8 Pengertia Cinta Menurut Al-Qur’an Menurut hadis Nabi, orang yang sedang jatuh cinta cenderung selalu mengingat dan menyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai’an katsura dzikruhu). Kata Nabi, orang juga bisa diperbudak oleh cintanya (man ahabba syai’an fa huwa `abduhu). Kata Nabi juga, ciri dari cinta sejati ada tiga : (1) lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, (2) lebih suka berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, dan (3) lebih suka mengikuti kemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain/diri sendiri. Bagi orang yang telah jatuh cinta kepada Alloh SWT, maka ia lebih suka berbicara dengan Alloh SWT, dengan membaca firman Nya, lebih suka bercengkerama dengan Alloh SWT dalam I`tikaf, dan lebih suka mengikuti perintah Alloh SWT daripada perintah yang lain. Dalam Qur’an cinta memiliki 8 pengertian berikut ini penjelasannya: 1. Cinta mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara dan “nggemesi”. Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selalu berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak bisa berfikir lain. 2. Cinta rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya. Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari itu maka dalam al Qur’an , kerabat disebut al arham, dzawi al arham , yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari kata rahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim. Selanjutnya diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu ber silaturrahim, atau silaturrahmi artinya menyambung tali kasih sayang. Suami isteri yang diikat oleh cinta mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir batin-dunia akhirat. 3. Cinta mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur’an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan kepada yang lama. 4. Cinta syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al Qur’an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf. 5. Cinta ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk salat, membelanya meskipun salah. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini kasus hukuman bagi pezina (Q/24:2). 6. Cinta shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku penyimpang tanpa sanggup mengelak. Al Qur’an menyebut term ni ketika mengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja), sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan bodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min al jahilin (Q/12:33)
7. Cinta syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur’an tetapi dari hadis yang menafsirkan al Qur’an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5 dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan tiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma’tsur dari hadis riwayat Ahmad; wa as’aluka ladzzata an nadzori ila wajhika wa as syauqa ila liqa’ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu. Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab “Raudlat al Muhibbin wa Nuzhat al Musytaqin”, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepada sang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yang apinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa il tihab naruha fi qalb al muhibbi. 8. Cinta kulfah yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positip meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur’an ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, la yukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286) ~ oleh yanuary di/pada Februari 6, 2009. Ditulis dalam Artikel Tag: Al-Qur'an, Cinta, Ibn al Qayyim al Jauzi
Fitrah Seorang Bayi
Menatap seorang bayi, tanpa sadar kita akan menyadari ke maha-an Allah dalam menciptakan mahluknya. Bayi dimanapun sama saja , sewaktu lahir tidak pernah menyandang status apapun yang melekat pada orang tuannya. Tidak negara, tidak kasta, tidak suku, bahkan tidak pula agama. Terkadang bayi itu akan dipersalahkan atas goresan tinta yang tidak tepat dari orang tuannya. Goresan itu akan menjadi landasan dia melangkah kedepan. Sembilan puluh persen bayi di dunia saat ini, menyandang agama orang tuannya, mungkin juga termasuk kita dahulu. Tetapi tidak ada satu orangpun yang tega mengatakan bahwa bayi-bayi yahudi, bayi-bayi nasrani atau bayi-bayi dari agama lain adalah cikal bakal penghuni neraka jika tidak mendapat hidayah Allah, loh memangnya bayi muslim walau tidak mendapat hidayah allah akan tetap masuk syurga ? Rasulullah bersabda bahwa 'Tiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-Islami). Ayah dan ibunya lah kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala). (HR. Bukhari) Orang tua yang Yahudi atau Nasrani atau Majusi didapati dari kakek yang Yahudi, Nasrani dan Majusi dan begitu seterusnya keatas, lalu siapa yang pertama kali di persalahkan jika bersandar pada hadist ini. Seorang teman aktivis pernah berpendapat bahwa bayi tersebut setelah dewasa mempunyai akal fikiran untuk mencari kebenaran agamanya, itu berarti seluruh bayi yang terlahir bukan sebagai muslim wajib ketika dewasa mempelajari agama lain, karena jika tidak mempelajari agama lain dari mana mereka tahu kalau agama mereka salah. Lalu apakah itu berarti seluruh bayi muslim mendapat dispensasi hanya memperdalam agamanya sendiri, tanpa perlu mempelajari agama orang lain karena sudah pasti benar. Jika kita kembalikan kepada sandaran awal bahwa kita tahu agama kita benar karena kita mengetahui kesalahan agama orang lain dan dari mana kita mengetahui kesalahan tersebut jika tidak di pelajari, maka seluruh bayi muslimpun terkena kewajiban mempelajari agama lain sebagai tolak ukur. Jika seluruh bayi dimuka bumi ini setelah dewasa tidak mempelajari agama lain hanya fokus pada agamanya sendiri secara baik menurut fikirannya yang diambil dari dalil-dalil agamanya dan mengamalkannya secara benar menurut fikirannya atau menurut dalil-dalil agamanya maka siapakah yang dapat dispensasi syurga ? Manusia bisa saja berpendapat tapi Allah lah yang maha menentukan. Harus kita sadari bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam semesta bukan milik agama-agama tertentu. Setiap ada yang benar pasti ada yang salah demikian juga terhadap agama. Hak menentukan yang benar dan salah adalah hak Allah, keadilan Allah tidak bisa disamakan dengan keadilan mahluknya. Sebagai mahluk kita diwajibkan berikhtiar mencari kebenaran menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah atas diri kita yaitu agama orang
tua, karena tidak ada sesuatu kejadian yang tanpa sepengetahuan Allah, termasuk pemilihan rahim tempat ruh bersemayam. Semuanya tentu saja untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ( Ali Imran, ayat 18 )
Berbakti kepada kedua orang Tua April 15, 2008 Satu kewajiban yang hampir terlalaikan.
Berbicara tentang berbakti kepada orang tua tidak lepas dari permasalahan berbuat baik dan mendurhakainya. Mungkin, sebagian orang merasa lebih ‘tertusuk’ hatinya bila disebut ‘anak durhaka’, ketimbang digelari ‘hamba durhaka’. Bisa jadi, itu karena ‘kedurhakaan’ terhadap Allah, lebih bernuansa abstrak, dan kebanyakannya, hanya diketahui oleh si pelaku dan Allah saja. Lain halnya dengan kedurhakaan terhadap orang tua, yang jelas amat kelihatan, gampang dideteksi, diperiksa dan ditelaah, sehingga lebih mudah mengubah sosok pelakunya di tengah masyarakat, dari status sebagai orang baik menjadi orang jahat. Pola berpikir seperti itu, jelas tidak benar, karena Allah menegaskan dalam firman-Nya:
ساًنا َح ْ ن ِإ ِ ل َتْعُبُدوا ِإل ِإّياُه َوِباْلَواِلَدْي ّ ك َأ َ ضى َرّب َ َوَق “Allah telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23) Penghambaan diri kepada Allah, jelas harus lebih diutamakan. Karena manusia diciptakan memang hanya untuk tujuan itu. Namun, ketika Allah ‘menggandengkan’ antara kewajiban menghamba kepada-Nya, dengan kewajiban berbakti kepada orang tua, hal itu menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua memang memiliki tingkat urgensi yang demikian tinggi, dalam Islam. Kewajiban itu demikian ditekankan, sampai-sampai Allah menggandengkannya dengan kewajiban menyempurnakan ibadah kepada-Nya. Urgensi Berbakti kepada Dua orang Tua. Ada setumpuk bukti, bahwa berbakti kepada kedua orang tua –dalam wacana Islam- adalah persoalan utama, dalam jejeran hukum-hukum yang terkait dengan berbuat baik terhadap sesama manusia. Allah sudah cukup mengentalkan wacana ‘berbakti’ itu, dalam banyak firman-Nya, demikian juga Rasulullah r, dalam banyak sabdanya, dengan memberikan ‘bingkai-bingkai’ khusus, agar dapat diperhatikan secara lebih saksama. Di antara tumpukan bukti tersebut adalah sebagai berikut: 1. Allah ‘menggandengkan’ antara perintah untuk beribadah kepada-Nya, dengan perintah berbuat baik kepada orang tua: “Allah telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23) 2. Allah memerintahkan setiap muslim untuk berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun mereka kafir: “Kalau mereka berupaya mengajakmu berbuat kemusyrikan yang jelas-jelas tidak ada pengetahuanmu tentang hal itu, jangan turuti; namun perlakukanlah keduanya secara baik di dunia ini.” (Luqmaan : 15) Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Ayat di atas menunjukkan diharuskannya memelihara hubungan baik dengan orang tua, meskipun dia kafir. Yakni dengan memberikan apa yang mereka butuhkan. Bila mereka tidak membutuhkan harta, bisa dengan cara mengajak mereka masuk Islam..“ 3. Berbakti kepada kedua orang tua adalah jihad. Abdullah bin Amru bin Ash meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki meminta ijin berjihad kepada Rasulullah r. Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Lelaki itu menjawab, “Masih.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, berjihadlah dengan berbuat baik terhadap keduanya.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim) 4. Taat kepada orang tua adalah salah satu penyebab masuk Surga. Rasulullah r bersabda, “Sungguh kasihan, sungguh kasihan, sungguh kasihan.” Salah seorang Sahabat bertanya, “Siapa yang kasihan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang sempat berjumpa dengan orang tuanya, kedua-duanya, atau salah seorang di antara keduanya, saat umur mereka sudah menua, namun tidak bisa membuatnya masuk Surga.” (Riwayat Muslim) Beliau juga pernah bersabda: “Orang tua adalah ‘pintu pertengahan’ menuju Surga. Bila engkau mau, silakan engkau pelihara. Bila tidak mau, silakan untuk tidak memperdulikannya.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dan beliau berkomentar, “Hadits ini shahih.” Riwayat ini juga dinyatakan shahih, oleh Al-Albani.) Menurut para ulama, arti ‘pintu pertengahan’, yakni pintu terbaik. 5. Keridhaan Allah, berada di balik keridhaan orang tua. “Keridhaan Allah bergantung pada keridhaan kedua orang tua. Kemurkaan Allah, bergantung pada kemurkaan kedua orang tua.”
6. Berbakti kepada kedua orang tua membantu meraih pengampunan dosa. Ada seorang lelaki datang menemui Rasulullah r sambil mengadu, “Wahai Rasulullah! Aku telah melakukan sebuah perbuatan dosa.” Beliau bertanya, “Engkau masih mempunyai seorang ibu?” Lelaki itu menjawab, “Tidak.” “Bibi?” Tanya Rasulullah lagi. “Masih.” Jawabnya. Rasulullah r bersabda, “Kalau begitu, berbuat baiklah kepadanya.” Dalam pengertian yang ‘lebih kuat’, riwayat ini menunjukkan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua, terutama kepada ibu, dapat membantu proses taubat dan pengampunan dosa. Mengingat, bakti kepada orang tua adalah amal ibadah yang paling utama. 7. Berbakti kepada orang tua, membantu menolak musibah. Hal itu dapat dipahami melalui kisah ‘tiga orang’ yang terkurung dalam sebuah gua. Masing-masing berdoa kepada Allah dengan menyebutkan satu amalan yang dianggapnya terbaik dalam hidupnya, agar menjadi wasilah (sarana) terkabulnya doa. Salah seorang di antara mereka bertiga, mengisahkan tentang salah satu perbuatan baiknya terhadap kedua orang tuanya, yang akhirnya, menyebabkan pintu gua terkuak, batu yang menutupi pintunya bergeser, sehingga mereka bisa keluar dari gua tersebut. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim) 8. Berbakti kepada orang tua, dapat memperluas rezki. Rasulullah r bersabda, “Barangsiapa yang ingin rezkinya diperluas, dan agar usianya diperpanjang (dipenuhi berkah), hendaknya ia menjaga tali silaturahim.” (Al-Bukhari dan Muslim) Berbakti kepada kedua orang tua adalah bentuk aplikasi silaturahim yang paling afdhal yang bisa dilakukan seorang muslim, karena keduanya adalah orang terdekat dengan kehidupannya. 9. Doa orang tua selalu lebih mustajab. Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah r bersabda, “Ada tiga bentuk doa yang amat mustajab, tidak diragukan lagi: Doa orang tua untuk anaknya, doa seorang musafir dan orang yang yang terzhalimi.” 10. Harta anak adalah milik orang tuanya. Saat ada seorang anak mengadu kepada Rasulullah r, “Wahai Rasulullah! Ayahku telah merampas hartaku.” Rasulullah bersabda, “Engkau dan juga hartamu, kesemuanya adalah milik ayahmu.” 11. Jasa orang tua, tidak mungkin terbalas. Rasulullah r bersabda: “Seorang anak tidak akan bisa membalas budi baik ayahnya, kecuali bila ia mendapatkan ayahnya sebagai budak, lalu dia merdekakan.” (Dikeluarkan oleh Muslim) 12. Durhaka kepada orang tua, termasuk dosa besar yang terbesar. Dari Abu Bakrah diriwayatkan bahwa Rasulullah r bersabda, “Maukah kalian kuberitahukan dosa besar yang terbesar?” Para Sahabat menjawab, “Tentu mau, wahai Rasulullah r.” Beliau bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah, dan durhaka terhadap orang tua.” Kemudian, sambil bersandar, beliau bersabda lagi, “..ucapan dusta, persaksian palsu..” Beliau terus meneruskan mengulang sabdanya itu, sampai kami (para Sahabat) berharap beliau segera terdiam. (Al-Bukhari dan Muslim) 13. Orang yang durhaka terhadap orang tua, akan mendapatkan balasan ‘cepat’ di dunia, selain ancaman siksa di akhirat. Rasulullah r bersabda, “Ada dua bentuk perbuatan dosa yang pasti mendapatkan hukuman awal di dunia: Memberontak terhadap pemerintahan Islam yang sah, dan durhaka terhadab orang tua.” Alhamdulillah. Kesemua bukti tersebut –dan masih banyak lagi bukti-bukti ilmiah lainnya, termasuk konsensus umat Islam terhadap urgensi berbakti kepada orang tua yang sama sekali tidak boleh terabaikan–, kesemuanya, menunjukkan betapa bakti kepada orang tua adalah kebajikan maha penting, bahkan yang terpenting dari sekian banyak perbuatan baik yang diperuntukkan terhadap sesama makhluk ciptaan Allah. Sedemikian pentingnya, hingga riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang adab, prilaku dan sikap seorang anak terhadap orang tuanya, bertaburan dalam banyak hadits-hadits Nabi r, bahkan juga dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Memuliakan Orang Tua Pemuliaan Islam terhadap sosok orang tua, amat lugas. Wujud pemuliaan itu sudah beberapa langkah mendahului gemuruh propaganda sejenis, yang baru-baru saja muncul belakangan ini, dari kalangan Barat. Sebut saja contohnya: jaminan untuk kaum manula, perhatian terhadap kaum jompo dan lain sebagainya. Kenapa
demikian? Karena Islam sudah jauh-jauh hari langsung menghadirkan ‘perintah tegas’ bagi seorang mukmin, untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. “Telah kami pesankan seorang manusia untuk senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (Al-Ahqaaf : 15) Ibnu Katsier menjelaskan, “Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, sekaligus juga melimpahkan kasih sayang kita kepada mereka.” “Beribadahlah kepada Allah, jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (An-Nisaa : 36) Perintah itu, bahkan diseiringkan dengan perintah untuk mengesakan Allah sebagai kewajiban utama seorang mukmin. Sehingga amatlah jelas, perintah itu mengandung ‘tekanan’ yang demikian kuat. Sekarang, bandingkanlah substansi ajaran Islam itu dengan realitas yang berkembang di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia sekarang ini. Banyak anak yang enggan menyisihkan sebagian waktunya, mengucurkan keringat atau sekadar berlelah-lelah sedikit, untuk merawat orang tuanya yang sudah ‘uzur’. Terutama sekali, bila anak tersebut sudah berkedudukan tinggi, sangat sibuk dan punya segudang aktivitas. Akhirnya, ia merasa sudah berbuat segalanya dengan mengeluarkan biaya secukupnya, lalu memasukkan si orang tua ke panti jompo!! Berbuat Baik Kepada Orang Tua
ساًنا َح ْ ن ِإ ِ َوِباْلَواِلَدْي “..dan hendaklah kalian berbuat baik kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23) Berbuat baik dalam katagori umum, dalam bahasa Arabnya disebut ihsaan. Sementara bila ditujukan secara khusus kepada orang tua, lebih dikenal dengan istilah birr. Dalam segala bentuk hubungan interaktif, Islam sangatlah menganjurkan ihsan atau kebaikan. “Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan, untuk dilakukan dalam segala hal. Bila kalian membunuh, lakukanlah dengan cara yang baik. Bila kalian menyembelih hewan, lakukanlah dengan cara baik. Oleh sebab itu, hendaknya seorang muslim menyiapkan pisau yang tajam, dan upayakan agar hewan sembelihan itu merasa lebih nyaman.” Ibnu Jarir Ath-Thabari menjelaskan, “Allah berpesan agar setiap orang melakukan bakti kepada orang tua dengan berbagai bentuk perbuatan baik. Namun kepada selain orang tua, Allah hanya memesankan ’sebagian’ bentuk kebaikan itu saja. “Katakanlah yang baik, kepada manusia.” (Al-Baqarah : 83) Orang tua adalah manusia yang paling berhak mendapatkan dan merasakan ‘budi baik’ seorang anak, dan lebih pantas diperlakukan secara baik oleh si anak, ketimbang orang lain. Ada beragam cara yang bisa dilakukan seorang muslim, untuk ‘mengejawantahkan’ perbuatan baiknya kepada kedua orang tuanya secara optimal. Beberapa hal berikut, adalah langkah-langkah dan tindakan praktis yang memang sudah ’seharusnya’ kita lakukan, bila kita ingin disebut ‘telah berbuat baik’ kepada orang tua: 1. Bersikaplah secara baik, pergauli mereka dengan cara yang baik pula, yakni dalam berkata-kata, berbuat, memberi sesuatu, meminta sesuatu atau melarang orang tua melakukan suatu hal tertentu. 2. Jangan mengungkapkan kekecewaan atau kekesalan, meski hanya sekadar dengan ucapan ‘uh’. Sebaliknya, bersikaplah rendah hati, dan jangan angkuh. 3. Jangan bersuara lebih keras dari suara mereka, jangan memutus pembicaraan mereka, jangan berhohong saat beraduargumentasi dengan mereka, jangan pula mengejutkan mereka saat sedang tidur, selain itu, jangan sekali-kali meremehkan mereka. 4. Berterima kasih atau bersyukurlah kepada keduanya, utamakan keridhaan keduanya, dibandingkan keridhaan kita diri sendiri, keridhaan istri atau anak-anak kita. 5. Lakukanlah perbuatan baik terhadap mereka, dahulukan kepentingan mereka dan berusahalah ‘memaksa diri’ untuk mencari keridhaan mereka. 6. Rawatlah mereka bila sudah tua, bersikaplah lemahlembut dan berupayalah membuat mereka berbahagia, menjaga mereka dari hal-hal yang buruk, serta menyuguhkan hal-hal yang mereka sukai. 7. Berikanlah nafkah kepada mereka, bila memang dibutuhkan. Allah berfirman:
“Dan apabila kalian menafkahkan harta, yang paling berhak menerimanya adalah orang tua, lalu karib kerabat yang terdekat.” (Al-Baqarah : 215) 8. Mintalah ijin kepada keduanya, bila hendak bepergian, termasuk untuk melaksanakan haji, kalau bukan haji wajib, demikian juga untuk berjihad, bila hukumnya fardhu kifayah. 9. Mendoakan mereka, seperti disebutkan dalam Al-Qur’an:
صِغيرًا َ حْمُهَما َكَما َرّبَياِني َ ب اْر ّ َوُقل ّر “Dan ucapanlah, “Ya Rabbi, berikanlah kasih sayang kepada mereka berdua, sebagaimana menyayangiku di masa kecil.” (Al-Isra : 24) Semua hal di atas bukanlah ’segalanya’ dalam upaya berbuat baik terhadap orang tua. Kita teramat sadar, bahwa ‘hak-hak’ orang tua, jauh lebih besar dari kemampuan kita membalas kebaikan mereka. Mungkin lebih baik kita tidak usah terlalu berbangga diri, kalaupun segala hal diatas telah dapat kita wujudkan dalam kehidupan nyata. Karena orang tua adalah manusia yang pertama kali berbuat baik kepada kita, karena dorongan kasih sayang dan – terlebih-lebih– penghambaan dirinya kepada Allah. Sementara kita hanya memberi balasan, setelah terlebih dahulu kita menerima kebaikan dari mereka. Sehingga, bagaimanapun, nilainya jelas akan berbeda. Arti Birrul Waalidain Perlu ditegaskan kembali, bahwa birrul waalidain (berbakti kepada kedua orang tua), lebih dari sekadar berbuat ihsan (baik) kepada keduanya. Namun birrul walidain memiliki nilai-nilai tambah yang semakin ‘melejitkan’ makna kebaikan tersebut, sehingga menjadi sebuah ‘bakti’. Dan sekali lagi, bakti itu sendiripun bukanlah balasan yang setara yang dapat mengimbangi kebaikan orang tua. Namun setidaknya, sudah dapat menggolongkan pelakunya sebagai orang yang bersyukur. Imam An-Nawaawi menjelaskan, “Arti birrul waalidain yaitu berbuat baik terhadap kedua orang tua, bersikap baik kepada keduanya, melakukan berbagai hal yang dapat membuat mereka bergembira, serta berbuat baik kepada teman-teman mereka.” Al-Imam Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa birrul waalidain atau bakti kepada orang tua, hanya dapat direalisasikan dengan memenuhi tidak bentuk kewajiban: Pertama: Menaati segala perintah orang tua, kecuali dalam maksiat. Kedua: Menjaga amanah harta yang dititipkan orang tua, atau diberikan oleh orang tua. Ketiga: Membantu atau menolong orang tua, bila mereka membutuhkan. Bila salah satu dari ketiga kriteria itu terabaikan, niscaya seseorang belum layak disebut telah berbakti kepada orang tuanya. Karena berbakti kepada kedua orang tua lebih merupakan perjanjian, antara sikap kita dengan keyakinan kita. Kita tahu, bahwa menaati perintah orang tua adalah wajib, selama bukan untuk maksiat. Bahkan perintah melakukan yang mubah, bila itu keluar dari mulut orang tua, berubah menjadi wajib hukumnya. Kita juga tahu, bahwa harta orang tua harus dijaga, tidak boleh dihamburkan secara percuma, atau bahkan untuk berbuat maksiat. Kita juga meyakini, bahwa bila orang tua kita kekurangan atau membutuhkan pertolongan, kitalah orang pertama yang wajib menolong mereka. Namun itu hanya sebatas keyakinan. Bila tidak ada ‘ikatan janji’ dengan sikap kita, semua itu hanya terwujud dalam bentuk wacana saja, tidak bisa terbentuk menjadi ‘bakti’ terhadap orang tua. Oleh sebab itu, Allah menyebut kewajiban bakti itu sebagai ‘ketetapan’, bukan sekadar ‘perintah’. “Allah telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23) Jangan Mendurhakainya!
Mendurhakai orang tua adalah dosa besar. Dan berbuat durhaka terhadap ibu adalah dosa yang jauh lebih besar lagi. Melalui pelbagai penjelasan Islam tentang ‘kewajiban kita’ terhadap sang ibunda, kita dapat menyadari bahwa berbuat durhaka terhadapnya adalah sebuah tindakan paling memalukan yang dilakukan seorang anak berakal. Imam An-Nawawi menjelaskan, “Rasulullah r menyebutkan keharusan berbuat baik kepada ibu sebanyak tiga kali, baru pada kali yang keempat untuk sang ayah, karena kebanyakan sikap durhaka dilakukan seorang anak, justru terhadap ibunya.”
Dalam sebuah hadits, Rasulullah r bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan sikap durhaka terhadap ibu dan melarang mengabaikan orang yang hendak berhutang. Allah juga melarang menyebar kabar burung, terlalu banyak bertanya dan membuang-buang harta.” Ibnu Hajar memberi penjelasan sebagai berikut, “Dalam hadits ini disebutkan ’sikap durhaka’ terhadap ibu, karena perbuatan itu lebih mudah dilakukan terhadap seorang ibu. Sebab, ibu adalah wanita yang lemah. Selain itu, hadits ini juga memberi penekanan, bahwa berbuat baik kepada itu harus lebih didahulukan daripada berbuat baik kepada seorang ayah, baik itu melalui tutur kata yang lembut, atau limpahan cinta kasih yang mendalam.” Sementara, Imam Nawawi menjelaskan, “Di sini, disebutkan kata ‘durhaka’ terhadap ibu, karena kemuliaannya yang melebihi kemuliaan seorang ayah.” Kapan seseorang disebut durhaka? Imam Ash-Shan’aani menjelaskan, “Imam Al-Bulqaini menerangkan bahwa arti kata durhaka yaitu: apabila seseorang melakukan sesuatu yang tidak remeh menurut kebiasaan, yang menyakiti orang tuanya atau salah satu dari keduanya. Dengan demikian, berdasarkan definisi itu, bila seorang anak tidak mematuhi perintah atau larangan dalam urusan yang sangat sepele yang menurut hukum kebiasaan itu tidak dianggap ‘durhaka’, maka itu bukan termasuk kategori perbuatan durhaka yang diharamkan. Namun bila seseorang melakukan pelanggaran terhadap larangan orang tua dengan melakukan perbuatan dosa kecil, maka yang dilakukannya menjadi dosa besar, karena kehormatan larangan orang tua. Demikian juga, disebut durhaka, bila seorang anak melanggar larangan orang tua yang bertujuan menyelamatkan si anak dari kesulitan.” Ibnu Hajar Al-Haitsami menjelaskan, “Kalau seseorang melakukan perbuatan yang kurang adab dalam pandangan umum, yang menyinggung orang tuanya, maka ia telah melakukan dosa besar, meskipun bila dilakukan terhadap selain orang tua, tidaklah dosa. Seperti memberikan sesuatu dengan dilempar, atau saat orang tuanya menemuinya di tengah orang ramai, ia tidak segera menyambutnya, dan berbagai tindakan lain yang di kalangan orang berakal dianggap ‘kurang ajar’, dapat sangat menyinggung perasaan orang tua.” Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan, “Arti durhaka kepada orang tua yaitu melakukan perbuatan yang menyebabkan orang tua terganggu atau terusik, baik dalam bentuk ucapan ataupun amalan..“ Imam Al-Ghazali menjelaskan, “Kebanyakan ulama berpendapat bahwa taat kepada orang tua wajib, termasuk dalam hal-hal yang masih syubhat, namun tidak boleh dilakukan dalam hal-hal haram. Bahkan, seandainya keduanya merasa tidak nyaman bila makan sendirian, kita harus makan bersama mereka. Kenapa demikian? Karena menghindari syubhat termasuk perbuatan wara’ yang bersifat keutamaan, sementara mentaati kedua orang tua adalah wajib. Seorang anak juga haram bepergian untuk tujuan mubah ataupun sunnah, kecuali dengan ijin kedua orang tua. Melakukan haji secepat-cepatnya bahkan menjadi sunnah, bila orang tua tidak menghendaki. Karena melaksanakan haji bisa ditunda, dan perintah orang tua tidak bisa ditunda. Pergi untuk menuntut ilmu juga hanya menjadi anjuran, bila orang tua membutuhkan kita, kecuali, untuk mempelajari hal-hal yang wajib, seperti shalat dan puasa, sementara di daerah kita tidak ada orang yang mampu mengajarkannya..“ Seringkali seorang anak membela diri saat dikecam sebagai anak yang durhaka terhadap ibunya, dengan pelbagai alasan yang dibuat-buat, atau sekadar mengalihkan perhatian kepada soal lain. ‘Seharusnya kan orang tua itu lebih tahu,’ ‘Seharusnya seorang ibu mengerti perasaan anak,’ ‘Seharusnya seorang ibu itu lebih bijaksana daripada anaknya,’ ‘Seharusnya seorang ibu tidak boleh memaksakan kehendak,’ dan berbagai alasan kosong lainnya. Yah, taruhlah, dalam suatu kasus, si ibu memang melakukan kesalahan, dengan memaksakan kehendaknya, atau bersikap
kurang bijaksana. Namun saat si anak membantah perintah atau larangan ibunya, apalagi dia mengerti bahwa yang dikehendaki oleh ibunya itu adalah baik, meski kurang tepat, tidak pelak lagi, si anak telah berbuat durhaka. Di sinilah seharusnya ‘kunci kesabaran’ dan tingkat ‘kesadaran’ terhadap syariat Allah, juga penghormatan terhadap orang tua, dapat menggeret seseorang mengambil jalan mengalah, meskipun ia harus mengorbankan banyak hal, termasuk harta, dan juga cita-citanya. Selama hal itu dapat membahagiakan sang ibu, seharusnya ia berusaha untuk memenuhi kehendaknya. Abdullah bin Ali Al-Ju’aitsan menegaskan, “Apabila kita sudah menyadari betapa besar hak seorang ibu terhadap anaknya, dan betapa besar dosa perbuatan durhaka terhadapnya, atau dosa sekadar lalai memperhatikannya, cobalah, segera berbakti kepadanya, maafkan segala kekeliruannya di masa lampau, berusaha dan berusahalah untuk selalu menjalin hubungan baik dengannya. Berusahalah untuk menyenangkannya, dan dahulukan upaya memperhatikannya daripada segala hal yang kita sukai. Berupayalah untuk memenuhi kebutuhannya selekas mungkin, jangan sampai menyusahkannya. Ingatlah firman Allah: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Al-Israa : 24) Ketika orang tua telah berusia senja. Pada saatnya, usia juga yang membatasi kepawaian seorang ibu mengasuh anaknya. Kasih ibu, memang tak dapat dihentikan sang waktu. Namun sebagai manusia, kekuatannya tidak pernah abadi. Akhirnya, sang ibu harus melalui juga masa-masa yang belum pernah dibayangkan selama ini. Kulitnya mulai keriput, tenaganya mulai jauh berkurang, tulang-tulangnyapun mulai terasa rapuh, suaranya berubah menjadi sengau, tak mampu menyetabilkan nada yang keluar. Saat itulah, ia mulai sangat membutuhkan belaian kasih sang anak. Ia mulai memerlukan adanya orang lain di sisinya, untuk menyelesaikan segala hal, termasuk pekerjaan-pekerjaan ringan sekalipun, yang selama ini bisa dia selesaikan seorang diri. Saat itulah, bakti seorang anak menjadi suatu hal yang teramat dibutuhkan: “ Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:”Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (Al-Isra : 23-24) Saat usia semakin tua, bisa jadi kepekaan seorang ibu bertambah. Ia lebih mudah tersinggung, lebih mudah melampiaskan amarahnya, lebih mudah tersentuh hatinya hanya oleh kata-kata atau ucapan, yang bila itu diucapkan seorang anak di waktu mudanya, tidak akan diperdulikan sama sekali. Oleh sebab itu, Al-Qur’an memberikan bimbingan yang demikian santun, agar seorang anak membiasakan diri berbicara dan bersikap secara mulai, santun dan terpuji, terhadap kedua orang tuanya, terutama sekali ibunya. Suatu hari, Rasulullah naik ke atas mimbar, lalu beliau berkata: “Amin, amin, amin.” Kontan, seorang Sahabat bertanya: “Kenapa engkau mengucapkan amin, amin dan amin, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tadi datang Jibril menemuiku, lalu ia berkata: “Barangsiapa yang menjumpai bulan Ramadhan, lalu ia tidak mendapatkan ampunan Allah, maka ia pasti masuk Neraka. Jauhilah hamba-Mu ini dari siksa Neraka.” Akupun berkata: ‘Amin.’ Lalu Jibril berkata lagi: “Barangsiapa yang mendapatkan salah seorang dari kedua orang tuanya, atau keduanya, pada saat mereka sudah berusia lanjut, namun ia tidak berkesempatan berbakti kepada mereka, maka ia pasti masuk Neraka. Jauhilah hamba-Mu ini dari siksa Neraka.” Akupun berkata: ‘Amin.’ Lalu Jibril berkata lagi: “Barangsiapa yang mendengar namaku (Nabi Muhammad) disebutkan, lalu ia tidak membaca shalawat untukku, maka bila ia mati, ia pasti masuk Neraka. Jauhilah hamba-Mu ini dari siksa Neraka.” Akupun berkata: ‘Amin.‘ Saat Ibunda Telah Wafat Ada beberapa wujud manefestasi cinta kasih kepada sang bunda, yang masih dapat kita lakukan saat sang bunda sudah terlebih dahulu meninggalkan dunia ini. Semua bentuk implementasi cinta kasih itu pada dasarnya lebih bersifat tugas dan kewajiban kita. Dengan atau tanpa muatan cinta kasih, semua tugas itu harus kita pikul. Namun adalah kenistaan, bila kita melaksanakan semuanya tanpa landasan cinta kepadanya. Berikut ini, penulis paparkan beberapa di antaranya: Pertama: Melaksanakan perjanjian dan pesan sang bunda.
Diriwayatkan dari Syaried bin Suwaid Ats-Tsaqafi, bahwa ia menuturkan, “Wahai Rasulullah! Ibuku pernah berpesan kepadaku untuk memerdekakan seorang budak wanita yang beriman. Aku memiliki seorang budah wanita berkulit hitam. Apakah aku harus memerdekakannya?” “Panggil dia.” Sabda Rasulullah r. Saat wanita itu datang, beliau bertanya, “Siapa Rabbmu?” Budak wanita itu menjawab, “Allah.” “Lalu, siapa aku?” Tanya Rasulullah r lagi. Wanita itu menjawab, “Engkau adalah Rasulullah r.” Beliaupun bersabda, “Merdekakan dia. Karena dia adalah wanita mukminah.” Kedua: Mendoakan sang ibu, membacakah shalawat dan memohonkan ampunan baginya. Ibnu Rabi’ah meriwayatkan: Saat kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah r, tiba-tiba datanglah seorang lelaki dari kalangan Bani Salamah bertanya, “Wahai Rasulullah r! Apakah masih tersisa bakti kepada kedua orang tuaku setelah mereka meninggal dunia?” Rasulullah r menjawab, “Ya. Bacakanlah shalat untuk mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, tunaikan perjanjian mereka, peliharalah silaturahim yang biasa dipelihara kala mereka masih hidup, juga, hormati teman-teman mereka.” Abu Hurairah meriwayatkan: Rasulullah r bersabda: Sesungguhnya, Allah Azza wa Jalla bisa saja mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di Surga kelak. Si hamba itu akan bertanya, “Ya Rabbi, bagaimana aku bisa mendapatkan derajat sehebat ini?” Allah berfirman, “Karena permohonan ampun dari anakmu.” Salah satu dari tanda cinta kasih kita kepada ibu adalah munculnya pengharapan agar si ibu selalu hidup berbahagia. Bila ia sudah meninggal dunia, kita juga senantiasa mendoakannya, membacakan shalat untuknya serta memohonkan ampunan untuknya. Semua perbuatan tersebut bukanlah hal-hal yang remeh. Dan juga, amat jarang anak yang mampu secara telaten melakukan semua kebajikan tersebut. Padahal, ditinjau dari segi kelayakan, dan segi kesempatan serta kemampuan, sudah seyogyanya setiap anak berusaha melakukannya. Dari kwantitas, semua amalan tersebut tidak membutuhkan banyak waktu. Sekadar perhatian dan kesadaran, yang memang sangat dituntut. Bila seorang anak merasa sangat kurang berbakti kepada kedua orang tuanya, inilah kesempatan yang masih terbuka lebar, untuk menutupi kekurangan tersebut, selama hayat masih dikandung badan. Ketiga: Memelihara hubungan baik, dengan teman dan kerabat ibu. Rasulullah r bersabda, “Barangsiapa yang tetap ingin menjaga hubungan silaturahim dengan ayahnya yang sudah wafat, hendaknya ia menjaga hubungan baik dengan teman-teman ayahnya yang masih hidup.” Keempat: Melaksanakan beberapa ibadah untuk kebaikan sang ibu. Saat bin Ubadah pernah bertanya, “Ibuku sudah meninggal dunia. Sedekah apa yang terbaik, yang bisa kulakukan untuknya?” Rasulullah r menjawab, “Air. Gali saja sumur. Lalu katakan: ‘pahala penggunaan sumur ini, untuk ibu Saad.” Demikianlah sekilas tentang hubungan dengan ibu yang menjadi salah satu dari kedua orang tua, sengaja dibatasi pembahasan ini hanya seputar ibu, agar lebih singkat. Mudah-mudahan bermanfaat. Tafsir Al-Qurthubi XIV : 65. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dan beliau berkomentar, “Hadits ini shahih.” Riwayat ini juga dinyatakan shahih, oleh Al-Albani. Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani dalam Al-Awsath Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani Dicuplik dari wa bil waalidain ihsaana oleh Abdullah bin Ali Al-Ju’aitsin – Select.Islamiy.com. Diriwayatkan oleh Al-Hakim, dinyatakan shahih oleh Al-Albani. Lihat Tafsir Al-Qur’aan Al-’Azhiem IV : 159. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah II : 1058, dari hadits Syaddad bin Aus. Dicuplik dari makalah Birrul Waalidain oleh Abdurrahman Abdul Kariem Al-Ubaid – select.Islamy.com Lihat Syarah Muslim oleh Imam An-Nawaawi I : 194. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari VI : 331, Muslim III : 1341, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya XII : 36. Lihat Fathul Baari V : 68. Syarah Muslim XII : 11. Lihat Subulus Salaam IV : 162. Az-Zawaajir II : 73. Lihat Fathul Baari I : 420.
Lihat Ihyaa ‘Ulumuddien oleh Imam Al-Ghazali. Buku ini mengandung berbagai pelajaran akhlak yang baik. Sayang, terlalu banyak mengandung hadits-hadits lemah dan palsu, selain mengandung pengajaran tasawuf yang menyimpang dari pemahaman yang benar. Para ulama banyak memperingatkan terhadap bahaya kitab ini. Namun mereka juga masih sering menukil beberapa persoalan akhlak, dari buku ini. Untuk itu, kami juga memperingatkan agar menghindari membaca buku ini, kecuali bagi penuntu ilmu yang mapan atau ulama yang sudah bisa memilah-milah yang baik dengan yang tidak. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (904, oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (646) dan Ibnu Khuzaimah (1888) Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasaai. Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak IV : 155, dan beliau berkata, “Hadits ini shahih berdasarkan system periwayatan Al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak mengeluarkan hadits tersebut. Adz-Dzahabi berkata, “Shahih.” Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani dalam Al-Awsath. Disebutkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id X : 210. Diriwayatkan oleh Abu Ya’la. Lihat penjelasannya dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah nomor 1342.dengan Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasaa-ie.
Senin, Agustus 03, 2009 Adakah Arogansi Ilmiah Pada Diri Kita?? Alangkah indahnya kalau setiap diri kita, bisa belajar dari alam, meresapi filosofinya, mengambil maknanya, berendah hati, serta mensyukuri nikmatNYA yang tanpa batas. Ilmu kita yang terbatas, keangkuhan diri yang membelenggu, hati yang kaku, dan keengganan untuk berendah hati, menjadikan kita memiliki arogansi ilmiah. Merasa paling tahu dari yang lain, atau meremehkan orang lain. Ketika sebuah gelar akademis, sarjana, master, doktor, profesor etc, berbaris rapi di depan atau dibelakang nama kita. Padahal ilmu kita belum seberapa bila dibandingkan dengan ilmuNYA Sang Maha Mengetahui. Ibarat satu tetes air di samudra yang luas, itulah ilmu yang kita miliki. Allah telah mengaruniakan satu mulut, dua mata, dan dua telinga. Mulut untuk berbicara, mata untuk melihat, mengamati, dan telinga untuk mendengar. Manfaatnya adalah untuk lebih banyak melihat dan mendengar, daripada ’berbicara.’ Gelar sarjana, master, doctor, dan professor, adalah sebuah gelar akademis. Pembuktiannya adalah seberapa banyak ilmu yang menjadi salah satu amanahnya, yang telah dimudahkan oleh NYA untuk menguasainya, bisa memberikan manfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakat pada umumnya. Bagi dirinya sendiri, ia menjadi semakin tawadhu’ (rendah hati), bagi masyarakat pun ia mengajarkan dengan santun tanpa ada tendensi kesombongan. Berkarya, berkarya, dan berkarya. Memberikan solusi bagi permasalahan di masyarakat. Sungguh disayangkan bila gelar akademis itu diperoleh dengan cara membeli. Tidak hanya dirinya yang kasihan, tapi orang-orang yang ada disekitarnya pun kasihan. Tidakkah kita belajar dari ilmu padi??? Semakin berisi padi itu, maka ia semakin merunduk. Rendah hati. Kecuali padi yang kosong/ istilah jawanya gabuk, maka ia akan tetap mendongak keatas, menunjukkan arogansi ilmiahnya. Tidakkah kita belajar dari pohon-pohon yang mengeluarkan buahnya yang berasa manis??? Ia tumbuh dari sebutir biji. Menjadi pohon, maka ia bisa dijadikan tiang atau tempat bersandar. Berdaun lebat, maka ia memberi keteduhan. Berbunga, maka ia memberikan keindahan. Berbuah, maka ia memberikan kenikmatan dan rasa kenyang. Kemudian, bijinyapun bisa ditanam kembali untuk melalui proses yang sama. Memberikan kemanfaatan. Apakah diri kita sudah seperti itu??? Disetiap fase pertumbuhan kita. Disetiap fase menuntut ilmu. Disetiap tingkatan ilmu yang kita peroleh sudah memberikan kemanfaatan??? Atau justru yang ada hanya sebuah kesombongan???
Tidakkah kita belajar dari kisahnya Nabi Musa as dengan Nabi Khidr as?? Nabi Musa as, ingin berguru pada Nabi Khidr as, tapi dikarenakan ketidaksabarannya, ketidaktahuannya, ia selalu bertanya..dan bertanya atas apa yang dilakukan oleh Nabi Khidr. Padahal diawal perjalanan mereka sudah diberi warning untuk tidak banyak bertanya. Tapi apalah daya, Nabi Musa selalu ingin tahu, sehingga ia selalu bertanya. Pada akhirnya, ia hanya sebentar menjadi muridnya/ belajar dari Nabi Khidr. Untuk kisah selengkapnya bisa dilihat di Al-Qur’an Surat Al-Kahfi : 65 – 82. Berendah hati, dan bersabar dalam menuntut ilmu. Itulah yang bisa dipetik dari kisah ini. Kisah ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang sedang menuntut ilmu, tapi alangkah indahnya bila yang sudah berilmupun mengambil manfaatnya. Bukankah diatas langit masih ada langit? Bukankah ilmu yang kita miliki adalah sebagian kecil ilmuNYA yang dititipkan kepada kita?? Agar kita semakin tunduk kepadaNYA... Marilah kita merenung sejenak, disela-sela kita menuntut ilmu, disela -sela kita berbagi ilmu, membagi ilmu, dan mengamalkan ilmu. Adakah arogansi ilmiah Pada Diri Kita??? Jiwa ini haus akan ilmu Diri ini ingin membagi ilmu Tapi daya itu semakin melemah ketika asa goyah Bukan karena berhenti atau terhenti Tapi... Sejumput rasa kesombongan membelenggu hati Ya Malik, langit dan bumi adalah milikMU Ya Muhaimin, lindungi kami dari rasa itu Karena hanya Engkau yang berhak memiliki rasa itu Karena segala sesuatu adalah milikMU Read More → Adakah Arogansi Ilmiah Pada Diri Kita??
Diposkan oleh assifah 0 komentar Label: Kisah Berhikmah, Motivasi, Opini, Renungan
Jumat, Juli 31, 2009 Nasihat Untuk Yang Sedang Mendapatkan Cobaan Berat Hari tidak selamanya berjalan siang, karena adakalanya dia berganti malam. Begitupun dengan musim tidak mungkin selamanya kemarau, karena suatu saat dia akan berganti hujan. Dibelahan bumi yang lain bahkan ada musim semi dan musim gugur. Begitulah kehidupan, bagaikan taman yang dipenuhi bunga beraneka macam
warna. Ketika kita melihatnya dari sudut hati yang jernih, maka akan tampaklah keindahannya. Sahabatku, mungkin saat ini atau suatu saat nanti kita mendapatkan cobaan berat yang menghimpit dada, nafas terasa sesak, dan jiwa terasa lemah, maka ingatlah bahwa setelah kesulitan itu ada kemudahan. Bahkan boleh dibilang bahwa bersama kesulitan itu ada kemudahan dan itulah warna-warni kehidupan. Sebagai nasihat, mari kita simak perkataan seorang doktor dalam bidang hadis yang hafal Al-Qur'an dan ribuan hadis, yaitu DR.'Aidh al-Qarni sebagai berikut:
"Sampaikan kabar gembira kepada malam hari bahwa sang fajar pasti datang mengusirnya dari puncak-puncak gunung dan dasar-dasar lembah. Kabarkan juga kepada orang yang dilanda kesusahan, bahwa pertolongan Allah akan datang secepat kelebatan cahaya dan kedipan mata. Kabarkan juga kepada orang yang ditindas bahwa kelembutan dan dekapan hangat akan segera tiba. Saat anda melihat hamparan padang sahara yang seolah memanjang tanpa batas, ketahuilah bahwa dibalik kejauhan itu terdapat kebun yang rimbun penuh hijau dedaunan". Demikian sahabatku, semoga nasihat ini bermanfaat untuk kita semua... Read More → Nasihat Untuk Yang Sedang Mendapatkan Cobaan Berat
Diposkan oleh assifah 0 komentar Label: Motivasi, Opini, Renungan Masa Depan Indonesia yang Mana Yang Dipilih??? Bukan barang tabu ketika mendengar kata narkoba. Yang ada justru : Ngeri!!! Begitulah ketika kerap kali membaca, mendengar, atau melihat kasus-kasus kriminalitas yang akhir-akhir ini terjadi. Apalagi melibatkan anak kecil sebagai korban atau justru sebagai pelaku utamanya. Bagaimanakah masa depan Indonesia kelak ketika generasi mudanya, usia dini, terlibat kriminalitas?? Seperti yang diberitakan oleh detik.com, Rabu 29 Juli 2009, bahwa jumlah pengguna narkoba di Indonesia hingga akhir tahun 2008 mencapai angka 4 juta orang. Dari angka itu 70% nya adalah anak sekolah. Tingginya angka penggunaan narkoba di kalangan sekolah menurut Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Budiharja, keterlibatan pelajar dalam penyalahgunaan narkoba cukup tinggi. Intinya itu SD pun sudah terkena. Kemanakah nurani orang yang memberikan itu kepada mereka? Apakah mereka tidak mempunyai anak?
Sehingga anak sekecil itu diberi narkoba ??? Usaha untuk menanggulangi beredarnya narkoba pun telah dioptimalkan, mulai dari penggagalan penyelundupan narkoba oleh Bea Cukai, penyuluhan-penyuluhan, informasi-informasi yang disebarkan melalui televisi, surat kabar dan media-media yang lain, dan pastinya dari rumah/keluarga kedua orang tua sudah menjaga anakanaknya agar dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tapi pergaulan-tetaplah pergaullan,,, anak yang masih polos,,, dan ingin mencoba segala sesuatu...menjadi santapan para mafia untuk memuluskan bisnis gelapnya. Lalu akankah masa depan Indonesia hancur??? Insya Allah tidak, ketika masih ada kebaikan-kebaikan para generasi mudanya. Kita tengok saja beberapa hari yang lalu ketika berita BOM Marriot menggemparkan di pasca PILPRES 2009, generasi muda Indonesia berhasil mengharumkan negerinya di negara orang lain. Mereka memenangkan Olympiade Biologi Internasional di Jepang. Subhanalloh...!!! Begitulah hidup, ada sisi baik dan ada sisi buruknya. Yang manakah kita akan mengambil peran dalam kehidupan ini? Tidak hanya untuk diri kita tapi juga untuk generas-generasi kita selanjutnya. Tidak hanya untuk harga diri kita, tapi juga harga diri bangsa kita. Tidak hanya senilai harga dunia tapi juga untuk akherat yang sangat bernilai. Masa depan kita, adalah masa depan Indonesia. Masa depan diri kita bukan hanya sebatas kita hidup kaya, makmur, banyak anak, anak-anak yang pinter. Atau yang sering diistilahkan muda berfoya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga. Itu bisa jadi adalah keinginan setiap orang. Tapi kitapun perlu ingat bahwa, untuk menjadi baik itu harus diusahakan, diikhtiarkan, diniatkan, dan dikuatkan. Lain halnya ketika menjadi buruk, serasa ringan langkah kaki melangkah ke arah keburukan, tapi serasa berat langkah kaki kearah kebaikan. Kebaikan itulah yang harus senantiasa diusahakan, dipertahankan dan disebarkan. Masyarakat Indonesia itu terdiri atas kumpulan individu-individu. Kita adalah bagian dari individu itu sendiri. Nilai diri kitalah yang patut diusahakan. Belajarlah dari garam, ia sangat sederhana tapi banyak memberikan manfaat untuk manusia, tua-muda, kaya-miskin, terpelajar-atau orang awam. Lain halnya dengan emas, ia mahal harganya, dan manfaatnya hanya sebatas gaya hidup. Jadi Masa depan Indoensia ada ditangan kita dengan jalan kebaikan dan kebenaran yang kita pilih tentunya,,, bukan jalan berliku lagi terjal lagi menjerumuskan tidak hanya diri kita tapi juga orang lain.... Mulailah dari yang kecil...dari yang kita bisa...dan dari sekarang... Ukirlah diri kita agar bernilai.. ukirlah generasi-generasi kita agar bernilai... bukankah 3 hal yang pahalanya senantiasa mengalir terus menerus meskipun kita telah mati adalah anak yang sholeh, ilmu yang bermanfaat dan amal jariyah.
So pilihlah jalan yang membawa kita ke arah kebaikan, mengangkat nilai diri kita, mengharumkan bangsa kita dan menuju kearah kehidupan yang paripurna.
Note : Ya Muhaimin,,, lindungilah kami, anak-anak kami agar senantiasa berada di jalan MU... Read More → Masa Depan Indonesia yang Mana Yang Dipilih???
Diposkan oleh assifah 0 komentar Label: Opini, Sekilas Info
Sabtu, Juli 25, 2009 Tips Menyambut Ramadhan Ramadhan sebentar lagi?! Wah Alhamdulillah ya sampai detik ini kita masih diberi kesempatan untuk 'menghirup nuansa datangnya tamu' yang begitu sangat istimewa. Tamu yang menjadikan kita belajar banyak hal. Ia akan datang sebentar lagi, beberapa hari lagi,,tapi denyut 'keharumannya' sudah merasuk kedalam kalbu. Dialah Ramadhan, bulan yang penuh barokah...,syahru muwasah, syahru tarbiyah, syahru Al Qur'an.... Bulan yang mulia...hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama...malammalamnya adalah malam-malam yang paling utama...jam demi jamnya adalah yang paling utama...di bulan ini nafas menjadi tasbih...tidur menjadi ibadah...amalamal diterima... doa diistijabah...permulaannya adalah rahmat...pertengahannya adalah ampunan...dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka... Ramadhan.., siapa sih yang tidak rindu akan kedatangannya??? barangkali ada, ia yang tidak menginginkan keberkahan ramadhan, dia yang masih sibuk dengan urusan materi dan duniawi. Tapi saya yakin, hampir setiap umat muslim di seluruh penjuru dunia, bersuka cita dengan kehadirannya. Dia begitu sangat istimewa, pun karena kita diistimewakan, dia begitu berharga untuk tidak disambut karena ketika menyambutnya kita akan merasa sangat berharga berlipat-lipat... Di syahru tarbiyah, kita berpuasa sebulan. Puasa merupakan sarana untuk memantapkan aqidah yang kokoh dan teguh, dan sarana hubungan manusia dengan Tuhannya yang berupa hubungan ketaatan dan kepatuhan, sebagaimana ia juga merupakan sarana ketinggian melebihi kebutuhan fisik belaka, dan ketabahan untuk memikul dan bebannya, demi mengutamakan keridhoaan dan kesenangan Allah. (Tafsir Fi Zilalil Qur'an : sayyid Qutb). Bagaimana tidak begitu??? lha di dengan kita berpuasa di bulan ramadhan, Allah menjanjikan bagi mereka surga khusus dengan pintu bernama Ar Royyan. Jadi sayang bukan, ketika kita
melewatkan moment terpenting dan terindah ini. Kita sering membahagiakan/mengutamakan orang-orang disekitar kita atau bahkan diri kita sendiri, mengapa kita tidak mengutamakan Allah di bulan penuh barokah ini??? "Sesungguhnya di dalam surga ada pintu yang bernama Ar Royyan (pintu kesegaran), dimana nanti pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk lewat pintu itu, dan tidak seorangpun yang dapat masuk lewat pintu itu selain mereka, dimana penjaga pintu mengucapkan : 'mana orang-orang yang berpuasa?' kemudian merekapun berdiri, tidak ada seorangpun selain mereka boleh masuk lewat pintu itu. Apabila mereka telah masuk pintu surga maka ditutuplah pintu itu. Maka dari itu tidak ada seorangpun yang dapat masuk lewat pintu itu selain mereka yang ahli berpuasa." (HR. Bukhari dan Muslim) "Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala kepada Allah, maka diampuni dosanya yang telah lampau" (HR. Bukhari dan Muslim) Kerusakan hati, kegundahan diri, keresahan jiwa, kegalauan pikiran dan segala macam 'penyakit kronis' yang menggerogoti kita...marilah kira madrasahkan di bulan Ramadahan. Bertafakur, berdzikir, bersedekah, melapangkan hati... dan amal-amal yaumi (amalan harian) lainnya ditingkatkan sejak sekarang sebagai bentuk 'pemanasan' untuk menyambutnya. Sehingga ketika sudah berada di depannya dan berinteraksi dengannya, akan benar-benar merasakan nikmatnya beribadah di bulan ramadhan. Rosululloh dan para sahabat saja menyambutnya sejak jauh-jauh hari, merindukannya... Jadi akan sangat baik bukan bila kitapun berusaha untuk benar-benar meneladaninya...^_^ Menghitung hari..., ramadhan sebentar lagi, detik-detik bulan nan fitri kian merasuk kehati... Ya Allah, Ya Qowii....kuatkan kami, bimbinglah kami untuk bisa menyambutnya dengan sepenuh hati... Berikut ini langkah-langkah praktis mengantisipasi kemungkinan gagal di bulan suci ramadhan... : 1. Berlatih membiasakan diri untuk berpuasa sejak jauh-jauh hari, agar fisik dan ruhani kita terbiasa dengan nuansa puasa 2. Mempelajari fiqih puasa @amal dengan ilmu ^_^ 3. Membuat agenda2 ibadah harian secara teratur. Agar ramadhan kali ini lebih bermakna ^_^ 4. Membuat taget dan prosentase keberhasilan bulan ramadhan 5. Melawan rasa kemalasan sekeras mungkin. Bismillah.., PASTI BISA!!! 6. Mengurangi bergadang di malam-malam selama bulan ramadahan. Pastinya agar
kita bisa sahur,,,lebih dari itu agar kita bisa berkhalwat dengan Allah,,, 7. Membawa dan membaca Al Qur'an setiap ada kesempatan dan waktu luang 8. Membuka pintu maaf selebar mungkin dan menjalin silaturahmi seluas-luasnya agar hati kita suci dan bersih dalam menyambutnya 9. Menjaga lidah seketat mungkin kecuali untuk hal-hal yang baik dan benar 10. Jaga mata dan pendengaran dari hal-hal yang Allah tidak menyukainya 11. Belajarlah untuk memberi disertai dengan sifat qona'ah yang memperhalus budi pekerti kita. Sepertinya berat,,, tapi semoga meringankan hati kita dan membimbing jiwa kita agar kita bisa menyambut ramadhan dengan hati yang bersih, jiwa yang jernih, dan akal yang produktif. Amin Aku ingin ramadhan tahun ini lebih bermakna bukan sekedar kata bukan sekedar asa tapi ia adalah anugrah untukku dari-NYA Agar aku mendekat pada-NYA Mengapa aku masih tidak mau?? Padahal DIA sangat Maha Menyayangi Ya Rahman...bimbinglah kami, kuatkanlah kami untuk bisa menyambutnya dan menikmati indahnya bulan suci Ramadhan. Amin Read More → Tips Menyambut Ramadhan
Diposkan oleh assifah 0 komentar Label: Motivasi, Spesial Ramadhan Tempat Download Gratis Ebook Islam, MP3, Al-Qur'an Digital Sahabatku, bagaimana kabarmu hari ini? mudah-mudahan senantiasa dalam lindungan dan kasih sayang Allah SWT ya. Hari sabtu begini, mungkin sahabat sudah punya rencana khusus untuk menikmati liburan akhir pekan bersama keluarga. Saya pun bersama istri biasanya jalan-jalan bareng pada hari sabtu seperti ini, kadang ke toko buku, ke tempat pengajian, atau silaturahmi ke tempat teman/ saudara. Apapun rencana yang telah saya dan sahabat susun mudahmudahan berkah untuk kehidupan kita. Bagi yang menikmati hari sabtu dan hari libur di warnet atau ditempat manapun yang bisa online, saya mau ngasih info tentang tempat yang memberikan barangbarang gratis. Di tempat ini kita bisa men download gratis ebook islam, MP3, Al-Qur'an digital, dan lain-lain.
Bagi yang berminat, silahkan langsung aja kunjungi tempat download gratisnya. Silahkan dipilih dan ambilah yang bermanfaat untuk sahabat. Demikian infonya, semoga bermanfaat... Read More → Tempat Download Gratis Ebook Islam, MP3, Al-Qur'an Digital
Diposkan oleh assifah 0 komentar Label: Download Gratis
Jumat, Juli 24, 2009 Hal-Hal Yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Anak
Senang rasanya ketika si buah hati sudah lahir, terdengar tangisnya, dan memberikan kesibukan baru buat para bapak atau ibu yang menantikannya. Biasanya perkembangan anak setelah lahir, lebih cenderung kepada perkembangan motorik, dimana si kecil mulai melihat sekelilingnya, meraba, merangkak, berjalan, dst. Ketika saya dan teman teman mendiskusikan Pendidikan Anak Usia Dini dengan mengacu pada sebuah buku (lupa judulnya=( menghasilkan beberapa hal yang bermanfaat unttuk menjadi perhatian. Salah satu diantaranya adalah beberapa hal yang mempengaruhi perkembangan motorik anak : 1. Sifat dasar genetik 2. Kondisi pra lahir. Kondisi ini lebih cenderung dipengaruhi oleh psikologis ibu di masa kehamilan. 3. IQ. Bila IQ tinggi maka perkembangan motorik bagus. 4. Adanya rangsangan/ stimulus 5. Perlindungan berlebihan pada anak, bisa mengganggu psikologis. misal : kata ..'jangan...' 6. Cacat fisik 7. Perbedaan jenis kelamin, warna kulit, dan kondisi sosial ekonomi.
Jadi selamat mengamati dan membersamai si kecil dalam pertumbuhannya.... Read More → Hal-Hal Yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik An
Sabtu, Juli 25, 2009 Tips Menyambut Ramadhan Ramadhan sebentar lagi?! Wah Alhamdulillah ya sampai detik ini kita masih diberi kesempatan untuk 'menghirup nuansa datangnya tamu' yang begitu sangat istimewa. Tamu yang menjadikan kita belajar banyak hal. Ia akan datang sebentar lagi, beberapa hari lagi,,tapi denyut 'keharumannya' sudah merasuk kedalam kalbu. Dialah Ramadhan, bulan yang penuh barokah...,syahru muwasah, syahru tarbiyah, syahru Al Qur'an....
Bulan yang mulia...hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama...malammalamnya adalah malam-malam yang paling utama...jam demi jamnya adalah yang paling utama...di bulan ini nafas menjadi tasbih...tidur menjadi ibadah...amalamal diterima... doa diistijabah...permulaannya adalah rahmat...pertengahannya adalah ampunan...dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka... Ramadhan.., siapa sih yang tidak rindu akan kedatangannya??? barangkali ada, ia yang tidak menginginkan keberkahan ramadhan, dia yang masih sibuk dengan urusan materi dan duniawi. Tapi saya yakin, hampir setiap umat muslim di seluruh penjuru dunia, bersuka cita dengan kehadirannya. Dia begitu sangat istimewa, pun karena kita diistimewakan, dia begitu berharga untuk tidak disambut karena ketika menyambutnya kita akan merasa sangat berharga berlipat-lipat... Di syahru tarbiyah, kita berpuasa sebulan. Puasa merupakan sarana untuk memantapkan aqidah yang kokoh dan teguh, dan sarana hubungan manusia dengan Tuhannya yang berupa hubungan ketaatan dan kepatuhan, sebagaimana ia juga merupakan sarana ketinggian melebihi kebutuhan fisik belaka, dan ketabahan untuk memikul dan bebannya, demi mengutamakan keridhoaan dan kesenangan Allah. (Tafsir Fi Zilalil Qur'an : sayyid Qutb). Bagaimana tidak begitu??? lha di dengan kita berpuasa di bulan ramadhan, Allah menjanjikan bagi mereka surga khusus dengan pintu bernama Ar Royyan. Jadi sayang bukan, ketika kita melewatkan moment terpenting dan terindah ini. Kita sering membahagiakan/mengutamakan orang-orang disekitar kita atau bahkan diri kita sendiri, mengapa kita tidak mengutamakan Allah di bulan penuh barokah ini??? "Sesungguhnya di dalam surga ada pintu yang bernama Ar Royyan (pintu kesegaran), dimana nanti pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk lewat pintu itu, dan tidak seorangpun yang dapat masuk lewat pintu itu selain mereka, dimana penjaga pintu mengucapkan : 'mana orang-orang yang berpuasa?' kemudian merekapun berdiri, tidak ada seorangpun selain mereka boleh masuk lewat pintu itu. Apabila mereka telah masuk pintu surga maka ditutuplah pintu itu. Maka dari itu tidak ada seorangpun yang dapat masuk lewat pintu itu selain mereka yang ahli berpuasa." (HR. Bukhari dan Muslim) "Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala kepada Allah, maka diampuni dosanya yang telah lampau" (HR. Bukhari dan Muslim) Kerusakan hati, kegundahan diri, keresahan jiwa, kegalauan pikiran dan segala macam 'penyakit kronis' yang menggerogoti kita...marilah kira madrasahkan di bulan Ramadahan. Bertafakur, berdzikir, bersedekah, melapangkan hati... dan amal-amal yaumi (amalan harian) lainnya ditingkatkan sejak sekarang sebagai bentuk 'pemanasan' untuk menyambutnya. Sehingga ketika sudah berada di
depannya dan berinteraksi dengannya, akan benar-benar merasakan nikmatnya beribadah di bulan ramadhan. Rosululloh dan para sahabat saja menyambutnya sejak jauh-jauh hari, merindukannya... Jadi akan sangat baik bukan bila kitapun berusaha untuk benar-benar meneladaninya...^_^ Menghitung hari..., ramadhan sebentar lagi, detik-detik bulan nan fitri kian merasuk kehati... Ya Allah, Ya Qowii....kuatkan kami, bimbinglah kami untuk bisa menyambutnya dengan sepenuh hati... Berikut ini langkah-langkah praktis mengantisipasi kemungkinan gagal di bulan suci ramadhan... : 1. Berlatih membiasakan diri untuk berpuasa sejak jauh-jauh hari, agar fisik dan ruhani kita terbiasa dengan nuansa puasa 2. Mempelajari fiqih puasa @amal dengan ilmu ^_^ 3. Membuat agenda2 ibadah harian secara teratur. Agar ramadhan kali ini lebih bermakna ^_^ 4. Membuat taget dan prosentase keberhasilan bulan ramadhan 5. Melawan rasa kemalasan sekeras mungkin. Bismillah.., PASTI BISA!!! 6. Mengurangi bergadang di malam-malam selama bulan ramadahan. Pastinya agar kita bisa sahur,,,lebih dari itu agar kita bisa berkhalwat dengan Allah,,, 7. Membawa dan membaca Al Qur'an setiap ada kesempatan dan waktu luang 8. Membuka pintu maaf selebar mungkin dan menjalin silaturahmi seluas-luasnya agar hati kita suci dan bersih dalam menyambutnya 9. Menjaga lidah seketat mungkin kecuali untuk hal-hal yang baik dan benar 10. Jaga mata dan pendengaran dari hal-hal yang Allah tidak menyukainya 11. Belajarlah untuk memberi disertai dengan sifat qona'ah yang memperhalus budi pekerti kita. Sepertinya berat,,, tapi semoga meringankan hati kita dan membimbing jiwa kita agar kita bisa menyambut ramadhan dengan hati yang bersih, jiwa yang jernih, dan akal yang produktif. Amin Aku ingin ramadhan tahun ini lebih bermakna bukan sekedar kata bukan sekedar asa tapi ia adalah anugrah untukku dari-NYA Agar aku mendekat pada-NYA Mengapa aku masih tidak mau?? Padahal DIA sangat Maha Menyayangi
Ya Rahman...bimbinglah kami, kuatkanlah kami untuk bisa menyambutnya dan menikmati indahnya bulan suci Ramadhan. Amin
Minggu, Juli 12, 2009
Kisah Motivasi Agar Tidak Menyerah
Pada suatu ketika dalam sebuah buku saya menemukan kata mutiara seperti ini “kita Menjadi Seorang Ahli karena Giat belajar dan berlatih terus menerus, ini bukan keistimewaan namun kebiasaan” Makna kata mutiara diatas awalnya sulit saya fahami, sampai akhirnya saya teringat dengan kisah perjalanan seorang ulama terkenal jaman dahulu. Alkisah dia adalah seorang pemuda yang belajar kepada seorang ulama terkenal bersama teman-temannya. Seiring berjalannya waktu dia merasa bahwa dirinya adalah murid yang paling bodoh diantara teman-temannya. Dia sulit memahami, menghafal, dan mengerti dengan pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Akhirnya dia menyerah dan memutuskan untuk mengakhiri masa belajarnya. Berjalanlah dia untuk pulang kerumahnya dengan melalui perjalanan yang panjang. Ketika dalam perjalanan dirinya merasa kelelahan kemudian istirahat. Tanpa ia duga sebuah peristiwa alam terlihat di depan matanya, dia mengamati sebuah batu yang sangat keras tembus berlubang oleh tetesan air yang sedikit dan lemah, akan tetapi berlangsung terus menerus dalam waktu yang sangat lama. Kemudain dia berpikir, batu saja yang sedemikian kerasnya hanya oleh tetesan air bisa tembus berlubang asal sabar dan terus menerus. Kalau begitu berarti otak sayapun bisa menembus kebodohan asal sabar dan terus menerus. Singkat cerita, dia tidak jadi pulang tetapi kembali kepada gurunya untuk meneruskan perburuan ilmunya. Langkah ini memberikan buah yang manis kepadanya, karena dia akhirnya menjadi ulama yang sangat terkenal dengan kedalaman ilmunya.
Sabtu, Maret 28, 2009 Pemuda Yang Hebat
Dulu ketika kelas dua SMA, saya sering mendengarkan ceramah dari salah satu stasiun radio di Bandung. Sementara itu saya tinggal di Sukabumi. Ceramahnya diselenggarakan tiap malam jum’at selepas isya. Suatu ketika penceramah menanyai salah seoarang jamaah yang hadir di pengajiannya. Pemuda ini tangan dan kakinya lumpuh. Bicaranya tidak lancar dan matanya tidak bisa melihat. Untuk hadir di pengajian, dia mengeluarkan uang yang cukup banyak. Untuk mengangkat dirinya ke taksi dia membayar orang kurang lebih Rp 5.000,- . kemudian dia harus membayar supir taksi kurang lebih Rp 20.000,-. Setelah itu diapun harus membayar orang untuk mengangkatnya sampai duduk di ruangan mesjid. Jadi setidaknya dia harus mengeluarkan uang kurang lebih Rp 30.000,-.
Pemuda ini hanya tinggal berdua dengan ibunya yang sudah tua dan tidak bekerja. Untuk membiayai hidup dia dan ibunya serta untuk ongkos ke pengajian, dia berjualan kecil-kecilan di depan rumahnya.
Sahabat, saat itu air mata saya menetes mendengar suara pemuda ini menuturkan sendiri kondisinya dengan terbata-bata. Dia dengan kondisi fisik yang terbatas mempunyai semangat yang hebat untuk hadir di majelis ilmu. Jarak yang jauh tidak menjadi halangan, mata yang tidak bisa melihat tidak menjadi halangan, kaki yang tidak mampu berjalan bahkan dengan bantuan tongkatpun dia tidak mampu berjalan tidak menjadi halangan. Sementara saya dianugerahi Allah SWT fisik yang sempurna, kedua mata yang bisa melihat, kedua kaki yang mampu berjalan. Akan tetapi semangat untuk mencari ilmu sangat tipis, bahkan untuk hadir di pengajian yang jaraknya hanya dua rumahpun kaki ini terasa berat melangkah. Lalu apakah arti syukur? Tidakkah sikap saya itu bagian dari rasa tidak bersyukur kepada Allah SWT? Ya Allah ampuni hamba yang menyia-nyiakan ni’mat yang telah engkau berikan. Sungguh ni’matmu tidak terhitung. Engkaulah yang membuatku bisa melihat daun yang hijau, membuat telingaku bisa mendengar burung yang berkicau, membuat kakiku bisa berjalan dan berlari. Engkaulah yang mengalirkan darah ditubuhku tiada henti, mendetakkan jantungku setiap detik, menjagaku ketika aku sedang tidur, memberiku makan ketika sedang lapar. Ya Allah engkaulah yang menurunkan air hujan dari langit, yang menutupkan malam terhadap siang dan menutupkan siang terhadap malam, engkaulah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, engkaulah yang menaburkan bintang gemintang diangkasa, yang meninggikan gunung-gunung, yang menghamparkan lautan. Ya Allah engkaulah yang begini dan begitu, sungguh aku tidak sanggup menyebut satu persatu karena keterbatasan ilmuku. Wahai pemuda terima kasih telah mengajarkan saya arti bersyukur dan pentingnya ilmu. Semoga Allah meninggikan derajatmu di dunia dan akhirat, Amin.
Menjalin Silaturahim October 8, 2008 by herianto Tak terasa waktu begitu cepat berjalan. serasa baru kemaren datang ke Tokyo, ehhh sudah 2 tahun berlalu. kawan pun berganti selalu. ada yang lulus, ada juga yang datang. banyak sekali kenangan dan pengalaman yang bisa saya petik di sini. bertemu banyak teman tentunya menghasilkan beraneka ragam pengalaman. dari yang biasa sampai luar biasa. ada teman yang sedang senang, biasa saja, sampai yang sedang dalam
kesedihan. entah riang karena nilai ujian bagus ataupun riang karena sebab lainnya. begitu juga dengan yang sedih, banyak sekali penyebabnya. bertemu dan diskusi dengan teman yang sedang ada masalah akan menjadikan kita semakin tahu bahwa setiap orang punya masalahnya masing masing. besar kecilnya masalah tergantung dari orangnya. bisa jadi kita melihat suatu masalah sangat besar, tetapi orang lain memandangya sangat kecil. begitu juga sebaliknya. Alangkah indahnya islam yang begitu memuliakan silaturahim. dengan silaturahim kita bisa berdiskusi bahkan sampai curhat masalah kita masing masing. tanpa sadar kita kadang mendapatkan inspirasi atau jawaban atas permasalahan kita dari orang yang tidak kita sangka. inilah salah satu cara Allah menolong kita. oleh karena itu mari kita jaga jalinan silaturahmi kita dengan siapa saja. karena kita tidak tahu lewat tangan siapa pertolongan Allah akan sampai ke kita. wassalam Herianto
Kita dan angka 8 November 7, 2008 by herianto
Hidup di dunia dapat saya simbolkan dengan angka 8. angka 8 di samping mempunyai 2 bagian utama yang hampir sama besar, yaitu bagian atas dan bagian bawah. bagian atas sengaja saya beri lingkaran putih di tengah sedang yang di bawah saya beri linkaran hitam. ini untuk menyimbolkan 2 keadaan yang berbeda. baik dan buruk, semangat dan malas, positif dan negatif, dan keadaan keadaan lainnya.
Hukum pertama dari simbol angka 8 adalah kita sebagai manusia hanya akan selalu berada di salah satu lingkaran atas atau bawah saja. kalo kita sedang di bawah maka tidak mungkin kita berada di atas dan begitu sebaliknya. Hukum yang kedua adalah berlakunya kelembaman dalam setiap lingkaran. jika kita sedang berada di lingkaran atas maka kita akan dengan sendirinya berada di atas kecuali ada gaya luar yang akan menarik kita turun ke lingkaran bawah. begitu juga ketika kita ada di lingkaran bawah maka kita akan merasa nyaman di lingkaran bawah jika tidak ada sesuatu yang bisa menarik kita ke atas. Hukum ketiga yang juga berlaku adalah hukum gravitasi. hukum ini ingin menegaskan jika sesuatu yang berada di atas akan dengan sendirinya jatuh ke bawah jika tidak ada gaya yang bisa mengimbanginya. tetapi yang ada di bawah mustahil akan naik dengan sendirinya tanpa bantuan gaya tarik dari atas. mari kita renungkan. saat kita sedang dalam keadaan giat belajar maka kita akan semakin giat dan giat belajar. ketika kita malas maka kita akan semakin malas dan malas. ketika kita sedang berbuat baik maka kita akan berusaha berbuat baik yang lain. begitu juga ketika kita sedang berbuat jahat maka akan muncul kejahatan yang lain. dari giat belajar kita akan dengan sendirinya menjadi malas dengan berjalannya waktu jika kita tidak menjaganya. tetapi jika kita dalam kondisi malas maka kita agak susah untuk otomatis jadi rajin belajar. semakin lama kita dalam suatu lingkaran maka gaya kelembamannya akan semakin kuat. gaya inilah yang akan menjaga kita selalu dalam lingkaran. jadi jika kita ingin selalu dalam lingkaran yang di atas atau lingkaran baik maka pastikan diri kita selalu dalam lingkaran itu. jangan sekali kali mecoba turun ke lingkaran bawah karena akan mereset gaya kelembaman tadi. jika gaya sudah direset kita akan memerlukan gaya lebih besar untuk kembali ke lintasan atas lagi. semoga tulisan ini bisa mengingatkan saya pribadi dan pembaca agar kita berusaha selalu dalam lingkaran yang atas. Herianto Aqiqah dan Memberi Nama yang Baik • Oleh H.M. Sazli Nasution NABI Muhammad SAW lahir sebagai anak yatim. Ayahnya Abdullah bin Abdul Muthalib meninggal dunia karena sakit di Madinah Al Munawwarah. la baru saja mengikuti perjalanan panjang kafilah perdagangan ke Suriah, pergi ke Gaza, kembali lagi, lalu singgah di Madinah, ke tempat saudara ibunya, dalam keadaan lelah. Ketika ibunya Aminah bersalin, kabar itu disampaikan kepada Abdul Muthalib di Ka’bah bahwa Aminah melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua yang sudah berusia lebih kurang 70 tahun itu, sekaligus teringat kepada anaknya. Cepat-cepat ia menemui bayi itu, lalu dibawanya ke Ka’bah. la diberi nama Muhammad. Nama itu tidak umum di kalangan orang Arab waktu itu. Pada hari ketujuh kelahirannya itu Abdul Muthalib minta disembelihkan unta, kemudian mengundang masyarakat Quraisy untuk makan bersama. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka heran, mengapa Abdul Muthalib tidak suka memakai nama nenek moyang. “Kuinginkan dia akan menjadi orang yang terpuji bagi Tuhan di langit dan bagi makhluknya di bumi”, jawab Abdul Muthalib. Pendapat paling kuat, seperti dikemukakan DR. Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi dalam
bukunya “Fiqhussirah”, Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awal Tahun Gajah (“Amul Fil - 570 M). Diabadikan Dalam Al - Quran Dalam kitab “Assyari’ah” karya Al Imam Abu Bakar Muhammad Bin Al Husaini Al Ajuri (Abad 4 H) terbitan Darul Hadits, Kairo (2004) disebutkan sejumlah nama Rasulullah merupakan khushusiat (kekhususan) Allah SWT bagi Nabi SAW. Diantaranya dalam hadis shahih diriwayatkan Bukhari-Muslim dan lain-lain. Nabi bersabda, bagiku ada sejumlah nama. Saya bernama Muhammad, Ahmad, Al Mahi (karena saya dengan izin Allah menghapuskan kekafiran di jazirah Arab, dan lain-lain), Al Hasyr karena menghimpun manusia untuk patuh kepada Nabi SAW), Al Aqib, karena ia adalah Nabi terakhir, tak ada lagi Nabi sesudahnya. Dua nama diantaranya diabadikan dalam Al-Quran yaitu Muhammad (QS Ali Imran 44, Al Ahzab 401, Muhammad 2, Al Fatah 39) sedangkan nama Ahmad termaktub dalam QS Ashshaf ayat 6. Al Qadhi ‘lyadh dalam Assyifa Bita’rifi Huquqil Musthafa menyebutkan sejumlah gelar (Alqab) Nabi SAW yang juga terdapat dalam Al-Quran, seperti An-Nur, Assirajulmunir, Al Mundzir, Annadzir, Al Mubassyir, Assyahir, Khatamun Nabiyyin, Annabiyul Ummiyyi, dan lain sebagainya. Hal yang sangat istimewa adalah seruan Allah SWT agar mengucapkan sholawat kepada Nabi SAW. Hal itu disunnahkan, termasuk pada setiap kali namanya disebutkan. Aqiqah Dan Memberi Nama Yang Baik Penamaan Nabi SAW dengan MUHAMMAD, disertai doa agar kelak ia terpuji di belakang hari. Begitu pula Nabi SAW mengingatkan umatnya untuk memberi nama yang baik bagi putra-putri mereka yang baru lahir dengan harapan dan doa semoga memberi bekas barokah bagi kehidupannya. Dalam sebuah hadis berasal dari Abu Darda diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud, Nabi SAW bersabda : “Kamu akan dipanggil di hari kiamat dengan namamu dan ayahmu, oleh karena itu berikanlah nama yang baik”. Menurut Aisyah, isteri nabi SAW, bahwa Nabi SAW banyak menukar nama sahabat dan umatnya, jika mereka mempunyai nama yang bersifat qobih atau buruk. Ketika Umar mempunyai anak yang diberi nama ‘Ashiyah (tidak patuh), maka Rasulullah SAW memberinya nama Jamilah (HR. Muslim). Kemudian muncul pertanyaan kapan putra-putri yang baru dilahirkan itu diberi nama. Jika merujuk ke kitab fiqih yang membuat landasan hukum dari hadis-hadis Nabi SAW, maka penamaan bagi bayi laki-laki/perempuan itu seiring dengan dilaksanakannya Walimatul’ Aqiqah, atau kenduri aqiqah. Ketika cucu Nabi SAW Hasan dan Husin lahir dan berusia 7 hari dilaksanakan aqiqah diiringi tasmiyah-pemberian nama. Hal ini disebutkan dalam hadis berasal dari Aisyah diriwayatkan oleh Al Bazzar, Ibnu Hiban dan Al Hakim dengan sanad dan shahih. Al Imam Taqiyyudin dalam Kifayatul Akhyyar (Darul Kutubil Ilmiyah, Beirut Libanon, 2006) menyebutkan, melaksanakan aqiqah hukumnya sunat (mustahabbah), yaitu dengan menyembelih 2 ekor kambing untuk kelahiran anak lelaki dan untuk anak perempuan seekor kambing ketika bayi berumur 7 hari.
Pengertian aqiqah menurut bahasa Arab adalah penamaan untuk rambut di kepala sang bayi, sedangkan menurut syara’ (hukum Islam) adalah penamaan bagi penyembelihan kambing pada hari ketujuh kelahiran bayi, sekaligus pencukuran rambutnya, diiringi dengan pemberian namanya. Pelaksanaan aqiqah dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas kelahiran anak dalam keadaan selamat diiringi doa agar pertumbuhannya kelak juga dalam situasi dan kondisi “mahmudah” senantiasa dalam ridha Allah. Muncul pula pertanyaan, apakah aqiqah boleh dilaksanakan sebelum atau sesudah hari ketujuh. Ulama Saudi Arabia Saleh Al Fauzan dalam Al Mulakkhasul fiqhi, menyebutkan, jika aqiqah dilaksanakan sebelum atau sesudah 7 hari kelahiran bayi, jawabannya “tidak apa-apa”. Mendidiknya Apakah dengan memberi nama yang baik seperti memberinya nama dengan nama seorang Rasul, kemudian anak itu tumbuh besar dan kelak menjadi orang yang shalih-shalihah. Jelas tidak semudah itu, sebab seperti disebutkan dalam hadis “Muttafaq Alaihi”, setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (‘alal fithrah), ibu bapaknyalah yang akan memolesnya, mendidiknya apakah ia akan menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Yang dimaksud adalah setiap orang tua harus mengusahakan agar anaknya menjadi muslim yang Kaffah dan kelak menjadi penghuni surga. Itu pula yang ditegaskan Allah SWT dalam QS Attahrim 6 : Qu amfusakum wa ahlikum nara ..... jagalah dirimu dan ahli keluargamu dari ancaman api neraka. Tugas pemeliharaan (wiqoyah) itu, termasuk isteri, anak dan semua orang yang menjadi tanggungannya dalam sebuah rumah tangga. Mayoritas penafsir seperti Assa’di, Fahrurrazi, Al-Biqai dan lain-lain menyebutkan dengan landasan ayat ini, tugas pendidikan (tarbiyah) itu dimulai dari rumah tangga dengan keteladanan orang tua. Sayyid Muhammad Qutub dalam “Minhajuttarbiyyatil Islamiyyah” (Daar Asysyuruq, Kairo 1993) menyebutkan, lingkungan pendidikan Islam itu dimulai dari rumah tangga muslim yang mengamalkan syariat Islam, madrasah Islam dan lingkungan masyarakat Islam. Dimulai dari rumah tangga yang Islami, seorang anak akan terbiasa dengan akhlakul karimah, selanjutnya ia menimba ilmu di sekolah bernuansa Islam dan dia bergaul dalam masyarakat Muslim, selanjutnya tumbuhlah ia menjadi muslim dan muslimah yang benar-benar mengetahui akan keberadaannya sebagai makhluk ciptaan Allah yang dijadikan semata-mata dalam koridor pengabdian kepada Allah SWT untuk memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat (Adzdzariat 56). Wallahu A’lam.
Sahabtaku, diatas, jadi jangan pernah merasa bodoh dan putus asa, kalau kita mau menjadi ahli dalam suatu bidang tertentu giatlah belajar dan berlatih terus menerus.
Mampu dan Tidak Mampu Posted under Kisah Motivasi by indonesiaberprestasi on Thursday 25 December 2008 at 4:23 pm
Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk mengurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik–rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini. Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor, terdengar suara tek…tekk.. .tek…suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat, aku menghentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso setelah menanyakan anak-anak, siapa yang hendak memesan bakso. “Mauuuuuuuuu. …”, secara serempak dan kompak anak-anak asuhku menjawab. Selesai makan bakso, saya kemudian membayarnya. Ada satu hal yang menggelitik pikiran selama ini. Ketika saya membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan di laci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku selama ini. “Mang kalo boleh tahu, kenapa uang-uang itu Emang pisahkan ? Barangkali ada tujuan?” “Iya pak, Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, Emang hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak Emang, mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita–cita penyempurnaan iman “. “Maksudnya?”, saya melanjutkan bertanya.
“Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Emang membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut : 1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari – hari Emang dan keluarga. 2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja. 3. Uang yang masuk ke kencleng, karena Emang ingin menyempurnakan agama yang Emang pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, Emang harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Emang dan istri akan melaksanakan ibadah haji. Hatiku sangat-sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si Emang tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki pikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki. Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : “Iya memang bagus…,tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya….”. Ia menjawab, ” Itulah sebabnya Pak. Emang justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI. Definisi “mampu” adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, “mampu”, maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita”. Sumber kisah : milis Sumber foto : link *** Begitulah readers, sebuah cuplikan kisah yang semoga membuat kita merubah paradigma berpikir menyerah sebelum berperang. Sesungguhnya, mampu atau tidak mampu bergantung kepada mau. Kemauan untuk mengusahakan sesuatulah yang membuat cita-cita dan harapan menjadi kenyataan. Jadi teringat sebuah puisi pendek di buku Maryamah Karpov. “Kuberi tahu satu rahasia padamu, Kawan.. Buah paling manis dari berani bermimpi adalah.. kejadian-kejadian menakjubkan dalam perjalanan menggapainya” Tukang bakso pada cerita tersebut mempercayai dirinya sehingga ia berani bermimpi. Kekuatan percaya dan mimpi itu membuatnya mengusahakan sesuatu untuk mencapainya dan akhirnya dapatlah ia memanen buah manis dari perjuangannya.
So, readers, percayalah pada diri sendiri bahwa ia mampu melakukan banyak hal untuk menggapai cita-cita. Janganlah menyerah dan membatasi diri! Mari bersama kita jadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang selalu optimis dan berdaya juang tinggi!