Acs Referat.docx

  • Uploaded by: Dira Adhitya
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Acs Referat.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,405
  • Pages: 40
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.

DEFINISI SINDROM KORONER AKUT Sindrom

koroner

akut

adalah

gabungan

gejala

klinik

yang

menandakan iskemia miokard akut, yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST segment elevation myocardial infarction = STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (non ST segment elevation myocardial infarction = NSTEMI), dan angina pectoris tidak stabil (unstable angina pectoris = UAP). Ketiga kondisi tersebut berkaitan erat, hanya berbeda dalam derajat beratnya iskemia dan luasnya jaringan miokardiaum yang mengalami nekrosis. UAP dan

NSTEMI merupakan suatu kesinambungan

dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis. Perbedaan antara angina pectoris tidak stabil (UAP) dengan infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) adalah apakah iskemi yang ditimbulkan cukup berat sehingga dapat

menimbulkan

kerusakan

miokardium,

sehingga

adanya

marker

kerusakan miokardium dapat diperiksa.

Bagan 1. Pembagian SKA

Pada UAP dan NSTEMI, pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, thrombisis dan vasokonstriksi. Penentuan Troponin I/T adalah ciri paling

sensitive dan specific untuk nekrosis miosit dan penentuan pathogenesis dan alur pengobatan.UAP dan NSTEMI merupakan SKA yang ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokardium. Penyebab utama SKA adalah stenosis koroner akibat thrombus pada plak ateroscklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau rupture dan menyumbat pada pumbuluh darah yang sudah mengalami penyempitan oleh aterosklerosis.UA dan NSTEMI adalah bagian dari sindrom koroner akut kontinum, di mana plak pecah dan terbentuk thrombosis koroner aliran darah ke daerah miokardium.UA dan NSTEMI juga disebutkan sindrom koroner akut non-ST elevasi. Untuk membedakan mereka dari STEMI, pemakaian EKG dibutuhkan. Dalam UA dan NSTEMI, tidak ditemukan ST Elevasi dan gelombang Q patologis pada EKG, pada pasien dengan STEMI, alasan mengapa ST elevasi dan gelombang Q patologis ditemukan, kerana ada hubungan iskemic dari miokardium. Durasi oklusi, sejauh mana daerah infark menjaga kelangsungan hidup selama oklusi, serta letak pembuluh darah yang menentukan infark ada hubungan dengan munculnya ST elevasi dan gelombang Q.

B.

EPIDEMIOLOGI Penelitian menunjukkan bahwa penderita yang simtomatis prognosisnya lebih baik daripada yang penderita yang asimtomatis. Data saat ini menunjukkan bahwa bila penderita

asimtomatis atau dengan

simtom ringan, kematian tahunan pada penderita dengan pada satu dan dua pembuluh darah koroner adalah 1,5 % dan kira-kira 6 % untuk lesi pada tiga pembuluh darah koroner. Kalau pada golongan terakhir ini kemampuan latihan (exercise capacity) penderita baik, kematian tahunan adalah 4 % dan bila ini tidak baik kematian tahunannya kira-kira 9 %, karena itu penderita harus dipertimbangkan untuk revaskularisasi. The American Heart Association memperkirakan lebih dari 6 juta penduduk Amerika menderita penyakit jantung koroner dan lebih dari 1 juta

orang yang diperkirakan mengalami serangan infark miokardium setiap tahun. Kejadiannya lebih cenderung pada pria dengan umur antara 45 – 65 tahun, dan di atas 65 tahun, pria dan wanita menpunyai risiko yang sama. Sampai hari ini, penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian utama di dunia. Tabel 1. Angka Kematian yang Berhubungan dengan SKA

Di Indonesia data lengkap penyakit jantung koroner belum ada. Pada survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1992, kematian akibat penyakit kardiovaskuler menempati urutan pertama (16%) untuk umur di atas 40 tahun. SKRT pada tahun 1995 di Pulau Jawa dan Pulau Bali didapatkan kematian akibat penyakit kardiovaskuler tetap menempati urutan pertama dan persentasenya semakin meningkat (25%) dibandingkan dengan SKRT tahun 1992. Di Makassar, didasari data yang dikumpulkan oleh Alkatiri7 di empat rumah sakit (RS) selama 5 tahun (1985 sampai 1989), ternyata penyakit kardiovaskuler menempati urutan ke 5 sampai 6 dengan persentase berkisar antara 7,5 sampai 8,6%. Penyakit jantung koroner terus-menerus menempati urutan pertama di antara jenis penyakit jantung lainnya. dan angka kesakitannya berkisar antara 30 sampai 36,1%. Diagnosis NSTEMI lebih sulit untuk ditegakkan dibanding diagnosis STEMI. Oleh karena itu perkiraan prevalensinya menjadi lebih sulit. Secara keseluruhan, data menunjukkan bahwa kejadian

NSTEMI dan UA tahunan lebih tinggi daripada STEMI. Perbandingan antara SKA dan NSTEMI telah berubah seiring waktu, karena laju peningkatan NSTEMI dan UA relatif terhadap STEMI tanpa penjelasan yang jelas mengenai perubahan ini. Perubahan dalam pola kejadian NSTEMI dan UA mungkin dapat dihubungkan dengan perubahan dalam manajemen serta upaya pencegahan penyakit jantung koroner selama 20 tahun terakhir. Secara keseluruhan, dari berbagai penelitian, didapatkan bahwa kejadian tahunan dari penerimaan rumah sakit untuk NSTEMI dan UA sekitar 3 per 1000 penduduk. Hingga saat ini, tidak ada perkiraan yang jelas untuk Eropa secara keseluruhan, karena tidak adanya statistik kesehatan umum yang terpusat. C.

ETIOLOGI & FAKTOR RESIKO

1. Penyempitan arteri koroner karena robek/pecahnya thrombus yang ada pada plak aterosklerosis. Mikroemboli dari agregasi trombosit beserta komponennya dari plak yang rupture mengakibatkan infark kecil di distal. 2. Obstruksi dinamik karena spasme fokal yang terus-menerus pada segmen arteri koroner epikardium. Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah dan/atau akibat disfungsi endotel. 3. Penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme/thrombus  terjadi pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan stenosis ulang setelah intervensi koroner perkutan (PCI). 4. Inflamasi  penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur, trombogenesis. Makrofag, limfosit T  ↑ metalloproteinase  penipisan dan ruptur plak 5. Keadaan/factor pencetus: a. ↑ kebutuhan oksigen miokard  demam, takikardi, tirotoksikosis b. ↓ aliran darah koroner c. ↓ pasokan oksigen miokard  anemia, hipoksemia

Faktor resiko yang dapat dimodifikasi 1. Merokok

Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung terhadap dinding arteri. Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang dapat menambahkan reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan pada dinding arteri, sedangkan glikoprotein tembakau dapat mengakibatkan reaksi hipersensitif dinding arteri.

2. Hiperlipidemia Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam lemak bebas) berasal dari makanan (eksogen) dan sintesis lemak endogen.Kolesterol dan trigliserida adalah dua jenis lipd yang relatif mempunyai makna klinis yang penting sehubungan dengan aterogenesis.Lipid terikat pada protein, karena lipid tidak larut dalam plasma.Ikatan ini menghasilkan empat kelas utama lipoprotein, yaitu; kilomikron, VLDL, LDL dan HDL. LDL paling tinggi kadar kolesterolnya, sedangkan kilomikron dan VLDL kaya akan trigliserida. Kadar protein tertinggi terdapat pada HDL. Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit jantung koroner, sementara kadar HDL yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung penyakit jantung koroner, sebaliknya kadar HDL yang rendah ternyata bersifat aterogenik.

3. Hipertensi Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja jantung bertambah. Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk menguatkan kontraksi. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertropi kompensasi akhirnya terlampaui , tejadi dilatasi dan payah jantung. Jantung jadi semakin terancam dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan oksigen miokardium meningkat sedangkan suplai oksigen tidak mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa menjadi infark. Disamping itu,

hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah akibat tekanan tinggi yang lama (endothelial injury).

4. Diabetes Mellitus Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL dari sirkulasi akan di bawa ke hepar. Pada penderita diabetes mellitus, degradasi LDL di hepar menurun, dan gikolasi kolagen meningkat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya LDL yang berikatan dengan dinding vaskuler.7 5. Obesitas Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri, karena pada umumnya selalu diikuti oleh faktor resiko lainnya.7

Faktor Predisposisi 1.

Hipertensi Hipertensi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya rupturnya plak pada pembuluh darah.

2.

Anemia Adanya anemia mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan, termasuk ke jaringan jantung. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, jantung dipacu untuk meningkatkan cardiac ouput. Hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen di jantung meningkat. Ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen mengakibatkan gangguan pada jantung.

3.

Kerja fisik/olahraga Pada aktivitas fisik yang meningkat, kebutuhan oksigen terhadap jaringan dan miokardium meningkat. Adanya aterosklerosis mengakibatkan suplai oksigen tidak mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa terjadi infark.

Tabel 2. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner

D.

PATOGENESIS Mekanisme umum terjadinya SKA adalah ruptur atau erosi lapisan fibrotik dari plak arteri koronaria. Hal ini mengawali terjadinya agregasi dan adhesi platelet, trombosis terlokalisir, vasokonstriksi, dan embolisasi trombus distal. Keberadaan kandungan lipid yang banyak dan tipisnya lapisan fibrotik, menyebabkan tingginya resiko ruptur plak arteri koronaria. Pembentukan trombus dan terjadinya vasokonstriksi yang disebabkan pelepasan serotonin dan tromboxan A2 oleh platelet mengakibatkan iskemik miokardium yang disebabkan oleh penurunan aliran darah koroner. Aterosklerosis

adalah

bentuk

arteriosklerosis

dimana terjadi penebalan dan pengerasan dari dinding pembuluh darah yang disebabkan oleh akumulasi makrofag yang berisi lemak sehingga menyebabkan terbentuknya lesi yang disebut plak. Aterosklerosis bukan merupakan kelainan tunggal namun merupakan proses patologi yang dapat mempengaruhi system vaskuler seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan sindroma iskemik yang bervariasi dalam manifestasi klinis dari tingkat keparahan. Hal tersebut merupakan penyebab utama penyakit arteri koroner.

Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis. Inflamasi dengan stress oksidatif dan aktivasi makrofag adalah mekanisme primer. Diabetes mellitus, merokok, dan hipertensi dihubungkan dengan peningkatan oksidasi LDL yang dipengaruhi oleh peningkatan kadar angiotensin II melalui stimulasi reseptor AT-I. Penyebab lain dapat berupapeningkatan C-reactive protein, peningkatan fibrinogen serum, resistensi insulin, stress oksidatif, infeksi dan penyakit periodontal. LDL teroksidasi bersifat toksik terhadap sel endotel dan menyebabkan proliferasi sel otot polos, aktivasi respon imun dan inflamasi. LDL teroksidasi masuk ke dalam tunika intima dinding arteri kemudian difagosit oleh makrofag. Makrofag yang mengandung oksi LDL disebut foam cell berakumulasi dalam jumlah yang signifikan maka akan membentuk jejas fatty streak. Pembentukan lesi tersebut dapat ditemukan pada dinding pembuluh darah sebagian orang termasuk anak-anak. Ketika terbentuk, fatty streak memproduksi radikal oksigen toksik yang lebih banyak dan mengakibatkan perubahan inflamasi dan imunologis sehingga terjadi kerusakan yang lebih progresif. Kemudian terjadi proliferasi sel otot polos, pembentukan kolagen dan pembentukan plak fibrosa di atas sel otot polos

tersebut.

Proses tersebut diperantarai berbagai macam sitokin

inflamasi termasuk growth factor (TGF beta).

Plak fibrosa akan menonjol ke lumen pembuluh darah dan menyumbataliran darah ysng lebih distal, terutama pada saat olahraga, sehingga timbul gejala klinis (angina atau claudication intermitten).Banyak plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak menimbulkan gejala klinis sampai plak tersebut mengalami ruptur. Ruptur plak terjadi akibat aktivasi reaksi inflamasi dari proteinase seperti metalloproteinase matriks dan cathepsin sehingga menyebabkan perdarahan pada lesi. Plak atherosklerosis dapat diklasifikasikan

berdasarkan strukturnya

yang

memperlihatkan stabilitas dan kerentanan terhadap ruptur. Plak yang menjadi ruptur merupakan plak kompleks. Plak yang unstable dan

cenderung menjadi rupture adalah plak yang intinya banyak mengandung deposit LDL teroksidasi dan yang diliputi oleh fibrous caps yang tipis. Plak yang robek (ulserasi atau rupture) terjadi karena shear forces, inflamasi dengan

pelepasan

mediator

inflamasi

yang

multiple,

sekresi

macrophage-derived degradative enzyme dan apotosis sel pada tepi lesi. Ketika rupture, terjadi adhesi platelet terhadap jaringan yang terpajan, inisiasi kaskade pembekuan darah, dan pembentukan thrombus yang sangat cepat. Thrombus tersebut dapat langsung menyumbat pembuluh darah sehingga terjadi iskemia dan infark.

Gambar 1: Pathogenesis unstable plaque dan pembentukan thrombus

Gambar 2. Potongan Longitudinal Arteri Koroner dengan Trombus Patofisiologi Proses progresifitas dari plak atherosklerotik dapat terjadi perlahan-lahan. Namun, apabila terjadi obstruksi koroner tiba-tiba karena pembentukan thrombus akibat plak aterosklerotik yang rupture atau mengalami ulserasi, maka terjadi sindrom koroner akut. 1. Unstable angina : adalah akibat dari iskemi miokard reversibel dan dapat mencetuskan terjadinya infark. 2. Infark

miokard

:

terjadi

apabila

iskemia

yang

menyebabkan kerusakan ireversibel dari otot jantung

berkepanjangan

Skema 1. Patofisiologi Sindrom Koroner Akut Unstable Angina Muncul akibat berkurangnya suplai oksigen dan/atau peningkatan kebutuhan oksigen jantung (cth karena takikardi atau hipertensi).Berkurangnya suplai oksigen terjadi karena adanya pengurangan diameter lumen pembuluh darah yang dipengaruhi oleh vasokonstriktor dan/atau thrombus.Pada banyak pasien unstable angina, mekanisme berkurangnya suplai oksigen lebih banyak terjadi dibandingkan peningkatan oksigen demand. Tetapi pada beberapa kasus, keduanya dapat terjadi secara bersamaan.

Ruptur Plak Ruptur dari plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting dari angina pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari

pembuluh yang mengalami rutur sebelumnya mempunyai penyempitan 50 % atau kurang, dan pada 97 % pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70 %. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak.Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofage dan secara enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous cap). Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh darah 100 % akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.

Trombosis dan Agregasi Trombosit Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena integrasi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermitten, pada angina tak stabil.

Vasospasme Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi

oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasm. Spasm yang terlokalisir seperti pada angina Prinzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasm seringkali terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai peran pembentukan trombus.

Erosi pada Plak tanpa Ruptur Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemi.

Infark miokard Ketika aliran darah koroner terganggu pada waktu tertentu, dapat terjadi nekrosis sel miosit. Hal tersebut disebut infark miokard. Gangguan, progresivitas plak, dan pembentukan klot lebih lanjut yang terjadi pada MI sama halnya seperti yang terjadi pada sindrom koroner akut yang lainnya. Namun, pada MI trombusnya lebih labil dan dapat menyumbat pembuluh darah dalam waktu yang lebih lama, sehingga iskemia miokardial dapat berkembang menjadi nekrosis dan kematian miosit.Jika thrombus lisis sebelum terjadinya nekrosis jaringan distal yang komplet, infark yang terjadi hanya melibatkan miokardium yang berada langsung di bawah endokardium (subendocardial MI). Jika thrombus menyumbat pembuluh darah secara permanent, maka infarknya dapat memanjang hingga epikardium sehingga menyebabkan disfungsi jantung yang parah (transmural MI).Secara klinis, MI transmural harus diidentifikasi, karena dapat menyebabkan komplikasi yang serius dan harus mendapat terapi yang segera.

Jejas Selular Sel jantung dapat bertahan terhadap iskemi hanya dalam waktu 20 menit sebelum mengalami kematian.Perubahan EKG hanya terlihat pada 30-60 detik setelah hipoksia.Bahkan jika telah terjadi perubahan metabolisme yang non

fungsional, sel miosit tetap viable jika darah kembali dalam 20 menit.Penelitian menunjukkan bawa sel miosit dapat beradaptasi terhadap perubahan suplai oksigen. Proses tersebut dinamakan ischemic preconditioning. Setelah 8-10 detik penurunan aliran darah, miokardium yang terlibat menjadi sianotik dan lebih dingin. Glikolisis anaerob yang terjadi hanya dapat mensuplai 65-70% dari kebutuhan energi, karena diproduksi ATP yang lebih sedikit daripada metabolisme aerob. Ion hydrogen dan asam laktat kemudian berakumulasi sehingga terjadi asidosis, dimana sel miokardium sangat sensitif pada pH yang rendah dan memiliki sistem buffer yang lemah. Asidosis menyebabkan miokardium menjadi rentan terhadap kerusakan lisosom yang mengakibatkan terganggunya fungsi kontraktilitas dan fungsi konduksi jantung sehingga terjadi gagal jantung. Kekurangan oksigen juga disertai gangguan elektrolit Na, K, dan Mg. secara normal miokardium berespon terhadap kadar katekolamin (epinefrin dan norepinefrin/NE) yang bervariasi. Pada sumbatan arteri yang signifikan, sel miokardium melepaskan katekolamin sehingga terjadi ketidakseimbangan fungsi simpatis dan parasimpatis, disritmia dan gagal jantung. Katekolamin merupakan mediator pelepasan dari glikogen, glukosa dan cadangan lemak dari sel tubuh. Oleh karena itu terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol plasma dalam satu jam setelah timbulnya miokard akut. Kadar FFA (Free Fatty Acid) yang berlebih memiliki efek penyabunan terhadap membran sel. NE meningkatkan kadar glukosa darah melalui perangsangan terhadap sel hepar dan sel otot. NE juga menghambat aktivitas sel beta pankreas sehingga produksi insulin berkurang dan terjadi keadaan hiperglikemia. Hiperglikemia terjadi setelah 72 jam onset serangan. Angiotensin II yang dilepaskan selama iskemia miokard berkontribusi dalam patogenesis MI, dengan cara yaitu: 1. Efek sistemik dari vasokonstriksi perifer dan retensi cairan sehingga meningkatkan beban jantung, akibatnya memperparah penurunan kemampuan kontraktilitas jantung.

2. Angiotensin II mempunyai efek lokal yaitu sebagai growth factor sel otot polos pembuluh darah, miosit dan fibroblast jantung, sehingga merangsang peningkatan kadar katekolamin dan memperparah vasospasme koroner.

Kematian selular Iskemia miokard yang berlangsung lebih dari 20 menit merupakan jejas hipoksia irreversible yang dapat menyebabkan kematian sel dan nekrosis jaringan. Nekrosis jaringan miokardium dapat menyebabkan pelepasan beberapa enzim intraseluler tertentu melalui membrane sel yang rusak ke dalam ruang intersisisal.Enzim yang terlepas kemudian diangkut melalui pembuluh darah limfe ke pembuluh darah.Sehingga dapat terdeteksi oleh tes serologis.

Perubahan fungsional dan structural Infark miokardial menyebabkan perubahan fungsional dan struktural jantung. Perubahan tersebut dapat dilihat pada table di bawah ini. Tabel 3. Perubahan Fungsional dan Struktural Jantung pada Infark Miokard Waktu setelah MI

Perubahan Jaringan

Tahapan Proses Pemulihan

6-12 jam

Tidak

ada

perubahan Belum dimulai

makroskopis;

sianosis

subseluler

dengan

penurunan temperatur 18-24 jam

Pucat

sampai

abu- Respon

kecoklatan; slight pallor 2-4 hari

inflamasi;

pelepasan

enzim

intraseluler

Tampak nekrosis; kuning- Enzim proteolitik dipindahkan oleh debris; coklat

di

tengah

dan katekolamin, lipolisis, dan glikogenolisis

hiperemis di sekitar tepi

meningkatkan glukosa plasma dan FFA untuk membantu miokard keluar dari anaerobic state

4-10 hari

Area soft, dengan degenerasi Debris telah dibersihkan; collagen matrix lemak di tengah, daerah laid down perdarahan pada area infark

10-14 hari

Weak, fibrotic scar tissue Penyembuhan berlanjut namun area sangat dengan awal revaskularisasi

6 minggu

lunak, mudah dipengaruhi stress

Jaringan parut biasanya telah Jaringan parut kuat yang tidak elastis komplit

menggantikan miokardium yg nekrosis

Perubahan makroskopis pada daerah infark tidak akan terlihat dalam beberapa jam. Walaupun dalam 30-60 detik terjadi perubahan EKG. Miokardium yang infark dikelilingi oleh zona jejas hiposia yang dapat berkembang menjadi nekrosis, kemudian terjadi remodeling atau menjadi normal kembali. Jaringan jantung yang dikelilingi daerah infark juga mengalami perubahan yang dapat dikategorikan ke dalam: 1.

Myocardial stunning, yaitu kehilangan sementara fungsi kontraktilitas yang berlangsung selama beberapa jam – beberapa hari setelah perfusi kembali normal.

2.

Hibernating myocardium, yaitu jaringan yang mengalami iskemi persisten dan telah mengalami adaptasi metabolik.

3.

Myocardial remodeling, adalah suatu proses yang diperantarai Angiotensin II, aldosteron, katekolamin, adenosine dan sitokin inflamasi yang

menyebabkan hipertrofi miositdan penurunan fungsi kontraktilitas pada daerah jantung yang jauh dari lokasi infark. Semua perubahan di atas dapat dibatasi melalui restorasi yang cepat dari aliran koronerdan penggunaan ACE-inhibitor dan beta blocker setelah MI. Tingkat keparahan gangguan fungsi tersebut dipengaruhi oleh ukuran dan lokasi infark. Perubahan fungsional termasuk: (1). Penurunan kontraktilitas jantung dengan gerak dinding jantung abnormal, (2). Perubahan compliance dari ventrikel kiri, (3). Penurunan stroke volume, (4). Penurunan fraksi ejeksi, (5). Peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri, (6). Malfungsi dari SA node, (7). Disritmia yang mengancam jiwa dan gagal jantung sering menyertai MI.

Fase Perbaikan Infark miokard menyebabkan respon inflamasi yang parah yang diakhiri dengan perbaikan luka. Perbaikan terdiri dari degradasi sel yang rusak, proliferasi fibroblast dan sintesis jaringan parut. Banyak tipe sel, hormone, dan substrat nutrisi harus tersedia agar proses penyembuhan dapat berlangsung optimal. Dalam 24 jam terjadi infiltrasi lekosit dalam jaringan nekrotik dan degradasi jaringan nekrotik oleh enzim proteolisis dari neutrofil scavenger. Fase pseudodiabetik sering timbul oleh karena lepasnya katekolamin dari sel yang rusak yang dapat menstimulasi lepasnya glukosa dan asam lemak bebas.Pada minggu kedua, terjadi sekresi insulin yang meningkatkan pergerakan glukosa dan menurunkan kadar gula darah. Pada 10-14 hari setelah infark terbentuk matriks kolagen yang lemah dan rentan terhadap jejas yang berulang. Pada masa itu, biasanya individu merasa sehat dan meningkatkan aktivitasnya kembali sehingga proses penyembuhan terganggu. Setelah 6 minggu, area nekrosis secara utuh diganti oleh jaringan parut yang kuat namun tidak dapat berkontraksi seperti jaringan miokardium yang sehat. E.

DIAGNOSIS

Diagnosis angina pectoris tidak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi sedangkan tidak ada kenaikan troponin maupun CK-MB dengan

ataupun tanpa perubahan EKG untuk iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang sebentar atau adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam, maka pada tahap awal serangan angina pectoris tidak stabil seringkali tak bisa dibedakan dari NSTEMI.

1. Diagnosis dan Gambaran Klinis Angina Pektoris Tidak Stabil Anamnesis merupakan hal yang sangat penting. Penderita yang datang dengan keluhan utama nyeri dada atau nyeri ulu hati yang hebat, bukan disebabkan oleh trauma, yangmengarah pada iskemia miokardium, pada laki-laki terutama berusia > 35 tahun atau wanita terutama berusia > 40tahun, memerlukan perhatian khusus dan evaluasi lebih lanjut tentang sifat, onset, lamanya, perubahan dengan posisi, penekanan, pengaruh makanan, reaksi terhadap obat-obatan, dan adanya faktor resiko. Wanita sering mengeluh nyeri dada atipik dan gejala tidak khas, penderita diabetes mungkin tidak menunjukkan gejala khas karena gangguan saraf otonom. Nyeri pada SKA bersifat seperti dihimpit benda berat, tercekik, ditekan, diremas, ditikam, ditinju, dan rasa terbakar. Nyeri biasanya berlokasi di blakang sternum, dibagian tengah atau dada kiri dan dapat menyebar keseluruh dada, tidak dapat ditunjuk dengan satu jari. Nyeri dapat menjalar ke tengkuk, rahang, bahu, punggung, lengan kiri atau kedua lengan. Lama nyeri > 20menit, tidak hilang setelah 5 menit istirahat atau pemberian nitrat. Keluhan pasien umumnya berupa a. Resting angina

: terjadi saat istirahat berlangsung > 20 menit

b. New onset angina : baru pertama kali timbul, saat aktivitas fisik seharihari, aktifitas ringan/ istirahat c. Increasing angina : sebelumnya usah terjadi, menjadi lebih lama, sering, nyeri atau dicetuskan aktivitas lebih ringan. Keluhan SKA dapat berupa rasa tidak enak atau nyeri di daerah epigastrium yang tidak dapat dijelaskan sebabnya dan dapat disertai gejala

otonom sesak napas, mual sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.

Elektrokardiografi (ECG) Pemeriksaan ECG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukan kemungkinan adanya iskemi atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0.5mm dan gelombang T negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemi, dan dapat disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil 4% mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6% ECG juga normal.

Exercise test Pemeriksaan EKG tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil secara lansung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya mitral insuffisiensi dan abnormalitas gerakan dinding reginal jantung, menandakan prognosis kurang baik. Stress ekokardiografi juga dapat membantu menegakkan adanya iskemi miokardium.

Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima sebagai petanda European

paling

penting

dalam

diagnosis

SKA.

Menurut

Society of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap adanya

mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan tingkat kenaikan troponin. CKMB kurang spesifik karena juga ditemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam.

2. Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST (NSTEMI) Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala epigastrium dengan ciri khas seperti diperas, diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan

pada

NSTEMI.

Analisis

berdasarkan gambaran

klinis

menunjukkan mereka memiliki gejala dengan onset baru angina berat / terakselerasi memiliki prognosis lebih baik berbanding dengan memiliki nyeri pada waktu istirahat. Gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar terutama pasien lebih dari 65 tahun.

Elektrokardiogram (ECG) Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada Thrombolysis in Myocardial Ischemia Trial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0.05mV merupakan predictor outcome yang buruk. Outocme yang buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST dan baik depresi segmen ST maupun perubahan troponin T

keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien

dengan NSTEMI.

Biomarker Kerusakan Miokard Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai, karena lebih spesifik berbanding enzim jantung seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 3-4 minggu.

3. Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST

(STEMI) Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesa nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST > 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau > 1mm pada dua sadapan ektremitas.

Pmeriksaan

enzim

jantung, terutama troponin T yang

meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, dalam mengingat tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is muscle.

Anamnesis Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau diluar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mamapu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.

Sifat nyeri dada angina sebagai berikut : a. Lokasi: substernal , retrosternal, dan prekordial.

b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, sperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir. c. Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung interskapular, perut dan dapat juga ke lengan kanan. d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat. e. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan. f. Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat

dingin, cemas dan lemas. Gambar 3. pola nyeri pada pasien infark miokard akut

Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus dan usia lanjut

Gambar 4. Diagnosis banding nyeri pada dada

Pemeriksaan Fisik Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyaimanifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien

infark

posterior

menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi). Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 380 C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI .

Elektrokardiogram Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI dan harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di UGD. Pemriksaan EKG menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi

pasien

tetap

simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa infark miokard gelombang Q, sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST dan biasanya megalami UA atau NSTEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau menghilangnya gelombang R dan infark miokard nontransmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST atau gelombang T.

Namun tidak selalu ada korelasi

gambaran

patologis EKG dengan lokasi infark (mural atau transmural) sehingga terminologi IMA gelombang Q atau non Q menggantikan infark mural atau nontransmural

Gambar 5. ST-elevasi pada leads II, III dan aVF; ST depresi pada V1 V4 gambaran pada infak miokard akut inferior atau inferior AMI.

Gambar 6. ST-Elevasi pada gambaran anterior acute myocard infark

Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers) Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CKMB) dan Cardiac Specific Troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark miokard) a. CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut meningkat pada operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik. b. cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu: a. Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam. b. Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai punak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 34 hari. c. Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

Komplikasi STEMI

a. Disfungsi ventrikular Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark, ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut hasil ini berasal dari ekspansi infark. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen non infark, mengakibatan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark dengan dilatasi pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dengan prognosis yang buruk.

b. Gangguan hemodinamik Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit karena STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada roentgen sering dijumpai kongesti paru. c. Syok kardiogenik Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan saat masuk, sedangkan 90% ditemukan selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunayi penyakit arteri koroner multivessel.

d. Infark ventrikel kanan Sekitar sepertiga pasien dengan infark posteroposterior menunjukkan sekurangkurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien

dengan infark terbatas primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara klinis menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul’s, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST pada sadapan EKG sisi kanan, terutama sadapan V4R sering dijumpai pada 24 jam pertama pasien infark ventrikel kanan. Terapi terdiri dariekspansi volume untuk mempertahankan preload ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk meningkatkan tampilan dengan reduksi takanan arteri pulmonalis.

e. Aritmia pasien pasca STEMI Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala. Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem

saraf

autonom, gangguan elektrolit, iskemia dan penghambatan

konduksi di zona iskemia miokard.

f. Ekstrasistol ventrikel Depolarisasi prematur ventrikel sporadik yang tidak sering terjadi pada hampir semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Penyekat beta efektif dalam mencegah aktifitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI dan pencegahan fibrilasi ventrikel, dan harus diberikan rutin kecuali terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan hipomagnesemia merupakan faktor risiko fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI, konsentrasi kalium serum diupayan mencapai 4,5 mmol/liter dan magnesium 2 mmol/liter.

g. Takikardi dan fibrilasi ventrikel. Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardidan fibrilasi ventrikular dapat terjadi tanpa tanda bahaya aritmia sebelumnya.

h. Komplikasi mekanik

Ruptur muskularpapilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventikel. Penatalaksaan dengan operasi. Prognosis STEMI Terdapat beberapa sistem yang ada dalam menentukan pronosis pasien pasca IMA

Tabel 7. Prognosis Stemi

F.

TATALAKSANA

1. Angina Pektoris Tidak Stabil (Unstable Angina) Tindakan umum Pasien perlu perawatan rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, dan diistirahatkan (bed rest), diberi obat penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin.

Terapi Medikamentosa a. Nitrat Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen. Nitrat juga menambah

oksigen

suplai

dengan

vasodilatasi

pembuluh

koroner

dan

memperbaiki aliran darah kolateral. Yang ada di Indonesia terutama Isosorbit dinitrat, yang dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1-4mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali infus dapat diganti isosorbid dinitrat per oral.

b. Beta-blocker Beta-blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Metaanalisis dari 4700 pasien dengan UA menunjukkan penyekat beta dapat menurunkan resiko infark sebesar 13% (p<0.04). Semua pasien UA harus diberi penyekat beta kecuali ada kontraindikasi seperti asam bronkiale dan pasien dengan bradiaritmia. Beta-bloker seperti propanolol, metoprolol, atenolol, telah diteliti pada pasien UA, yang menunjukkan effektivitas yang serupa.

c. Antagonis Kalsium Antagonis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar: golongan dihidropiridin seperti nifedipin dan golongan nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil. Kedua vasodilatasi

koroner

dihidropiridin

dan

mempunyai

golongan ini dapat menyebabkan

menurunkan efek

tekanan

vasodilatasi

darah.Golongan

lebih

kuat

dan

penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik

negatif

juga

lebih

kecil. Verapamil

dan

diltiazem

memperbaiki survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload memberikan keuntungan pada golongan nondihidropiridin pada pasien SKE dengan faal

jantung

normal. Pemakaian antagonis kalsium pada pasien yang ada kontraindikasi dengan beta-bloker.

d. Aspirin Banyak studi telah membuktikan bahwa

aspirin dapat mengurangi

kematian jantung dan mengurangi infark fatal pada pasien UA. Oleh karena itu aspirin dianjurkan seumur hidup dengan dosis awal 160 mg per hari dan dosis selanjutnya 80-325 mg per hari.

e. Klopidogrel Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin, yang menghambat agregasi platelet. Klopidogrel juga terbukti dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular dan dianjurkan pada pasien yang tidak tahan aspirin. AHA menganjurkan pemberian klopidogrel bersama aspirin paling sedikit 1 bulan sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg per hari

f. Unfractionated Heparin Heparin adalah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagualn yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin, akan bekerja menghambat trombin dan faktor Xa. Kelemahan heparin adalah efek terhadap trombus yang kaya trombosit dan heparin dapat dirusak oleh platelet faktor 4.

g. Low Molekuler Weight Heparin (LMWH) LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin. Kebanyakan mengandung sakarida kurang dari 18 jam dan hanya bekerja pada faktor Xa.LMWH di Indonesia adalah dalteparin, nadroparin dan enoksaparin.

Stratifikasi Risiko

Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain adalah : a. pasien yang tidak pernah memiliki angina sebelumnya, dan sudah tidak ada serangan b. sebelumnya tidak memakai obat anti angina c. ECG normal atau tak ada perubahan dari sebelumnya. d. Enzim jantung tidak meningkat termasuk troponin dan biasanya usia lebih muda.

Pasien yang termasuk dalam risiko sedang adalah : a. Bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu istirahat b. Laki-laki, usia >70 tahun, menderita diabetes melitus c. Tidak ada perubahan ST segmen d. Enzim jantung tidak meningkat. Pasien yang termasuk dalam risiko tinggi adalah : a. Angina berlansung lama atau angina pasca infark; sebelumnya mendapat terapi yang intensif b. Ditemukan hipotensi, diaforesis, edema paru atau ”rales” pada pemeriksaan fisik c. Terdapat perubahan segmen ST yang baru d. Didapatkan kenaikan troponin, keadaan hemodinamika tidak stabil. Bila manifestasi iskemia kembali secara spontan atau pada waktu pemeriksaan, maka pasien sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk risiko rendah maka terapi medikamentosa sudah mencukupi. Hanya pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan tindakan invasif segera, dengan kemungkinan tindakan revaskularisasi.

2. Infark miokard akut tanpa elevasi ST (NSTEMI)

Pasien NSTEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk deviasi semen T dan irama jantung. Empat komponen utama terapi yang harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu: 

Terapi antiiskemia



Terapi antiplatelet/antikoagulan



Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi)



Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS

Terapi antiiskemia Terapi awal mencakup nitrat dan penyekat beta dapat diberikan untuk menghilangkan nitrogliserin sublingual dan dapat dilanjutkan dengan intravena dan penyekat beta oral antagonis kalsium nondihidropiridin diberikan pada pasien dengan iskemia refrakter atau yang tidak toleran dengan obat penyekat beta. a. Nitrat Nitrat pertama kali diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri menetap setelah diberikan nitat sublingual 3 kali dengan interval 5 menit, direkomendasi pemberian nitrogliserin intravena (mulai 5-10ug/menit).

b. Penyekat Beta Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 5060kali/menit. Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi jantung seperti diltiazem dan verapamil pada pasien dengan nyeri dada persisten.

c. Terapi antitrombotik Oklusi trombus subtotal pada koroner mempunyai peran utama dalam patogenesis NSTEMI dan keduanya mulai dari agregasi

platelet dan pembentukan thrombin-activated fibrin bertanggungjawab atas klot.

d. Terapi antiplatelet Aspirin Peran penting aspirin adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah dibuktikan dari penelitian klinis multipel dan beberapa metaanalisis,

sehingga

aspirin

menjadi

tulang punggung dalam

penatalaksanaaan UN/NSTEMI.

Klopidogrel Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphosphate P2Y12 pada permukaan platelet dan dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaanya pada UA/NSTEMI. Klopidogrel sebaiknya diberikan pada pasien UA/NSTEMI dengan kondisi: 

Direncanakan untuk mendapat pendekatan non-invasif dini



Diketahui memiliki kontraindikasi untuk operasi



Kateterisasi ditunda/ditangguhkan selama > 24-36jam.

e. Terapi antikoagulan

3. Infark Miokard Dengan ST Elevasi Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.

3.1 Tatalaksana di Ruang Emergensi Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup : 

Mengurangi / menghilangkan nyeri dada



Identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,



Triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit



Menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI

3.2 Tatalaksana Umum 1. Oksigen Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri

<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat

diberikan oksigen selama 6 jm pertama. 2. Nitrogliserin (NTG) NTG sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0.4mg dan dapat diberikan samapai 3 dosis dngan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dadaterus berlansung dapat diberikan NTG intravena (iv). NTG juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Pasien yang menggunakan phosphodiesterase-3 inhibitor sildanefil dalam 24 jam karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.

3. Mengurangi/ Menghilangkan Nyeri Dada

Hal ini sanagat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivitas simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung. Morfin Merupakan pilihan dalam nyeri dada STEMI. Diberikan dengan dosis 2-4mg dan dapat diulangi dengan interal 5-15 menit sampai dosis total 320mg. Aspirin Aspirin merupakan tatalaksana dasar pasien yang dicurigai STEMI dan efektif

pada

spektrum

sindrom

koroner

akut.

Inhibisi

cepat

siklooksigenase trombosit A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325mg di ruangan EMG. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg. Beta Blocker Diberikan jika morfin tidak efekif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 1-5menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60x/menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0.24detik dan ronki tidak lebih dari 10cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan oral dengan dosis 50mg tiap 6 jam selama 48jam, dan dilanjutkan 100mg setiap 12 jam.

G.

PENCEGAHAN Tidak ada motto yang boleh mengganti ini, “Mencegah lebih baik daripada mengobati”.Ini berlaku untuk siapapun, terlebih pada orang yang mempunyai factor risiko yang tinggi.Prioritas pencegahan terutama dilakukan pada pasien dengan penyakit jantung koroner, penyakit arteri periferi dan ateroscklerosis cerebrovascular.Selain itu, pasien yang tanpa gejala tapi mempunyai risiko tinggi karena banyak factor risiko dan besarnya risiko dalam 10 tahun bakal dapat penyakit kardiovascular yang

fatal. Peningkatan salah satu komponen factor risiko seperti cholesterol > 320mg/dl, LDL >240 mg/dl, tekanan darah > 180/110mmhg dan pasien diabetes tipe2 dan tipe 1 dengan mikroalbuminuria. Riwayat keluarga dekat pasien yang mempunyai penyakit kardiovaskular aterosklerotik atau riwayat mati mendadak.Semua yang diatas adalah factor – factor risiko yang menyebabkan penyakit jantung koroner yang memungkin pada pasien. Jadi kita sebagai pelayan medis, harus mencarikan factor risiko yang ada pada pasien dan membantu pasien mencegahkan factor risiko tersebut dengan

cara

nonfarmakologik

merekomendasikan

petunjuk

dan

untuk

farmakologik. untuk

pencegahan

ACC/AHA penyakit

kardiovaskular yang ditentukan dari factor risiko yang ada.

Tabel 8. Panduan pencegahan primer penyakit kardiovaskular dan stroke berdasarkan factor risko.

Selain daripada yang diatas, terdapat prevensi sekunder pada individu yang terbukti menderita penyakit jantung koroner adalah upaya untuk mencegah agak SKA itu tidak berulang lagi.Prevensi sekunder itu sangat diperlukan pada individu yang pernah atau sudah terbukti menderita SKA, cenderung untuk mendapat sakit

jantung lagi, dan orang yang belum pernah sakit jantung tapi mempunyai kemungkinanya yang besar. Selain itu, individu yang mempunyai proses aterosklerosis pada pembuluh darah organ lain seperti di otak, aorta atau arteri karotis, arteri perifer dll. Oleh sebab itu, pervensi sekunder itu penting supaya tidak menyebabkan SKA nanti.Tabel 5 di bawah adalah intervensi – intervensi yang harus dilakukan pada penderita atau bakal penderita SKA supaya SKA tidak berlaku

Faktor risiko dan Perubahan yang diharapkan Merokok: berhenti total. Tidak terpapar pada lingkungan perokok. Kontrol tekanan darah : Tujuan TD < 140/90 mmHg; <130/80 mmHg pada gangguan gingal atau gagal jantung dan diabetes. Diet :  Tujuan : mengkonsumsi makanan yang menyehatkan Pemberian Aspirin :  Tujuan: Aspirin dosis rendah pada penderita dengan risiko tinggi kardiovaskular Pengaturan Lipid di Dalam tubuh:  tujuan : LDL – C < 160 mg/dl jika factor risiko ≤ 1, LDL < 130 mg/dl jika memiliki ≥ 2 faktor risiko dan risiko CHD 20%, atau LDL – C < 100 mg/dl untuk factor risiko ≥ 2 faktor risiko dimiliki dan memiliki 10% risiko CHD ≥20% atau jika pasien juga terkena diabetes. Aktivitas fisik : Tujuan : aktivatas fisik minimal 30 menit atau aktivitas fisik dengan intensitas sedang setiap hari dalam 1 minggu. Pengaturan Berat Badan  Tujuan : mencapai dan mempertahankan berat (BMI 18.5 – 24.9 kg/m2) Bila BMI ≥ 25 kg/m2, lingkar pinggang ≤ 40 inci pada pria dan ≤ 35 inci pada wanita Pengeloaan Diabetes

Tujuan : KGD puasa (< 110 mg/dl) dan HBA1c (<7%) Atrial Fibrilasi Kronik  Tujuan : mencapai sinus ritme atau jika muncul atrial fibrilasi kronik, antikoagulan dengan INR 2.0 – 3.0 ( target : 2.5)

Tabel 9. Intervensi Faktor risiko.

Pada pasien yang post AMI harusnya diberikan terapi farmakologic supaya moralitas dan rekurrensi boleh diturunkan. Jadi, menurut AHA/ACC, pasien post AMI harus menggunakan Aspirin 75 – 100 mg/day, Beta Blocker supaya denyutan nadi < 60 b.pm. eg. Metoprolol 50 mg 2 kali sehari, ACE – I, eg. Ramipril 2.5mg 2 kali sehari dan mentitrasi sampai dosis yang diinginkan, jika ACE – I tidak ditoleransi oleh pasien, diganti dengan ARB, eg Valsartan 20mg 2 kali sehari.Statin juga digunakan seperti simvastatin 20-80 mg/hari.Clopidogrel 75mg/hari for 9 – 12 bulan harus ditambahin pada pasien yang berisiko sedang – tinggi dan NSTEMI.Aldosterone antagonist eg. Eplerenone 25mg/hari harus diberikan pada pasien post AMI dengan gejala klinis gagal jantung dan ejeksi fraction berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

Acute Coronary Syndromes : a national clinical guidelines. 2007. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Andra. 2006. Sindrom Koroner Akut:Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif?. Majalah Farmacia Edisi Agustus, Halaman: 54. Aroney C. et al. 2006, Guidelines for the management of acute coronary syndromes 2006, National Heart Foundation of Australia.

Brady W. et al. 2012, Acute Coronary Syndrome : 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care, AHA Fauci A. et al., 2005, Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th edition, p1425Rani A. et al., 2006, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, halaman 63 Hamm, Christian W., Christopher Heeschen., Erling Falk., Keith A.A. Fox. 2014. Acute Coronary Syndromes: Pathophysiology, Diagnosis and Risk Stratification. Research Gate. Harrisons, Prinsiples of Internal Medicine, 17th ed, Philadelphia, McGraw Hill, 2000,1387–97. Kristen. 2009. Acute Coronary Syndrome. AJN Vol. 109, No. 5. Kumar P and Clark M, 2006, Clinical Medicine 7th Edition, page 743 R.A. Nawawi, Fitriani, B. Rusli, Hardjoeno. NILAI TROPONIN T (cTnT) PENDERITA SINDROM KORONER AKUT (SKA). Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3, Juli 2006: 123-126. Sunarya Soerianata, William Sanjaya. Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut dengan Revaskularisasi Non Bedah. Cermin Dunia Kedokteran No. 143, 2004.

Related Documents

Acs
June 2020 13
Acs-ilham.ppt
May 2020 39
Acs 55
August 2019 25
Acs Referat.docx
June 2020 15
Acs Forwarder
May 2020 7

More Documents from ""