Apa_itu_filsafat_islam.pdf

  • Uploaded by: Habral El-Attas
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Apa_itu_filsafat_islam.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 1,437
  • Pages: 1
Halaman ini terselenggara atas kerja sama Republika dengan INSISTS Dewan Redaksi: Hamid Fahmy Zarkasyi, Adian Husaini, Adnin Armas, Syamsuddin Arif, Nirwan Syafrin, Nuim Hidayat, Henri Shalahuddin, Budi Handrianto, Tiar Anwar Bachtiar.

JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA 23

KAMIS, 21 JULI 2011

WORDPRESS

APA ITU FILSAFAT ISLAM? Dr Syamsuddin Arif Peneliti INSISTS

D

alam tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang umum untuk filsafat. Pertama, istilah hikmah, yang tampaknya sengaja dipakai agar terkesan bahwa filsafat itu bukan barang asing, melainkan berasal dari dan bermuara pada Alquran. Al-‘Amiri, misalnya, menulis bahwa hikmah berasal dari Allah dan di antara manusia yang pertama dianugerahi hikmah oleh Allah ialah Luqman al-Hakim. Disebutnya ketujuh filsuf Yunani kuno yakni Thales, Solon, Pittacus, Bias, Cleobulus, Myson, dan Chilon sebagai ahli hikmah (alhukama’ as-sab‘ah). Demikian pula al-Kindi, yang menerangkan bahwa ‘falsafah’ itu artinya hubb al-hikmah (cinta pada kearifan). Sementara itu, Ibn Sina menyatakan bahwa hikmah adalah kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna segala sesuatu dan mampu menyatakan kebenaran dengan pikiran dan perbuatannya sebatas kemampuannya sebagai manusia (istikmal an-nafs alinsaniyyah bi tashawwur al-umur wa ttashdiq bi l-haqa’iq an-nazhariyyah wa l‘amaliyyah ‘ala qadri thaqat al-insan). Siapa berhasil menggapai ‘hikmah’ sedemikian, ia telah mendapat anugerah kebaikan berlimpah, ujar Ibn Sina. Sudah barang tentu tidak semua orang setuju dengan istilah ini. Imam alGhazali termasuk yang menentangnya. Menurut beliau, lafaz hikmah telah dikorupsi untuk kepentingan filsuf karena hikmah yang dimaksud dalam kitab suci Alquran itu bukan filsafat, melainkan syariat Islam yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul. Yang kedua adalah istilah falsafah, yang diserap ke dalam kosakata Arab melalui terjemahan karya-karya Yunani kuno. Definisinya diberikan oleh al-Kindi: filsafat adalah ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu sebatas kemampuan manusia. Filsafat teoretis mencari kebenaran, mana kala filsafat praktis mengarahkan pelakunya agar ikut kebenaran. Berfilsafat itu berusaha meniru perilaku Tuhan. Filsafat merupakan usaha manusia mengenal dirinya. Demikian tulis al-Kindi. Sekelompok cendekiawan bernama ‘Ikhwan as-Shafa’ menambahkan, Filsafat itu berangkat dari rasa ingin tahu. Adapun puncaknya adalah berkata dan berbuat sesuai dengan apa yang Anda tahu (al-falsafah awwaluha mahabbatul‘ulum ... wa akhiruha al-qawl wal-‘amal bi-ma yuwafiqul-‘ilm). Ketiga, istilah ‘ulum al-awa’il yang artinya ilmu-ilmu orang zaman dulu, yaitu ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban kuno pra-Islam, seperti India, Persia, Yunani, dan Romawi, termasuk di antaranya ilmu logika, matematika, astronomi, fisika, biologi, kedokteran, dan sebagainya. Tiga Perspektif Terdapat beberapa pandangan meng-

enai matriks filsafat Islam. Pandangan pertama dipegang oleh mayoritas orientalis. Filsafat Islam adalah kelanjutan dari filsafat Yunani kuno: It is Greek philosophy in Arabic garb, demikian kata Renan, Gutas, dan Adamson yang lebih suka menyebutnya sebagai ‘filsafat [berbahasa] Arab’ (Arabic Philosophy). Di balik pandangan ini, terselip rasisme intelektual bahwa filsafat itu murni produk Yunani dan karenanya kaum Muslim sekadar mengambil dan memelihara untuk diwariskan kepada generasi sesudah mereka. Memang, dalam literatur sejarah filsafat dunia, peran dan kedudukan filsafat Islam sering kali dimarginalkan dan direduksi, atau bahkan diabaikan sama sekali. Mulai dari Hegel sampai Coplestone dan Russell, filsafat Islam hanya dibahas sambil lalu sebagai “jembatan peradaban” (Kulturvermittler)dari Zaman Kegelapan ke Zaman Pencerahan. Pandangan kedua menganggap filsafat Islam itu reaksi terhadap doktrindoktrin agama lain yang telah berkembang pada masa lalu. Para pemikir Muslim dituduh telah mencomot dan terpengaruh oleh tradisi Yahudi-Kristen. Pendapat ini diwakili Rahib Maimonides: “Ketahuilah olehmu bahwa semua yang dilontarkan oleh orang Islam dari golongan Mu‘tazilah maupun Asy‘ariyah mengenai masalah-masalah ini berasas pada sejumlah proposisi-proposisi yang diambil dari buku-buku orang Yunani dan Syria yang ditulis untuk menyanggah para filosof dan mematahkan argumen-argumen mereka.” Dua sudut pandang tersebut, dikritik tajam antara lain oleh Seyyed Hossein Nasr. Orientalis yang menganut perspektif Greco-Arabic biasanya mengkaji filsafat Islam sebagai barang purbakala atau artifak museum sehingga pendekatannya selalu historis dan filologis. Di mata orientalis semisal Van den Bergh, Walzer, dan Gutas, filsafat Islam itu ibarat sesosok mumi yang hidup antara abad ke-9 hingga ke-12 Masehi. Akibatnya, lanjut Nasr, para orientalis itu tidak tahu dan tak peduli akan fakta filsafat Islam sebagai kegiatan intelektual yang terus hidup dari dahulu sampai sekarang: Islamic philosophy has remained a major intellectual activity and a living intelllectual tradition within the citadel of Islam to this day, di pusatpusat keilmuan di Dunia Islam. Yang ketiga adalah perspektif revisionis yang memandang filsafat Islam itu lahir dari kegiatan intelektual selama berabad-abad semenjak kurun pertama Islam. Bukankah perbincangan tentang kemahakuasaan dan keadilan Tuhan tentang hakikat kebebasan dan tanggung jawab manusia merupakan cikal bakal tumbuhnya filsafat? Munculnya kelompok Khawarij, Syi‘ah, Mu‘tazilah dan lain-lain yang melontarkan pelbagai argumen rasional di samping merujuk kepada ayatayat Alquran jelas sekali mendorong berkembangnya pemikiran filsafat dalam Islam. Contohnya sepucuk surat dari alHasan al-Basri kepada khalifah perihal

qadha dan qadar di mana beliau menangkis argumen kaum fatalis maupun argumen rasionalis sekuler. Perdebatan seru segera menyusul di abad-abad berikutnya seputar kedudukan logika, masalah atom, ruang hampa, masa, dan yang tak terhingga dalam hubungannya dengan kewujudan Tuhan serta keazalian dan keabadian alam semesta. Pandangan revisionis ini diwakili, antara lain, oleh M.M. Sharif, Oliver Leaman, dan Alparslan Açıkgenç. Filsafat Islam tidak bermula dengan alKindi dan berhenti dengan kematian Ibnu Rusyd. Sebagai produk dialektika, unsur-unsur internal umat Islam itu sendiri, bangunan filsafat Islam dapat ditemukan fondasinya dalam kitab suci Alquran yang menduduki posisi sentral dalam kehidupan spiritual-intelektual kaum Muslim. Bagi Oliver Leaman, filsafat Islam adalah nama generik keseluruhan pemikiran yang lahir dan berkembang dalam lingkup peradaban Islam, terlepas apakah mereka yang punya andil berbangsa Arab ataupun nonArab, Muslim ataupun non-Muslim, hidup di Timur Tengah ataupun bukan, berbahasa Arab, Parsi, Ibrani, Turki, ataupun Melayu sebagai mediumnya sejak zaman dulu sampai sekarang ini. Leaman mencermati adanya cara pandang Islami yang membingkai itu semua (framed within the language of Islam, within the cultural context of Islamic society). Artinya, filsafat Islam itu luas dan kaya. Corak filsafat islam Masih menurut Oliver Leaman, filsafat Islam itu sangat filosofis dalam arti logis- analitis, terus hidup dan penuh gejolak, tidak sekadar melanjutkan tradisi sebelumnya, tetapi juga memperlihatkan terobosan-terobosan kreatif dalam menjawab persoalan-persoalan klasik maupun modern: MuchIslamic philosophy, like much philosophy of any kind, is just the accretion of new technical representaions of existing issues .... new traditions of thinking about problems and resolving difficult conceptual issues (Lihat: History of Islamic Philosophy, London: Routledge, 1996, hlm. 1-10). Pernyataan serupa diutarakan oleh pakar-pakar filsafat dari Mesir, seperti Ibrahim Madkour, Musthafa ‘Abdur Raziq, dan Syekh ‘Abdul Halim Mahmud. Filsafat Islam itu ‘Islami’ dari empat segi: pertama, dari sisi masalah-masalah yang dibahas; kedua, dari aspek konteks sosio-kulturalnya; ketiga, dari sudut faktor-faktor pemicu serta tujuantujuannya; keempat, dari kenyataan bahwa para pelakunya hidup di bawah naungan kekuasaan Islam (Lihat: I. Madkour, al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa tathbiquhu, hlm.19). Memang, jika ditelusuri dan diteliti karya-karyanya, para filsuf Muslim bukan semata-mata membeo atau sekadar mereproduksi apa yang mereka pelajari dari ahli pikir Yunani kuno. Mereka tidak pasif-reseptif, tidak menerima bulat-bulat atau menelan mentah-mentah tanpa

resistensi dan sikap kritis. Sebaliknya, para pemikir Muslim semisal Ibn Sina, alBaghdadi dan ar-Razi mengupas dan mengurai, melakukan analisis dan elaborasi, menjelaskan dan menyanggah, melontarkan kritik, memodifikasi dan menyaring, mengukuhkan dan menambahkan, memperkenalkan konsep-konsep baru, atau menyuntikkan makna baru pada istilahistilah yang sudah ada, dan menawarkan solusi-solusi baru untuk persoalan-persoalan perenial dalam filsafat. Selain berhasil menelurkan sintesis cemerlang dan membangun sistem pemikiran tersendiri, para filsuf Muslim terutama berhasil mengakomodasi khazanah keilmuan Yunani kuno dalam kerangka pandangan hidup (Weltanschauung) Islam. Dengan kata lain, mereka berupaya mengislamkannya. Maka, yang terjadi adalah islamisasi filsafat secara negatif (pengenyahan unsur-unsur kufur) dan positif (pemasukan unsur-unsur Islami). Kontroversi filsafat islam Kendati termasuk bagian dari tradisi intelektual Islam, tidak sedikit yang antipati terhadap filsafat—bukan sebagai sikap mental, proses nalar dan kearifan, melainkan filsafat sebagai ‘barang impor’ yang mengandung unsurunsur ateisme, sekularisme, relativisme, pluralisme, dan liberalisme. Filsafat dalam pengertian kedua inilah yang ditolak oleh para ulama Muslim, yaitu filsafat yang menggiring pelakunya kepada sikap anti-Tuhan dan antiagama, mendewakan akal, melecehkan Nabi, dan sebagainya. Di abad kelima Hijriah, Imam alGhazali melepaskan pukulan keras terhadap filsafat dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, di mana beliau menganggap kufur tiga doktrin filsafat: pertama, keyakinan filosof bahwa alam ini kekal; kedua, pernyataan mereka bahwa Tuhan tidak mengetahui perkaraperkara detail; ketiga, pengingkaran mereka terhadap kebangkitan jasad di hari kiamat. Fatwa yang begitu keras melarang pengajaran filsafat juga dikeluarkan oleh Ibn as-Sholah: Filsafat adalah pangkal kebodohan dan penyelewengan, kebingungan, dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat, butalah hatinya akan keutamaan syariah suci yang ditopang dalil-dalil dan bukti-bukti yang jelas. Siapa mempelajarinya akan bersama kehinaan, tertutup dari kebenaran, dan teperdaya oleh setan. Adapun filsafat dalam pengertian pertama, dengan tujuan ganda membenarkan yang benar (ihqaq al-haqq) dan membatalkan yang batil (ibthal al-bathil) secara rasional, persuasif dan elegan, bisa dikategorikan fardu kifayah, seperti rasa ingin tahu Nabi Ibrahim yang mendorongnya bertanya bagaimana Allah menghidupkan orang mati. Allah balik bertanya, “Apakah engkau belum percaya?” Nabi Ibrahim menjawab, “Aku percaya, tetapi (aku bertanya) supaya hatiku tenteram (mantap).” Jadi, filsafat itu untuk mengukuhkan kebenaran sekaligus menghapus keraguan. ■

More Documents from "Habral El-Attas"