Analisis Kemiskinan merupakan persoalan yang sangat kompleks dan kronis. Karena sangat kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer. Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan. Dari variabel ini akan dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari dimensi pendidikan misalnya, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan angka yang cukup menggembirakan dibandingkan Malaysia Diragukan Pertumbuhan Ekonomi Capai 4,5 Persen Tahun 2009 Jakarta, Pelita Pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan angka yang cukup menggembirakan dibandingkan Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand; tetapi bukan berarti Indonesia lebih baik. Sebab, selama masyarakat Indonesia masih mau membeli sabun, membeli beras, dan membeli yang lain; pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap berjalan. Pengamat Ekonomi dari Econit, Dr Hendri Saparini, mengatakan hal itu ketika dihubungi Pelita, di Jakarta, Selasa (7/7). Malaysia dan Singapura negara kecil yang selalu bergantung pihak luar, sehingga pertumbuhannya lebih baik Indonesia. Negara kita ekonominya 85 persen dari konsumsi swasta, ya, jadi, jalan aja, jelasnya. Diakuinya, angka ekspor Indonesia belakangan ini memang turun, tapi tidak terlalu tinggi. Meski demikian, bila dibandingkan dengan India dan China, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada pada level di bawahnya. Pertumbuhan ekonomi China selalu double digit. Begitu juga India. Kedua negara itu sangat kompetitif soal manufakturnya sehingga pertumbuhan ekonominya cepat terdongkrak. China memiliki cadangan devisa mencapai 2 triliun dolar AS dan dipinjam-pinjamkan. Bahkan, yang mau impor ke negara itu pun tidak perlu membayar lebih dahulu. Ini kan merangsang investor, tuturnya. Sedangkan India dikenal sebagai raja tekstil dan selalu memberikan stimulus ekonomi dengan baik. Sementara Indonesia agak terbalik. Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp73 triliun untuk stimulus fiskal. Tetapi sebanyak 80 persen stimulus pajak dan 20 persen direct standing. Andaikata dibalik, yakni yang 80 persen untuk direct standing, pasti pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih menggembirakan, kata Hendri. Meragukan Di tempat terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Dr Sri Adiningsih, mengatakan target pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5 persen yang ditetapkan pemerintah diragukan dapat tercapai pada tahun 2009. Tidak ada indikator jelas yang menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5 persen itu. Berdasarkan perkembangan ekonomi pada kuartal II tahun 2009, tidak terlihat adanya indikasi signifikan yang menunjukkan kenaikan pertumbuhan ekonomi, jelasnya. Hal itu dapat dilihat dari jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) dan masih sulitnya perkembangan komoditas ekspor nasional. Banyaknya belanja masyarakat dalam beberapa bulan terakhir, khususnya selama proses Pemilu 2009, juga tidak dapat dijadikan indikator adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Karena kondisi itu lebih disebabkan adanya fresh money dari calon anggota legislatif (Caleg) yang ingin mendekati masyarakat, ujarnya. Sri Adiningsih juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal III tahun 2009 hanya sekitar 3 persen. Namun, kondisi itu bisa terbantu jika ada stimulus fiskal dari proses pemilihan Presiden yang berlangsung kondusif. Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2009 sebesar 4,5 persen yang dianggap sebagai target realistis untuk dicapai. Jumlah itu merupakan koreksi dari target 4,7 persen karena adanya penurunan penerimaan negara yang cukup besar akibat imbas krisis ekonomi global yang terjadi. Menurut Yudhoyono, angka 4,5 persen pada 2009 itu cukup konservatif di tengah krisis keuangan dunia yang membuat hampir setiap negara menurunkan target pertumbuhannya. Pemerintah telah siap untuk mengatasi berbagai kemungkinan yang terjadi sebagai dampak dari krisis keuangan dunia baik dari segi fiskal maupun kebijakan. Presiden Yudhoyono menyebutkan tujuh prioritas perekonomian Indonesia pada 2009 telah dirumuskan secara baik oleh pemerintah. Yaitu membatasi pengangguran akibat resesi dunia, mengelola inflasi, menjaga gerak sektor riil, mempertahankan daya beli masyarakat, melindungi ekonomi kaum miskin, memelihara kecukupan pangan dan energi, serta memelihara pertumbuhan ekonomi. Sementara Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofyan Wanandi, memprediksi
pertumbuhan ekonomi tahun 2009 mengalami penurunan dari 4,4 persen menjadi 4 persen di tengah pertumbuhan ekonomi global yang masih kontraktif. Penurunan ini disebabkan uang beredar di masyarakat akan berkurang, terutama pasca-Pemilu Presiden (Pilpres), ujarnya. Pertumbuhan ekonomi investasi barubaru ini, khususnya industri tekstil lebih disebabkan banyaknya pesanan baju dari para Capres dan Cawapres yang bergelut di Pipres. Pada Pilpres ini jumlah uang yang beredar mencapai Rp5 triliun hingga Rp10 triliun. Namun, pada Pemilu Legislatif dengan 1 juta caleg, jumlah uang beredar lebih dari itu, ungkapnya. Ia menjelaskan bila uang yang beredar terus mengalami penurunan pasca-Pilpres, maka diprediksi pertumbuhan ekonomi pada saat ini hanya mencapai 4 persen. Karena itu, setelah Pilpres selesai, maka pemerintah harus segera mencairkan anggaran belanja negara (APBN), sehingga pertumbuhan ekonomi bisa naik. Selain itu, kata Sofyan Wanandi, penurunan pertumbuhan ekspor Indonesia juga menjadi penyebab turunnya pertumbuhan ekonomi. Saya tidak punya angka berapa besar penurunannya, tapi diprediksi tahun 2009 tetap menurun, ujarnya. Bisa 4,7 persen Namun, pengamat ekonomi Faisal Basri optimistis target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2009 sebesar 4,5 persen akan tercapai, bahkan terlampaui hingga 4,7 persen. Jika target pertumbuhan ekonomi itu dikoreksi pemerintah menjadi 4,5 persen, saya malah yakin 4,7 persen bisa tercapai, tandasnya. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi 4,7 persen tersebut akan tercapai karena masih didorong oleh tingkat konsumsi masyarakat yang terus meningkat, nilai impor barang yang anjlok dan nilai investasi tidak seburuk yang diperkirakan sebelumnya. Begitu juga dengan tingkat inflasi tahunan pada 2009 yang diperkirakan akan turun hingga mencapai 4,5 persen, jauh dari tahun sebelumnya 6,04 persen. Apalagi hingga Mei 2009 menurut laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) laju inflasi pada Mei 2009 sebesar 0,04 persen. Sebelumnya, BPS juga menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih baik pada 2010 dengan perkiraan mencapai angka 5,5 persen dibandingkan 2009 yang mencapai 4 persen. Kepala BPS Rusman Heriawan, memperkirakan angka pertumbuhan ekonomi akan mencapai 5,5 persen dengan tingkat inflasi nasional pada 2010 diperkirakan mendekati 6 persen. Menurut Rusman, walaupun dalam catatan Indonesia tidak pernah mencapai angka inflasi sebesar 5 persen hingga saat ini, namun bila perekonomian terus membaik hingga 2010, estimasinya antara 4,5 persen hingga 6 persen. BPS mencatat laju inflasi pada Mei 2009 sebesar 0,04 persen, inflasi tahun kalender 0,10 persen, dan inflasi tahunan 6,04 persen. Tahun 2010 Deputi Menko Perekonomian, Mahendra Siregar, menambahkan pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan akan bergerak pada 5 sampai 6 persen pada 2010. Pertumbuhan ekonomi kuartal pertama tahun 2009 mencapai 3,47 persen, bukan tidak mungkin 2010 bergerak jadi 5-6 persen, ujarnya. Ia menambahkan pertumbuhan ekonomi saat ini diperkuat oleh pertumbuhan konsumsi pemerintah yang mencapai 19,35 persen, konsumsi rumahtangga 5,84 persen, dan investasi 3,51 persen. Sedangkan sektor yang mengalami penurunan adalah ekspor minus 19,1 persen dan impor minus 24,1 persen. Sedangkan sektor pertanian, transportasi, dan komunikasi serta utiliti mempunyai peranan yang kuat dalam memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal pertama 2009. Pertanian, transportasi, dan komunikasi yang kuat pertumbuhannya, kata Mahendra seraya menambahkan sektor perdagangan dan manufaktur kontribusinya yang paling kecil masingmasing 0,57 persen dan 1,62 persen. (oto/iz)