Amanat Terakhir Dari Simbah.docx

  • Uploaded by: Emilia Dwi Roida
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Amanat Terakhir Dari Simbah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,731
  • Pages: 5
Amanat Terakhir Dari Simbah Teeng...... Teeeng..... Teeng......... Jam ruang depan telah bernyanyi menunjukkan pukul 12 malam, manusia yang belum tidur diharapkannya untuk tidur. Udara dingin mulai merayu-rayu, pelan-pelan menarik manusia ke selimut di atas ranjang. Siapa yang tahan dengan itu semua? Mataku sendiri tak kuasa menahan rasa kantukku. Ku tinggalkan tugas sekolahku yang belum terselesaikan, perlahan-lahan aku lelapkan mataku di atas tempat tidurku. Menarik selimut yang masih terlipat, kehangatan dan kelembutan tersendiri dari selimutku. Kenikmatan tersendiri pada tidurku hingga aku terlelap. Aku rasakan kehangatan pada hidupku, kabut putih yang menyelimuti langkahku menemaniku berjalan menuju lorong rumah. Bukan asing bagiku, inilah rumah orang tuaku tempat tinggalku. Ku mainkan langkahku, hingga sampailah aku di dapur. Ku lihat seorang wanita tua duduk di kursi dekat pintu. Kursi yang dulu sering di duduki Simbahku, sewaktu beliau masih hidup. Tanpa rasa ku dekati wanita itu dan, “Astaga !!! Simbah ?”. Kagetku bukan main, wanita tua itu ternyata Simbahku yang telah meninggal dunia empat tahun yang lalu. Beliau menatapku dengan senyuman indah dari bibirnya, hingga tiada rasa takutku untuk menemuinya. “Kenapa Mbah ? Ada apa ?”, tanyaku lembut. “Aku pernah bilang padamu, jaga kerukunan dan kedamaian saudaramu. Ku titipkan tujuh harta ini padamu, kau bisa membaginya secara adil, bijaksana, rukun, dan mengalah. Bagilah dengan rata. Enam saudaramu harus menerima ini semua dengan sama rata”. Tujuh kertas putih kecil pun di berikannya padaku. Sambil tersenyum bahagia ku terima tujuh kertas kecil itu. Tujuh kertas kecil yang terasa sebuah kebahagiaan terindah dalam hidupku di hari nanti, ku terima dengan lapang dada. Rasa aman dan nyaman setelah ku mendapatkannya. Inilah anugerah hati. “Milia, bangun! Udah siang, kamu gak sekolah ?”, teriak Kak Fitri dari luar. Kak Fitri adalah anak kedua dari tujuh saudara setelah Kak Pendi, dan berikutnya Kak Wanda. Kak Susi yang keempat, yang kelima aku dan Zuli serta Ilyas yang terakhir atau yang ketujuh. Kak Fitri memang kakakku yang paling hobi teriak pagi, tapi itu ada alasannya juga. Adhikadhiknya semua cewek, yang cowok hanya Ilyas dan Kak Pendi. Tapi, yang cewek sedikit hobi bangun siang. Terutama aku, sejak duduk di bangku SMP. “Ya Kak, ini udah bangun!”, teriakku dari dalam kamar. Seketika aku teringat akan tujuh kertas kecil itu, ku cari-cari tujuh kertas kecil itu. Ku lihat bawah bantalku, ku fikir disana. Ech, ternyata tidak ada. Ternyata itu semua hanya sebuah mimpi. Tapi apa maksudnya, mungkinkah

aku harus membagi kerukunan, keadilan, dan kebahagiaan kepada semua saudaraku dengan rata. Dan mengalah jika aku yang harus mengalah. Kisah awal mimpi ini berasal dari kisahku empat tahun yang lalu. Ketika aku masih duduk di bangku kelas 4 SD. Ketika itu, aku sedang asyik bermain bersama teman-temanku di teras masjid. Ku lihat Simbahku baru pulang dari sawah dengan pakaian yang jelek dan kumuh. “Milia, ayo cepat pulang. Sudah siang, jangan main terus, ayo istirahat !”, kata Simbahku saat itu. “Ya Mbah !”, jawabku. Dengan langkah gontai aku ikuti Simbahku pulang, dan hatiku menggerutu kesal, “Hah, Simbah. Gak ngerti cucunya sedang main apa? Di suruh pulang ?! Hiii... Menyebalkan!”. Seperti biasa, sesampai di rumah aku di suruh membukakan pintu rumahnya yang masih terkunci. Dan setelah itu, aku baru pulang ke rumah orang tuaku untuk istirahat. Tapi kali ini tidak, Simbahku menyuruhku duduk di dekatnya. Diajaknya bercanda, sambil makan udang goreng kesukaannya. Disela-sela candanya Simbahku meletakkan ilmu kehidupan padaku, sebatas pengetahuan dan pengalamannya selama hidup. “Kamu bisa menjahit pakaian gak ?”. “Nggak Mbah, memang kenapa ?”. “Dulu, waktu Mbah masih muda, Mbah di wajibkan bisa menjahit sama orang tua Mbah. Harus bisa masak, harus bisa jahit, dan lain sebagainya”. “Tapi kenapa begitu Mbah? Terus sekolahnya gimana ?” “Ya wanita harus bisa itu semua. Sekolah? Wanita tidak ada yang sekolah, gak punya uang untuk sekolah. Wanita harus siap menikah setelah bulanan yang pertama dan seterusnya, sampai kapan waktunya untuk menikah. Gak ada yang sekolah tinggi seperti kakak-kakakmu saat ini”. “Tapi dulukan RA Kartini berhasil memperjuangkan hak wanita untuk sekolah. Terus kenapa Mbah tetap tidak sekolah ??”. “Ya itu Ndok, gak punya uang untuk sekolah. Maka dari itu, kamu sekarang bisa sekolah kamu harus bisa jadi anak yang pintar. Nurut sama orang tua, patuh, dan hormat sama orang tua dan bapak ibu gurumu. Biar pintar, terus bisa jadi dokter”. “Aamiin.. Mbah !”. “Terus nanti kalau jadi orang sukses, kamu gak boleh sombong. Harus tetap rukun sama saudara-saudaramu. Harus bersikap bijaksana, sayuk rukun, welah kasih marang sak dulurmu”. “Ya Mbah !”.

“Jika ada apa-apa kamu mengalah saja sama saudara-saudaramu. Punya apa-apa harus di bagi rata dengan saudara-saudaramu. Jangan punya apa di simpan sendiri, terkecuali itu masalah pribadimu”. “Ya Mbah !”. “Nanti kalau Mbah sudah tidak ada, kamu harus menjaga saudar-saudaramu. Kamu harus melindungi saudara-saudaramu dari masalah besar. Ngertikan kamu ?”. “Ya Mbah, aku ngerti. Aku akan mengingat selalu kata-kata Mbah, kalau perlu akan aku tulis, di buku pribadiku”, jawabku sambil mengangguk-anggukkan kepala. Kami pun melanjutkan makan udang goreng yang terasa pedas manis itu lagi. Sedikit demi sedikit hingga udang goreng pada piring kaca itu pun habis. Sejak saat itu aku selalu berusaha menjaga kerukunan ke enam saudara-saudaraku. Walaupun terkadang aku sering di omelin. Tapi omelan itu menurutku sebuah pelajaran untukku agar aku bisa lebih dewasa, dan bijaksana. Keesokan harinya aku, Ibu, Kak Fitri, Kak Wanda, Kak Susi, Zuli, dan Ilyas. Asyik ngobrol dan bercanda di ruang tamu. Dan, tiba-tiba “Tiiiii.....n”, suara mobil dari arah timur. Seketika kami langsung melonjak dari tempat duduk masing-masing, kami terkejut dengan apa yang kami lihat. “Mbaaaa.....h !!!”, teriak Kak Wanda menangis, sambil berlari menghampiri Mbah yang jatuh di pinggir jalan sebelah selatan. Semua orang seisi ruang tamu pun turut mengikuti Kak Wanda menghampiri Simbah, semua rasa di ikuti perasaan khawatir. Rasa tidak tegak, rasa ada apa mengapa Simbah sampai jatuh disana? “Mbah, mengapa sampai disini?”, tanya Kak Susi, “Siang-siang seperti inikan seharusnya Mbah di rumah. Istirahat”, lanjutnya. “A..ku tadi mau ke rumah Ni sebentar”, jawab Simbah dengan gemeteran. “Kenapa Mbah kesana, biar dia kesini sendiri. Mbah tidak perlu pergi kesana,” kata Ibu, “Mbah bagaimana keadaannya ?”. “Badanku gemeteran aku kaget mobil itu tadi”, jawab Simbah. “Ya sudah, ayo Mbah di bawa ke rumah biar istirahat”, ajak Kak Fitri. Sore harinya, Ayah pulang dari kerja bersama Kak Pendi. Dari dulu, Ayah terkenal memiliki wajah yang keras, kejam, dan menakutkan. Padahal Ayah sebenarnya orangnya baik dan peduli dengan keadaan orang lain. Mungkin, itu semua karena kumis Ayah yang tebal, dan kulitnya yang sedikit lebih hitam dari umumnya orang Jawa. Serta jalannya yang sempoyongan yang di karenakan kelainan pada tulang ekornya. Beda sama Kak Pendi, kakak tertua dari tujuh saudara. Dia selalu menampilkan wajah dan hati yang lembut kepada siapa pun.

“Simbah tadi jatuh di jalan. Beliau kaget, katanya gemeteran dan pusing”, kata Ibu pada Ayah. “Jatuh!”, seru Ayah, seketika matanya melotot pada Ibu. Ya maklumlah kalau Ayah kaget, Simbahkan ibu dari Ayah. “Sudah diperiksakan ke dokter ?”, tanya Ayah lagi. “Belum Yah, tidak ada yang bisa kesana. Kendaraan tidak ada, nomer teleponnya pun, anakanak tidak ada yang punya”. “Biar Ayah hubungi dokter”. Ayah pun segera mengambil handphond di saku celananya, dan segera menghubungi dokter. Tak lama menanti, dokter pun datang dan segera memeriksa Simbah. Setelah di dapat, ternyata Simbah terserang hipertensi tingkat tinggi tapi tak sampai strook. Sejak saat itu Simbah menjalani hari-hari dengan hipertensinya. Ibu dan Ayah terus memberi perhatian pada Simbah, selalu memikirkan bagaimana hipertensi Simbah turun, dan rajin memberinya obat. Kak Fitri dan Kak Wanda yang paling rajin merawat Simbah di bandingkan dengan adhik-adhiknya. Beda dengan Zuli dan Ilyas yang paling sering gangguin Simbah sampai nangis. Huh, jail level atas! Sekitar empat bulan berlalu. Tensi Simbah memang sudah turun, tapi keadaan Simbah terus melemah. Hingga tak mampu lagi berjalan dan kemampuan bicara menurun. Simbah sering kali jatuh dari tempat tidurnya, dan sering pula buang air tanpa sadar. Hal itu tidak membuat Ayah, Ibu, kakak serta adhikku putus harapan untuk merawatnya. Kak Pendi sendiri yang sering kali memberi semangat kepada Kak Fitri dan Kak Wanda serta adhiknya yang lain untuk sabar dan tabah untuk merawat Simbah. Kami sangat jarang mendengar Simbah berbicara, bila ditanya atau dikasih sesuatu hanya mengangguk dan menggeleng. Atau terkadang “ya” atau “tidak”. Sering pula aku mendekati dan memijati tangannya. Sebagai tanda sayang dari cucunya yang paling nakal. Hingga pada suatu hari Simbah berbicara padaku, “Jaga rukun, jaga kasih sayang dengan saudaramu”. “Ya Mbah !”, jawabku dengan hati berbunga-bunga. Tetap ku lanjutkan memijati tangan Simbah, dengan senyum manis ku tatap lagi Simbah. Dua minggu telah berlalu, sore ini udara sangat tenang. Matahari masih menunjukkan sinarnya, jam sendiri sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Semua tujuh saudara ada di rumah, dan bersama Ayah serta Ibu berkumpul menemani Simbah. Terkecuali aku, Kak Fitri, dan Zuli yang sibuk di teras depan rumah. Seperti biasa Kak Fitri menyirami taman tiap sorenya. Aku sendiri, sibuk menyapu lantai teras rumah. Sedikit-sedikit ku main-main dengan Zuli, saling ejek satu sama lain hingga terdengar sampai kamar Simbahku. Ibuku sempat keluar dan menegur kami, agar kami tidak ramai karena keadaan Simbah yang semakin kritis. Setelah beberapa menit Ibuku masuk ke dalam rumah, terdengar isak tangis dari kamar Simbah. Aku, Kak Fitri, serta Zuli tetap santai di teras rumah tanpa berpikir, apa yang terjadi di dalam sana?

Tak lama kemudian Kak Pendi keluar dari dalam rumah dan menunggangi motor yang ada di dekat taman, tempat Kak Fitri menyiraminya. Tak ada yang menyangka, Kak Pendi meneteskan air matanya. Aku fikir matanya kena debu dan ia pun meneteskan air matanya untuk menghilangkan debu itu dari matanya. Tapi, ketika Kak Fitri bertanya, dan apa jawabannya sangat mengejutkan buat kami. “Simbah telah tiada”, kata Kak Pendi lirih, kemudian pergi membawa motor. Sontak, Kak Fitri menangis, dan berlari menuju kamar Simbahku, “Mbaaa.......h”, teriak Kak Fitri. Ia pun memeluk jenazah Simbah, dan terus menangis. Aku tak kuasa melihat air mata Kak Fitri ketika mengikutinya bersama Zuli dari teras rumah. Inilah akhir dari hidup, sebuah kematian yang tidak dapat dihindari. Kini, ku harus menanggung tanggung jawab besar kepada saudara-saudaraku. Aku pegang janji besar kepada Simbahku. Simbahku telah tiada, tinggallah jasadnya yang masih terlelap disini. Air mata mengiringi kepergiannya. Tiada yang menyangka Simbah yang kami sayangi telah pergi meninggalkan dunia ini. Tiada lagi kata terindah yang ku ucapkan padanya, kecuali air mata yang mengalir. Tiada lagi kisah mudanya yang aku dengar, selain kisah setelah hidup adalah mati. Semua kisah dan hidup pasti berakhir pada kematian. Itu semua mengingatkanku pada almarhum. Kini, bersama amanat serta mimpi, ku jalani hari-hariku dengan penuh semangat. Ku sadari kebahagiaan terindah ketika ku berada pada senyuman indah semua saudara-saudaraku. Bukan ratapan air matanya.

SEKIAN

Related Documents

Amanat
November 2019 14
Amanat Ali
November 2019 16
Amanat Marga
November 2019 41
Amanat Kpm 2019.docx
December 2019 22

More Documents from ""