AMPUTASI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Amputasi adalah hilangnya sebagian alat gerak yang menyebabkan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan aktivitas dalam derajat yang bervariasi, tergantung dari bagianmana alat gerak yang hilang, usia, dan penanganan operasi (untuk kasus kehilangan alat gerak yang disebabkan amputasi). Kehilangan alat gerak tersebut dapat disebabkan berbagai hal,seperti penyakit, faktor cacat bawaan lahir, ataupun kecelakaan. Operasi pengangkatan alatgerak pada tubuh manusia ini diebut dengan amputasi. Menurut Crenshaw, dalam Vitriana(2002), amputasi pada alat gerak bawah mencapai 85%-90% dari seluruh amputasi, dimana amputasi bawah lutut (transtibial amputation) merupakan jenis operasi amputasi yang paling sering dilakukan. Angka kejadian amputasi yang pasti di indonesia saat ini tidak diketahui, tapi menurut Vitriana (2002) di Amerika Serikat terjadi 43.000 kasus per tahun dari jumlah penduduk 280.562.489 jiwa atau sekitar 0,02%, sedangkan dalam Raichle et al. (2009) disebutkan bahwa terjadi kasus amputasi sekitar 158.000per tahun dari jumlah penduduk 307.212.123 atau sekitar 0,05%. Dengan demikian dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan kasus amputasi di Amerika Serikat, baik secara jumlah, maupun secara persentase dari jumlah penduduk
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Apa definisi dari Amputasi
1.2.2
Apa saja etiologi dari Amputasi
1.2.3
Bagaimana pathofisiologi dari Amputasi
1.2.4
Apa saja manifestasi klinis dari Amputasi
1.2.5
Apa saja komplikasi dari Amputasi
1.2.6
Apa saja pemeriksaan penunjang pada Amputasi
1.2.7
Bagaimana penatalaksanaan pada Amputasi
1.2.8
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien Amputasi
1.3
Tujuan 1.3.1
Tujuan Umum
Menambah pengetahuan seputar penyakit Amputasi serta asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat pada pasien Amputasi 1.3.2
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ” Amputasi” 2. Untuk mengetahui gejala-gajala yang timbul pada penderita
” Amputasi”
3. Untuk mengetahui apa saja penyebab ” Amputasi” 4. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan ” Amputasi” 1.4 a.
Manfaat
Mahasiswa akan lebih mengetahui tentang ” Amputasi”
b. Lebih mengerti tentang penatalaksanaan terhadap klien dengan c.
Lebih memahami tentang penerapan asuhan keperawatan “ Amputasi”
” Amputasi”
BAB 2 AMPUTASI
2.1
Pengertian Amputasi Amputasi berasal dari bahasa latin yaitu amputate yang berarti pancung. Dalam ilmu kedokteran diartikan sebagai membuang sebagian atau seluruh anggota gerak, sesuatu yang menonjol atau tonjolan alat (organ) tubuh (Soelarto Reksoprodjo, 1995 : 581) Amputasi adalah perlakuan yang mengakibatkan cacat menetap (Syamsuhidayat, 1997 :1282 ) Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa amputasi adalah perlakuan berupa penghilangan seluruh atau sebagian ekstremitas atau sesuatu yang menonjol yang mengakibatkan cacat menetap
2.2
Etiologi
2.2.1
Penyebab amputasi adalah kelainan ekstremitas yang disebabkan oleh penyakit DM, Gangren, cedera, dan tumor ganas. 2.2.2 Tindakan amputasi dapat dilakukan pada kondisi :
a.
Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki.
b. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki.
2.3
c.
Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.
d.
Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya.
e.
Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif.
f.
Deformitas organ. Patofisiologi
Amputasi terjadi karena kelainan extremitas yang disebabkan penyakit pembuluh darah, cedera dan tumor oleh karena penyebab di atas, Amputasi harus dilakukan karena dapat mengancam jiwa manusia. Adapun pengaruhnya meliputi : a.
Kecepatan metabolism Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan penekanan pada fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah sehingga menurunkan kecepatan metabolisme basal.
b. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih besar dari anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid plasma, hal ini menyebabkan pergeseran cairan intravaskuler ke luar keruang interstitial pada bagian tubuh yang rendah sehingga menyebabkan oedema. Immobilitas menyebabkan sumber stressor bagi klien sehingga menyebabkan kecemasan yang akan memberikan rangsangan ke hypotalamus posterior untuk menghambat pengeluaran ADH, sehingga terjadi peningkatan diuresis. c.
Sistem respirasi
1. Penurunan kapasitas paru Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka kontraksi otot intercosta relatif kecil, diafragma otot perut dalam rangka mencapai inspirasi maksimal dan ekspirasi paksa. 2. Perubahan perfusi setempat Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi perbedaan rasio ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara mendadak maka akan terjadi peningkatan metabolisme (karena latihan atau infeksi) terjadi hipoksia. 3. Mekanisme batuk tidak efektif Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernafasan sehingga sekresi mukus cenderung menumpuk dan menjadi lebih kental dan mengganggu gerakan siliaris normal. d. Sistem Kardiovaskuler 1. Peningkatan denyut nadi
Terjadi sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik, endokrin dan mekanisme pada keadaan yang menghasilkan adrenergik sering dijumpai pada pasien dengan immobilisasi. 2. Penurunan cardiac reserve Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini mengakibatkan waktu pengisian diastolik memendek dan penurunan isi sekuncup. 3. Orthostatik Hipotensi Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana arteriol dan venula tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi lebih panjang dari pada vasokontriksi sehingga darah banyak berkumpul di ekstremitas bawah, volume darah yang bersirkulasi menurun, jumlah darah ke ventrikel saat diastolik tidak cukup untuk memenuhi perfusi ke otak dan tekanan darah menurun, akibatnya klien merasakan pusing pada saat bangun tidur serta dapat juga merasakan pingsan. b. Sistem Muskuloskeletal 1. Penurunan kekuatan otot Dengan adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler memungkinkan suplai O2 dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan, demikian pula dengan pembuangan sisa metabolisme akan terganggu sehingga menjadikan kelelahan otot. 2. Atropi otot Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya penurunan fungsi persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropi dan paralisis otot. 3. Kontraktur sendi Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta adanya keterbatasan gerak. 4. Osteoporosis Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan persenyawaan organik dan anorganik sehingga massa tulang menipis dan tulang menjadi keropos. f. Sistem Pencernaan 1. Anoreksia
Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi serta penurunan kebutuhan kalori yang menyebabkan menurunnya nafsu makan. 2. Konstipasi Meningkatnya jumlah adrenergik akan menghambat pristaltik usus dan spincter anus menjadi kontriksi sehingga reabsorbsi cairan meningkat dalam colon, menjadikan faeces lebih keras dan orang sulit buang air besar. g. Sistem perkemihan Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing berada dalam keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya gravitasi dan pelvis renal banyak menahan urine sehingga dapat menyebabkan : - Akumulasi endapan urine di renal pelvis akan mudah membentuk batu ginjal. - Tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan berkembang biaknya kuman dan dapat menyebabkan ISK. h. Sistem integumen Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan bokong akan tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah dan nutrisi ke jaringan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi ischemia, hyperemis dan akan normal kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit dimasase untuk meningkatkan suplai darah. (WOC TERLAMPIR) 2.4
Manifestasi Klinis a.
Kehilangan anggota gerak (ektremitas atas atau bawah)
b. Nyeri pada bagian yang diamputasi yang berasal dari neuroma ujung saraf yang dekat dengan permukaan. c.
Edema yang apabila tidak ditangani menyebabkan hiperplasia varikosa dengankeronitis.
d. Dermatitis pada tempat tekanan ditemukan kista (epidermal atau aterom) e.
Busitis (terbentuk bursa tekanan antara penonjolan tulang dan kulit)
f.
Bila kebersihan kulit diabaikan terjadi folikulitis dan furunkulitis.
g. Sedih dan harga diri rendah (self esteem) dan diikuti proses kehilangan
2.5
Jenis- jenis Amputasi
2.5.1
Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :
a.
Amputasi selektif/terencana. Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir.
c.
Amputasi akibat trauma. Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan. Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki kondisi umum klien.
d.
Amputasi darurat. Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma dengan patah tulang multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.
2.5.2 a.
Jenis amputasi yang dikenal adalah : Amputasi terbuka. Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. Amputasi terbuka dilakukan pada luka yang kotor, seperti luka perang atau infeksi berat antara lain gangrene, dibuat sayatan dikulit secara sirkuler sedangkan otot dipotong sedikit proximal dari sayatan kulit dan digergaji sedikit proximal dari otot.
b. Amputasi tertutup. Amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan dimana dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5 sentimeter dibawah potongan otot dan tulang. Setelah dilakukan tindakan pemotongan, maka kegiatan selanjutnya meliputi perawatan luka operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga kekuatan otot/mencegah kontraktur, mempertahankan intaks jaringan, dan persiapan untuk penggunaan protese ( mungkin ). Amputasi tertutup dibuat flap kulit yang direncanakan luas dan bentuknya secara teliti untuk memperoleh kulit penutup ujung putung yang baik dengan lokasi bekas pembedahan 2.6
Tingkatan Amputasi a.
Estremitas atas. Amputasi pada ekstremitas atas dapat mengenai tangan kanan atau kiri. Hal ini berkaitan dengan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, mandi, berpakaian dan aktivitas yang lainnya yang melibatkan tangan. Ekstremitas atas, terdiri dari : telapak, pergelangan tangan, lengan bawah, siku dan lengan atas.
b. Ekstremitas bawah. Amputasi pada ekstremitas ini dapat mengenai semua atau sebagian dari jarijari kaki yang menimbulkan penurunan seminimal mungkin kemampuannya. Ekstremitas bawah terdiri dari : jari kaki dan kaki, proksimal sendi pergelangan kaki, tungkai bawah, tungkai atas, sendi panggul, lutut, hemipeivektomi. Adapun amputasi yang sering terjadi pada ekstremitas ini dibagi menjadi dua letak amputasi yaitu : 1. Amputasi dibawah lutut (below knee amputation).Ada 2 metode pada amputasi jenis ini yaitu amputasi pada nonischemic limb dan inschemic limb. 2.
Amputasi diatas lutut Amputasi ini memegang angka penyembuhan tertinggi pada pasien dengan penyakit vaskuler perifer.
c.
Nekrosis. Pada keadaan nekrosis biasanya dilakukan dulu terapi konservatif, bila tidak berhasil dilakukan reamputasi dengan level yang lebih tinggi.
d.
Kontraktur. Kontraktur sendi dapat dicegah dengan mengatur letak stump amputasi serta melakukan latihan sedini mungkin. Terjadinya kontraktur sendi karena sendi terlalu lama diistirahatkan atau tidak di gerakkan.
e.
Neuroma. Terjadi pada ujung-ujung saraf yang dipotong terlalu rendah sehinggamelengket dengan kulit ujung stump. Hal ini dapat dicegah dengan memotong saraf lebih proximal dari stump sehingga tertanam di dalam otot.
f.
Phantom sensation. Hampir selalu terjadi dimana penderita merasakan masih utuhnya ekstremitas tersebut disertai rasa nyeri. Hal ini dapat diatasi dengan obat-obatan, stimulasi terhadap saraf dan juga dengan cara kombinasi.
2.7
Komplikasi Komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi dan kerusakan kulit. Perdarahan dapat terjadi akibat pemotongan pembuluh darah besar dan dapat menjadi masif. Infeksi dapat terjadi pada semua pembedahan dengan peredaran darah yang buruk atau adanya kontaminasi serta dapat terjadi kerusakan kulit akibat penyembuhan luka yang buruk dan iritasi penggunaan protesis.
2.8
Penatalaksanaan Amputasi Tujuan
utama
pembedahan
adalah
mencapai
penyembuhan
luka
amputasi
dan menghasilkan sisa tungkai (puntung) yang tidak nyeri tekan dengan kulit yang sehat . pada lansia mungkin mengalami kelembatan penyembuhan luka karena nutrisi yang buruk dan masalah kesehatan lainnya. Percepatan penyembuhan dapat dilakukan dengan penanganan yang lembut
terhadap sisa tungkai, pengontrolan edema sisa tungkai dengan balutan kompres lunak (rigid) dan menggunakan teknik aseptik dalam perawatan luka untuk menghindari infeksi. 2.8.1. Balutan rigid tertutup Balutan rigid adalah balutan yang menggunakan plaster of paris yang dipasang waktu dikamar operasi. Pada waktu memasang balutan ini harus direncanakan apakah penderita harus imobilisasi atau tidak dan pemasangan dilengkapi tempat memasang ekstensi prosthesis sementara (pylon) dan kaki buatan. Balutan ini sering digunakan untuk mendapatkan kompresi yang merata, menyangga jaringan lunak dan mengontrol nyeri dan mencegah kontraktur. Kaoskaki steril dipasang pada sisi steril dan bantalan dipasang pada daerah peka tekanan. Sisa tungkai (punting) kemudian dibalut dengan gips elastic yang ketika mengeras akan memberikan tekanan yang merata. Hati-hati jangan sampai menjerat pembuluh darah. Gips diganti sekitar 10-14 hari. Bila terjadi peningkatan suhu tubuh, nyeri berat atau gips mulai longgar harus segara diganti. 2.8.2. Balutan lunak Balutan lunak dengan atau tanpa kompresi dapat digunakan bila diperlukan inspeksi berkala sisa tungkai (puntung) sesuai kebutuhan. Bidai imobilisasi dapat dibalutkan pada balutan. Hematoma puntung dikontrol dengan alat drainase luka untuk meminimalkan infeksi. 2.8.3 Amputasi bertahap Amputasi bertahap dilakukan bila ada gangren atau infeksi. Pertama-tama dilakukan amputasi guillotine untuk mengangkat semua jaringan nekrosis dan sepsis. Luka didebridemen dan dibiarkan mengering. Jika dalam beberapa hari infeksi telah terkontrol dank lien telah stabil, dilakukan amputasi definitife dengan penutupan kulit. 2.8.4 Protesis Kadang diberikan pada hari pertama pasca bedah sehingga latihan segera dapat dimulai. Keuntungan menggunakan protesis sementara adalah membiasakan klien menggunakan protesis sedini mungkin. Kadang protesis darurat baru diberikan setelah satu minggu luka sembuh. Pada amputasi, untuk penyakit pembuluh darah proteis sementara diberikan setelah 4 minggu. Protesis ini bertujuan untuk mengganti bagian ekstremitas yang hilang. Artinya defek system musculoskeletal harus diatasi, temasuk defek faal. Pada ekstremitas bawah, tujuan protesis ini sebagian besar dapat dicapai. Sebaliknya untuk ekstremitas atas tujuan itu sulit dicapai, bahkan dengan tangan miolektrik canggih yang bekerja atas sinyal miolektrik dari otot biseps dan triseps.
2.9
Management Keperawatan
Kegiatan keperawatan yang dilakukan pada klien dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu pada tahap preoperatif, tahap intraoperatif, dan pada tahap post operatif. a.
Pre
Operatif .
Pada
tahap
praoperatif, tindakan keperawatan lebih ditekankan
pada
upaya
untuk mempersiapkan kondisi fisik dan psikolgis klien dalam menghadapi kegiatan operasi. Pada tahap ini, perawat melakukan pengkajian yang berkaitan dengan kondisi fisik,khususnya yang berkaitan erat dengan kesiapan tubuh untuk menjalani operasi. b.
Intra Operatif. Pada masa ini perawat berusaha untuk tetap mempertahankan kondisi terbaik klien. Tujuan utama dari manajemen (asuhan) perawatan saat ini adalah untuk menciptakan kondisi opyimal klien dan menghindari komplikasi pembedahan. Perawat berperan untuk tetap mempertahankan kondisi hidrasi cairan, pemasukan oksigen yang adekuat dan mempertahankan kepatenan jalan nafas, pencegahan injuri selama operasi dan dimasa pemulihan kesadaran. Khusus untuktindakan perawatan luka, perawat membuat catatan tentang prosedur operasi yang dilakukan dan kondisi luka, posisi jahitan dan pemasangan drainage. Hal ini berguna untuk perawatan luka selanjutnya dimasa postoperatif
c.
Post Operatif. Pada masa post operatif, perawat harus berusaha untuk mempertahankan tandatanda vital, karena pada amputasi, khususnya amputasi ekstremitas bawah diatas lutut merupakan tindakan yang mengancam jiwa. Perawat melakukan pengkajian tanda-tanda vital selama klien belum sadar secara rutin dan tetap mempertahankan kepatenan jalas nafas, mempertahankan oksigenisasi jaringan, memenuhi kebutuhan cairan darah yang hilang selama operasi dan mencegah injuri. Daerah luka diperhatikan secara khusus untuk mengidentifikasi adanya perdarahan masif atau kemungkinan balutan yang basah, terlepas atau terlalu ketat. Selang drainase benar-benar tertutup. Kaji kemungkinan saluran drain tersumbat oleh clot darah. Awal masa postoperatif, perawat lebih memfokuskan tindakan perawatan secara umum yaitu menstabilkan
kondisi
klien
dan
mempertahankan
kondisi
optimum
klien.
Perawat
bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan dasar klien, khususnya yang dapat menyebabkan
gangguan atau mengancam kehidupan klien. Berikutnya fokus perawatan lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan klien untuk membentuk pola hidup yang baru serta mempercepat penyembuhan luka. Tindakan keperawatan yang lain adalah mengatasi adanya nyeri yang dapat timbul pada klien seperti nyeri Panthom Limb dimana klien merasakan seolah-olah nyeri terjadi pada daerah yang sudah hilang akibat amputasi. Kondisi ini dapat menimbulkan adanya depresi pada klien karena membuat klien seolah-olah merasa ‘tidak sehat akal’ karena merasakan nyeri pada daerah yang sudah hilang. Dalam masalah ini perawat harus membantu klien mengidentifikasi nyeri dan menyatakan bahwa apa yang dirasakan oleh klien benar adanya.
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
Pengkajian Riwayat Kesehatan. Perawat memfokuskan pada riwayat penyakit terdahulu yang mungkin dapat mempengaruhi resiko pembedahan seperti adanya penyakit diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal dan penyakit paru. Perawat juga mengkaji riwayat penggunaan rokok dan obat-obatan.
3.1.1 Pengkajian Fisik Pengkajian fisik dilaksanakan untuk meninjau secara umum kondisi tubuh klien secara utuh untuk kesiapan dilaksanakannya tindakan operasi manakala tindakan amputasi merupakan tindakan terencana/selektif, dan untuk mempersiapkan kondisi tubuh sebaik mungkin manakala merupakan trauma/ tindakan darurat. Kondisi fisik yang harus dikaji meliputi : SISTEM TUBUH
KEGIATAN
Integumen :
Mengkaji kondisi umum kulit untuk meninjau tingkat
Kulit secara umum.
hidrasi.
Lokasi amputasi
Lokasi amputasi mungkin mengalami keradangan akut atau kondisi semakin buruk, perdarahan atau kerusakan progesif. Kaji kondisi jaringan diatas lokasi amputasi terhadap terjadinya stasis vena atau gangguan venus return.
Sistem Cardiovaskuler :
Mengkaji tingkat aktivitas harian yang dapat dilakukan
Cardiac reserve
pada klien sebelum operasi sebagai salah satu indikator
Pembuluh darah
fungsi jantung. Mengkaji kemungkinan atherosklerosis melalui penilaian terhadap elastisitas pembuluh darah.
Sistem Respirasi
Mengkaji kemampuan suplai oksigen dengan menilai adanya sianosis, riwayat gangguan nafas.
Sistem Urinari
Mengkaji jumlah urine 24 jam. Menkaji adanya perubahan warna, BJ urine.
Cairan dan elektrolit
Mengkaji tingkat hidrasi. Memonitor intake dan output cairan.
Sistem Neurologis
Mengkaji tingkat kesadaran klien. Mengkaji sistem persyarafan, khususnya sistem motorik dan sensorik daerah yang akan diamputasi.
Sistem Mukuloskeletal 3.1.2
Mengkaji kemampuan otot kontralateral.
Pengkajian Psikologis, Sosial, Spiritual
Disamping pengkajian secara fisik perawat melakukan pengkajian pada kondisi psikologis ( respon emosi ) klien yaitu adanya kemungkinan terjadi kecemasan pada klien melalui penilaian klien terhadap amputasi yang akan dilakukan, penerimaan klien pada amputasi dan dampak amputasi terhadap gaya hidup. Kaji juga tingkat kecemasan akibat operasi itu sendiri. Disamping itu juga dilakukan pengkajian yang mengarah pada antisipasi terhadap nyeri yang mungkin timbul. Perawat melakukan pengkajian pada gambaran diri klien dengan memperhatikan tingkat persepsi klien terhadap dirinya, menilai gambaran ideal diri klien dengan meninjau persepsi klien terhadap perilaku yang telah dilaksanakan dan dibandingkan dengan standar yang dibuat oleh klien sendiri, pandangan klien terhadap rendah diri antisipasif, gangguan penampilan peran dan gangguan identitas. Adanya gangguan konsep diri antisipasif harus diperhatikan secara seksama dan bersamasama dengan klien melakukan pemilihan tujuan tindakan dan pemilihan koping konstruktif. Adanya masalah kesehatan yang timbul secara umum seperti terjadinya gangguan fungsi jantung dan sebagainya perlu didiskusikan dengan klien setelah klien benar-benar siap untuk menjalani operasi amputasi itu sendiri. Kesadaran yang penuh pada diri klien untuk berusaha berbuat yang terbaik bagi kesehatan dirinya, sehingga memungkinkan bagi perawat untuk melakukan tindakan intervensi dalam mengatasi masalah umum pada saat pre operatif. 3.2
Diagnosa Keperawatan 3.2.1. Pre Operasi
a.
Nyeri (akut) berhubungan dengan cedera fisik/jaringan dan trauma saraf.
b.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan fungsi otot dan pergerakan akibat gangren.
c.
Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kegiatan perioperatif.
d. Berduka yang antisipasi (anticipated griefing) berhubungan dengan kehilangan akibat amputasi. 3.2.2. Post Operasi a.
Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan insisi bedah sekunder terhadap amputasi.
b. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah arteri/ vena c.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan nafsu makan/anoreksia.
d. Resiko kerusakan Integritas kulit b.d adanya dekubitus akibat tirah baring lama. e.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot akibat tirah baring lama post amputasi.
f.
Kurang perawatan diri : makan, mandi, berpakaian, berdandan berhubungan dengan kehilangan bagian tubuh
g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan hilangnya salah satu anggota badan akibat amputasi.. 3.3
Intervensi Keperawatan
3.3.1. Pre Operasi No. 1.
Analisa Data
Diagnosa keperawatan
NOC
NIC
dilakukan Mandiri 1. Catat lokasi, mengatakan nyeri berhubungan dengan asuhan keperawatan frekwensi dan pada daerah luka. cedera fisik/jaringan selama 3x24 jam intensitas nyeri (skala Do: dan trauma saraf. pasien dapat 0-10). Amati - Wajah meringis mentoleransi nyeri dan perubahan - nadi: 120x/mnt nyeri berkurang. karakteristik nyeri, - RR: 25x/mnt Dengan kriteria hasil: misalnya kebas dan TD: 170/90mmHg -Px. Tampak rileks kesemutan. Nadi: 60-100x/mnt 2. Tinggikan bagian RR:16-24x/mnt yang sakit dengan TD:120/80mmHg meninggikan tempat Ds:
Pasien Nyeri
(akut) Setelah
Skala nyeri berkurang tidur atau bantal guling 0-2.
sebagai penyangga. 3.
Tingkatkan kenyamanan
klien
(rubah posisi sesering mungkin,
dan
beri
pijatan
punggung).
Dotong
penggunaan
teknik
manajemen
stres
(napas
dalam,
visualisasi). 4. Berikan pijatan lembut pada
sisa
tungkai
(puntung)
sesuai
toleransi bila balutan telah dilepas. 5.
Kolaborasi
dalam
pemberian analgetik 2.
Data Subjetif: -
pasien
sering berhubungan
menanyakan tentang
Kecemasan
kurang
Setelah
dilakukan1. Memberikan bantuan
dengan tindakan keperawatan secara
fisik
dan
pengetahuan selama 3 jam pasien psikologis,
prosedur tentang
kegiatan mampu
mengontrol memberikan dukungan
tindakan yang akan perioperatif.
tingkat
ansietasnya moral.
dilakukan.
serta
Data Objektif:
mengkomunikasikan
mampu2.
Menerangkan prosedur
operasi
- nadi: 120x/mnt
perasaan
negatifnya dengan
- RR: 25x/mnt
dengan tepat. Dengan baiknya.
- TD: 170/90mmHg
KH:
- Tampak bingung
Nadi: 60-100x/mnt
khusus dengan klien
RR:16-24x/mnt
untuk
3.
sebaik-
Mengatur
waktu
berdiskusi
TD:120/80mmHg
tentang
Pasien tampak rileks
klien.
kecemasan
4. Bina hubungan saling percaya dengan pasien dan keluarga pasien. 5. Kolaborasi: beri obat untuk
mengurangi
ansietas
sesuai
kebutuhan 3.
Ds: -
Berduka
Do: wajah pasien yang antisipasi tampak murung.
asuhan
dilakukan1. Anjurkan klien untuk keperawatan mengekspresikan
(anticipated griefing) selama 1x24 jam klien perasaan tentang
Pasien tidak ingin berhubungan melihat tubuh yang kehilangan telah di amputasi.
Setelah
amputasi.
dengan mampu
dampak pembedahan
akibat mendemontrasikan kesadaran
pada gaya hidup.
akan2. Berikan informasi
dampak pembedahan yang adekuat dan pada citra diri dengan rasional tentang alasan KH:
pemilihan tindakan
Pasien menyadaridan pemilihan amputasi. menerima tubuhnya
kondisi3. Beri informasi bahwa saat
ini, amputasi merupakan
pasien tampak tenang.
tindakan untuk memperbaiki kondisi klien dan merupakan langkah awal untuk menghindari ketidakmampuan atau kondisi yang lebih parah. 4.
Fasilitasi
untuk
bertemu dengan orang
dengan amputasi yang telah berhasil dalam penerimaan
terhadap
situasi amputasi.
3.3.2. Post Operasi No. 1.
Analisa Data Ds:
Diagnosa keperawatan
Pasien Gangguan
mengatakan
nyeri nyaman:
pada bagian tubuh berhubungan
NOC
NIC
rasa Setelah
1. Evaluasi nyeri :
Nyeri dilakukanasuhan dengan keperawatan
berasal dari sensasi
selama panthom limb atau
yang diamputasi.
insisi bedah sekunder 3x24 jam pasien dapat dari luka insisi. Bila
Do:
terhadap amputasi.
mentoleransi nyeri dan terjadi nyeri panthom
- Wajah meringis
nyeri
berkurang. limb
- nadi: 120x/mnt
Dengan kriteria hasil: 2. Ajarkan klien
- RR: 25x/mnt
-Px. Tampak rileks
memberikan tekanan
- TD: 170/90mmHg
Nadi: 60-100x/mnt
lembut dengan
RR:16-24x/mnt
menempatkan puntung
TD:120/80mmHg
pada handuk dan
Skala nyeri berkurang menarik handuk 0-2.
dengan berlahan. 3. Ajarkan teknik distraksi relaksasi untuk menanggulangi nyeri. 4. Beri analgesic ( kolaboratif )
2.
-
Ds: -
Resiko
Do:
perubahan
perfusi asuhan
keperawatan palpasi nadi perifer,
jaringan
perifer selama
1x24
Terdapat sianosis
Suhu Ekstremitas berhubungan dingin
tinggi Setelah
dilakukan 1.
Pantau tanda vital,
jam perhatikan
kekuatan
dengan menunjukkan perfusi dan kesamaan.
-
Denyut proksimal penurunan aliran darah jaringan dan
perifer
distal arteri/ vena
lemah -
N: 50x/mnt
-
Warna kulit pucat
-
yang
baik 2.
dengan kriteria hasil:
neurovascular periodic
Sianosis (-)
misalnya
Suhu
sensasi,
ekstermitas gerakan, nadi, warna
hangat -
Lakukan pengkajian
kulit dan suhu.
Denyut proksimal dan 3.
Inspeksi
perifer distal kuat
balutan/drainase,
-
N: 60-100x/mnt
perhatikan jumlah dan
-
Warna kulit normal.
karakteristik balutan. 4.
Berikan langsung
tekanan pada
sisi
perdarahan, bila terjadi perdarahan
segera
hubungi dokter. 5.
Evaluasi bawah
tungkai
yang
tidak
dioperasi dari adanya inflamasi 6. Kolaborasi Berikan
cairan
IV/darah sesuai order Gunakan
kaoskaki
antiembolitik
untuk
kaki
tidak
yang
dioperasi. Pantau
pemeriksaan
laboratorium : -
Hb/Ht
-
Pt/APTT.
3.
Ds:
pasien Perubahan
nutrisi Setelah
dilakukan1.
Berikan
mengatakan adanya kurang dari kebutuhan asuhan
keperawatan tentang
sensasi rasa pahit di tubuh b.d penurunan selama
3x24
lidahnya
nafsu
kebutuhan
Do:
makan/anoreksia.
pasien
-adanya
informasi kebutuhan
jam nutrisi dan bagaimana nutrisi cara memenuhinya
terpenuhi2.
Berikan
asupan
sisa
dengan kriteria hasil:
makanan dalam porsi
makanan di piring
-rasa pahit di lidah(-)
sedikit tapi sering
pasien
-sisa makanan (-)
-Bising
usus
hiperaktif -konjungtiva mukosa pucat Menolak makan
-Bising Usus (-) -Konjungtiva
dan
untuk
3. Beri asupan makanan
mukosa
tinggi
kalori
tinggi
dan protein berwarna4.
Kolaborasi
merahmuda
ahli
gizi
-annoreksia(-)
menentukan
dengan dalam
kebutuhan
nutrisi
pasien
untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
BAB 4 PENUTUP
4.1
Kesimpulan Asuhan keperawatan pada klien yang mengalami amputasi merupakan bentuk asuhan kompleks yang melibatkan aspek biologis, spiritual dan sosial dalam proporsi yang cukup besar ke seluruh aspek tersebut perlu benar-benar diperhatikan sebaik-baiknya. Tindakan amputasi merupakan bentuk operasi dengan resiko yang cukup besar bagi klien sehingga asuhan keperawatan perioperatif harus benar-benar adekuat untuk memcapai tingkat homeostatis maksimal tubuh. Manajemen keperawatan harus benar-benar ditegagkkan untuk membantu klien mencapai tingkat optimal dalam menghadapi perubahan fisik dan psikologis akibat amputasi
4.2
Saran Sehat merupakan sebuah keadaan yang sangat berharga, sebab dengan kondisi fisik yang sehat seseorang mampu menjalankan aktifitas sehari-harinya tanpa mengalami hambatan. Maka menjaga kesehatan seluruh organ yang berada didalam tubuh menjadi sangat penting mengingat betapa berpengaruhnya sistem organ tersebut terhadap kelangsungan hidup serta aktifitas seseorang.
DAFTAR PUSTAKA Engram, Barbara ( 1999 ), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal – Bedah, edisi Indonesia, EGC: Jakarta. Wilkinson, Judith.M. 2006. Buku saku Diagnosis Keperawatan Dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Edisi 7. EGC: Jakarta Anton (online http://studikeperawatan.blogspot.com/2011/08/asuhan-keperawatan-askep-amputasi.html diakses tanggal 17 November 2012, pukul 19.00) Saskia ( online http://id.pdfcoke.com/doc/93523943/makalah-amputasi diakses tanggal 18 November 2012, pukul 09.00) Irvanzaky
(online
http://irvanzaky.blogspot.com/2012/05/amputasi.html
diakses
tanggal
November 2012, pukul 11.00) Icha
(online http://x-asuhankeperawatan.blogspot.com/2012/07/asuhan-keperawatan-denganamputasi_19.html diakses tanggal 18 November 2012,pukul 15.30)
18
Diabetes Melitus Ganggren
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Gangguan sistem endokrin merupakan suatu gangguan sistem tubuh yang melibatkan banyak aspek. Hal ini disebabkan sistem endokrin dipertimbangkan sebagai salah satu sistem tubuh yang kompleks. Diabetes Melitus sebagai salah satu gangguan sistem endokrin disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara persediaan dan kebutuhan insulin. Ada beberapa jenis DM, tetapi umumnya hanya dua kategori yang dikenal yaitu Insulin Dependen Diabetes Melitus (IDDM, Tipe I) dan Non Insulin Independent Diabetes Melitus) (NIDDM, Tipe II). Kemajuan ilmu dan teknologi telah memberikan dampak positif dan negatif dalam kehidupan manusia. Salah satu dampak negatif tersebut adalah meningkatnya jumlah klien dengan DM akibat perubahan pola hidup. Di USA, jumlah klien DM telah meningkat tajam dimana terdapat 8 juta orang mengalami NIDDM, dan 1 juta orang mengalami IDDM serta kemungkinan lebih dari 4 juta orang yang belum terdiagnosa (Golemon dan Gurin 1993). Menurut Black dan Matassarin Jacob (1997) jumlah keseluruhan klien dengan DM adalah 114 juta, tetapi separuh dari jumlah itu belum terdiagnosa. Peningkatan ini juga diyakini telah terjadi di Indonesia. Perawat berada pada posisi tepat untuk terlibat dalam berbagai aspek pelayanan kesehatan yang diberikan kepada klien DM. Perawat perlu berpartisipasi secara aktif dari sejak pengkajian sampai dengan evaluasi tindakan. Oleh karena itu, peran tenaga keperawatan dalam memberikan keperawatan pada klien ini menjadi sangat penting terutama setelah diagnosis ditegakkan agar komplikasi yang serius tidak terjadi, seperti salah satu contoh gangguan saraf tepi dengan gejala berupa kesemutan, terutama pada
kaki di waktu malam sehingga mengganggu tidur, selain itu juga disertai gangguan penglihatan dan kelainan kulit berupa gatal/bisul.
B. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah: 1. Untuk memperdalam pengertian dan pengetahuan tentang proses keperawatan pada pasien dengan DM. 2. Mengamati secara adekuat dan memberikan asuhan keperawatan secara holistik pada pasien dengan DM. 3. Meningkatkan kemampuan perawat dalam menciptakan hubungan yang terapeutik dengan pasien dan keluarga.
C. Metode Penulisan Metode penulisan kasus ini, penulis melakukan pengamatan secara langsung terhadap pasien yang meliputi: wawancara, observasi maupun catatan yang dilengkapi dengan studi kepustakaan yang ada hubungannya dengan penyakit DM.
D. Sistematika Penulisan Penulisan makalah ini diawali dengan kata pengantar dan daftar isi, kemudian dilanjutkan dengan Bab I Pendahuluan yang berisikan latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan. Bab III Tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep medik, yang terdiri dari definisi, klasifikasi, anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan diagnostik, komplikasi dan penatalaksanaan medik, konsep asuhan keperawatan terdiri atas: pengkajian, diagnosa, perencanaan, discharge planning, patoflowdiagram. Bab III memuat pengamatan kasus, yang berisikan pengkajian,
diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Bab IV Pembahasan kasus, Bab V Kesimpulan dan diakhiri dengan daftar pustaka.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. KONSEP MEDIK 1. Definisi Diabetes Melitus adalah merupakan penyakit metabolik kronik yang terjadi akibat kurangnya produksi insulin dengan adanya kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. (Medical Surgical Nursing, Brunner and Suddarth, 1998). Diabetes Melitus adalah sekumpulan penyakit genetik dan gangguan heterogen yang secara klinis ditandai dengan ketidaknormalan dalam keseimbangan kadar glukosa yaitu hiperglikemia (Lewis, 2000, hal. 1367). Gangren Dingin (Frosbite) adalah trauma karena terpajan pada suhu pembekuan terhadap cairan dalam sel jaringan dan ruang intraseluler yang menyebabkan kerusakan vaskular, bagian tubuh yang sering terkena adalah kaki, tangan (Brunner and Suddarth, 2002, hal. 2483). Gangren gas adalah adanya udara bebas dalam jaringan otot yang disebabkan oleh kuman clostridium welchri yang menyebabkan nekrosis jaringan (Ilmu Bedah, Wim De Jong,
).
2. Klasifikasi Berdasarkan tipe, Diabetes Melitus terbagi atas : a. DM Tipe I : Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) -
Disebut juga Juvenile Diabetes, berkembang pada masa kanak-kanak dan sebelum usia 30 tahun.
-
Memerlukan therapi insulin karena pankreas tidak dapat memproduksi insulin atau produksinya sangat sedikit.
b. DM Tipe II : Non Insulin Independent Diabetes Melitus (NIDDM)
-
Biasanya terjadi di atas usia 35 tahun ke atas.
-
Terjadi resistensi terhadap kerja insulin normal karena interaksi insulin dengan reseptor. Insulin pada sel kurang efektif sehingga glukosa tidak dapat masuk sel dan berkurangnya produksi insulin relatif.
3. Anatomi Fisiologi Pankreas merupakan salah satu bagian dari sistem endokrin, yang terletak di abdomen bagian tengah, di bawah dan di belakang lambung, di depan vertebral lumbal pertama (L1), panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari duodenum sampai limpa, berat 60-90 gr yang terdiri dari 3 bagian : a. Kepala pankreas terletak sebelah kanan abdomen di dalam lingkungan duodenum. b.
Badan pankreas merupakan bagian utama pankreas yang terletak di sebelah kiri yang sebenarnya menyentuh limpa.
c. Ekor pankreas, bagian runcing yang terletak di sebelah kiri yang sebenarnya menyentuh limpa. Struktur pankreas merupakan kumpulan kelenjar yang masing-masing mempunyai saluran. Saluran tersebut menjadi ductus pankreatikus yang akan menjadi ductus koleductus yang diteruskan ke duodenum di bawah pilorus. Fungsi pankreas : 1) Fungsi eksokrin : yang membentuk getah pankreas yang berisi enzim pencernaan : pepsin, tripsin dan amilase. 2) Fungsi endokrin : menghasilkan 3 jenis sel, yaitu : a) Sel Alpha : mensekresi glukosa yang berfungsi meningkatkan glukosa darah. b)
Sel Beta : mensekresi insulin yang mengatur metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dengan meningkatkan permeabilitas sel, sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel.
c) Sel Delta : mensekresi hormon somatostatin. Dalam sel-sel tersebut insulin menimbulkan efek : -
Menstimulasi penyimpanan glukosa dalam hati, otak dalam bentuk glukogen.
-
Meningkatkan penyimpanan lemak dan makanan dalam jaringan adiposa.
-
Mempercepat pengangkatan asam amino (yang berasal dari protein makanan).
4. Etiologi DM Tipe I : a. Faktor genetik Terjadi pada individu yang memiliki HLA (Human Leukosit Antigen) yang merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas transplantasi dan proses imun. b. Faktor lingkungan Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta. (Masih dalam proses penelitian). c. Faktor imunologi Terdapat respon autoimun yang merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan yang dianggap seolah-olah sebagai jaringan asing.
DM Tipe II : a. Faktor genetik: memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. b. Faktor usia: resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun. c. Obesitas: berkaitan dengan resistensi insulin, maka kemungkinan besar terjadi gangguan toleransi glukosa.
5. Patofisiologi Insulin merupakan hormon yang diproduksi oleh sel beta di pulau langerhans. Insulin diproduksi terus menerus sesuai tingkat kadar glukosa dalam darah. Pada penderita DM produksi insulin terganggu atau tidak diproduksi. Defisiensi insulin mengakibatkan glukosa tidak dapat masuk sel melalui siklus krebs dan akan mengakibatkan sel mengakomodasi protein dan lemak dari jaringan adipose untuk dipakai sebagai sumber energi. Pemecahan ini akan menghasilkan zat sisa berupa urea dan keton sehingga menimbulkan ketoasidosis.
Pada DM Tipe I (IDDM) adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dan gejala yang pada akhirnya menuju pada proses tahap kerusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin, yaitu kerusakan pada sel langerhans sehingga terjadi penurunan sekresi atau defisiensi insulin sehingga metabolisme insulin menjadi terganggu. Bila sekresi insulin berkurang atau tidak ada, maka konsentrasi glukosa dalam darah akan meningkat (hiperglikemia), keadaan hiperglikemia menyebabkan tekanan extra sel meningkat, karena peningkatan tekanan ini sehingga cairan dari ekstrasel ditarik ke dalam darah sehingga terjadi gangguan reabsorbsi pada ginjal sehingga kemampuan reabsorbsi melebihi batas ambang ginjal dan akan tampak glukosuria akibat dari ginjal tidak dapat menyaring semua glukosa yang keluar, ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam urin. Ekskresi ini akan disertai dengan pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotik) sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia). Pasien mengalami penurunan berat badan akibat defisiensi insulin menyebabkan gangguan metabolisme protein dan lemak. Oleh karena menurunnya simpanan kalori pasien mengalami banyak makan (polifagia). Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glukogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru) yang dapat menyebabkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang akan mengakibatkan peningkatan produksi keton dengan tanda dan gejala : nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas bau aseton, bila tidak ditangani dapat mengakibatkan penurunan kesadaran bahkan kematian. Pemecahan lemak yang tidak sempurna akan menyebabkan peningkatan asam lemak bebas dan menimbulkan aterosklerosis yang memvasokonstriksi pembuluh darah yang membuat tahanan perifer meningkat akhirnya terjadi peningkatan tekanan darah. Aterosklerosis menyebabkan aliran darah ke seluruh tubuh terganggu, pada organ ginjal akan terlihat adanya proteinuria, hipertensi mencetuskan hilangnya fungsi ginjal dan terjadi insufisiensi ginjal. Pada organ mata terjadi pandangan kabur. Sirkulasi ekstremitas bawah yang buruk mengakibatkan neuropati perifer dengan gejala antara lain : kesemutan, parastesia, baal, penurunan sensitivitas terhadap panas dan dingin. Akibat lain dari gangguan sirkulasi ekstremitas bawah yaitu lamanya penyembuhan luka karena kurangnya O2 dan ketidakmampuan fagositosis dari leukosit yang mengakibatkan gangren. DM Tipe II (NIDDM) terjadi resistensi insulin dan gangguan sirkulasi insulin yang secara normal akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi insulin pada tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
6. Tanda dan Gejala DM Tipe I : a. Poliuria, polidipsia terjadi akibat konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan yang disebut diuresis osmotik.
b. Polifagia : akibat menurunnya simpanan kalori dan defisiensi insulin mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. c. Kelelahan dan kelemahan. d. Nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton, perubahan kesadaran, koma bahkan kematian yaitu akibat dari ketoasidosis, yang merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam basa tubuh bila jumlahnya berlebihan.
DM Tipe II : Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lama dan progresif maka DM Tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi dengan gejala ringan seperti : a. Kelelahan b. Iritabilitas c. Poliuria d. Polidipsia e. Luka pada kulit yang lama sembuh f. Luka pada kulit yang lama sembuh g. Infeksi vagina h. Pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi sekali).
7. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan kadar gula darah : -
Gula darah puasa di atas 140 mg/dl.
-
Gula darah sewaktu di atas 200 mg/dl
-
Gula darah 2 jam PP lebih dari 200 mg/dl
-
Tes toleransi glukosa lebih dari 200 mg/dl
-
HBAIC (Glucosated Haemoglobin AIC) meningkat yaitu terikatnya glukosa dengan Hb. (Normal : 3,8-8,4 mg/dl).
-
Urinalisa : glukosuria dan keton uria.
8. Komplikasi DM Tipe I -
DKA (Diabetik Ketoasidosis) : gangguan metabolik yang berat, ditandai dengan adanya hiperglikemia, hiperosmolaritas dan asidosis metabolik terjadi akibat lipolisis yang hasil metabolisme akhirnya adalah badan keton. DM Tipe II :
-
HHNK (Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik) Terjadi jika asupan cairan kurang dan dehidrasi, memungkinkan resiko terjadinya koma. Dehidrasi terjadi akibat hiperglikemia, sehingga cairan intrasel berpindah dan ke ekstrasel. Juga karena diuresis osmotik (konsentrasi glukosa darah melebihi ambang ginjal) dapat terjadi kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah yang besar.
a. Perubahan makrovaskuler Penderita diabetes dapat mengakibatkan perubahan aterosklerosis pada arteri-arteri besar. Penderita NIDDM mengalami perubahan makrovaskuler lebih sering daripada penderita IDDM. Insulin memainkan peranan utama dalam metabolisme lemak dan lipid. Selain itu, diabetes dianggap memberikan peranan sebagai faktor dalam timbulnya hipertensi yang dapat mempercepat aterosklerosis. Pengecilan lumen pembuluh darah besar membahayakan pengiriman oksigen ke jaringan-jaringan dan dapat menyebabkan ischemia jaringan, dengan akibatnya timbul berupa penyakit cerebro vascular, penyakit arteri koroner, stenosis arteri renalis dan penyakit-penyakit vascular perifer. b. Perubahan mikrovaskuler Ditandai dengan penebalan dan kerusakan membran basal pembuluh kapiler, sering terjadi pada penderita IDDM dan bertanggung jawab dalam terjadinya neuropati, retinopati diabetik. 1) Nefropati Salah satu akibat dari perubahan mikrovaskuler adalah perubahan struktur dan fungsi ginjal. Empat jenis lesi yang sering timbul adalah pyelonefritis, lesi-lesi glomerulus, arterisclerosis, lesi-lesi tubular yang ditandai dengan adanya proteinuria yang meningkat secara bertahap sesuai dengan beratnya penyakit. 2) Neuropati Diabetes dapat mempengaruhi saraf-saraf perifer, sistem syaraf otonom, medula spinalis atau sistim saraf pusat.
Neuropati sensorik/neuropati perifer. Lebih sering mengenai ekstremitas bawah dengan gejala parastesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau baal) dan rasa terbakar terutama pada malam hari, penurunan fungsi proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan dengan tubuh) dan penurunan sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan yang terhuyung-huyung, penurunan sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan infeksi pada kaki tanpa diketahui. 3) Retinopati diabetik Disebabkan karena perubahan dalam pembuluh darah kecil pada retina selain retinopati, penderita diabetes juga dapat mengalami pembentukan katarak yang diakibatkan hiperglikemi yang berkepanjangan sehingga menyebabkan pembengkakan lensa dan kerusakan lensa.
9. Therapi dan Penatalaksanaan Medis a. Diet Ditujukan pada pengaturan jumlah kalori dan KH yang dimakan setiap hari. Jumlah kalori yang dianjurkan tergantung pada kebutuhan untuk mempertahankan mengurangi atau mencegah obesitas. b. Latihan, berfungsi : 1) Menurunkan kadar gula dalam darah dengan meningkatkan metabolisme. 2) Mempermudah transportasi glukosa untuk masuk ke dalam sel. Yang perlu diperhatikan pada terapi aktifitas :
Jangan mulai olahraga jika kadar gula darah rendah.
Jangan menggunakan sepatu yang sempit, karena luka sekecil apapun menimbulkan komplikasi yang parah.
c. Obat 1) Obat hipoglikemia oral. Bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan yang tersimpan. 2) Insulin Reseptor insulin mempunyai 2 fungsi utama :
Membedakan bahan lain dengan insulin kemudian mengikatnya dengan cepat.
Pembentukan kompleks reseptor insulin akan merangsang rangkaian kejadian intraseluler yang kemudian mengarah terjadinya efek insulin yang karakteristik.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Post Operasi a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan -
Riwayat keluarga penderita DM.
-
BB turun pada DM Tipe I.
-
Obesitas pada DM Tipe II.
-
Biasa terjadi pada usia di bawah 30 tahun pada DM Tipe I.
-
Terjadi di atas usia 35 tahun pada DM Tipe II.
b. Pola nutrisi metabolik -
Polifagia
-
Polidipsi
-
Mual, muntah
-
Berat badan turun atau obesitas.
c. Pola eliminasi -
Poliuria
-
Berkemih pada malam hari.
d. Pola aktivitas - latihan -
Keluhan tiba-tiba lemas, cepat lelah.
-
Kurang olahraga
-
Kram otot.
e. Pola tidur dan istirahat -
Gangguan pola tidur karena nokturia.
f.
Pola persepsi kognitif
-
Pusing/hipotensi.
-
Nyeri daerah luka operasi/gangguan post amputasi.
-
Baal, kesemutan pada ekstremitas bawah, keluhan gatal.
-
Nyeri abdomen.
-
Pandangan kabur.
g. Pola persepsi diri - konsep diri -
Cemas akan luka yang lama sembuh.
-
Mekanisme koping yang tidak efektif : cemas tentang penyakitnya.
h. Pola peran dan hubungan sesama -
Hubungan dengan keluarga
-
Hubungan dengan suami istri.
i.
Pola reproduksi - seksual
-
Impotensi pada pria
-
Riwayat libido menurun.
2. Diagnosa Keperawatan a.
Hipoglikemi dan hiperglikemi berhubungan dengan tidak adekuatnya faktor insulin dan insulin yang resisten.
b. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran daerah arterial. c.
Ketidakefektifan manajemen regimen terapeutik tentang proses penyakit, pencegahan, pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan vaskularisasi/gangguan sirkulasi. e. Nyeri berhubungan dengan adanya luka operasi post amputasi. f.
Kurang volume cairan tubuh berhubungan dengan osmotik diuresis.
g. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan tingginya kadar gula dalam darah dan adanya luka post operasi. h. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan aliran darah serebral yang disebabkan adanya aterosklerosis. i.
Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan sistemik berhubungan dengan peningkatan tahanan perifer, aterosklerosis.
3. Perencanaan Keperawatan a.
Hipoglikemi dan hiperglikemi berhubungan dengan tidak adekuatnya faktor insulin dan insulin yang resisten.
Hasil Yang Diharapkan : -
Tidak terjadi hipo/hiperglikemi.
-
Kadar gula darah dalam batas normal : GDS < 140 mg/dl, Gula darah 2 jam PP < 200 mg/dl.
Intervensi : 1. Kaji intake makanan pasien. Rasional : Untuk melihat atau indikasi terjadinya hipoglikemi bila makanan yang dihidangkan tidak habis. 2. Beri makan sesuai diet.
Rasional : Mencegah terjadinya hipoglikemi/hiperglikemi. 3.
Amati dan kaji tanda dan gejala hipo/hiperglikemi : pucat, keringat dingin, sakit kepala, gemetaran, cenderung tidur,
Rasional : Reaksi insulin dapat terjadi secara tiba-tiba yaitu hipo/ hiperglikemi yang dapat berakibat fatal. 4. Monitor dan catat kadar gula darah perifer, glukosuria. Rasional : Menentukan diagnosa dan perencanaan keperawatan selanjutnya. 5. Beri dan pertahankan pemberian cairan melalui IV (NaCl 0,9%). Rasional : Hiperglikemi menyebabkan dehidrasi yang berhubungan dengan efek hiperosmolar. 6. Beri insulin atau therapi peroral. Rasional : Insulin meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel dan menurunkan glukoneogenesis. b. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah arterial. Hasil Yang Diharapkan : Klien menunjukkan kesadaran tentang faktor-faktor keamanan/perawatan kaki yang tepat, permukaan kulit utuh. Intervensi : 1. Tinggikan kaki saat duduk di kursi, hindari periode penekanan yang lama pada kaki yang cedera. Rasional : Meminimalkan gangguan aliran darah. 2. Anjurkan pasien untuk menghindari baju atau kaos kaki yang ketat dan sepatu yang sempit. Rasional : Gangguan sirkulasi dan penurunan sensasi nyeri dapat menyebabkan kerusakan jaringan. 3. Kaji tanda dehidrasi, pantau intake dan output cairan, anjurkan cairan peroral. Rasional :
Glukosuria dapat mengakibatkan dehidrasi yang menurunkan volume sirkulasi dan selanjutnya mengakibatkan perubahan perfusi perifer.
4. Jaga luka jahitan tetap bersih dan kering.
Rasional :
Daerah insisi yang bersih dan kering mengurangi resiko infeksi sehingga mempercepat proses penyembuhan luka.
c.
Ketidakefektifan manajemen regimen terapeutik tentang proses penyakit, pencegahan, pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
Hasil Yang Diharapkan : Pengetahuan klien meningkat dalam waktu 1 hari dengan kriteria klien dapat menjelaskan kembali tentang perawatan luka operasi, dan pencegahan-pencegahan yang harus dilakukan. Intervensi : 1. Beri penjelasan dengan bahasa yang mudah dimengerti sesuai latar belakang pendidikan klien. Rasional : Bahasa yang mudah dimengerti membantu dalam pemahaman klien. 2. Jelaskan pada klien tentang perawatan luka operasi. Rasional : Meningkatkan pengetahuan/pemahaman klien tentang perawatan luka operasi. 3. Jelaskan pada pasien pentingnya pengobatan yang teratur. Rasional : Mencegah terjadinya hipo/hiperglikemi. 4. Tekankan pentingnya aktifitas dan latihan. Rasional : Latihan menstimulasi metabolisme karbohidrat, menstabilkan berat badan.
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan vaskularisasi/gangguan sirkulasi. Hasil Yang Diharapkan : Tidak ada kemerahan di sekitar kulit, luka jahitan bersih dan tidak ada tanda-tanda infeksi. Intervensi : 1. Kaji daerah sekitar kulit.
Rasional : Pengkajian terus menerus secara berkesinambungan memudahkan deteksi awal jika terjadi gangguan dalam proses penyembuhan luka. 2. Jaga luka jahitan tetap bersih dan kering. Rasional :
Daerah operasi yang bersih dan kering mengurangi resiko infeksi sehingga mempercepat proses penyembuhan luka.
3. Gunakan tehnik aseptik dalam merawat luka. Rasional : Mencegah infeksi silang dan mencegah transmisi infeksi bakterial pada luka operasi. 4. Beri terapi antibiotik sesuai program medik. Rasional : Menurunkan jumlah organisme.
e. Nyeri berhubungan dengan adanya luka operasi post amputasi. Hasil Yang Diharapkan : Nyeri berkurang dalam waktu 3 hari dengan kriteria ekspresi wajah tampak rileks, tidak kesakitan, klien dapat beristirahat. Intervensi : 1. Kaji keluhan dan karakteristik nyeri (intensitas dan lokasi) dan skala 0-10. Rasional : Untuk menentukan intervensi selanjutnya. 2. Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam. Rasional : Perubahan TTV menunjukkan intensitas nyeri yang tinggi. 3. Anjurkan dan ajarkan tehnik relaksasi. Rasional : Mengurangi rasa nyeri. 4. Ciptakan lingkungan yang tenang.
Rasional : Lingkungan yang tenang membantu mengurangi stress akibat nyeri. 5. Kolaborasi dengan medik untuk pemberian analgetik. Rasional : Analgetik membantu mengurangi nyeri.
f. Kurang volume cairan tubuh berhubungan dengan osmotik diuresis. Hasil Yang Diharapkan : Klien tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi ditandai dengan : mukosa lembab, TTV dalam batas normal. TD. 120/80 mmHg, Sh. 36-37 oC. Intervensi : 1. Observasi TTV tiap 4 jam. Rasional : Hipovolemik mengakibatkan hipoksia dan takikardia. 2. Kaji membran kulit/membran mukosa dan pengisian kapiler. Rasional : Mengetahui hidrasi sirkulasi tubuh yang adekuat. 3. Kaji tanda-tanda hipovolemik glukosa darah kurang atau sama dengan 60 mg/dl. Rasional : mendeteksi tanda hipoglikemia : pucat, takikardia, lapar, palpitasi, lemah, gemetar, pandangan kabur. 4. Pertahankan pemasukan cairan : 2,5-3 liter/hari. Rasional : memenuhi status cairan dalam tubuh. 5. Kolaborasi tim medik untuk pemeriksaan SE. Rasional : penurunan SE mengindikasikan adanya kekurangan elektrolit.
g. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan tingginya kadar gula darah dengan adanya luka post operasi.
Hasil Yang Diharapkan : Mencegah atau mengurangi infeksi. Intervensi : 1. Observasi tanda-tanda infeksi seperti : demam, nyeri, merah. Rasional : Infeksi akan memperlambat proses penyembuhan. 2. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan. Rasional : untuk mencegah resiko kontaminasi silang. 3. Berikan perawatan kulit dan teratur, jaga kulit tetap kering. Rasional : sirkulasi perifer bisa terjadi yang menempatkan klien pada resiko terjadinya kerusakan pada kulit dan infeksi. 4. Kolaborasi dengan medik untuk pemberian antibiotik. Rasional : mencegah infeksi lebih lanjut.
4. Discharge Planning a. Memotivasi pasien untuk mematuhi diet yang sudah ditetapkan yakni rendah lemak, rendah glukosa, tinggi serat sebagai cara efektif untuk mengendalikan lemak darah, gula darah dan kolesterol. b.
Menjelaskan tanda-tanda hipoglikemia (kadar gula darah turun) seperti mengantuk, bingung, lemas, keringat dingin, mual, muntah.
c.
Menjelaskan pentingnya merawat kaki dan mencegah luka seperti tidak memakai sepatu yang sempit, harus memakai alas kaki, hindari kulit yang lembab.
d. Jaga luka tetap bersih dan kering. e. Hindari penekanan yang lama pada kaki yang luka. f.
Menganjurkan untuk tetap kontrol gula darah secara rutin.
g. Menganjurkan untuk tetap kontrol gula darah secara rutin. h. Menjelaskan jangan menghentikan terapi obat tanpa konsultasi dengan dokter. i.
Minum obat secara teratur.
j.
Informasikan kepada klien tentang perawatan kaki :
-
Anjurkan/jelaskan pada k lien dan keluarga untuk membersihkan kaki dengan sabun terutama di sela-sela setiap jari.
-
Potong kuku jari kaki mengikuti lekungan jari kaki, jangan memotong kuku berbentuk lurus pada tepinya karena dapat menyebabkan tekanan pada jari-jari yang berdekatan.
-
Hati-hati saat mengikir tepi kuku yang kasar untuk mencegah kerusakan kuku.
-
Hindari merendam kaki berlama-lama, hindari merendam dengan air panas.
-
Gunakan pelembab untuk kulit yang kering.
-
Pakai kaos kaki yang terawat dari bahan yang berkualitas baik.
-
Hindari menyilangkan kaki saat duduk.
-
Anjurkan klien untuk melakukan latihan kaki untuk mempertahankan sirkulasi.
l.
Informasikan kepada klien mengenai alas kaki.
-
Hindari berjalan tanpa alas kaki.
-
Anjurkan klien untuk memakai sepatu yang pas, tidak sempit.
-
Periksa sepatu setiap hari dari benda asing, bagian yang kasar.
-
Hindari memakai kaos kaki yang sempit.
-
Ganti sepatu bila sudah rusak.
-
Gunakan sepatu yang terbuat dari bahan yang menyerap.
BAB III PENGAMATAN KASUS
Pada pengamatan kasus, Tn. H, umur 70 tahun, agama Kristen, sudah menikah, dirawat di unit Lukas P.K Sint Carolus, masuk tanggal 24-01-2005, dikirim oleh dokter praktek dengan diagnosa DM + Gangren pada kaki kiri jari ke-3 dan 5, klien mengalami luka di kaki kiri sejak + 1 minggu sebelum masuk RS yang menurut klien dikarenakan sewaktu musim banjir kemarin kakinya terkena air kotor dan klien merasa gatal-gatal, yang tanpa disadari pada malam harinya sewaktu klien tidur kaki tersebut gatal dan klien menggaruknya hingga lama kelamaan menjadi luka. Lalu klien berobat ke dokter praktek dan dianjurkan untuk dirawat.
A. Pengkajian Pada saat pengkajian klien dengan diagnosa medis post amputasi jari kaki kiri ke-3 dan 5 atas indikasi DM + Gangren, klien menderita DM sejak + 3-4 tahun yang lalu, menurut pasien keluarganya ada yang menderita DM yaitu neneknya. Selama klien didiagnosa DM, klien rajin kontrol ke dokter dan mendapat therapi pengobatan yaitu Amaryl 1x1 mg sebelum makan pagi. Klien juga rajin kontrol ke dokter tiap 1 bulan sekali, dan klien juga selalu memeriksa kadar gula darah tiap 1 minggu sekali di rumah dengan menggunakan alatnya sendiri, sehingga menurut klien kadar gula darahnya selalu terkontrol dan tidak pernah tinggi. Pasien juga mengeluh sering BAK pada malam hari. Pada saat pengkajian tanggal 04-022005 pukul 08.30. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, terpasang infus Potacol 8 jam/kolf (15 tetes/menit) pada tangan kiri, klien bedrest karena baru 1 hari post op dengan anestesi spinal, terpasang balutan dan ada rembesan sedikit pada luka operasi. Hasil observasi tanda – tanda vital: TD : 150/90 mmHg, S : 370 C, N : 92 x/mnt, HR : 92 x/mnt, P : 18 x/mnt Klien mendapat therapi : Amaryl 1x1 mg AC Panadol 3x1 tab
Fasorbid 3x5 mg Tugesal 2x1 Farmabex plus 1x1 Pletaal 2x1 Biopres 1x8 mg Tarivid 2x400 mg Dycinone 3x1 amp Cedantron 3x8 mg Fosmycin 2x2 gr dalam drip NaCl 0,9% 100 cc selama 2½ jam. Diet 2000 kalori. Hasil laboratorium Gula darah tanggal 04-02-2005 jam 06.00 GDS 131 mg/dl. Hasil Arteriografi : Aterosklerosis type pangkal a tibialis anterior, proximal, a peronea dan arcus pedis serta a. dorsalis pedis, oklusi distal, a. dorsalis pedis sehingga tidak mengisi aa. digitalis 3-5 kolateral hampir tidak ada. Hasil Rontgen Thorax : Tidak tampak kelainan.
B. Diagnosa Keperawatan Dari pengkajian di atas maka masalah keperawatan yang ditemukan yaitu : 1. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran arterial. 2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka post operasi amputasi. 3. Ketidakefektifan management regimen terapeutik tentang proses penyakit, perawatan post operasi berhubungan dengan kurangnya informasi/ pengetahuan. 4. Nyeri berhubungan dengan adanya luka operasi post amputasi.
C. Implementasi Tindakan keperawatan yang diberikan berfokus pada masalah yaitu : memberikan penjelasan bila duduk kaki ditinggikan, jangan melakukan penekanan yang lama pada kaki yang sakit, menjelaskan agar memakai alas kaki dan jangan menggunakan alas kaki yang sempit, menjaga balutan agar tetap kering dan bersih, menganjurkan agar minum obat secara teratur, kontrol gula darah dan check up ke dokter secara rutin, mengajarkan tehnik relaksasi dan memberikan obat analgetik dan antibiotik.
D. Evaluasi Setelah melakukan tindakan yang berhubungan dengan masalah klien mengatakan nyeri masih ada dan sudah sedikit berkurang, rasa baal masih ada, klien mengerti dan dapat menjelaskan tentang perawatan post operasi dan pencegahan yang harus dilakukan.
BAB IV PEMBAHASAN KASUS
Selama melakukan pengamatan langsung pada Tn. H dengan diagnosa Diabetes Melitus + Gangren Jari Kaki Kiri ke-3 dan 5 Post Amputasi di unit Lukas RS. Sint Carolus, penulis dapat membandingkan antara kasus nyata dengan teori yang diterapkan dari pengkajian, pengangkatan diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan.
A. Pengkajian Pada saat pengkajian penulis mendapatkan kesamaan penyebab dan gejala yang ditemukan pada kasus ini adalah pasien dengan DM Tipe II dengan gejala pandangan kabur, rasa baal dan dingin pada kaki, sering terbangun malam hari untuk BAK, merasa haus, luka sulit sembuh. Pasien menderita DM + 3-4 tahun yang lalu.
B. Diagnosa Keperawatan Masalah keperawatan yang ditemukan dan diangkat pada saat pengkajian sesuai dengan diagnosa teori, yaitu : 1. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran arterial. 2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka post operasi amputasi. 3. Ketidakefektifan management regiment terapeutik tentang proses penyakit, perawatan post operasi berhubungan dengan kurangnya informasi/ pengetahuan. 4. Nyeri berhubungan dengan adanya luka operasi post amputasi.
C. Perencanaan Keperawatan Perencanaan yang disusun pada kasus disesuaikan dengan keluhan-keluhan yang ada pada klien yaitu perubahan perfusi jaringan perifer, kerusakan integritas kulit, ketidakefektifan, nyeri.
D. Implementasi Perencanaan yang telah disusun sebagian besar sudah dilaksanakan diantaranya : mengobservasi tanda-tanda vital, mengajarkan tehnik relaksasi, memberi penyuluhan tentang perawatan post operasi, diet, pencegahan komplikasi, menjelaskan perawatan pentingnya kuku pendek.
E. Evaluasi Saat pengkajian dan pelaksanaan klien cukup kooperatif dan atau bekerja sama dengan perawat : saat evaluasi masalah nyeri sudah berkurang karena sudah mendapat therapi analgetik Tugesal 1 tab, Bellatram 1 amp, pasien dapat menjelaskan kembali tentang penyakit DM, komplikasi, perawatan luka dan diet yang harus dipatuhi.
BAB V KESIMPULAN
Diabetes Melitus merupakan penyakit kronik yang mengakibatkan kurangnya produksi insulin dengan adanya kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Penyebab diabetes melitus adalah antara lain genetik, obesitas, rusaknya sel beta langerhans, kurang aktivitas dan lingkungan. DM terbagi atas DM Tipe I (IDDM) adalah dimana terjadi karena ketidakadekuatan insulin. DM Tipe II (NIDDM) terjadi karena resisten insulin. Karakteristik gangguan metabolisme dalam tubuh adalah peningkatan kadar glukosa dalam darah dengan tanda dan gejala yang sering yaitu poliphagia, polidipsia, poliuria, kelelahan, dan bila ada luka sulit sembuh. Penyakit ini memiliki komplikasi yang serius, hal ini dapat terjadi karena tidak terkontrol kadar gula darah dan kurangnya pengetahuan pasien dan keluarga baik dalam pengobatan, diit maupun latihan. Pada kasus Tn. H menderita DM Tipe II yaitu terjadi pada usia senja atau di atas usia 35 tahun dan kurangnya aktifitas, Tn. H juga mengalami komplikasi dari DM yaitu pandangan kabur/katarak dan gangren pada ekstremitas bawah (jari kaki kiri ke-3 dan ke-5). Tn. H menderita DM kurang lebih 3-4 tahun belakangan ini dan mendapat therapi Amaryl 1x1 mg pagi dan diminum secara rutin. Gangren yang terjadi disebabkan karena setelah banjir 1 bulan yang lalu Tn. H merasa kaki gatal dan tanpa disadari malam hari klien menggaruk kakinya sehingga menimbulkan luka. Prinsip utama dalam pengobatan DM adalah mengikuti atau mematuhi diit yang dianjurkan, olahraga secara teratur sesuai dengan usia dan pengobatan secara teratur. Oleh karena itu, sebagai perawat profesional diharapkan mampu memotivasi, menambah pengetahuan pasien dan keluarga dalam hal-hal yang perlu diperhatikan seperti di atas, sehingga komplikasi lebih lanjut dari DM dapat dicegah.
DAFTAR PUSTAKA
Black, Joyce M. M.S.N (1997). Medical Surgical Nursing : Clinical Management for Continuity of Care, (Fifth Edition). Philadelphia : W.B. Saunders Company.
Brunner & Suddarth (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. (Edisi kedelapan). Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda Juall (2000). Diagnosa Keperawatan, (Edisi keenam). Jakarta : Penerbit EGC.
Ignatavicius, Donna D. (1991). Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach W.B Saunders Company.
Luckman and Sorensens (1997). Medical Surgical Nursing, A Psychophysiology Approach. Fourth Edition. W.B. Saunders.
Lewis, Sharon Mantik, R.N. FAAN (2000). Medical Surgical Nursing, (Fifth Edition), St. Louis, Missouri : Mosby Inc.
Price, Sylvia Anderson, Ph.D, R.N (1995). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, (Edisi keempat), Jakarta : EGC.
R. Syamsuhidayat, Wim de Jong (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN BATU GINJAL
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN BATU GINJAL A. DEFINISI Batu ginjal adalah batu yang terbentuk dan deposit mineral, umumnya kalsium oksalat dan kalsium fosfat serta asam urat dan kristal-kristal lain yang ditemukan sepanjang traktus urinarius. B. ETIOLOGI 1. Faktor endogen: faktor genetik - famili pada hiperkalsium 2. Faktor eksogen: faktor lingkungan, pekerjaan, makanan, infeksi dan kejenuhan, mineral dalam air minum Teori terbentuknya batu 1. Teori inti matriks Terbentuknya batu saluran kencing memerlukan adanya substansi organik sebagai inti antara lain mukopolisakarida dan muhoprotein yang akan mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi pembentuk batu. 2. Teori super saturasi Terjadinya kejenuhan substansi pembentukan batu dalam urin seperti sistin, asam urat dan Ca. oksalat 3. Teori presipitasi Perubahan pH pada urin akan mempengaruhi solubilitas substansi dalam urin. 4. Teori berkurangnya faktor penghambat Berkurangnya faktor penghambat seperti peptid fosfat, piropospat Faktor eksogen yang mempengaruhi kalkuligenesis 1. Infeksi saluran kemih (ISK) ISK dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan akan menjadi inti pembentukan batu saluran kencing.
20
2. Obstruksi dan statis urin Obstruksi dan stasis urin akan mempermudah terjadinya infeksi 3. Jenis kelamin Batu saluran kencing banyak terjadi pada pria 4. Ras Banyak terjadi pada ras Afrika dan Asia 5. Air minum Memperbanyak diuresis dengan cara banyak minum akan mengurangi kemungkinan terbentuknya batu. 6. Pekerjaan Kejadian meningkat pada orang yang bekerja lebih banyak duduk C. MANIFESTASI KLINIK Nyeri hebat di pinggang, mual, muntah, diaphoresis, cemas, hewaturi. D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Diagnosis batu saluran kencing dapat ditegakkan dengan beberapa cara, yaitu: 1. Gambarkan klinis 2. Laboratorium Pada pemeriksaan urine didapatkan hematuria, dan bila terjadi obstruksi lama akan menyebabkan penurunan fungsi ginjal 3. Pielografi intravena Dapat melihat besarnya batu, letaknya dan adanya tanda-tanda obstruksi, terutama untuk batu yang tidak tembus sinar. 4. Sistoskopi Dapat membantu pada keadaan yang meragukan di dalam bui-bui
5. Ultrasonografi Dapat melihat bayangan batu baik di ginjal maupun di dalam bui-bui, dan adanya tanda-tanda dostruksi urin
21
6. Pielografi retrograd Dilakukan terutama pada jenis baru yang radiolusen E. PENATALAKSANAAN MEDIK Tujuan pengelolaan batu saluran kencing adalah: 1. Menghilangkan obstruksi 2. Mengobati infeksi 3. Menghilangkan rasa nyeri 4. Mencegah terjadinya gagal ginjal dan mengurangi kemungkinan terjadinya rekurensi. Untuk mencapai tujuan ini, langkah-langkah yang dapat diambil adalah: 1. Diagnosis yang tepat mengenai adanya batu, lokasi dan besarnya batu 2. Menentukan adanya akibat-akibat batu saluran kencing: a. Rasa nyeri b. Obstruksi disertai perubahan pada ginjal c. Infeksi d. Adanya gangguan fungsi ginjal 3. Menghilangkan obstruksi, infeksi dan rasa nyeri 4. Analisis batu 5. Mencari latar belakang terjadinya batu 6. Mengusahakan pencegahan terjadi rekurensi.
22
F. ANALISA DATA PRE OPERASI NO
DATA
PENYEBAB
MASALAH KEPERAWATAN 1 DS: - Klien mengatakan nyeri di daerah perut bagian bawah tembus ke belakang DO: - Klien tampak meringis - Klien tidak bisa beristirahat - Nyeri tekan pada perut bagian bawah - Klien tampak mengelus-elus daerah perut
Konsentrasi Ca oksalat meningkat, Ca fosfat menurun, asam urat meningkat, absorbsi oksalat berlebih, defisiensi sitrat, dehidrasi, infeksi, statis urine, immolisasi, terapi antasida, diamax, vit D, laksatif (aspirin dosis tinggi) ↓ Batu ginjal ↓ Obstruksi ↓ Tekanan Hidrostatik meningkat ↓ Distensi pada piala ginjal serta ureter proksimal ↓ Frekuensi/dorongan kontraksi ureteral meningkat ↓ Trauma ginjal ↓ Pelepasan mediator nyeri (bradikinin, serotonin, histamine) ↓ Saraf afferent NE ↓ Thalamus ↓ Saraf efferent ↓ Nyeri dipersepsikan
23
Nyeri
2 DS: - Klien mengatakan merasa susah BAK, BAK tidak lancar, sering BAK terputus-putus - Klien sering merasa ingin BAK tapi tidak bisa keluar DO: - Distensi pada abdomen bagian bawah (daerah sympisis) - Hematuria - Retensi urine 3 DS: - Klien mengatakan tidak tahu tentang penyakitnya karena munculnya tiba-tiba, klien tidak tahu penyebabnya sehingga klien bertanya tentang penyakitnya DO: - Klien tampak tidak paham dengan kondisi penyakitnya - Klien bertanya tentang penyakitnya
Batu ginjal ↓ Obstruksi ↓ Penurunan reabsorbsi dan sekresi turbulen ↓ Gangguan fungsi ginjal ↓ Penurunan produksi urine
Gangguan fungsi ginjal ↓ Perubahan status kesehatan ↓ Kurang terpajan informasi ↓ Misinterpretasi informasi
24
Perubahan eliminasi urine: retensi urine
Kurang pengetahuan
G. ANALISA DATA POST OPERASI NO
DATA
1 DS: - Klien mengatakan nyeri pada daerah bekas operasi DO: - Klien tampak gelisah
PENYEBAB Batu ginjal ↓ Tindakan operasi ↓ Adanya luka insisi bedah ↓
MASALAH KEPERAWATAN Nyeri - Ekspresi wajah klien tampak meringis - Klien tampak berhatihati dengan daerah bekas operasi - TTV dalam keadaan abnormal
2 DS: - Klien mengatakan merasa cemas dengan kondisi/ keadaan penyakitnya DO: - Klien tampak gelisah, cemas - Ekspresi wajah nampak tegang - Tanda-tanda vital dalam keadaan abnormal 3 DS : DO: - Nampak adanya luka operasi yang dibalut dengan verband - Terpasang infus - Terpasang kateter - Terpasang drain
Incontinuitas jaringan kulit ↓ Jaringan mengeluarkan zat kimia (bradikinin, serotonin, histamin) ↓ Saraf afferent NE ↓ Thalamus ↓ Saraf efferent ↓ Dipersepsikan Hospitalisasi ↓ Kurang informasi ↓ Stressor bagi klien ↓ Cemas
Adanya luka insisi bedah ↓ Buffer pertahanan terganggu ↓ Port de entry kuman patogen melalui insisi bedah
25
Ansietas
Risiko tinggi terhadap infeksi
H. RENCANA PERAWATAN PRE OPERASI
RENCANA ASUHAN NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
KEPERAWATAN (TUJUAN, KRITERIA RENCANA TINDAKAN) 1
Nyeri berhubungan dengan
peningkatan dorongan kontraksi ureteral, trauma jaringan ditandai dengan: DS: - Klien mengatakan nyeri di daerah perut bagian bawah tembus ke belakang DO: - Klien tampak meringis - Nyeri tekan pada perut bagian bawah (daerah sympisis) - Klien tampak mengelus-elus daerah perut bagian bawah
2
Perubahan eliminasi urine: retensi
urine berhubungan dengan adanya batu di jaringan ginjal, iritasi ginjal ditandai dengan: DS: - Klien mengatakan merasa susah BAK, BAK tidak lancar, sering BAK terputus-putus - Klien sering merasa ingin BAK tapi tidak bisa keluar
26
T : Nyeri berkurang/teratasi K : - Klien mengatakan nyeri berkurang/hilang - Ekspresi wajah tampak rileks - Klien dapat mengontrol nyeri dengan melakukan teknik napas dalam. I : - Kaji intensitas nyeri, lokasi dan karakteristik nyeri. - Atur posisi yang nyaman bagi klien - Anjurkan klien untuk relaksasi dengan menarik napas dalam - Ukur/observasi TTV - Kolaborasikan pemberian analgetik T : Gangguan eliminasi urine, retensi urine berkurang/teratasi K : - Klien dapat BAK spontan - Produksi urine kembali normal 30- 50 cc /jam - Kandung kemih kosong saat dipalpasi I : - Monitor pemasukan dan pengeluaran cairan dan catat karakteristik urine
DO: - Hematuria - Retensi urine - Distensi pada abdomen bagian bawah (daerah sympisis)
3
Kurangnya pengetahuan klien tentang
penyakitnya berhubungan dengan kurangnya informasi ditandai dengan: DS: - Klien mengatakan tidak tahu tentang penyebab penyakitnya DO: - Klien bertanya tentang dan kondisi penyakitnya
27
- Monitor pola pengosongan dan perubahan pola pengosongan kandung kemih - Anjurkan klien untuk banyak minum - Kaji dan catat bila ada distensi urine dengan palpasi di supra publik dan penurunan pengeluaran urine T : Klien menunjukkan perubahan pengetahuan K : - Klien tahu tentang penyakitnya dan tujuan tindakan/pengobatan - Klien dan keluarga berpartisipasi dalam pengobatan dan perawatan I : - Beri kesempatan kepada klien/ keluarga untuk menanyakan masalahnya - Diskusikan penyakit, dan efek samping - Identifikasi tanda/gejala memerlukan evaluasi medik, contoh hematuria, nyeri berulang - Melibatkan klien dan keluarga dalam perawatan dan pengobatan.
I.
RENCANA PERAWATAN POST OPERASI
RENCANA ASUHAN NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
KEPERAWATAN (TUJUAN, KRITERIA RENCANA TINDAKAN) 1
Nyeri berhubungan dengan
terputusnya/rusaknya kontinuitas jaringan ditandai dengan: DS: - Klien mengatakan nyeri pada daerah bekas operasi DO: - Klien tampak gelisah - Ekspresi wajah klien tampak meringis - Klien tampak berhati-hati dengan daerah bekas operasi - TTV dalam keadaan abnormal
2
Ansietas berhubungan dengan
kurangnya informasi tentang pengobatan dan perawatan selanjutnya, ditandai dengan: DS: - Klien mengatakan merasa cemas dengan kondisi/keadaan penyakitnya DO: - Klien tampak gelisah, cemas - Ekspresi wajah nampak tegang
28
T : Nyeri hilang/berkurang dalam jangka waktu 3 hari perawatan K : - Nyeri berkurang/hilang - Klien tampak rileks - Tanda-tanda vital dalam batas normal I : - Kaji tingkat nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 - 10) - Observasi tanda-tanda vital - Berikan tindakan kenyamanan seperti perubahan posisi - Ajarkan teknik latihan napas dalam, pedoman imajinasi - Penatalaksanaan analgetik sesuai indikasi T : Ansietas teratasi dalam jangka waktu 3 hari perawatan K : - Cemas berkurang/hilang - Klien nampak tenang I : - Buat hubungan saling percaya dengan klien/orang terdekat - Berikan informasi tentang penyakitnya dan teknik pengobatannya - Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah/
- Tanda-tanda vital dalam keadaan abnormal
3
Risiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan insisi bedah/ adanya luka operasi dan prosedur invasif, ditandai dengan: DS: DO: - Nampak adanya luka operasi dibalut dengan verband - Terpasang infus - Terpasang kateter - Terpasang drain
29
perasaan - Beri penguatan informasi klien yang telah diberikan sebelumnya T : Infeksi tidak terjadi dan mencapai waktu penyembuhan K : - Tidak ada tanda-tanda infeksi I : - Awasi tanda-tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernafasan cepat, gelisah - Observasi daerah luka operasi - Lakukan perawatan luka dengan menggunakan teknik aseptik dan septik - Ganti balutan dengan sering, pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang masa penyembuhan. - Kolaborasikan pemberian antibiotik sesuai indikasi