Bab1-communitydevelopment_final.docx

  • Uploaded by: ikapristina
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab1-communitydevelopment_final.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,529
  • Pages: 7
Memahami Konsep “Pengembangan Komunitas” Thomas Oni Veriasa1 Mashuri Waite12

Sejarah Partisipasi dalam Pengembangan Komunitas Pengembangan komunitas (Community Development) didefinisikan sebagai upaya membantu kelompok masyarakat agar memiliki suara dan pengaruh dalam isu-isu yang menyangkut kehidupan mereka sehingga apa yang menjadi kepentingan mereka lebih dapat terakomodir (Pitchford dan Henderson, 2008). Batten (1974) beranggapan bahwa pengembangan komunitas mengupayakan dua macam perubahan yang dapat memperbaiki keadaan komunitas: 1) memperbaiki lingkungannya dengan menyediakan jasa-jasa penting di tingkat lokal, regional maupun nasional seperti pembangunan klinik yang menyediakan jasa pelayanan kesehatan dan sekolah-sekolah yang menyediakan jasa pendidikan, dan 2) membuat perubahan dalam diri manusia sehingga kemampuan mereka berkembang untuk memperbaiki keadaan sendiri misalnya dengan peningkatan kapasitas untuk mengorganisir komunitasnya dalam memperjuangkan apa yang menjadi kepentingannya. Partisipasi memiliki sejarah panjang dalam praktek pengembangan komunitas namun itu dinamis baik dalam hal tujuannya maupun penerapannya (Hickey dan Mohan, 2004; Cornwall, 2006). Misalnya pada tahun 1920an partisipasi dalam pengembangan komunitas diberikan kepada masyarakat lokal di wilayah jajahan guna mempermudah kerajaan Inggris memerintah wilayah tersebut (Lugard, 1922, dalam Cornwall, 2006). Seiring perjalanan waktu, partisipasi mengalami perubahan makna lagi. Oleh sebagian praktisi, pada tahun 1970an partisipasi dalam pengembangan komunitas dimaknai sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan sosial dengan membebaskan masyarakat miskin dari penindasannya para penguasa ekonomi (Hickey dan Mohan, 2004). Batten pada tahun 1974 merumuskan bahwa tujuan pengembangan komunitas adalah memperbaiki keadaan masyarakat dengan memprioritaskan pada pemberian bantuan kepada mereka yang paling perlu, khususnya orang-orang miskin dan underprivileged. Nampak kental nuansa filantropi pada pengembangan komunitas di era ini. Kemudian pada tahun 1980an, partisipasi dalam pengembangan komunitas sering diartikan sebagai partisipasi masyarakat dalam pembiayaan proyek-proyek pembangunan (Cornwall, 2006). Dalam sejarahnya, praktek-praktek partisipasi dalam pengembangan komunitas sering mendapat kritikan karena berbagai masalah yang dimunculkan atau karena pencapaiannya yang tidak sesuai dengan yang semula dijanjikan. Praktek-praktek partisipasi pada tahun 1930an dituduh hanyalah selubung dari upaya memperkuat posisi elit-elit lokal dan merugikan orang yang paling miskin dan lemah (Cornwall, 2006) serta hanya menjadi strategi oleh administrasi kolonial Inggris untuk memberi kepuasan sementara bagi 1 2

Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W), Institut Pertanian Bogor University Of Hawa'i System

masyarakat yang dijajah tanpa memberi kekuasaan penuh (Cooke, 2004). Konsep partisipasi semacam ini lantas “dipinjam” dan dipraktekkan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk mengendalikan suku-suku Indian pada tahun 1940an (Cooke, 2004). Pada tahun 1990an, ketika isu kesetaraan gender semakin mengemuka, kritikan dialamatkan pada posisi perempuan yang seringkali tetap tertindas dalam kegiatan pengembangan komunitas secara partisipatif (Cornwall, 2006). Pengembangan komunitas secara partisipatif juga kerap dituduh sebagai alat untuk menetralisir kritikan oleh berbagai pihak terhadap berbagai proyek yang dijalankan lembaga-lembaga keuangan global seperti Bank Dunia (Cooke, 2004). Kritikan lain terhadap pengembangan masyarakat secara partisipatif adalah bahwa pihak luar (outsiders) memaknai perannya sebagai fasilitator secara dangkal, sehingga jika program yang diinisiasi oleh outsiders itu gagal maka si outsiders menempatkan faktor penyebab kegagalannya ada di pihak masyarakat lokal karena kurang menjalankan partisipasi mereka, dan bukan kegagalan di pihak fasilitator (Henkel dan Stirrat, 2001, dalam Cornwall, 2006). Kegagalan maupun penyalahgunaan pengembangan komunitas secara partisipatif menjadi kerap terjadi karena memang partisipasi itu tidak mudah untuk dijalankan (Batten, 1974; Williams, 2004). Ilustrasi sederhanya adalah bahwa memberitahukan sebuah ide atau inovasi kepada kelompok masyarakat akan jauh lebih mudah daripada mengajak kelompok masyarakat tersebut untuk memikirkan, mendiskusikan, memutuskan, dan menindaklanjuti kebutuhan dan kepentingan mereka (Batten, 1974). Dan ada terlalu banyak lembaga outsiders yang menargetkan penyediaan jasa-jasa kepada masyarakat tanpa melihat apakah jasa-jasa itu memang penting atau benar-benar membantu masyarakat (Batten 1974), dan tanpa dibarengi dengan proses mendasar untuk memberdayakan masyrakat agar mereka dapat lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (Hickey dan Mohan, 2004).

Apa itu Pengembangan Komunitas? Community development atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah pengembangan komunitas. Pengembangan komunitas memiliki dua suku kata yaitu “pengembangan” dan “komunitas” dimana keduanya memiliki definisi yang berdiri sendiri. Untuk memahami konsep pengembangan komunitas, langkah awal yang terpenting dapat di mulai dengan memahami konsep komunitas itu sendiri. Pertama, dalam perspektif sosiologi, komunitas diartikan sebagai warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat lebih luas (society) melalui kepentingan bersama (a community of interest) atau tingkat interaksi yang tinggi. Para anggota komunitas mempunyai kebutuhan bersama (common needs). Jika tidak ada kebutuhan bersama, itu bukan suatu komunitas (Jim Ife, 1995 dalam Nasdian, 2014). Definisi lain tentang komunitas dikemukakan oleh Mattessich dan Monsey (2004) di kutip Phillips dan Pittman (2009) bahwa masyarakat yang bertempat tinggal di dalam wilayah geografi dengan batas-batas tertentu dan memiliki ikatan sosial dan psikologi satu dengan yang lain dan dengan tempat dimana mereka tinggal. Kedua, pengembangan (development) ditafsirkan sebagai proses pembesaran pilihan rakyat, meningkatkan proses demokrasi partisipatif dan kemampuan orang untuk bersuara di dalam keputusan yang mempengaruhi hidup mereka, menyediakan “manusia” kesempatan untuk mengembangkan seluruh potensinya dan memungkikan rakyat miskin, perempuan dan petani untuk mengatur diri mereka serta bekerja sama (Crush, 1995). Pengembangan juga

dimaknai sebagai modernisasi, industrialisasi, urbanisasi, transformasi sosial dan politik, perbaikan teknologi serta pertumbuhan ekonomi. Namun secara implisit, dari semua pengertian tersebut menggambarkan bahwa pengembangan, mengikutsertakan perubahan ke depan secara langsung pada beberapa tujuan ekonomi dan sosial (Robinson dan Green, 2011). Dari kedua konsep diatas, kemudian lahirlah konsep “pengembangan komunitas”. Pengembangan komunitas bukanlah proses yang hanya melibatkan individu atau beberapa individu dalam kelompok. Pengembangan komunitas merupakan aksi kolektif komunitas menuju kualitas hidup yang lebih baik (Batten, 1974). Dengan demikian, pengembangan komunitas bersifat dinamis karena melibatkan interaksi sosial di dalam komunitas. Beberapa definisi yang berkembangan tentang pengembangan komunitas diantaranya adalah: PBB (1960) dikutip Nasdian (2014) mendefinisikan sebagai “sebuah proses dimana semua usaha swadaya masyarakat digabungkan dengan usaha-usaha pemerintah setempat untuk meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi sosial, dan budaya serta untuk mengintegrasikan masyarakat kedalam kehidupan berbangsa, bernegara dan memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi penuh pada kemajuan bangsa”. Christensen dan Robinson (1989) dikutip Robinson dan Green (2011) memandang pengembangan komunitas sebagai sekelompok orang bekerja bersama-sama di dalam tatanan masyarakat pada keputusan bersama untuk menginisiasi sebuah proses perubahan pada kondisi ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan mereka. Pengembangan komunitas adalah evolusi yang terencana dari seluruh aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya). Pengembangan masyarakat merupakan sebuah proses di mana anggota komunitas bersama-sama melakukan aksi kolektif dan mencari solusi atas masalah yang dihadapi bersama (frank dan smith, 1999). Merujuk beberapa definisi diatas, secara umum pengembangan komunitas berfokus pada proses untuk mendampingi komunitas secara bersama-sama menyelesaikan permasalahan mereka. Pada konteks yang sama, pengembangan komunitas merupakan aksi kolektif untuk sebuah hasil (result) dan dampak (outcomes) keberdayaan dari sebuah komunitas (community empowerment).

Tujuan, Prinsip dan Nilai Pengembangan Komunitas Tujuan Pengembangan Komunitas Tujuan dari pengembangan komunitas adalah bagaimana sebuah proses pendampingan masyarakat menghasilkan “keberdayaan” masyarakat. Keberdayaan adalah sebuah kondisi ketika komunitas memiliki kapasitas dan otoritas yang memadai untuk memilih. Proses pendampingan komunitas (community organizing) merupakan kegiatan pemberdayaan (empowerment) dimana pendamping membantu komunitas untuk memperoleh kapasitas (capacity) dan otoritas (power) untuk memilih apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Pada dasarnya pemberdayaan merujuk pada kekuatan politik (political power), yaitu kekuatan untuk mengambil keputusan (decision-making power). (Tacconi dan Tisdell, 1993 dalam Swanepoel dan Beer, 2006). Ife (1995) di kutip Nasdian (2014) memaknai pemberdayaan adalah “membantu” komunitas dengan sumber daya, kesempatan, keahlian dan pengetahuan agar kapasitas komunitas meningkat sehingga dapat berpartisipasi untuk menentukan masa depan warga

komunitas. Ginnodo (1997) secara sederhana mendefinisikan pemberdayaan adalah pemberian cara dan kesempatan untuk mengambil keputusan dan melakukan aksi-aksi yang berpengaruh langsung pada komunitas.

Prinsip-prinsip Pengembangan Komunitas Pengembangan komunitas merupakan suatu hal yang kompleks dan memiliki lintas disiplin ilmu serta aspek multidimensi di dalam prakteknya di komunitas. Hal ini disebabkan karena pengembangan komunitas tidak hanya memiliki fokus pada pembangunan fisik saja, tetapi juga perlu untuk mengembangkan aspek-aspek sosial, politik, ekonomi, budaya dan lingkungan dimana komunitas itu berada (Phillips dan Pittman, 2009). Untuk memudahkan di dalam melakukan kegiatan pengembangan komunitas, prinsipprinsip pengembangan komunitas dikembangkan sebagai rambu-rambu bagi pelaksana kegiatan agar dapat mencapai hasil yang maksimal. Prinsip-prinsip kunci ini dapat memandu para pelaku pengembangan komunitas untuk membangun proses partisipasi dan aksi komunitas secara fleksible dan dinamis. Phillips dan Pittman (2009), telah mendeskripsikan prinsip-prinsip pengembangan komunitas yang dikumpulkan dan dibangun dari tataran pengalaman lapangan para peneliti dan konsultan pengembangan komunitas selama 25 tahun. Prinsip-prinsip ini merupakan syarat bagi keberhasilan kegiatan pengembangan komunitas; 1. Membantu diri sendiri dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri (Self help and self responsibility). Tidak ada yang lebih mengerti dan memahami apa yang perlu dilakukan dan dirubah di dalam komunitas selain komunitas itu sendiri. Peran pendamping adalah mengorganisasikan komunitas untuk merealisasikan kekuatan, kapabilitas, dan potensi mereka kearah perubahan yang lebih baik. 2. Partisipasi di dalam pengambilan keputusan publik. Tidak semua individu dalam komunitas dapat terlibat langsung dan berpartisipasi di dalam kegiatan pengembangan komunitas. Yang terpenting ide, gagasan mereka terakomodir didalam pengambilan keputusan publik melalui perwakilan komunitas mereka. 3. Representasi yang luas dan adanya perspektif dan pemahaman tentang kondisi komunitas yang didampingi. 4. Menggunakan metode yang tepat untuk memproduksi informasi yang akurat didalam melakukan kajian komunitas. 5. Basis untuk perubahan komunitas adalah konsensus bersama. 6. Semua individu didalam komunitas memiliki hak mendengarkan didalam diskusi-diskusi terbuka. 7. Setiap individu didalam komunitas boleh berpartisipasi merekayasa atau me-rekaulang komunitas mereka. 8. Hak di dalam partisipasi harus mendatangkan tanggung jawab untuk respek terhadap individu komunitas yang lain dan juga terhadapa pandangan mereka. 9. Ketidaksepakatan dan ketidaksepahaman harus fokus pada isu-isu dan solusi pengembangan komunitas dan bukan pada kepribadian atau orang-orang tertentu dan atau kekuatan politik tertentu.

10. Kepercayaan (trust) adalah esensi dari hubungan kerja yang efektif dan harus dibangun dibangun didalam komunitas sebelum mereka dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. Dari banyaknya prinsip- prinsip dalam pengembangan komunitas yang dikembangkan baik itu secara teori maupun berbasis pengalaman lapangan, setidaknya ada 6 kata kunci yang dapat memudahkan kita memahami prinsip-prinsip pengembangan komunitas yaitu: 1. Membangun kepercayaan (trust building). 2. Pemahaman mengenai kondisi yang didampingi (understanding local context and content) 3. Didapatkan kader lokal yang militan dan potensial 4. Penyadaran kritis untuk sebuah perubahan (perubahan sikap). 5. Membangun konsensus bersama 6. Kekuatan pengambilan keputusan

Apa nilai-nilai yang perlu dibangun di dalam pengembangan komunitas? Di dalam pengembangan komunitas, sejumlah nilai-nilai sosial yang menjadi dasar bagi praktek-praktek pengembangan komunitas telah diidentifikasi. Nilai-nilai ini penting untuk dipahami terutama bagi para pendamping agar kegiatan pengembangan komunitas mencapai tujuan yang diharapkan. 1. Partisipasi. Ketika memobilisasi komunitas di dalam kegiatan pengembangan komunitas, para pelaku pengembangan komunitas semestinya sudah jelas tentang partisipasi seperti apa yang seharusnya terjadi. Partisipasi tidak sama dengan keikutsertaan (involve). Di dalam partisipasi terdapat kekuatan mengambil keputusan. Para pelaku pengembangan komunitas seringkali terjebak dengan ketokohan sebagai representasi komunitas, sehingga aspirasi yang diharapkan muncul dari komunitas sasaran hampir tidak pernah tercapai. Oleh karena itu, partisipasi harus dibangun dan dikembangkan mulai dari lapisan masyarakat terendah. Partisipasi di dalam demokrasi dapat membantu perkembangan di dalam melawan sikap apatisme, frustasi dan kebencian yang timbul akibat perasaan kehilangan kuasa (powerlessness) dan penindasan (oppression) yang terjadi di hadapan struktur kekuasaan yang tidak responsif (Campfens, 1997). 2. Pemberdayaan (empowerment) Banyak orang sering memaknai pemberdayaan dalam pemahaman yang sempit. Seringkali ketika mereka melakukan peningkatan kapasitas komunitas seperti ketrampilan, mereka menyebutnya pemberdayaan. Ketika komunitas terlibat dalam kegiatan atau program, mereka menganggapnya sebagai pemberdayaan. Dan yang lebih parah lagi adalah ketika mereka memberi bantuan (charity), itu pun mereka akui sebagai pemberdayaan. Jika pemberdayaan adalah jantung dari praktek masyarakat yang kritis, maka daya (kekuatan) dan pemanfaatannya adalah inti dari pemberdayaan. Hanya melalui

keterlibatan dengan struktur dan proses kekuatan sosial, politik dan ekonomi maka masyarakat dapat secara efektif bekerja untuk menghadapi kelemahan, pengabaian dan penindasan yang mereka alami (Butcher dkk, 2007 dalam Ledwith, 2011) 3. Kepemilikan (Ownership) Di banyak tempat, kegiatan pengembangan komunitas tidak berhasil karena persoalan “kepemilikan”. Kegiatan pengembangan komunitas seringkali melibatkan komunitas hanya sebatas keikutsertaan dan “keproyekan” sehingga ketika proyek selesai, kegiatan pengembangan komunitas juga selesai tanpa membuat komunitas merasa perlu untuk meneruskannya. Kegiatan pengembangan komunitas seharusnya mampu menciptakan kesadaran kritis akan sebuah perubahan pandangan bahwa kegiatan-kegiatan pengembangan komunitas itu adalah milik komunitas sendiri dan untuk masa depan mereka sehingga mereka bertanggung jawab penuh terhadap keberhasilannya. Upaya-upaya membangun kepemilikan (ownership), dapat dibangun dengan mengandalkan kapasitas dan inisiatif-inisiatif dari kelompok dan komunitas lokal untuk mengidentifikasi kebutuhan, mengidentifikasi permasalahan dan perencanaan serta mengeksekusi program-program aksi yang sesuai; dalam hal ini, tujuan-tujuan program harus membantu perkembangan kepercayaan diri dari kepemimpinan komunitas, meningkatkan kompetensi, dan mengurangi ketergantungan pada intervensi pemerintah, lembaga-lembaga non pemerintah dan profesional (Campfens, 1997). 4. Modal sosial (Social Capital) Uphoff di kutif Yustika (2013:140) mendefinisikan modal sosial sebagai akumulasi dari beragam tipe dari aspek sosial, psikologi, budaya kelembagaan dan aset tak terlihat (intangible) yang mempengaruhi perilaku kerjasama. Modal sosial baru terasa bila telah terjadi interaksi dengan orang lain yang dipandu oleh struktur sosial (Yustika, 2013). Kepercayaan (trust) adalah basis yang membentuk modal sosial. Kepercayaan akan berkembang ketika individu-individu saling percaya dan berjaringan satu dengan yang lain di dalam sebuah institusi (Svendsen dan Svendsen, 2009). Modal sosial yang dibangun oleh kepercayaan diantara individu di dalam komunitas akan berkontribusi besar terhadap keberhasilan aksi kolektif. Dalam merekonstruksi modal sosial, komunitas yang kooperatif, bertanggung jawab, dan aktif yang terlibat baik itu pria maupun wanita seharusnya dikelola dan dimobilisasi untuk tujuan-tujuan saling membantu (mutual aid), menolong diri sendiri (self help), memecahkan masalah (problem solving), integrasi sosial (Social integration) dan atau aksi sosial (social action). Integrasi komunitas seharusnya dipromosikan di dalam dua rangkaian hubungan: “relasi sosial” diantara keberagaman kelompok didalam komunitas dengan “relasi struktural” diantara lembaga-lembaga yang terlibat didalam pengembangan komunitas (Phillips dan Pittman, 2009).

PUSTAKA Batten, T.R. 1974. The major issues and future direction of community development. Community Development Journal, 9(2): 96–103. Campfens, Hubert (Eds). 1997. Community Development Around The World: Practice, Theory, Research, Training. University of Toronto Press. Toronto, Canada. Chambers, Robert. 1992. Rural Appraisal: Rapid, Relaxed, and Participatory. Institute of Development Studies Discussion Paper 311. Sussex: HELP. Cooke, B. 2004. Rules of thumb for participatory change agents. Dalam Hickey, S dan G Mohan (eds). 2004. Participation: from tyranny to transformation? Exploring new approaches to participation in development. London: Zed Books. Cornwall, A. 2006. Hirtorical perspectives on participation in development. Commonwealth & Comparative Politics 44(1): 62-83. Crush, Jonathan. 1995. Power of Development. Routledge. New York Frank, Flo and Anne Smith. 1999. The Community Development Handbook: A Tool To Build Community Capacity. Canada. Minister of Public Works and Government Services Canada. Ginnodo, Bill. 1997. The Power Of Empowerment: What The Expert Say and 16 Actionable Case Studies / Researched And Edited by Bill Ginnodo. Pride Publications, Inc. Arlington Heights, USA. Hickey, S dan G Mohan. 2004. Towards participation as transformation: critical themes and challenges. Dalam Hickey, S dan G Mohan (eds). 2004. Participation: from tyranny to transformation? Exploring new approaches to participation in development. London: Zed Books. Ledwith, Margaret. 2011. Community Development: A Critical Approach. Second Edition. The policy Press. Bristol. UK Nasdian, Fredian Tonny. 2014. Pengembangan Masyarakat. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta Phillips, Rhonda dan Robert H. Pittman. 2008. An Introduction to Community Development. Taylor & Francis E-Library. New York. Pitchford, M dan P Henderson. 2008. Introduction. Making spaces for community development. Bristol:The Policy Press. Robinson, Jerry W dan Gary Paul Green. 2011. Introduction to Community Development: Theory, Practice, and Service-Learning. SAGE Publication Inc. USA Svendsen, Gert Tinggaard dan Gunnar Lind Haase Svendsen. 2009. Handbook of Social Capital: The Troika of Sociology, Political Science and Economics. Edward Elgar Publishing Limited. UK. Swanepoel, Henni dan Frik De Beer. 2006. Community Development: Breaking The Cycle Of Poverty. Fourth Edition. Juta and Co Ltd. Lansdowne, South Africa. Williams, G. 2004. Evaluating participatory development: tyranny, power and (re)politicization. Third World Quarterly 25(3): 557-578. Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori dan Kebijakan. Jakarta. Penerbit Erlangga.

More Documents from "ikapristina"