Membatalkan Perjanjian dan Izin PMA Pemprov Bisa Diseret ke Arbitrase Internasional Oleh Drs Werhan Asmin SH Akhir-akhir ini ramai dibicarakan perihal kemungkinandibatalkan-nya sebuah proyek Penanaman Modal Asing (PMA) yang sedang berjalan di Provinsi Kalsel ini. Diberitakan bahwa pemerintah pusat telah memerintahkan agar Pemprov Kalsel membatalkan proyek bernilai ratusan juga dollar Amerika Serikat itu. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan masukan ditinjau dari perspektif Hukum Internasional dan Hukum Perdata Internasional kepada Pemprov Kalsel dalam mempertimbangkan dan mengambil keputusan berkenaan dengan pembatalan suatu proyek PMA. Hadirnya suatu PMA di suatu wilayah di Indonesia tentunya di dasarkan pada UU No 1/1967 jo UU No 11/1970 tentang Penanaman Modal Asing. Secara garis besar ada dua macam pola PMA yang kita kenal, yakin pertama, izin investasi (investment permit), contoh, izin investasi mendirikan pabrik tekstil atau jasa telekomunikasi, pemerintah hanya bertindak sebagai pemberi izin (vergunning), kedua perjanjian investasi (investment agreement), antara investor PMA di satu pihak dan pemerintah di pihak lain membuat suatu perjanjian berkenaan dengan investasi tersebut, misalnya [a] di sektor pertambangan minyak dan gas berbentuk Perjanjian Bagi Hasil (Production Sharing Agreement) yaitu perjanjian antara investor asing dengan pemerintah RI (diwakili oleh Pertamina) [b] di bidang pertambangan batubara kita mengenal Perjanjian Kerjasama Batubara (Coal Cooperation Agreement-CCA) berupa perjanjian antara investor asing dengan pemerintah RI (diwakili oleh Departemen Pertambangan dan Energi), serta [c] di sektor kelistrikan terdapat Perjanjian Pembelian Listrik (Power Purchase Agreement) yaitu perjanjian antara investor asing dengan pemerintah RI (diwakili oleh Perusahaan Listrik Negara-PLN) di mana PLN berjanji akan membeli listrik yang akan diproduksi oleh investor asing tersebut. Apabila Pemprov Kalsel misalnya telah mengeluarkan izin PMA atau telah membuat perjanjian investasi dengan investor asing maka akan timbul suatu hubungan hukum (rechsbetrekking) dan akibat hukum (rechtsgevolg). Jika suatu proyek PMA dibatalkan sepihak oleh Pemprov Kalsel karena mengikuti instruksi pemerintah pusat maka ada taruhan yang harus diperhitungkan yaitu dapat digugatnya pihak Pemprov Kalsel ke arbitrase internasional yaitu ICSID (International Center for Settlement of Investment Disputes) di Washington, Amerika Serikat, suatu lembaga arbitrase penanaman modal yang dibentuk oleh PBB pada tahun 1966.
Wajib Dihormati Perjanjian PMA yang dibuat antara investor dengan pihak Pemprov Kalsel tunduk pada aturan-aturan internasional yang mengikat negara kita sebagai anggota masyarakat dunia dan dalam kedudukan kita sebagai suatu bangsa yang beradab (most favoured nation). Ketentuan asas hukum dalam Hukum Internasional dan Hukum Perdata Internasional yang sudah sangat populer adalah: [a] Asas Pacta Sunt Servanda yaitu bahwa setiap perjanjian yang dibuat harus dilaksanakan. [b] Asas Bonafide yaitu bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat hendaknya dijalankan dengan itikad baik (good faith/te goeder trouw). Dari ketentuan asas hukum tersebut kita melihat bahwa kedua belah pihak masingmasing punya kewajiban untuk menjalankan dengan itikad baik apa yang telah mereka perjanjikan. Pada prinsipnya suatu perjanjian dibuat atas dasar kesepakatan bersama berdasarkan Asas Kebebasan Berkontrak (principle of freedom of contract) sehingga tidaklah dapat begitu saja dibatalkan secara sepihak (bersifat irrevocable). Memang di dalam Hukum Internasional dan juga Hukum Perdata Internasional dikenal alasan-alasan batalnya suatu perjanjian seperti salah satu pihak melakukan wanprestasi/ingkar janji (default/breach of contract], lenyapnya salah satu pihak dalam perjanjian karena negaranya berada dalam kekuasaan negara lain; pecah perang antara kedua pihak; tidak mungkin dilaksanannya perjanjian tersebut karena hapusnya atau rusaknya secara permanen suatu tujuan yang sangat diperlukan untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Juga bisa batal bila terjadi perubahan keadaan yang fundamental atau drastis dalam suatu negara (doktin rebus sic stantibus). Dalam hal suatu perjanjian dibatalkan atau izin dicabut di luar alasan-alasan yang sah menurut hukum maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi (right to pursue comprensation). Lembaga Aribitrase ICSID ICSID merupakan lembaga arbitrase bentukan PBB pada tahun 1966 yang berkedudukan di Washington, Amerika Serikat. Lembaga ini khusus untuk menyelesaikan sengketa investasi (investment disputes) antara negara (penerima investasi) selaku "termohon" (defendant) melawan penanam modal asing (bisa badan hukum atau perorangan) selaku "pemohon" (claimant). Arbitrase ini dibentuk dengan dasar hukum yaitu Konvensi Washington 1965 (perjanjian internasional yang diikuti oleh negara-negara anggota PBB) yang disebut Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States (Konvensi tentang Penyelesaian Sengketa Investasi antara Negara dan Warga Negara Asing].
Pihak investor yang merasa dirugikan investasinya oleh suatu negara misalnya penundaan, pembatalan investasi atau ingkar janji (wanprestasi) oleh negara tempat investasi dapat mengajukan permohonan (request) arbitrase ke ICSID. Menurut pasal 28 dna 36 lembaga ICSID ini dapat menyelesaikan sengketa dengan pola konsiliasi atau arbitrase tergantung pilihan para pihak. Dan jumlah konsiliator atau arbiter (wasit) bisa tunggal bisa majelis (pasal 29 dan 37), dan dalam hal majelis jumlahnya harus ganjil. Putusan yang dibuat oleh lembaga ICSID bersifat final dan mengikat (final and binding). Ini berarti tertutup kemungkinan untuk melakukan upaya hukum (banding kasasi dan peninjauan kembali). Pengalaman Pemerintah RI Salah satu contoh kasus gugatan sengketa investasi yang pernah menyeret pemerintah RI ke lembaga arbitrase ICSID di Washington Amerika Serikat adalah tuntutan yang diajukan pada tgl 15 Januari 1981 oleh pihak investor dalam bentuk konsorsium yang terdiri dari Amco Asia Corporation, Pan American Development Limited dan PT Amco Indonesia yang secara bersama-sama bertidak sebagai pemohon (calimant). Termohonnya (defendant) adalah pemerintah RI c.q Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) karena waktu itu BKPM mencabut izin investasi yang telah dikeluarkannya kepada konsorsium itu. Izin investasi yang telah diterbitkan oleh BKPM adalah untuk pengelolaan hotel Kartika Plaza di Jakarta dengan masa izin investasi 30 tahun. Pengelolaan baru berjalan 9 tahun tahu-tahu izin investasinya dicabut oleh BKPM maka pihak investor merasa dirugikan karena sudah menanam banyak modal di hotel tersebut yaitu untuk pembelian tanah dan pembangunan gedung hotel. Akibatnya pihak investor menuntut ganti rugi sebesar 17 juta dollar AS ditambah bunga investasi sejak tahun 1981. Pada tahun 1984 lembaga arbitrase ICSID mengeluarkan putusan yang isinya menghukum pemerintah RI untuk membayar ganti rugi sebesar U$$ 3.200.000,-(tiga juta dua ratus ribu dollar AS) ditambah bunga investasi sebesar 6% per tahun sejak tahun 1981. Dari uraian serta contoh kasus di atas kiranya Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) dapat bertindak lebih cermat dan penuh pertimbangan dalam hal, memberikan izin investasi kepada penanam modal asing (PMA), mencabut izin PMA dan membatalkan perjanjian PMA. Proprov Kalsel harus mempertimbangkan masak-masak jika hendak membatalkan perjanjian dan atau mencabut izin investasi mengingat akibat hukumnya yang begitu besar. Belum lagi citra kepastian hukum kita (rechtszekerheid) di mata internasional yang bisa merosot. Drs Werhan Asmin SH, dosen Fakultas Hukum Unlam, Banjarmasin.