Mengenal “Informed Consent” In Karya Ilmiah on November 1, 2007 at 1:36 pm
“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya. Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan sebagai “suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi. Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsure sebagai berikut : Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan. Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan “informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan. Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu : 1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent); 2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien; 3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. TUJUAN PELAKSANAAN INFORMED CONSENT Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan “informed consent”, bertujuan : Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang
sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya; Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya. Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut : 1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia 2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri 3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien 4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter 5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional 6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan 7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan. Pada prinsipnya iformed consent deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut : 1. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi 2. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya. 3. dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll. 4. dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien 5. dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan eksperimen dengan berobjekan pasien. ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak. Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan. Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”. Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat”
(culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana. Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya; Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP. Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
1. Persetujuan Dokter dan Pasien Persetujuan antara dokter dan pasien untuk membentuk suatu ikatan merupakan kunci untuk membuka pintu berlanjutnya hubungan dokter pasien. Tidak ada saling setuju, maka tidak ada hubungan dokter pasien. Ada tidaknya persetujuan merupakan dasar untuk mengatakan apakah hubungan itu muncul atas dasar kesadaran atau paksaan dari masing-masing pihak. Adanya persetujuan merupakan landasan kalau hubungan itu terbentuk dengan adanya kesadaran dari para pihak dan keterbukaan dari para pihak, juga kesadaran para pihak yang bersetuju untuk menerima kelemahan dan kelebihan masing-masing. Adanya unsur paksaan dan penipuan jelas akan mengotori kemurnian asas keterbukaan atau kejujuran, hal mana jelas perbuatan itu merupakan perbuatan immoral dan akan membuat hubungan antara dokter pasien manjadi batal. Persetujuan antara dokter dan pasien dalam HDP tidak hanya terjadi sekali saja. Saling setuju yang pertama kali merupakan bentuk persetujuan untuk memulai adanya kontrak terapetik. 1.1 - Aspek Waktu dalam Saling-setujuTidak ada suatu perjanjian yang tidak menyebutkan waktu sebagai bagian dari
hubungannya. Waktu yang mungkin dapat diperjanjikan oleh seseorang kepada pihak lain yang paling panjang adalah sepanjang dirinya masih hidup. Jadi umumnya faktor waktu ini akan dipertegas berapa lama. Demikian juga tentunya dalam kontrak terapetik. Saling setuju dalam kontrak terapetik pada awalnya adalah untuk hanya untuk menegaskan bahwa antara dokter dan pasien sudah 'deal' untuk melakukan hubungan atau ikatan yang disebut kontrak terapetik. Adanya saling setuju dari para pihak (dokter dan pasien) maka dokter akan melakukan tindakan selanjutnya. Tindakan dokter dalam HDP, diawali dengan anamnesa, kemudian pemeriksaan fisik, jika dokter merasa perlu penegasan dengan pemeriksaan penunjang (laboratorium klinik, foto diagnostik, dll), maka dokter akan menyampaikan maksudnya tersebut kepada pasien. Saling setuju pada awal pertemuan dokter pasien merupakan awal waktu dimulainya ikatan / hubungan dokter pasien dan merupakan persetujuan atau saling setuju untuk yang pertama kali. Untuk selanjutnya, proses pelayanan kesehatan diberikan oleh dokter berjalan terus seiring dengan waktu sampai hubungan dokter pasien tersebut putus atau selesai. Selama proses pelayanan diberikan oleh dokter maka dokter mungkin akan minta persetujuan dari pasien jika akan melakukan tindakan dalam rangka pengobatan ataupun diagnostik. Misalnya dokter akan melakukan pemeriksaan foto thorak, maka disampaikan kepada pasien maksud dan tujuan dari tindakan diagnostik foto thorak tersebut. Dalam hal ini, maka saling setuju muncul lagi tapi tidak untuk membentuk ikatan dokter pasien, saling setuju dibentuk ditujukan untuk melakukan tindakan foto thorak. Jika pasien setuju maka dokter memberikan surat pengantar untuk dilakukan foto thorak tersebut. Dengan demikian pada proses perjalanan hubungan dokter pasien terjadi saling setuju lagi. Hanya saja dalam hal ini dokter mulai mendapat beban untuk menerangkan maksud dari tindakan yang akan dilakukannya kepada pasien. Oleh karena kehendak untuk dilakukan foto ronsen tersebut datang dari dokter maka otomatis dalam hal ini posisi dokter sudah ada di 'setuju', sementara pasien belum ada di posisi setuju. Pasien akan memberikan persetujuan jika dokter sudah menerangakan maksud, manfaat dari tindakan foto ronsen thorax itu. Setelah pasien faham, maka pasien baru membuat pertimbangan untuk memberi persetujuan atau tidak. Maka, jika pasien menyetujui untuk difoto terbentuklah 'saling setuju'. Demikian saling setuju dapat terbentuk berulang kali sesuai dengan kebutuhan. 1.2 - Berapa kali saling setuju itu akan terbentukSampai berapa kali akan terbentuk saling setuju antara dokter pasien itu? Secara pasti jelas tidak dapat ditetapkan. Tapi dapat saja dicoba untuk dihitung berapa kali sebenarnya saling setuju itu akan terbentuk dalam suatu hubungan dokter pasien untuk kegiatan yang paling sederhana sekali misalnya. Jika pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang misalnya. Jadi, hubungan antara dokter dengan pasien hanya berjalan sederhana, yaitu pasien datang ke praktik dokter, maka terjadi saling setuju yang pertama kali (1), kemudian dokter
memeriksa pasien dengan mengukur tekanan darah pasien. Dokter menyuruh pasien untuk membuka lengan atasnya, pasien membuka lengan atasnya, maka terjadi saling setuju yang ke-dua (2), memeriksa perut, dada, jantung, mata, hidung, telinga, dan fisik lainnya, naggap saja itu saling setuju yang ke-tiga (3), dokter kemudian membuat resep dan menanyakan sediaan apa yang disukai pasien dan kemudian pasien minta diberi kapsul saja,maka terjadi salling setuju yang ke-empat (4), kemudian pasien pulang. Mudahnya saja, disini di dalam hubungan dokter pasien tersebut hanya terjadi empat kegiatan yang mereka lakukan dengan saling setuju. Boleh jadi peristiwa saling setuju itu terjadi berkali-kali dan sulit dihitung karena sifat saling setuju yang tersirat itu (implied consent). Jika saling setuju tampak (express consent) maka akan mudah untuk dihitung. Terpenting untuk diketahui oleh dokter adalah bahwa tindakan dalam bentuk apapun yang dilakukan dokter kepada pasien harus disertai adanya persetujuan pasien. Hal ini merupakan perwujudan dari hak asasi manusia yaitu hak atas informasi (righ to information) dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri (right to self determination), ynag merupak dasar yang sering terjadi dalam peristiwa hubungan dokter pasien. Dokter kemudian juga tidak perlu terlalu takut, karena bentuk persetujuan yang terbentuk dalam hubungan dokter pasien tidaklah selalu express consent, sebagian besar bentuk persetujuan tersebut dalam bentuk implied consent yaitu bentuk persetujuan yang tidak nyata adanya 'kata setuju' atau 'adanya tanda tanganpada lembar blangko informed consent' tetapi persetujuan yang tampak dengan adanya kelangsungan pelayanan kesehatan yang dilakukan dokter kepada pasien, sampai hubungan dokter pasien itu berhenti. 1.3 - Mungkinkah 'tidak ada' saling setuju pada HDP?Pada prinsipnya tidak mungkin. Saling setuju antara dokter dengan pasien harus terbentuk terlebih dahulu untuk dapat melanjutkan ke jenjang kontrak terapetik selanjutnya yaitu pelayanan kesehatan. Pada pasien yang tidak sadar jika ada keluarganya atau walinya atau penolongnya, maka persetujuan dilakukan dengan pihak keluarganya atau walinya atau penolongnya. Atau jika tidak siapapun dan ditemukan korban sendirian maka saling setuju otomatis terjadi antara dokter dengan pasien melalui konsep 'ius delicto', pada kasus demikian itu maka pasien dianggap sudah menyetujui tindakan dokter, dan dokter tetap harus bekerja dengan profesional. Jadi, tidak mungkin lahir suatu hubungan dokter pasien jika belum ada saling setuju antara dokter dengan pasien. 1.4 - Persetujuan yang pertama kaliPersetujuan yang pertama kali terjadi antara dokter dengan pasien bukanlah informed consent. Persetujuan yang pertama kali terjadi lebih banyak karena adanya kehendak dari pasien. Pada awal akan ada hubungan dokter pasien, peranan pasien untuk membuat hubungan adalah aktif. Pasienlah yang
berkehendak untuk mengadakan ikatan. Juga, pada saling setuju yang pertama ini dokter belum pernah melakukan transfer informasi kepada pasien. Pasien akan memilih dokter mana yang akan dikunjungi dengan berbagai pertimbangan yang sudah disusun sebelumnya oleh pasein dan keluarganya. Boleh jadi pasien akan memilih dokter yang dekat dengan lokasi rumahnya. Pasien memilih dokter yang sama sejenis. Pasein memilih dokter yang ahli di bidang sakitnya. Atau pasien memilih dokter karena dokter itu terkenal murah, atau terkenal cepat sembuh kalau berobat kesana, dan lain sebagainya. Jadi, posisi pasien pada awal akan melakukan kontrak terapetik memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dari dokter. Sementara dokter dalam hal ini adalah pasif. Dokter menunggu adanya pasien datang. Miskipun tidak semua dokter demikian tetapi posisi pasien pada awal hubungan adalah memilih dokter. Setelah pasien mendapatkan dokter yang dirasa cocok, maka pasien akan mendatangi dokter tersebut, kemudian pasien akan menyampaikan permasalahannya. Sampai pada tingkat ini boleh jadi, posisi pasien masih dominan. Tetapi, setelah dokter mendengar keluhan pasien dan dengan berbagai pertimbangan maka dokkter akan menentukan, apakah dokter merasa cocok dengan pasien ini atau tidak dan jika dokter cocok maka dokter akan 'deal' dengan pasien ini untuk melakukan HDP atau tidak. Jika dokter setuju, maka terlahirlah hubungan dokter pasien. Persetujuan tersebut dapat berbentuk implied consent atau dapat juga berbentuk express consent. Setelah itu dokter akan menanyai pasien atau anamnesa, memeriksa pasien (fisik diagnostik), memberi pengantar untuk periksa darah, dan lain sebagainya. Hal mana itu semua menunjukan kalau sudah ada 'deal awal' atau saling setuju antara pasien dengan dokter. 2. Informed Consent Informed artinya sudah mendapat informasi, sudah memperoleh informasi, sudah diberi informasi. Consent artinya persetujuan. Sehingga arti informed consent adalah persetujuan yang sudah didasari adanya informasi, sudah didasari pengertian dan pemahaman akan tindakan yang akan disetujui. Jadi,.. jika pasien menandatangani blanko informed consent akan sebuat tindakan yang akan dilakukan pada dirinya, berarti pasien memberikan persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan pada dirinya, dan sudah mendapat informasi tentang tindakan yang akan dilakukan oleh dokter pada dirinya tersebut, untung ruginya dilakukannya tindakan itu, resikonya, biaya dan lain sebagainya. Masalah informasi dalam HDP merupakan hal yang sangat penting. Untuk itu penanganan perihal informasi medis perlu pertimbangan untuk dibentuk suatu badan khusus. 2.1 Definisi Definisi informed consent adalah ○
Persetujuan yang sudah didasari adanya informasi, sudah didasari
pengertian dan pemahaman akan tindakan yang akan disetujui. ○
Pernyataan setuju terhadap tindakan diagnostik / terapetik, setelah mendapat penjelasan tentang tujuan, resiko, alternatif tindakan yang akan dilakukan, serta prognosis penyakit jika tindakan itu dilakukan / tidak dilakukan.
○
Pada Bab I butir Id. Pedoman Persetujuan Tindakan Medik, disebutkan bahwa : Informed Consent terdiri dari kata informed yang berarti telah mendapat informasi dan Consent berarti persetujuan (ijin).
Ada perbedaan penekanan antara informed consent ini dengan persetujuan dalam kontrak terapetik (sesuai pasal 1320 KUH perdata). Informed Consent dalam profesi kedokteran (juga tenaga kesehatanan lainnya) adalah pernyataan setuju (consent) atau ijin dari pasien yang diberikan dengan bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi cukup tentang tindakan kedokteran yang dimaksud. 2.2 - Dasar hukum informed consent ○
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585 / MENKES 1 PER / IX / 1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik, yang pedoman pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor: HK.00.063.5.1866 Tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik ( Informed Consent ) tanggal 21 April 1999.
○
SK. Dirjen YANMED. No. YM 00.03.2.6.956 Tentang Hak dan Kewajiban Pasien Dan Perawat.
○
Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Nomor : YM.02.04.3.5.2504 tanggal 10 Juni 1997 Tentang Pedoman Hak Dan Kewajiban Pasien, Dokter Dan Rumah Sakit.
○
Pasal 45 (1) UUPRADOK.
2.3 - Persetujuan tindakan medikPersetujuan tindakan medik (PERTINDIK) wujud formalnya merupakan lembaran, disitu pasien bertanda- tangan sebagai bukti persetujuan.(SK dirjen pelayanan medik no HK 00.06.3.5.1866, tentang Persetujuan Tindakan Medik). Pertindik sebagai pengganti istilah informed consent, sebenarnya kurang lengkap karena tidak tuntas mencerminkan isi informasi yang harus diberikan oleh dokter. 2.4 - Persetujuan tindakan kedokteranKonsil Kedokteran Indonesia tahun 2006 menerbitkan istilah persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi. Hanya saja istilah tersebut hanya merupakan
namalain dari informed consent, hal ini dapat dilihat di Buku Kemitraan yang juga telah diterbitkan oleh KKI. Disebutkan di dalam Manual Persetujuan Tiindakan Kedokteran: Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi: a. Adalah persetujuan pasien atau yang sah mewakilinya atas rencana tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang diajukan oleh dokter atau dokter gigi, setelah menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan. b. Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi adalah pernyataan sepihak dari pasien dan bukan perjanjian antara pasien dengan dokter atau dokter gigi, sehingga dapat ditarik kembali setiap saat. c. Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi merupakan proses sekaligus hasil dari suatu komunikasi yang efektif antara pasien dengan dokter atau dokter gigi, dan bukan sekedar penandatanganan formulir persetujuan. Sebagai tambahan juga di dalam Buku Kemitraan KKI menyebutkan, persetujuan tindakan kedokteran (Informed consent) adalah proses komunikasi antara pasien dan dokter, dimulai dari pemberian informasi kepada pasien tentang segala sesuatu mengenai penyakit dan tindakan medis yang akan dilakukan, pasien memahaminya, dan kemudian memutuskan persetujuannya. Disebutkan dalam manual persetujuan tindakan kedokteran tersebut bahwa persetujuan tindakan kedokteran adalah pernyataan sepihak pasien atau yang sah mewakilinya yang isinya berupa persetujuan atas rencana tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang diajukan oleh dokter atau dokter gigi, setelah menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan atau penolakan. 2.5 - Penatalaksanaan informed consent2.6 - Isi informed consentMenurut Bab II butir 4 Pedoman di atas informasi dan penjelasan dianggap cukup (adekuat) jika paling sedikit enam hal pokok di bawah ini disampaikan dalam memberikan informasi dan penjelasan, yaitu :
Informasi dan penjelasan tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medik yang akan dilakukan (purpose of medical procedures).
lnformasi dan penjelasan tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (contemplated medical prosedures).
Informasi dan penjelasan tentang tentang risiko (risk inherent in such medical prosedures) dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Informasi dan penjelasan tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan serta risikonya masing-masing (alternative medical prosedure and risk),
Informasi dan penjelasan tentang prognosis penyakit apabila tindakan medis tersebut dilakukan (prognosis with and without medical procedure).
Diagnosis.
2.7 - Kapan informed consent dilakukan? Informed consent akan dilakukan pasien setelah pasien melakukan saling setuju untuk yang pertama kali dengan dokter. Persetujuan pasien di dalam 'saling setuju yang kedua dan seterusnya' terhadap tindakan dokter yang akan dilakukan pada pasien, itulah yang nantinya disebut informed consent. Sehingga, terjadinya informed consent adalah setelah ada deal antar pasien dan dokter untuk melakukan hubungan. Informed consent itu adalah persetujuannya pasien terhadap tindakan medik yang akan dilakukan dokter pada tubuhnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa informed consent itu adalah persetujuan sepihak, yaitu persetujuan yang dibuat pasien. Memperhatikan hal tersebut maka, informed consent dapat dilakukan berkali-kali dan dilakukan setiap akan ada tindakan dokter pada pasiennya. 2.8 - Sampai Berapa Lama Persetujuan Berlaku? Perlu ditegaskan lagi bahwa persetujuan pada waktu pertama kali bukanlah informed consent, melainkan persetujuan untuk melakukan kontrak terapetik. Pada peristiwa ini maka persetujuan akan ditutup bersamaan dengan ditutupnya kontrak terapetik, hal mana ditandai dengan adanya pelunasan dari biaya pemeriksaan dokter oleh pasien (dilihat dari konsep kontrak jual beli jasa). Bilamana pasien datang lagi, misalnya waktu kontrol maka tetap akan dikenai biaya jasa pemeriksaan lagi oleh dokter, karena merupakan bentuk kontrak baru lagi. Kemudian bagaimana dengan persetujuan tindakan kedokteran? Jelas disebutkan disini adalah persetujuan untuk tindakan kedokteran, bukan persetujuan untuk kontrak terapetik. Pada peristiwa kedua ini maka adanya persetujuan didasarkan adanya peristiwa informasi sehingga disebut dengan informed consent. Pada buku Pedoman Persetujuan Tindakan Kedokteran / Gigi, KKI menyebutkan: "Tidak ada satu ketentuan pun yang mengatur tentang lama keberlakuan suatu persetujuan tindakan kedokteran'. Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah sampai dicabut kembali oleh pemberi persetujuan atau pasien. Namun demikian, bila informasi baru muncul, misalnya tentang adanya efek samping atau alternatif tindakan yang baru, maka pasien harus diberitahu dan persetujuannya dikonfirmasikan lagi. Apabila terdapat jedah waktu antara saat pemberian persetujuan hingga dilakukannya tindakan, maka alangkah lebih baik apabila ditanyakan kembali apakah persetujuan tersebut masih berlaku. Hal-hal tersebut pasti juga akan membantu pasien, terutama bagi mereka yang sejak awal memang masih ragu-ragu atau masih memiliki pertanyaan." Untuk keterangan KKI tersebut, penulis setuju, karena yang dimaksud adalah
persetujuan dalam rangka "tindakan medik". Untuk hal seperti ini istilah informed consent lebih penulis sukai, mengingat aspek informasi memegang peranan pokok untuk munculnya saling setuju dalam hubungan dokter pasien. 2.9 - Bentuk informed consentBentuk informed consent dapat tersembunyi (implied conset) dan yang terwujud (express consent). Bentuk dari infoermed consent yang tersembunyi, merupakan bentuk yang paling sering terjadi, karena di dalam hubungan dokter pasien proses pelayanan dokter kepada pasien berupa anamnesa, pemeriksaan, dan tindakan-tindakan medis yang sering terjadi sudah dianggap sebagai kebiasaan oleh pasien dan dokter sehingga perwujudan informed consent merupakan hal yang tidak umum. Bentuk informed consent yang tersembunyi tersebut tidak menghilangkan hakekat dari adanya saling setuju antara dokter dengan pasien. Bahkan dengan tersembunyinya bentuk informed consent tersebut menunjukkan adanya kedalaman dari masing-masing pihak akan pemahaman dari tugas dan tanggungjawab masing-masing pihak. Hanya saja, pada perkembangannya seiring dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknolgi kedokteran mengakibatkan beberapa kondisi yang menuntut semakin seringnya mewujudkan informed consent tersebut. Hal tersebut misalnya adalah: ○
semakin jauhnya masyarakat dari iptek kedokteran. Hal ini terjadi karena perkembangan iptek kedokteran yang cepat.
○
semakin banyaknya alternatif pilihan terapi dan diagnostik.
○
semakin tingginya kesadaran masyarakat akan hak-hak pasien.
○
perkembangan ilmu hukum yang mendorong masyarakat untuk sadar akan posisinya dalam hubungan dokter pasien.
○
kesadaran dokter akan aspek hukum dari tindakan medis.
Informed consent yang terwujud dapat berupa oral consent (terucap) dan writen consent (tertulis). Bentuk oral consent ini terwujud dengan kata-kata persetujuan dari pasien terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh dokter. Bentuk oral consent ini lebih sering terdapat jika dibanding dengan yang writen consent. Bentuk yang tertulis ini banyak dipakai untuk tidakan yang bersifat infasiv, seperti tindakan operasi, tindakan diagnostik (foto dengan kontras), dan tindakan dengan biaya mahal dan lain sebagainya. Untuk kepentingan rekam medik ada baiknya untuk selalu mencatat persetujuan dari pasien yang berupa kata 'setuju' ke dalam lembaran rekam medik saat dokter visite. Demikian juga misalnya tindakan keperawatan yang akan dilakukan perawat dalam rangka pelayanan keperawatannya harus menyertakan adanya informed consent dalam setiap tindakan keperawatannya. Baik dalam bentuk yang tersembunyi ataupun bentuk yang terwujud.
2.10 - Kewajiban memberi penjelasanBab II butir 5 Kep Dirjen Yanmed Pedoman Pertindik menyebutkan bahwa : Dokter yang akan melakukan tindakan medik mempunyai tanggung jawab utama memberikan informasi dan penjelasan yang diperlukan. Apabila berhalangan, informasi dan penjelasan yang harus diberikan dapat diwakilkan kepada dokter lain dengan sepengetahuan dokter yang bersangkutan. Pasal 6 PERMENKES TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK menyebutkan: (1) Dalam hal tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya, informasi harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi itu sendiri (2) Datam keadaan tertentu dimana tidak ada dokter sebagaimana dimaksud ayat informasi harus diberikan oleh dokter lain dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. (3) Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan yang tidak invasif lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. 2.11 - Sahnya suatu informed consentSuatu persetujuan dianggap sah apabila: a. Pasien telah diberi penjelasan/ informasi b. Pasien atau yang sah mewakilinya dalam keadaan cakap (kompeten) untuk memberikan keputusan/persetujuan. c. Persetujuan harus diberikan secara sukarela (tidak ada unsur paksaan) d. Tidak boleh ada unsur penipuan. Seperti pada syarat sahnya suatu kontrak, hal mana di dalamnya disebutkan salah satu unsur untuk sahnya suatu kontrak yaitu adanya saling setuju. maka untuk sahnya informed consent itu juga mengacu pada ketentuan yang sama dengan konsep saling setuju seperti yang terdapat dalam kontrak terapetik. Menekankan hanya pada adanya tanda-tangan persetujuan tindakan kedokteran akan menjebak dokter hanya bekerja secara formal tanpa ada beban moral dari pekerjaannya. Bahkan dokter dapat saja terbawa oleh susana formalitas dari pekerjaannya itu. Padahal yang terpenting adalah munculnya kesadaran dari pasien tindakan dokter itu tidak menjanjikan hasil, dokter hanya berusaha dengan iptek yang saat ini ada. Memang bukti formal berupa selembar kertas yang ditanda-tangi itu sangat penting, terlebih jika dikaitkan dengan aspek hukum perdata, tetapi dilihat dari aspek pidana, yang melihat kebenaran tidak hanya dari aspek formal, tapi kebenaran adalah kebenaran material, maka bukti formal saja tidak mencukupi. Maka, perhatian dokter terhadap masalah informed consent ini harus proporsional. Kemudian juga harus disampaikan resiko-resiko yang mungkin dapat terjadi dari tindakan yang akan dilakukan dokter. Untuk itu sangat penting diupayakan agar persetujuan juga mencakup apa yang harus dilakukan jika terjadi peristiwa
yang tidak diharapkan dalam pelaksanaan tindakan kedokteran tersebut. Persetujuan harus diberikan secara bebas, tanpa adanya tekanan dari manapun, termasuk dari staf medis, saudara, teman, polisi, petugas rumah tahanan/Lembaga Pemasyarakatan, pemberi kerja, dan perusahaan asuransi. Bila persetujuan diberikan atas dasar tekanan maka persetujuan tersebut tidak sah. Pasien yang berada dalam status tahanan polisi, imigrasi, LP atau berada di bawah peraturan perundangundangan di bidang kesehatan jiwa/mental dapat berada pada posisi yang rentan. Pada situasi demikian, dokter harus memastikan bahwa mereka mengetahui bahwa mereka dapat menolak tindakan bila mereka mau. 2.12 - Cara memberi informasiBab II butir 6 Pedoman Persetujuan Tindakan Medik menyebutkan : Informasi dan penjelasan disampaikan secara lisan. Informasi dan penjelasan secara tulisan dilakukan hanya sebagai pelengkap penjelasan yang telah disampaikan secara lisan. Pada pasal 4 dan 5 PERMENKES TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK disebutkan dalam pasal 4 dan 5 bahwa : Pasal 4. (1) Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta. (2) Dokter harus memberikan informasi seiengkap- tengkapnya, kecuali biIa dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kesehatan pasien atau pasien menolak diberi informasi. (3) Dalam hal sebagaimana dimaksud aya (2) dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh perawat sebagai saksi. Pasal 5. (1) Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang akan dilakukan, balk diagnostik maupun terapeutik. (2) Informasi diberikan secara lisan_ (3) Informasi harus diberikan secara jujur dan benar kecuali bila dokter menilai bahwa hal itu dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. (4) Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (3) dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat pasien. CATATAN Istilah kedokteran tidak boleh dipakai dalam memberikan informasi dan penjelasan karena mungkin tidak dimengerti oleh orang awam agar supaya tidak terjadi salah pengertian sehingga mengakibatkan masalah yang serius. Informasi harus diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan, kondisi dan situasi
pasien. 2.13 - Pihak yang memberikan informasi. Pihak yang wajib memberikan informasi adalah dokter atau tenaga kesehatan lain yang akan langsung memberikan tindakan tersebut kepada pasien. Adalah tanggung jawab dokter pemberi perawatan atau pelaku pemeriksaan/tindakan untuk memastikan bahwa persetujuan tersebut diperoleh secara benar dan layak. Dokter memang dapat mendelegasikan proses pemberian informasi dan penerimaan persetujuan, namun tanggung jawab tetap berada pada dokter pemberi delegasi untuk memastikan bahwa persetujuan diperoleh secara benar dan layak. Jika seseorang dokter akan memberikan informasi dan menerima persetujuan pasien atas nama dokter lain, maka dokter tersebut harus yakin bahwa dirinya mampu menjawab secara penuh pertanyaan apapun yang diajukan pasien berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan terhadapnya untuk memastikan bahwa persetujuan tersebut dibuat secara benar dan layak. 2.14 - Pihak Yang Berhak Menyatakan Persetujuan. Dalam Pedoman Persetujuan Tindakan medik hal ini diatur dalam pasal 7. yaitu : a. Pasien sendiri, yaitu apabila pasien telah berumur 21 tahun atau telah menikah. b. Bagi pasien dibawah umur 21 tahun, Persetujuan (informed consent) atau Penolakan Tindakan Medik diberikan oleh mereka menurut hak sebagai berikut: (1) Ayah / ibu kandung. (2) Saudara-saudara kandung. c. Bagi yang dibawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya berhalangan hadir, Persetujuan (informed consent) atau Penolakan Tindakan Medis diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut : (l) Ayah/ibu adopsi. (2) Saudara-saudara kandung. (3) Induk semang. d. Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, Persetujuan (informed consent) atau Penolakan Tindakan Medis diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut : ( 1 ) Ayah/ibu kandung. (2)
Wali yang sah.
(3)
Saudara-saudara kandung.
e. Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatelle), Persetujuan atau Penolakan Tindakan Medik di berikan menurut urutan hak sebagai berikut: (1) Wali. (2) Curator.
f. Bagi pasien dewasa yang telah menikah / orang tua, persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut : a. Suami/istri. b. Ayah/ibu kandung. c. Anak-anak kandung. d. Saudara-saudara kandung. CATATAN. Yang dimaksud dengan beberapa pengertian dibawah ini berdasarkan Bab I butir 4 Pedoman Persetujuan Tindakan Medik : l. Ayah : -Ayah kandung. Termasuk "Ayah" adalah ayah angkat yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan atau berdasarkan Hukum Adat. 2. Ibu
:-Ibu kandung.
Termasuk " lbu " adalah ibu angkat yang ditetapkan berdasarkan Hukum Adat. 3. Suami :- Seorang laki-laki yang dalam ikatan perkawinan dengan seorang perempuan berdasarkan peraturan perundang - undangan yang berlaku. 4.lsteri :- Seorang perempuan yang dalam ikatan perkawinan dengan seorang lakilaki berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila yang bersangkutan mempunyai lebih dari l (satu) isteri, persetujuan /penolakan dapat dilakukan oleh salah satu dari mereka. 5. Wali: - Adalah yang menurut hukum menggantikan orang lain yang belum dewasa untuk mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum atau yang menurut hukum menggantikan kedudukan orang tua. 6. Induk semang : adalah orang yang berkewajiban untuk mengawasi serta ikut bertanggung jawab terhadap pribadi orang lain seperti pimpinan asrama dari anak perantauan atau kepala rumah tangga dari seorang pembantu rumah tangga yang belum dewasa. Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka setiap orang yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap sebagai orang yang sudah bukan anakanak. Dengan demikian mereka dapat diperlakukan sebagaimana orang dewasa yang kompeten, dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan. Miskipun demikian untuk anak yang berumur dibawah 18 tahun, jika memerlukan tindakan darurat maka pertolongan tetap harus diberikan dalam rangka mencegah timbulnya kecacatan, atau kerusakan lebih lanjut jika tidak diberi tindakan segera. Kemudian jika usianya dibawah 18 tahun, tapi memungkinkan untuk dapat mengerti dan memahami sifat dari persetujuan itu (dalam rangka untuk memenuhi
hak asasi manusia) maka dibolehkan untuk melakukan persetujuan asal dilakukan pada tindakan yang tidak beresiko tinggi. 2.15 - Kompetensi pasien dalam persetujuan Berkaitan dengan masalah kompetensi dalam memberikan persetujuan, maka pengertian kompeten dari pasien itu perlu diurai, sampai sejauh mana sehingga dapat disebut kompeten, perlu ditetapkan pedoman garis besarnya demi untuk kepastian hukum. Di dalam pedoman persetujuan tindakan kedokteran KKI menyebutkan ada 3 kriteria, yaitu seseorang (pasien) dianggap kompeten untuk memberikan persetujuan, apabila: ○
Mampu memahami informasi yang telah diberikan kepadanya dengan cara yang jelas, menggunakan bahasa yang sederhana dan tanpa istilah yang terlalu teknis.
○
Mampu mempertahankan pemahaman informasi tersebut untuk waktu yang cukup lama dan mampu menganalisisnya dan menggunakannya untuk membuat keputusan secara bebas.
○
Mampu mempercayai informasi yang telah diberikan.
Miskipun pada pasien sudah disampikan informasi, ada baiknya untuk tetap dilakukan cek silang dengan keluarganya akan sikap dari pasien tersebut. Hal ini untuk memberikan kepastian juga pada keluarga bahwa apa yang disampaikan pasien itu benar, sudah disadari dan dimaklumi juga oleh keluarga. Karena, penuntutan tidak selalu muncul dari pasien, tapi dapat juga termotivasi oleh sikap keluarga yang merasa tidak puas terhadap pelayanan kesehatan yang diterima oleh pasien. Sehingga tetap diperlukan kehadiran daripihak keluarga untuk menjadi saksi atas persetujuan tindakan yang akan dilakukan dokter kepada pasien.. 2.16 - Cara Memberikan Persetujuan. Bab II butir 8 Pedoman Persetu,juan Tindakan Medik menyebutkan bahwa cara pasien menyatakan persetujuan dapat secara : 1. tertulis (express) maupun, 2. lisan (implied). Persetujuan tertulis mutlak diperlukan pada tindakan medis yang mengandung risiko tinggi, sedangkan persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan medis yang tidak mengandung risiko tinggi. Lebih lanjut KKI dalam buku petunjuknya menjelaskan memberikan petunjuk bahwa persetujuan tertulis diperlukan pada keadaan-keadaan sbb: Bila tindakan terapetik bersifat kompleks atau menyangkut risiko atau efek samping yang bermakna. -
Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien -
Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.
Pasal 45 UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ayat (5) menyatakan bahwa " Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan." 2.17 - Penolakan Tindakan Kedokteran (Informed Refusal) Persetujuan akan tindakan yang sedang direncanakan mutlak ada ditangan pasien. Jadi setelahpasien menerima informasi dari dokter atau yang bertugas untuk memberikan keterangan, maka selanjutnya psien akan bersikap, menerima atau menolak. Penolakan (refusal) pasien tersebut dapat disebut juga dengan istilah penolakan tindakan kedokteran atau penolakan tindakan medik atau informed refusal. Pada pasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya dan mempercayainya dan mampu membuat keputusan) berhak untuk menolak suatu pemeriksaan atau tindakan kedokteran. Penolakan itu boleh logis boleh juga tidak, sebab penolakan yang terjadi merupakan resiko pasien, hal mana resiko akibat dari penolakan itu diterangakan sebelumnya oleh dokter kepada pasien atau keluarganya.. Kalau hal seperti ini terjadi dan bila konsekuensi penolakan tersebut berakibat serius maka keputusan tersebut harus didiskusikan dengan pasien, tidak dengan maksud untuk mengubah pendapatnya tetapi untuk mengklarifikasi situasinya. Untuk itu perlu dicek kembali apakah pasien telah mengerti informasi tentang keadaan pasien, tindakan atau pengobatan, serta semua kemungkinan efek sampingnya. Kenyataan adanya penolakan pasien terhadap rencana pengobatan yang terkesan tidak rasional bukan merupakan alasan untuk mempertanyakan kompetensi pasien. Meskipun demikian, suatu penolakan dapat mengakibatkan dokter meneliti kembali kapasitasnya, apabila terdapat keganjilan keputusan tersebut dibandingkan dengan keputusan-keputusan sebelumnya. Dalam setiap masalah seperti ini rincian setiap diskusi harus secara jelas didokumentasikan dengan baik. 2.18 - Penundaan dan Pembatalan Persetujuan Berhubungan dengan perihal penolakan tindakan kedokteran, pasien juga memiliki hak untuk menunda bahkan membatalkan persetujuan yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata menghormati hak pasien yang berdiri atas dasar hak untuk menentukan nasbnya sendiri (right to self determination). Pedoman tentang yang dikeluarkan KKI juga menyebutkan, persetujuan suatu tindakan kedokteran dapat saja ditunda pelaksanaannya oleh pasien atau yang memberikan persetujuan dengan berbagai alasan, misalnya terdapat anggota keluarga yang masih belum setuju, masalah keuangan, atau masalah waktu
pelaksanaan. Dalam hal penundaan tersebut cukup lama, maka perlu di cek kembali apakah persetujuan tersebut masih berlaku atau tidak. Pengecekan diperlukan untuk menilai lagi adakah tindakan medik yang dilakukan itu masih layak mengingat perjalanan waktu sakit, sehingga dimungkinkan adanya perubahan kondisi dari pasien. Juga, juga diperlukan apakah pasien masih ingat akan resiko dari tindakan yang akan dilakukan. Memperhatikan hal ini, jika ditemukan hal- hal yan gkurang pas karena adanya perubahan, maka ada baiknya dibuat bentuk persetujuan baru sesuai dengan kondisi yang ada sekarang. Selain penundaan juga dimungkin pasien melakukan pembatalan terhadap tindakan medik yang sudah disetujuinya. Pada dasarnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan mereka dengan membuat surat atau pernyataan tertulis pembatalan persetujuan tindakan kedokteran. Pembatalan tersebut dapat dilakukan selama pasien memiliki kesadaran penuh. Jika pasien sudah dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh pembiusan tentunya pembatalan tidak akan dapat dilakukan. Pasien harus diberitahu bahwa pasien bertanggungjawab atas akibat dari pembatalan persetujuan tindakan. Oleh karena itu, pasien harus kompeten untuk dapat membatalkan persetujuan. Menentukan kompetensi pasien pada beberapa situasi seperti pasien menderita nyeri, syok atau pengaruh obat-obatan dapat mempengaruhi kompetensi pasien dan kemampuan dokter dalam menilai kompetensi pasien. Dokter dalam hal situasi sulit seperti ini dituntut untuk memiliki ketrampilan dalam membangun landasan etik yang tepat. Bila pasien dipastikan kompeten dan memutuskan untuk membatalkan persetujuannya, maka dokter harus menghormatinya dan membatalkan tindakan atau pengobatannya. Kadang-kadang pembatalan tersebut terjadi pada saat tindakan sedang berlangsung. Bila suatu tindakan menimbulkan teriakan atau tangis karena nyeri, tidak perlu diartikan bahwa persetujuannya dibatalkan. Rekonfirmasi persetujuan secara lisan yang didokumentasikan di rekam medis sudah cukup untuk melanjutkan tindakan. Tetapi apabila pasien menolak dilanjutkannya tindakan, apabila memungkinkan, dokter harus menghentikan tindakannya, mencari tahu masalah yang dihadapi pasien dan menjelaskan akibatnya apabila tindakan tidak dilanjutkan. Dalam hal tindakan sudah berlangsung sebagaimana di atas, maka penghentian tindakan hanya bisa dilakukan apabila tidak akan mengakibatkan hal yang membahayakan pasien. 2.19 - Pembukaan Informasi Berdasar Undang-undang Praktik Kedokteran Paragraf 4: Rahasia Kedokteran, pasal 48 ayat (2) disebutkan: " Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan"
Oleh karena segala hal yang berkaitan dengan pasien adalah termasuk dalam pengertian "segala hal yang harus dirahasikan oleh dokter atau yang disebut rahasia medik", maka ketentuan untuk membuka rahasia ini harus memenuhi aturan yang ada. Informasi tentang pasien yang diperoleh dokter dalam proses hubungan dokter psien menjadi rahasia kedokteran. Pada umumnya pembukaan informasi pasien kepada pihak lain memerlukan persetujuan pasien. Persetujuan tersebut harus diperoleh dengan cara yang layak sebagaimana diuraikan di atas, yaitu melalui pemberian informasi tentang baikburuknya pemberian informasi tersebut bagi kepentingan pasien. UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur bahwa pembukaan informasi tidak memerlukan persetujuan pasien pada keadaan-keadaan: a. untuk kepentingan kesehatan pasien b. memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, misalnya dalam bentuk visum et repertum c. atas permintaan pasien sendiri d. berdasarkan ketentuan undang-undang, misalnya UU Wabah dan UU Karantina Setelah memperoleh persetujuan pasien maka dokter tetap diharapkan memenuhi prinsip "need to know", yaitu prinsip untuk memberikan informasi kepada pihak ketiga tersebut hanya secukupnya, yaitu sebanyak yang dibutuhkan oleh peminta informasi. 2.20 - Kesehatan Reproduksi Kesehatan reproduksi tidak hanya melibatkan individu tetapi melibatkan pasangan dan janin yang dikandungnya terutama bagi wanita. Oleh karena itu, persetujuan tindakan di bidang kesehatan reproduksi memiliki dimensi yang agak berbeda dengan kondisi tindakan medis terhadap organ lainnya. Permasalahan utama pada pemberian persetujuan dalam lingkup kesehatan reproduksi adalah kapan dan bagaimana persetujuan cukup diberikan oleh pasien wanita saja, orang tua, suami saja dan suami isteri. 2.21 - Format Isian Informed Consent. Formad isian Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) atau Penolakan Tindakan Medik, digunakan seperti contoh formulir terlampir, dengan ketentuan sebagai berikut : ○
Diketahui dan ditanda tangani oleh dua orang saksi. Perawat bertindak sebagai salah satu saksi ;
○
Materai tidak diperlukan ;
○
Formulir asli harus disimpan dalam berkas rekam medis pasien ;
○
Formulir harus sudah diisi dan ditandatangani 24 jam sebelum tindakan medis dilakukan.
○
Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti bahwa
telah diberikan informasi dan penjelasan secukupnya. ○
Sebagai ganti tanda tangan, pasien atau keluarganya yang buta huruf harus membubuhkan cap jempol ibu jari tangan kanan.
CATATAN • Ibu jari pasien atau keluarganya yang berhak membubuhkan cap ibu jari tersebut tidak boleh dipegang oleh tenaga kesehatan yang mendampingi (untuk menghindari tuduhan adanya paksaan dari pihak rumah sakit dan atau tenaga kesehatan) • Apabila pasien atau keluarganya yang berhak membubuhkan cap ibu tersebut buta aksara dan tuna netra (tidak dapat melihat sama sekali) petugas yang mendapingi boleh memegang ibu jarinya, tetapi harus disertai berita acara dan ditandatangani oleh dua orang saksi seperti berita acara dan ditanda tangani oleh dua orang saksi seperti pada formulir persetujuan atau penolakan tindakan medik. 2.22 - Sanksi Hukum. Sarana kesehatan dan tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan-peraturan tersebut diatas dapat dijatuhi sanksi hukum maupun sanksi administratif apabila pasien dirugikan oleh kelalaian tersebut. Di dalam pedoman persetujuan tindakan kedokteran disebutkan juga sanksi yang akan dapat menimpa dokter jika tidak melakukan informed consent dalam praktiknya. Jika seorang dokter tidak memperoleh persetujuan tindakan kedokteran yang sah, maka dampaknya adalah bahwa dokter tersebut akan dapat mengalami masalah : 1. Hukum Pidana Menyentuh atau melakukan tindakan terhadap pasien tanpa persetujuan dapat dikategorikan sebagai "penyerangan" (assault). Hal tersebut dapat menjadi alasan pasien untuk mengadukan dokter ke penyidik polisi, meskipun kasus semacam ini sangat jarang terjadi. 2. Hukum Perdata Untuk mengajukan tuntutan atau klaim ganti rugi terhadap dokter, maka pasien harus dapat menunjukkan bahwa dia tidak diperingatkan sebelumnya mengenai hasil akhir tertentu dari tindakan dimaksud - padahal apabila dia telah diperingatkan sebelumnya maka dia tentu tidak akan mau menjalaninya, atau menunjukkan bahwa dokter telah melakukan tindakan tanpa persetujuan (perbuatan melanggar hukum). 3. Pendisiplinan oleh MKDKI Bila MKDKI menerima pengaduan tentang seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan hal tersebut, maka MKDKI akan menyidangkannya dan dapat memberikan sanksi disiplin kedokteran, yang dapat berupa teguran hingga rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi. 2.23 - Sanksi
Pidana. Seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medik terhadap pasien tanpa persetujuan pasien atau keluarganya, dapat dianggap melakukan penganiayaan yang sanksinya diatur dalam pasal 351 KUHP. Yang berbunyi : 1. Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah 2. Jika penganiayaan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun 3. Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, maka yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun 4. Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja 5 Percobaan melakukan kejahatan itu tidak dipidana. 2.24 - Kewajiban Mengganti Kerugian. 2.24.1 A. Kewajiban Tenaga Kesehatan untuk mengganti kerugian. Disebutkan pada pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan menyebutkan: " (1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PENJELASAN ayat (1). Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun nonfisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat penting karena akibat kelalaian atau kesalahan itu mungkin dapat menyebabkan kematian atau menimbulkan cacat permanen. Yang dimaksud dengan kerugian fisik adalah hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, sedangkan kerugian nonfisik berkaitan dengan martabat seseorang. - Pasal 1366 KUHP Perdata berbunyi : Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hatihatinya. CATATAN Gugatan terhadap dokter secara pribadi dapat dilakukan apabila : Dokter tersebut melakukan kelalaian di tempat praktek pribadi atau sebagai dokter tamu di sebuah rumah sakit yang tidak menggaji dia. 2.24.2 B. Kewajiban Sarana Kesehatan.
Apabila pasien dirugikan oleh tenaga kesehatan yang bekerja di sebuah sarana kesehatan misalnya sebuah rumah sakit, yang digugat untuk mengganti rugi adalah rumah sakit tersebut, berdasarkan azas respondeat superior dan azas tanggung renteng yang diatur dalam pasal 1367 KUHP Perdata. Sedangkan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati tersebut dapat dijatuhi sanksi administratif. 2.25 - Sanksi Administratif Bagi Dokter. Pasal 13 PERMENKES Tentang INFORMED CONSENT, mengatur tentang Sanksi Administratif yang berbunyi : Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa persetujuan pasien atau keluarganya, dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan ijin praktek. 2.26 - Hal Dimana Persetujuan Medik Tidak Diperlukan. Meskipun persetujuan dari pasien mutlak diperlukan sebelum dilakukan dan ada sanksinya bila melakukan tindakan medik tanpa seijin pasien, ada tiga hal dimana persetujuan medik tidak sama sekali tidak diperlukan. Hal ini diatur dalam 7, pasal 11 dan pasal 14 PERMENKES Tentang Informed Consent. Pasal 7. (1) Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi. (2) Perluasan operasi yang tidak diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien. (3) Setelah perluasan operasi sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan, dokter harus memberikan informasi kepada pasien atau keluarganya. Pasal 11. Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat dan atau darurat yang memerlukan tindakan medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun. Pasal 14. Dalam hal tindakan medik yang harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan medik tidak diperlukan. CATATAN. Meskipun pasien atau keluarganya telah menyetujui tindakan medik yang akan dilakukan terhadap dirinya atau keluarganya, apabila terjadi kematian, luka berat
atau sakit untuk sementara akibat kelalaian tenaga kesehatan, tenaga kesehatan tetap dapat dituntut atau digugat karena kelalaian tersebut. 2.27 - Mengapa masih ada permasalahan? Permasalahan dalam hubungan dokter pasien, tetap masih dapat terjadi. Khususnya terkait tindakan medis yang dilakukan oleh dokter. Permasalah tersebut tetap masih ada karena adanya "misinformasi". Kemungkinan karena kurangnya fasilitas komunikasi (dokter / RS dengan pasien). Masalah informasi ini penting untuk dijadikan obyek kajian mengngat tenaga kesehatan dengan pola pelayanan paternalisitiknya, mungkin akan melakukan tindakan yang tidak benar seperti : ○
Tidak memberi informasi
○
Informasi tidak benar
○
Informasi lewah
○
Informasi tidak lengkap
2.28 - kapan informed consent diperlukanInformed consent diperlukan tidak hanya untuk kasus tindakan kedokteran yang akan dilakukan dokter pada pasien saja. Beberapa tindakan selain tindakan kedokteran juga memerlukan informed consent yaitu: • Kerahasiaan dan pengungkapan informasi Dokter membutuhkan persetujuan pasien untuk dapat membuka informasi pasien, misalnya kepada kolega dokter, pemberi kerja atau perusahaan asuransi. Prinsipnya tetap sama, yaitu pasien harus jelas terlebih dahulu tentang informasi apa yang akan diberikan dan siapa saja yang akan terlibat. • Pemeriksaan skrining Memeriksa individu yang sehat, misalnya untuk mendeteksi tanda awal dari kondisi yang potensial mengancam nyawa individu tersebut, harus dilakukan dengan perhatian khusus. • Pendidikan Pasien dibutuhkan persetujuannya bila mereka dilibatkan dalam proses belajarmengajar. Jika seorang dokter melibatkan mahasiswa (co-ass) ketika sedang menerima konsultasi pasien, maka pasien perlu diminta persetujuannya. Demikian pula apabila dokter ingin merekam, membuat foto ataupun membuat film video untuk kepentingan pendidikan. • Penelitian Melibatkan pasien dalam sebuah penelitian merupakan proses yang lebih memerlukan persetujuan dibandingkan pasien yang akan menjalani perawatan. Sebelum dokter memulai penelitian dokter tersebut harus mendapat persetujuan dari Panitia etika penelitian. Dalam hal ini Departemen Kesehatan telah menerbitkan beberapa panduan yang berguna. 2.29 - Bagaimana cara pasien memperoleh
informasiPada dasarnya pasien bebas untuk memperoleh informasi apa saja terkait dengan penyakitnya. Di dalam informed consent pasien mendapat informasi dari dokter yang akan melakukan tindakan medik tersebut. Padahal boleh jadi dokter tidak akan melakukan tindakan itu sendiri. Pada kasus dokter berkehendak untuk dilakukan foto ronsen guna mengetahui adakah fraktur pada sebuah tulang, maka dokter yang memberi pengantar foto akan menerangkan seperlunya terkait penyakitnya tujuan penggunaan foto ronsen untuk kasus pasiennya tersebut, kemudian perihal masalah teknis praktis foto ronsen menjadi tanggung jawab bagian ronsent untuk memberikan keterangan. Di dalam manual KKI disebutkan cara memberi informasi kepada pasien dapat melalui berbagai cara, seperti: langsung diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan, melaluiorang yang ditugaskan untuk memberikan keterangan atas pelimpahan wewengang dokter, melalui leaflet atau lat publikasi lain. 2.30 - Pertimbangan dalam memberi informasi Konsil Kedokteran Indoensia di dalam "Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran" memberikan saran pertimbangan untuk membantu pasien terkait dengan informed consent. Untuk membantu pasien membuat keputusan diharapkan mempertimbangkan halhal di bawah ini: a. Informasi diberikan dalam konteks nilai, budaya dan latar belakang mereka. Sehingga menghadirkan seorang interpreter mungkin merupakan suatu sikap yang penting, baik dia seorang profesional ataukah salah seorang anggota keluarga. Ingat bahwa dibutuhkan persetujuan pasien terlebih dahulu dalam mengikutsertakan interpreter bila hal yang akan didiskusikan merupakan hal yang bersifat pribadi. b. Dapat menggunakan alat bantu, seperti leaflet atau bentuk publikasi lain apabila hal itu dapat membantu memberikan informasi yang bersifat rinci. Pastikan bahwa alat bantu tersebut sudah berdasarkan informasi yang terakhir. Misalnya, sebuah leaflet yang menjelaskan tentang prosedur yang umum. Leaflet tersebut akan membuat jelas kepada pasien karena dapat ia bawa pulang dan digunakan untuk berpikir lebih lanjut, tetapi jangan sampai mengakibatkan tidak ada diskusi. c. Apabila dapat membantu, tawarkan kepada pasien untuk membawa keluarga atau teman dalam diskusi atau membuat rekaman dengan tape recorder d. Memastikan bahwa informasi yang membuat pasien tertekan (distress ) agar diberikan dengan cara yang sensitif dan empati. Rujuk mereka untuk konseling bila diperlukan e. Mengikutsertakan salah satu anggota tim pelayanan kesehatan dalam diskusi, misalnya perawat, baik untuk memberikan dukungan kepada pasien maupun untuk turut membantu memberikan penjelasan f.
Menjawab semua pertanyaan pasien dengan benar dan jelas.
g. Memberikan cukup waktu bagi pasien untuk memahami informasi yang diberikan, dan kesempatan bertanya tentang hal-hal yang bersifat klarifikasi, sebelum kemudian diminta membuat keputusan. 2.31 - Informasi yang disampaikan kepada pasienDi dalam Undang-undang Praktik Kedoteran, memberikan gambaran informasi apa saja yang minimal diberikan kepada pasien dalam upaya untuk membentuk informed consent. Pasal 45 ayat (3) Undang Undang Praktik Kedokteran memberikan batasan minimal informasi yang selayaknya diberikan kepada pasien, yaitu: a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan c. Alternatif tindakan lain dan risikonya d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan Dengan mengacu kepada KKI melalui buku Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran, memberikan 12 kunci informasi yang sebaiknya diberikan kepada pasien : a. Diagnosis dan prognosis secara rinci dan juga prognosis apabila tidak diobati b. Ketidakpastian tentang diagnosis (diagnosis kerja dan diagnosis banding) termasuk pilihan pemeriksaan lanjutan sebelum dilakukan pengobatan c. Pilihan pengobatan atau penatalaksanaan terhadap kondisi kesehatannya, termasuk pilihan untuk tidak diobati d. Tujuan dari rencana pemeriksaan atau pengobatan; rincian dari prosedur atau pengobatan yang dilaksanakan, termasuk tindakan subsider seperti penanganan nyeri, bagaimana pasien seharusnya mempersiapkan diri, rincian apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan, termasuk efek samping yang biasa terjadi dan yang serius e. Untuk setiap pilihan tindakan, diperlukan keterangan tentang kelebihan/keuntungan dan tingkat kemungkinan keberhasilannya, dan diskusi tentang kemungkinan risiko yang serius atau sering terjadi, dan perubahan gaya hidup sebagai akibat dari tindakan tersebut f. Nyatakan bila rencana pengobatan tersebut adalah upaya yang masih eksperimental g. Bagaimana dan kapan kondisi pasien dan akibat sampingannya akan dimonitor atau dinilai kembali h. Nama dokter yang bertanggungjawab secara keseluruhan untuk pengobatan tersebut, serta bila mungkin nama-nama anggota tim lainnya i. Bila melibatkan dokter yang sedang mengikuti pelatihan atau pendidikan, maka sebaiknya dijelaskan peranannya di dalam rangkaian tindakan yang akan dilakukan
j. Mengingatkan kembali bahwa pasien dapat mengubah pendapatnya setiap waktu. Bila hal itu dilakukan maka pasien bertanggungjawab penuh atas konsekuensi pembatalan tersebut. k. Mengingatkan bahwa pasien berhak memperoleh pendapat kedua dari dokter lain l.
Bila memungkinkan, juga diberitahu tentang perincian biaya.
2.32 - Perlunya ada informed consentDengan mengingat bahwa ilmu kedokteran atau kedokteran gigi bukanlah ilmu pasti, maka keberhasilan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi bukan pula suatu kepastian, melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat berbedabeda dari satu kasus ke kasus lainnya. Sebagai masyarakat yang beragama, perlu juga disadari bahwa keberhasilan tersebut ditentukan oleh izin Tuhan Yang Maha Esa. Adanya 'asas bahwa ilmu kedokteran adalah bukan ilmu pasti' maka, dasar penerapan dari ilmu kedokteran bukanlah menjanjikan hasil, tetapi menjajikan usaha yang sebaik-baiknya. Usaha sebaik-baiknya ini, kemudian didasarkan pada pertimbangan ilmiah dan diwujudkan dengan adanya standart pelayanan. 2.33 - Informed Consent Untuk Penelitian Segala bentuk kegiatan apapun yang menggunakan manusia sebagai subyek penelitian dan melakukan interfensi pada subyeknya baik berbentuk fisik (pemberian material: obat-obatan, pakaian, makanan, dan lain sebagainya), mental (pemberian pertanyaan, kuesner yg dibagikan, dan lain sebagainya), dan sosial (mengisolasi subyek dari tempat tinggalnya), maka wajib memberi tahu dahulu kepada sampel subyek penelitian dari maksud dan tujuan dari penelitian itu. Dari informasi yang telah diberikan tersebut maka subyek penelitian itu akan memutuskan bersedia atau tidak menjadi sampel penelitian. Juga subyek tidak boleh di-intervensi keputusannya dengan pemberian imbalan atau janji, hal mana dapat dikatakan subyek calon sampel penelitian akan terarah memberi persetujuannya. Pada prinsipnya dokter dan dokter gigi dalam melakukan penelitian dengan menggunakan manusia sebagai subjek harus memperoleh persetujuan dari mereka yang menjadi subjek dalam penelitian tersebut secara bebas dan sukarela. Persetujuan harus diperoleh dengan suatu proses, yaitu proses komunikasi antara pihak peneliti dan calon subjek penelitian (informed). Komunikasi dalam hal ini adalah berupa pemberian informasi tentang segala sesuatu mengenai tindakan dan berisi hal-hal yang sesuai dengan keperluan maupun penapisan yang akan dilakukan, juga informasi tentang kompensasi yang akan diterima pasien jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, dalam proses penelitian. Sedang informasi yang diberikan, kecuali lisan sebaiknya juga tertulis agar bukti yang ada dapat didokumentasikan Code of Nuremberg serta Declaration of Helsinki yang sejak 1964, diperbaiki dalam
World Medical Assembly dan terakhir di Afrika Selatan tahun 1996, telah menyatakan hal tersebut. Kaidah dasar moral yang mendasari keharusan adanya informed consent pada penelitian adalah otonomi, maka jika akan memberikan perlakuan pada subyek penelitian diharuskan adanya persetujuan. Baik itu tindakan medik, maupun tindakan yang hanya mencari data dengan suatu kuesioner, serta tindakan penapisan (skrining) untuk memilih subjek yang akan digunakan dalam penelitian. Semua penelitian yang menggunakan manusia sebagai subyek penelitiannya maka diharuskan untuk lolos uji dari Tim Etika Penelitian. Pastikan bahwa penelitian tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan terbaik pasien, dan bahwa subyek penelitian tahu bahwa ia sedang mengikuti penelitian, dan keterlibatan subyek penelitian adalah secara sukarela. Konsil Kedokteran Indoneia dalam Buku Pedoman Persetujuan Tindakan Kedokteran merinci hal- hal yang seharusnya diinformasikan pada subyek penelitian, yaitu, informasi seharusnya berisi: 1. tujuan penelitian atau penapisan 2. manfaat penelitian dan penapisan 3. protokol penelitian dan penapisan, serta tindakan medis 4. keuntungan penelitian dan penapisan 5. kemungkinan ketidaknyamanan yang akan dijumpai, termasuk risiko yang mungkin terjadi 6. hasil yang diharapkan untuk masyarakat umum dan bidang kesehatan 7. bahwa persetujuan tidak mengikat dan subyek dapat sewaktu-waktu mengundurkan diri. 8. bahwa penelitian tersebut telah disetujui oleh Panitia Etika Penelitian. Tidak jauh berbeda dengan kegiatan penelitian, kegiatan skrining atau penapisan dapat merupakan upaya yang penting untuk dapat memberikan informasi tindakan yang efektif. Sehingga persetujuan dari subyek tetap diperlukan. Terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan: a. Terdapat kemungkinan bahwa uji skrining tersebut memiliki ketidakpastian, misalnya false positive dan false negative b. Beberapa uji skrining tertentu berpotensi mengakibatkan hal yang serius bagi pasien dan keluarganya, tidak hanya dari segi kesehatan, melainkan juga segi sosial dan ekonomi. Oleh karena itu persetujuan dilakukannya uji skrining harus didahului dengan penjelasan yang tepat dan layak, serta pada keadaan tertentu memerlukan tindak lanjut, misalnya dengan konseling dan support group. 2.34 - Mitos informed consentPersetujuan pasien akan diberikan jika psien sudah faham akan manfaat, resiko dan segala hal yang terkait dengan tindakan yang akan dilakukan dokter. Benarkan jika pasien kemudian sudah faham akan memberikan persetujuannya? Pertanyaan ini akan membawa impliksi lebih lanjut, bahwa benarkah informed consent itu hanya mitos?
Tidak menutup kemungkinan karena pasien dan kelurganya aham akan tindakan tersebut, maka mereka akan tidak jadi memberikan ijin. Misalnya saja tindakan itu memerlukan biaya yang ternyata cukup besar untuk kemampuan keuangan mereka. Hanya karena aspek finansial maka boleh jadi mereka tidak akan melakukan atau tidak jadi memberi persetujuan. Otomatis tindkan medik tidak akan dilakukan. Padahal tindakan medik tadi perlu untuk kesehatan pasein. Kemudian bagaimana kebenaran akan perlunya keeradaan informed consent itu? Sejauh mana arti batas memberi penjelasan ini sehingga pasein menjadi tidak akan menarik keputusan untuk tidak menyetujui tindakan medis. Ataukah tetap sebaiknya pasien diberi penjelasan yang lengkap dan soal resiko tetap ada pada pasiennya (seperti takut karena mendapat informasi akan efek samping yang terjadi jika tindakan itu dilakukan)? Atau yang terbaik pasien diberi penjelasan seperlunya, dengan mana penjelasan tersebut akan membawa pasien pada sikap setuju, sehingga tujuan dari tindakan medik yang akan dilakukan itu dapat terlaksana, yang pada pokoknya usaha terbaik sudah dilakukan dokter. Kalau yang terjadi demikiian .., maka tidak lain informed consent itu adalah mitos. Mengapa demikian ... , karena adanya informed consent itu sebenarnya tidak ada. Dokter membatas informasi dengan bijak pada hal-hal yang positif saja, dan sedikit pada hal yang negatif, denganmana harapan akhir dari penjelasan itu adalah persetujuan dari pasien. Bahkan .. kemudian jika pasien menolak, maka pasien juga diminta untuk menandatangini adanya refusal consent yaitu pernyataan untuk tidak mau (menolak) melakukan tindakan yang sudah disarankan. Maka, dapat dikatakan disini ... pasien ada pada posisi tersulit. Mundur kena maju kena. Inilah mitos informed consent. 3. HAM Sehat bukan segalanya, tapi tanpa sehat segalanya menjadi tidak berarti. Untaian kata tersebut menggambarkan bawa sehat adalah sebuah hal yang sangat utama untuk manusia. Sewajarnya jika kemudian setiap orang berhak untuk sehat dalam hidupnya. Seperti yang telah disebut di bab pertama sehat tidak dapat dilihat hanya dari aspek fisik saja, tapi juga mencakup fisik, mental dan sosialnya. Hak untuk sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia. Sudah seharusnya jika ada pelarangan terhadap siapa saja yang yang dengan sengaja akan mengganggu kesehatan orang lain. Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang berhak atas taraf hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dankeluarganya sebagaimana Pasal 25 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Perserikatan BangsaBangsa. Negara mengakui hak setiap orang, untuk memperoleh standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental. 3.1 - Gambaran umumUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah
diamandemen, Bab X-A tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28H ayat (1) menyatakan bahwa :"Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan". Pencanangan Indonesia Sehat 2010, pada bagian Dasar Pembangunan Kesehatan Indonesia terdapat empat hal, yaitu A) Dasar Perikemanusiaan, B) Dasar Pemberdayaandan Kemandirian, C) Dasar Adil dan Merata, D) Dasar Pengutamaan Dan Manfaat. Secara rinci dasar pembangunan kesehatan Indonesia tersebut adalah: A. Dasar Perikemanusiaan Setiap upaya kesehatan harus berlandaskan peri- kemanusiaan yang dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tenaga kesehatan perlu berbudi luhur dan memegang teguh etika profesi. B.Dasar Pemberdayaan dan Kemandirian Setiap orang dan masyarakat bersama dengan pemerintah berperan, berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga dan lingkungannya. Setiap upaya kesehatan harus mampu membangkitkan dan mendorong peran serta masyarakat. Pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan berlandaskan pada kepercayaaan atas kemampuan dan kekuatan sendiri serta bersendikan kepribadian bangsa. C. Dasar Adil dan Merata Dalam pembangunan kesehatan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, tanpa memandang suku, golongan, agama, dan status sosial ekonominya. D. Dasar Pengutamaan dan Manfaat Penyelenggaraan upaya kesehatan bermutu yang mengikuti perkembangan IPTEK, lebih mengutamakan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, serta dilaksanakan secara profesional, mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi daerah, berhasil guna dan berdaya guna. Upaya kesehatan diarahkan agar memberikan manfaat yang sebesar- besarnya bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat, serta dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak sehat merupakan hak dasar yang ada pada setiap orang. Sehat sebagai modal pertama bagi manusia untuk melakukan aktifitasnya. Sehingga dikenal ada peribahasa 'kesehatan bukan segalanya, tapi tanpa kesehatan segalanya tidak berarti. Di dalam Undang-undang HAM no 39 tahun 1999, pada pasal 9 ayat (3); pasal 29 ayat (1) Pasal 9 (1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan
taraf kehidupannya. (2) Setiap orang berhak tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. (3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. (Penjelasan: Pasal 9 Ayat (1) Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam khasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi) Pasal 29 (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya. 3.2 Aspek hak asasi pada persetujuan Persetujuan pasien pada informed consent, muncul dari keinginan dokter untuk melayani pasien. Keinginan dokter tersebut muncul berdasar suatu pertimbangan ilmiah bahwa tindakan itu perlu, atau sebaiknya dilakukan, atau lebih baik dilakukan. Dokter tentunya juga memberikan alternatif pilihan tindakan, kemudian pilihan mana dari berbagai pilihan tindakan itu yang pasien merasa paling cocok, setelah membuat segala pertimbangan. Walaupun banyak alternatif, boleh jadi paien sama sekali tidak berminat terhadap alternatif yang ada tersebut. Untuk itu, maka segala penetapan pilihan memang menjadi hak pasien. Dokter tidak mampu untuk memaksakan kehendaknya kalau memang pasien tidak menghendaki. Sikap pasien untuk menentukan nasib dirinya sendiri tersebut disebut sebagai hak asasi pasien (hak asasi manusia) yaitu HAK UNTUK MENENTUKAN NASIBNYA SENDIRI. Selain itu, pasien sebelum memutuskan untuk membuat pilihan berhak untuk mendapat informasi tentang tindakan yang akan dia terima. Informasi itu penting sebagai bahan pertimbangan untuk menyampaikan sikap menentukan pilihan. Pilihan mana yang akan diambil, atau tidak mengambil berbagai pilihan yang ada tersebut. Jadi sebelum pasien menentukan pilihan sebagai wujud dari haknyauntuk menentukannasibnya sendiri, pasien sebelumnya berhak untuk mendapat informasi atas tindakan yang akan diberikankepadanya. Hak untuk mendapat informasi itu, juga menjadi haknya pasien, yang kemudian
diapdopsi sebagai HAK ASASI ATAS INFORMASI. Berdasar dua hak utama yaitu hak atas informasi dan hak untuk menentukan nasib sendiri, disitulah aktivitas pasien dalam HDP bergerak. Juga, berdasar dua hak tersebut maka informed consent dibangun.