Klak…buggg!!!!! “Ya ampun!” seru Alexei kaget seraya bangkit berdiri untuk membenahi bukubukunya yang jatuh menghantam lantai kayu ek merahnya. Bagaimana buku-buku itu bisa jatuh? Letaknya di tengah dan ditumpuk dari yang paling tebal dan berpermukaan lebar sampai yang tipis dan permukaannya kecil, pokoknya nyaris tidak alasan mengapa tumpukan buku-buku itu bisa roboh seperti World Trade Center setelah ditabrak pesawat. Janggal sekali, pikir Alexei sambil mengangkat buku-buku referensi untuk novel barunya yang rencananya akan menceritakan tentang pencarian makam seorang pharaoh di Mesir. Alexei adalah seorang novelis muda yang mendadak terkenal setelah menulis novel yang berjudul ‘Revenge of the Consigliore’ – Pembalasan Sang Consigliori- dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris.Consigliori adalah istilah dalam bahasa Italia yang artinya ‘penasihat’ dalam struktur Keluarga yang merujuk pada keluarga kejahatan mafia. Di luar dugaan, novel itu dipuji habis-habisan oleh Entertainment Weekly dan The New York Times sebagai karya masterpiece seorang penulis Asia yang langsung digelari ‘Mario Puzo Indonesia’. Mario Puzo adalah penulis novel legendaris The Godfather. Kariernya sangat cemerlang untuk seseorang yang bahkan belum berumur 25 tahun. Kriing.. kriing.. “Halo?” sapa Alexei ogah-ogahan. Ia tidak suka diganggu kalau sedang menulis. “Lexei? Ini Shareya,” ujar si penelepon di seberang sana yang ternyata adik dari tunangan Alexei, Sharhina, yang bernama Shareya dengan suara yang sangat serak. “Ada apa, Rey? Are you okay? Kamu lagi menangis?” tanya Alexei khawatir. Usia Shareya baru menginjak 15 tahun dan entah untuk alasan apa, sering menangis. Pengaruh puberitas mungkin? Hormon yang diproduksi saat menarche (mens pertama)? “Pesawat Sharhina jatuh… Tidak ada korban selamat.” Dua jam sebelumnya, “Yakin nggak masalah kalau aku nggak antar kamu ke Jakarta, S?” tanya Alexei dengan nada menyesal pada Sharhina, tunangannya, yang hari ini tampak très cantik dalam balutan knitted tunic berwarna kuning cerah, thight tebal hitam dan sepasang boots Chanel merah marun. Sharhina bekerja sebagai model, dan sebentar lagi taksi akan membawanya ke Bandara Hussein Sastranegara yang akan membawanya ke Jakarta
kemudian disambung penerbangan ke Singapura, baru pesawatnya akan lepas landas menuju Bandara Fiumacino di Roma untuk pemotretan kampanye Ferragamo musim semi/musim panas tahun depan. “Certamente, Signor. I ain’t a kid for God’s sake! (Tentu saja, Tuan. Aku bukan anak kecil, demi Tuhan!). Kamu ‘kan ada janji sama agen kamu, Tuan Novelis. Aku nggak tega menghambat jalan kamu menuju kesuksesan. Kalau ’The Pharaoh’ sesukses ’Revenge of the Consigliore’, kamu baru boleh liburan ke Roma bareng aku,” jawab Sharhina yakin. Jelas ini bukan pertama kalinya gadis itu pergi ke luar negeri sendirian. Dari Roma, ia akan pergi ke Milan untuk menonton Milan Fashion Week dimana perancang busana favoritnya, Missoni, akan menggelar fashion show untuk trend musim dingin tahun depan. ”Kayaknya jidat kamu rada panas deh, S. Mendingan kamu batal pergi. Firasat aku nggak enak. Bisa-bisa kamu sakit di sana!” saran Alexei cemas sambil menempelkan tangan di kening Sharhina yang memang panasnya di atas suhu tubuh normal 36-37° C. ”Non. Aku sehat sesehat-sehatnya. Justru aku bakalan sakit keras sampai harus diinfus kalau aku melewatkan kesempatan jadi model Ferragamo!” gerutu Sharhina seraya mengelak dari sentuhan Alexei. ”Prenda queste aspirin (Minum aspirin), S. Adesso (Sekarang). E molto importante! (Itu sangat penting!)” perintah Alexei tegas. Ia bisa berubah menjadi Benito Musolini kalau ia mau dalam sekejap dan mulai mengoceh dalam bahasa ibunya. ”Non adesso, amore (tidak sekarang, sayang). Andiamo (Aku berangkat)! Dobbiamo prendere il aereo (Kami harus mengejar pesawat)!” seru Sharhina kemudian mengecup singkat pipi tunangannya sebelum menghambur masuk ke dalam taksi. Alexei hanya bisa geleng-geleng kepala menghadapi Sharhina yang kekanak-kanakan. ”Sampai ketemu minggu depan, fiancé (tunangan)! Arrivederci! (sampai jumpa!)” seru Sharhina seraya menjulurkan kepalanya lewat jendela taksi, “Ti amo, piacente! (Aku menyayangimu, ganteng!)” ia menambahkan seiring melajunya taksi yang dinaikinya. Alexei melambaikan tangannya dan tersenyum. It’s definitely not him to be so romantic (Sangat bukan Alexei untuk bersikap romantis), seolah ia akan dihukum mati oleh regu tembak seperti zaman Perang Dunia II kalau ia menimpali kalimat romantis Sharhina. Dan tampaknya Alexei akan sangat menyesal.
Sehari setelahnya, “Pesawatnya gagal mendarat dengan sempurna di Cengkareng. Katanya gara-gara human error. Kasihan Alexei, padahal tahun depan mereka mau nikah.” ”Katanya mereka sudah booking tempat resepsi di château di sekitar Côte d’ Azur (Riviera, daerah di Prancis Selatan yang kerap dikunjungi turis mancanegara untuk berlibur)! Sayang sekali calon pengantinnya kecelakaan.” ”Minggu depan Sharhina ulangtahun. Kebayang pestanya di Hotel Hilton Jakarta yang bakal dicancel ya? Orangtuanya tampak stress sekali.” ”Bisa-bisa Alexei bunuh diri. Mereka sudah pacaran hampir satu dekade ‘kan? Kemungkinan paling bagusnya sih skizofrenia (gangguan jiwa dimana otak merubah cara berpikir penderitanya). Mayoritas orang bisa depresi terus bunuh diri.” Orang-orang dan gosip. Sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, pikir Alexei. Di hari pemakaman Sharhina, mereka masih sempat menggosipkan lokasi resepsi pernikahan. Kalau mereka nggak berhenti ngomong, gue jadi gila betulan dan membabat mereka satu-satu dengan golok buat belah kelapa, pikirnya jengkel. Apa tidak ada yang tahu benar perasaannya ditinggal Sharhina? Apa ada yang mengerti perasaan kehilangannya? Apa ada yang peduli bagaimana ia bisa mengenyahkan bayangan Sharhina? Air mata Alexei berjatuhan. Dia tidak peduli kalau ada yang menganggapnya cengeng, bahkan orang sekuat Napoleon Bonaparte pun pernah menangis. Juga Hitler, walaupun itu di hari lahirnya karena sulit membayangkan orang sebengis Hitler bisa menangis. ”Jangan peduliin apa kata orang-orang, Lex,” kata sebuah suara kalem diiringi tepukan menenangkan di pundak Alexei. Ternyata Ben-kependekan dari Benedetto, sepupu Alexei dari pihak ibunya yang masih berdarah Italia. ”Deve strae a letto (kamu harus beristirahat),” saran Ben pelan. Ia tahu betul sepupunya saat ini sedang breakdownhancur total. Sharhina bisa dianalogikan sebagai air bagi Alexei dan orang bisa mati tanpa air dalam waktu kurang lebih 5 hari. Apa Alexei akan mati seperti Juliet yang langsung mati setelah menyaksikan kematian Romeo? ”Terimakasih untuk perhatian lo, Ben. Tapi gue betul-betul ingin ikutan Yaasinan sama yang lain,” jawab Alexei lelah. Ben tahu betul sepupunya baru mengalami malam paling menyedihkan yang pernah ada dalam hidupnya.
Ternyata melupakan seseorang yang dicintai sama sekali bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilakukan. Walaupun sudah lewat seminggu sejak Sharhina meninggal, Alexei seolah masih diselubungi awan kumulunimbus yang gelap dan kebanyakan air. Ia mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan dengan mengetik kelanjutan cerita The Pharaoh tanpa henti akan tetapi keanggunan dan selera fashion Cleopatra hanya mengingatkannya pada keanggunan Sharhina, kecantikan Nefertiti hanya membuatnya terbayang kecantikan Sharhina, dan keagungan Hatshepsut hanya mengingatkannya pada aura keagungan Sharhina. Semuanya Sharhina. Bahkan mumi kucing pun mengingatkannya pada kesukaan Sharhina pada kucing. Dalam hal lainnya pun sama saja. Alexei tidak mampu menelan makanan lain selain biskuit Oreo dan permen gummi worms warna-warni dan hanya menenggak Singapore Sling (campuran gin, benedict dom, jus limau, grenadine dan soda) atau berliter-liter Jack Daniel’s. Heran sebenarnya bagaimana bisa Alexei selamat dari disfagia-kerusakan lambung karena terlalu banyak mengkonsumsi alkohol dan racun. Intinya, Alexei seperti robot yang merusak dirinya sendiri dalam film The Incredibles. ”Alexei...” Kuping Alexei langsung berdiri tegak seperti anjing doberman mendengar suara maling di dekatnya. Mungkinkah itu.. Sharhina? Suaranya sangat mirip suara kekasihnya yang sdah meninggal itu! Mungkinkah? Chi é? Siapakah itu? Alexei segera berlari dengan kecepatan cheetah keluar dari rumahnya dan tingkat kekecewaannya segera naik drastis. Sekelompok siswi SMU yang sedang cekikikan dengan masing-masing satu eksemplar Revenge of the Consigliore di tangan. ”Mas Alexei, ’kan? Bole nggak kita minta tanda tangan? Kita fans berat Mas lho..” Braak! Alexei membanting pintu rumahnya di depan muka anak-anak SMA kegenitan itu. Sebutir air mata sebesar berlian Harry Winston mengalir dari sudut mata Alexei. Kenapa bukan Sharhina? Alexei bergegas memasuki dapurnya. Dengan tergesa-gesa tangannya mengambil sebotol Xanax-obat anti depresan- dari lemari obatnya. Cara paling elegan untuk mati,
’kan? Walaupun nantinya jenazahmu akan menggelepar dan mulutmu berbusa. Daripada mengiris pembuluh nadimu, sangat klise. Gantung diri? Astaga, sinetron sekali. Menenggelamkan diri? Alexei punya aquaphobia kalau menghadapi bathub. Intinya, minum sebotol Xanax akan terlihat lebih bergaya. Jalan pikiran penulis hebat memang kadang-kadang sangat kompleks. Makin hebat, biasanya makin eksentrik. Hans Christian Andersen contohnya, orang jenius di belakang dongeng terkenal Itik Buruk Rupa dan Gadis Penjual Korek Api sebetulnya orang yang sangat,sangat aneh. Alexei mengangkat botol Xanax dan menuangkan isinya ke dalam mulutnya. ”Kukira kamu tidak akan seidiot itu, Alexei,” kata sebuah suara yang asing di telinga Alexei. Dan berani-beraninya orang asing ini mengatainya idiot! Apa Alexei berhasil bunuh diri? Apa sekarang dia berada dalam perjalanan menuju alam baka? Astaga, kepalanya pening sekali. Sepertinya ada keluarga setan yang bermain musik heavy metal dalam kepalanya. Pelan-pelan Alexei membuka matanya dan melihat sekelilingnya. Replika lukisan ’Gadis Bermata Hijau’ karya Henri Mattisse, foto-foto Sharhina ukuran jumbo dan juga tiruan patung Thutmose III dan artinya, ruangan ini adalah kamarnya. Tunggu, ia bisa merasakan kakinya. Hanya ada satu konklusi dari kejadian itu, Alexei belum mati. ”Bangun, stupidi bambini (anak bodoh)!” bentak suara asing tadi. Ternyata Ben. Italiano itu bermandikan keringatan dan tampak sangat panik. “Do you have any idea what the hell was that (Apakah kau bisa menjelaskan apa yang baru terjadi)?!” bentak Ben kasar. Alexei menerjang maju dan menarik kerah polo shirt Ralph Lauren milik Ben dengan kesal. “Kenapa lo bawa gue ke sini, merda (brengsek)?!” gerung Alexei murka. Kemurkaan yang bodoh sebenarnya. BUK! “Che cosa ha detto (Apa lo bilang)? Jadi lo mau mati! Susah payah gue tolong dan sekarang, bukannya berterimakasih lo malah ngomel-ngomel? A simple ‘grazie’ is enough (Sebuah ucapan ‘terimakasih’ sudah cukup)!” Ben balas membentak setelah sukses meninju wajah ‘malaikat berubah jadi setan’ Alexei ala Muhammad Ali. Alexei jatuh tersungkur sambil memegangi pipinya. Ia benar-benar tak tahu Ben susah payah memasukkan susu ke dalam mulut Alexei dan melakukan pernapasan buatan.
“Mi dispiace (maaf), Ben. Gue cuma lagi hancur. Lo tahu bagaimana pentingnya Sharhina buat gue. Dia.. dia semacam roh buat gue. Lo tahu apa yang terjadi pada tubuh tanpa roh? Hampa kalaupun nggak mati.. sekarang, seluruh hidup gue cuma untuk ini!” ujar Alexei seraya melempar draf The Pharaoh yang belum selesai. Ben membaca,
Khnumt- Amun Hatshepsut, begitulah cara hieroglyph di atas dibaca. Hatshepsut adalah pharaoh wanita paling berkuasa dalam sejarah Mesir Kuno. ‘Bergabung dengan Amun, perempuan bangsawan paling berkuasa’. Walaupun Ratu Sobekneferu sudah mendahuluinya sebagai penguasa Mesir Hulu dan Mesir Hilir, ia memakai mahkota rangkap sebagai penguasa Mesir Hulu dan Mesir Hilir wanita yang paling berkuasa. Kami, tim pencari makam Sang Pharaoh berusaha keras… melupakan Sharhina. “Wow, apa hubungannya Sharhina sama Ratu Hatshepsut? Menurut gue, lo mendingan nulis tentang marchioness (gelar kebangsawanan kerajaan-kerajaan di Eropa yang setingkat dengan viscountess, countess dan baroness) di Inggris yang dipaksa married sama Ratu Elizabeth I sama The Great Lord Chamberlain atau apa karena ini jelas nggak akan laku…” Ben berhenti mengoceh saat melihat sepupunya itu mengabaikan segala kode etik kemaskulinan dengan menangis terisak-isak di depannya. Jelas sekali kalau sepupunya itu sedang mengalami masa breakdown. Hancur berat. “Kalau gue bisa mutar balik waktu, gue akan mencegah Kematian mengambil Sharhina dari gue… kalau.. kalau..” Alexei terbangun di tengah malam dalam keadaan lapar. Ia menggeliat sejenak baru kemudian turun dengan ogah-ogahan untuk berjalan ke dapur. Sandalnya berkeletak-keletok di keheningan malam saat benda itu dijejakkan di lantai kayu ek merah. Rumahnya terlihat seperti kapal Titanic setelah tenggelam, sangat berantakan
tanpa air yang menggenanginya. Menyedihkan sekali. Ibunya akan segera berlari kesetanan mencari sapu kalau melihat keadaan rumahnya. Coba ada Sharhina... Sial. Sharhina lagi. Kenapa sih Sharhina seperti sesuatu yang ditempeli Superglue permanen ke otaknya. Ia membuka kulkasnya untuk mengambil sebotol JD dan sebungkus Oreo krim strawberry lagi. ”Aku tidak akan melakukannya kalau aku jadi kau. Lambungmu sudah tinggal selangkah lagi dari kerusakan fatal, tahu.” ”Diam, Ben. Lo nggak kasih tahu juga gue ta..” tunggu dulu! Itu bukan suara Ben. Alexei segera membalikkan tubuhnya dan bersiap melempari sosok misterius itu dengan botol Jack Daniel’s. ”Siapa di situ?” teriak Alexei, berusaha garang. ”Buona sera, Signor. Io sono Angelo, felice di conocerla. (Selamat malam, Tuan. Namaku Angelo, senang berkenalan dengan Anda).” Angelo? Siapa pula Angelo? Tidak ada kenalan Italianya yang bernama Angelo. Satu-satunya yang berkomunikasi dalam Bahasa Italia hanya Ben dan ibunya! Dan bagaimana ’Angelo’ ini bisa masuk ke dalam rumahnya? Apa dia perampok? ’ ”Jangan lempar aku dengan botol racunmu, please. Aku di sini untuk membantumu, Alexei. Kebetulan aku mendengar doamu soal ‘membalikkan waktu’ tadi. Dan, kebetulan juga aku mampu membantumu dalam hal itu!” Sosok misterius bernama Angelo itu mengumumkan dengan bangga. Sekarang bukan April Mop, ’kan? Kalau ini diikuti dengan kalimat ’Smile! You’re on candid camera!’ maka Alexei akan benar-benar bunuh diri. ”Sebenarnya siapa sih kamu ini?” seru Alexei mulai jengkel. Sejak kecil ia benci dipermainkan atau diolok-olok. Sosok bernama Angelo itu mendekatkan dirinya ke bawah jendela, sehingga ia disinari sinar bulan yang menerobos masuk. Jangkung, berambut panjang dan mengenakan jubah satin abu-abu. Sosok yang sangat anggun sekaligus gagah walaupun sama sekali tidak mirip orang Italia. ”Sudah kubilang namaku Angelo, baka. Itu artinya bodoh, omong-omong, dalam Bahasa Jepang kalau-kalau kau kehilangan memorimu karena pengaruh JD dan semua permen kenyal itu, Alexei. Aku kenal inspirator namamu, omong-omong. Alexei Romanov, putra Tsar Nicholas II yang tewas saat revolusi di Rusia itu. Dia memang hemofilia tapi jelas tidak idiot sepertimu...”
Alexei hanya termangu menatap makhluk aneh ini. Siapa sih dia? ”Hei, lo bilang lo bisa membalik waktu ’kan? Show me. Dan kalau semua ini cuma lelucon, gue akan nuntut lo karena menerobos masuk tanpa izin!” serunya. Angelo tersenyum angkuh seraya merogoh ke balik jubahnya dan mengeluarkan sebuah jam saku kecil yang sangat cantik, sepertinya dibuat dari berlian dan dipenuhi batu mulia. Sangat indah. ”Benda ini,” Angelo mengacungkan jam saku indah itu, ”bisa mengirimmu kembali ke waktu yang kau inginkan. Bayangkan saja tempat dan waktunya dan BOOF! kau ada di sana. Tapi ingat, benda ini hanya bisa bekerja tiga kali dan setiap kali kau kembali, dirimu saat itu tetap ada di sana. Yah, intinya ada dua kau di waktu yang sama. Istilahnya time-traveling. Ya ’kan? Berpergian menembus dimensi waktu.” Alexei mengerutkan keningnya dengan curiga. ”Dari mana gue tahu lo nggak berbohong, Signor Angelo? Maksud gue, secara teoritis ini mustahil!” tanyanya penuh selidik. Angelo lagi-lagi tersenyum angkuh. ”Buktikan saja sendiri, geni (jenius),” ujarnya seraya mengangsurkan jam saku indah itu. Alexei menerimanya dengan hati gamang. Tidak butuh Albert Einstein untuk tahu kalau semua ini hanya isapan jempol, ’kan? Time traveling hanya ada dalam komik Doraemon, novel Timeline karya Michael Crichton dan tentunya novel drama The Time Traveler’s Wife karya Audrey Niffenegger! Tapi Alexei tetap memejamkan matanya dan membayangkan ia berada di depan rumahnya seminggu yang lalu, tepat sebelum kepergian Sharhina ke bandara. BOOF! Seminggu yang lalu, ”Yakin nggak masalah kalau aku nggak antar kamu ke Jakarta, S?” Alexei mendengar dirinya sendiri-dirinya seminggu yang lalu- bertanya kepada sosok di depannya. Sharhina! Masih hidup dan sangat memesona. Ya ampun, bagaimana bisa ada gadis secantik Sharhina? Bahkan Gisele Bündchen boleh menyingkir! Angelo benar. Ia bisa kembali ke waktu yang ia inginkan! Ia bisa mencegah Sharhina pergi! Alexei menunduk kemudian berlari ke garasinya selagi Alexei lama dan Sharhina sedang berbicara. Alexei menjangkau kunci mobil Honda Accord VP-nya dengan berusaha keras agar suaranya tidak terdengar dan Alexei lama akan mengiranya alien pengopi wujud.
Didengarnya derum taksi yang ditumpangi Sharhina berjalan pergi meninggalkan pekarangan rumah Alexei. This is it! Ia menginjak pedal gasnya keras-keras setelah membuka pintu garasi otomatis dengan remote control terlebih dahulu. BRRRMMM.... ”Hei! Hei! Mobil gue!” teriak Alexei lama kaget. Jelas, siapa yang tidak kaget melihat mobilnya tahu-tahu dicuri? Alexei yang datang dari masa depan (atau Alexei saja) mengemudikan mobilnya seolah dia ini Ricky Bobby atau siapa untuk mengejar taksi Sharhina. Itu dia taksinya! Alexei mengerem sampai mengeluarkan bunyi berdecit keras di depan taksi untuk memblokade jalan taksi yang ditumpangi Sharhina. Ia buru-buru keluar dan menggedor jendela mobil Sharhina yang kebingungan. ”Sweetie, kamu kenapa? Non capisco (aku nggak mengerti), kamu tampak mengerikan,” tanya Sharhina kebingungan. Gadis itu turun dari taksi dan merangkul leher Alexei walaupun tinggi Alexei sekitar 6,3 kaki. ”Kamu harus ikut aku,S! Kamu nggak boleh pergi ke Jakarta! Pesawat kamu bakalan jatuh! Please, jangan pergi!” cegah Alexei ngos-ngosan. Sungguh perkara yang melelahkan mengemudi secepat itu. Ia harusnya ikut NASCAR atau A1. ”Kamu nggak pernah fobia naik pesawat sebelumnya. Lagian, yang naik pesawat ’kan aku. Maskapai penerbangannya terjamin kok. I’ll be fine (aku akan baik-baik saja)...” kata-kata Sharhina terpotong dering ponsel dari dalam day bag Marc Jacobs-nya yang dipenuhi zipper emas. ”Halo? Lho? Alexei? Ini nggak mungkin kamu! Kamu ada di depanku!” Sharhina melirik Alexei di depannya dengan ketakutan. Kemungkinan besar penelepon itu adalah Alexei lama yang mengabarkan kalau mobilnya dicuri. Tatapan ngeri Sharhina berulang kali jatuh kepada Alexei. Sharhina menutup flip fashion phone miliknya dan melangkah mundur dengan ketakutan. ”Jauh-jauh dari aku! Aku nggak tahu kamu siapa tapi kamu jelas bukan Alexei! Kamu maling yang pakai topeng atau apapun biar mirip dia!” Alexei berusaha menjelaskan tapi ia benar-benar tidak tahu harus bilang apa. Siapa sih yang akan percaya kalau ada yang bilang : ’Halo, aku datang dari masa depan untuk mencegahmu mati!’? kecuali orang itu kebanyakan menonton film sci-fi tentunya. ”Pergi sebelum aku panggil polisi! Dan jangan pakai mobil Alexei!” jerit Sharhina sebelum sadar kalau di belakangnya ada sekumpulan anak muda yang menyetir ugalugalan. Dan Porsche Carrera anak-anak itu menabrak Sharhina.
”Sharhinaaaa.....” Sekeliling Alexei berubah menjadi pusaran warna dan tahu-tahu ia berada kembali di dapurnya. Seminggu setelah Sharhina tewas, kali ini karena tertabrak mobil. Di hadapannya, Angelo tertawa sinis. ”Aku tak akan sebodoh itu kalau jadi kau, Alexei. Kau tidak bisa menyelamatkannya, malah membuatnya mati penasaran. Alexei mana yang asli... sungguh menyedihkan. Oh ya, pencuri mobilmu sedang diselidiki polisi lho. Tersangka atas kematian Sharhina pula. Sopir taksi itu bilang kau membunuhnya. Tapi tak ada yang curiga pada Alexei yang malang karena tepat sebelum menelepon, Benedetto datang dan membuat alibinya sempur..” ”Diam! Kamu tahu apa soal itu?!” bentak Alexei marah. Ia menerjang maju untuk menggebuk Angelo tapi pria itu melayang. Benar, melayang pergi dengan sayapnya. Sepasang sayap besar berwarna putih seperti sayap pegasus, kuda terbang khayalan itu. “Nah-nah-nah. Jangan coba-coba, Alexei. Jangan marah padaku karena kebodohanmu.” Alexei menatap Angelo dengan terperangah ditambah napas yang memburu. Tidak ada orang yang bisa terbang selain tipuan sulap David Blaine atau Criss Angel! Ia menggenggam erat jam sakunya. Daripada membuang waktu memikirkan Angelo, lebih baik ia berusaha menyelamatkan Sharhina. Ia memejamkan matanya rapat-rapat dan memikirkan suatu tempat. Bandara, seminggu yang lalu “Terimakasih ya, pak. Kembaliannya untuk bapak saja,” kata Sharhina pada sopir taksi yang baru saja menurunkannya di muka Bandara Hussein Sastranegara. “Kembali, Neng. Semoga penerbangannya selamat,” sahut sopir taksi itu diiringi doa singkat untuk Sharhina. Saat gadis itu mendongak, serta-merta ia berseru kaget, “X! Kenapa kamu bisa ada di sini? Terbang? Jangan-jangan kamu Superman, bisa terbang!” “Sayangnya aku bukan, S. Walaupun aku memang lagi berusaha jadi pahlawan. Tolong jangan naik pesawat itu. Please? Tetap di sini, sama-sama aku ya?” Alexei memohon. Sungguh ia tak sanggup hidup tanpa Sharhina. Bayangkan saja manusia hidup tanpa air sementara hampir 65% tubuh manusia itu air. Sharhina memasang mimik bingung. Entah kenapa atau hanya perasaan, cara berdirinya agak goyah.
”What’s wrong with you? Kamu keracunan gummi worms atau kemasukkan kumbang scarab gara-gara penelitianmu tentang Mesir Kuno itu!” goda Sharhina diiringi ledakan tawanya yang melodik. “Aku serius, S. kamu nggak boleh naik pesawat itu. Tunda! Untuk waktu yang tak terbatas! Kita bisa ke Phuket.. atau Paris! Tapi jangan sekarang. Aku bakal temani kamu, aku janji!” sergah Alexei sarat emosi. Ia menggenggam tangan Sharhin kuat-kuat, seolah kalau melepaskannya akan terjadi kiamat kubra. Sharhina tersenyum lebar walaupun butir-butir keringat mengalir di keningnya entah untuk alasan apa. ”Promise?” Alexei segera mengangguk. ”Janji. Aku janji. You do have my word! Ke Paris, ke Milan, Honolulu.. bahkan Antartika kalau kamu mau!” jawabnya buru-buru. Kalau ia memenuhinya dan tidak kehilangan Sharhina, disuruh makan setruk scarab dalam acara Fear Factor pun Alexei sudi. ”Well..oke. melihat muka kamu, aku jadi nggak tega. Duh, kamu betul, X, aku harus minum aspirin,” Sharhina merogoh-rogoh ke dalam tas Marc Jacobs seharga $650 miliknya, ”Ya ampun! Blackberryku ketinggalan di taksi! Semoga taksinya belum jauh..” ”Biar aku yang ambil. Kamu tunggu di sini aja. Tapi hati-hati, kelihatannya bakal ada rombongan Duta Besar Amerika Serikat yang pesawatnya mendarat sebentar lagi,” Alexei menunjuk diri untuk menjadi dewa penolong Sharhina. Tunangannya mengangguk. Gadis itu berjalan menepi dan bersandar pada tembok, menyaksikan punggung Alexei yang kian menjauh. Di luar bandara, Alexei mencari-cari taksi yang tadi dinaiki Sharhina. Terimakasih kepada memorinya yang bagus, Alexei masih ingat nomor pelat mobil taksi tadi. BRUK! Sekonyong-konyong ia ditabrak oleh seorang pemuda yang memakai fedora kelabu gelap. Ia menyandang ransel superbesar yang kelihatannya mampu memuat sekarung beras 10 kg. “Maaf, Mas, saya nggak sengaja! Oh ya, mas, saya dikejar-kejar lintah darat yang pakai jaket kulit. Tolong Mas jangan bilang saya ke mana, ya?” pinta pemuda berfedora itu. Alexei mengangguk menyanggupi. Pemuda itu tampak memelas sekali. Mungkin lintah darat tadi mendepak pemuda itu dari rumahnya. Malang sekali. Mungkin baru tiga menit setelah pemuda berfedora tadi pergi saat sekelompok pria bertampang garang yang memakai jaket kulit. Persis dengan deskripsi lintah darat
yang diberikan pemuda tadi. “Mas,” panggilnya pada Alexei, “Lihat anak muda yang umurnya sekitar 18 tahun dan memakai fedora abu? Membawa tas besar?” Alexei mengangkat bahu. “Nggak tuh. Nggak ada orang yang ciri-cirinya seperti itu,” jawab Alexei berbohong. Sepertinya ia diam-diam ketularan Robin Hood, jahat untuk menolong orang hanya saja ia tidak mencuri. Sepertinya kawanan jaket kulit itu memiliki lie detector tersembunyi di balik jaketnya karena ia langsung berkata, “Jangan bohong dong, Mas. Anda menghambat penyelidikan kami!” Penyelidikan? Penyelidikan untuk melakukan tindak anarkis? Alexei bersikeras pada pendiriannya. Ia menggeleng. “Nggak ada, Mas. Saya nggak bohong kok. Ngapain juga saya bohong? Nggak dikasih duit juga kalau saya bohong...” “Dia itu tersangka pengeboman, Mas! Dia diduga anggota kawanan pro-Irak yang anti Amerika! Kemungkinan dia mau mengebom Bandara Hussein Sastranegara karena ada rombongan Duta Besar Amerika untuk Indonesia yang pesawatnya sedang landing sekarang!” sergah pemimpin kawanan jaket kulit tidak sabar. Tadinya ia berniat merahasiakan urusan pertahanan dan keamanan tapi mengingat situasinya sedang pelik, ia membocorkannya. Bom? Hussein Sastranegara? Rombongan Duta Besar? Masya Allah, Sharhina masih ada di dalam! “Dia masuk ke dalam bandara! Kenapa orang seberbahaya dia dilepas sih?” omel Alexei sebal bercampur panik. Belum sempat polisi yang menyamar itu menjawab... BLAAARRRRRR!!! Sepertiga bagian depan Bandara Hussein Sastranegara hancur berkeping-keping akibat ledakan bom rakitan yang kekuatannya walaupun tidak sehebat bom HiroshimaNagasaki atau bahkan bom Bali tapi tetap saja menewaskan cukup banyak orang. Termasuk rombongan Duta Besar Amerika yang saat itu akan segera berangkat ke hotel. Tidak terkecuali Sharhina. Mengira akan mendarat di atas aspal kemudian dihujani serpihan beton atau bongkahan semen, Alexei sudah sibuk melindungi kraniumnya agar tidak retak. Rupanya ia mendarat di tempat yang keras, seperti aspal, hanya saja licin. Dapur rumahnya. Ia mendongak dan mendapati Angelo memutar bola mata dengan jengkel kepadanya.
”You just blew up your chances, dork (Kau baru saja menghancurkan kesempatanmu,bodoh)! Membunuh pacarmu dengan menyelundupkan pengebom ke dalam bandara. Apa sih yang terlintas di otakmu? Senang melihat pacarmu terpanggang? Diidentifikasi lewat tulang femurnya? Allahuakbar! Kamu memang orang paling bodoh di dunia ini, Alexei. Harusnya namamu itu Jahiliyah (zaman kebodohan) atau Stupidity (kebodohan), bukannya Alexei. Bagaimana sih cara mengeja namamu? B-O-D-O-H ya? Aku memberimu kesempatan dan yang kau lakukan hanya membunuhnya! Kamu jenius paling idiot yang pernah Allah ciptakan, Alexei,” Angelo berceramah dengan nada mencela. “Gue berusaha keras menolong dia, bukannya membunuhnya! Asal lo tahu!” bentak Alexei marah. Apa sih yang akan dilakukan Angelo seandainya ia Alexei? Dimana lagi ia harus menghentikan Sharhina? Angelo berputar-putar di udara, melalukan plié (gerakan balet, punggung lurus dan kaki ditekuk) kemudian meniru balerina yang menarikan resital The Swan Princess kemudian mendarat tepat di depan Alexei, nyaris membuat Alexei menjadikan Angelo karung tinjunya. “Coba aku tanya, untuk apa kamu berusaha mengembalikan apa yang sudah digariskan Tuhanmu kepadanya, Alexei? Mengapa kamu berusaha keras melakukan sesuatu yang mustahil? Aku menikmati pembicaraan cerdasku dengan Aristoteles tapi aku tak mau menghidupkannya lagi. Di samping kebiasaan ogah bercukurnya itu, aku tak mau menentang kehendak Tuhanku. Kesempatanmu tinggal satu kali lagi, amici (teman). Now or never (sekarang atau tidak selamanya).” Alexei memejamkan matanya kuat-kuat. Ia memikirkan suatu tempat dan waktu. Lagi-lagi ia tersedot ke dalam pusaran cahaya dan mendarat di tempat yang sangat dikenalnya. Seminggu yang lalu ”Hei, sexy, kenapa kamu tiba-tiba muncul di rumahku?” sapa Sharhina setelah membukakan pintu dan mendapati Alexei berdiri di depan pintu rumahnya. Pada waktu yang sama, Alexei yang satu lagi tengah berkonsentrasi penuh menyelesaikan bab ketiga The Pharaoh. ”Lagi apa, S?” tanya Alexei ingin tahu. Sharhina mengangkat bahunya. ”Packing. Besok aku berangkat ke Roma, ingat?”
Alexei mengangguk pedih. Tenggorokannya serasa terganjal sebongkah batu kali. Kalau bersamanya, bagaimanapun caranya Sharhina tetap akan meninggal. Sepertinya mereka memang tidak ditakdirkan untuk bersama di masa sekarang. Mungkin nanti, mungkin hanya dalam kenangan.. siapa yang tahu? ”Mau temani aku jalan-jalan? Banyak sekali yang mau aku bicarakan sama kamu, S,” Alexei menawarkan. Tawaran itu langsung diterima Sharhina dengan senang. Selama ini, Alexei sering sekali sibuk dengan proyek novelnya. Baik Revenge of the Consigliore, The Pharaoh maupun novel-novel dan artikel majalah di tempatnya bekerja. ”Tentu. Tunggu lima menit dan kita langsung ciao!” Alexei hanya tersenyum. Keriangan Sharhina hanya akan disaksikannya sebentar lagi. Kalau saja ada cara agar ia bertukar tempat dengan Sharhina, agar ia saja yang mati sehingga Sharhina bisa hidup bahagia.. Lima menit kemudian Sharhina muncul dalam balutan sweter tebal Nicole Farhi sewarna gading dipadu legging merah manyala dan sepasang sepatu datar keluaran Chanel. ”Kamu kelihatan nggak sehat lho, S. Mau ke dokter?” Alexei menyadari jalan Sharhina yang goyah dan keringatnya yang terus menerus mengalir. ”Per niente (tidak sama sekali). I’m peachy (aku baik-baik saja). Ayo kita pergi. Dove vuole andare (Anda mau pergi kemana)? Mal? Atau restoran Italia yang insalata caprese-nya enak?” ”Kemana pun yang kamu mau,” jawab Alexei diiringi senyum yang tulus. Ia bahkan lupa kapan pernah tersenyum setulus itu. Mungkin di hari Sharhina menerima lamarannya di puncak Menara Eiffel tiga bulan yang lalu? ”Perché no (mengapa tidak)? A che ora si parte (kapan kita berangkat)?” tanya Sharhina, tersenyum manis. Sepertinya sudah lama sekali Alexei tidak tersenyum seperti itu padanya. “Adesso (sekarang).” “Aku nggak percaya kamu mau ikut aku ke sini! Ini rumah impianku. Dari dulu aku selalu berharap rumah ini nggak pernah terjual karena aku ingin someday bisa tinggal di sini,” Sharhina memberitahu Alexei dengan antusias. Hati Alexei serasa digigit.
Tahukah Sharhina kalau ia tak akan pernah menempatinya? Alexei susah payah menahan tangis. Tahukah ia kalau mereka tidak akan pernah menikah? “Tapi kayaknya aku nggak akan tinggal di sini deh,” kata Sharhina tiba-tiba. Eh? Alexei mengerutkan kening dengan bingung. Apakah Sharhina sudah tahu kalau hidupnya tak akan lama lagi? “Kenapa?” Alexei memberanikan diri untuk bertanya. Sharhina tidak menjawab. Ia hanya berdiri mematung mengagumi rumah impiannya itu. Rumah itu tidak besar tapi tetap cantik. Bercat lembayung muda, atapnya dirambati sulur tanaman mawar seperti juga gerbang lengkung sebelum pintu dan halamannya yang luas ditumbuhi entah berapa jenis spesies bunga. Di salah satu dahan pohon besar di pekarangan, digantungi ban mobil yang berfungsi sebagai ayunan. Benarbenar rumah impian dalam dongeng. Sharhina berjalan mendekati pohon itu kemudian duduk di bawahnya. Alexei mengikutinya dan duduk di sebelahnya. “Kadang aku takut,” Sharhina membuka obrolan, “kalau seandainya aku pergi duluan, siapa yang jagain kamu ya? Kamu bisa bertindak seperti bayi kadang-kadang,X.” Kepala Alexei serasa dihantam gada. Bagaimana Sharhina bisa tahu? “A..apa yang kamu omongin sih, S? Aku nggak ngerti..” Alexei merasa, purapura bego, walaupun sangat sinetron, adalah reaksi yang terbaik. “Well, aku hanya penasaran. Kalau aku nggak ada, siapa yang bakal temani kamu? Siapa yang kira-kira mau belajar Bahasa Italia untuk kamu? Siapa yang bakal mengingatkan kamu makan? karena sejak The Pharaoh mulai ditulis, kamu suka nggak ingat makan. Yang jelas, aku berharap kamu bahagia sama siapapun yang kamu pilih untuk menggantikan aku. Dan dimanapun kamu berada, seandainya kamu mau ketemu aku, lihat ke atas dan aku bakal ada di sana,” Sharhina menunjuk langit malam di atasnya dimana ratusan bintang berkerlap-kerlip di dalamnya. Padahal, biasanya langit malam tidak seberbintang itu. Mungkin, benda-benda langit pun menghidupkan suasana indah bagi Sharhina. ”Jangan ngomong yang aneh-aneh, S. Kamu nggak akan mati,” Alexei berbohong. Tanpa disadari, air mata Alexei meluncur jatuh ke pipinya seperti orang yang melakukan bungee jumping.
”Tidak ada yang tahu kapan seseorang akan mati, X. Tapi aku yakin waktuku nggak akan lama lagi. Dan kalau perkiraanku benar, kuharap kamu nggak bertindak bodoh yang merusak diri sendiri. Mau ’kan kamu janji nggak akan ngerusak diri sendiri? Be strong (kuatlah), ’cause you are always my superhero (karena kamu selalu jadi pahlawan superku). Aku tahu kamu bukan seorang idiot yang bakal depresi karena faktor sosio-lingkungan seandainya aku pergi.” Alexei tersenyum getir. Sepertinya Sharhina tidak bisa menilai dengan baik. Apa reaksinya kalau tahu Alexei berusaha bunuh diri dengan sebotol Xanax? Ditambah lagi berliter-liter Jack Daniel’s yang sudah dikonsumsinya. ”S, terserah kamu mau percaya atau nggak, tapi aku yang sekarang datang dari masa depan! Aku lebih tua seminggu dari aku yang sekarang. Alexei yang hidup di masa ini lagi mengetik The Pharaoh dengan serius di kamarnya! Bagaimanapun caranya, pokoknya aku bisa kembali ke sini untuk menyelamatkan kamu! Aku nggak mau kamu mati. Aku nggak mau ditinggal. Aku..” mendadak suaranya pecah dan digantikan dengan isak tertahan. Kalau ada yang menganggapnya cengeng, cobalah ada dalam situasinya. Kehilangan seseorang yang kau sayangi bukan sesuatu yang mudah dilupakan. ”’Aku tidak akan bilang ’jangan menangis’ karena tidak semua air mata jahat’. Kamu ingat kalimat itu? Pahlawan kamu yang bilang lho..” Sharhina mengutip kata-kata tokoh rekaan pujaan Alexei sepanjang masa. ”Gandalf. Itu kata-kata Gandalf dari novel The Lord of the Rings karya J.R.R. Tolkien..” sahut Alexei setelah memorinya mengingat kata-kata penyihir bijak itu kepada para hobbit sebelum ia berangkat ke Havens. ”By the way, pernahkah kepikiran sama kamu kalau aku bakal menolak diselamatkan? Kalau aku lebih suka menjalani takdirku sendiri. Ada sesuatu yang nggak dapat diubah, X. Itu salah satunya. Lepasin aku, oke? Biarin aku pergi dengan tenang. Jangan menangis di kemudian hari dan jangan rusak diri kamu sendiri. Kamu harus kuat dan buat aku bangga. Jadi penulis best-seller lagi, banyak beribadah, banyak doain aku dan.. cari penggantiku. Sangat nggak adil buat kamu kalau kamu nggak bahagia di dunia cuma karena aku.” Sharhina mengatakannya dengan suara kalem dan bernada tenang. Berbeda dengan Alexei yang justru menerimanya dengan isak tangis yang keras. ”Aku malah berdoa biar aku aja yang mati, jangan kamu!”
Sharhina merebahkan kepala Alexei di pangkuannya dan dengan lembut membelai-belai kepalanya. ”Kalau gitu, kamu nggak sayang sama aku, X. Kamu mau ya lihat aku menderita? Aku nggak sekuat kamu. Mungkin aku bisa mati karena sedih menangisi kepergian kamu. Kasihan arwah kamu juga ’kan?” Butiran-butiran air mata Alexei membasahi sweter Sharhina. Hei, bukankah ada pepatah bilang : ’Tak ada pesta yang tak usai’? Alexei menggigit bibirnya kuat-kuat dalam rangka mencegah tangisnya terus berkelanjutan. Ia tak mau membuat Sharhina sedih dan tidak tenang. Ia ingin Sharhina pergi dengan lega, bagaimanapun caranya. ”Maafin aku, S. Aku sering mengabaikan kamu. Kita memang nggak pernah menghargai sesuatu sampai sesuatu itu hilang. Aku sayang kamu, S. Yo quiero mucho (sangat menyayangimu). Aku bahkan nggak pernah berpikir untuk menyayangi orang lain seperti menyayangi kamu? Awalnya aku benci, kenapa aku dikasih kesempatan untuk ketemu kamu lagi, karena itu hanya akan menambah sakit hatiku lihat kamu pergi. Tapi, sekarang aku bersyukur karena dikasih perpanjangan waktu sebelum wasit betulbetul meniup peluit panjang..” Sharhina tersenyum mendengarnya. Walaupun ia mendengar kata-kata manis dari mulut Alexei di hari terakhirnya. Dan ia tahu Alexei berkata sejujur-jujurnya, itu bahkan lebih dari cukup. Apa sih yang diminta seseorang saat mencintai? Dicintai kembali, ’kan? ”Selalu ingat ya, aku akan ada bersama kamu selamanya. Dimana pun itu. I will be up there, watching you (aku akan berada di atas sana, mengawasimu).Buona notte, amore. Arrivederci. Go to sleep (tidurlah)...” Kata-kata terakhir Sharhina seperti dongeng sebelum tidur yang mengantar Alexei ke dalam tidur nyenyak yang tidak pernah didapatkannya selama seminggu semenjak Sharhina meninggalkannya. Walaupun sedih, kepergian Sharhina pasti akan ada dalam hidupnya, seperti hujan yang tetap akan turun walaupun dihadang ratusan pawang hujan. Dan kali ini, ia menerimanya dengan lapang dada. ”Molto bene, amici (Bagus sekali, temanku)! That’s what I’m talking about (Ini dia maksudku). Sharhina Dharmawangsa meninggal karena penyakit demam berdarah yang telat ditangani di kamarnya,itu yang tertulis di buku catatanku setidaknya!” sambut Angelo begitu melihat Alexei seolah Alexei pahlawan Perang Troya atau bagaimana.
“Sharhina meninggal di rumah impiannya!” Alexei memprotes. Ia ingat dimana, bentuk bahkan nomor ponsel agen real estate yang menangani penjualan rumah itu. Angelo tersenyum penuh arti. “Memangnya kamu sendiri yang mendapat kehormatan memakai jam ini?” tanyanya retoris. Angelo mengambil jam saku berlian itu dari tangan Alexei dan memutar-mutarnya. “Waktu. Sesuatu yang sangat penuh misteri,” gumamnya. Ia melayang semeter dari lantai dan membungkuk memberi hormat berlebihan seolah sedang membungkuk pada raja. “Sampai ketemu lagi, Alexei! Mungkin Alexei Romanov akan bangga karena namanya digunakan seseorang yang baik. Omong-omong, The Pharaoh akan jadi best-seller. Diterjemahkan ke 48 bahasa bahkan dibuat filmnya oleh Warner Bros. Omedetto dariku deh. Oh ya itu Bahasa Jepang untuk..” “Selamat. Gue nggak idiot, Angelo. Grazie (Terimakasih), Angelo,” potong Alexei diiringi senyum penuh terimakasih pada Angelo, si sinis yang baik hati. “Prego (Kembali), Alexei. Arrivederci!” balas Angelo sopan. Ia melayang menembus tembok dan menghilang di langit malam. Alexei tersenyum sendiri sepeninggal Angelo. Kata ‘angelo’ berarti ‘angel’ dalam Bahasa Inggris dan dalam Bahasa Indonesia disebut dengan istilah ‘malaikat’. Milan, 3 tahun kemudian Piazza Della Scala BUK! “Ouch!” jerit seorang gadis muda berusia pertengahan dua puluhan yang berambut cokelat kemerahan dengan sepasang mata hijau kekuningan yang sangat cantik ketika punggungnya ditabrak dari belakang. “Ya ampun! Mi dispiace, signorina!” Alexei segera meminta maaf pada gadis yang baru ditabraknya. Untung kamera besar antik di tangan gadis itu tidak jatuh. Sepertinya ia seorang fotografer kalau dilihat dari caranya memotret. Mau bagaimana lagi, Piazza Della Scalla memang dekat dengan galeri Vittorio Emanuele plus di sini terdapat patung Leonardo Da Vinci dan teater La Scala. Pecinta seni pasti kemari. “Perché va a Milano, Signor (Apa yang kau lakukan di Milan, Tuan)?” tanya gadis cantik itu dengan nada bersahabat. “San Siro. AC Milan. Parla lei ingles (Apakah Anda berbicara Bahasa Inggris)?”
Gadis itu mengangguk. “Bahasa Indonesia juga bisa sebetulnya. Anda penulis Revenge of the Consigliore ‘kan? Sebagai separuh Italia-Indonesia, saya kagum sekali pada novel Anda. Juga novel drama satu-satunya Anda itu, What You Can’t Change A Week Ago : Apa yang Tak Bisa Kau Ubah Minggu Lalu! It’s a phenomenon. Saya fans berat! Mau minum macchiato sambil mengobrolkan novel Anda?” Gantian Alexei yang mengangguk menyetujui tawaran si nona cantik dengan mata mengagumkan seperti milik Helena Christensen. Faktanya, gadis ini agak mirip dengan Sharhina. “Certamente, Signorina.” Tanpa sadar, Alexei mendongak ke atas dan menatap lautan bintang di atasnya. Apakah hanya perasaannya atau memang benar, satu dari jutaan bintang di langit malam kota Milan berkerlap-kerlip paling terang di antara yang lain, seperti mata yang mengedip-ngedip. Alexei teringat ucapan Sharhina. ”Selalu ingat ya, I will be up there, watching you.” “Il sou nome, prego (Siapakah nama Anda)?” tanya Alexei seraya mengulurkan tangannya dengan sikap bersahabat. “Isabella. Isabella Mercado.” “Molto piacere di conocerla (Senang sekali berkenalan dengan Anda), Signorina Mercado. Nama yang secantik orangnya,” kata Alexei jujur. Dalam Bahasa Italia, ‘bella’ artinya cantik. Di atas mereka berdua, si bintang berkerlap-kerlip penuh semangat. Tamat
All the stars are coming out tonight They’re lighting up the sky tonight For you.. for you.. (Rule the World- Take That)
Apa yang Tak Bisa Kau Ubah Minggu Lalu
Oleh :
Mariska S. Rompis Kelas : XI-C Nomor Absen : 27