Beberapa kota sedang dan besar di Indonesia saat ini sedang giat-giatnya prasarana-prasarana yang menunjang aktifitas dan fasilitas masyarakat yang semakin berkembang. Tak terkecuali Kota Solo, sekarang sudah banyak bermunculan dan sedang dilaksanakan proyek konstruksi untuk pusat-pusat perbelanjaan beberapa lantai, apartemen dan rusunawa, prasarana jalan arteri dan tol, prasarana transportasi dan sebagainya.
Semakin besar proyek konstruksi, tentunya akan menimbulkan permasalahan yang semakin kompleks pula, termasuk di dalamnya permasalahan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pengelolaan proyek yang baik, akan memperhatikan masalah K3 ini, sehingga akan meminimalisir setiap potensi timbulnya kecelakaan kerja yang melibatkan tenaga kerja. Keselamatan dan kesehatan tenaga kerja proyek konstruksi menjadi prioritas yang harus selalu diperhatikan. Berdasarkan data dari Jamsostek, kasus kecelakaan kerja di Indonesia, walaupun fluktuatif ternyata pada periode 2011 mengalami pelonjakan hampir dua kali lipat dibandingkan data tahun 2010 yakni dari 47.919 kasus menjadi 86.000 kasus. Hal ini juga yang menyebabkan Indonesia dimenduduki peringkat terbawah dalam hal standar keselematan kerja dibandingkan negara-negara ASEAN. Suatu sistim kerja terpadu, disiplin kerja, fasilitas dan adanya komitmen dan tanggung jawab yang jelas sangat diperlukan untuk mengatasi dan mengurangi resiko kecelakaan kerja dan permasalahan yang terjadi. Manajemen yang efektif dan efisien perlu untuk memberikan prioritas utama terhadap resikoresiko penting sebelum memulai proyek konstruksi. Selain itu, penting untuk menentukan alokasi resiko kecelakaan kerja yang tepat agar dapat mengurangi kerugian biaya, waktu dan kualitas akibat resiko tersebut. Efek kecelakaan kerja yang terjadi pada proyek konstruksi dapat menyebabkan rusaknya peralatan yang digunakan, rusaknya lingkungan sekitar proyek, serta hilangnya nyawa pekerja (fatality). Efek-efek tersebut akan mempengaruhi schedule penyelesaian proyek (project delay) dan pembengkakan biaya konstruksi secara keseluruhan. Kecelakaan yang terjadi pada suatu pekerjaan konstruksi kebanyakan disebabkan oleh tenaga kerja yang tidak berpengalaman terhadap apa yang dia kerjakan, peralatan yang sudah tidak layak untuk dipakai, kondisi lingkungan kerja yang tidak aman, perilaku karyawan yang kurang peduli tehadap safety, serta manajemen perusahaan yang kurang peduli sepenuhnya terhadap safety, serta metode kerja yang tidak aman.
Kecelakaan kerja dapat terjadi bila bahaya yang timbul tidak dapat diantisipasi karena kegagalan Sistem Pertahanan Keselamatan Kerja (SPKK). Dengan demikian, hal utama untuk mencegah kecelakaan kerja di konstruksi harus dimulai dengan membentuk SPKK yang baik, salah satunya dengan menerapkan sitem manajemen K3 (SMK3). Penerapan SMK3 meliputi metode kerja dan fasilitas yang mendukung pekerjaan tersebut.
Sistem manajemen K3 pada dasarnya mencari dan mengungkapkan kelemahan operasional yang memungkinkan terjadinya kecelakaan. Fungsi ini dapat dilaksanakan dengan mengungkapkan sebab suatu kecelakaan dan meneliti apakah pengendalian keselamatan kerja secara cermat dilaksanakan atau tidak. Tiga faktor dalam penerpan SMK3 di proyek konstruksi yaitu peran manajemen, kondisi dan lingkungan kerja, serta kesadaran dan kualitas pekerja. Penerapan SMK3 yang baik akan memberikan efek yang signifikan terhadap manfaat proyek, yang dapat diukur dalam parameter efisiensi, nilai efisiensi, peningkatan dari hasil kualitas kerja dan juga peningkatan aktivitas pekerjaan. Pemerintah pun sejak tahun 1980 telah mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam bidang konstruksi. Tahun 1986 pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja No.Kep.174/MEN/1986-104/KPTS/1986: Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi. Pedoman yang selanjutnya disingkat sebagai ”Pedoman K3 Konstruksi”.***