Aceh, Soekarno, dan Megawati ''Khusus kepada saudara-saudaraku di Aceh, bersabarlah. Bila kelak Cut Nya' memimpin negeri ini, tak akan saya biarkan setetes pun darah rakyat menyentuh Tanah Rencong yang begitu besar jasanya dalam menjadikan Indonesia merdeka. Kepada kalian saya akan berikan cinta saya, saya akan berikan hasil Arun-mu, agar rakyat dapat menikmati betapa indahnya Serambi Makkah bila dibangun dengan cinta dan tanggungjawab antarsesama warga bangsa, bangsa Indonesia!'' Pidato itu disampaikan Megawati Soekarnoputri –saat menjabat wakil presiden-- dengan menangis terisak-isak pada tanggal 29 Juli 1999, disaksikan jutaan rakyat Indonesia karena disiarkan langsung oleh televisi nasional. Bagi rakyat Aceh, janji yang diucapkan oleh Megawati sambil menangis terisakisak bukanlah hal yang baru. Karena pada saat awal kemerdekaan, tepatnya 17 Juni 1948, di Banda Aceh, ayah Megawati, Presiden Soekarno, juga menangis terisak-isak di depan Tgk Muhammad Daud Beureueh. Disaksikan sejumlah tokoh dan pedagang Aceh, Soekarno berkata kepada Daud Beureueh,''Kanda tidak percaya padaku? Buat apa aku menjadi Presiden kalau aku tidak dipercaya?'' Saat itu, Daud Beureueh selaku Gubernur Militer Aceh, menyodorkan kepada Soekarno konsep diberlakukannya syariat Islam di Aceh, jika kelak penjajah Belanda terusir dari bumi Indonesia. Soekarno setuju, tetapi menolak membubuhkan tandatangannya. Setelah beberapa kali didesak oleh Abu Beureueh (sapaan Tgk Muh Daud Beureueh), akhirnya keluarlah tangisan yang terkenal itu dari Sang Presiden, sehingga Abu Beureueh tidak sampai hati untuk mendesak Soekarno membubuhkan tandantangannya pada konsep yang telah disodorkan. Tetapi, seperti tercatat dalam sejarah, setelah Belanda terusir, Soekarno bukan menepati janjinya untuk memberlakukan syariat Islam di Aceh. Malah, pada tahun 1950, melalui Perppu No 5/1950, Aceh dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Hal ini tentu menyakitkan hati rakyat Aceh yang telah berjuang mempertahankan kemerdekaan RI dengan derai air mata, darah, dan nyawa. Ibarat air susu dibalas dengan air tuba! Tidak perlu heran jika akhirnya rakyat Aceh melawan Pemerintahan Soekarno dengan bergabung dalam gerakan DI/TII. Dan sejarah kembali membuktikan, perlawanan DI/TII di Aceh tidak dapat ditaklukkan dengan senjata. Padahal DI/TII di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan telah dapat dikalahkan. Akhirnya, melalui Misi Hardi (Mr Hardi, Wakil Perdana Menteri I) pada 25 Mei 1959, dilakukan
perundingan. Hasilnya, Aceh kembali menjadi provinsi tersendiri dan diberikan keistimewaan sehingga disebut Daerah Istimewa Aceh. Namun dalam praktiknya, keistimewaan itu sama sekali tidak. Kembali hati rakyat Aceh dilukai. Apalagi, sejak ditemukannya ladang gas Arun pada tahun 1974, sama sekali rakyat Aceh tidak merasakan manfaatnya. Megawati, dalam pidatonya tadi, berjanji akan mengembalikan hasil gas Arun kepada rakyat Aceh. Kenyataannya? Jauh panggang dari api. Setelah Megawati menjadi Presiden RI, jangankan dikembalikan hasilnya, malah gas Arun seluruhnya diekspor keluar negeri demi mendatangkan devisa negara. Akibatnya, pabrik pupuk yang ada di Aceh yakni ASEAN Aceh Fertilizer (AAF) dan Pupuk Iskandar Muda (PIM) terpaksa berhenti beroperasi. Jika akhirnya gas Arun seluruhnya dialokasikan keluar negeri, untuk apa pemerintah membangun pabrik pupuk baru di Aceh yang bernama PIM 2? Bukankah PIM 2 menjadi proyek mubazir yang akhirnya memberatkan keuangan negara karena pabrik dibangun dengan pinjaman luar negeri? Masalah gas Arun belum seberapa. Yang lebih menyakitkan lagi, janji yang diucapkan Megawati sebelum dirinya menjadi Presiden RI. Janji ''_bila kelak Cut Nya' memimpin negeri ini, tak akan mengalir setetes pun darah rakyat Aceh'' embali dilanggarnya sendiri dengan menggelar operasi militer untuk menggantikan Daerah Operasi Militer (DOM). Di masa darurat militer dan darurat sipil itu, tidak diketahui dengan pasti berapa banyak darah rakyat sipil Aceh tidak berdosa yang tumpah di bumi Serambi Makkah; berapa nyawa yang hilang percuma; dan berapa banyak harta benda yang terkuras akibat konflik senjata yang berkepanjangan antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pemerintahan Megawati dapat mengatakan ini adalah ekses atau risiko dari darurat militer dan darurat sipil. Tapi dia lupa dengan janjinya sendiri, apalagi dia menyebut dirinya Cut Nya' ketika mengucapkan janji itu. Seolah menggambarkan dia seperti pahlawan yang sangat dihormati oleh rakyat Aceh, Cut Nya' Dhien. Ternyata sejarah berbicara lain. Tidak mengherankan suara PDIP pada Pemilu 2004 lalu di Aceh menurun drastis. Rakyat Aceh juga lebih memilih Amien Rais dan Susilo Bambang Yudhoyono dibandingkan Megawati pada pemilu presiden (pilpres) lalu. Kerancuan logika PDIP Kini, setelah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla memerintah dan memutuskan membuka kembali perundingan dengan GAM di Helsinki --agar konflik bersenjata yang sudah hampir berusia 30 tahun bisa dihentikan - muncul reaksi penolakan dari PDIP lewat berbagai pernyataan di media massa, baik resmi maupun tidak resmi.
Berbagai argumen dikemukakan, di antaranya, mengapa perundingan dilakukan di luar negeri sehingga terjadi internasionalisasi masalah Aceh, padahal persoalan Aceh adalah urusan dalam negeri; GAM adalah pemberontak kenapa tidak ditumpas habis saja; MoU di Helsinki adalah perjanjian kesepakatan antara pemerintah RI dengan petinggi GAM yang berkewarganegaraan asing dan dilakukan di luar negeri, sehingga merupakan perjanjian internasional yang butuh persetujuan DPR; Isi MOU di Helsinki yang mengakomodir keinginan GAM untuk membentuk parpol lokal di Aceh akan memicu daerah lain menuntut hal yang sama dan akan menimbulkan gerakan separatis yang berujung disintegrasi Indonesia. Dari argumen di atas, terlihat ketidakkosistenan dan kerancuan logika yang dikembangkan PDIP dalam melihat perundingan Helsinki. Dikatakan perlu persetujuan lembaga DPR karena MoU dengan GAM adalah perjanjian internasional, padahal sejak awal PDIP menolak internasionalisasi masalah Aceh. Bukankah dengan demikian yang menginternasionalisasi Aceh adalah PDIP sendiri? Di mana pun di dunia ini, setiap perundingan selalu di luar negeri. Karena yang berunding adalah pemberontak dan pemerintahan yang sah. Bisa kita lihat kasus Moro di Filipina yang berunding di negara lain dan selalu ada mediator. Bahkan Indonesia pernah menjadi mediator perundingan tersebut. Dengan kenyataan lima juru runding GAM yang berada di Aceh ditangkap aparat sewaktu kesepakatan CoHA dulu gagal, tentu petinggi GAM akan berpikir seribu kali bila perundingan dilakukan di Indonesia, apalagi tanpa mediator yang netral. Sejak GAM diproklamirkan pada tahun 1976, Pemerintah RI selalu berusaha menumpas habis gerakan tersebut lewat berbagai operasi militer. Kenyataannya, setelah hampir 30 tahun GAM masih eksis, bahkan makin solid. Panglima perang GAM boleh terbunuh tetapi dengan segera timbul penggantinya. Contohnya Panglima GAM, Tgk Abdullah Syafii, digantikan oleh Muzakir Manaf. Upaya pemerintah untuk menyeret Hasan Tiro dan kawan-kawan sebagai petinggi GAM di Swedia ke meja hijau, sampai saat ini tak membuahkan hasil. Memang, pilihan berunding dengan GAM harus diambil oleh Pemerintah RI untuk menyelesaikan masalah Aceh secara permanen. Apalagi musibah tsunami yang merenggut ratusan ribu jiwa rakyat Aceh belum hilang dari ingatan kita. Itu menjadi hikmah bersama bahwa kekuasaan manusia tidak berarti apa-apa dibandingkan kekuasaan Allah SWT. Soekarno melakukan hal sama Soekarno pun, karena tidak berhasil memadamkan gerakan DI/TII di Aceh, mengutus Mr Hardi untuk berunding, dan akhirnya menerima sebagian tuntutan Abu Beureueh waktu itu. Ini juga menjawab pertanyaan petinggi PDIP mengapa yang
diutus ke Helsinki pejabat setingkat menteri, toh dulu pun Soekarno melakukan hal yang sama. Menyangkut parpol Lokal, inipun bukan hal yang aneh. Mengingat saat Soekarno berkuasa, banyak parpol lokal yang mengikuti Pemilu 1955. Parpol lokal tersebut tidak ada yang menyebabkan timbulnya gerakan separatis. Sejarah memperlihatkan munculnya gerakan separatis di Indonesia bukan disebabkan oleh parpol lokal, melainkan karena ketidakadilan antara pusat dan daerah. Bahkan, melihat ketidakpekaan anggota DPR saat ini --yang menuntut kenaikan gaji dan melancong ke luar negeri saat rakyat menderita-- bukan tidak mungkin akan membuat rakyat muak pada partai yang ada. Sehingga mereka akan menuntut diperkenankannya partai lokal yang mewakili aspirasi rakyat di daerah untuk mengikuti pemilu. Penolakan parpol nasional mengakomodir parpol lokal, sebenarnya bukan terletak ada masalah disintegrasi. Tapi lebih dikarenakan parpol nasional seperti PDIP takut kehilangan popularitasnya di mata rakyat. Pascaperundingan Senin, 15 Agustus 2005, adalah hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya rakyat Aceh, yang telah lama mendambakan kedamaian di Serambi Makkah, Karena MoU Aceh Damai akhirnya ditandatangani oleh Pemerintah RI dengan GAM di Helsinki, Finlandia. Insya Allah, dengan adanya MoU Aceh Damai, usai sudah konflik bersenjata di Aceh yang telah berusia lebih seperempat abad. Kemudian, segala aspirasi rakyat Aceh dapat disampaikan dalam suasana terbuka, demokratis, dan damai. Meskipun demikian, kita tidak boleh terlalu optimistis. Karena jalan panjang nan terjal telah menghadang di depan mata. Pelaksanaan MoU Aceh Damai di lapangan, adalah titik krusial yang harus menjadi perhatian serius kedua belah pihak, baik GAM maupun pemerintah. Walau pun minoritas, GAM masih mempunyai faksi garis keras yang menentang MoU tersebut. Termasuk dalam kelompok ini kaum ultra nasionalis, pedagang senjata yang oportunistik, maupun para kriminal yang selama ini mengambil kesempatan dengan mengatasnamakan tentara GAM atau TNI. Mengandalkan Aceh Monitoring Mission (AMM) sebagai pihak pemantau pelaksanaan kesepakatan damai saja tidak lah cukup. Karena area konflik di Aceh yang cukup luas dan setiap saat memungkinkan setiap orang ataupun kelompok mengambil kesempatan untuk kepentingan kelompoknya. Apalagi anggota AMM walaupun netral karena berasal dari negara asing, tidak menguasai medan konflik yang sesungguhnya. Karena itu, butuh dukungan sepenuh hati dari kedua belah pihak yang bertikai selama ini untuk turut membantu tugas AMM dan kerelaan hati untuk menerima
hukuman, apabila ada anggota ataupun oknum GAM maupun TNI yang melakukan kesalahan. Memang agak sulit mengharapkan rasa saling percaya dapat tumbuh dalam sekejap, mengingat sebelumnya kedua belah pihak telah bertikai cukup lama. Tapi kalau diniatkan sungguh-sungguh, insya Allah akan berhasil. Sebaliknya, bila pelaksanaan kesepakatan damai hanya setengah hati, bukan saja akan membuat kecewa rakyat Aceh, tetapi akan memunculkan ''GAM-GAM baru'' yang lebih radikal dibanding sebelumnya. Untuk itu kita harus belajar dari sejarah. Apa yang sudah kita janjikan harus kita tepati. Sebab MoU Aceh Damai adalah kado Ulang Tahun RI ke-60 yang tidak ternilai harganya.