ANCAMAN UTANG PEMERINTAH
AWALIL RIZKY NASYITH MAJIDI
This Analysis Brief is part of the BRIGHT Indonesia research brief series. It present policy‐oriented summaries of individual published, peer review documents or of body of published work. BRIGHT Indonesia is a private institute devoted to independent & non‐partisan economic research. We provide high quality research analysis and recommendations for decision makers on the full range of challenges facing and increasingly interdependent world. Our innovative policy solutions to inform the public discussions.
www.brightindonesia.com © 2009 BRIGHT Indonesia . All rights reserved. No part of this publication may be used or reproduced in any manner whatsoever without permission in writing from BRIGHT Indonesia except in the case of brief quotations embodied in critical articles and reviews. Cover: Anton & Berty
Analysis Brief | 2
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan mempublikasikan data outstanding Surat Berharga Negara (SBN) Disebutkan Data outstanding SBN per 12 Maret 2009 adalah sebesar Rp972 triliun, meningkat pesat dibandingkan data beberapa bulan sebelumnya, yakni Rp801 triliun per 31 Desember 2008 IKHTISAR • Dalam data per 12 Maret 2009, SBN telah naik menjadi Rp 972 trilun, sedangkan publikasi terakhir mengenai loan adalah per 31 Januari 2009 sebesar USD65,73 miliar atau setara Rp 746 triliun kurs ketika itu. Jika loan dianggap belum berubah dan perhitungan perubahan kurs, maka total utang pemerintah saat ini telah mencapai Rp 1.750 triliun. • Perkembangan stok utang pemerintah selama beberapa tahun terakhir (posisi per 31 Desember), menunjukkan kecenderungan untuk meningkat meskipun sempat terkesan stagnan untuk beberapa tahun. Kecenderungan menaik lebih tampak jika dinyatakan dalam denominasi rupiah. • Target penurunan rasio utang pemerintah terhadap PDB menjadi sekitar 30% pada tahun 2009 diperkirakan tidak akan bisa dicapai. BRIGHT Indonesia meprediksi rasio berada pada kisaran 35%. • Ada banyak definisi yang bisa diterapkan untuk posisi utang luar negeri (ULN) yang Pemerintah, sehingga pernyataan mengenai penurunannya adalah kurang jelas. • BRIGHT Indonesia menilai kondisi utang pemerintah sudah mengkhawatirkan, terutama berkaitan dengan pembayaran beban utang setiap tahunnya, yang diperkirakan akan terus meningkat. • BRIGHT Indonesia merekomendasikan perlunya perubahan mendasar dalam kebijakan utang pemerintah Indonesia.
Analysis Brief | 3
D
ampak krisis global terhadap perekonomian Indonesia yang telah diakui secara resmi oleh Pemerintah adalah meningkatnya rencana defisit APBN 2009 secara cukup dramatis, dari Rp51,3 triliun menjadi Rp139,5 trliun. Posisi utang pemerintah dipastikan akan meningkat, karena sebagian besar sumber pembiayaan adalah dari utang. Padahal, stok utang Pemerintah jika dilihat dalam denominasi rupiah sudah bertambah amat signifikan selama tahun 2008, terutama karena depresiasi rupiah. Dari Rp1.387 trilun pada akhir 2007 menjadi Rp1.623 triliun pada akhir 2008. Fakta mutakhir ini berbeda dengan semangat pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengantarkan Nota Keuangan dan RAPBN 2009 pada tanggal 15 Agustus 2008, yang masih mengatakan : ”Dengan demikian, suatu saat nanti kita dapat bangga menyampaikan pada generasi penerus, anak cucu kita, bahwa kita mewariskan Negara dengan kekayaan yang makin meningkat, kemakmuran yang merata, dan utang yang makin kecil atau bahkan tidak ada.” Pada bagian lain pidato dikatakan : ” Dengan kebutuhan pembiayaan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun pembiayaan luar negeri sebagaimana saya kemukakan tadi, maka rasio utang pemerintah terhadap PDB dalam tahun 2009 diperkirakan akan menurun dari sekitar 54 persen pada tahun 2004, menjadi sekitar 30 persen. Tingkat rasio utang ini, membuktikan tekad yang kita canangkan bahwa Indonesia harus bisa dibangun dengan semaksimal mungkin menggunakan sumber daya kita sendiri.” Presiden kemudian mengutip angka RAPBN yang bersifat teknis, yaitu: “Defisit anggaran sebesar Rp 99,6 triliun (1,9 persen PDB) dalam RAPBN tahun 2009, direncanakan dibiayai dari sumber‐sumber pembiayaan dalam negeri sekitar Rp 110,7 triliun, dan pembiayaan luar negeri neto minus Rp 11,1 triliun. Dengan demikian pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang kita lakukan, lebih besar dari pada jumlah utang luar negeri baru. Hal ini sesuai dengan tujuan untuk terus mengurangi porsi utang luar negeri dalam pembiayaan defisit kita.” Hanya dalam dua bulan, sikap Pemerintah tersebut ingin direvisi. Usulan perubahan Anggaran pada 13 oktober 2008 lalu mengajukan pembiayaan luar negeri (neto) sebesar positif Rp 9,2 triliun. Usul Pembiayaan luar negeri dengan angka positif, yang berarti penarikan lebih besar dari pembayaran cicilan pokok, adalah untuk pertamakalinya dalam beberapa tahun terakhir. Namun, setelah melalui pembahasan alot di DPR dan perhitungan ulang atas berbagai item pembiayaan, APBN yang ditetapkan masih mencantumkan pembiayaan luar negeri (neto) negatif. Usulan Pemerintah melalui dokumen perubahan pada Februari 2009 kembali membuka peluang pembiayaan luar negeri (neto) yang positif. Caranya lebih halus dan diplomatis, yakni dengan mencantumkan pos ’tambahan utang’ sebesar Rp44,5 triliun. Pemerintah mengakui kemungkinan tidak optimalnya pasar keuangan melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) sebagai sumber dana. Sehingga dikatakan secara terus terang bahwa : ”Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah telah melakukan pembicaraan secara intensif dengan Analysis Brief | 4
kreditur konvensional dari lembaga multilateral dan/atau negara‐negara pemberi pinjaman bilateral untuk memberikan dukungan (back up) berupa pemberian pinjaman siaga dalam hal penerbitan SBN tidak dapat dilakukan secara optimal.”
Perkembangan Posisi Utang pemerintah Dalam data Pemerintah per 31 Januari 2009, loan telah mencapai USD65,73 miliar atau setara Rp746 triliun kurs ketika itu. Sedangkan surat berharga negara (SBN) adalah sebesar Rp920 triliun. Sehingga total Utang Pemerintah adalah Rp1.667 triliun. Dalam data per 12 Maret 2009, SBN telah naik menjadi Rp972 trilun, dan belum ada publikasi mengenai loan. Jika dianggap loan belum berubah dan dengan memperhitungkan kurs, BRIGHT Indonesia memperkirakan total utang pemerintah saat ini telah mencapai Rp1.750 triliun. Perkembangan utang pemerintah selama beberapa tahun terakhir, dengan posisi per 31 Desember, menunjukkan kecenderungan untuk meningkat, meski sempat terkesan stagnan untuk beberapa tahun. Grafik 1 memperlihatkan posisi atau stok (outstanding) utang itu dalam denominasi dolar, sedangkan grafik 2 dalam denominasi rupiah. Semua konversi memakai kurs tangah BI pada akhir tahun bersangkutan. Grafik 1. Perkembangan Posisi Utang pemerintah (USD miliar) 160 140 120 100 80 60 40 20 0 2000
2001
2002
2003 Loan
Sumber: Depkeu, diolah
2004
2005
2006
2007
2008
Surat Berharga Negara
Analysis Brief | 5
Grafik 2. Perkembangan Posisi Utang pemerintah (Triliun Rupiah) 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 2000
2001
2002
2003 Loan
2004
2005
2006
2007
2008
Surat Berharga Negara
Sumber: Depkeu, diolah
Soal Rasio Utang Pemerintah Terhadap PDB Yang Menurun Kutipan pidato Presiden di atas telah menyebut target penurunan rasio utang pemerintah terhadap PDB menjadi sekitar 30% pada tahun 2009. Target yang diperkirakan BRIGHT Indonesia tidak akan bisa dicapai. Rasio untuk tahun 2008 yang sebelumnya diperkirakan sebesar itu pula ternyata masih bertahan pada kisaran 35%, tidak banyak berubah dari tahun 2007. Besar kemungkinan rasionya masih demikian pada tahun 2009. Dalam Undang‐Undang No.17/2003 tentang Keuangan Negara diatur bahwa besarnya defisit dari General Governments maksimal 3 persen dari PDB dan besarnya rasio utang dari General Governments terhadap PDB maksimal 60 persen. Target rasio yang sedemikian tampaknya terlalu mudah dicapai, dan Pemerintah menjadi memiliki argumen mengenai nominal stok utang yang cenderung meningkat. Dikatakan, rasionya telah menurun secara konsisten sehingga diklaim sebagai kemampuan mengelola beban dan kewajiban utang secara berkelanjutan. Biasanya yang dijadikan standar adalah kriteria Bank Dunia sekitar 21 persen– 49 persen, dan IMF sekitar 26 persen – 58 persen. Keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan rasio stok utang terhadap PDB sebenarnya harus diperiksa secara lebih kritis. Masih banyak detil yang harus dicermati dibalik penurunan rasio itu, selain apakah penurunan sebesar demikian cukup memadai bagi perekonomian Indonesia. Sebagai contoh, kita harus memperhitungkan adanya inflasi yang tinggi pada tahun 2005 yang otomatis menggelembungkan PDB menurut harga berlaku, sehingga bilangan penyebut menyumbang signifikan dalam penurunan rasio. Begitu pula dengan inflasi yang cukup tinggi pada tahun 2008 dibandingkan tahun sebelumnya, justeru telah memperbaiki rasio dimaksud. Padahal stok utang melonjak dramatis akibat depresiasi rupiah.
Analysis Brief | 6
BRIGHT Indonesia mengkhawatirkan adanya berbagai teknik keuangan untuk “gali lobang tutup lobang”, dimana stok utang bisa dikendalikan namun biayanya meningkat. Sebagai contoh, pemerintah bisa melakukan buyback, debt switch, dan atau menerbitkan lebih dahulu SUN yang hasilnya dipakai membayar yang jatuh tempo. Begitupun ULN memang sedikit dikurangi namun diganti dengan SUN. Satu langkah atau gabungan dari semuanya, akan membuat stok nominal utang hanya sedikit berubah. Bahkan bisa menurun jika yang dianalisis adalah rasio stok utang dengan PDB, karena PDBnya (sebagai bilangan penyebut) meningkat. Padahal, biaya utangnya meningkat. Contoh lain adalah langkah agar pemegang SUN lama bersedia menukarkannya dengan yang baru pasti harus ditawarkan yield yang lebih baik. Pelunasan yang dipercepat memerlukan insentif keuntungan lebih baik dilihat dari sisi pemegang SUN. Sekalipun secara teknis tidak sama, BRIGHT Indonesia mengkhawatirkan teknik rekayasa keuangan pemerintah mengenai utang ini memiliki kesamaan paradigma dengan berbagai korporasi keuangan global yang mengalami kebangkrutan. Jika tidak hati‐hati, maka Pemerintah pun bisa bangkrut secara keuangan, ketika gelembung rekayasan tersebut meletus. Grafik 3. Rasio Utang Pemerintah dengan PDB 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Rasio Stock Utang / PDB
Sumber: Depkeu, diolah
Utang Luar Negeri Pemerintah Tidak Betul‐Betul Menurun Pernyataan mengenai utang luar negeri (ULN) yang menurun dari Pemerintah telah berulang kali dikemukakan. Seolah ada komitmen kuat untuk terus menurunkan posisi (outstanding) utang luar negerinya, baik secara nominal maupun angka rasionya terhadap PDB. Ada beberapa hal yang membutuhkan kejelasan dari target semacam itu. Salah satunya adalah soal definisi Pinjaman luar negeri atau utang luar negeri (ULN) pemerintah. Analysis Brief | 7
PP No.2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri (pasal1) menyatakan bahwa pinjaman luar negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. Dalam publikasi resmi, ULN biasa diartikan sebagai pinjaman yang bersumber dari: multilateral, bilateral, komersial dan kredit ekspor. Jika diartikan demikian, maka nominalnya selama era Pemerintahan SBY memang sempat menurun (2004‐2006), kemudian perlahan menaik kembali. Perkembangan ULN pemerintah versi ini tercatat sebesar USD 68,58 miliar (2004), USD 63,09 miliar (2005), USD 62,02 miliar (2006), USD 62,25 (2007), dan USD 65,45 (2008). BRIGHT Indonesia memperkirakan angkanya bertambah lagi pada tahun 2009, sehingga selama pemerintahan ini besar kemungkinan tidak terjadi penurunan stok utang, berlawanan dengan klaim retoriknya. Jika ULN Pemerintah diartikan sebagai utang dalam denominasi mata uang asing, maka obligasi negara berdenominasi dolar Amerika harus dimasukkan dalam perhitungan. Stok ULN Pemerintah jelas lebih besar dari versi terdahulu, dan memiliki kecenderungan kenaikan yang lebih tinggi. Posisinya adalah : USD66,76 miliar (2005), USD67,52 miliar (2006), USD69,25 miliar (2007), USD76,65 miliar (2008). Meskipun tidak lazim dalam publikasi resmi, pengertian ULN bisa diperluas sebagai utang yang dananya berasal dari luar negeri. Maka SBN yang dimiliki pihak asing (non residen) sebesar Rp 83,94 triliun per 29 Februari 2009 harus dimasukkan dalam perhitungan. Data sebelumnya adalah: Rp 10,74 triliun (2004), Rp 31,09 triliun (2005), Rp 54,92 triliun (2006), Rp 78,16 triliun, Rp 87,61 triliun. Dalam dua bulan pertama tahun 2009, ULN pemerintah jika dikonversikan ke nilai rupiah mengalami kenaikan lagi karena perubahan kurs, meski dalam nilai dólar Amerika relatif belum banyak berubah. Sekadar ilustrasi, tabel 1 menggambarkan perbedaan besaran ULN menurut masing‐masing definisi per 3 Februari 2009. Tabel 1. Posisi ULN Pemerintah berdasar definisi per 3 Februari 2009 USD miliar Rp triliun 1. Konvensional (loans) 65,73 771 2. Ditambah SUN denominasi USD 76,93 902 3. Ditambah SUN rupiah dimiliki asing 84,29 988 BRIGHT Indonesia, diolah dari berbagai sumber Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar SUN yang bisa diperdagangkan dimiliki oleh lembaga keuangan, seperti: bank, reksadana dan asuransi. Berbagai lembaga tersebut memang tergolong penduduk (residen) secara hukum. Namun, proporsi kepemilikan asing atas saham‐sahamnya terus membesar. Analysis Brief | 8
Sejauh ini, pengertian pemerintah yang kita pakai adalah Pemerintah Pusat (central government). Ada pula yang disebut dengan Pemerintah Umum (general government), yang antara lain memasukkan Pemerintah Daerah. Istilah yang lebih luas adalah sektor publik (public sector), yang antara lain juga memasukkan bank sentral dan BUMN. Sebagai ilustrasi, Bank Indonesia memiliki ULN dan ada Surat Berharga Bank Indonesia (SBI) yang dimiliki oleh pihak asing. Dengan demikian, penetapan target ULN pemerintah membutuhkan ketegasan dan konsistensi penggunaan definisi, agar kondisinya mudah dinilai oleh publik.
Beban Utang Pemerintah yang semakin Berat Utang pemerintah Indonesia sudah bermasalah sejak awal. Ada banyak bukti mengenai kekeliruan dalam perencanaan utang, seperti: alasan berutang, kelayakan proyek yang didanai, pilihan jenis utang, dan sebagainya. Kemudian diperparah oleh kesalahan dalam pengelolaan utang, terutama dengan adanya korupsi (KKN). Sebagian besar kesalahan bisa dituduhkan kepada para pengambil kebijakan di era pemerintahan Soeharto. Namun, kesalahan dalam pengelolaan utang masih berlangsung hingga kini. Di masa lalu, aspek pengelolaan utang yang utama adalah bagaimana memanfaatkan dana utang secara efisien dan efektif. Sedangkan masalah utama dari utang pemerintah pada saat ini dan di masa datang adalah beban utang yang terus membesar. Besarnya beban bisa dilihat dari nilai absolutnya, maupun perbandingannya dengan pos‐pos lain dari pengeluaran pemerintah, atau PDB. Perbandingan tersebut akan memberi gambaran tentang ruang yang tersedia bagi kebijakan fiskal, serta dampak beban utang bagi perekonomian nasional. Istilah beban utang pemerintah bisa diartikan sebagai nominal pengeluaran yang harus dikeluarkan pemerintah terkait dengan utangnya selama satu tahun anggaran. Yakni pelunasan pokok (cicilan) utang ditambah dengan biaya utang. Biaya yang terbesar adalah bunga dari utang tersebut, yang antara lain berwujud: interest untuk pinjaman luar negeri dan kupon untuk SBN. Ada biaya lain untuk loan, seperti: commitment fee, management fee, dan premi asuransi. Secara awam, biaya itu antara lain adalah: ongkos untuk perundingan, proses pencairan, pengawasan dan ongkos pembatalan (tidak jadi dicairkan padahal sudah disepakati), keterlambatan pencairan, denda, dsb. Sedangkan untuk SBN, biayanya adalah terkait dengan imbal hasil (yield) yang diperoleh investor (pembeli) serta biaya penerbitan dan distribusinya. Besarnya bunga utang yang dibayar pada tahun tertentu langsung terlihat dalam APBN, baik ketika masih berupa rencana (RAPBN, APBN, APBN‐P) maupun dalam realisasinya (PAN dan LKPP). Dinyatakan sebagai item pembayaran bunga utang pada bagian belanja pemerintah pusat menurut jenis belanja. Sedangkan beban pelunasan atau pembayaran cicilan pokok utang tercatat dalam bagian pembiayaan. Analysis Brief | 9
Pembayaran bunga utang pemerintah selama beberapa tahun terakhir ini besarnya adalah: Rp87,7 triliun (2002), Rp65,4 triliun (2003), Rp62,5 triliun (2004), Rp65,2 triliun(2005), Rp79,0 triliun (2006), Rp79,6 triliun (2007), dan Rp88,6 triliun (2008). Sedangkan pada tahun 2009 direncanakan akan dibayar Rp110,6 triliun (berdasar dokumen perubahan 24 februari 2009). Jika yang dihitung adalah termasuk pembayaran cicilan pokok, maka jumlahnya rata‐rata mencapai dua kali lipatnya dalam beberapa tahun terakhir, yaitu: Rp126,5 triliun (2005), Rp143,1 triliun (2006), dan Rp197,5 triliun (2007). Laporan realisasi 2008 belum diberikan, namun akan di kisaran Rp210 triliun, dan 2009 direncanakan sekitar Rp220 triliun. Menarik pula untuk dicermati bahwa dari tahun 2002 sampai dengan 2006, pembayaran bunga utang lebih besar daripada pembayaran cicilan pokok utang (lihat Grafik 4). Grafik 4. Perkembangan Pembayaran Beban Utang Pemerintah (Rp miliar) 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 0 2002
2003
Pokok UDN
2004 Pokok ULN
2005
2006
Bunga UDN
2007
Bunga ULN
2008 Total
BRIGHT Indonesia, diolah dari berbagai sumber seperti : PAN, LKPP, APBN, dll Pembayaran beban utang bisa dibandingkan dengan realisasi Pendapatan dan Belanja pemerintah setiap tahunnya. Akan terlihat berapa banyak porsi pendapatan dan porsi belanja yang terkait dengan beban utang (lihat Grafik 5 dan 6). Perlu diingat bahwa angka beban utang tersebut masih belum memasukkan biaya selain bunga. Analysis Brief | 10
Grafik 5. Pembayaran Beban Utang dengan Pendapatan dan Belanja Pemerintah 1200 1000 800 600 400 200 0 2002
2003
2004
2005
Beban Utang
2006
Pendapatan
2007
2008
Belanja
BRIGHT Indonesia, diolah dari berbagai sumber seperti : PAN, LKPP, APBN, dll
Grafik 6. Porsi Beban Utang Terhadap Pendapatan dan Belanja
80 70 60 50 40 30 20 10 0 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Porsi beban utang terhadap pendapatan Porsi beban utang terhadap belanja
BRIGHT Indonesia, diolah dari berbagai sumber seperti : PAN, LKPP, APBN, dll
Rekomendasi BRIGHT Indonesia BRIGHT Indonesia menilai kondisi utang pemerintah sudah mengkhawatirkan, terutama berkaitan dengan pembayaran beban utang setiap tahunnya. Berdasar profil utang dan waktu jatuh temponya, maka beban tersebut cenderung tidak akan menurun pada waktu yang akan datang. Jika ada goncangan eksternal atau melemahnya perekonomian domestik secara signifikan maka soal beratnya beban Analysis Brief | 11
utang pemerintah akan langsung memperparah keadaan, seperti yang akan dialami tahun 2009 ini. Pilihan kebijakan Pemerintah menjadi sangat terbatas karena sempitnya ruang fiskal yang tersedia. BRIGHT Indonesia merekomendasikan perlunya perubahan mendasar dalam kebijakan utang pemerintah Indonesia. Sekurang‐kurangnya ada tiga kebijakan utama yang perlu diubah, dimana sebagian bersifat agak radikal, dan sebagian lainnya menawarkan langkah yang lebih moderat. Pertama, sikap terhadap utang dari masa lalu, termasuk yang berasal dari era pemerintahan Soeharto. Kedua, cara mengelola utang yang sudah ada, termasuk beban utangnya. Ketiga, kebijakan dalam persetujuan dan pencairan utang baru. Khusus berkenaan dengan soal yang pertama, pilihan untuk repudiasi atau “ngemplang” ULN yang diajukan sebagian pihak yang amat kritis memang terasa menarik secara politik. Argumen Pemerintah dan ahli ekonomi pendukungnya dalam menanggapi pandangan semacam itu berlebihan, dengan mengedepankan ketakutan akan reaksi balik yang diduga akan lebih merugikan Indonesia. Meskipun dampak simultan berkenaan dengan ekspor‐impor dan hubungan ekonomi internasional lainnya akan berantai, perhitungan yang lebih rasional tentang untung ruginya tetap bisa dilakukan secara cermat. BRIGHT Indonesia menilai ada pandangan dan langkah lebih masuk akal dan rasional. Kedua pandangan, patuh membayar sepenuhnya dan repudiasi, adalah titik ekstrim. Kepatuhan membuta menunaikan, termasuk ketepatan waktu, membayar ULN terbukti membebani perekonomian dan semakin menyengsarakan rakyat Indonesia. Sedangkan repudiasi akan mengundang ”reaksi balik” ataupun berkurangnya kesempatan untuk memanfaatkan hubungan ekonomi internasional. Opsi wajarnya adalah jalan tengah antara kedua titik ekstrim itu, yang dilakukan secara cermat dan dinamis. Cermat dalam arti menelusuri setiap item ULN secara detil, menyangkut sejarah komitmen, pencairan dan penggunaannya. Dinamis dalam arti dilakukan negosiasi terus menerus, dan tidak menutup kemungkinan kesediaan kita membayar beban utang yang lebih berat di waktu akan datang jika segala kondisi‐kondisi tertentu terpenuhi. Misalnya bisa saja dikaitkan antara batas minimal/maksimal pembayaran beban utang (secara total) dengan PDB atau volume APBN. Sedangkan untuk masing‐masing utang atau kreditur dapat dibuat perjanjian baru yang lebih detil dan mengandung beberapa klausa berdasar skenario yang berbeda untuk hal‐hal yang mungkin terjadi di masa datang. Berkenaan dengan loan yang dibutuhkan adalah “perundingan” yang serius dengan para kreditur. Hasil akhirnya harus berupa pengurangan beban utang secara sangat signifikan untuk jangka waktu yang cukup panjang, setidaknya sepuluh tahun ke depan. Akan ada penghapusan sebagian cukup besar ULN atau peniadaan (setidaknya pengurangan secara berarti) pembayaran bunga, atau kombinasi dari keduanya. Secara teknis keuangan, ada banyak opsi yang bisa dipilih dan dikombinasikan, serta dibicarakan pula konsep‐konsep baru dalam masalah tersebut. Analysis Brief | 12
Dalam praktik keuangan internasional dewasa ini ada banyak variasi jenis atau bentuk kesepakatan baru antara kreditur dan debitur. Sampai sejauh ini, Indonesia hanya menjalankan beberapa diantaranya, serta dalam nominal ULN yang belum signifikan dibandingkan beban utang yang ditanggung. Selain itu, pihak kreditur lah yang lebih banyak berinisiatif dibandingkan pemerintah Indonesia. Secara nalar, mestinya pihak pemerintah Indonesia sebagai debitur lah yang berupaya keras untuk bernegosiasi. Sementara itu, cara pengelolaan utang berupa Surat Berharga Negara (SBN) perlu ditinjau ulang. Target berlebihan untuk sekadar membiayai defisit APBN akan membuat beban di masa datang semakin berat dan mungkin tak tertanggungkan oleh perekonomian Indonesia. Upaya untuk menekan biaya SBN dan perhitungan mengenai sutainaibilitas pengelolaannya lebih bersifat retorik. Pengelolaan SBN terindikasi amat berperspektif jangka pendek, sehingga bisa dicurigai akan menguntungkan sekelompok pihak dalam artian ekonomis maupun politik. ******
Analysis Brief | 13