya” Kemajuan, jauh dari menetap (bertempat tinggal) dalam perubahan, bergantung pada daya ingat yang kuat. Ketika perubahan itu bersifat absolut, tak ada wujud yang tersisa untuk menjadi lebih baik dan tak ada arah yang dirancang bagi
peningkatan kualitas yang mungkin: dan ketika pengalaman tidak diingat, sebagaimana yang terjadi di kalangan masyarakat barbar, maka tahap permulaan dari suatu perkembangan akan berlangsung abadi. Mereka yang tidak dapat mengingat masa lalu akan dihukum untuk mengulanginya. George Santayana, The Life of Reason (1905), Volume I, chapter XII Dengan telah menjadi sebuah klise, observasi dari filosuf Spanyol-Amerika ini, George Santayana (1863-1952) telah kehilangan semua kedalamannya. Biasa diucapkan dalam bentuk kalimat “Mereka yang tidak ( do not) ingat masa lalu...,” ia telah direduksi menjadi wacana tindakan tentang suatu kurikulum yang sesuai dan layak. “Pelajari sejarahmu, boys and girls, atau di masa mendatang [masukkan pengalaman yang tidak menyenangkan disini] yang akan berlangsung, kamu tidak akan mengingat apa yang telah terjadi pertama kali.” Bukan karena ini adalah salah; ini hanya karena bukan demikian yang dimaksudkan oleh Santayana. Dia memilih kata tidak dapat berdasarkan satu alasan---yaitu, karena dia memaksudkannya sebagai “secara harfiah adalah tidak dapat untuk”. Yang demikian ini adalah nasib dari anak kecil dan “kaum barbar”, dimana mereka setiap harinya memulai kehidupannya secara baru, pengalaman-pengalaman dan pelajaran-pelajaran di hari kemarin sedang dilupakan. Ini bukan berarti bahwa orang-orang yang demikian ini (seseorang dapat berargumen dengan istilah “kaum barbar”) memilih untuk menjadi bodoh; ini artinya bahwa m ereka tidak mempunyai kemampuan perihal pemikiran historis. Dalam kondisi lupa ini, seseorang tidak dapat untuk membuat keputusankeputusan apapun yang telah diinformasikan sebelumnya atau untuk membuat dirinya maju. Dia tampaknya hanya akan melanjutkan untuk bertindak
berdasarkan pada insting dan refleks, yang sifat mereka adalah repetitif (selalu mengulang-ulang). Setiap hari, kurang lebihnya, adalah hari yang sama, inilah yang dimaksudkan oleh Santayana sebagai “mengulangi masa lalu”. Poin yang lebih luas dari Santayana adalah bahwa kemajuan menuntut suatu stabilitas yang pasti dan “daya ingat yang kuat” dalam diri individu-individu dan masyarakat-masyarakat. Ini adalah basis bagi evolusi manusia, yang dimodelkan menurut evolusi spesies Darwin: perilaku yang terpelajar, yang berbasis pada pengalaman, adalah lebih merupakan upaya suksesi dalam menghadapi kondisi-kondisi yang terus berubah. Yaitu, kita akan meraih yang lebih baik dan lebih baik lagi dalam menghadapi dunia yang terus-menerus berubah ini kita kita mempunyai “daya ingat yang kuat” dan sikap “fleksibel”: sadar akan masa lalu dan mudah beradaptasi. Konteks yang lebih luas dari spekulasi-spekulasi Santayana adalah “naturalisme”-nya, yang lebih dikenal dengan sebutan “materialisme”. Manusia, dalam pandangannya, adalah produk dari alam secara menyeluruh dan utuh; dan pikiran tidak lebih dari aktivitas alami (natural) dari otak. Berdasarkan keadaan ini yang terus-menerus berubah, demikian pula dengan apa yang kita sebut sebagai “sifat manusia”. Keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, proses-proses pemikiran, insting-insting, dan hasrat-hasrat dari penduduk Yunani kuno adalah sangat berbeda dengan para penduduk Eropa abad pertengahan atau dengan para penduduk Afrika kontemporer. Oleh karena itu, tidak ada sejenis sesuatu yang disebut dengan “hukum universal”, jika dengan itu kita maksudkan sebagai aturan-aturan (rules) yang
dapat diterapkan di dalam ruang dan waktu. Namun, pada waktu yang sama, dalam waktu dan tempat khusus (particular) apapun, manusia (laki-laki dan perempuan) saling berbagi pengalaman-pengalaman, nilai-nilai, proses-proses pemikiran, dan lain-lain. Jika tidak demikian, maka tidak akan ada komunikasi sama sekali. Dan sifat manusia khusus yang semacam ini mempunyai suatu “keadaan ideal” yang potensial, dimana ia dapat menjadi segalanya: yang secara ideal sesuai, dalam batas-batasnya, dengan waktu dan kondisi-kondisi. Masingmasing individu mempunyai idealnya sendiri, yang tidak ada hubungannya dengan apa yang dipikirkan, dirasa, atau dilakukan oleh banyak orang. Dalam kenyataan, Santayana meyakini secara mendalam bahwa masyarakat telah diberkahi dengan rasio dan bakat-bakat yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Ini mungkin bersifat ideal bagi beberapa pihak untuk bekerja di pabrik perakitan (assembly lines), sementara pihak lain menganggap ideal untuk menjalankan fungsi pemerintahan. Oleh karena itu, dia bukanlah seorang yang bersikap antusias terhadap demokrasi. Dalam pandangannya, Sifat (Natur) dalam dirinya sendiri adalah tidak demokratis (undemocratic); beberapa spesies mati, sementara spesies lain berkembang melalui proses evolusi, dan ini karena beberapa spesies adalah lebih superior dibandingkan yang lain. Dalam diri laki-laki dan perempuan, ketajaman rasio dan ingatan tentang masa lalu saling bersesuaian untuk melangkah maju dan mengalami realisasi diri, guna mencapai apa yang diidealkan. Jadi, buatlah diri anda terpaku membaca buku-buku sejarah, sekarang.
APPENDIKS Persamaan Energi dan Massa Einstein (Hal...) Inilah ide dasarnya: sebagai sebuah obyek dari massa m (yang berbeda dari beratnya, yang bergantung pada gravitasi) menempuh kecepatan konstan v, mempunyai sebuah momentum yang mungkin dapat diekspresikan sebagai hasil mv. Inersia obyek, yang proporsional dengan massa-nya, m, akan membuatnya terus bergerak ke arah yang sama pada kecepatan yang sama, kecuali energi (force) diterapkan kepadanya, yang menyebabkan suatu akselerasi (sebuah perubahan dalam v). Ini energi yang telah ditambahkan ini, akan menambah energi kepada obyek ini, yang dibawah situasi normal diekspresikan sebagai suatu peningkatan dalam kecepatan (momentum ekstra). Energi total yang diekspresikan dalam gerak obyek ini disebut dengan “energi kinetik”, yang momentumnya dikalikan dengan kecepatannya, dibagi dua---yaitu,
E = m v2/2 Ini memberi sejumlah energi yang dibutuhkan untuk men-set suatu tubuh dari massa m dari keadaan diam ke dalam gerak dari kecepatan v. Namun ekuasi ini dianggap benar hanya dibawah hukum relativitas Newtonian. Jika kita mempertimbangkan ekuasi-ekuasi Lorentz tentang teori khusus (yang menggambarkan kontraksi ruang dan pengembangan waktu dalam arah gerak yang relatif), maka, formulanya menjadi: E= ..... Dimana c adalah kecepatan cahaya dalam suatu vakum (ruang kosong). Ketika kecepatan obyek, v, mendekati kecepatan cahaya ini, v/c mendekati I, dan denominatornya (angka penyebut dalam
pecahan) menjadi lenyap. Dalam hal ini, karena kita sedang membagi dengan angka nol, E adalah tak terbatas: dengan kata lain, ia akan mengambil sejumlah energi yang tak terbatas untuk menggerakkan sebuah obyek hingga keceptan cahaya. Ringkasnya, tidak ada obyek dengan massa apapun yang pernah dapat menempuh kecepatan cahaya ini---tidak ada cukup energi untuk bisa sampai kesana. (Cahaya itu sendiri tidak mempunyai massa). Sekarang, marilah kita lihat pada hal yang berlawanan: energi ditambahkan pada suatu obyek dari massa m dalam gerak pada kecepatan v, tapi, kita, bagaimanapun, mencegah obyek ini dari bergerak yang lebih cepat daripada v. Untuk mudahnya, (dan ia akan menghasilkan yang sama, jika tidak demikian), marilah kita mengasumsikan bahwa obek ini dalam keadaan diam untuk memulai---ia tidak mempunyai energi kinetik sama sekali---dan bahwa v masih tetap 0 meskipun ada penambahan energi E. Jika v = 0, maka demikian pula v/c, dan denominator dari ekuasi kita direduksi menjadi I. Dalam hal mana, E = mc Dengan kata lain, energi yang ditambahkan, semuanya harus menjadi massa, ketika massa ini menjadi satu-satunya variabel yang tersisa yang dapat berubah. Masa yang telah ditambahkan ini, jika kita menampilkan pembagian mendasar, akan menjadi sama dengan E/c. Tapi, massa adalah massa, apakah ia dihasilkan oleh suatu penambahan energi atau tidak. Oleh karena itu, formula Einstein tetap dipertahankan dalam setiap kasus; jika kita ingin mengetahui seberapa banyak energi yang bersifat laten dalam suatu tubuh dari massa 10 gram, kita hanya menggandakan 10 gram dengan kecepatan dari cahaya yang dikwadratkan, dan mengubah ke unit-unit yang sesuai. Keluarkan kalkulator anda!
Chaos dan “Ekuasi Logistik” (hal....) Ekuasi logistik, yang memainkan peran yang krusial dalam perkembangan teori chaos, adalah sebuah varian dari suatu ekuasi linier yang sederhana. Anggaplah kita sedang mempelajari pertumbuhan populasi diantara sekelompok binatang yang khusus--katakanlah, tupai abu-abu di Central Park. Hipotesis pertama kita adalah bahwa populasi tupai ini tumbuh secara stabil dari tahun ke tahun, katakanlah .I atau 10%. Dalam kasus ini, populasi dalam setahun n+1 akan menjadi 1.1 (100% + 10%) dikali populasi dalam tahun n, atau, untuk meletakkannya dalam bentuk matematis, xn+1=1.1(xn), dimana xn adalah populasi dalam tahun n. Laju perubahan (1.1) adalah dibakukan.
Tapi, semakin kita lebih mencermati, semakin kita menyadari bahwa pertumbuhan populasi ini tidaklah stabil sama sekali, tapi bahwa laju perubahan itu sendiri berubah bersama dengan besarnya populasi itu. sebagai ganti dari menerapkan suatu pengganda (multiplier) yang baku dari tahun ke tahun, kita dipaksa untuk memperkenalkan sebuah faktor linier. Suatu predictor (yang memprediksi) yang lebih baik tentang populasi tupai di Central Park adalah ekuasi logistik non-linier, yang terlihat seperti ini: Xn+1 = rxn (1-xn) Dimana xn melambangkan populasi di tahun n, yang diekspresikan sebagai suatu persentase dari populasi keseluruhan yang maksimum, dan dimana r melambangkan beberapa faktor perubahan yang telah baku. (Jika populasi tupai maksimum di Central Park adalah 1,500 dan dalam tahun n yang diandaikan, populasi aktualnya adalah 1,000, maka, xn = 1,000/1,500 =.667.) Ekuasi logistik menyerupai pendekatan linier kita dimana seseorang mempertahankan (save) faktor tambahan (non-linier) 1-xn, yang tumbuh lebih kecil ketika jumlah populasi meningkat dan tumbuh lebih besar ketika jumlah populasi menurun. (Ketika xn adalah sebuah persentasi---yaitu, sebuah bilangan antara 0 dan 1---maka, 1-xn akan selalu menjadi positif; dengan demikian, jumlah populasi tidak pernah turun di bawah angka nol). Lebih jauh lagi, ekuasi ini disebut dengan “iterative” (ditampilkan kembali), karena hasil-hasil dari satu tahun dihubungkan kembali (plugged back) untuk meraih hasil-hasil di tahun selanjutnya; yaitu, ekuasi adalah sebuah “putaran feedback”. Sebagaimana diketahui, ekuasi logistik, yang bersifat non-linier (laju perubahannya bervariasi), mempunyai sejumlah sifat-sifat yang sangat menarik. Nilai-nilai tertentu dari r (untuk menyatakan, nilainilai yang kurang dari 3), jumlah populasi pada akhirnya akan terasah pada satu kuantitas yang akurat, pasti dan tidak berubah. Ini bahkan bukan soal bilangan apa yang anda hubungkan pertama kali, selama ia kecil tapi tidak sama dengan nol. Tujuan akhir ini---nilai xn mendekat ketika anda terus mengulang-ulang ekuasi ini---disebut dengan “penarik” (“attractor”). Bahkan yang lebih menarik, ketik r melebihi 3, jumlah populasi ini pada akhirnya bergerak menuju dua nilai yang menggantikan, dengan mendekati pada satu dari tahun yang diandaikan dan kemudian mendekati yang lain di tahun selanjutnya. Sang penarik telah terbagi dan sekarang disebut dengan sebuah “penarik dari periode 2”. Selanjutnya, jika kita meningkatkan r hingga hampir mendekati 3.45, sang penarik dibagi menjadi empat, dan selanjutnya dibagi menjadi delapan, dan selanjutnya dibagi menjadi enam belas, dan seterusnya. Tapi, ia tidak terus menggandakan diri selamanya; apa titik tertentu, ketika r kira-kira sama dengan 3.57, sang penarik menjadi tidak dapat diprediksi, varian yang liar, yang
tampaknya bersifat chaotic sepenuhnya. (Pada poin ini, ia disebut dengan “penarik yang aneh”.) tapi, sebagaimana diketahui, ini adalah chaos dengan sebuah pola. Ekuasi logistik bukan hanya satu-satunya yang menghasilkan penarik-penarik yang membagi dan chaos yang terpola. Sebagaimana telah ditemukan oleh Mitchell Feigenbaum pada tahun 1970-an, terdapat semua jenis ekuasi-ekuasi, banyak diantaranya yang digunakan secara umum oleh para ilmuwan praktek, bahwa ketika diperlengkapi dengan suatu putaran feedback yang terlihat dari hasilhasilnya, persis seperti ekuasi logistik (satu contoh adalah r sinus ...x). para pakar matematika menyadari bahwa ini bukan sekadar suatu kebetulan yang aneh, dan penemuan Feigenbaum benar-benar membuat bola chaos ini terus menggelinding.
Sumber-sumber Aristoteles, The Basic Works of Aristotle, editor: Richard McKeon (New York: Random House, 1941). Santo Agustinus, On the Two Cities: Selections from ‘The City of God,’ terjemahan Marcus Dods (New York: Frederick Ungar, 1957). Francis Bacon, Essays, Advancement of Learning, New Atlantis, and Other Pieces, editor: Richard Foster Jones (New York: Odyssey, 1937). Jacques Derrida, Of Grammatology (1967), terjemahan Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976). ______, Positions (1972), terjemahan Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1981). Albert Einstein, Relativity: The Special and General Theory, terjemahan Robert W. Lawson (New York: Wings Books, 1961). ______, Beyond the Pleasure Principle (1920), terjemahan James Strachey (New York: Norton, 1961). ______, The Ego and the Id (1923), terjemahan Joan Riviere dan James Strachey (New York: Norton, 1962).
______, General Psychological Theory, editor: Philip Rieff (New York: Macmillan, 1963). ______, New Introductory Lectures on Psychoanalysis (1933), terjemahan James Strachey (New York: Norton, 1965). ______, Sexuality and the Psychology of Love, editor Philip Rieff (New York: Macmillan, 1963). G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, terjemahan A.V. Miller (Oxford: Clarendon, 1977). The Holly Bible, King James Version (1611). Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology, terjemahan W.R. Boyce Gibson (New York: Collier, 1962). C.G. Jung, “On the Psychology of the Unconscious”, terjemahan R.F.C. Hull, dikutip dalam Great Ideas in Psychology, editor: Robert W. Marks (New York: Bantam, 1966). Melanie Klein, Love, Guilt and Reparation & Other Works 1921-1945 (New York: Dell, 1975). Steven Knapp dan Walter Benn Michaels, “Against Theory”, Critical Inquiry 8 (Summer 1982). Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, second edition (Chicago: University of Chicago Press, 1970). Robert W. Marks, editor, Space, Time, and the New Mathematics (New York: Bantam, 1964). Karl Marx, Early Writings, editor: Quintin Hoare (New York: Vintage, 1975). Marshall McLuhan, The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (Toronto: University of Toronto Press, 1962). ______, Understanding Media: The Extensions of Man, edisi yang telah direvisi (New York: McGraw Hill, 1965). ______, and Edmund Carpenter, eds., Explorations in Communication (Boston: Beacon Press, 1960). Friedrich Nietzsche, The Portable Nietzsche, diterjemahkan dan diedit oleh Walter Kaufmann (New York: Viking, 1968).
Plato, The Collected Dialogues of Plato, editor: Edith Hamilton and Huntington Cairns, edisi yang telah dikoreksi (Princeton: Princeton University Press, 1963). Plutarch, “The Impossibility of Pleasure according to Epicurus”, terjemahan William Baxter (New York: n.p., 1859). Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, second edition (New York: Harper & Row, 1968). Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, or Principles of Political Right, terjemahan Henry J. Tozer (London: George Allen & Unwin, 1895). John Ruskin, Modern Painters, 5 vols. (London: Dent, 1906). Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness (1943), terjemahan Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956). Louis Sullivan, The Public Papers, editor: Robert Twombly (Chicago: University of Chicago Press, 1988). Philip Wheelwright, editor, The Presocratics (New York: Odyssey Press, 1966). Norbert Wiener, The Human Use of Human Beings: Cybernetic and Society, edisi yang telah direvisi (Garden City, N.Y.: Anchor/Doubleday, 1954).
Buku-buku Acuan Mortimer J. Adler, The Great Ideas: A Lexion of Western Thought (New York: Macmillan, 1992). S.T. Bindoff, Tudor England (Harmondsworth: Penguin, 1950) Werner Blaser, Mies van der Rohe: Less Is More (New York: Waser Verlag Zurich, 1986). I.M. Bochenski, Contemporary European Philosophy, terjemahan Donald Nicholl and Karl Aschenbrenner (Berkeley: University of California Press, 1961). J.A.C. Brown, Freud and the Post-Freudians (Harmondsworth: Penguin, 1961). Douglas Bush, English Literature in the Earlier Seventeenth Century 1600-1660 (New York: Oxford University Press, 1945) Jeremy Campbell, Grammatical Man: Information, Entropy, Language, and Life (New York: Simon & Schuster, 1982).
Richard and Fernande DeGeorge, eds., The Structuralists: From Marx to LéviStrauss (Garden City, N.Y.: Anchor/Doubleday, 1972). Dictionary of the History of Ideas: Studies of Selected Pivotal Ideas, editor: Philip P. Wiener, 5 vols. (New York: Scribner`s, 1973). Timothy Ferris, Coming of Age in the Milky Way (New York: William Morrow, 1988). James Gleick, Chaos: Making a New Science (New York: Viking, 1987). Stephen Jay Gould, Ontogeny and Phylogeny (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1977). Stephen W. Hawking, A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes (New York: Bantam, 1988). Douglas R. Fofstadter, Metamagical Themas: Questing for the Essence of Mind and Pattern (New York: Basic Books, 1985). Judy Jones and William Wilson, An Incomplete Education (New York: Ballantine, 1987). Joseph J. Kockelmans, editor: Phenomenology: The Philosophy of Edmund Husserl and Its Interpretation (Garden City, N.Y.: Anchor/Coubleday, 1967). Bart Kosko, Fuzzy Thinking: The New Science of Fuzzy Logic (New York: ....kurang...