Analisis Laskar Pelangi

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Analisis Laskar Pelangi as PDF for free.

More details

  • Words: 1,422
  • Pages: 5
Potret Pendidikan Kaum Marginal di Indonesia: Sebuah Pembelajaran Hidup Analisis terhadap novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata Oleh: Ahmad Shofi “Mengapa disebut Laskar Pelangi,” tanya Kick Andy. “Ketika itu saya belum sadar maksud yang tersembunyi dari panggilan itu. Sebenarnya beliau (bu Mus) mengobarkan julukan Laskar Pelangi kepada kami, karena kata laskar sendiri adalah pejuang,” jawab Andrea Hirata, penulis novel Laskar Pelangi. (Program acara Kick Andy di Metro TV, Kamis 4 Oktober 2007 pukul 22.05 WIB) Ini kisah nyata tentang sepuluh anak kampung di Pulau Belitong, Sumatera. Mereka bersekolah di sebuah SD yang bangunannya nyaris rubuh dan kalau malam jadi kandang ternak. Sekolah itu nyaris ditutup karena muridnya tidak sampai sepuluh sebagai persyaratan minimal. Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting karena Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di Belitong ini harus ditutup (halaman 4). Keberuntungan atau lebih tepatnya takdir, rupanya masih berpihak pada sepuluh anak kampung Pulau Belitong ini. Sebelum sekolah ini ditutup, ada salah satu siswa yang bernama Harun mendaftarkan diri. Akhirnya, sekolah ini tetap eksis dan bisa terus melanjutkan pendidikannya untuk anak-anak Belitong. Sungguh permasalahan pelik, di saat manusia membutuhkan pendidikan, banyak rintangan menghampiri. Pendidikan menjadi barang mewah yang harus diperjuangkan. Mau belajar saja harus mengantri terlebih dahulu. Siapa yang patut dipersalahkan dalam hal ini? Sekolah, pemerintah, ataukah sistem birokrasinya? Berjuang “Belajar” dengan Segala Keterbatasan Andrea Hirata dengan sangat cerdas mengangkat kisah nyata ini kedalam sebuah novel. Di buku tersebut Andrea mengangkat cerita bagaimana semangat anak-anak kampung miskin itu berjuang dengan gigihnya agar dapat belajar walaupun dalam keadaan yang serba terbatas. Mereka bersekolah tanpa alas kaki, baju tanpa kancing,

atap sekolah yang bocor jika hujan, dan papan tulis yang berlubang hingga terpaksa ditambal dengan poster Rhoma Irama. Andrea dan sembilan siswa SD Muhammmadiyah di Belitung hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak masyarakat Indonesia yang tersubordinasi, yang tertindas, dan terbelenggu dalam masyarakat marginal. Sebagian besar masyarakat Indonesia memang masih hidup dalam keadaan marginal alias di bawah garis kemiskinan. Sungguh ironis, padahal wilayah Indonesia sendiri begitu luas. Kekayaan alamnya sangat melimpah. Tetapi, yang kita jumpai justru berlawanan. Ketimpangan strata sosial yang terjadi dalam masyarakat memperlihatkan kepada kita bahwasannya masih banyak sekali kemiskinan di negara tercinta ini. Mungkin juga ini terjadi karena masyarakat kita yang begitu heterogen. Indonesia sepertinya telah terjangkit virus kapitalisme. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin terpuruk dengan kemiskinannya. Suasana kontras seperti langit dan bumi juga terjadi dalam novel ini, tepatnya di kampung Belitong. Mari kita amati bersama bagaimana Andrea menceritakan kampungnya. Tak disangsikan, jika di zoom-out, kampung kami adalah kampung terkaya di Indonesia. Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan kali lipat dibanding segantang padi. Triliunan rupiah aset tertanam di sana, miliaran rupiah uang berputar sangat cepat seperti putaran mesin parut, dan miliaran dollar devisa mengalir deras seperti kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib Der Rattenfanger von Hameln. Namun jika di zoomin, kekayaan itu terperangkap di satu tempat, ia tertimbun di dalam batas temboktembok tinggi gedong (halaman 49). Gedong adalah land mark Belitong. Ia lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan menyergap, menginterogasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” (halaman 43) Ini

merupakan

salah

satu

bukti

belum

seiringnya

peningkatan

pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan kemakmuran. Penyebabnya adalah pertumbuhan

ekonomi

yang

masih

didominasi

faktor

modal

sementara

sumbangan produktivitas masyarakat masih rendah. Sifat kesederhanaan atau yang lebih tepatnya kekurangan jelas sekali terlukis dari novel Laskar Pelangi ini. Sinkronitas antara kekayaan alam dengan masyarakat Belitong sendiri tidak terlihat. Orang-orang kaya didominasi oleh masyarakat gedong yang

merupakan pemilik dan karyawan PN Timah. Sementara, masyarakat miskin Belitong semakin terkapar dengan keadannya. ** Laskar Pelangi Kami adalah sepuluh umpan nasib dan kami seumpama kerang-kerang halus yang merekat erat satu sama lain dihantam deburan ombak ilmu. Kami seperti anakanak bebek. Tak terpisahkan dalam susah dan senang. Induknya adalah Bu Mus. Sekali lagi kulihat wajah mereka, Harun yang murah senyum, Trapani yang rupawan, Syahdan yang liliput, kucai yang sok gengsi, sahara yang ketus, A Kiong yang polos, Samson yang duduk seperti patung Ganesha. Pria kesembilan dan kesepuluh adalah Lintang dan Mahar (halaman 85 dan 86). Begitu banyak hal menakjubkan yang terjadi dalam masa kecil para anggota Laskar Pelangi. Sebelas orang anak Melayu Belitong yang luar biasa ini tak menyerah walau keadaan tak pernah bersahabat pada mereka. Lihatlah Lintang, anak Tanjong keriting yang genius. Setiap hari Lintang harus mengayuh sepeda tua yang sering putus rantainya ke sekolah. Pulang pergi sejauh 80 km pun dilakukannya demi memuaskan dahaganya akan ilmu, bahkan harus melewati sungai yang banyak buayanya sekalipun. Lintang memiliki hampir semua dimensi kecerdasan. Dia seperti toko serba ada kepandaian. Dia adalah guru bagi teman-temannya. Lintang pernah mengharumkan nama perguruan Muhammadiyah ke arah level tertinggi. Dia membawa pulang trofi besar kemenangan dalam sebuah lomba kecerdasan. Sekolah kampung pertama yang menjuarai perlombaan ini dan dengan sebuah kemenangan mutlak. Aku terpaku memandang Lintang, betapa aku menyayangi dan kagum setengah mati pada sahabatku ini. Dialah idolaku. Pikiranku melayang ke suatu hari bertahuntahun yang lalu ketika sang bunga pilea ini membawa pensil dan buku yang keliru, ketika ia beringsut-ingsut naik sepeda besar 80 kilometer setiap hari untuk sekolah, ketika suatu hari ia menempuh jarak sejauh itu hanya untuk menyanyikan lagu Padamu Negeri. Dan hari itu ia meraja di sini, di majelis kecerdasan yang amat terhormat ini (halaman 383). Di samping Lintang, ada Mahar. Seorang pesuruh tukang parut kelapa sekaligus seniman dadakan. Bakat seni Mahar pertama kali muncul ketika ia menyanyikan sebuah lagu Tennesse Waltz yang sangat terkenal karya Anne Muray. Mahar memiliki kapasitas estetika yang tinggi dan melahirkannya sebagai seniman yang serba bisa. Ia seorang pelantun gurindam, sutradara teater, penulis yang berbakat, pelukis natural, koreografer, penyanyi, pendongeng yang ulung, dan pemain sitar yang fenomenal.

Walaupun

terkadang gagasan dan pikirannya tidak logis, dan sering diremehkan sahabat-

sahabatnya, namun Mahar berhasil mengangkat derajat sekolah kampung mereka dalam karnaval 17 Agustus. Lintang dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warhol mungil dalam satu kelas, atau laksana Thomas Alva Edison muda dan Rabindranath Tagore junior yang berkumpul. Keduanya penuh inovasi dan kejutan-kejutan kreativitas dalam bidangnya masing-masing. Tanpa mereka, kelas kami tak lebih dari sekumpulan kuli tambang melarat yang mencoba belajar tulis rangkai indah di atas kertas bergaris tiga (halaman 140). ** Setiap anak pasti mempunyai cita-cita, begitu pula para anggota Laskar Pelangi. Salah satu anggota Laskar Pelangi, Lintang bercita-cita ingin bersekolah ke luar negeri. seperti yang sering didorong oleh guru mereka. Sayang, cita-cita Lintang terpaksa kandas. Lintang bahkan tak tamat SMP karena orangtuanya yang nelayan meninggal tepat ketika usia sekolah Lintang tinggal empat bulan lagi. Sungguh ironi. Seorang anak supergenius, penduduk asli sebuah pulau terkaya di Indonesia hari ini harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya. Ibunda guru, Ayahku telah meninggal, besok aku akan sekolah. Salamku, Lintang. Sepucuk surat dari Lintang (halaman 430). Ini kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. Hari ini aku kehilangan teman sebangku selama sembilan tahun. Ini tidak adil. Aku benci pada mereka yang berpesta pora di gedong dan aku benci pada diriku sendiri yang tak berdaya menolong Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtuaorangtua kami harus berjuang setiap hari untuk sekadar menyambung hidup (halaman 432-433) ** Nasib, usaha, dan takdir bagaikan tiga bukit biru samar-samar yang memeluk manusia dalam lena. Lintang, si genius, Isaac Newtonnya Sekolah Muhammadiyah yang dulu dielu-elukan karena kecerdasannya yang luar biasa, sekarang tak lebih hanya sebagai seorang sopir tronton. Selain Lintang, ada Trapani yang semenjak kecil selalu tidak bisa berpisah dengan ibunya, setelah dewasa ia menderita penyakit mother complex yang sangat ekstrem. Adapun A Kiong dan Sahara, mereka berdua akhirnya bersatu dalam sebuah keluarga dan sekarang mempunyai lima anak. A Kiong dan Sahara akhirnya membuka toko kelontong dan mempunyai pegawai yang bernama Samson.

Harun yang dulunya adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa, sekarang ia adalah orang dewasa yang terperangkap dalam pikiran anak kecil. Mahar sendiri adalah seorang budayawan yang sibuk mengajar dan mengorganisasi kegiatan. Pekerjaan sampingannya adalah sebagai pelatih beruk. Lain pula cerita Syahdan. Ia yang dulu sangat menyebalkan karena sangat gagap teknologi, tidak bias diandalkan untuk hal-hal berbau teknik, setelah dewasa justru menduduki posisi sebagai Information Technology Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka yang berkantor pusat di Tangerang. Sedangkan sang penulis, Andrea sendiri adalah orang yang bertekad meneruskan cita-cita Lintang, yakni berkuliah di luar negeri, setelah sekian puluh tahun akhirnya berhasil mendapat beasiswa sekolah ke Sorbonne, Prancis. Sekarang ia bekerja sebagai analis di kantor pusat PT Telkom Bandung. Laskar Pelangi adalah novel pertamanya.

Related Documents