Antologi Ringkasan Tesis

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Antologi Ringkasan Tesis as PDF for free.

More details

  • Words: 1,979
  • Pages: 8
REKONSTRUKSI TEORI QIYA<S DAN UPAYA MENJAWAB TANTANGAN PERSOALAN HUKUM KONTEMPORER STUDI TERHADAP PEMIKIRAN MUH}AMMAD ‘AJAl al-Fiqh) relatif tidak mengalami perkembangan yang signifikan sejak bidang keilmuan tersebut dibaku-bukukan pada masa tadwi>n. Wajar saja bila banyak kalangan merasa prihatin – kalau tidak skeptis – terhadap hukum Islam dalam merespon kompleksitas fenomena persoalan hukum Islam kontemporer. Di antara perangkat metodologis yang mendesak untuk dikaji ulang adalah teori qiya>s. Karena teori inilah yang paling produktif dalam menelorkan materi-materi hukum Islam, ia menjadi the core of ijtihad. Adalah al-Ja>biri> sosok yang getol mengkritik teori qiya>s sebagai mainstream mekanisme berpikir peradaban ArabIslam secara umum maupun disiplin Fiqh sebagai anak emas peradaban tersebut. Menurutnya, Selama ini pola berfikir Fiqh, sebagaimana dalam disiplin bahasa dan teologi, hanya mengabdi pada epistem baya>ni, sebuah epistem yang menurutnya mempunyai kelemahan-kelemahan epistemologis, karenanya ia tidak mampu mengcover dinamika hukum kontemporer. Kritik al-Ja>biri> dengan dengan memakai sentuhan-sentuhan filosofis-epistemologis menjadikan kajiannya layak mendapatkan apresiasi dalam bentuk penelitian akademis. Tujuan penelitian ini difokuskan pada dua hal; pertama, mengetahui alasan bagi kritik al-Ja>biri> terhadap teori qiya>s dan solusi teoritis yang ditawarkan. Kedua, mengetahui feasibilitas teori yang ditawarkan al-Ja>biri> dalam dataran aplikatif. Setelah tujuan-tujuan tersebut dicapai diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumbangsih bagi pengembangan dinamika wacana hukum Islam dan

2

memberikan kemungkinan bagi munculya alternatif teori hukum Islam yang lebih responsif terhadap tuntutan perkembangan zaman sekaligus hal tersebut diharapkan dapat mengubah paradigma dan pola berfikir Fiqh Umat ke arah yang lebih inklusif. Sedang data penelitian ini, berupa pemikiran al-Ja>biri tentang teori qiya>s , akan lebih banyak diambil dari dua di antara karya terbesarnya (magnum opus), Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi, dan Bunyah al-‘Aql al-Arabi. Dalam kedua buku tersebut al-Ja>biri> banyak mengkonsentrasikan dirinya dalam wacana qiya>s sebagai kisi fundamental struktur nalar Arab-Islam. Selain itu data juga diambil dari karyakarya al-Ja>biri> yang lain, di antaranya; Al-Khita>b al-‘Arabi al-Mu’a>sir; Dira>sah Tah}liliyah Naqdiyah, al-Tura>th wa al-Hada>thah; Dira>sat .. wa Muna>qashat, Al-Di>n wa al-Dawlah wa Tat}bi>q alShari>’ah, dan kumpulan tulisan al-Ja>biri> yang telah diterjemahkan oleh Ahmad Baso dan diberi titel Post Tradisionalisme Islam. Secara metodologis penelitian ini bersifat deskriptif-analitis dengan pendekatan historis-interpretatif. Sedangkan bentuk (form) berpikir yang dipergunakan adalah induksi, yaitu berusaha menggali pemikiran dan konsep al-Ja>biri> tentang teori qiya>s, kemudian hasilnya dinilai dengan parameter prinsip-prinsip pembentukan hukum Islam dan juga epistemologi keilmuan yang relevan. II Secara garis besar, penulis mengidentifikasi kritik al-Ja>biri> terhadap teori qiya>s menjadi dua varian, pertama kritik berkenaan dengan basis epistemologis teori qiya>s, yaitu penelusuran akan sumber-sumber teori qiya>s dalam peradaban Arab-Islam dan kedua, berkenaan dengan mekanisme aplikatif teori ini. Fiqh Islam, menurut al-Ja>biri> adalah asli produk dari akal Arab, hal tersebut dapat dilacak dari sejarah perkembangan Fiqh itu sendiri. Sementara akal Arab itu sendiri menurutnya mempunyai tiga sistem pengetahuan atau epistemologi, yaitu epistem bahasa (baya>ni) yang berasal dari kebudayaan Arab, epistem gnosis (‘irfa>ni) yang berasal dari tradisi persia dan hermetis dan epistem rasionalis (burha>ni) yang berasal dari Yunani.

3

Di antara ke tiga epistem tersebut, epistem baya>ni merupakan epistem yang dominan dan hegemonik dalam nalar Arab, karena sumber pengetahuan terpokok dari epistem ini adalah teks (wahyu). Hal ini relevan dengan pendapat Nasr Hamid Abu Zaid yang mengatakan bahwa peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks. Itu artinya bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas pondasi teks. Begitu dominannya epistem baya>ni dalam kerangka kebudayaan Arab-Islam, berarti Fiqh sebagai produk akal Arab lebih banyak berorientasi pada epistem ini, epistem yang mendasarkan diri pada faktor kebahasaan. Bahasa Arab sendiri yang pada era tadwi>n mengalami pembakuan yang bahan bakunya diambilkan dari masyarakat Badui yang dinilai masih murni dalam berbahasa, menurut al-Ja>biri>, mempuyai paling tidak dua karakter, yaitu a-historis dan fisik. Berkarakter a-historis, karena dinamisasi internal bahasa Arab yang lebih mengandalkan pada derivasi kata merupakan sebuah proteksi yang dimiliki bahasa ini dari perubahan dan perkembangan. Bahasa Arab Badui juga berkarakter fisik, karena bahasa mereka merupakan refleksi dari kondisi kehidupan, pola pikir dan persepsi yang bersifat fisik (inderawi). Padahal sebuah sistem bahasa punya pengaruh yang signifikan terhadap cara pandang penuturnya terhadap dunia, yang pada gilirannya juga mempengaruhi cara dan metode berpikir mereka. Ada satu ungkapan yang menarik dari al-Ja>biri>, bahwasanya “bahasa” yang selama ini memberikan kemampuan kita dalam berbicara, pada saat yang sama juga yang memberi dan memformat kemampuan kita dalam berpikir. Berkenaan dengan teori qiya>s , al-Ja>biri> mengungkapkan bahwa sebelum al-Sha>fi’i merilis kitabnya al-Risa>lah, qiya>s telah menjadi kerangka teoritik yang mapan dalam bidang keilmuan bahasa Arab. Al-Sha>fi’i, menurut al-Ja>biri> bukanlah orang pertama yang menciptakan metodologi qiya>s . Ia memperolehnya dari para pakar bahasa. Pada masa mudanya ia sempat berinteraksi secara intensif dengan para pakar kebahasaan pada masanya. Untuk menguatkan pendapatnya, al-Ja>biri antara

4

lain menampilkan contoh tashbi>h yang berfungsi sebagai logika (mantiq) bahasa Arab dalam perbandingannya dengan qiya>s. Tashbi>h sebagai konsep teoritik yang dominan dalam ranah bahasa Arab menurutnya sama dengan teori qiya>s. Hal tersebut disebabkan karena konstruksi dan mekanisme tashbi>h pada dasarnya adalah konstruksi dan mekanisme qiya>s itu sendiri. Selain itu baik tashbi>h maupun qiya>s mempunyai fungsi epistemologis yang sama, yaitu fungsi menyamakan dan mendekatkan (almuqa>rabah) antara dua hal. Jika para yuris seringkali menekankan adanya karakter muqa>rabah pada teori qiya>s , karena ‘illah hanya berada pada level al-z}an (dugaan), maka ahli Balaghah pun mempunyai pandangan yang sama, karakter muqa>rabah pada tashbi>h. Al-Ja>biri> mengutip sinyalemen Ibn Rashiq, "‫التشبيه إنما يكون بالمقاربة‬. ‘illah (al-ja>mi’) sendiri dalam disiplin Us}u>l al-Fiqh dipersyaratkan untuk muna>sib (berkesesuain). Al-muna>sib dari segi bahasa adalah al-muqa>rabah, karenanya muna>sib-nya ‘illah bisa bermakna sifat yang mendekatkan (approach) pada hukum (al-wasf} al-muqa>rib li al-h}ukm). Sedang dilihat dari sisi mekanisme dan konstruksi teori qiya>s (alfar’, al-as{l, al-‘illah, al-h}ukm) al-Ja>biri> pada kesimpulan bahwa teori ini hanya mengabdi pada tiga otoritas, otoritas as}l (sult}at as}l), otoritas kata (sult}at al-lafz}) dan otoritas keserbabolehan (sult}at al-tajwi>z), sedang otoritas akal (sult}at al-‘aql) menjadi terkebirikan. Pola berpikir Fiqh selama ini secara dominan berkisar pada teks (‫ )حول النص‬karenanya produksi materi-materi Fiqh lebih bayak didasarkan pada prinsip “al-as}l fi al-nas} la fi al-wa>qi’”. Memang aktivitas intelektual nalar baya>ni selalu ditandai dengan nalar yang bertitik tolak, bermuara pada al-as}l atau yang mendapatkan pengarahan darinya. Dari perspektif epistemologis, konstruksi Us}u>l al-Fiqh memang berkisar pada persoalan dila>lat al-khit}a>b (petunjuk wacana), baik itu petunjuk teks (dila>lat al-nas}}) atau petunjuk kandungan teks (ma’qu>l al-nas}). Dila>lat al-nas} berujung pada pembahasan

5

hubungan antara lafaz dan makna. Sedangkan ma’qu>l al-nas} bermuara pada bahasan teori qiya>s, artinya bahwa transfer hukum dari as}l ke far’ berpegang pada kandungan teks (ma’qu>l al-nas}) dengan tetap berpijak pada persoalan hubungan lafaz dan makna, karena tanpa hal ini mustahil diperoleh kandungan teks. Hubugan lafaz dan makna dalam dunia Bahasa Arabmemunculkan ishka>liya>t al-lafz} wa al-ma’na (problematika kata dan makna) sebagai determinan utama teori qiya>s, sehingga ia sering kali terjebak pada eksplanasi kebahasaan dari pada sisi intelektual-logis. Karenanya aktivitas nalar seperti tersebut berada dalam ranah sistem wacana (niz}a>m alkhit}a>b) bukan sistem nalar (niz}a>m al-‘aql/ niz}a>m al-sababiyah). Otoritas al-as}l dalam teori qiya>s menjadikan al-as}l sebagai dalil atau al-naz}ar fi al-dali>l (penalaran dalam dalil). Dalil dimaknai sebagai tanda yang tersurat maupun tersirat yang menunjuk pada al-madlu>l (obyek). Karena relasi antara al-dali>l dan al-madlu>l, lafaz dan makna, al-as}l dan al-far’ bukanlah relasi kemestian (sebab akibat), maka teori qiya>s hanya bersandar pada otoritas keserbabolehan. Menurut al-Ja>biri> unsur asasi sekaligus paling problematik dari konstruksi teori qiya>s adalah ‘illah. Hal tersebut disebabkan karena qiya>s yang sebenarnya menurut al-Ja>biri> adalah al-qiya>s alkha>fi. ‘Illah dalam qiya>s model ini diidentifikasi sendiri oleh yuris dengan perangkat pengetahuan kebahasaan dan unsur ideologis-teologis yang dimilikinya. Karenanya wajar bila ‘illah, determinan utama syah tidaknya transfer hukum dari al-as}l ke al-far’ hanyalah bersifat z}an (spekulatif). III Untuk menghadapi persoalan hukum kontemporer diperlukan adanya terobosan teori hukum yang tidak terjebak pada tiga otoritas seperti tersebut di atas. Hal tersebut dilakukan dengan membangun kembali (rekonstruksi) prinsip-prinsip teori qiya>s, yang dalam bahasa al-Ja>biri> “ta’s}}I>l

6

al-us}u>l”. Rekontruksi tidak bisa hanya mengandalkan epistem baya>ni. Diperlukan keterlibatan epistem burha>ni, atau dalam konsep al-Ja>biri>, I’a>dah ta’si>s al-baya>n ‘ala al-burha>n. Epistem burha>ni> adalah sistem pengetahuan yang mendasarkan diri pada metode burha>n untuk merumuskan suatu kebenaran, yaitu pengetahuan yang bersifat benar dan mencapai derajat meyakinkan (aksiomatik). Piranti yang digunakan adalah mengaitkan akibat dengan sebab, atau yang lebih dikenal dengan hukum kausalitas (idra>k al-sabab wa al-musabbab). Kerangka teoritik yang dikembangkan epistem burha>ni> adalah silogisme (qiya>s burha>ni>) dengan premis-premis logika formal sebagai unsur penentu. Dengan aksioma-aksioma logika formal tendensi subyektivitas yuris dijauhkan. Dalam teori silogisme, term tengah (‘illah dalam bahasa Fiqh) yang menyatukan antara premis mayor dan premis minor telah ada sebelumnya, sehingga yang dicari adalah konklusi semata. Berbeda dengan teori qiya>s yang ‘illah-nya masih harus dicari-cari, sementara konklusinya sendiri telah ada, yaitu h}ukm al-as}l. Penalaran model terakhir ini hanya akan membawa pada dimensi keserbabolehan. Premis mayor dalam aplikasinya diperankan oleh, demikian alJa>biri>, kulliya>t al-Shari>’ah dan maqa>sid al-Shari>’ah, bukan teks secara tekstual. Keduanya bisa diperoleh dengan mengkaji secara induktif teks-teks keagamaan. Sedangkan premis minornya berupa kasus partikular. Feasibilitas aplikatif teori yang ditawarkan al-Ja>biri> tersebut berpulang pada kemampuan yuris. Kemampuan dalam menelaah dan mempraktekkan logika, khususnya silogisme sebagai kerangka berpikir dalam memecahkan persoalan hukum. Selain itu juga kemampuan material, berupa wawasan yang luas terhadap tradisi dan perkembangan kontemporer. Hal tersebut disebabkan silogisme hanya merupakan bentuk berpikir, itu artinya silogisme belum menjamin kebenaran materiil dari premis-premis yang ada. Kebenaran tersebut harus diuji dengan keilmuan-keilmuan lain yang relevan. Dan karena kecil kemungkinan seorang yuris menguasai bidang-bidang keilmuan secara

7

komprehensif, maka kolektivitas yuris dalam mengaplikasikan teori ini sangat diharapkan. IV Kritik al-Ja>biri> terhadap teori qiya>s bisa dimaknai sebagai kritik epistemologis. Dari sisi ini kritiknya cukup mengena, karena kesuksesan sebuah teori hukum tidak saja dilihat dari feasibilitasnya dalam konteks sosial, akan tetapi juga dari validitas teori tersebut dari sisi keilmuan. Selain itu kritik tersebut juga merupakan sebuah usaha merumuskan kembali hubungan antara akal dan wahyu secara proporsional, karena relasi keduanya merupakan bagian dari persoalan epistemologis yang signifikan. Pemberian porsi peran akal secara layak, juga merupakan sebuah usaha mendekatkan konstruksi mental dengan realitas sosial. Karena bagaimanapun obyek hakiki dari hukum adalah realitas sosial. Pendekatan al-Ja>biri> terhadap persoalan hukum Islam lebih tepat disebut sebagai pendekatan metodik, karena orientasinya yang mengarah pada telaah teori hukum yang memproduk materi hukum. Kecendrungannya pada aksioma-aksioma logika formal (logika antecedent) menunjukkan bahwa ia termasuk kelompok yang berpihak pada teori hukum analitik. Teori hukum analitik diyakini bisa meminimalisasi tendensi subyektivitas, karena prinsip dari teori hukum ini bahwa bernalar dalam bidang hukum tidak saja isinya harus benar, akan tetapi bentuknya juga harus benar. “Tidak ada gading yang tak retak”, itulah mungkin ungkapan yang paling tepat untuk menilai teori hukum tawaran al-Ja>biri. Harus diakui bahwa silogisme mempunyai tingkat prediksi terhadap realitas yang lebih dibanding teori yang lain, akan tetapi tidak berarti teori ini sama sekali tidak mempuyai kelemahan. Deduksi silogisme pada dasarnya juga bersifat teknikal dan mekanistik, sebagaimana teori qiya>s konvensional. Teori ini dipastikan juga tidak mungkin meng-cover semua kompleksitas persoalan hukum kontemporer. Persoalan hukum sebagai bagian dari ilmu humaniora tidak bisa hanya didekati dengan cara kerja ilmu alam dengan prinsip kausalitasnya.

8

Dan memang secara ideal tidak ada satupun teori yang bisa mengatasi segalanya, semuanya punya keunggulan dan kelemahan. Ia hanyalah ibarat map. Karenanya mendialogkan berbagai teori hukum yang ada menjadi urgen, dalam rangka merumuskan teori hukum yang rasional akan tetapi bersifat nonstandard yang bersifat akomodatif terhadap dimensi-dimensi kejiwaan, spiritual dan intelektual. Dengan logika hukum seperti ini diharapkan akan terbangun image baru bagi penalaran hukum Islam karena pendekatannya yang lebih integratif. Dalam kajian filsafat hukum, ketidakpuasan terhadap teori hukum analitik yang menyelesaikan masalah secara hitam putih memunculkan teori hukum yang bersifat dialektik. Dialektika bermaksud menyelesaikan persoalan dengan jalan tengah, tidak hitam-putih sebagaimana hukum kausalitas (Logika antecedent). Karenanya kerangka berpikirnya adalah tesis, antitesis menuju sistesis. Teori model ini ini diyakini sebagai ekspansi dari makna rasionalitas. Prinsip yang diembannya adalah bahwa aksioma-aksioma tidak dengan sendirinya rasional tanpa adanya argumentasi yang mewakili semua sudut pandang. Wallah A’lam. *** Nama

: Abid Rohmanu

Tanggal Lahir

: Ponorogo, 29 Pebruari 1976

Angkatan/Th. Masuk : 2001 Selesai

: 2003

Konsentrasi

: Syari’ah

Alamat Rumah

: Jl. Majapahit No. 07 Campurejo Sambit

Ponorogo

Related Documents

Antologi Puisi.docx
April 2020 28
Antologi Kerusi
December 2019 41
Ringkasan
May 2020 74
Ringkasan
June 2020 64
Tesis
October 2019 83