eknologi ⌂Kembali Ke Homepage
Diambang Kepunahan, Pohon Kapur Barus di Tapteng, Kini Tinggal 20 Batang
Diambang Kepunahan, Pohon Kapur Barus di Tapteng, Kini Tinggal 20 Batang
0
8 April 00:05 2015 2 Votes (1.5) Print Artikel 👤by Deny Siahaan 676 Pembaca KBRN, Sibolga : Wilayah Barus di Tapanuli Tengah (Tapteng) Sumatera Utara, yang disebut sebagai gerbang pertama masuknya Islam ke Indonesia, sejak dahulu dikenal sebagai penghasil Kapur Barus (Dryobalanops aromatic) ternama di dunia, dan karena kapur barus itu pula, negara – negara Mesir Kuno dan negara – negara Arab, Persia hingga China, sejak dulu mengikat hubungan dagang dengan daerah ini, hanya untuk mendapatkan kapur barus, yang juga menjadi salah satu bahan pengawet Mummi pada masa Mesir Kuno. Namun kini keberadaan pohon kapur barus diambang kepunahan, akibat selama ini masyarakat dan pemerintah tidak melestarikan (membudidayakan) tanaman ini. Zuardi Simanullang, seorang Pemerhati Sejarah dan Budayawan Barus, Selasa (7/4/2015) kepada RRI mengatakan, pohon kapur barus kini hanya tersisa 20 batang di Desa Siordang, Kecamatan Sirandorung Kabupaten Tapanuli Tengah. “Hanya tinggal segitu jumlahnya, diambang kepunahanlah karena tidak dilestarikan selama ini,” kata Zuardi Simanullang yang akrab disapa Zurlang ini. Menurut Zurlang yang juga Kontributor RRI Sibolga ini, pohon kapur barus biasanya tumbuh tegak lurus dengan ketinggian mencapai 50 hingga 80 meter, berdiameter minimum 75 cm, memiliki daun yang tergolong kecil dan berbentuk oval, tulang daun sejajar dan berakhir di ujung yang panjang beraroma wangi. “Dari bagian dalam batang pohon inilah kristal kapur itu diperoleh, namun tidak semua pohon memiliki minyak atau kristal. pohon yang berumur ratusan tahun baru memiliki minyak, atau warga disini menyebutnya dengan sebutan minyak umbil, Minyak inilah yang akan mengkristal dan kemudian di sebut dengan kapur Barus,” tutur Zurlang. Sementara J .Silaban, pemilik ladang tempat tumbuhnya Kapur Barus di Desa Siordang, Kecamatan Sirandorung menjelaskan, pohon kapur barus yang di tumbuh di ladang miliknya hanya tinggal 20 batang dan ke 20 pohon itu telah di registrasi oleh Dinas Kehutanan Tapteng. “Itupun orangtua saya yang menanamnya dahulu, jadi sudah langka, apalagi jenis kayu kapur ini sangat banyak peminatnya untuk bahan bangunan atau bahan buat perabotan rumah,” katanya Zurlang maupun J Silaban mengharapkan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah melakukan upaya pembudidayaan pohon Kapur barus yang menjadi asal nama Barus ini, agar Kapur Barus yang dahulu merupakan salah satu kebutuhan raja-raja dunia itu tidak punah dan kembali menebar aroma wangi, sewangi aroma Kapur Barus. (Deny Siahaan) Facebook 0 Twitter 0 Google+ 0 Linked In 0 Comment -
Penulis
Editor
Tentang Penulis Scroll Ke Atas 👤Berita Lain Dari Penulis
Deny Siahaan RRI Sibolga ⚏Berita Terkait
Kabupaten Barus Raya, Mungkin (Tidak) Akan Terwujud
Perkembangan Usulan Pembentukan Kabupaten Barus Raya Dipertanyakan
69 Desa di Tapteng Setujui Kabupaten Barus Raya
Masyarakat 6 Kecamatan, Sampaikan Aspirasi Pemekaran Kabupaten Barus Raya Ke DPRD dan Plt Bupati Tapteng
Tarik menarik kepemimpinan sidang, APBD-P Tapteng Tahun 2014 terkatung-katung
Polsek Barus, amankan 46 Bal Ganja Kering asal Aceh
Pokdarwis Mahligai Harus Bersinergi Dengan Pemerintah Mengembangkan Wisata Barus
Dan Ramil 01 Barus benahi lapangan Volly di Kecamatan Barus
Ratusan Warga Barus Akan Sampaikan Dokumen Usulan Pembentukan Kabupaten Barus Raya
Distamben Tapteng, Hentikan Sejumlah Galian C
Preview
Hot Topic
Ketua Komisi VIII DPR RI Sosialisasi Pilar Kebangssan Di Padangsidimpuan KBRN, Padangsidimpuan : Ketua Komisi VIII DPR-RI,Dr.H.Saleh Partaonan Daulay sosialisasi Pilar Kehidupan Berbangsa kepada ratusan Jemaah haji Kota Padangsidimpuan keloter 7 dan 13… 27 Pembaca Baca Selengkapnya
KPUD Sibolga Tetapkan Jumlah DPTb 1 Pilkada 156 Orang29
Masyarakat Diminta Hati- hati Menggunakan Medsos48
KPUD Sibolga Tunggu Finalisasi Jumlah Petugas KPPS & Ketertiban TPS50
Buruh Bongkar Muat Jualan Togel di Pelabuhan Sibolga Ditangkap Polisi42
Operasi Zebra Toba di Sibolga, Polantas Tilang 267 Kenderaan31
Berita Terpopuler
Netizen Harus Santun dan Beradab Saat Mengemukakan… 219 pembaca
Lembaga Perlindungan Konsumen Minta Pemerintah… 160 pembaca
Kabut Asap Menipis, Nelayan Kecil di Sibolga-Tapteng… 156 pembaca
KPU Sibolga Minim Sosislisasikan Cara Memilih… 141 pembaca
Polres Sibolga Gelar Sertijab Kasat Lantas 77 pembaca
ICW Tapteng : SE Hate Speech Jangan Jadi… 73 pembaca
Berita Terfavorit
Netizen Harus Santun dan Beradab Saat Mengemukakan… 1 Votes (5)
KPU Sibolga Minim Sosislisasikan Cara Memilih…
0 Votes (0)
Gencarkan Sosialisasi, KPUD Sibolga Targetkan… 0 Votes (0)
APK Belum Dipindahkan, Panwaslih Tuding… 0 Votes (0)
KPUD Sibolga Tunggu Finalisasi Jumlah Petugas…
0 Votes (0)
KPUD Sibolga Tetapkan Jumlah DPTb 1 Pilkada… 0 Votes (0) 00:00:00 / 00:00:00
search...
Home
Medan
Sumut
Aceh o
Al Bayan
Sports
Ekonomi
Nasional
Internasional
Agenda
Opini o
Tajuk
o
Foliopini
o
Surat Pembaca
Mimbar Jumat
Kreasi
Edisi SMW o
Infotainmen
o
Model & Masakan
o
Keluarga
o
Cemerlang
o
Pelangi
o
Populer
o
Kesehatan
o
Remaja
o
Budaya
o
Pariwisata
o
Potret
Lentera
Lentera Ramadhan
Breaking News
Hijrah, SDI & Ekonomi Umat...
Gerakan ekonomi harus “senafas” gerakan politik. S...
Angus Deaton Raih Nobel Ekonomi...
Ia mengatakan bisa saja produksi dan pendapatan na...
Maafkan Jokowi...
Presiden terkesan hanya faham simptom (gejala) dan...
Pola Ideal Integrasi Tionghoa...
Kendatipun dari populasi jumlah orang keturuanan T...
Memaknai Bulan Bahasa...
Pemosisian bahasa asing sebagai ancaman terhadap b...
Sumut Juara 1...
Intervensi politik dengan cara menempatkan pejabat...
Menjaga DPT Pilkada Berkualitas...
Pengelolaan pemilih berkualitas saja tidaklah cuku...
Belum Habis Asap, Datang Banjir ...
Mari kita lihat bagaimana pemerintah mengatasi kab...
Quo Vadis Umat Islam?...
Untuk mencapai posisinya sebagai faktor determinan...
Follow @Harian_Waspada
Top Stories
Hijrah, SDI & Ekonomi Umat
Gerakan ekonomi harus “senafas” gerakan politik. Strategi yang tidak bisa tidak dilakukan adalah menyatukan gerakan ekonomi dengan politik umat, sebab tanpa kekuatan politik sangat sulit menjalankan ekonomi umat Secara berkebetulan tahun baru hijriah 1437 H jatuh bersamaan dengan bulan kelahiran Serikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan Oktober 1905. Walau kedua peristiwa tersebut tidaklah equal untuk dibandingkan--sebab kedua peristiwa sangat terpaut jauh 15 abad, namun mempunyai semangat (spirit) yang hampir sama. Dan penting untuk direnungkan dalam konteks umat terutama kondisi ekonomi umat pada era kekinian.
Angus Deaton Raih Nobel Ekonomi
Ia mengatakan bisa saja produksi dan pendapatan naik tapi perekonomian tidak tumbuh jika pengeluaran konsumsi tidak naikAngus Deaton, Ekonom kelahiran Inggeris, Guru Besar Ekonomi Princeton University berhasil meraih penghargaan Nobel tahun 2015. Hasil penelitiannya membuktikan penggerak dasar perekonomian itu sebenarnya adalah pengeluaran konsumsi masyarakat. Tentu yang dimaksudkannya adalah pengeluaran konsumsi barang kebutuhan pokok (necessities). Menurutnya dari sinilah awal mula perekonomian bergerak dan tumbuh. Jika ditelaah pendapat Deaton ini biasa-biasa saja. Namun tak seorangpun yang mampu menyampaikan pendapat ini sebelumnya. Sehingga pendapat Deaton menjadi sesuatu yang baru yang menentukan keberhasilannya.
Maafkan Jokowi
Presiden terkesan hanya faham simptom (gejala) dan tak sedikit pun menyinggung akar masalah. Hentikan api itu, hentikan. Jika tak dihentikan...Jika seseorang bertanya kepadamu, “Mengapa bencana kabut asap tak ditetapkan menjadi bencana nasional sesegera mungkin.” Kira-kira apa jawabmu Saudara, tanya Gellok kepada Sordak. Orang yang ditanya menjawab: Pertama, presiden kita sudah pergi ke lokasi kebakaran lahan dan hutan yang menjadi penyebab bencana. Jadi, Beliau sudah
tahu keadaannya. Beliau didampingi kekuatan negara, eh maksud saya, para pembijaksana nasional dan para ahli.
Pola Ideal Integrasi Tionghoa
Kendatipun dari populasi jumlah orang keturuanan Tionghoa tergolong kecil, tetapi dari penguasaan aset ekonomi dan industri, mereka sangat kuat dan menentukanPola ideal pembauran dini dengan masyarakat Tionghoa, pernah dilakukan pemerintah dengan menggunakan sekolah asimilasi atas dasar konsep melting pot. Sekolah dianggap sebagai wadah pembauran, sehingga anak-anak etnis Tionghoa dapat meluluhkan budayanya ke dalam budaya anak-anak dari etnis lainnya (1967). Sepuluh tahun kemudian kami melakukan penelitian terhadap konsep ini. Hasilnya mengungkapkan bahwa anak-anak etnis Tionghoa tidak pernah dapat meluluhkan budaya aslinya. Apa yang terjadi di sekolah pembauran itu adalah exchange of cultural traits (pertukaran unsur-unsur budaya antar etnis Tionghoa dan etnis lainnya).
Memaknai Bulan Bahasa
Pemosisian bahasa asing sebagai ancaman terhadap bahasa Indonesia jelas-jelas sudah sangat membuat kita terkungkung Oktober dinobatkan sebagai bulan bahasa. Katanya, penetapan ini merupakan bentuk penghargaan dan pemeliharaan bahasa Indonesia dari serangan bahasa asing. Hal ini pun menjadi bukti konkret dari perwujudan Sumpah Pemuda yang dilaksanakan para pemuda kita pada 1928 silam. Di sana saat itu, pemuda kita dari berbagai suku mulai dari Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, dan Jong-jong lainnya membentuk suatu identitas dengan sebuah sumpah.
Opini
Mekarkah Aceh?
Seyogyanya berbagai stakeholder kembali bersatu padu, mewujudkan Aceh yang lebih baik, sekaligus men... Urgensi Pengawasan Komisi Yudisial
Jika KY tidak kuat, bukan tak mustahil supremasi hukum di Indonesia tak lagi mengenal dan menerapkan... Hijrah, SDI & Ekonomi Umat
Gerakan ekonomi harus “senafas” gerakan politik. Strategi yang tidak bisa tidak dilakukan adalah men... Angus Deaton Raih Nobel Ekonomi
Ia mengatakan bisa saja produksi dan pendapatan naik tapi perekonomian tidak tumbuh jika pengeluaran... Maafkan Jokowi
Presiden terkesan hanya faham simptom (gejala) dan tak sedikit pun menyinggung akar masalah. Hentika... Pola Ideal Integrasi Tionghoa
Kendatipun dari populasi jumlah orang keturuanan Tionghoa tergolong kecil, tetapi dari penguasaan as... Memaknai Bulan Bahasa
Pemosisian bahasa asing sebagai ancaman terhadap bahasa Indonesia jelas-jelas sudah sangat membuat k...
Mimbar Jumat
Mekarkah Aceh?...
Urgensi Pengawasa...
Seyogyanya berbagai stakeholder kem...Jika KY tidak kuat, bukan tak musta... Hijrah, SDI & Eko...
Angus Deaton Raih...
Gerakan ekonomi harus “senafas” ger... Ia mengatakan bisa saja produksi da...
Lentera
Mekarkah Aceh?...
Urgensi Pengawasa...
Seyogyanya berbagai stakeholder kem...Jika KY tidak kuat, bukan tak musta... Hijrah, SDI & Eko...
Angus Deaton Raih...
Gerakan ekonomi harus “senafas” ger... Ia mengatakan bisa saja produksi da...
Lentera Ramadhan
Mekarkah Aceh?...
Urgensi Pengawasa...
Seyogyanya berbagai stakeholder kem...Jika KY tidak kuat, bukan tak musta... Hijrah, SDI & Eko...
Angus Deaton Raih...
Gerakan ekonomi harus “senafas” ger... Ia mengatakan bisa saja produksi da...
Barus Sepanjang Bukit Barisan Articles | Opini Written by muhammad faisal on Thursday, 02 January 2014 05:20 Tweet Share
Orang Portugis pertama sesudah Marco Polo datang ke Barus dipastikan bukan mencari kamper (kapur barus) tetapi mencari emas Pakansi Natal kali ini (2013), diniatkan untuk “sekali membuka pura dua tiga pulau terlampaui.” Pertama, memang telah lama keinginan untuk kembali ke Barus kota tua Nusantara itu, sejak perbincangan tahun 1960 dengan Dada Meuraxa, beliau tetap bertahan bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui Barus. Namun diskusi intensif dengan Buya Hamka, Mohd. Said, HA Thalib Lubis dan DR. Mukti Ali dalam seminar masuknya Islam ke Indonesia (1962), menyimpulkan bahwa Pasai adalah kota tempat Islam pertama bermukim di Indonesia. Memang seminar juga menyatakan bahwa Barus adalah kota internasional pertama dimana para taipan manca negara bermukim sebelum kedatangan Islam. Sekarang telah terbit buku Barus Seribu Tahun yang Lalu (Jilid II, 2008) dari arkeolog Prancis Claude Guillot cs. yang mengemukakan bahwa (1) Kota Barus ada dua buah, (2) Ada kembaran Sriwijaya yang memiliki raja dan ibu kota yang berbeda, dan (3) Ditemukan sebaran mata uang emas Barus di nusantara dan Timur Tengah (Iran, Mesopotamia dan Mesir), Timur Dekat (Gujarat, India). dan (4) Bahasa Melayu telah digunakan dipantai Barat Sumatra sejak abad ke 10, maka dorongan untuk ke Barus menjadi lebih kuat. Walaupun, dua tahun yang lalu kami sekeluarga telah ke Sorkam, kekampung Akbar Tanjung, mengawinkan anak angkat kami dengan seorang putri Sorkam. Dan kali ini kami kembali ke Sorkam menghadiri perkawinan adik kandungnya dengan seorang pemuda Jawa dengan upacara adat pesisir. Berada ditengah keluarga kaum kerabat Sorkam, memang sesuatu yang unik dan
menarik. Bukan masalah kuliner, makanan yang serba lezat itu, tetapi yang menarik lagi, bahasa Melayu Pesisir dengan dealek Minang yang kental, sopan santun dan tegur sapa mereka, serasa dikampung halaman sendiri. Air terjun Pulau Mursala Siang tengah hari itu boat kami timbul tenggelam dibuai gelombang menghadap air terjun pulau Mursala yang gagah menjulang langit. Suasana seram dan ceria silih berganti antara gelombang yang menghayun badan dan gelinding air terjun yang menjamah tubuh. Kami berdiri terpukau. Air terjun pulau Mursala ini luar biasa. Boat kami kemudian menghindari pulau Mursala menghadap Bukit Barisan. Kali ini kami sungguh terkesima menikmati keperkasaan deretan Bukit Barisan yang seakan muncul dari permukaan laut dari Utara sampai jauh ke Selatan, penaka barisan pasukan kehormatan yang rapi. Dititik Utara sebelah kanan pandangan kami itu terletak Barus. Itulah kota penyair legendaris Hamzah Fansuri. Kami singgah dahulu di pulau Putri makan siang. Dua kota Barus Kami mendarat di Barus membawa tanda tanya dimana kembaran Barus yang baru? Dalam cacatan Guillod “... nama Barus dipakai untuk kampung di daerah Minangkabau itu tidak muncul secara kebetulan. Menurut interpretasi yang masuk akal, setelah beberapa peristiwa, sejumlah penduduk Indrapura yang terpaksa melarikan diri memilih Barus sebagai tempat pengungsian ...” Para pengungsi ini sebenarnya berasal dari Barus-Pancur. Semua ini menurut arkeolog Prancis itu menunjukkan keterlibatan Barus yang kuat dalam “collective memories” (ingatan bersama) masyarakat dibahagian Selatan daerah Minangkabau. Selain itu salah satu kronik Sejarah Barus yang berjudul “Sejarah Tuanku Batu Badan,” mencacat bahwa beberapa keluarga dari raja Indrapura telah berpindah ke Tarusan, sekitar 60 km diselatan Padang, disuatu tempat yang bernama“Barus.”(Guillod, 2008) Kecendrungan munculnya BarusBarus kembaran ini disebabkan karena kota Barus memiliki daya tarik yang multi demensi. Orang Timur Tengah dan Timur Dekat (India) lebih melihat Barus sebagai pelabuhan ekportir Kamper (Kapur Barus) dan Damar disamping barang tambang lainnya, sedang orang Jawa dan para penguasa Sriwijaya, melihat Barus tidak hanya sebagai muara kapur barus, tetapi pusat eksportir barang tambang yang berharga, emas dan perak. Tambang-tambang emas sepanjang Bukit Barisan, terutama di Tapanuli (Batang Toru dan Padang Lawas), Minangkabau (Tiku dan Pariaman) serta Bengkulu (Rejang dan Lebong) mengirim hasil tambang emas mereka untuk di ekspor ke manca negara via Barus. Pedagang-pedagang emas dari Jawa sangat berperan meramaikan perdagangan emas di Barus dan di sepanjang “jalur emas” Bukit Barisan. Munculnya kota Barus abad ke 17-19 diluar kawasan Lobu Tua oleh penduduk Kerinci disebelah Timur Indrapura, dimungkinkan dalam kaitan perdagangan emas.
Dua Sriwijaya Orang Portugis pertama sesudah Marco Polo datang ke Barus dipastikan bukan mencari kamper (kapur barus) tetapi mencari emas. Tome Pires juga mengemukakan daftar bahan perdagangan di Barus : emas, sutera, kemenyan, kapur barus, lilin dan madu serta berbagai jenis obat-obatan. Dari daftar diatas dapat disimpulkan bahwa Barus merupakan pelabuhan dan sumber bahan dagang yang terkaya pada abad-abad 9 dan 10 masehi. Tetapi jaringan perdagangan manca negara ini seakan hanya didukung oleh hinterland pedalaman yang kaya. Memang hubungan kepedalaman, menurut kronik Batak berjalan sangat baik, mereka menghormati kepala-kepala suku apabuila datang berkunjung ke Barus. Tetapi sukar untuk dapat dimengerti pebila Barus tidak berada dalam kekuasaan kerajaan atau dilindungi oleh negara yang kuat ketika itu. Para arkeolog memang belum mendapatkan bukti yang dapat menjelaskan hubungan Barus dengan Sriwijya, walaupun pada masa Lobu Tua (sebelum abad ke 9), kapur barus telah di ekspor dan dipasarkan di Sriwijaya dan keping-keping mata uang emas Barus telah di 2