As Riaa A A A A A A A A

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View As Riaa A A A A A A A A as PDF for free.

More details

  • Words: 11,066
  • Pages: 24
Posted March 9th, 2008 by taufikahmad •

Ilmu Politik

Pengantar Benarkah sejarah itu berulang? Bagi K.R. Popper, kemungkinan akan pengulangan sejarah memang ada, namun tidak pernah pada tingkat yang sama, apalagi kalau kejadiannya merupakan suatu kejadian yang mempunyai arti historis dan punya pengaruh yang bertahan lama. Peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke Reformasi dalam tinjauan geopolitik Indonesia makro adalah dua buah fakta pengulangan sejarah yang menempatkan sosok presiden sebagai subyek sekaligus obyek perubahan. Namun, secara kontekstual masing-masing memiliki faktor determinisme kausalitasyang berbeda. Masa transisi dalam sebuah konstalasi politik negara merupakan periode rekonsolidasi antara kekuatan politik yang menghendaki perubahan. Rekonsolidasi dilakukan dalam level elite sekaligus upaya pelibatan basis massa rakyat sebagai pemegang legitimasi negara.Masa transisi merupakan periode menentukan dalam sebuah perkembangan politik , sehingga membutuhkan sebuah konsistensi, energi ekstra dan konsolidasi dari kelompok progresif. Sebab, rekonsolidasi tidak hanya sekadar menyatukan potensi kekuatan kelompok progresif,yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mengantisipasi kekuatan status quo (konservatif). Bahkan, mengawal sebuah perubahan jauh lebih penting dari memulai perubahan. Indonesia setidaknya telah mencatat dua era transisi yang penting, yakni era peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke Reformasi. Peralihan rezim Orde Lama ke Orde Baru dalam skop nasional selama ini dipahami melalui buku-buku teks yang memuat kronologi sejarah nasional. Penulisan sejarah yang ‘monolog’ dan cenderung pro-pemerintah (buku putih Orde Baru). Sedangkan proses jatuhnya Orde Baru yang masih digolongkan sebagai sejarah kontemporer dapat diakses secara luas dan variatif. Indonesia yang menganut sistem negara kesatuan, dalam proses meraih legitimasinya hingga saat ini, kerap dihadapkan pada permasalahan disintegrasi. Kondisi geografis yang terdiri dari ribuan pulau, realitas multikultur, etnis, suku, dan agama menjadi tantangan tersendiri dalam menjaga kukuhnya integritas nasional. Dalam tinjauan historis,proses konsolidasi para pemuda dapat terwujud melalui ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928, yang selanjutnya menjadi bekal peneguhan visi mewujudkan kemerdekaan, hingga lahirnya konsep negara kesatuan. Perjalanan sejarah lahirnya negaraIndonesia lahir melalui kesamaan visi melepaskan diri dari imprealisme sekaligus merupakan wujud ikatan emosionil sebagai bangsa bekas jajahan Belanda. Setelah revolusi, bagaiamana proses rekonsolidasi sebagai sebuah negara baru berlangsung? Dinamika politik nasional diwarnai dengan aksi reaktif-sporadis, seperti DI/TII, PRRI/Permesta, APRA, yang ditengarai tersusupi oleh pihak luar (Belanda) yang masih ingin menancapkan kuku imprealismenya di Indonesia. Proses peralihan Orde Lama ke Orde Baru sesungguhnya merupkan buah dari guncangan politik nasional. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 adalah letupan revolusi yang mengantarkan runtuhnya pemerintahan Orde Lama. Memahami dinamika politik nasional tidak serta merta menempatkannya paralalel dengan kondisi politik di tingkat lokal. Kecuali konflik yang murni lahir dari gesekan ideologi, motif, instrumen dan konstalasi politik nasional tidak mutlak berlanjut dan meretas ke daerah. Permesta, adalah salah satu contoh yang dapat menggambarkan premis di atas. Beragam tulisan sejarah menginterpretasikan pemberontakan Permesta dengan penafsiran yang berbeda. Di Sulawesi Selatan, Permesta dianggap hanya sebagai kendaraan politik untuk mengakomodir sebuah kekuatan politik (militer) yang terdiskreditkan oleh pimpinan militer pusat, Permesta dinilai sebagai sebuah alat merebut simpatik kalangan petinggi militer pusat.

Tesis Anhar Gonggong menilai Permesta hanya merupakan letupan kekecewaan tokoh Kahar Musakkaryang tidak mendapat tempat dalam rasionalisasi TNI. Bagaimana ekses eskalasi politik nasional (pusat) terhadap dinamika politik lokal? Jika Sumpah Pemuda 1928 menjadi pemicu tumbuhnya semangat persatuan, dimaklumi sebagai sebuah spirit yang murni lahir untuk sebuah kemerdekaan, dengan konsep negara kesatuan, dinamika politik nasional setidaknya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap dinamika politik di tingkat lokal. Tulisan ini akan mengurai dinamika politik kabupaten Bone di dua masa transisi politik. A. Bone pada Masa Peralihan Orde Lama ke Orde Baru Situasi perpolitikan nasional menjelang runtuhnya Orde Lama, ditandai dengan pertarungan perebutan pengaruh dan upaya penciptaan hegemoni pada pemerintahan. Kekuatanyang dominan dan memiliki pengaruh, diantaranya adalah Militer (Angkatan Darat), Masyumi, PNI, PKI, dan Soekarno. Namun, perkembangan situasipolitik membawa perubahan yang lebih cepat. Semula berhembus isu Dewan Jenderal yang berada dalam tubuh Angkatan Darat dan dituduh akan melakukan kudeta. Peristiwa Gerakan Tiga Puluh September (G30S) telah membuka peta politik menjadi semakin teransparan. Saat itu, PKI menjadi satu-satunya kelompok yang dituduh sebagai dalang dari upaya kudeta tersebut. Puncak dari konstalasi politik tersebut menggiring PKI tertuduh sebagai dalang dan pelaku pemberontakan. Akibatnya, PKI tidak saja terdepak dari kedudukan politiknya di kabinet maupun di parlemen. Bahkan, militer di bawah kendali Soeharto bersama kelompok massa demonstran dari kalangan mahasiswa dan pelajar (KAMMI dan KAPPI) seakan terhipnotis terbawa isu untuk menghancurkan PKI dan jaringan Ormasnya Situasi Keamanan Berita mengenai peristiwa G30S segera tersosialisasi hingga ke daerah. Dengan sigap, pada tanggal 1 Oktober 1965 Panglima Operasi Tumpas/KoordinatorIndonesia Bagian Timur, Mayjend U. Rukman menyerukan Perintah Harian, yang isinya menyerukan kepada semua pihak untuk tetap setia mempertahankan doktrin revolusi dan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Seruan itu juga menginstruksikan agar meningkatkan pengamanan terhadap Angkatan Bersenjata dan aparatur pemerintah sebagai alat revolusi, dan tetap mensukseskan peringatan hari Angkatan Bersenjata, 5 Oktober. Perintah harian tersebut tidak secara eksplisit menyebut keterlibatan PKI sebagai dalang gerakan “Kontra Revolusi”. Peristiwa G30S secara langsung tidak memberi pengaruh terhadap kondisi keamanan daerah dan sama sekali tidak mempengaruhi tatapolitik dan pemerintahan di Sulawesi Selatan. Hingga tanggal 16 Oktober 1965 upaya rehabilitas sebagai bentuk dukungan terhadap tindakan pemerintah pusat, Pangdam XIV Sulselra dan jajarannya bersama Gubernur KDH Sulawesi Selatan mengeluarkan seruan bersamayang isinya: 1. membantu tugas ABRI beserta pemerintah daerah dalam menjalankan tugasnya 2. wasapada terhadap usaha-usaha provokasi yang dapat merusak keamanan dan ketenteraman 3. hindari usaha-usaha yang dapat melumpuhkan ketahanan nasional baik yang bersifat siprituil, ideologis, dan materil. 4. galang persatuan dan kesatuan nasional 5. teruskan usaha-usaha rehabilitasi dan pembangunan 6. tingkatkan kewasapadaan terhadap Nekolim Seruan bersama yangdikeluarkan oleh Gubernur Sulsel bersama pimpinan Militer Daerah memberi kesan kehati-hatian dalam mengambil sikappolitik. Sikap tersebut menunjukkan, bahwa pemerintah daerah lebih memprioritaskan untuk menjaga integritas nasional. Data lengkap tugas ini dapat didownload di bawah ini

Posted January 29th, 2008 by aris eko •

Sosial Politik

Dayak dalam Imajinasi Politik Elit Oleh : Aris Eko Seorang ilmuwan asing pernah bilang bahwa nasib orang Dayak adalah dijajah, bukan memerintah. Itu kata Van Linden, seorang antropolog kolonial kelahiran Belanda. Catatan serupa juga dibuat oleh Magenda (1991), yang kurang lebih melukiskan betapa orang Dayak selama berabad-abad mengalami marjinalisasi dalam skala yang sangat luas baik oleh kekuatan politik lokal, nasional, maupun kolonial. Citra populernya sebagai kelompok yang “terbelakang”, “primitif” dan “liar” semakin memperparah marjinalisasi politik, ekonomi, dan budaya yang mereka derita. Barangkali kesan atau nasib semacam itu belakangan ini tak nampak lagi. Di mana-mana, di Kalimantan Timur, dan mungkin di bagian lain pulau Borneo ini,Dayak telah menjadi salah satu ikon utama budaya daerah. Beragam artefak dan penanda kultural Dayak bisa kita saksikan hampir di berbagai tempat mendominasi wajah dunia perkotaan. Coba cermati berbagai gedung dan bangunan fasilitas publik di kota Samarinda dan Balikpapan, seperti gedung pemerintahan, perguruan tinggi, bangunan pasar, dan bandar udara di sana. Ornamen-ornamen khasDayak menghiasi hampir semua bangunan. Ukirukiran, lukisan dan patung-patung, bahkan rumah jabatan (pendopo) Gubernur Kalimantan Timur menggunakan nama lamin etam sebagai sebutan istimewanya. Selain itu lihat pula di pasar-pasar kota. Mudah sekali ditemukan pernik-pernik, souvenir seperti gantungan kunci, tas, patung dan lainnya yang berornamen Dayak dijual bebas. Semua gambaran tentang modernitas dan kemajuan itu justeru hadir bersamaan dengan menyoloknya citra etnik Dayak yang tradisional dan dulu dicitrakan primitif itu. Orang Dayak sudah bangkit. Begitu kesan banyak orang melihat gegap gempitanya representasi identitas Dayak dalam ruang publik itu. Apalagi beragam organisasi yang mengatasnamakan komunitas Dayak juga bermunculan. Kebanyakan para elitnya kalau tidak menduduki jabatan penting di birokrasi, sebagian menempati posisi sentral di partaipolitik. Tak bisa dimungkiri semua kenyataan ini memperkuat kesan bahwa ekspresi kultural orangorang Dayak bukan hanya telah terepresentasikan sepenuhnya dalam ruang publik. Di sisi lain mereka juga seolah memiliki akses kekuasaan yang terbuka atau setidaknya terwakili secara politik. Dulu adalah peristiwa langka bila orang Dayak yang tinggal di kampung terpencil bisa menghadiri kegiatan partai besar, apalagi mengenal kota Jakarta. Tapi, kini, pengalaman macam itu bukan peristiwa yang mustahil lagi. Awal September lalu, misalnya, seorang pengurus partai besar di Kaltim membawa serta seorang kakek tua warga Ritan menuju Jakarta. Tabang, namaorang itu, yang masih memelihara daun telinganya yang panjang, diajak mengikuti rakernas partai itu. Di Jakarta, lelaki tua ini menjadi tontonan peserta lainnya dan sibuk melayani ajakan foto bersama. Si politikus partai ini pun tersenyum bangga lantaran dipuji habis karena partainya mampu menembus pelosok-pelosok desa tempat tinggal si kakek tua. Gebyar budaya Dayak sebagai representasi identitas daerah semacam ini rupanya belakangan juga diramaikan oleh berbagai proyek kebudayaan. Keinginan untuk menggerakkan sektor pariwisata sebagai salah satu ladang penghasil devisa turut mendorong pemerintah untuk melakukan revitalisasi. Ritual-ritual, kesenian dan simbol-simbol budayaDayak direkonstruksi habis-habisan. Seperti terlihat belakangan ini dimana pemda Kutai Kartanegara merencanakan proyek pembangunan lamin-lamin baru di sejumlah desa berpenghuni komunitas Dayak. Begitulah. Imajinasi tentang Dayak yang dulu dipandang primitif dan terbelakang itu

direkonstruksi kembali. Tidak sekadar lewat himbauan dalam pidato-pidato para pejabat, tapijuga lewat promosi-promosi agen pariwisata. Siapa diuntungkan? Kalau dicermati, dinamika semacam ini sebetulnya sudah mulai marak tahun 90-an abad lalu. Terutama soal upaya pemerintah untuk menggali sumber devisa alternatif di luar migas. Selain itu, konteks kebutuhan pariwisata internasional yang memburu keotentikan dan keeksotisan budaya “asli” telah mendorong pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk menghidupkan kembali keunikan tradisinya. Dalam konteks inilah kebudayaanDayak yang barangkali sebagian sudah mulai ditinggalkan lalu direkonstruksi, direvitalisasi. Lamin-lamin baru dibangun kembali atas fasilitas pemerintah, yang meskipun merujuk pada model lama yang dianggap “asli” namun kini membawa makna dan fungsi-fungsi baru. Demikian pula simbol-simbol budaya Dayak, seperti patung, ukiran, burung Enggang atau tari-tarian yang dulu hanya bisa kita jumpai dalam upacara-upacara ritual, kini ambil bagian dalam proses komodifikasi tersebut. Belakangan beragam pertanyaan muncul di tengah gegap gempita “perayaan budaya” ini. Kegelisahan justru muncul dari lubuk hati warga komunitasDayak sendiri yang tetap hidup miskin di kampung-kampung terpencil. Fakta semacam yang berikut ini tak sedikit dijumpai di kampung-kampung itu dimana warga Dayak mulai mempertanyakan sendiri perubahan-perubahan yang dihadapinya. Seorang kontraktor pemerintah yang menggarap proyek pembangunan lamin di Desa Sungai Bawang, Kukar, menuai protes keras dari warga lantaran tak sesuai dengan fungsi tradisionalnya. “Lamin yang dibangun itu tidak sesuai, masak dibangun seperti stadion.,” protes Mama Mona salah seorang penduduk Sungai Bawang. Apa yang dinyatakan sebagai “ketaksesuaian” itu sudah jelas tidak hanya berkenaan dengan bangunan lamin yang menurut warga Dayak sangat asing. Tetapi lebih dari itu karena dianggap tak sesuai dengan nilai dan fungsi rumah panjang itu bagi kehidupan warga Dayak. Dengan lamin model baru itu dipastikan fungsi sosial dan budaya komunitas Dayak itu akan tergusur. Apalagi terdengar sebelumnya bahwa lamin baru itu nantinya hanya akan difungsikan sebagai tempat pertemuan adat, gelar tari-tarian, atau objek wisata belaka. Respon ini mau tak mau mendorong komunitas Dayak untuk mempertanyakan kembali seberapa besar keuntungan diperoleh dari kecenderungan-kecenderungan baru ini. Tak sedikit orang Dayak mengeluh terkait gambaran-gambaran negatif yang direproduksi seputar dirinya di dalam poster-poster pariwisata. Banyak pula yang kecewa lantaran mereka tidak banyak mengunduh untung dari artefak, ornamen dan simbol-simbol ke-Dayak-an yang kini dikonsumsi luas oleh orang-orang kota. “Banyak patung burung Enggang dipasang di dinding dan puncak-puncak gedung pemerintahan. Tetapi tetap saja kami susah dan tidak berkesempatan hidup sejahtera,” ujar Albert, seorang warga Ritan Tabang. Kenyataan yang sama juga nyaris terlihat di pasar-pasar dan toko souvenir. Hampir semua penjual pernik-pernik dan hiasan khas Dayak ini didominasi oleh orang Bugis dan Banjar. Hanya sebagian kecil saja orang Dayak yang menjajakan dan menikmati buah warisan tradisi budayanya itu. Dilema-dilema macam inilah yang hampir pasti dirasakan oleh sebagian besar orang Dayak. Di satu sisi eksistensi diri dan ekspresi budaya mereka seolah diapresiasi secara luas oleh publik. Namun, di sisi lain, mereka justru menghadapi problem lamayang seolah tak pernah terselesaikan. Mama Wek dan Yurni, misalnya, mengaku revitalisasi itu tak begitu bermakna bagi hidupnya. Bagi perempuan warga Lung Anai ini, pembangunan desa budaya,lamin, dan revitalisasi seni tradisi Dayak hanyalah pengakuan artifisial terhadap tradisi budaya orang-

orang Dayak. Karena yang penting bagi dirinya adalah bagaimana mereka bisa hidup tenang, nyaman dan aman di tanah tempat tinggalnya. “Kalau mereka mengakui tradisi kami, seharusnya mereka juga mengakui hak atas tanahtanah kami,” tandas Yurni. Ya, memang menjadi sebuah ironi, bila imajinasi politik warga Dayak justeru berjarak lebar dengan imajinasi para elitnya. • Posted November 26th, 2009 by deddy_dab •

Skripsi Lainnya

abstraks: SEJARAH ABSTRAK SOEKARNO DALAM DEMOKRASI TERPIMPIN LAHIRNYA DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959 DAN PENGARUHNYA TERHADAP KONDISI POLITIK DI INDONESIA TAHUN 1959 Penelitian sejarah ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang perubahan kondisi politik di Indonesia tahun 1959, yang mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan ketatanegaraan dan konflik politik di Indonesia. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana Soekarno berperan aktif didalamnya dan juga pengaruh-pengaruh lain yang membentuk sistem pemerintahan baru, yang disebut Demokrasi Terpimpin. Hal tersebut jelas melalui berbagai peristiwa-peristiwa lainnya, seperti keluarnya Dekrit Presiden 5Juli 1959 dan kebijakan-kebijakan politik setelah diberlakukannya sistem Demokrasi Terpimpin, sehingga kajian-kajian tersebut tidak lepas dari tujuan penelitian ini Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kegagalan Badan Konstituante dalam menetapkan Undang-undang Dasar pengganti Undang-undang Dasar Sementara tahun 1950, mengakibatkan Presiden Soekarno mengambil tindakan menetapkan keadaan darurat negara oleh sebab tidak adanya dasar hukumyang mantap dalam menjalankan pemerintahan. Sehingga Presiden Soekarno dengan permintaan Militer/AD dan PKI, mengeluarkan Dekrit Presiden 5Juli 1959 yang berisikan kembalinya Undang-undang Dasar 1945, pembubaran Konstituante, serta membentuk MPRS dan DPAS. Dengan keluarnya dekrit tersebut, kondisi politik Indonesia pun ikut berubah, dari yang sebelumnya dianggap pemerintahan parlementer menjadi pemerintahan terpimpin, serta keadaan ini menyulut beberapa konflik didalamnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gagalnya usaha untuk kembali ke Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) oleh Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959, mendorong Presiden Soekarno untuk menyatakan suatu keadaan yang membahayakan stabilitas Negara. Sehingga pada tanggal 5 Juli 1959, dalam suatu acara resmi di Istana Merdeka, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD1945 dalam kerangka sebuah sistem demokrasi yakni Demokrasi Terpimpin. Perkembangan Demokrasi Terpimpin dapat dibagi dalam tiga tahapan. Tahap pertama, dari bulan Februari 1957 hingga Juli 1958 yang mencakup perkembangan dari muncul sampai berakhirnya masalah di daerah-daerah. Dalam tahap ini, ide tersebut masih kurang berkembang dalam pengertian konseptual, karena Dewan Nasionalyang baru dibentuk dan diberi tugas untuk mengembangkan pemikiran ini sedang sibuk dengan masalah yang ada

lainnya, seperti halnya kampanye pembebasan Irian Barat, dan perampasan perusahaanperusahaan Belanda. Tahap kedua, dari bulan Juli 1958 hingga November 1958, diusahakannya perumusan ide dasar Demokrasi Terpimpin. Dalam tahap ini, pertentangan antara pendukung dan penentang Demokrasi Terpimpin menjadi jelas. Masalah-masalahnya ialah dasar-dasar konstitusional bagi Demokrasi Terpimpin, kedudukan konstitusional bagi golongan fungsional di tengahtengah partaipolitik. Tahap ketiga, dari bulan November 1958 hingga Juli 1959, Demokrasi Terpimpin memasuki tahap pelaksanaan melalui jalan kembali ke Undang-undang Dasar 1945 dan perubahan seluruh sistem politik. Kemudian dalam tahap ini Angkatan Darat (AD) memainkan peran yang sangat menentukan, terlebih lagi munculnya anggapan bahwasanya yang menciptakan Demokrasi Terpimpin bukanlah Soekarno melainkan Jenderal Nasution. Karena ketiga inovasi yang terpenting dalam bentuk Demokrasi Terpimpin yaitu golongan fungsional, dwifungsi (pada waktu itu, tahun 1958, Jalan Tengah Tentara) dan Undang-Undang Dasar 1945, seluruhnya berasal dari kantor Jenderal Nasution. Sejak Undang-undang Keadaan Bahaya (Staat van Orlog en Beleg, SOB) tahun 1957, dan penasionalisasian firma-firma Belanda pada tahun1958 dalam bidang ekonomi, selanjutnya AD mulai berperan aktif dalam politik. Dan sejak itu juga Soekarno hanya bisa mencari akal untuk membatasi peranan tentara dari sudut politik, sehingga kedudukannya defensif/bertahan hingga akhir. Dekrit yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959) mendapatkan sambutan dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan negara yang stabil. Namun kekuatan Dekrit tersebut bukan hanya berasal dari sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung (MA) dan Kepala Satuan Angkatan Darat (KSAD). Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5Juli 1959 tersebut, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959 diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri pertama. Demokrasi Terpimpin sebenarnya, terlepas dari pelaksanaannya yang dianggap otoriter, dapat dianggap sebagai suatu alat untuk mengatasi perpecahan yang muncul dari dalam politik Indonesia pada pertengahan tahun 1950-an. Untuk menggantikan pertentangan antara partaipartai di parlemen, suatu sistem yang lebih otoriter diciptakan oleh Presiden Soekarno. Ia memberlakukan kembali konstitusi presidensial tahun 1945 pada tahun 1959 dengan dukungan kuat dari AD. Akan tetapi Soekarno menyadari bahwa keterikatannya dengan AD dapat membahayakan kedudukannya, sehingga ia mendorong kegiatan-kegiatan dari kelompok-kelompok sipil sebagai penyeimbang terhadap AD. Dari kelompok sipil ini yang paling utama adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan juga dari golongan agama meski tidak terlalu signifikan, yaitu khususnya yang diwakili oleh NU yang tergabung dalam poros nasakom Soekarno semasa pemberlakuan Demokrasi Terpimpin. Meskipun pemimpin PKI maupun AD mengaku setia kepada Presiden Soekarno, mereka masing-masing terjebak dalam pertentanganyang tak terselesaikan. Soekarno berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling bersaing melalui Demokrasi Terpimpin dengan jalan turut membantu mengembangkan kesadaran akan tujuantujuan nasional. Ia menciptakan suatu ideologi nasionalyang mengharapkan seluruh warga negara memberi dukungan kesetiaan kepadanya. Pancasila ditekankan olehnya dan dilengkapi dengan serangkaian doktrin seperti Manipol-Usdek dan Nasakom. Dalam usahanya mendapatkan dukunganyang luas untuk kampanye melawan Belanda di Irian Barat dan Inggris di Malaysia, ia menyatakan bahwa Indonesia berperan sebagai salah satu pimpinan “kekuatan-kekuatan yang sedang tumbuh” di dunia, yang bertujuan untuk menghilangkan pengaruh Nekolim (neokolonialis, kolonialis dan imperialis). Sebagai lambang dari bangsa, Soekarno bermaksud menciptakan suatu kesadaran akan tujuan nasionalyang akan mengatasi persaingan politik yang mengancam kelangsungan hidup sistem

Demokrasi Terpimpin. Sampai dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 pada bulan Juli 1959, Presiden Soekarno adalah pemegang inisiatif politik, terutama dengan tindakan dan janji-janjinya yang langsung ditujukan kepada pembentukan kembali struktur konstitusional. Akan tetapi, tekananannya kemudian mulai bergeser kepada tindakan simbolis dan ritual, serta khususnya kepada perumusan ideologi seraya melemparkan gagasan-gagasannya berulang kali. Presiden Soekarno dalam hal ini menciptakan doktrin negarayang baru. Demokrasi terpimpin dan gagasan presiden yang sehubungan dengan itu sudah menguasai komunikasi massa sejak pertengahan tahun 1958 . Sejak itu tidak mungkin bagi surat kabar atau majalah berani terang-terangan mengecam Demokrasi Terpimpin, lambang dan semboyan-semboyanbaru. Pada paruh kedua 1959, Presiden Soekarno semakin mementingkan lambang-lambang. Dalam hubungan ini yang terpenting ialah pidato kenegaraan presiden pada ulang tahun kemerdekaan RI tahun 1959 dan selanjutnya hasil kerja Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam penyusunan sistematis dalil-dalil yang terkandung dalam pidato tersebut. Pidato kenegaraan yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, sebagian besar memuat alasan-alasan yang membenarkan mengapa harus kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Sesungguhnya hanya sedikit tema-tema baru dalam pidato presiden, tetapi pidato itu penting karena berkaitan dengan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar revolusioner tersebut. Tiga bulan setelah pidato kenegaraannya itu, Presiden Soekarno menyatakan naskah pidato itu menjadi “manifesto politik Republik Indonesia”. Bersamaan dengan itu presiden mengesahkan rincian sistematikanya yang disusun oleh DPA. Dalam pidato-pidatonya di awal tahun 1959, presiden selalu mengungkapkan bahwa revolusi Indonesia memiliki lima gagasan penting. Pertama; UUD 1945, ke-dua; Sosialisme ala Indonesia, ke-tiga; Demokrasi Terpimpin, ke-empat; Ekonomi Terpimpin, dan yang ke-lima; Kepribadian Indonesia. Dengan mengambil huruf pertama masing-masing gagasan itu maka muncullah singkatan USDEK. “Manifesto politik Republik Indonesia” disingkat “Manipol”, dan ajaran baru itu dikenal dengan nama “Manipol-USDEK”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. 1. Sebab-akibat di keluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959? 2. Bagaimana proses diberlakukannya Sistem Demokrasi Terpimpin? 3. Pengaruh diterapkannya Sistem Demokrasi Terpimpin terhadap kondisi politik di Indonesia tahun1959? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum a. Melatih menulis karya sejarah berdasarkan metodologi sejarah. b. Mengembangkan daya pikir yang kritis dalam penulisan sejarah. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui sistem Demokrasi Terpimpin di Indonesia. b. Menambah wawasan terhadap dunia politik Indonesia. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Penulis a. Memberikan gambaran sejarah politik Indonesia. b. Sebagai tantangan diri untuk menjadi mahasiswa sejarah. 2. Bagi Pembaca a. Memberikan referensi baru tentang karya-karya sejarah politik. b. Merangsang para pembaca untuk menulis sejarah dan menghargainya. E. Kajian Pustaka Dalam peristiwa sejarah banyak terkandung berbagai macam aspek. Antara lain ialah aspek

politik dan sosial . Demikian juga dalam mengkaji Demokrasi Terpimpin, kedua aspek tersebut sangat mempengaruhi. Sebab-akibat dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959 dan mengenai diberlakukannya sistem Demokrasi Terpimpin dapat dilihat karya dari Adnan Buyung Nasution., Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 yang diterbitkan oleh PT. Pustaka Grafiti di Jakarta tahun 1992. Dalam bahasan buku ini dapat diketahui bagaimana proses dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan diberlakukannya Demokrasi Terpimpin. Akibat daripada ketidaksanggupan Konstituante melakukan tugasnya dengan sempurna dan oleh karena kerjanya berlarut-larut, maka presiden pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan pembubaran Konstituante, diberlakukannya kembali UUD 1945, dan tidak diberlakukannya lagi UndangUndang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). UUD yang menjadi pelaksanaan pemerintahan Negara belum berhasil dibuat sedangkan UUDS 1950 dengan sistem pemerintahan Demokrasi Liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Ditambah lagi dengan kegagalan konstituante dalam menetapkan UUD yang membawa Indonesia ke jurang kehancuran, sebab itu Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap, sehingga situasi politik menjadi kacau dan semakin buruk. Akan tetapi ada anggapan lain tentang kegagalan Konstituante yang dikambing hitamkan sebagai penyebab masalah, sebenarnya kegagalan tersebut masih dalam taraf yang wajar dikala itu, yang mana jika dilihat dari segi proses kerjanya, lembaga konstituante tersebut masih berada dalam bayang-bayang ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia, terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju ke gerakan sparatisme, konflik antar partai, banyaknya partai dalam parlemen yang sulit dipertemukan dalam perbedaan pendapat, sehingga perlu dicermati bahwasanya lembaga tersebut belumlah bisa dikatakan gagal begitu saja, melainkan perlunya kestabilan politik, ekonomi, dan paling yang utama ialah waktu untuk mendukungnya. Mungkin Soekarno sendiri juga belum sepenuhnya mengerti tentang konsepsi itu. Satu-satu yang menjadi titik jelasnya ialah keinginannya untuk meninggalkan sistem politik yang berlaku pada saat itu, yang disebutnya Demokrasi Liberal, terutama sistem kepartaian dan pemerintahan parlementer, yang ia kecam sebagai penyebab semua permasalahan yang harus dihadapi negara dan untuk menggantikannya diracanglah suatu arah sistem demokrasi yang baru, yaitu Demokrasi Terpimpin yang diharapkan dapat menjamin stabilitas politik di Indonesia. Mengenai pengaruh diberlakukannya sistem Demokrasi Terpimpin terhadap kondisi politik di Indonesia tahun 1959 dapat dilihat karya dari Herbert Feith., Dynamics of Guided Democracy: Soekarno-Militer Dalam Demokrasi Terpimpin yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan di Jakarta tahun 1995. Dalam buku ini dapat diketahui bagaimana pengaruh sistem Demokrasi Terpimpin. Kita telah melihat bagaimana pemerintah dan politik pada pertengahan tahun 1958 mulai mempunyai warna otoriter yang sangat jelas. Parpol-parpol (partai politik) dan parlemen telah kehilangan sebagian besar hak-hak yang dimilikinya. Secara berangsur-angsur hingga ditetapkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan diberlakukannya sistem Demokrasi Terpimpin, hak-hak itu mulai berpindah-alih sepenuhnya ke tangan Soekarno dan Militer. Keadaan ini berpengaruh besar terhadap stabilitas politik dan ekonomi di Indonesia, ini dapat dilihat dari pertentangan-pertentangan yang semakin jelas di seluruh unsur politik dalam pemerintahan dan terjadinya inflasi serta korupsi dalam perekonomian Negara. Hal lainnya ialah semakin besarnya kekuasaan birokrasi. Bagi kelompok-kelompok penentang jalannya sistem Demokrasi Terpimpin, berakibat munculnya suatu ketidakmampuan politik terhadap kelompoknya masing-masing, misalnya Partai Masyumi yang menentang keras hal tersebut berimbas menuju keruntuhan bahkan dihapuskan dari jajaran parpol-parpol lainnya. Oleh sebab itu, elit politik yang tak ingin mengambil resiko terpaksa untuk mendukung dan mengikuti sistem dan aturan yang telah dibuat oleh pemerintah Demokrasi Terpimpin. Ketimpangan politik pun tidak bisa dihindari dan

menyebabkan stabilitas Negara pun semakin terjatuh. F. Historiografi yang Relevan Dalam merekonstruksi suatu peristiwa masa lampau dibutuhkannya suatu sumber sebagai penunjang utama terciptanya karya sejarah. Untuk itu, historiografi yang relevan merupakan hal utama di antara yang lainnya untuk dikerjakan sebelum menulis suatu karya sejarah. Penulisan sejarah ialah sebuah usaha merekonstruksi peristiwa masa lampau. Menurut Louis Gottschalk, historigrafi adalah rekonstruksi sejarah melalui proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman-rekaman peninggalan masa lampau. Dengan adanya historiografi yang relevan diharapkan penulis menemukan suatu hal yang baru dari apa yang diamatinya, dengan mengacu pada suatu karya sejarah lain yang memiliki kemiripan dalam tema Demokrasi Terpimpin, antara lain: Buku Indonesia di Bawah Resim Demokrasi Terpimpin karangan S. M. Amin, yang diterbitkan di Jakarta tahun 1967 oleh Bulan Bintang. Digunakan untuk mengetahui adanya kemungkinan penyimpangan-penyimpangan dalam penetapan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan pemberlakuan sistem Demokrasi Terpimpin. Buku ini terdiri dari 282 halaman yang terbagi dalam IX bagian. Secara umum buku ini membahas kritikan-kritikan terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh rezim Demokrasi Terpimpin, khususnya bagi Soekarno yang berpengaruh besar terhadap penetapan konsep Demokrasi Terpimpin di Indonesia. Selanjutnya, Buku Dynamics of Guided Democracy: Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin karangan Herbert Feith, terbit di Jakarta tahun 1995 oleh PT. Pustaka Sinar Harapan pembahasannya yang mengenai hubungan antara Soekarno dan Militer dalam perumusan Demokrasi Terpimpin, diikutsertakan pula hubungannya dengan PKI, yang kemudian menyulut konflik dan kontroversi diantara semuanya. Namun, dari bahasannya itu pun menjadi kelemahan dari buku ini, yakni hanya mengkaji hubungan-hubungan dari unsurunsur pembentuk Demokrasi Terpimpin saja. Dan yang terakhir Buku Bung Karno: Demokrasi Terpimpin, Milik Rakyat Indonesia (Kumpulan Pidato) karangan Wawan Tunggul Alam. Buku ini sebagian besar merupakan kumpulan pidato Soekarno mengenai Demokrasi Terpimpin, sehingga membantu penulis dalam mengetahui pemikiran Soekarno terhadap Demokrasi Terpimpin dan mencoba untuk menganalisa dan mengkritikinya. Meskipun dalam tema yang sama, ada perbedaan yang mencolok pada skripsi ini terhadap karya-karya di atas. Yakni dari bahasannya yang mengenai Soekarno dalam membangun sistem Demokrasi Terpimpin dan hal-hal yang menyertainya, seperti keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Skripsi ini di tulis secara singkat dan jelas dibandingkan ketiga karya di atas. G. Metode Penelitian Dalam skripsi ini, penulis menggunakan suatu penelitian dengan cara mencari buku-buku yang sesuai dengan bahasannya untuk dijadikan sebagai sumber-sumber dalam menganalisa dan mengkritisinya. Metode sejarah kritis yaitu meliputi proses pengumpulan, pengujian, analisis sumber dan disertai kritik baik intern maupun ekstern, yang selanjutnya diinterpretasikan dan disajikan dalam bentuk penulisan karya sejarah. Menurut Louis Gottschalk, ada empat prosedur dalam proses penelitian sejarah yang memuat langkah-langkah penulisan sejarah, yakni: a. Heuristik, yaitu kegiatan menghimpun jejak-jejak sejarah yang dikenal sebagai sumbersumber sejarah. Sumber sejarah terdiri dari tiga macam sumber yaitu pertama sumber benda (artefak), Kedua, sumber lisan berperan mengembangkan substansi penulisan sejarah, Ketiga, sumber tertulis dapat berupa surat-surat, notulen atau sebagainya. Heuristik juga dapat diartikan mencari, menemukan dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Akan tetapi, sebelum memasuki proses ini penulis haruslah terlebih dahulu menentukan tema dan judul skripsi yang sesuai dengan minat, ketertarikan, serta kemampuannya. Pemilihan tema pun harus didasari oleh emosional dan intelektual. Karena dengan itu diharapkan penulis dapat

mengerjakan skripsi ini dengan baik. Setelah tema ditentukan, penulis pun mulai mengumpulkan data atau sumber-sumber yang sesuai dengan judul skripsi ini dari berbagai perpustakaan dan lembaga pengarsipan. Sumber merupakan pangkal tolak dalam merekonstruksi apa yang dibangunnya atau diistilahkan sebagai modal rekayasa rekonstruksi sejarah, karena dari sumberlah dapat ditarik suatu fakta sejarah yang kemudian menjadi dasar usaha untuk menghidupkan peristiwa masa lampau. Sumber penelitian dalam penulisan sejarah pada hakikatnya dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu sumber primer dan sumber sekunder. 1) Sumber Primer Sumber primer adalah kesaksian sesorang dengan mata kepala sendiri, dengan panca indera, atau dengan alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakan. Sementara menurut John W Best dalam bukunya Research in Education mengatakan bahwa sumber primer merupakan cerita atau penulisan atau catatan para saksi mata. Dari berbagai pendapat diatas ditarik kesimpulan bahwa sumber primer adalah sumber yang secara logis didapat dari orang pertama, penyelidik atau seseorang yang melihat dengan mata kepala sendiri terhadap peristiwa yang dilaporkan. Dalam skripsi ini, penulis menemukan beberapa sumber primer. Sumber primer yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Decree of The President of The Republic of Indonesia / Supreme Commander of The Armed Force on The Return to The Constittution of 1945. (Pidato Dekrit Presiden 5 Juli 1959) 2) Kementerian Penerangan. Kembali kepada Undang-undang Dasar 1945. Putusan Dewan Menteri mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945. Jakarta: Penerbit Chusus. 1959. 2) Sumber Sekunder Selain sumber primer di atas demi melengkapi data dan memudahkan pengungkapan masalah yang akan dikaji, penulis melengkapinya dengan sumber sekunder. Sumber sekunder adalah sumber yang diperoleh pengarang dari orang lain atau sumber lain. Dan menurut Louis Gottschalk, sumber sekunder adalah suatu kesaksian dari siapa pun yang bukan merupakan saksi mata yaitu dari seseorang yang tidak hadir pada peristiwa yang disaksikan. Jika disimpulkan dari beberapa pendapat tersebut, sumber sekunder merupakan sumber yang didapat dari orang kedua dan bukan merupakan saksi utama dalam peristiwa yang dibahas. Sumber sekunder yang digunakan pada skripsi ini adalah sebagai berikut: a) Wawan Tunggul Alam, dkk, Bung Karno: Demokrasi Terpimpin, Milik Rakyat Indonesia (Kumpulan Pidato). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2000. b) S. M. Amin, Indonesia di Bawah Resim Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Bulan Bintang. 1967. c) Herbert Feith, Soekarno-Militer Dalam Demokrasi Terpimpin: Dynamics of Guided Democracy. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1995. d) Adan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia: Studi SosioLegal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. 1992. b. Verifikasi Merupakan proses pengujian dan penganalisaan secara kritis mengenai keaslian atau keotentikan sumber-sumber yang dikumpulkan. Verifikasi terdiri dari dua macam: autentitas, atau keaslian sumber, atau kritik ekstern dan kredibilitas atau kebiasaan dipercaya. Kritik Sumber, yaitu menilai sumber-sumber sejarah secara ekstern dan intern. Kritik ekstern dilakukan untuk mngetahui apakah sebuah dokumen itu otentik atau asli dilihat dari segi bentuk, bahan tulisan dan sebagainya. Sedangkan aspek intern berkaitan dengan persoalan apakah kritik sumber dapat dipercaya atau kredibel. Sumber-sumber itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Di sini penulis berusaha meneliti tentang berbagai sumber yang digunakan pada tahap heuristik, apakah sumber tersebut itu asli atau tidak. Pada

proses kritik ini penulis lebih mengutamakan pada kritik intern karena menggunakan sumber primer dan sumber yang berasal dari masa yang sejaman. c. Interpretasi Yaitu menetapkan makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta sejarah yang diperoleh setelah diterapkan kririk intern maupun kritik ekstern dari data-data yang dikumpulkan. Tugas sejarahwan setelah melakukan kritik intern dan ekstern atas semua sumber yang diperoleh adalah memberikan makna kepadanya. Hal itu karena fakta-fakta sejarah masih terpisah-pisah, maka kemampuan pribadi dan sudut pandang yang berbeda-beda dari para sejarahwan tentu akan menghasilkan makna yang berbeda pula. Semua diperoleh sejauh tidak menyimpang dari fakta-fakta yang dimiliki. d. Penulisan Yaitu menyusun fakta-fakta sejarah menjadi karya sejarah. Setelah melakukan pencarian sumber, menilai sumber, dan menafsirkan dan kemudian dituangkan menjadi sebuah kisah sejarah dalam bentuk tulisan. Penulisan karya sejarah mempunyai dua sifat, yaitu tulisan sejarah naratif dan non naratif. Sejarah naratif ialah membuat deskripsi tentang masa lampau dengan merekonstruksi apa yang terjadi serta diuraikan sebagai cerita menurut proses waktu. Sejarah non naratif merupakan karya sejarah yang berpusat pada masalah. Kesimpulan dari kedua jenis tesebut bahwa skripsi ini ialah karya sejarah naratif. Dalam penulisan, penulis di tuntut mampu mengembangkan imajinasi untuk merangkai sebuah peristiwa sejarah dengan mengkaitkan antara satu fakta dengan fakta lainnya. Sehingga historiografi yang dihasilkan bersifat obyektif. Setelah semua tahap ini di lalui, tugas akhir sejarahwan adalah menyampaikan hasil penelitian itu secara tertulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah menurut kaidah-kaidah yang telah ditentukan. H. Pendekatan Penelitian Dalam merekonstruksi peristiwa sejarah dibutuhkannya suatu pendekatan yang multidimensional agar diharapkan dapat menyusun fakta-fakta yang beragam. Demi keselarasan terhadap kajian skripsi ini, penulis menggunakan beberapa pendekatan. a. Pendekatan Politik Pendekatan Politik adalah segala Aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan dan bermaksud mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan satu bentuk susunan masyarakat. Menurut Deliar Nur, Segala usaha tindakan atas suatu kegiatan manusia berkaitan dengan kekuasaan dalam suatu Negara yang bertujuan untuk mempengaruhi, mengubah, memepertahankan suatu bentuk susunan , masyarakat. Menurut Sartono Kartodirdjo, pendekatan politik adalah pendekatan yang mengarah pada struktur kekuasaan jenis kepemimpinan, hierarki sosial, pertentangan dan lain sebagainya. Hal tersebut diatas dapat diterapkan dalam pembahasan berikut, dimana seorang Soekarno dalam mengembangkan gagasan Demokrasi Terpimpin, menghendaki pembentukan suatu kabinet yang semua partai besar (termasuk komunis) akan mengambil bagian, dan pembentukkan suatu Dewan Nasional, yakni sebuah badan tingkat tinggi yang didalam badan itu pelbagai kelompok golongan fungsional atau karya, buruh, tani, pengusaha nasional, dan lain sebagainya akan diwakili, dan yang akan bekerja berdasarkan konsesus (kesepakatan) ketimbang dengan pemungutan suara. Jelas saja hal ini menimbulkan pro dan kontra dari pihak lainnya, ditambah kedudukannya yang semakin menipis ketika militer mulai merasuk ke dalam tatanan politik. Awalnya, Soekarno yang sebagai kepala Negara dalam melanggengkan konsep Demokrasi Terpimpinnya, berusaha menjatuhkan Badan Konstituante yang menurutnya dapat menghalangi tujuannya tersebut dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Salah satu dari isi dekrit tersebut ialah membubarkan Badan Konstituante. Dekrit adalah keputusan atau ketetapan atau perintah yang dikeluarkan oleh kepala Negara (raja, presiden). Dekrit juga dapat berarti pernyataan suatu keputusan yang merupakan peraturan hukum yang mengikat. Dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah keputusan yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959. Selanjutnya, untuk menetralisir akibat-akibat buruk yang

mungkin terjadi, seperti perlawanan atau ketidaksetiaan terhadapnya, mulailah ia mencari dukungan-dukungan politik yang dapat melanggengkan kedudukannya, khususnya dari pihak sipil, sebut saja dari komunis yang pada waktu itu dipegang kuat oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan pelbagai kelompok kecil nasionalis. Meskipun militer ikut mendukungnya dalam konsepsi Demokrasi Terpimpin, tetap saja ia akan melindungi dirinya dari timbal balik yang mungkin terjadi, yaitu dengan mencari dukungan sebesar-besarnya. Begitu pula pihak PKI dan Militer, meski mengaku setia masingmasing dari mereka tetap saja mencoba mempertahankan diri. b. Pendekatan Filosofi Plato adalah eksponen pemikir yang mengedepankan ide atau gagasan merupakan tingkat pemikiran yang sanggup untuk menghasilkan obyek yang dapat dinikmati sampai sekarang. Dalam penulisannya, dicontohkan beberapa ide pembentukan negara, sistem demokrasi, paham ekonomi, politik dan kemanusiaan. Pengertiannya bahwa pendekatan ini dimaksudkan melihat berbagai macam ide atau gagasan dan dapat pula berupa paham yang berkembang berdasarkan logika atau nalar manusia. Kita akan melihat Soekarno yang sebagai kepala Negara melakukan tindakan atau inisiatif untuk membangun suatu arah demokrasi baru bagi Indonesia. Pendekatan ini juga akan digunakan untuk melihat letak unsur-unsur lain yang mempengaruhinya atau pun intrik-intrik politik yang dilakukannya. I. Sistematika Pembahasan BAB I. PENDAHULUAN Pada bab ini, penulis berusaha menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian yang terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus, manfaat penelitian bagi penulis maupun pembaca, kajian pustaka, historiografi yang relevan, metode penulisan, serta sistematika pembahasan. BAB II. KONDISI POLITIK INDONESIA SEBELUM TAHUN 1959 Bab ini berusaha memfokuskan bahasan mengenai keadaan atau kondisi politik Indonesia sebelum tahun 1959, yaitu sebelum diberlakukannya sistem Demokrasi Terpimpin. Banyak masalah yang terjadi pra- demokrasi terpimpin antara lain keadaan politik yang dianggap kacau, masalah-masalah yang timbul di daerah-daerah, dan memicu kemerosotan ekonomi yang sangat tajam. BAB III. DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959 Dalam kajian selanjutnya, pada bab ini akan disajikan pembahasan mengenai Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang terdiri dari latar belakang munculnya, dampak-dampak yang terjadi yaitu dampak negatif dan dampak positif, serta reaksi terhadap pemberlakuan dekrit tersebut diatas. BAB IV. DEMOKRASI TERPIMPIN MENURUT SOEKARNO Pada bab ini, secara singkat membahas mengenai peranan Soekarno dalam penerapan dan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, hal-hal yang menyangkut proses pemberlakuannya, kebijakan-kebijakan, serta kemungkinan adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. BAB IV. UNSUR-UNSUR LAINNYA YANG MEMPENGARUHI TERBENTUKNYA DEMOKRASI TERPIMPIN Kemungkinan besar Demokrasi Terpimpin terbentuk bukan hanya dari tangan seorang Soekarno. Untuk itu dalam bab ini, penulis mencoba memperlihatkan adanya pengaruh lain yang membangun sistem demokrasi terpimpin, seperti halnya militer (AD) maupun organisasi-organisasi politik (Partai Komunis Indonesia atau PKI) lainnya. Dan juga dalam bab ini, secara singkat akan membahas konflik-konflik yang terjadi di dalam unsur-unsur pembentuk tersebut di atas. BAB V. KESIMPULAN Pada bab terkhir ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dari keseluruhan pembahasan, yang kemudian akan mampu menjawab rumusan-rumusan masalah yang ada. Dan juga diperolehnya gambaran umum dan singkat mengenai Soekarno dalam Demokrasi Terpimpin, serta ditetapkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan diberlakukannya Demokrasi Terpimpin di Indonesia pada tahun 1959.

DAFTAR PUSTAKA Adam, Cindy. (1982). “Soekarno An Autobiografy as Told to Cindy Adams”. terj. Abdur Bar Salaim. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Gunung Agung Alam, Wawan Tunggul, dkk. (2000). Bung Karno: Demokrasi Terpimpin, Milik Rakyat Indonesia (Kumpulan Pidato). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Amin, S. M. (1967). Indonesia di Bawah Resim Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Bulan Bintang Bottomore, Tom. (1992). Political Sociology. terj. Sehat Simamora. Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta Bourchier, dkk. (1994). Demokrasi di Indonesia Tahun 1950-an dan 1990-an: Democracy in Indonesia, 1950’s and 1990’s. Melbourne: Monash University Dahm, B. (1987). Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Feith, Herbert. (1995). Soekarno-Militer Dalam Demokrasi Terpimpin: Dynamics of Guided Democracy. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Gottschalk, Louis. (1975). Mengerti Sejarah. A. b. Nugroho Notosutanto. Jakarta: UI Press Johannes, H. (1964). Sila Demokrasi Terpimpin Serta Musyawarah Untuk Mufakat. Pidato Peringatan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni 1964. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Lev, Daniel. S. (2001) Belajar Dari Demokrasi Parlementer. Basis Maari’f, A. S. (1998). Islam di Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin.Prisma Nasikun. (1984). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Nasution, Adan Buyung. (1992). Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti Sartono Kartodirdjo. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Sasono, Adi. (1982). “ Indonesia dari Ekonomi Terpimpin ke Kapitalis Terpimpin”, Prisma. Jakarta: LP3ES Soebijono, dkk. (1992). Dwifungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya Dalam Kehidupan Politik di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press William Frederick, Soeri Soeroto. (1982). Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES Arsip: Decree of The President of The Republic of Indonesia/ Supreme Commander of The Armed Force on The Return to The Constittution of 1945. (Pidato Dekrit Presiden 5 Juli 1959) Daftar Isi BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum 2. Tujuan Khusus D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Penulis 2. Bagi Pembaca E. Kajian Teori F. Historiografi yang Relevan G. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian H. Sistematika Pembahasan BAB II Dekrit Presiden 5 Juli 1959 A. Latar Belakang dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 B. Dampak-dampak ditetapkannya Dekrit Presiden 5 juli 1959

BAB III Penerapan Demokrasi Terpimpin A. Kehidupan Politik masa Demokrasi Terpimpin B. Penyimpangan-penyimpangan pada Demokrasi Terpimpin BAB IV Pro dan Kontra terhadap Sistem Demokrasi Terpimpin A. Unsur-unsur yang mampengaruhi Demokrasi Terpimpin B. Konfrontasi-konfrontasi yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin BAB V Kesimpulan Praktek Penelitian DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959 SEBAGAI DASAR TERWUJUDNYA SISTEM DEMOKRASI TERPIMPIN Disusun Oleh : Togap Nauli N (05407141025) PRODI ILMU SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2008 BAB II DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959 A. Latar Belakang Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Ada beberapa masalah yang memicu dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, antara lain sebagai berikut: • Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan belum berhasil dibuat, sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. • Kegagalan Badan Konstituante membuat undang-undang dasar, sehingga menimbulkan ketidakstabilan didalam Negara yang dikarenakan Indonesia belum memiliki pijakan hukum yang mantap. • Situasi politik yang semakin memburuk • Terjadinya pemberontakkan didalam negeri hingga menimbulkan gerakan sparatisme. • Konflik antar partai yang mengganggu situasi politik, oleh sebab banyaknya pendapat yang sulit untuk dipertemukan • Banyaknya partai yang mementingkan kepentingan kelompok atau golongan. Untuk itu, Presiden (Soekarno) sebagai kepala Negara berusaha untuk menstabilkan keadaan yang semakin buruk dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang berisi: • Pembubaran Konstituante • Tidak berlakunya Undang-undang Sementara tahun 1950 dan berlakunya kembali Undangundang Dasar 1945 • Pembentukkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) Gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959, akhirnya mendorong Presiden Soekarno untuk sampai kepada kesimpulan bahwa telah muncul suatu keadaan kacau yang membahayakan kehidupan negara. Atas kesimpulannya tersebut, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, dalam suatu acara resmi di Istana Merdeka, mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka sebuah sistem demokrasi yakni Demokrasi Terpimpin. Dekrit yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapatkan sambutan dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan negara yang stabil. Namun kekuatan dekrit tersebut bukan hanya berasal dari

sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959, diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri pertama. Dalam Keputusan Kabinet Djuanda yang diambil dalam rapat-nya tanggal 19 Februari 1959, ditetapkan persetujuan Kabinet untuk “Kembali Kepada UUD 1945”. Prosedur yang direncanakan untuk melaksanakan ketentuan itu, adalah secara konstitusionil, yaitu dengan mengajukan rencana itu oleh presiden kepada konstituante dalam suatu rapat umum. Bilamana konstituante menyetujui anjuran tersebut, maka dimaksudkan ditanda-tanganilah satu pernyataan yang akan diberikan nama “Piagam Bandung”, piagam yang dimaksud akan mengumumkan dengan keluhuran, berlakunya kembali UUD 1945. Akan tetapi, Presiden Soekarno rupanya telah berhasrat untuk melalui jalan yang lain, suatu jalan diluar hukum. Dan sebagaimana telah kita lihat, dengan tak menghiraukan rencana prosedur pemerintah Djuanda, ia memilih jalannya sendiri, jalan diluar hukum. Yaitu dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Hal ini lah yang dikatakan menjadi salah satu tindakan coup d’etat yang dilakukan Soekarno. B. Dampak-dampak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, timbullah berbagai dampak-dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya ialah yang mana menjadi tujuan utama dikeluarkannya dekrit tersebut menyelamatkan Negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan, memberikan pedoman yang jelas bagi kekuatan dasar pemerintahan (UUD 1945) bagi kelangsungan Negara, membentuk lembaga tinggi Negara (MPRS dan DPAS) yang pada masa sebelumnya masih tertunda. Sedangkan dampak positifnya yakni ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka, memberi kekuasaan yang besar pada presiden, MPR, dan lembaga tinggi Negara yang memungkinkan timbulnya pemerintahan diktatur. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru, Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang. Kemudian yang paling mencolok yaitu masalah pembubaran atau penyederhanaan partaipartai politik (Masyumi dan PSI). Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya, Negara tak lagi memberikan kebebasan kepada orang, kelompok, atau masyarakat, untuk berpendapat. Hal ini tidak sesuai dengan fasal 28 UUD 1945 dan fasal-fasal 19-20 UUDS 1950. BAB III PENERAPAN DEMOKRASI TERPIMPIN A. Kehidupan Politik pada masa Demokrasi Terpimpin Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menilai Demokrasi Barat yang bersifat liberal tidak dapat menciptakan kestabilan politik. Menurut Soekarno, penerapan sistem Demokrasi Barat menyebabkan tidak terbentuknya pemerintahan kuat yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia. Pandangan Soekarno terhadap sistem liberal ini pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia. Partai politik dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia. Partaipartai yang ada pada waktu itu berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan. Namun demikian, Demokrasi Terpimpin masih menyisakan sejumlah partai untuk berkembang. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan Soekarno akan keseimbangan kekuatan yang labil dengan kalangan militer. Beberapa partai dapat

dimanfaatkan oleh Soekarno untuk dijadikan sebagai penyeimbang. Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata. Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian partai-partai itu tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya. Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin. Partai politik seperti NU dan PNI dapat dikatakan pergerakannya dilumpuhkan karena ditekan oleh presiden yang menuntut agar mereka menyokong apa yang telah dilakukan olehnya. Sebaliknya, golongan komunis memainkan peranan penting dan temperamen yang tinggi. Pada dasarnya sepuluh partai politik yang ada tetap diperkenankan untuk hidup, termasuk NU dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada segala kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan doktrin presiden. Partai politik dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi Soekarno. Penetapan Presiden (Penpres) adalah senjata Soekarno yang paling ampuh untuk melumpuhkan apa saja yang dinilainya menghalangi jalannya revolusi yang hendak dibawakannya. Demokrasi terpimpin yang dianggapnya mengandung nilai-nilai asli Indonesia dan lebih baik dibandingkan dengan sistim ala Barat, ternyata dalam pelaksanaannya lebih mengarah kepada praktek pemerintahan yang otoriter. Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955 yang didalamnya terdiri dari partaipartai pemenang pemilihan umum, dibubarkan. Beberapa partai yang dianggap terlibat dalam pemberontakan sepanjang tahun 1950an, seperti Masyumi dan PSI, juga dibubarkan dengan paksa. Bahkan pada tahun 1961 semua partai politik, kecuali 9 partai yang dianggap dapat menyokong atau dapat dikendalikan, dibubarkan pula. Dalam penggambaran kiprah partai politik di percaturan politik nasional, maka ada satu partai yang pergerakan serta peranannya begitu dominan yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga kekuatan yaitu, Soekarno, TNIAngkatan Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran mengenai kehidupan partai politik pada masa demokrasi terpimpin, pergerakan PKI pada masa ini tidak dapat dilepaskan. PKI di bawah pemimpin mudanya, antara lain Aidit dan Nyoto, menghimpun massa dengan intensif dan segala cara, baik secara etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang sedemikian progresifnya dalam pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah partai besar pada akhir periode Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah memiliki tiga juta orang anggota ditambah 17 juta pengikut yang menjadi antek-antek organisasi pendukungnya, sehingga di negara non-komunis, PKI merupakan partai terbesar. Hubungan antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat dikatakan merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi presiden seumur hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di unsur kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat angkatan lain, seperti TNIAngkatan Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer untuk dapat ditunggangi. Keretakan hubungan antara Soekarno dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. Keadaan ini dimanfaatkan PKI untuk mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang radikal yang ditunjukkan PKI melalui agitasi dan tekanan-tekanan politiknya yang semakin meningkat, membuat jurang permusuhan yang terjadi semakin melebar. Konflik yang terjadi itu kemudian mencapai puncaknya pada pertengahan bulan September tahun 1965. Seperti yang telah disebutkan di atas, partai politik pada masa Demokrasi Terpimpin mengalami pembubaran secara paksa. Pembubaran tersebut pada umumnya dilakukan dengan

cara diterapkannya Penerapan Presiden (Penpres) yang dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1959. Peraturan tersebut menyangkut persyaratan partai, sebagai berikut: 1. Menerima dan membela Konstitusi 1945 dan Pancasila. 2. Menggunakan cara-cara damai dan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita politiknya. 3. Menerima bantuan luar negeri hanya seizin pemerintah. 4. Partai-partai harus mempunyai cabang-cabang yang terbesar paling sedikit di seperempat jumlah daerah tingkat I dan jumlah cabang-cabang itu harus sekurang-kurangnya seperempat dari jumlah daerah tingkat II seluruh wilayah Republik Indonesia. 5. Presiden berhak menyelidiki administrasi dan keuangan partai. 6. Presiden berhak membubarkan partai, yang programnya diarahkan untuk merongrong politik pemerintah atau yang secara resmi tidak mengutuk anggotanya partai, yang membantu pemberontakan. Sampai dengan tahun 1961, hanya ada 10 partai yang diakui dan dianggap memenuhi prasyarat di atas. Melalui Keppres No. 128 tahun 1961, partai-partai yang diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII dan IPKI. Sedangkan Keppres No. 129 tahun 1961 menolak untuk diakuinya PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo dan partai rakyat nasional Djodi Goondokusumo. Selanjutnya melalui Keppres No. 440 tahun 1961 telah pula diakui Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti). Demikianlah kehidupan partai-partai politik di masa Demokrasi Terpimpin. Partai-partai tersebut hampir tidak bisa memainkan perannya dalam pentas perpolitikan nasional pada masa itu. Hal ini dimungkinkan antara lain oleh peran Soekarno yang amat dominan dalam menjalankan pemerintahannya dengan cirinya utamanya yang sangat otoriter pada waktu itu di era demokrasi terpimpin. B. Penyimpangan-penyimpangan yang berdasarkan UUD 1945 pada masa Demokrasi Terpimpin 1. Kedudukan Presiden Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi, kenyataannya bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut tampak dengan adanya tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen. 2. Pembentukan MPRS Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945 pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang duduk di MPR. Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan syarat, Setuju kembali kepada UUD 1945, setia kepada perjuangan Republik Indonesia, dan setuju pada manifesto Politik, keanggotaan MPRS terdiri dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah, dan 200 orang wakil golongan, tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). 3. Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR-GR Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan karena DPR menolak RAPBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah. Presiden selanjutnya menyatakan pembubaran DPR dan sebagai gantinya presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Dimana semua anggotanya ditunjuk oleh presiden. Peraturan DPRGR juga ditentukan oleh presiden. Sehingga DPRGR harus mengikuti kehendak serta kebijakan pemerintah. Tindakan presiden tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sebab berdasarkan UUD 1945 presiden tidak dapat membubarkan DPR.

4. Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.3 tahun 1959. Lembaga ini diketuai oleh Presiden sendiri. Keanggotaan DPAS terdiri atas satu orang wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah, dan 24 orang wakil golongan. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah. Pelaksanaannya kedudukan DPAS juga berada dibawah pemerintah/presiden sebab presiden adalah ketuanya. Hal ini disebabkan karena DPAS yang mengusulkan dengan suara bulat agar pidato presiden pada hari kemerdekaan RI 17 AGUSTUS 1959 yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN berdasarkan Penpres No.1 tahun 1960. Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal dengan MANIPOL USDEK. 5. Pembentukan Front Nasional Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Tugas front nasional adalah sebagai berikut, menyelesaikan Revolusi Nasional, melaksanakan Pembangunan, mengembalikan Irian Barat 6. Pembentukan Kabinet Kerja Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden diangkatlah Ir. Juanda. Hingga tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali perombakan (reshuffle). Program kabinet ini adalah sebagai berikut, mencukupi kebutuhan sandang pangan, menciptakan keamanan Negara, mengembalikan Irian Barat. BAB IV PRO DAN KONTRA TERHADAP SISTEM DEMOKRASI TERPIMPIN A. Unsur-unsur yang mempengaruhi Demokrasi Terpimpin Demokrasi Terpimpin sebenarnya, terlepas dari pelaksanaannya yang dianggap otoriter, dapat dianggap sebagai suatu alat untuk mengatasi perpecahan yang muncul di dataran politik Indonesia dalam pertengahan tahun 1950-an.2 Untuk menggantikan pertentangan antara partai-partai di parlemen, suatu sistem yang lebih otoriter diciptakan dimana peran utama dimainkan oleh Presiden Soekarno. Ia memberlakukan kembali konstitusi presidensial tahun 1945 pada tahun 1959 dengan dukungan kuat dari angkatan darat. Akan tetapi Soekarno menyadari bahwa keterikatannya dengan tentara dapat membahayakan kedudukannya, sehingga ia mendorong kegiatan-kegiatan dari kelompok-kelompok sipil sebagai penyeimbang terhadap militer. Dari kelompok sipil ini yang paling utama adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan juga walau tidak begitu signifikan peranan dari golongan agama, yaitu khususnya yang diwakili oleh NU yang tergabung dalam poros nasakom soekarno semasa pemberlakuan demokrasi terpimpin. Meskipun pemimpin PKI maupun Angkatan Darat mengaku setia kepada Presiden Soekarno, mereka sendiri masing-masing terkurung dalam pertentangan yang tak terdamaikan. Soekarno berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling bersaing dari Demokrasi Terpimpin dengan jalan turut membantu mengembangkan kesadaran akan tujuantujuan nasional. Ia menciptakan suatu ideologi nasional yang mengharapkan seluruh warga negara memberi dukungan kesetiaan kepadanya. Pancasila ditekankan olehnya dan dilengkapi dengan serangkaian doktrin seperti Manipol-Usdek dan Nasakom. Dalam usahanya mendapatkan dukungan yang luas untuk kampanye melawan Belanda di Irian Barat dan Inggris di Malaysia, ia menyatakan bahwa Indonesia berperan sebagai salah satu pimpinan “kekuatan-kekuatan yang sedang tumbuh” di dunia, yang bertujuan untuk menghilangkan pengaruh Nekolim (neokolonialis, kolonialis dan imperialis). Sebagai

lambang dari bangsa, Soekarno bermaksud menciptakan suatu kesadaran akan tujuan nasional yang akan mengatasi persaingan politik yang mengancam kelangsungan hidup sistem Demokrasi Terpimpin. Sampai dengan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pada bulan Juli 1959, Presiden Soekarno adalah pemegang inisiatif politik, terutama dengan tindakan dan janjijanjinya yang langsung ditujukan kepada pembentukan kembali struktur konstitusional. Akan tetapi, tekananannya kemudian mulai bergeser kepada tindakan simbolis dan ritual, serta khususnya kepada perumusan ideologi seraya melemparkan gagasan-gagasannya berulang kali. Presiden Soekarno dalam hal ini menciptakan doktrin negara yang baru.3 Demokrasi terpimpin dan gagasan presiden yang sehubungan dengan itu sudah menguasai komunikasi massa sejak pertengahan tahun 1958. Sejak itu tidak mungkin bagi surat kabar atau majalah berani terang-terangan mengecam Demokrasi Terpimpin, lambang dan semboyan-semboyan baru. Pada paruh kedua 1959, Presiden Soekarno semakin mementingkan lambang-lambang. Dalam hubungan ini yang terpenting ialah pidato kenegaraan presiden pada ulang tahun kemerdekaan RI tahun 1959 dan selanjutnya hasil kerja Dewan Pertimbangan Agung dalam penyusunan secara sistematis dalil-dalil yang terkandung dalam pidato tersebut. Pidato kenegaraan yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, sebagian besar memuat alasan-alasan yang membenarkan mengapa harus kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Sesungguhnya hanya sedikit tema-tema baru dalam pidato presiden, tetapi pidato itu penting karena berkaitan dengan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar revolusioner tersebut. Tiga bulan setelah pidato kenegaraannya itu, Presiden Soekarno menyatakan naskah pidato itu menjadi “manifesto politik Republik Indonesia”. Bersamaan dengan itu presiden mengesahkan rincian sistematikanya yang disusun oleh Dewan Pertimbangan Agung. Dalam pidato-pidatonya di awal tahun 1959, presiden selalu mengungkapkan bahwa revolusi Indonesia memiliki lima gagasan penting.4 Pertama, Undang-Undang Dasar 1945; kedua, sosialisme ala Indonesia; Ketiga, Demokrasi Terpimpin; keempat, Ekonomi Terpimpin; dan yang terakhir kelima, kepribadian Indonesia. Dengan mengambil huruf pertama masingmasing gagasan itu maka muncullah singkatan USDEK. “Manifesto politik Republik Indonesia” disingkat “Manipol”, dan ajaran baru itu dikenal dengan nama “ManipolUSDEK”. Manipol-USDEK benar-benar memiliki daya pikat bagi banyak masyarakat politik. Masyarakat politik ini, yang didominasi pegawai negeri, sudah lama mendukung apa yang selalu ditekankan presiden mengenai kegotong-royongan, menempatkan kepentingan nasional diatas kepentringan golongan dan kemungkinan mencapai mufakat melalui musyawarah yang dilakukan dengan penuh kesabaran. Ada dua sebab mengenai hal ini pertama, keselarasan dan kesetiakawanan merupakan nilai yang dijunjung masyarakatmasyarakat Indonesia. Dan kedua, bangsa Indonesia benar-benar menyadari betapa berat kehidupan yang mereka rasakan akibat keterpecahbelahan mereka dalam tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, banyak yang tertarik kepada gagasan bahwa apa yang diperlukan Indonesia dewasa ini adalah orang-orang yang berpikiran benar, berjiwa benar dan patriot sejati. Bagi anggota beberapa komunitas Indonesia, terutama bagi orang-orang Jawa, mereka menemukan makna yang sesungguhnya dalam berbagai skema rumit yang disampaikan presiden itu ketika mengupas cara pandang secara panjang lebar Manipol-USDEK, yang menjelaskan arti dan tugas-tugas khusus tahapan sejarah sekarang ini. Barangkali daya tarik terpenting Manipo-USDEK terletak pada kenyataan bahwa ideologi ini menyajikan sebuah arah baru. Mereka tidak begitu banyak tertarik pada makna dasar dari arah tersebut. Yang pokok ialah bahwa presiden menawarkan sesuatu pada saat terjadi ketidakjelasan arah yang dituju. Nilai-nilai dan pola-pola kognitif berubah terus dan saling berbenturan, sehingga timbul keinginan yang kuat untuk mencari perumusan yang dogmatis dan skematis mengenai apa yang baik dalam politik. Satu tanggapan umum terhadap Manipol-USDEK ialah bahwa Manipol-USDEK bukanlah merupakan ideologi yang sangat baik atau lengkap tetapi pada akhir tahun 1950an dibutuhkan sebuah ideologi dalam kerangka

pembangunan Indonesia. Sebenarnya hanya di sebagian masyarakat politik saja Manipol-USDEK diterima sepenuh hati, sedangkan di sebagian yang lain menaruh kecurigaan dan kekhawatiran. ManipolUSDEK itu sendiri tidaklah begitu jelas. Selain itu, bukan pula suatu upaya unutk menyelaraskan semua pola penting dari orientasi politik yang ada di Indonesia. Ideologi negara apapun belum mampu menjembatani perbedaan perbedaan besar orientasi politik kutub aristokratis Jawa dan kutub kewiraswastaan Islam. Pada pelaksanaannya, ManipolUSDEK tidak mampu mengatasi permasalahan tersebut. Jadi, banyak kalangan Islam yang kuat keyakinannya, khususnya dari suku bukan Jawa, melihat rumusan baru itu sebagai pemikiran yang asing. Karena itulah maka pelaksanaan manipol Usdek dapat disimpulkan dilakukan dengan paksaan. B. Konfrontasi-konfrontasi yang terjadi masa Demokrasi Terpimpin a. Politik Konfrontasi Nefo dan Oldefo Terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas aktif yang menjadi cenderung condong pada salah satu poros. Saat itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih mengarah pada negara-negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik Konfrontasi tersebut dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara komunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme. Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim). Untuk mewujudkan Nefo maka dibentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang. Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab hanya berpedoman ke negara-negara komunis. b. Politik Konfrontasi Malaysia Indonesia juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi tersebut Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, yang isinya sebagai berikut. 1. Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia. 2. Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris. Pelaksanaan Dwikora dengan mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat menunjukkan adanya campur tanggan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia. c. Politik Mercusuar Politik Mercusuar dijalankan oleh presiden sebab beliau menganggap bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Untuk mewujudkannya maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan Nefo. Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran rupiah diantaranya diselenggarakannya GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) yang membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga Senayan serta biaya perjalanan bagi delegasi asing. Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB sebab Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. d. Politik Gerakan Non-Blok Gerakan Non-Blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan politiknya tidak terpengaruh oleh Blok Barat maupun Blok Timur. Selanjutnya gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa AsiaAfrika dan mencegah perluasan Perang Dingin. Keterlibatan Indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik Indonesia di dunia sudah cukup maju. GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. Bagi

RI, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional dan internasional. Besarnya kekuasaan Presiden dalam Pelaksanaan demokrasi terpimpin tampak dengan: a. Pengangkatan Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen. b. Pidato presiden yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada tanggal 17 Agustus 1959 yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN atas usul DPA yang bersidang tanggal 23-25 September 1959. c. Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal dengan MANIPOL USDEK. d. Pengangkatan Ir. Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang berarti sebagai presiden seumur hidup. e. Pidato presiden yang berjudul ”Berdiri di atas Kaki Sendiri” sebagai pedoman revolusi dan politik luar negeri. f. Presiden berusaha menciptakan kondisi persaingan di antara angkatan, persaingan di antara TNI dengan Parpol. g. Presiden mengambil alih pemimpin tertinggi Angkatan Bersenjata dengan di bentuk Komandan Operasi Tertinggi (KOTI). BAB V KESIMPULAN Gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959, akhirnya mendorong Presiden Soekarno untuk sampai kepada kesimpulan bahwa telah muncul suatu keadaan kacau yang membahayakan kehidupan Negara. Atas kesimpulannya tersebut, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, dalam suatu acara resmi di Istana Merdeka, mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka sebuah sistem demokrasi yakni Demokrasi Terpimpin. Perkembangan Demokrasi Terpimpin dapat dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama, dari bulan Februari 1957 hingga Juli 1958 dan mencakup perkembangan sejak muncul sampai berakhirnya pemberontakkan daerah. Dalam tahap ini, ide tersebut masih kurang berkembang, dalam pengertian konseptual, karena Dewan Nasional yang baru dibentuk dan yang diberi tugas untuk mengembangkan pemikiran ini sedang sibuk dengan masalah yang ditimbulkan oleh daerah luar Jawa, kampanye pembebasan Irian Barat, dan perampasan perusahaan-perusahaan Belanda. Tahap kedua, dari bulan Juli 1958 hingga November 1959, ketika di usahakan perumusan ide dasar Demokrasi Terpimpin. Dalam tahap ini, pertentangan antara pendukung dan penentang Demokrasi Terpimpin menjadi jelas. Masalah-masalahnya ialah dasar-dasar konstitusional bagi Demokrasi Terpimpin, kedudukan konstitusional bagi golongan fungsional di tengahtengah partai politik. Tahap ketiga, dari bulan November 1958 hingga Juli 1959, ketika Demokrasi Terpimpin memasuki tahap pelaksanaan melalui jalan kembali ke Undang-undang Dasar 1945 dan perubahan seluruh sistem politik. Kemudian dalam tahap ini Angkatan Darat memainkan peran yang sangat menentukan, terlebih lagi munculnya anggapan bahwasanya yang menciptakan Demokrasi Terpimpin bukanlah Soekarno melainkan Jenderal Nasution. Karena ketiga inovasi yang terpenting dalam bentuk Demokrasi Terpimpin yaitu golongan fungsional, dwifungsi (pada waktu itu, tahun 1958, jalan tengah tentara) dan Undang-Undang Dasar 1945, seluruhnya berasal dari kantor Jenderal Nasution. Sejak Undang-undang Keadaan Bahaya (Staat van Orlog en Beleg, SOB) tahun 1957, dan penasionalisasian firmafirma Belanda pada tahun 1958 dalam ekonomi, angkatan darat mulai berperan aktif dalam

politik. Dan sejak itu juga Soekarno hanya bisa mencari akal untuk membatasi peranan tentara dari sudut politik, sehingga kedudukannya defensif hingga akhir. Dekrit yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapatkan sambutan dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan negara yang stabil. Namun kekuatan dekrit tersebut bukan hanya berasal dari sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung dan KSAD. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden tersebut, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959, diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri pertama. Demokrasi Terpimpin sebenarnya, terlepas dari pelaksanaannya yang dianggap otoriter, dapat dianggap sebagai suatu alat untuk mengatasi perpecahan yang muncul di dataran politik Indonesia dalam pertengahan tahun 1950-an. Untuk menggantikan pertentangan antara partaipartai di parlemen, suatu sistem yang lebih otoriter diciptakan oleh Presiden Soekarno. Ia memberlakukan kembali konstitusi presidensial tahun 1945 pada tahun 1959 dengan dukungan kuat dari angkatan darat. Akan tetapi Soekarno menyadari bahwa keterikatannya dengan tentara dapat membahayakan kedudukannya, sehingga ia mendorong kegiatankegiatan dari kelompok-kelompok sipil sebagai penyeimbang terhadap militer. Soekarno berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling bersaing dari Demokrasi Terpimpin dengan jalan turut membantu mengembangkan kesadaran akan tujuantujuan nasional. Ia menciptakan suatu ideologi nasional yang mengharapkan seluruh warga negara memberi dukungan kesetiaan kepadanya. Pancasila ditekankan olehnya dan dilengkapi dengan serangkaian doktrin seperti Manipol-Usdek dan Nasakom. Dalam usahanya mendapatkan dukungan yang luas untuk kampanye melawan Belanda di Irian Barat dan Inggris di Malaysia, ia menyatakan bahwa Indonesia berperan sebagai salah satu pimpinan “kekuatan-kekuatan yang sedang tumbuh” di dunia, yang bertujuan untuk menghilangkan pengaruh Nekolim (neokolonialis, kolonialis dan imperialis). Sebagai lambang dari bangsa, Soekarno bermaksud menciptakan suatu kesadaran akan tujuan nasional yang akan mengatasi persaingan politik yang mengancam kelangsungan hidup sistem Demokrasi Terpimpin.

Menguji Soliditas Koalisi Kabinet Indonesia Bersatu •

View



clicks

Posted July 31st, 2008 by andhikasuswanto •

Sosial Politik

Reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II telah lama usai. Namun pesan-pesan politik yang terlontar sebagai wacana publik seiring dengan tersangkutnya dua nama anggota KIB (Menhut MS Kaban dan Kepala Bappenas Paskah Suzetta) sebagai orang-orangyang menerima aliran dana BI ke DPR dan harus segera di reshuffle, kembali menguji kesahih-an soliditas kabinet SBY hingga menjelang Pemilu 2009. Dulu saat melakukan Reshuffle KIB jilid II, seperti yang telah diramalkan banyak pihak sebelumnya, Sang Presiden akhirnya tetap mendasarkan keputusan memilih para

pembantunya pada perimbangan kekuatan politisyang diperkirakan mampu menopang hingga akhir masa jabatan di 2009. Bahkan jika perlu koalisi ala pelangi semacam itu diharapkan bisa langgeng untuk memuluskan periode kedua masa kepresidenan 2009-2014. Memang tidaklah mudah bagi Presiden Yudhoyono untuk menjalankan hak prerogatifnya mengganti menteri-menterinya yang dinilai tidak kredibel. Hal ini dikarenakan budaya yang dikembangkan bangsa ini dalam menjalin kerjasama dengan kalangan parpol adalah pola simbiosis mutualistik-oportunistik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa menjelang reshuffle KIB jilid II waktu itu, beberapa parpol dan elemen organisasi pendukungnya mulai kasak-kusuk guna mencoba mempengaruhi pengambilan keputusan presiden itu. Bahkan SOKSI, yang merupakan salah satu elemen penting Golkar, telah sejak Agustus 2006 mengeluarkan ancaman menarik dukungan kepada pemerintah. Demikian pula PKS juga pernah mewacanakan isu serupa. Selain itu, masih ada lagi manuver yang dilakukan sejumlah pimpinan fraksi DPR yang akhirnya merekomendasikan agar presiden hanya merombak menteri-menteri yang sakit atau menteri-menteri yang kinerjanya tidak optimal saja. Ketika mengumumkan personel baru KIB, Presiden Yudhoyono menyatakan bahwa tujuan perombakan kabinet terbatas yang dilakukan pemerintahannya bukan untuk giliran atau gantian, namun fakta berbicara lain. "Reshuffle terbatas ini bukan semacam giliran atau gantian. Mengapa saya sampaikan demikian karena masih mengalir permintaan dari banyak pihak atau kader parpol untuk duduk di dalam kabinetyang saya pimpin saat ini yang saya tafsirkan beliau-beliau ini menafsirkan dengan giliran atau gantian untuk duduk dalam pemerintahan," kata SBY. SBY berdalih apabila perombakan kabinet itu dilakukan hanya dengan tujuan untuk giliran atau bongkar habis secara menyeluruh tentu tidak sesuai dengan tujuan perombakan kabinet dan akan mengganggu pelaksanaan program-program pemerintahanyang sedang dijalankan. Namun pada kenyataannya sejumlah menteri, khususnya dibidang ekonomi, yang seharusnya digeser karena dinilai masyarakat berkinerja buruk ternyata tidak tersentuh sama sekali, kecuali Kementrian BUMN saja. Karenanya tidak terlalu salah apabila muncul pandangan bahwa pergantian kabinet hanya sekadar ritual atau seremonial belaka ketimbang upaya aktualisasi progresif kinerja pemerintahan. Pesan menjaga stabilitas politik inilah yang tampaknya ingin disampaikan presiden saat mengumumkan hasil reshuffle kabinetnya, yakni tetap mempertahankan dua kursi kabinet untuk PAN (Mensesneg Hatta Rajasa dan Mendiknas Bambang Sudibyo), dua kursi untuk PKB (Menakertrans Erman Suparno), satu kursi bonus buat Golkar (Menkum dan HAM Andi Mattalata). Sementara untuk PBB dan PPP, masing-masing dirasa cukup terwakili lewat Menhut MS Kaban (Ketua Umum PBB) dan Menkop dan UKM Suryadharma Ali (Ketua Umum PPP) dan Bachtiar Chamsyah (Ketua MPP PPP). Kendati PBB dan PPP sedikit meradang setelah beberapa kadernya tergusur, namun hal tersebut diyakini tidak akan mengganggu stabilitas makro kubu pendukung presiden. Secara representatif, selain Partai Demokrat (56 kursi), pemerintahan SBY-JK pun didukung koalisi parpol besar di DPR RI seperti Golkar (128 kursi), PPP (58 kursi), PKB (52 kursi), PAN (53 kursi) dan PKS (45). Dukungan itu didapat setelah masing-masing parpol tersebut mendapat jatah anggota KIB.

Dengan strategi akomodasi semacam itu, SBY-JK berharap memetik kepastian politik yang menjamin berbagai program kerja pemerintahannya tidak akan mendapat resistensi berarti dari parlemen. Namun harga yang harus dibayar SBY untuk menjaga stabilitas itu adalah berbagai keputusan kenegaraan penting berujung pada tawar menawar politik yang tidak memihak rakyat, semisal menaikkan harga BBM atau impor beras, akibat keragu-raguan sikap presiden saat harus memutuskan. Presiden juga tampak tidak leluasa memilih berbagai kebijakannya akibat tersandera oleh kekuatan-kekuatan politik yang mengelilinginya. Sementara itu masa kekuasaan SBY dan JK tinggal seumur jagung lagi dan kurun waktu tersebut merupakan masa-masa penentuan untuk menata perbekalan politik SBY mempertahankan jabatannya di periode berikutnya. Dalam konteks demikian, menjelang Pemilu 2009 nanti pesan politik reshuffle kabinet jilid III ini akan menguji seberapa besar soliditas parpol-parpol yang berutang budi itu terhadap pencalonan kembali SBY. Namun sejarah membuktikan bahwa bangsa ini punya pengalaman yang selalu sama sejak zaman demokrasi parlementer di tahun 1950-an hingga akhir masa kepemimpinan Presoden Megawati. Pengalaman itu adalah ‘pelangi’-nya kepentingan dan ideologi parpol sulit untuk mempersatukan energi politik ke satu arah kepentingan Godaan kursi kekuasaan dan jabatan sering membuat pecahnya kongsi diantara partai-partai pendukung pemerintah maupun dengan pemerintah itu sendiri. Mudah pecahnya koalisi kebangsaan yang sejak awal didesain sebagai oposan setelah munculnya Jusuf Kalla di pucuk pimpinan ”Beringin” menjadi contoh mutakhir betapa koalisi antarparpol tidak lebih dari semacam ”opera sabun”.******

Related Documents