Artikel-Artikel Seputar Isbal
Hukum Memakai Kain Di Bawah Mata Kaki (Isbal) HUKUM ISBAL (Bagian 1) Hukum Menjulurkan Pakaian Hingga Mata Kaki Namun Tidak Sampai Melampauinya
HUKUM ISBAL (Bagian 2) Beberapa Kondisi yang Dikecualikan dari Hukum Haramnya Isbal
HUKUM ISBAL (Bagian 3) Hukum Mengangkat Pakaian Hingga di Atas Pertengahan Betis
Hukum Memakai Kain Di Bawah Mata Kaki (Isbal) Penulis: Syaikh Abdullah ibn Jurullah al Jurullah Rahimahullah Muqoddimah Segala Puji Bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Rabb semesta alam. Aku bersaksi tiada yang berhak diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan shalawat kepada beliau, keluarganya, sahabatnya dan orang yang mengikuti sunnah-sunnah beliau serta orang yang mendapatkan hidayah dengan bimbingan beliau hingga hari akhir. Setelah itu, merupakan suatu kewajiban bagi muslimin untuk mencintai Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, menta'ati beliau dengan melaksanakan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya serta membenarkan berita yang dibawa beliau. Itu semua bisa menunjukkan realisasi Syahadat Laa ilaha ila Allah dan Muhammad Rasulullah. Dengan itu dia bisa mendapatkan pahala dan selamat dari hukuman Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tanda dan bukti hal itu adalah dengan terus komitmen melaksanakan simbolsimbol Islam, dalam bentuk perintah, larangan, penerangan, ucapan, keyakinan maupun amalan. Dan hendaklah dia mengatakan : “sami'na wa atha'na (kami mendengar dan taat)”. Diantara hal itu adalah membiarkan jenggot (tidak mencukurnya) dan memendekkan pakaian sebatas kedua mata kaki yang dilakukan karena ta'at kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Rasul-Nya serta mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan takut pada hukumanNya. Kalau kita mau memeperhatikan kebanyakan orang ? semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi hidayah kepada mereka dan membimbing mereka kepada kebenaran ? akan didapati mereka melakukan perbuatan Isbal (menurunkan pekaian di bawah mata kaki) pada pakaian dan bahkan sampai terseret di atas tanah. Itu adalah perbuatan yang mengandung bahaya besar, karena menentang perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Rasul-Nya dan itu adalah sikap menantang, pelakunya akan mendapat ancaman keras. Isbal dianggap salah satu dosa besar yang diancam dengan ancaman yang keras. Beranjak dari kewajiban untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, saling nasehat menasehati dengan kebenaran, menginginkan agar saudara-saudaraku kaum muslimin mendapat kebaikan dan karena takut kalau mereka tertimpa hukuman yang buruk akibat mayoritas orang melakukan maksiat.
Saya kumpulkan risalah ini berkaitan dengan tema Isbal dan berisi anjuran untuk memendekkan pakaian hingga diatas kedua mata kaki bagi pria serta berisi ancaman bagi yang melakukan Isbal dan memanjangkan melewati mata kaki. Larangan untuk melakukan Isbal adalah larangan yang bersifat umum,apakah karena sombong atau tidak. Itu sama saja dengan keumuman nash. Tapi, bila dilakukan karena sombong maka hal itu lebih keras lagi kadar keharamannya dan lebih besar dosanya . Isbal adalah suatu lambang kesombongan dan orang yang memiiki rasa sombong dalam hatinya walaupun seberat biji dzarrah tidak akan masuk surga, sebagaimana yang diterangkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Maka wajib bagi seorang muslim untuk menyerah dan tunduk dan mendengar dan taat kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah sebelum kematian datang menunjunginya, bila samapai demikian ia akan menemukan ancaman yang dulu telah disampaikan kepadanya. Ketika itu dia menyesal dan tidak ada manfaat penyesalan di waktu itu. Wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari maksiat isbal (memanjangkan celana) dan maksiat lainnya. Hendaklah ia memendekkan pakaiannya di atas kedua mata kaki dan menyesali apa yang telah dia lakukan selama hidupnya. Dan hendaklah ia bertekad dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi maksiat-maksiat di sisa umurnya yang singkat ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menerima taubat bagi orang yang mau bertaubat. Seorang yang bertaubat dari suatu dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa. Risalah ini diambil dari ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sabda Rasulullah serta ucapan para peneliti dari kalangan Ulama. Saya mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar ia memberi manfaat risalah ini kepada penulisnya, atau pencetaknya, atau pembacanya, atau pendengarnya. Dan saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar ia menjadikan amalan ini ikhlas untuk mengharap waahnya yang mulia dan menjadi sebab untuk mencari kebahagian sorga yang nikmat. Dan saya berharap agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah kepada Muslim yang masih melakukan Isbal pada pakaian mereka unuk melaksanakan sunnah Nabi mereka, Muhammad Ibn Abdullah, yaitu dengan memendekkannya. Dan saya berharap agar Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan mereka sebagai orang orang yang membimbing lagi mendapatkan hidayah. Semoga salawat dan salam tercurah pada Nabi kita, Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya dan segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Rabb Semesta alam.
LARANGAN MELAKUKAN ISBAL PADA PAKAIAN Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan nikmat kepada para hambanya berupa pakaian yang menutup aurat-aurat mereka dan memperindah bentuk mereka. Dan ia telah menganjurkan untuk memakai pakaian takwa dan mengabarkan bahwa itu adalah sebaik-baiknya pakaian. Saya bersaksi tidak ada yang diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maha Esa. Tiada sekutu baginya miliknya segenap kekuasan di langit dan di bumi dan kepadanya kembali segenap makhluk di hari Akhir. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu ialah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tidak ada satupun kebaikan kecuali telah diajarkan beliau kepada ummatnya. Dan tidak ada suatu kejahatan kecuali telah diperingatkan beliau kepada ummatnya agar jangan mlakukannya. Semuga Shalawat serta Salam tercurah kepada beliau, keluarganya, dan para sahabatnya dan orang yang berjalan di atas manhaj Beliau dan berpegang kepda sunnah beliau. "Wahai kaum muslimin, bertakwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman : " Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah itu perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala mudah mudahan mereka selalu ingat." (QS Al A'raf -26) Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan nikmat kepada para hambaNya berupa pakaian dan keindahan. Dan pakaian yang dimaksudkan oleh ayat ini ialah pakaian yang menutupi aurat. Dan ar riisy yang dimaksud ayat ini adalah memperindah secara dlohir. maka pakaian adalah suatu kebutukan yang penting, sedangkan ar riisy adalah kebutuhan pelengkap. Imam Ahmad meriwatkan dalam musnadnya, beliau berkata : Abu Umamah pernah memakai pakaian baru, ketika pakaian itu lusuh ia berkata : “Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan pakai ini kepadaku guna menutupi auratku dan memperindah diriku dalam kehidupanku”, kemudian ia berkata : aku mendengar Umar Ibn Khattab berkata : Rasulullah bersabda : "Siapa yang mendapatkan pakaian baru kemudian memakainya. Dan kemudian telah lusuh ia berkata segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan pakaian ini kepadaku guna menutupi auratku dan memperindah diriku dalam kehidupanku dan mengambil pakaian yang lusuh dan menyedekahkannya, dia berada dalam pengawasan dan lindungan dan hijab Allah Subhanahu wa Ta’ala, hidup dan matinya.” (HR Ahmad, Tirmidzi dan Ibn Majah. Dan Turmudzi berkata hadis ini gharib )
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan pakaian tubuh yang digunakan untuk menutup aurat, membalut tubuh dan memperindah bentuk, Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan bahwa ada pakaian yang lebih bagus dan lebih banyak faedahnya yaitu pakaian taqwa. Yang pakaian taqwa itu ialah menghiasi diri dengan berbagai keutamaan-keutamaan. Dan membersihkan dari berbagai kotoran. Dan pakaian taqwa adalah tujuan yang dimaukan. Dan siapa yang tidak memakai pakaian taqwa, tidak manfaat pakaian yang melekat di tubuhnya. Bila seseorang tidak memakai pakaian taqwa, berarti ia telanjang walaupun ia berpakaian Maksudnya : Pakaian yang disebut tadi adalah agar kalian agar mengingat nikmat Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan menyukurinya. Dan hendaknya kalian ingat bagaimana kalian butuh kepada pakaian dhahir dan bagaimana kalian butuh kepada pakaian batin. Dan kalian tahu faedah pakaian batin yang tidak lain adalah pakaian taqwa. Wahai para hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesungguhnya pakaian adalah salah satu nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para hambanya yang wajib disyukuri dan dipuji. Dan pakaian itu memiliki beberapa hukum syariat yang wajib diketahui dan diterapkan. Para pria memiliki pakaian khusus dalam segi jenis dan bentuk. Wanita juga memiliki pakaian khusus dalam segi jenis dan bentuk. Tidak boleh salah satunya memakai pakaian yang lain. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melaknat laki-laki yang meniru wanita dan wanita yang meniru laki laki.(HR Bukhari, Abu Daud, Turmudzi dan Nasa'i). Dan Nabi juga bersabda : "Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat wanita yang memakai pakaian laki-laki dan laki-laki yang memakai pakaian wanita."( HR Ahmad, Abu Daud, Nasa'I, Ibnu Majah, dan Ibnu Hiban dan beliau mensahihkannya, serta Al Hakim, beliau berkata : Hadits ini shahih menurut syarat Muslim). Haram bagi pria untuk melakukan Isbal pada sarung, pakian, dan celana. Dan ini termasuk dari dosa besar. Isbal adalah menurunkan pakaian di bawah mata kaki. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman : "Dan janganlah engkau berjalan diats muka bumi ini dengan sombong, karna sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak suka kepada setiap orang yang sombong lagi angkuh."( Luqman: 18 )
Dari Umar Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasullulah SHALALLAHU ‘ALAIHI WASSALAM bersabda : "Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya di hari kiamat." ( HR Bukhari dan yang lainnya ). Dan dari Ibnu umar juga, Nabi bersabda : "Isbal berlaku bagi sarung, gamis, dan sorban. Barang siapa yang menurunkan pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat." ( Hr Abu Daud, Nasa'i, dan Ibnu Majah. Dan hadits ini adalah hadits yang sahih ). Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda : "Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong". (Muttafaq 'alaihi) Dalam riwayat Imam Ahmad dan Bukhari dengan bunyi : “Apa saja yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di Neraka." Rasullullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda : "Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat. Tidak dilihat dan dibesihkan (dalam dosa) serta akan mendapatkan azab yang pedih, yaitu seseorang yang melakukan isbal (musbil), pengungkit pemberian, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (Hr Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah) Wahai para hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam keadaan kita mengetahi ancaman keras bagi pelaku Isbal, kita lihat sebagian kaum muslimin tidak mengacuhkan masalah ini. Dia membiarkan pakaiannya atau celananya turun melewati kedua mata kaki. Bahkan kadang-kadang sampai menyapu tanah. Ini adalah merupakan kemungkaran yang jelas. Dan ini merupakan keharaman yang menjijikan. Dan merupakan salah satu dosa yang besar. Maka wajib bagi orang yang melakukan hal itu untuk segera bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan juga segera menaikkan pakaiannya kepada sifat yang disyari'atkan. Rasullullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sarung seorang mukmin sebatas pertengahan kedua betisnya. Tidak mengapa ia menurunkan dibawah itu selama tidak menutupi kedua mata kaki. Dan yang berada dibawah mata kaki tempatnya di neraka. (HR Malik dalam Muwaththa' ,dan Abu Daud dengan sanad yang sahih)
Ada juga pihak yang selain pelaku Isbal, yaitu orang-orang yang menaikan pakaian mereka di atas kedua lututnya, sehingga tampak paha-paha mereka dan sebagainya, sebagaimana yang dilakukan klub-klub olahraga, di lapanganlapangan ?. Dan ini juga dilakukan oleh sebagian karyawan. Kedua paha adalah aurat yang wajib ditutupi dan haram dibuka. Dari 'Ali Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Jangan engkau singkap kedua pahamu dan jangan melihat paha orang yang masih hidup dan juga yang telah mati." (HR Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al Hakim. Al Arnauth berkata dalam Jami'il Ushul 5/451 : "sanadnya hasan") Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan manfaat kepadaku dan anda sekalian melalui hidayah kitab-Nya. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan ucapan yang benar kejadian mengikutinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala Ta'ala berfirman : "Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat keras hukuman-Nya (Al Hasyr : 7) HUKUM MENURUNKAN PAKAIAN ( ISBAL ) BAGI PRIA Rasulullah bersabda : "Apa yang ada di bawah kedua mata kaki berupa sarung (kain) maka tempatnya di neraka" (HR.Bukhori) Dan beliau berkata lagi ; "Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong". dan dalam sebuah riwayat yang berbunyi : "Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat di hari kiamat kepada orangorang yang menyeret pakaiannya karena sombong." (HR. Malik, Bukhari, dan Muslim) dan beliau juga bersabda :
" Ada 3 golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan ( dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR. Muslim, Ibn Majah, Tirmidzi, Nasa'i). Musbil (pelaku Isbal) adalah seseorang yang menurunkan sarung atau celananya kemudian melewati kedua mata kakinya. Dan Al mannan yang tersebut pada hadist di atas adalah orang yang mengungkit apa yang telah ia berikan. Dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu adalah seseorang yang dengan sumpah palsu ia mempromosikan dagangannya. Dia bersumpah bahwa barang yang ia beli itu dengan harga sekian atau dinamai dengan ini atau dia menjual dengan harga sekian padahal sebenarnya ia berdusta. Dia bertujuan untuk melariskan dagangannya. Dalam sebuah hadist yang berbunyi : "Ketika seseorang berjalan dengan memakai prhiasan yang membuat dirinya bangga dan bersikap angkuh dalam langkahnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melipatnya dengan bumi kemudian dia terbenam di dalamya hingga hari kiamat. (HR. Mutafaqqun 'Alaihi) Rasulullah bersabda : " Isbal berlaku pada sarung, gamis, sorban. Siapa yang menurunkan sedikit saja karena sombong tidak akan dilihat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat." (HR Abu Dawud dengan sanad Shohih). Hadist ini bersifat umum. Mencakup pakaian celana dan yang lainnya yang yang masih tergolong pakaian. Rasulallah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengabarkan dengan sabdanya ; " Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima shalat seseorang yang melakukan Isbal." (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih. Imam Nawawi mengatakan di dalam Riyadlush Sholihin dengan tahqiq Al Anauth hal: 358) Melalui hadist-hadist Nabi yang mulia tadi menyatakan bahwa menurunkan pakaian di bawah kedua mata kaki dianggap sebagai suatu perkara yang haram dan salah satu dosa besar yang mendapatkan ancaman keras berupa neraka. Memendekkan pakaian hingga setengah betis lebih bersih dan lebih suci dari kotoran kotoran . Dan itu juga merupakan sifat yang lebih bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Oleh karena itu, wajib bagimu… wahai saudaraku muslimin…, untuk memendekkan pakaianmu diatas kedua mata kaki karena taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan pahala-Nya dengan mentaati
Rasullullah . Dan juga kamu melakukannya karena takut akan hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan pahala-Nya. Agar engkau menjadi panutan yang baik bagi orang lain. Maka segeralah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melakkukan taubat nasuha (bersungguh-sungguh) dengan terus melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Dan hendaknya engkau telah menyesal atas apa yang kau perbuat. Hendaknya engkau sungguh-sungguh tidak untuk tidak megulangi perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dimasa mendatang, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat orang yang mau bertaubat kepada-Nya, karena ia maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang. "Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala, terimalah taubat kami, sungguhnya engkau maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang." "Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala berilah kami dan semua saudara saudara kami kaum muslimin bimbingan untuk menuju apa yang engkau ridloi, karena sesungguh-Nya engkau maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Dan semoga shalawat serta salam tercurahkan kepada Muhammad, keluarganya dan sahabatnya." BEBERAPA FATWA TENTANG HUKUMNYA MEMANJANGKAN PAKAIAN KARENA SOMBONG DAN TIDAK SOMBONG Pertanyaan : Apakah hukumnya memanjangkan pakaian jika dilakukan karena sombong atau karena tidak sombong. Dan apa hukum jika seseorang terpaksa melakukakannya, apakah karena paksaan keluarga atau karena dia kecil atau karena udah menjadi kebiasaan ? Jawab : Hukumnya haram sebagaimana sabda Nabi : "Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung maka tempatnya di Neraka " (HR.Bukhari dalam sahihnya ) Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih Abu Dzar ia berkata: Rasulullah bersabda: " Ada 3 golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari Kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." ( HR. Muslim, Ibn Majah, Tirmidzi, Nasa'i).
Kedua hadist ini semakna dengan mencakup musbil yang sombong atau karena sebab lain. Karena Rasulullah mengucapkan dengan bentuk umum tanpa mengkhususkan . Kalau ia melakukan karena sombong maka dosa yang ia lakukan akan lebih besar lagi dan ancamannya lebih keras, Rasulullah bersabda :"Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong". (Muttafaq 'alaihi) Tidak boleh menganggap bahwa larangan melakukan Isbal itu hanya karena sombong saja, karena rasullullah tidak memberikan pengecualian hal itu dalam kedua hadist yang telah kita sebutkan tadi, sebagaiman juga beliau tidak memberikan pengecualian dalam hadist yang lain, Rasul bersabda : "Jauhilah olehmu Isbal, karena ia termasuk perbuaan yang sombong" (HR Abu Daud, Turmudzi dengan sanad yang shahih). Beliau menjadikan semua perbuatan Isbal termasuk kesombongan karena secara umum perbuatan itu tidak dilakukan kecuali memang demikian. Siapa yang melakukannya tanpa diiringi rasa sombong maka perbuatannya bisa menjadi perantara menuju kesana. Dan perantara dihukumi sama dengan tujuan . dan semua perbuatan itu adalah perbuatan berlebihan lebihan dan mengancam terkena najis dan kotoran. Oleh karena itu Umar Ibn Khatab melihat seorang pemuda berjalan dalam keadaan pakaiannya menyeret di tanah, ia berkata kepadanya : "Angkatlah pakaianmu, karena hal itu adalah sikap yang lebih taqwa kepada Rabbmu dan lebih suci bagi pakaianmu ( Riwayat Bukhari lihat juga dalam al Muntaqo min Akhbaril Musthafa 2/451 ) Adapun Ucapan Nabi kepada Abu Bakar As Shiddiq ketika ia berkata : "Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benarbenar menjaganya. Maka beliau bersabda :"Engkau tidak termasuk golongan yang melakukan itu karena sombong." (Muttafaq ‘alaih). Yang dimaksudkan oleh oleh Rasulullah bahwa orang yang benar-benar menjaga pakaiannya bila melorot kemudian menaikkannya kembali tidak termasuk golongan orang yang menyeret pakaiannya karena sombong. Karena dia (yang benar-benar menjaga ) tidak melakukan Isbal. Tapi pakaian itu melorot (turun tanpa sengaja) kemudian dinaikkannya kembali dan menjaganya benarbenar. Tidak diragukan lagi ini adalah perbuatan yang dimaafkan. Adapun orang yang menurunkannya dengan sengaja, apakah dalam bentuk celana atau sarung atau gamis, maka ini termasuk dalam golongan orang yang mendapat ancaman, bukan yang mendapatkan kemaafan ketika pakaiaannya turun. Karena hadits-hadits shahih yang melarang melakukan Isbal besifat umum dari segi teks, makna dan maksud.
Maka wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati terhadap Isbal. Dan hendaknya dia takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika melakukannya. Dan janganlah dia menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki dengan mengamalkan hadits-hadits yang shahih ini. Dan hendaknya juga itu dilakukan karena takut kepada kemurkaan Alllah dan hukuman-Nya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq. (Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Bazz dinukil dari Majalah Ad Da'wah hal 218). TIDAK BOLEH MELAKUKAN ISBAL SAMA SEKALI Pertanyaan: Bila seeorang melakukan Isbal pada pakaiannya tanpa diiringi rasa sombong dan angkuh, apakah itu juga diharamkan baginya? Dan apaakah hukum Isbal itu juga berlaku pada lengan pakaian? Jawab: Isbal tidak boleh dilakukan secara mutlak berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam : "Apa yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka itu tempatnya di neraka." (HR Bukhari dalam shahihnya) Dan juga karena sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir Ibn Sulaim: "Jauhilah Isbal olehmu, karena itu tergolong kesombongan." (HR Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih) Dan juga karena sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam yang tsabit dari beliau: "Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan dari dosa serta mereka akan mendapat aazab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR Muslim dalam shahihnya) Tidak ada beda apakah dia melakukan karena sombang atau tidak. Itu berdasarkan keumuman banyak hadits. Dan juga karena secara keumuman itu dilakukan karena sombong dan angkuh, walau dia tidak bermaksud demikian. Perbuataannya adaalah perantara menuju kesombongan dan keangkuhan. Dan dalam perbuatan itu juga ada mengandung unsur meniru wanita dan mempermudah pakaian dikenai kotoran dan najis. Serta perbuatan itu juga menunjukkan sikap berlebih-lebihan. Siapa yang melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar. Berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam : "Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat." (HR Bukhari dan Muslim) Adapun sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam kepada Abu Bakar Ash Shiddiq
Radliyallah'anhu ketika dia mengatakan kepada beliau bahwaa sarungnya sering melorot kecuali kalau dia benar-benar menjaganya: "Sesungguhnya engkau tidak termasuk orang yang melakukannya karena sombong."(HR Bukhari dan Muslim) Ini adalah bantahan bagi orang yang melakukannya, tapi berdalil dengan apa yang dilakukan Abu Bakar Ash Shiddiq. Bila dia memang benar-benar menjaganya dan tidak sengaja membiarkannya, itu tidak mengapa.
Adapun lengan baju, maka sunnahnya tidak melewati pergelangan?Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq.(dari sumber yang sama hal.220) HUKUM MEMANJANGKAN CELANA Pertanyaan: Sebagian orang ada yang memendekkan pakaiannya di atas kedua mata kaki, tapi celananya tetap panjang. Apa hukum hal itu? Jawab: Isbal adalah perbuatan haram dan mungkar, sama saja apakah hal itu terjadi pada gamis atau sarung. Dan Isbal adalah yang melewati kedua mata kaki berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam "Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di neraka." (HR Bukhari) Dan beliau Shalallahu 'alaihi wasallam juga bersabda: "Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan dari dosa serta mereka akan mendapat aazab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR Muslim dalam shahihnya) Beliau juga bersabda kepaada sebagian para sahabatnya: "Jauhilah Isbal olehmu, karena itu termasuk kesombongan." (HR Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih) Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Isbal termasuk salah satu dosa besar, walau pelakunya mengira bahwa dia tidak bermaksud sombong ketika melakukannya, berdasarkan keumumannya. Adapun orang yang melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam :
"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya di hari kiamat." (HR Bukhari dan Muslim) Karena perbuatan itu menggabung antara Isbal dan kesombongan. Kita mengharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia memberi keampunan. Adapun ucapan Nabi Shalallaahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Bakr ketika dia berkata kepada Beliau: " Wahai Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, sarungku sering turun kecuali kalau aku benar-benar menjaganya." Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya:" Engkau tidak termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong." (HR Bukhari dan Muslim) Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Isbal boleh dilakukan bagi orang yang tidak karena sombong. Tapi hadits ini menujukkan bahwa orang yang sarungnya atau celananya melorot tanpa maksud sombong kemudian dia benar-benar menjaganya dan membetulkannya tidak berdosa. Adapun menurunkan celana di bawah kedua mata kaki yang dilakukan sebagian orang adalah perbuatan yang dilarang. Dan yang sesusai dengan sunnah adalah hendaknya gamis atau yang sejenisnya, ujungnya berada antara setengah betis sampai mata kaki dengan mengamalkan semua hadits-hadits tadi. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq (Dari sumber yang sama hal. 221). Pertanyaan : Apakah menurunkan pakaian melewati kedua matakaki (Isbal) bila dilakukan tanpa sombong didanggap suatu yang haram atau tidak ? Jawab : Menurunkan pakaian di bawah kedua mata kaki bagi pria adalah perkara yang haram. Apakah itu karena sombong atau tidak. Akan tetapi jika dia melakukannya karena sombong maka dosanya lebih besar dan keras, berdasarkan hadist yang tsabi dari Abu Dzar dalam Shahih Muslim, bahwa Rasulullah bersabda : "Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, tidak dibersihkan dari dosa serta mereka akan mendapatkan azab yang pedih." Abu Dzarr berkata : "Alangkah rugi dan bangkrutnya mereka ya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam ! Beliau berkata: "(Mereka adalah pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah palsu" ( HR Muslim dan Ashabus Sunan) Hadis ini adalah hadist yang mutlak akan tetapi dirinci dengan hadist Ibnu umar, dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, beliau bersada :
"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat."(HR Bukhari) Kemutlakan pada hadist Abu Dzar dirinci oleh hadist Ibnu Umar, jika dia melakukan karena sombong Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya, membersihkannya dan dia akan mendapatkan azab sangat pedih. Hukuman ini lebih berat dari pada hukuman bagi orang yang tidak menurunkan pakaian tanpa sombong. Karena Nabi berkata tentang kelompok ini dengan: "Apa yang berada dibawah kedua mata kaki berupa sarung maka tempatnya di neraka" (HR Bukhari dan Ahmad) Ketika kedua hukuman ini berbeda, tidak bisa membawa makna yang mutlak kepada pengecualian, karena kaidah yang membolehkan untuk megecualikan yang mutlak adalah dengan syarat bila kedua nash sama dari segi hukum. Adapun bila hukum berbeda maka tidak bisa salah satunya dikecualaikan dengan yang lain. Oleh karena ini ayat tayammum yang berbunyi : "Maka sapulah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian dengan tanah itu." (Al Maidah :6). Tidak bisa kita kecualikan dengan ayat wudlu yang berbunyi : "Maka basuhlah wajah wajah kalian dan tangan tangan kalian sampai siku. ( Al Maidah : 6). Maka kita tidak boleh melakukan tayammum sampai kesiku. Itu diriwayatkan oleh Malik dan yang lainnya dari dari Abu Said Al Khudri bahwa Nabi bersabda : "Sarung seseorang mukmin sampai setengah betisnya. Dan apa yang berada dibawah mata kaki, maka tempatnya di neraka. Dan siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya." Disini Nabi menyebutkan dua contoh dalam hukum kedua hal itu , karena memang hukum keduanya berbeda. Keduanya berbeda dalam perbuatan, maka juga berbeda dalam hukum. Dengan ini jelas kekeliruan dan yang mengecualikan sabda Rasulullah ; "Apa yang dibawah mata kaki tempatnya dineraka." Dengan sabda beliau : "Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala." Memang ada sebagian orang yang bila ditegur perbuatan Isbal yang dilakukannya, dia berkata: Saya tidak melakuakan hal ini karena sombong . Maka kita katakan kepada orang ini : Isbal ada dua jenis, yaitu jenis hukumnnya ; adalah bila seseorang melakukannya karena sombong maka dia tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendapatkan siksa yang sangat pedih. berbeda dengan orang yang melakukan Isbal tidak karena sombong. orang ini akan mendapatkan adzab, tetapi ia masih di ajak bicara, dilihat dan dibersihkan dosanya. Demikian kita katakan kepadanya. (diambil dari As'ilah Muhimmah Syaikh Muhammad Ibn Soleh Utsaimin) (Dinukil dari kitab Tadzkiirusy Syabaab bimaa Jaa’a Fii Isbalits Tsiyab, Edisi Indonesia “Hukum Isbal” diterjemahkan oleh Al Ustadz Ali Ishmah al Maidani Penerbit Adz Dzahabi Medan)
HUKUM ISBAL (Bagian 1) Hukum Menjulurkan Pakaian Hingga Mata Kaki Namun Tidak Sampai Melampauinya
Penulis: Al-Ustadz Kholiiful Hadii
Hadits-hadits yang telah disebutkan dalam masalah larangan isbal itu pada umumnya berkaitan dengan larangan menjulurkan pakaian hingga turun sampai di bawah mata kaki. Contohnya seperti hadits Abu Huroiroh [yang dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhori (no. 5787)], bahwasanya Rosululloh bersabda: ازَا ِر َ ِ ا ِر َ ِ ِ ََْْْ ا َ ِ َ َ َْ َأ “Bagian kain sarung yang terletak di bawah kedua mata kaki itu berada di dalam neraka.”
Dan haditsnya ‘Aisyah yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad [dalam kitab Musnadnya (6/59,257)]1, bahwasanya Rosululloh bersabda: ازَا ِر ِ ا ِر َ ِ ِ َْْ ا َ َْ َ “Bagian kain sarung yang terletak di bawah mata kaki itu berada di dalam neraka.” Juga kisah ‘Umar dengan seorang pemuda yang mengisbalkan kain sarungnya hingga terseret di tanah. Maka beliaupun memanggilnya lalu bertanya: “Apakah engkau haid?” Ternyata pemuda tadi justru balik bertanya: “Wahai Amirul Mu’minin, apakah laki-laki juga haid?” Maka ‘Umarpun bertanya lagi [untuk mengingkari perbuatannya]: “Lalu kenapa engkau menurunkan kain sarungmu sampai menyentuh kedua telapak kakimu?”2 Hal ini juga ditunjukkan oleh penjelasannya sebagian ulama. Seperti Imam Ibnu Hazm yang berkata dalam kitab Al-Muhalla (2/392): ً َْ َأ َ َ ْ َأ َ ِ ََْْْن ِإَ ا َ "َُ$ ْ َأن ُ ُ%& َ)َْ(ُ'ُ ا$ ب ٍ ْ"َ, - ُ آ0 / َ1 َو
“Haknya setiap pakaian yang dikenakan oleh seorang laki-laki adalah sampai mata kaki, dan sama sekali tidak boleh lebih rendah lagi.” Kalimat ( )ا اdi sini bukan berfungsi sebagai ($4 ا:puncak) dan (ء67 ا:batas akhir) yang menunjukkan bahwa haknya pakaian itu hanya sampai pada bagian yang tepat di atas kedua mata kaki (tidak termasuk yang menutupi mata kaki). Tapi kalimat tersebut bermakna ( ا8), sehingga menunjukkan bahwa haknya pakaian itu adalah sampai pada bagian yang
menutupi kedua mata kaki. Makna ini ditunjukkan oleh perkataan Imam Ibnu Hazm berikutnya, yaitu kalimat: ( ا ا: sama sekali tidak boleh lebih rendah lagi [dari kedua mata kaki]). Dan hal ini sama modelnya dengan Firman Alloh: ِ 0ِ َ&َا9ْْ ِإَ ا:َُ$ ;ِ ْ$ ْ َو َأ:َُُ"ْه% َ=ْ(ِ)ُ"ا ُو
“… maka cucilah wajah kalian dan tangan kalian sampai ke siku-siku”, [dimana siku-siku termasuk bagian yang harus dicuci bersamaan dengan mencuci tangan ketika wudhu’]. Dan penulis kitab ‘Aunul Ma’bud juga melontarkan pernyataan senada. Beliau berkata: “Yang diperbolehkan dan tidak makruh adalah pakaian yang panjangnya hingga di bawah pertengahan betis sampai kedua mata kaki. Sedangkan pakaian yang panjangnya sampai di bawah mata kaki itu hukumnya haram dan terlarang.”
Kemudian juga ada pernyataan Imam Ibnul ‘Arobi [dalam kitab ‘Aridhotul Ahwadzi (7/238)]: “Tidak diperbolehkan bagi seorang lelaki untuk memanjangkan pakaiannya sampai melampaui mata kakinya.” Sementara Samahatusy Syaikh Ibnu Baz berkata [sebagaimana dalam kitab Fatawa wa Tanbihaat wa Nashoih (hal. 533)]: “Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati terhadap perbuatan isbal serta bertaqwa kepada Alloh dalam masalah tersebut. Dan wajib pula baginya untuk tidak menurunkan pakaiannya sampai melampaui mata kakinya ... “ Ini semua menunjukkan bahwa yang terlarang hanyalah menjulurkan pakaian hingga turun melampaui mata kaki. [Adapun semata-mata memanjangkannya hingga menutupi mata kaki itu tidak termasuk dalam larangan isbal.]
Kemudian jika ada yang melontarkan kritikan dengan menyebutkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri, bahwasanya Rosululloh bersabda:
َ َ ْن َأ َ َ َو َ آ, ِ ََْْْ ا َ َْE ََْ'ُ َوE َ9ِْ ج َ &َ َ1 َ َو, ِ ? ا(ق ِ ْ@ِ7 َِْ ِ ِإAُ9ِْإزْ َر ُة ا ُ َ" ِ ا ِر6َ ِ ََْْْ ا َ ِ “Kain sarungnya seorang mukmin [laki-laki itu turun] sampai pertengahan betisnya. Dan tidaklah berdosa [kalau dia menurunkannya sampai pada bagian kaki] antara tengah betis dengan kedua mata kaki. Adapun bagian yang lebih rendah dari kedua mata kaki itu tempatnya di neraka …”
Jawab:
Kesimpulan maksimal yang bisa diambil dari hadits Abu Sa’id ini hanyalah menunjukkan bahwa terjulurnya pakaian sampai menutupi mata kaki itu didiamkan oleh Rosululloh. Tapi setelah itu beliau memberikan penjelasan dengan Sabdanya: “Adapun bagian yang lebih rendah dari kedua mata kaki itu tempatnya di neraka” [Dari sini bisa dipahami secara tersirat bahwa bagian pakaian yang tepat menutupi mata kaki itu tidak termasuk yang diancam dengan neraka.
Dan berkaitan dengan masalah ini, pernah diajukan pertanyaan kepada Al-Lajnah Ad-Daimah sebagai berikut: “Bagaimanakah batasan [diperbolehkannya] menjulurkan kain sarung? Dan sampai dimanakah batas akhir [diperbolehkannya] memanjangkan pakaian?” Maka jawaban Al-Lajnah – sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Fatawa Islamiyyah (hal. 236): “Kain sarungnya seorang mukmin itu sampai pada pertengahan kedua betisnya. Dan diperbolehkan untuk menjulurkannya hingga batasan antara tengah betis dengan kedua mata kaki. Adapun bagian pakaian yang berada di bawah kedua mata kaki adalah haram, dan orang yang memakainya berhak untuk mendapatkan siksa di akhirat serta hukuman [yang bersifat mendidik] di dunianya. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dan Imam Muslim, bahwasanya Rosululloh bersabda: ازَا ِر َ ِ ا ِر َ ِ ِ ََْْْ ا َ ِ َ َ َْ َأ “Bagian kain sarung yang terletak di bawah kedua mata kaki itu berada di dalam neraka.” …” Demikian cuplikan fatwa dari Al-Lajnah Ad-Daimah. Wallohu A’lam bish-Showab. Namun setelah itu tampak bagi saya bahwa menjulurkan pakaian hingga menutupi mata kaki itu juga termasuk dalam larangan isbal, meskipun tidak sampai melampauinya. Hal ini berdasarkan haditsnya Hudzaifah yang dikeluarkan oleh Imam An-Nasai (8/206-207) lewat jalur Al-A’masy, Imam Ahmad dalam Musnad-nya (5/39) lewat jalur Syu’bah, dan Imam Ibnu Hibban sebagaimana dalam kitab Al-Ihsan (no. 5425) lewat jalur Sufyan Ats-Tsauri, semuanya dari Abu Ishaq dari Muslim bin Nudzair dari Hudzaifah, bahwasanya Rosululloh bersabda:
ِ ََْْْ)ِ 0 َ1 َ َو, ِ ِْ َورَا ِء ا(ق9َ َ َْEنْ َأKَِ , َ َ ْJَ َ َ َْEنْ َأKِ َ , َِ)َFََْْ ِ َو اG(ف ا ِ َ@ْ7 ازَا ِر ِإَ َأ8ُ ِIْ"َ ِ ازَا ِر
“Tempatnya sarung itu sampai ke pertengahan betis dan ototnya. Lalu kalau engkau enggan [untuk mengangkatnya sampai tengah betis], maka boleh lebih rendah sedikit. Kemudian bila engkau masih enggan juga, maka boleh di bawah betis. Dan tidak ada hak sama sekali bagi kedua mata kaki sebagai tempat sarung.” Sanad hadits ini adalah hasan, dikarenakan adanya Muslim bin Nudzair. Adapun Abu Ishaq yang terdapat di dalam sanad di atas adalah ‘Amr bin ‘Abdillah AsSabi’I. Dia adalah seorang rowi yang tercampur hafalannya di akhir masa hidupnya, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab At-Taqrib (no. 5065). Namun Sufyan Ats-Tsauri dan Syu’bah termasuk murid yang meriwayatkan dari Abu Ishaq sebelum tercampur hafalannya. Bahkan keduanya adalah murid yang paling mantap periwayatannya dari Abu Ishaq, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Ibnu Ma’in. Dan periksalah penjelasan Al-Hafizh Ibnu Rojab dalam kitab Syarah ‘Ilal Tirmidzi (hal. 710). Namun Abu Ishaq ini telah disifati oleh Imam An-Nasai dan yang lain sebagai seorang rowi Mudallis. Bahkan Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menyebutkannya dalam kitab Thobaqotul Mudallisin pada tingkatan yang ketiga. [Yaitu dari kalangan para rowi Mudallis yang sering melakukan tadlis (manipulasi hadits), sehingga para imam tidak mau berhujjah dengan hadits-haditsnya, kecuali yang mereka riwayatkan dengan menggunakan ungkapan yang jelas menunjukkan bahwa dia benar-benar mendengar hadits tersebut langsung dari syaikhnya dalam sanad. Akan tetapi Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Silsilah Ash-Shohihah (no. 2366) telah mengutarakan jawaban tentang masalah ini dari dua sisi: Sisi pertama: Syu’bah tidaklah meriwayatkan hadits-haditsnya Abu Ishaq As-Sabi’I yang tidak disampaikan dengan ungkapan tegas bahwa dia mendengarnya langsung dari syaikhnya. Sisi kedua: Dalam kaitannya dengan hadits Hudzaifah ini, Abu Ishaq As-Sabi’I telah melaksanakan perbuatan yang menegaskan bahwa dia benar-benar mendengar hadits tersebut langsung dari Muslim bin Nudzair. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh riwayat Imam Ahmad (5/39), beliau berkata: ‘Affan telah menceritakan hadits kepadaku, dia berkata: Syu’bah telah menceritakan hadits kepadaku dari Abu Ishaq, dia berkata: Saya telah mendengar dari Muslim bin Nudzair dari Hudzaifah.
Demikian jawaban Asy-Syaikh Al-Albani, sehingga sudah hilanglah kemungkinan adanya tadlis dari Abu Ishaq dalam hadits ini. Jadi, bisa disimpulkan bahwa sanad hadits ini adalah hasan. Wallohu A’lam. Dan berkaitan dengan penjelasan dari Sabda Nabi: ‘Dan tidak ada hak sama sekali bagi kedua mata kaki sebagai tempat sarung’, Imam As-Sindi berkata dalam catatan pinggir (hasyiyah) terhadap Sunan An-Nasai (8/207): “Maksudnya: Janganlah engkau menjulurkan kain sarung yang engkau pakai sehingga menutupi kedua mata kaki. Dan zhohir hadits ini menunjukkan bahwa Sabda Nabi inilah yang menjadi batasan [dalam masalah larangan isbal], meskipun [ketika menjulurkan pakaian hingga menutup mata kaki itu] tidak disertai dengan kesombongan. Memang tidak bisa dipungkiri, jikalau perbuatan tersebut diiringi dengan kesombongan maka perkaranya lebih parah. Sedangkan bila tanpa rasa sombong itu perkaranya lebih ringan, [dan ini tidak menafikan keharamannya].” Adapun Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Silsilah Ash-Shohihah (4/95) telah menyusun suatu bab dengan tema: Wajibnya Mengangkat Kain Sarung Sampai di Atas Kedua Mata Kaki. Dan berdasarkan pembahasan yang terakhir ini, maka pendapat yang benar adalah wajibnya mengangkat pakaian sampai di atas kedua mata kaki, dan selama-lamanya tidak ada hak bagi kedua mata kaki sebagai tempat pakaian. [Jadi, menjulurkan pakaian sampai turun menutupi kedua mata kaki itu termasuk kategori perbuatan isbal yang telah diharamkan dalam Syariat Islam yang mulia. Catatan: Faidah dari pembahasan yang terakhir ini saya dapatkan dari Al-Akh Luqman –Semoga Alloh senantiasa menjaganya-. Bersambung Insya Allah.
Hadits ini statusnya adalah hasan li-ghoirihi, sebagaimana yang telah disebutkan di bagian awal pembahasan tentang Hukum Isbal Tanpa Niat Sombong.
2 Atsar ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah (8/293 dengan sanad yang shohih, sebagaimana yang dinyatakan oleh penulis kitab Al-Isbal li-Ghoirill Khuyala’.
HUKUM ISBAL (Bagian 2) Beberapa Kondisi yang Dikecualikan dari Hukum Haramnya Isbal
Penulis: Al-Ustadz Kholiiful Hadii
Dengan memperhatikan beberapa dalil denganpembahasannya yang telah dipaparkan di atas, bisa disimpulkan adanya beberapakondisi dimana isbal tidak diharamkan.
Pertama: Kondisi darurat yang memaksa seorang lelaki untuk melakukan isbal. Di antaranya adalah contoh keadaan yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari (10/257). Beliau berkata: “Dikecualikan dari [larangan] isbal pada pakaian secara mutlak adalah pakaian yang dikenakan dengan isbal karena terpaksa oleh keadaan. Contohnya seperti seorang pria yang pada mata kakinya terdapat luka, dimana dia terganggu dengan adanya lalat [yang mengerumuni luka tersebut] apabila dia tidak menutupinya dengan kain sarung [yang dia julurkan hingga menutupi mata kaki yang ada lukanya]. Sementara dia tidak mendapatkan sesuatu untuk menutupi luka tersebut selain sarungnya [yang dia kenakan secara isbal karena terpaksa]. Dan adanya pengecualian ini telah diberitahukan oleh Syaikh kami (Al-Hafizh Al-‘Iroqi) dalam kitab Syarah Sunan Tirmidzi. Beliau berdalil tentang hal tersebut dengan adanya izin dari Nabi kepada ‘Abdurrohman bin ‘Auf untuk memakai gamis yang terbuat dari sutra karena penyakit gatal yang dideritanya. Adapun faktor kesamaan antara dua kondisi tersebut1 adalah adanya keterpaksaan (darurat) yang menyebabkan diperbolehkannya melanggar sesuatu yang asalnya sudah ada larangan dari Nabi. Hal ini seperti diperbolehkannya menyingkap aurat untuk proses pengobatan [jika kondisinya memang mendesak untuk dilakukannya hal tersebut].” Kedua: Kondisi para wanita [muslimah yang memang senantiasa butuh untuk menjulurkan kainnya hingga isbal dalam rangka untuk menutupi aurat mereka. Bahkan Al-Qodhi ‘Iyadh –sebagaimana yang tercantum dalam kitab Fathul Bari (10/259)- telah menukilkan kesepakatan para ulama tentang terbatasnya larangan isbal hanya bagi kaum laki-laki, dan tidak berlaku bagi kaum wanita.
Namun keringanan ini hanya terbatas sampai sepanjang satu hasta jika diukur dari tengah betis mereka. Adapun selebihnya adalah isbal yang tidak diperbolehkan oleh Nabi bagi kaum wanita, sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash hadits Ibnu ‘Umar yang dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 4117) dan dishohihkan oleh AsySyaikhAl-Albani dalam kitab Shohih Abi Dawud.] Ketiga: Apabila pakaian seorang lelaki turun dengan sendirinya dan dia tidak bermaksud untuk sengaja melakukan isbal, kemudian juga disertai dengan adanya usaha untuk menjaga pakaiannya supaya tidak sampai isbal. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam kisahnya Abu Bakar. [Dan masuk juga pada kategori ini bila pakaian seorang lelaki itu menjadi isbal tanpa sengaja karena lupa, terkejut, tergesa-gesa dan kondisi lainnya yang sejenis, sementara dia sudahberusaha untuk menjaganya supaya tidak isbal.] Batasan Sunnah dalam Pakaian Ada beberapa hadits yang menerangkan tentang batasan panjangnya pakaian secara syar’i. Dan di sini akan disebutkan empat hadits yang telah tsabit dari Rosululloh. 1. Hadits Hudzaifah yang dikeluarkan oleh Imam An-Nasai (8/206-207),Imam Ahmad dalam Musnad-nya (5/39), dan Imam Ibnu Hibban sebagaimana dalam kitab Al-Ihsan (no. 5425) [dengan sanad yang hasan], bahwasanya Rosululloh bersabda: ِ ََْْْ)ِ 0 َ1 َ َو, ِ ِْ َورَا ِء ا(ق9َ َ َْEنْ َأKِ َ , َ َ ْJََ َ َْEنْ َأKَِ , َِ)َFََْْ ِ َو اG(ف ا ِ َ@ْ7ُِزَا ِر ِإَ َأIْ"َ ِ ازَا ِر “Tempatnya sarung itu sampai ke pertengahan betis dan ototnya. Lalu kalau engkau enggan [untuk mengangkatnya sampai tengah betis], maka boleh lebih rendah sedikit. Kemudian bila engkau masih enggan juga, maka boleh di bawah betis. Dan tidak ada hak sama sekali bagi kedua mata kaki sebagai tempat sarung.2 Hadits Anas yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/249) dan Imam Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman, bahwasanya Rosululloh bersabda: َ ِ ََْْْ " ِإَ ا: ل َ َG َ ِْ9ِ)ْ(ُ9َْ)َ اN O َ ِ ِ ; َة َذQ َرأَى9َ)َ " ِ ? ا(ق ِ ْ@ِ7 َزَا ُر ِإ ِ " َا "O َ ِ ِْ َذ َ َ َْ َأ9ِْ &َ َْT
“Kain sarung itu terjulur sampai pertengahan betis.” Kemudian tatkala beliau melihat beratnya hal tersebut bagi kaum muslimin, beliaupun bersabda: “Sampai [tepat di atas3] kedua mata kaki. Dan sama sekali tidak ada kebaikan pada bagian yang terjulur di bawah itu [yaitu mulai mata kaki ke bawah].” Hadits Anas ini disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits AshShohihah (no.1765) 3. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri, bahwasanya Rosululloh bersabda : "َ ُ6َ O َ ِ ِْ َذ َ َ ْن َأ َ َ َو َ آ, ِ ََْْْ ا َ َْE ََْ'ُ َوE َ9ِْ ح َ َُ% َ ْج َأو َ &َ َ1 َ َو, ِ ? ا(ق ِ ْ@ِ7 َِْ ِ ِإAُ9ِْإزْ َر ُة ا ا ِر ِ
“Kain sarungnya seorang mukmin [laki-laki itu turun] sampai pertengahan betisnya. Dan tidaklah berdosa atau tidak mengapa [kalau dia menurunkannya sampai pada bagian kaki] antara tengah betis dengan kedua mata kaki. Adapun bagian yang lebih rendah dari itu [yaitu turun sampai menyentuh mata kaki atau bahkan melampauinya], maka tempatnya di neraka.” Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 4093), Imam Ibnu Majah (no. 3573), Imam An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubro (no. 9715), Imam Ahmad dalam Musnadnya (3/5), Imam Malik dalam Al-Muwaththo’ (no. 713) dan Imam Ath-Thobaroni dalam Mu’jamul Ausath (no. 5200), semuanya lewat jalur periwayatan Al-‘Ala’ bin ‘Abdirrohman dari bapaknya dari Abu Sa’id Al-Khudri sebagaimana di atas. Dan sanad hadits ini adalah hasan dikarenakan adanya Al-‘Ala’. Sementara penulis kitab ‘Aunul Ma’bud (6/103) menjelaskan: “Hadits Abu Sa’id Al-Khudri tersebut mengandung dalil yang menunjukkan bahwa yang dianjurkan (mustahab) pada kain sarung seorang muslim adalah [dinaikkan] hingga pertengahan betis. Dan diperbolehkan (tanpa ada unsur makruh) pada kain sarung yang [diturunkan hingga] di bawah pertengahan betis sampai kedua mata kaki.4 Adapun bagian kain sarung yang berada di bawah kedua mata kaki adalah haram serta terlarang. Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bari (10/259): “Ringkasnya bisa disimpulkan bahwa kaum lelaki itu memiliki dua keadaan. Pertama: kondisi yang dianjurkan, yaitu mencukupkan kain sarungnya hanya sampai sebatas pertengahan betis. Kemudian yang kedua: kondisi yang masih diperbolehkan, yaitu menjulurkannya sampai ke mata kaki.”5 Namun sangat disayangkan kenyataan yang terjadi di kalangan orang-orang muslim, dimana Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Silsilah Al-Ahadits AshShohihah (no. 1765) menuturkan: “Dan ini termasuk di antara sunnah-sunnah
yang telah ditinggalkan dan tidak diperdulikan lagi oleh orang-orang khusus6 di kalangan kau muslimin, apalagi orang awamnya.” Fakta ini jelas sangat bertolak belakang dengan sikap yang diambil oleh para sahabat dalam masalah ini. Sebagaimana yang bisa dipahami dari haditsnya ‘Amr bin Asy-Syarid, dia berkata: ]-7" ِإ: ل َ َG , " Y َ ِا0ك َو ا َ ْ ِإزَا َر8َ ْ " ار: ل َ َZَ ل َ ع ِإَْ'ِ َأوْ هَ&ْ َو َ &َ ْJََ , Vُ & ِإزَا َر/ ُWَ$ ً Xُ% َرY ِ لا ُ "َُْ َ; َرEَأ Vُ ِإزَا ُر َْ ُ; ِإE ُ ُ%& اO َ ِ ي َذ َ َ ُر ِؤ9َ , " ٌَ(َ1 Y ِ ِ ا0ْ)َT ُن آ Kِ َ ك َ ْ ِإزَا َر8َ ْ" ار: ل َ َZَ , " ي َ ََْ ُرآO / َ_ْ@َ ? ُ َْ1َأ ِ'َْGَ ف ِ َ@ْ7َْ'ِ َأوْ ِإَ َأGَ ف َ َ@ْ7 َأ ُ ِ@ُ$ Dari kejauhan Rosululloh melihat seorang laki-laki yang menjulurkan kain sarungnya hingga terseret. Maka beliaupun bergegas untuk menjumpainya, atau beliau berlari-lari kecil menuju orang tersebut. Lalu beliau menegurnya:“Angkatlah kain sarungmu dan bertaqwalah kepada Alloh.” Maka orang itupun berkata [menyampaikan udzurnya]: “Sesungguhnya saya seorang yang memiliki kaki bengkok [seperti huruf X] dan kedua lutut saya berbenturan ketika berjalan.” Ternyata Rosululloh tetap mengatakan: “Angkatlah kain sarungmu, karena sesungguhnya semua ciptaan Alloh adalah bagus.” Maka setelah kejadian itu tidaklah nampak laki-laki tersebut melainkan kain sarungnya senantiasa terangkat hingga pada tengah-tengah kedua betisnya atau di bawahnya sedikit.” Hadits ini [dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/390) dan] dinyatakan shohih oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Ash-Shohihah (no. 1441). Demikianlah sikapnya seorang sahabat. Dimana ketika Nabi memberikan peringatan kepadanya tentang perbuatan isbal yang dia lakukan pada pakaiannya, maka dia cepat menerimanya dan segera mengangkat pakaiannya sampai pertengahan kedua betisnya, [serta tidak pernah lagi menjulurkannnya melebihi batasan tersebut]. Jadi, dia tidak menolak peringatan itu dengan dalih: ‘Saya kan tidak melakukannya karena sombong’, ataupun dengan berbagai macam alasan lainnya [yang tidak syar’i. Bahkan dia segera menerimanya dan terus menerus melaksanakannya, sebagai wujud pelaksanaan] Firman Alloh: ُ'َ"ُ َو َرY َ ِ اcَْ$ َْ َو, ْ:َِِ َ& ُة ِْ َأْ ِ&هbْ ا:ُ ُ6َ ن َ "َُ$ ْ َو َرُ"ُ'ُ َأْ&ًاَأنY ُ َ اFَG ٍَِْ ِإ ذَاAُ َ ِْ ٍ َوAُ9ِ ن َ ََوَ آ ًُِْ ً َXَI َI ْ;َZَ “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” [QS Al-Ahzab: 36]
Kemudian juga ada sebuah hadits [shohih yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/141)] dari Ibnu ‘Umar, dia berkata: Y ِ َْ َ; اN َ ُْ " ِإنْ آ: ل َ َG , " &َ َ9ُN ُ ْE Y ِ َْ;ُاN " : ُ ْ)ُG " َا ؟fَ " َْ ه: ل َ َZَ , 8ُ َZَْZََ$ ٌ] ِإزَار َ)َN ] َو - َِ)َ اN ُ ْ)َTَد ت َ َ َ1 ُ'َلْ ِإزْ َرgَ َ ْ:َ)َ , ِ َْG(? ا ِ ْ@ِ7 َ ِإزَارِي ِإ ُ َْ &َ َ " ك َ ْ ِإزَا َر8َ ْ َر Saya pernah masuk untuk menemui Nabi, dan ketika itu saya mengenakan sarung yang berbunyi [karena terseret di tanah]. Maka beliaupun bertanya: “Siapakah ini?” Saya jawab: “’Abdulloh bin ‘Umar.” Lalu beliau bersabda lagi: “Jika engkau memang benar-benar ‘Abdulloh (hamba Alloh), maka angkatlah kain sarungmu.” Lalu sayapun mengangkat kain sarung saya hingga ke pertengahan betis. Kemudian senantiasa seperti itulah keadaan sarungnya Ibnu ‘Umar hingga beliau wafat. Hadits ini dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Silsilah AlAhadits Ash-Shohihah (no. 1568). Dan ketika menyampaikan ulasan tentang hadits ini, beliau berkomentar: “Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang jelas serta gamblang, bahwasanya wajib bagi seorang muslim untuk tidak memanjangkan kain sarungnya sampai di bawah mata kaki, meskipun hal itu dilakukan tanpa disertai dengan maksud sombong. Bahkan dia [harus senantiasa] mengangkat pakaiannya itu hingga di atas mata kaki. Selain itu, hadits tersebut juga mengandung bantahan yang nyata terhadap sebagian Masyayikh yang memanjangkan ujung jubah-jubah mereka hingga hampir menyentuh tanah, sementara mereka tetap berdalih dengan anggapan bahwa hal itu tidaklah dilakukannya karena sombong. Kenapa mereka tidak sekalian meninggalkan
perbuatan tersebut, demi mengikuti perintah Rosululloh [sebagaimana yang beliau perintahkan] kepada Ibnu ‘Umar untuk mengangkat pakaiannya? Ataukah mereka merasa lebih suci hatinya dibandingkan Ibnu ‘Umar?
Bersambung Insya Allah.
1.Yaitu kondisi dari lelaki yang diperbolehkan untuk melakukan isbal atau memakai baju sutra, padahal hukum asal keduanya adalah haram bagi laki-laki. 2 Hadits Hudzaifah ini dicantumkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shohihah (no. 2366) dengan sedikit perbedaan redaksi. 3 Lafazh ( )اdi sini berfungsi sebagai ($4 ا:puncak) dan (ء67 ا:batas akhir) yang menunjukkan bahwa haknya pakaian itu hanya sampai pada bagian yang tepat di atas kedua mata kaki (tidak termasuk yang menutupi mata kaki). Makna inilah yang harus diambil, sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash hadits Hudzaifah sebelumnya. 4 Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa menjulurkan pakaian hingga menutupi mata kaki itu sudah termasuk isbal yang diharamkan bagi lakilaki. Dan itulah pendapat yang rojih berdasarkan hadits Hudzaifah terdahulu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam As-Sindi dan Asy-Syaikh Al-Albani. Wallohu A’lam. 5 Lihat catatan kaki sebelumnya. 6 Seperti para penuntut ilmu syar’i, atau bahkan sebagian kalangan yang notabene memiliki ilmu dan menjadi tokoh panutan di tengah-tengah masyarakat muslim.
HUKUM ISBAL (Bagian 3) Hukum Mengangkat Pakaian Hingga di Atas Pertengahan Betis
Penulis: Al Ustadz Kholiiful Hadii Berkaitan dengan masalah ini, Imam Ibnu Abi Syaibah telah mengeluarkan suatu riwayat dalam kitab Mushonnaf-nya (no. 24818) dengan isnad yang shohih dari Ibnu Sirin1, beliau berkata: ق ِ (? ا ِ ْ@ِ7 ق َ ْ"َ َزَا َر7ْ"َُْ َ&ه$ ُ"ا7َآ “Mereka membenci2 kain sarung yang [diangkat sampai] di atas pertengahan betis.” Jadi, yang namanya memakai kain sarung ataupun celana yang diangkat terlalu tinggi hingga melampaui pertengahan betis itu tidak lain merupakan suatu tindakan yang menyelisihi Sunnah dan termasuk kategori perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan hingga melampaui batas yang telah ditentukan oleh Syariat). Dan berkaitan dengan hal ini, Syaikh Al-Walid berkata dalam kitabnya Al-Isbal liGhoiril Khuyala’ (hal. 36): “Sebagimana banyak di antara kaum muslimin yang melakukan isbal dalam berpakaian, maka begitu juga akan dijumpai sebagian dari mereka yang melewati batas dalam memendekkan pakaian hingga sampai ke lutut. Dan tidak diragukan lagi bahwa perbuatan seperti itu termasuk tindakan yang ghuluw (berlebih-lebihan) serta terlarang.” [Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk memperhatikan batasan yang telah ditetapkan dalam masalah ini oleh Syariat Islam yang adil dan mulia, serta senantiasa berusaha untuk menerapkannya dengan berlandaskan sikap wasath (pertengahan). Yaitu tidak bersikap meremehkan dengan menjulurkan pakaian hingga menutupi mata
kaki atau bahkan melampauinya. Dan tidak pula berlebih-lebihan dengan memendekkan celana atau kain sarung hingga di atas pertengahan betis.]
Masalah: Apakah Isbal Itu Juga Terjadi pada Lengan Baju dan Sorban? Kata ( ُْ ) َأdengan memberikan harokat dhommah pada huruf kaf-nya, yaitu tempat masuk dan keluarnya tangan pada pakaian. Sedangkan bentuk jama’-nya adalah (ٌ ) َأآْ َمdan ( ٌَ َ ِ)آ. Adapun kata ( ُ ََ ِْ ) َأdengan memberikan harokat kasroh pada huruf ‘ain-nya adalah sesuatu yang dililitkan mengelilingi kepala. Sedangkan bentuk jama’-nya adalah ( ُ َِ َ ) dan ( ٌ) ِ َم. Demikianlah yang disebutkan dalam kitab Al-Qomus Al-Muhith. Adapun berkaitan dengan terjadinya isbal pada lengan baju dan sorban itu telah ada haditsnya Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rosululloh bersabda: ََِِZَْ"ْ َم ا$ ِ'َْ ِإY ُ ُ ِ& اjَْ$ ْ:َ َءX َ َُT ًkَْQ َ6ِْ & َ% َْ , ََِ9ِْ ِ َو اcِْ9َZْل ِ ازَا ِر َو ا ُ ََْأ “Isbal itu berlaku pada kain sarung, gamis dan sorban. Siapa saja yang mengisbalkan salah satu di antaranya karena sombong, niscaya pada hari kiamat nanti Alloh tidak akan memandangnya [dengan pandangan kasih sayang].” Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 4094) dan Imam An-Nasai [dalam As-Sunanul Kubro (no.9720)] dengan sanad yang shohih, serta telah dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shohihul Jami’ (no. 2770). Kemudian hadits ini dijelaskan oleh penulis kitab ‘Aunul Ma’bud (6/103): “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan tentang tidak adanya
pembatasan isbal hanya khusus pada kain sarung saja. Bahkan isbal itu juga bisa terjadi pada gamis dan sorban, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits tersebut.”
Selain itu, juga ada atsar [yang dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 4095) dengan sanad yang hasan] dari perkataan Ibnu ‘Umar: ِ cِْ9َZُْ َ" ِ ا6َ ِ ازَا ِرY ِ لا ُ "ُل َر َ َG َ
“Segala sesuatu yang Rosululloh sabdakan berkaitan dengan sarung, maka hal itu juga berlaku pada gamis.” Atsar ini merupakan nash yang jelas [dari Ibnu ‘Umar] tentang adanya isbal pada gamis. [Sementara beliau termasuk sahabat yang meriwayatkan hadits tentang larangan isbal. Dan sahabat yang meriwayatkan suatu hadits tentu lebih paham tentang riwayat yang dia sampaikan itu dibandingkan orang lain.] Masalah: Apakah Ada Batasan Tertentu yang Shohih dari Nabi tentang Ukuran Lengan Baju? Berkaitan dengan masalah ini, telah diriwayatkan sebuah hadits dari Asma’ bintu Yazid, dia berkata: lِ ْ&/ ِإَ اY ِ لا ِ "ُ َر:- َُ ُ; آ$ َْ7َآ “Lengan bajunya Rosululloh itu sampai pergelangan tangan.” Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 4027), Imam At-Tirmidzi (no. 1861), Imam An-Nasai dalam kitab As-Sunanul Kubro (no. 9666) dan Imam Al-Baghowi dalam kitab Syarhus Sunnah (no. 3072), semuanya lewat jalur periwayatan Budail bin
Maisaroh Al-‘Uqoili dari Syahr bin Hausyab dari Asma’ bintu Yazid sebagaimana di atas. Sedangkan Syahr adalah seorang rowi yang Dho’if. Masalah: Isbalnya Akmam (Lengan Baju) Ketika sudah diketahui bahwa hadits Asma’ tentang ukuran lengan bajunya Rosululloh itu ternyata sanadnya lemah, sementara dengan adanya hadits Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan sebelumnya itu bisa dipastikan adanya isbal pada lengan baju, maka timbullah pertanyaan: Bagaimanakah batasan isbal padanya? Berkaitan dengan pertanyaan ini, [tidak bisa ditetapkan jawabannya secara pasti tentang ukuran tertentu pada lengan baju yang masuk kategori isbal. Namun sebagai tindakan hati-hati jelas perlu diperhatikan juga bahwasanya] ada beberapa penjelasan dari sebagian ulama yang berhubungan dengan masalah ini. Di antaranya pernyataan Imam Ibnu Baththol -yang dinukilkan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud (6/103)-: “Memanjangkan lengan gamis dengan ukuran panjang yang melebihi batas kebiasaan yang berlaku itu termasuk isbal.” Dan Al-Qodhi ‘Iyadh telah menukilkan [dari para ulama] tentang makruhnya setiap pakaian yang panjang dan lebarnya melebihi ukuran yang biasa digunakan. Penukilan Al-Qodhi ini sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Author.3 Kemudian juga ada penjelasan serupa dari Imam Ash-Shon’ani. Beliau berkata dalam kitab Subulus Salam (4/159): “Begitu pula memanjangkan lengan gamis melebihi ukuran kebiasaan yang berlaku, sebagaimana yang dilakukan
oleh sebagian penduduk Hijaz. Hal itu merupakan isbal yang diharamkan.” Setelah itu, Imam Ash-Shon’ani membatasi kebiasaan tersebut dengan batasan ukuran yang biasa digunakan di zaman kenabian. Namun kami tidak mendapatkan keterangan [yang shohih] tentang batas lengan baju pada zaman kenabian. Wallohu Ta’ala A’lam. Hanya saja dapat kami katakan, bahwasanya sikap yang lebih berhati-hati dalam masalah ini adalah tidak memanjangkan lengan baju hingga ke batas pergelangan tangan. Dan sehubungan dengan hal ini, Samahatusy Syaikh Ibnu Baz berkata – sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Fatawa Islamiyyah (4/243)-: “Lengan baju itu sunnahnya tidaklah sampai melampaui pergelangan tangan, yaitu sendi [penyambung] yang memisahkan antara lengan dengan telapak tangan.” Dan Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali berkata dalam Syarah beliau terhadap kitab Riyadhush Sholihin (2/88): “Isbal itu tidaklah terbatas pada kain sarung saja. Dan tiada lain bahwasanya isbal itu juga bisa terjadi pada (lengan) gamis. Jadi, seharusnya ukuran lengan baju itu hanyalah sampai pergelangan tangan.” Adapun Imam Ibnul Qoyyim menyatakan dalam kitab Zadul Ma’ad (1/140): “Lengan baju yang lebar serta panjang seperti rumbai pinggiran kain [yang terjulur panjang] itu sama sekali tidak pernah dikenakan oleh Nabi maupun salah seorang di antara sahabat beliau. Jadi, lengan baju yang seperti itu jelas menyelisihi Sunnah. Dan tentang diperbolehkannya hal tersebut [tidaklah benar serta] perlu ditinjau ulang. Sebab hal itu termasuk jenis kesombongan.
Faidah: Imam Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Author (2/108): “Di zaman kita ini, orang yang paling dikenal penyimpangan dan penyelisihannya terhadap sunnah (tidak memanjangkan lengan baju hingga melampaui pergelangan tangan) itu justru para ulamanya [baca: orang-orang yang dianggap memiliki ilmu]. Dimana terlihat salah seorang di antara mereka itu gamisnya diberi dua lengan, yang mana masing-masing lengan tersebut sebenarnya sudah bisa dijadikan sebagai bahan untuk satu jubah atau satu gamis bagi salah satu di antara anak-anaknya yang masih kecil atau untuk seorang anak yatim. Padahal perbuatan tersebut sama sekali tidak ada faidahnya yang bersifat duniawi. Yang ada hanyalah unsur permainan yang sia-sia belaka, dan justru semakin menambah beratnya beban biaya bagi dirinya sendiri. Selain itu, juga dapat menghalangi berfungsinya tangan untuk digunakan dalam banyak aktivitas yang bermanfaat. Di sisi lain juga mengantarkannya untuk cepat robek dan justru memperburuk penampilan. [Kemudian yang lebih parah lagi,] perbuatan tersebut sama sekali tidak ada faidahnya yang bersifat keagamaan. Yang ada padanya justru sikap menyelisihi Sunnah serta melakukan perbuatan isbal dan kesombongan.” Masalah: Berapakah Ukuran ‘Imamah (Sorban) Rosululloh? Sehubungan dengan masalah ini, Al-‘Allamah Mula ‘Ali Al-Qori berkata dalam kitab Al-Maqolatul ‘Adzbah fil ‘Imamah wal ‘Adzabah (hal. 63): “Adapun ukuran panjang dan lebarnya sorban itu tidak diketahui [keterangan batasannya]
dari hadits-hadits maupun sejarah. Hal ini berdasarkan penegasan As-Sayyid Jamaluddin Al-Muhaddits dalam kitab Roudhotul Ahbab.” Dan Imam AlMubarokfuri menegaskan dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (5/338): “Siapa saja yang mengklaim bahwa ukuran sorbannya Rosululloh itu sekian atau sekian hasta, maka wajib baginya untuk menunjukkan dalil yang shohih untuk menetapkan benarnya hal yang dia klaim. Adapun sekedar klaim tanpa dalil itu tidak ada nilainya sama sekali.” Masalah: Isbalnya ‘Imamah (Sorban) [Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa masalah isbalnya sorban itu sama kasusnya dengan isbalnya lengan baju. Dimana dengan adanya hadits Ibnu ‘Umar itu bisa dipastikan tentang berlakunya isbal pada sorban, namun di sisi yang lain tidak diketahui ukuran sorban Rosululloh. Sehingga timbullah pertanyaan senada: Bagaimanakah batasan isbal pada sorban? Maka sebagai tindakan hati-hati perlu diperhatikan beberapa penjelasan dari sebagian ulama yang berhubungan dengan masalah ini. Dimana] Imam Ibnu Baththol berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud (6/103)-: “Yang dimaksud dengan isbalnya ‘imamah (sorban) adalah menguraikan ujungnya hingga turun melampaui batas kebiasaan yang berlaku.” Kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan penjelasan lebih lanjut dalam kitab Fathul Bari (10/262): ”Bahwasanya yang dimaksudkan adalah adat kebiasaan yang berlaku di kalangan orang Arab dalam hal menurunkan ujung sorban. Jadi, kapan saja ujung sorban itu lebih [rendah] dari batas kebiasaan yang berlaku di
kalangan orang Arab dalam hal itu, maka perbuatan tersebut termasuk kategori isbal.” Dan berdasarkan penjelasan para ulama ini dapat diambil kesimpulan bahwa memanjangkan ujung sorban hingga melampaui batas yang menjadi adat kebiasaan [orang Arab] itu termasuk isbal. Jadi, tidak sepantasnya bagi seorang laki-laki untuk memanjangkan ujung-ujung sorbannya sampai menyentuh pantat, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali dalam kitab Bahjatun Nazhirin (2/89). Kemudian Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin memberikan keterangan lebih lanjut dalam Syarah Bulughul Marom (hal. 39): “Pada sorban itu juga mungkin saja terjadi kesombongan. Yaitu dengan cara membesarkan ukurannya, dimana pemakainya menjadikan sorban tersebut sebanyak sepuluh putaran atau duapuluh putaran [sehingga nampak besar dan tebal]. Atau dengan memanjangkan ujung sorbannya sampai hampir menyentuh tanah.” Peringatan Penting Siapa saja yang sengaja memanjangkan ukuran pakaiannya sampai isbal (baik disertai dengan kesombongan maupun tidak), lalu dia menggulung [bagian ujung] pakaiannya tersebut4 [dan sholat dalam keadaan seperti itu], maka dia telah terjatuh dalam suatu perbuatan yang dilarang oleh Rosululloh. Dimana [Imam Al-Bukhori (no. 809, 810, 812, 815, 816)] dan Imam Muslim (no. 490) telah mengeluarkan sebuah hadits dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rosululloh bersabda:
ًEْ"َ, َ ََ&ًا َوQ ? ُ َأآ َ َ)َ ٍََْ َوN َ;ُWْت َأنْ َأ ُ ْ&ُِأ “Saya telah diperintah (oleh Alloh) untuk sujud pada tujuh anggota tubuh.5 Dan (saya diperintah) untuk tidak mengikat rambut serta tidak mengumpulkan pakaian6 [ketika sholat]7.” Ketika menjelaskan hadits ini, Imam An-Nawawi berkata: “Mayoritas ulama berpendapat bahwa larangan [menyingsingkan pakaian ketika sholat] itu bersifat mutlak, berlaku bagi siapa saja yang sholat dalam keadaan seperti itu. Baik dia sengaja menyingsingkannya untuk sholat8, atau sebelum sholat memang dia sudah seperti itu karena adanya urusan yang lainnya (bukan karena sholat). Adapun Imam Ad-Dawudi berpendapat bahwa larangan tersebut berlaku khusus bagi seseorang yang memang melakukannya untuk sholat.9 Namun yang benar serta terpilih adalah pendapat pertama. Dan itulah zhohir dari pendapat yang dinukilkan dari para sahabat dan yang lainnya.” Dan memang pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama itulah yang rojih dalam masalah ini. Wallohu Ta’ala A‘lam. Pendapat tersebut juga dirojihkan oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman yang telah menegaskan dalam kitab Al-Qoulul Mubin fi Akhthoil Mushollin (hal. 43): “Zhohir dari larangan tersebut adalah berlaku secara mutlak. Baik seseorang itu menyingsingkan pakaiannya untuk sholat, ataupun sebelum sholat dia memang sudah menyingsingkannya lalu dia melaksanakan sholat masih dalam keadaan seperti itu.”
Dan berdasarkan penjelasan para ulama di atas, bisa disimpulkan bahwa seseorang yang pakaiannya isbal lalu dia sholat dalam keadaan pakaiannya dilipat itu telah melakukan dua pelanggaran sekaligus. Yang pertama, dia telah mengenakan pakaian yang isbal. Yang kedua, dia menggulungnya ketika sholat. Dan kesalahan ini akan semakin bertambah parah kalau dia beralasan dengan hadits Abu Huroiroh yang menuturkan bahwasanya pernah ada seorang lelaki yang melaksanakan sholat dengan pakaian yang isbal. Maka Rosululloh bersabda kepadanya: “Pergilah lalu laksanakan wudhu’.” Lalu lelaki itupun pergi dan berwudhu’. Setelah itu, dia datang lagi dan ternyata Rosululloh tetap bersabda: “Pergilah lalu laksanakan wudhu’.” Maka ada laki-laki lain yang bertanya: “Wahai Rosululloh, mengapa engkau menyuruhnya untuk berwudhu’?” Rosulullohpun terdiam sejenak lalu bersabda: ٍ ِْ(ُ ٍ ُ% َة َرX َ َm ُ َْZَ$ َ Y َ نا َو ِإ, Vُ َو هُ َ" ُ(ٌِْ ِإزَا َر-)َ@ُ$ ن َ َ'ُ آ7ِإ “Sesungguhnya dia melaksanakan sholat dalam keadaan pakaiannya isbal. Dan Alloh tidak akan menerima sholatnya seseorang yang musbil.” Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 4086) lewat jalur periwayatan Yahya bin Abi Katsir dari Abu Ja’far dari ‘Atho’ bin Yasar dari Abu Huroiroh sebagaimana di atas. Dan ini merupakan sanad yang lemah, sebab di dalamnya ada Abu Ja’far. Asy-Syaikh Al-Albani berkata mengenai rowi ini: “Dia adalah Al-Anshori, seorang muadzdzin. Sedangkan statusnya adalah Majhul, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qoththon. Adapun dalam kitab AtTaqrib disebutkan bahwasanya dia adalah Layyinul hadits (lembek haditsnya).
Jadi, siapa saja yang menyatakan bahwa hadits ini adalah shohih, berarti dia telah keliru.” Demikian penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Al-Misykat (1/238), sebagaimana yang dinukil oleh penulis kitab Al-Isbal li-Ghoiril Khuyala’. Jadi, seseorang yang berhujjah dengan hadits Abu Huroiroh di atas untuk mendukung perbuatannya yang menggulung pakaian ketika sholat supaya tidak isbal, berarti dia telah beramal dengan hadits yang lemah dalam masalah hukum. Padahal para ulama telah sepakat tentang tidak diperbolehkannya perbuatan tersebut. Dengan demikian, sikap yang harus segera diambil adalah memotong pakaiannya sampai pada batas ukuran yang tidak isbal. Hal ini dalam rangka melaksanakan perintah Nabi, yang mana hukum asal dari perintah adalah menunjukkan wajibnya sesuatu tersebut. Dimana Alloh berfirman: :َِْابٌ َأfَN ْ:ُ6َِْ@ُ$ ْْ ٌَِْ َأو:ُ6َِْ@ُ ْ َأنVِ &ِ َْْ َأN ن َ ْ"ُ َِbُ$ َ ْ$fِ ِر اfَ َْْ)َ “Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Rosululloh itu takut akan ditimpa fitnah cobaan [berupa kesyirikan dan keburukan di dunia] atau ditimpa adzab yang pedih [di akhirat nanti].” (QS An-Nur:63) Selain itu, juga sebagai wujud rasa cinta kepada Rosululloh dengan cara mengikuti contoh teladan yang beliau laksanakan dalam segala hal, termasuk meneladani beliau dalam cara berpakaian. Alloh berfirman &َ ِTn َ َو اَْ"ْ َم اY َ ُ"ا ا%ْ&َ$ ن َ ََْ آ9- ٌََ(َ1 ٌ ُأْ َ"ةY ِ لا ِ ْ"ُن ِ َر َ ََ;ْ آZَ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat.” (QS Al-Ahzab:21)] Faidah: Dalam sebagian riwayat Imam Al-Bukhori (no. 812), hadits Ibnu ‘Abbas di atas tercantum dengan lafazh: 10& َ َoب َو ا َ َ-p ا ُ ِ َْ7 َ َو
"Kami tidaklah mengumpulkan pakaian maupun rambut.11" Imam Ibnul Atsir berkata dalam kitab An-Nihayah (4/184): “(ب ِ َ-p ا ُ ْ َ) آ adalah menggabungkan satu pakaian dan mengumpulkannya agar tidak tersebar.” Penutup Sebagai penutup, kami memohon kepada Alloh Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa, supaya dengan sebab risalah ini Dia memberikan manfaat kepada setiap orang yang membacanya, sesungguhnya Alloh adalah Dzat Yang Maha Dermawan lagi Maha Mulia. Dan kami juga memohon kepada Alloh supaya ilmu yang telah Dia anugerahkan kepada kami itu tidaklah Dia jadikan sebagai musibah bagi kami12, sehingga justru menjadi hujjah untuk mengadzab kami di sisi-Nya pada hari kiamat.
Imam Al-Bukhori telah mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Huroiroh, bahwasanya Rosululloh bersabda: ِ'ِ9ْ)ِِE َْ9َْ$ ْ:َ ٌ:َِN ََِِZَْ"ْ َم ا$ ُ'َْN &ُ َْ(ُ َْ ل ُ َأ و “Pada hari kiamat nanti, orang yang pertama kali dibakar adalah seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya.”
Selain itu, Imam Al-Bukhori (no. 3267) dan Imam Muslim (no. 2989) mengeluarkan sebuah hadits dari Usamah bin Zaid, bahwasanya Rosululloh bersabda: ُ ْ ِإَْ'ِ َأه8ُ ِ9َْWََ َ1& َ ُر ِ ا9َِْ ُ;وْ ُر ا$ َ9ََ آ6ِE َ_ِْ'ِ ََ ُ;وْ ُرE ب ُ َْG َأ0 ُ ِ;َ ََْ َ ِ ا ِرZْ)َُ ََِِZَْ"ْ َم ا$ ِ ُ%& ِE َْAُ$ &ُ ُq ُ َُْ;ْ آG َ)َE " : ل ُ ْ"ُZََ " َُْ ِ& ؟9ْ ا ِ َN َ6َْ ف َو ِ َْْ ُ&و9ِْE &ُ ُْJَ O ُ َ ْ:َ ؟ َأO َ َ َ ن ُX َ ُ َ$ " : ن َ ْ"ُْ"ُZََ ا ِر " ِ'ِْq َُْ ِ& َو9ْ ا ِ َN َ6ْ7 َو َأ, ِ'ِْq َ ف َو ِ َْْ ُ&و9ِْE “Pada hari kiamat nanti akan didatangkan seorang laki-laki, lalu dia dilemparkan ke dalam neraka sehingga terburailah usus-usus yang ada di perutnya. Lalu dia berputar-putar [di dalam neraka] dengan [menyeret] ususnya itu, sebagaimana seekor keledai berputar-putar di dalam penggilingannya. Maka penduduk nerakapun berkumpul mengerumuninya, lalu mereka bertanya: ‘Wahai Fulan, kenapa kamu? Bukankah kamu dahulu menyuruh untuk melakukan kebaikan dan melarang dari berbuat keburukan?’ Maka laki-laki itu menjawab: ‘Memang saya dahulu menyuruh berbuat baik, tapi saya sendiri tidak melaksanakannya. Dan saya dulu melarang dari keburukan, tapi saya sendiri melanggarnya.’” ك َو َ &ُ ِ ْ4َْك َأ َ ;ِ ْ9َِE َو: ُ6) اO َ َ7َُْ , ِْ&ًاpًَ آ9ِْ)ْ(َ :َ )َ ك َو َ َ َرE َِْ'ِ َوm ِ'ِ َوq َ)َN ٍ; َو9َُ َ-َِ7 َ)َN Y ُ َ) اm َو . َ ْ7 َأ ِإَ'َ اr , O َ َْب ِإ ُ ْ"َُأ
7 Jumadil Ula 1428
Pembahasan ini diselesaikan pada hari Kamis tanggal Hijriyyah (bertepatan dengan 24 Mei 2007)
1.Beliau adalah Muhammad bin Sirin Al-Anshori, seorang imam dari kalangan tabi’in generasi pertengahan. Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab At-Taqrib (no. 5947) menetapkannya sebagai seorang yang Tsiqotun Tsabtun ‘Abidun Kabirul Qodri. Beliau wafat tahun 110 Hijriyyah. 2 Imam Al-‘Aini berkata dalam kitab ‘Umdatul Qori (3/387): “Para ulama Mutaqoddimin biasa menyebutkan kata makruh padahal maksud mereka adalah makruh tahrim.” Lihat Muqoddimah Tuhfatul Ahwadzi (hal. 324-328) dan penjelasan Imam Ibnul Qoyyim dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in. 3 Asal penukilan Al-Qodhi ‘Iyadh ini terdapat dalam Syarah Shohih Muslim (14/253). 4 Seperti menggulung bagian ujung celana yang menutupi mata kaki, melipat lengan baju yang melebihi pergelangan tangan atau menyingsingkannya, dan lain sebagainya. 5 Yaitu kening (sekaligus hidung), dua telapak tangan, dua lutut dan dua ujung telapak kaki, sebagaimana yang disebutkan dalam sebagian riwayat dari haditsnya Ibnu ‘Abbas ini. 6 Baik dengan menggulung ujungnya maupun dengan menggabungkannya dalam satu ikatan. 7 Tentang konteks hadits ini, lihat Fathul Bari dan Syarah Shohih Muslim pada nomor hadits di atas.
8 Contohnya seperti orang yang celananya isbal lalu ketika hendak sholat dia melipatnya terlebih dahulu, kemudian sholat dalam keadaan seperti itu. 9 Jadi, seseorang yang sebelum sholat memang sudah menyingsingkan bajunya karena suatu urusan, lalu dia sholat dengan tetap seperti itu keadaannya, orang tersebut tidak masuk dalam larangan menurut Imam Ad-Dawudi. Adapun kalau dia menyingsingkannya di luar sholat tapi setelah itu melepaskannya ketika sholat, maka hal ini membutuhkan pembahasan tersendiri. Wallohu A’lam. 10 Adapun lafazh Imam Muslim dalam sebagian riwayat: ( &َ َo ا َ ب َو َ َ-p ا ُ ِ َْ7 َ ) َو 11 Baik dengan cara melipatnya ataupun sekedar menyatukannya dalam satu ikatan. 12 Yakni karena tidak diamalkannya ilmu tersebut. Jadi, penulis memohon kepada Alloh supaya Dia memberikan hidayah taufiq dan kekuatan untuk mengamalkan ilmu yang telah Dia anugerahkan.
Diambil dari: http://www.darussalaf.or.id