A. Biografi Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi adalah salah satu putera mahkota intelektualisme Islam. Selain Ibnu Sina (Avicenna) yang dikenal sebagai perintis awal ilmu kedokteran, Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi (lebih dikenal dengan nama Ar Razi) juga menduduki derajat sebagai perintis kedokteran modern. Dilahirkan di Rayy, dekat Teheran, Iran, pada 846 M (wafat di kota yang sama pada 925 M), Ar Razi yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Ar Razi itu sejak kecil telah menunjukkan minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Namun demikian, ia yang dididik dan dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat, sebenarnya baru tertarik dan menekuni secara serius masalah-masalah kedokteran justru di usia tua. Hanya saja, meski keseriusannya terhadap disiplin ilmu yang satu ini telah ada sejak muda, kepakaran dan kejeniusan Ar Razi pada bidang kedokteran jauh melampaui dari keahliannya di masa tua. Hal inilah yang menempatkan dirinya pada deretan ilmuwan Muslim yang sangat disegani dan dihormati dunia Barat. Sebagian ahli sejarah menyebutkan, Ar Razi sebenarnya telah menggeluti filsafat, kimia, matematika, dan kesastraan sejak muda.
Mengutip ahli sejarah Ibnu Khallikan, seorang penulis biografi Barat, AJ Aberry, dalam pengantar buku Ar Razi, The Spiritual Physic of Rhazes (Penyembuhan Ruhani), menulis, "Di masa mudanya, ia gemar main kecapi dan menekuni musik vokal. Namun ketika beranjak dewasa, dia lebih memilih meninggalkan hobinya ini seraya mengatakan bahwa musik yang berasal dari antara kumis dan jenggot tidak punya daya tarik dan pesona untuk dipuji serta dikagumi."
Sejak inilah, beberapa sumber menyebutkan Ar Razi lebih banyak memfokuskan dirinya pada tradisi intelektualisme di sekitar filsafat, logika, eksakta, dan kedokteran. Yang terakhir ini, seperti disinggung di atas, mendapat porsi khusus dari energinya di usia tua. Pada bidang ini, ia sampai meluangkan waktu khusus ke Baghdad, Irak, guna memperdalam kedokteran. Kala itu, Baghdad dikenal pada puncak keemasan intelektualisme. Baghdad yang kala itu menjadi pusat pemerintahan imperium Bani Abbasiyah, semakin menegaskan diri sebagai pusat ilmu pengetahuan, khususnya ketika tahta kekuasaan diperintah oleh Khalifah Al Manshur (754-775 M), Harun Al Rasyid (wafat 809 M), hingga Khalifah Al Makmun (813-833 M). Di kota
Baghdad ini, Ar Razi berguru pada Humayun Ibnu Ishaq, seorang ulama yang menguasai ilmu pengobatan dengan baik. Kepada ‘Ali ibn Rabban Ath Thabri. Ibn An Nadim sebagaiman dikutip Fuad Al Ahwani, Ar Razi belajar filsafat kapada Abu Al Qasim Al Balkhi, orang yang banyak melakukan perjalanan, mengusai filsafat dan ilmu-ilmu kuno.
Dari guru yang telah lama berpraktik di bidang pengobatan inilah, Ar Razi menguasai dengan baik dasar-dasar teknik pengobatan. Sekembali dari Baghdad, Ar Razi memutuskan untuk membaktikan dirinya pada masyarakat, khususnya pada bidang yang selama ini ia tekuni, kedokteran. Dalam waktu tak lama, lantaran kepakarannya, ia memperoleh perhatian khusus dari penguasa setempat. Karena reputasi dan kelebihannya itulah pemerintah kemudian memutuskan memberi amanat pada dirinya untuk memimpin sebuah rumah sakit di Teheran. Selain menjadi dokter, tokoh yang dikenal pula dengan kerendahan hatinya ini tak kurang mengoptimalkan pengabdiannya dengan mengajar. Tercatat, para mahasiswanya tak hanya berdatangan dari berbagai penjuru dunia Islam, tapi juga dari negara-negara Barat. Setiap kuliahnya selalu dipadati para mahasiswa. Patut dicatat, Ar Razi menerapkan metode perkuliahan yang bisa dikata unik tapi sangat mendidik. Yakni perkuliahan diatur sedemikian rupa agar beberapa penceramah senior dan yunior dapat membahas berbagai macam pertanyaan yang mampu mereka jawab, dan hanya merujuk kepadanya jika persoalan-persoalan yang melampaui batas jangkauan pengetahuan mereka. Tampaknya, cara ini pula yang kini banyak dikembangkan di mayoritas universitas terkemuka di Barat dan sebagian di dunia Timur.
Dalam perjalanan karirnya ini pula, tokoh yang di Barat dikenal dengan nama Rhazes ini harus meninggalkan pengabdiannya di kota kelahirannya untuk memenuhi penggilan penguasa Baghdad. Di kota ini, penguasa setempat mempercayai Ar Razi sebagai kepala rumah sakit di kota yang juga dikenal dengan sebutan "Kota Seribu Satu Malam" ini. Dengan demikian, selain memberikan teori-teorinya, Ar Razi juga langsung mempraktikkan ilmunya dalam perawatan pasien di berbagai rumah sakit di Teheran dan Baghdad. Di Kota ini pula Ar Razi di
Selama menekuni dunia pengobatan, Ar Razi dikenal memiliki reputasi luar biasa. Puluhan buku telah ia tulis. Melalui karya-karyanya itulah ia mengilhami kemajuan dan perkembangan kedokteran modern, khususnya di dunia Barat. Salah satu karya bukunya dibidang kedokteran
berjudul At Tibb li Al Manshur yang khusus dipersembahkan bagi gubernur Manshur. Selama 35 tahun ia berpraktik pada disiplin ilmu tersebut, Ar Razi tak hanya berkeliling dari satu tempat ke tempat lain di Baghdad maupun di Rayy, Teheran. Tapi sekaligus juga daerah-daerah di luar kedua kota itu tak kurang ia kunjungi untuk pengabdian pada masyarakat setempat.
Di tengah-tengah keseriusan dan makin meningkatnya penguasaan ilmu kedokteran, Ar Razi yang makin tua usia terserang penyakit katarak hingga membuat matanya buta. Penglihatannya praktis tak berfungsi. Ketika ia dianjurkan untuk berbekam, konon Ar Razi menjawab, "Tidak, aku sudah demikian lama melihat seluruh dunia ini sehingga aku pun lelah karenanya." Pengabdian dan kejeniusan Ar Razi ini diakui Barat. Banyak ilmuwan Barat menyebutnya sebagai pioner terbesar dunia Islam di bidang kedokteran. "Razhes merupakan tabib (dokter) terbesar dunia Islam, dan satu yang terbesar sepanjang sejarah," jelas Max Mayerhof. Sementara sejarawan Barat terkenal, George Sarton mengomentari Ar Razi dengan cerdas sekali. Katanya, "Ar Razi dari Persia itu tidak hanya tabib terbesar dunia Islam dan Abad Pertengahan. Ia juga kimiawan dan fisikawan. Ia bisa dinyatakan sebagai salah seorang perintis latrokimia zaman Renaisans. Maju di bidang teori, ia memadukan pengetahuannya yang luas melalui kebijaksanaan Hippokratis." Maka pada tempatnya bila umat manusia, Barat khususnya, berutang budi dan mesti berterima kasih pada sosok ini.
Ar-Razi telah menulis seratusan karya. Debutan tulisannya dimulai dengan menulis karya prestisius kitab al-Hâwi fi Ath Thibb (Comprehensive Book on Medicine/Kitab Komprehensif Kedokteran), atau popuker disebut kitab al-Jâmi' al-Khas li Shinâ'ah ath-Thibb, atau dalam bahasa Latin dikenal dengan Liber Continens. Beberapa kitab lainnya karya Ar Razi, diantaranya 1. Ath Thibb Ar Ruhani 2. Ash Shirat Al Falsafiyyah 3. Amarat Iqbal Ad Daulah 4. Al Ladzdzah 5. Al Ilm Al Ilahi 6. Maqalah fi Ma’bad Ath Thabi’ah 7. Manshuri 8. Sirr Al Asrar
9. Al Jami Al Kabir 10. Muluki
B. Latar Belakang dan Pemikiran Filsafat Dalam filsafatnya tampak dari pandangan Ar Razi yang mengklaim bahwa praktik kedokteran itu bersandar pada filsafat, suatu praktik yang baik amat bergantung pada pemikiran yang bebas. Ar Razi menganggap filsafat bukan sekadar sarana bagi karya kedokteran, melainkan sebagai tujuan dalam dirinya sendiri. Filsafat Ar Razi tentang logika, moral, kenabiaan/theology, dan metafisika. 1. Filsafat Logika Ar-Razi adalah seorang rasionalisme murni, dan beliau hanya mempercayai kekuatan akal. Bahkan didalam bidang kedokteran studi klinis yang dilakukannya setelah menemukan metode yang kuat dengan berpijak kepada observasi dan eksperimen. Bahkan pemujaan Ar-Razi terhadap akal tampak sangat jelas pada halaman pertama pada bukunya Ath Thibb Ar Ruhani. Beliau mengatakan, Allah, segala puji bagi-Nya, yang telah memberikan akal agar dengannya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat. Inilah karunia terbaik Allah kepada kita. ….. dengan akal pula kita dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Jika akal sedekian mulia dan penting kita tidak boleh melecehkannya; kita tidak boleh menentukannya, sebab ia adalah penentu, atau kita tidak boleh mengendalikannya, sebab ia adalah pengendali, atau memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah; tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya; kita harus sesuai dengan perintahnya.
2. Filsafat Moral Pemikiran Ar-Razi tentang moral sebagaimana tertuang dalam buku Ath Thibb Ar Ruhani dan Ash Shirat Al Falsafiyyah, bahwa tingkah laku itu berdasarkan dari akal. Hawa nafsu harus berada dibawah kendali akal dan agama. Beliau memperingatkan bahaya minuman khomr yang dapat merusakkan akal dan melanggar agama. Berkaitan dengan jiwa, Ar-Razi menjadikan jiwa sebagai salah satu alasan pengobatan baginya. Menurutnya antara tubuh dan jiwa terdapat suatu hubungan yang sangat erat, misalnya; emosi jiwa tidak akan terjadi kecuali dengan melalui pengamatan indrawi. Sedangkan kebahagiaan
menurut Ar-Razi adalah kembalinya apa yang telah tersingkir karena sesuatu yang kemudlaratan, misalnya; orang yang meninggalkan tempat yang teduh menuju tempat yang disinari matahari. Ia akan senang ketika kembali ke tempat yang teduh tadi. Ar Razi mengutuk cinta sebagai suatu keberlebihan dan ketundukan kepada hawa nafsu. Ia juga mengutuk kepongahan dan kelengahan karena hal itu menghalangi orang dari belajar lebih banyak dan bekerja lebih baik. Keiri hatian merupakan perpaduan kekikiran dan ketamakan. Kemarahan muncul dalam diri binatang agar mereka dapat melakukan pembelaan terhadap bahaya yang mengancam. Bila berlebihan, hal itu berbaha sekali bagi mereka. Dusta adalah suatu kebiasaan buruk, bila dusta dilakukan untuk kebaikan, hal itu terpuji, tetapi sebaliknya apabila untuk kejahatan, hal itu tercela.
3. Filsafat Kenabiaan/Theology Ar-Razi menyangkah bahwa anggapan bentuk kehidupan manusia memerlukan nabi sebagaimana yang dikatakannya dalam bukunya Naqd al-Adyan au fi al-Nubuwah. Beliau mengatakan bahwa beliau tidak percaya kepada wahyu dan adanya nabi. Menurutnya para nabi tidak berhak mengklaim dirinya sebagai orang yang memiliki keistimewaan khusus. Karena semua orang adalah sama dan keadilan Tuhan secara hikmahnya mengharuskan tidak membedakan antara seorang dengan yang lainnya. Ar-Razi juga mengritik kitab suci baik Injil maupun Al Qur’an. Beliau menolak mukjizat Al Qur’an baik segi isi maupun gaya bahasanya. Menurutnya orang mungkin saja dapat menulis kitab yang lebih baik dengan gaya, bahasa yang lebih indah. – (Abu Hatim Ar Razi, tokoh propagandis Syiah Ismailiah yang sezaman dengan Ar Razi tetapi memusuhinya). Pernyataan tersebut tampaknya tidak objektif, pada tulisan Akmad Aziz Dahlan bahwa Ar Razi seorang filsuf muslim dan tidak boleh dikafirkan. Analisi ini dapat ditemukan dalam kitabnya Bar’u al Sa’ah dan Sirr Al Asrar, atau Ath Thibb Ar Ruhani, sebagai berikut : “Mengendalikan hawa nafsu adalah wajib bagi menurut semua rasio, menurut semua orang berakal dan menurut semua agama dan wajiblah manusia yang baik, yang utama yang sempurna menunaikan apa yang diwajibkan agama yang benar kepadanya [Asy Syariah Al Muhiqqah], tidak takut pada kematian karena agama yang benar itu sungguh telah menjanjinkan kepadanya kemenangan, ketentraman dan masuk kedalam kenikmatan yang terus-menerus”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ar Razi adalah seorang rasionalis-religius karena Ar Razi masih mengakui dan mendasarkan logikanya kepada agama dan kewahyuan.
4. Filsafat Metafisika Filsafat Ar-Razi dikenal dengan ajaran “Lima Kekal” yaitu: a) Al Bari Ta’ala (Allah Ta’ala) Hidup dan aktif dengan sifat Independent. Tidak ada kebijakan setelah tidak sengaja, karena itu ketidak sengajaan tidak bersifat kepada-Nya. Kehidupan berasal dari-Nya sebagaimana sinar datang dari matahari Allah mempunyai kepandaian yang sempurna dan murni. Kehidupan ini adalah mengalir dari ruh. Allah menciptakan sesuatu dan tidak ada yang bisa yang menandingi dan tidak ada yang bisa menolak kepada-Nya. Allah Maha Mengetahui, segala sesuatu. Tetapi ruh-ruh hanya mengetahui apa yang berasal dari eksperimen. Tuhan mengetahui bahwa ruh cenderung pada materi dan membutuhkan kesenangan materi. b) An Nafs Al Kulliyyah (Jiwa Universal) Hidup dan aktifnya bersifat dependent, dan menjadi Al Mabda’ Al Qadim Ats Tsani. Jiwa universal tidak berbentuk, namun karena mempunyai naluri untuk bersatu dengan Al Hayula Al Ula, menjadi memiliki zat yang berbentuk sehingga bias menerima sekaligus menjadi sumber penciptaan benda-benda alam semesta termasuk badan manusia. Ketika masuk pada benda-benda itulah Allah menciptakan ruh untuk menempati benda-benda alam dan badan manusia diman jiwa (parsial) melampiaskan kesenangannya. Karena semakin lama jiwa bias terlena pada kejahatan, Allah kemudian menciptakan akal untuk menyadarkan untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik tersebut. c) Al Hayula Al Ula (Materi Pertama) Tidak hidup dan pasif dan merupakan substansi (jauhar) yang kekal terdiri atas dzarrah, dzarat. Setiap dzarat (atom-atom) terdiri atas volume. Materi yang sangat padat menjadi substansi bumi, yang agak renggang menjadi substansi air, yang renggang menjadi substansi udara dan yang lebih renggang menjadi substansi api. Materi pertama ini kekal karena tidak mungkin berasal dari ketiadaan, dengan kata lain Tuhan tidak mungkin menciptakan sesuatu tanpa bahan sebelumnya yang kekal karena mendapat semacam emanasi, pancaran dari Yang Maha Kekal. d) Al Makam al Mutlaq (Ruang Mutlak)
Tidak aktif dan tidak pasif. Materi yang kekal membutuhkan ruang yang kekal pula sebagai tempat yang sesuai. Ada dua ruang, (1) ruang partikular—relatif, terbatas sesuai dengan keterbatasannya maujud yang menempatinya, (2) ruang universal, tidak terbatas dan tidak terikat pada maujud karena bisa saja terdapat terjadi kehampaan tanpa maujud. e) Az Zaman Al Mutlaq (Masa Mutlak) Tidak aktif dan tidak pasif. Masa atau zaman ada dua, (1) Al Waqt, relatif/terbatas, dan (2) Ad Dahr, adalah keberlangsungan, ia tidak terbatas dan tidak terikat pada gerakan alam semesta dan falak atau benda-benda angkasa raya.
C. Pengaruh Pemikiran Filsafat (Pro-Kontra) 1.
Beberapa pengaruh pemikiran filsafat Ar Razi, baik yang pro ataupun kontra, diantaranya : Abu Al Qasim Al Balkhi, pimpinan kaum Mutazilah di Baghdad (319 H/931 M) yang hidup semasa dengan Ar Razi ini banyak menulis penolakan terhadap buku-buku Ar Razi terutama tentang waktu (buku, Al Ilm Al Ilahi).
2.
Syuhaid ibn Al Husain Al Balkhi, yang banyak perbedaan, salah satunya teori tentang kesenangan yang diterangkan dalam kitabnya Tafdhil Ladzdzat An Nafs, yang disarikan kembali oleh Abu Sulaiman Al Mantiqi As Sajistani dalam Siwan Al Hikmah.
3.
Abu Hatim Ar Razi adalah lawan paling penting. Seorang yang sangat propagandis dalam menjelaskan sisi-sisi negatif pemikiran Ar Razi (buku, A’lam An Nubuwwah).
4.
Ibn Tammar, menurut Kraus, mungkin adalah adalah Abu Bakr Husain At Tammar, tabib yang banyak perbedaan dengan Ar Razi sebagaimana dilaporkan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam A’lam An Nubuwwah. Ibn Tammar menolak Ath Thibb Ar Ruhani, sanggahan Ar Razi terhadap penolakan At Tammar atas Misma’I tentang materi dan tentang atmosfir bawah tanah.
5.
Mansur Ibn Thalhah, yang menulis buku tentang Kemaujudan yang ditolak oleh Ar Razi.
6.
Ahmad ibn Ath Thayib As Sarakhsi, senior Ar Razi yang ditolaknya atas masalah rasa pahit.
7.
Ya’qub ibn Ishaq Al Kindi, yang menulis sanggahan terhadap ahli-ahli alkimia.
Ar Razi yang dikenal dengan nama Rhazes di Dunia Barat atas pemikiran filsafat dan karya di bidang kedokteran menjadikan Ar Razi sebagai Filsuf Muslim dan dokter Islam yang tak
tertandingi. Ini sebagai salah satu bukti bahwa Ar Razi termasuk orang yang berpengaruh pada masanya.
D. Kritik Pemikiran Filsafat Tidaklah pantas bagi saya untuk mengkritisi atas pemikiran filsafat Ar Razi tersebut, tidak lain dikarenakan ilmu dan pengalaman yang saya miliki masih jauh memadai serta pengakuan atas para ilmuwan terhadap Ar Razi. Namun demikian, pantaslah bagi saya sebagai akademisi mengutarakan beberapa hal mengenai pemikiran filsafat Ar Razi, sebagai berikut : 1.
Filsafat Ar Razi secara keseluruhan (logika, moral, kenabiaan/theology, dan metafisika) merupakan hasil pemikiran yang mendalam (pemahaman) atas iman dan ilmu yang dipelajarinya dan dikembangkannya menjadikan Ar Razi sebagai dokter yang tak tertandingi dan seorang rasionalis-religius.
2.
Memahami atas karya pemikiran tidaklah cukup menurut seseorang, namun haruslah beberapa atau banyak orang yang menyatakan kebenaran atas karya pemikiran tersebut yang pada pokoknya kembali kepada orang yang membuat atas karya pemikiran tersebut yang mampu kita pelajari dari sudut biografi, keilmuan secara sistematis, dan berbagai pengaruh pada kondisi dimana karya pemikiran tersebut dilahirkan