7353409-runtuhnya-gunung-es

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 7353409-runtuhnya-gunung-es as PDF for free.

More details

  • Words: 49,904
  • Pages: 183
1

Matahari bersinar cerah pagi ini dan angin bertiup semilir membawa bau harum bunga-bunga yang mulai bermekaran di taman bunga pada awal musim semi. Pohon-pohon melambai-lambaikan daunnya – menari-nari riang dengan gemulai menyambut datangnya hari yang cerah ini. Burung-burung pun menari dengan lincahnya dan bernyanyi bersuka ria di angkasa diiringi gemericik air mancur di tengah kolam yang berhiaskan patung-patung dewa-dewi Yunani Kuno yang indah di jalan menuju Troglodyte Oinos. Di antara taman bunga yang sedang bersemi itu tampak seorang gadis cantik yang tampak sibuk memetik bunga-bunga yang sedang bermekaran itu. Gadis itu mengenakan gaun putih yang putihnya hampir seputih kulitnya, gaun itu melambai-lambai tertiup angin menerjang lembut bunga-bunga di sekitarnya, rambut pirangnya bersinar-sinar bagai sinar mentari pagi yang cerah. Dengan keranjang yang berisi bunga-bunga yang indah di tangan kirinya, gadis itu nampak seperti seorang peri di tengah taman bunga yang indah. Sesekali angin memainkan rambut pirangnya yang tergerai mencapai pinggangnya. Namun ia tak menghiraukannya, ia begitu tenggelam dalam kesibukannya hingga tak mengetahui kedatangan sebuah kereta. Gadis itu baru menyadari kedatangan kereta itu tatkala kereta itu pergi dengan kecepatan tinggi menerbangkan debu jalan ke mana-mana. Dipandanginya kereta itu sesaat lamanya. Kereta itu ditarik oleh dua ekor kuda yang berwarna coklat yang tampaknya sudah mulai tua. Diperhatikannya kereta itu hingga menikung di jalan ke desa, kusir kuda itu dengan mahirnya menikung di jalan itu dengan kecepatan yang masih tinggi. Lalu ia melanjutkan kesibukannya lagi. Tak lama kemudian, Nanny menghampirinya dan berkata “Yang Mulia ingin bertemu dengan Anda, Tuan Puteri.” Snow Angel memandang Nanny tanpa berkata apa-apa. “Saya kira bunga yang ada di keranjang bunga Anda sudah cukup banyak untuk mengisi jambangan bunga di kamar Anda,” tambahnya. 1

Snow Angel mengalihkan pandangan matanya ke keranjang bunga di tangan kirinya yang hampir penuh dengan bermacam-macam bunga-bunga yang indah. Kemudian ia menganggukkan kepalanya kepada Nanny yang langsung mengantarnya ke Ruang Perpustakaan untuk menemui Countess of Tritonville, ibunya. Dari balik pintu ruang perpustakaan, terdengar suara wanita yang bercakap-cakap dengan beberapa pria. Mereka menghentikan percakapan mereka takala mendengar pintu dibuka, dan memandangnya. Di ruang itu dilihatnya ibunya serta kedua kakak laki-lakinya dan seorang laki-laki yang mirip temannya bermain sewaktu kecil, Vladimer, sedang duduk di sofa di depan perapian. Laki-laki itu memandangnya juga dan mereka saling menatap dengan sorot mata yang sama dinginnya. Tiba-tiba kedua kakak Snow Angel tertawa terbahak-bahak melihat keduanya yang saling memandang dengan sorot mata dingin sambil berusaha mengenali lawan pandang masing-masing. Sementara itu Countess of Tritonville menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tersenyum geli memandangi dua sahabat lama yang bertemu kembali setelah sekian tahun, yang sekarang saling memandang itu. “Tak pernah kuduga bahwa pertemuan antara dua manusia es yang bersahabat bertahun-tahun lalu akan jauh lebih menggelikan daripada yang kubayangkan,” kata Oscar, kakak Snow Angel yang termuda sambil menahan tawanya. “Kau benar Oscar, kedua makhluk ini sangat aneh. Kuakui baru kali ini aku melihat dua orang sahabat yang bertemu kembali setelah sekian tahun tak berjumpa saling memandang dengan sorot mata dingin, bukannya senang,” tambah Frederick. “Aku ingin tahu, apakah dua makhluk es ini memang tak bisa meleleh,” goda Oscar. Seketika itu juga dua orang yang saling memandang itu menatap Oscar dan Frederick dengan tajam. Tetapi rupanya kedua orang yang sibuk bercanda itu berpura-pura tidak tahu kalau sedang dipandangi oleh dua pasang sorot mata yang tajam dan dingin. “Kenapa berhenti? Teruskan saja, kami tidak akan mengganggu kalian yang saling pandang. Siapa tahu nanti salah satu dari kalian akan meleleh,” goda Frederick. 2

“Jangan memandang kami begitu. Seakan-akan kalian ingin membekukan kami dengan pandangan mata kalian,” kata Oscar tak mau kalah. Countess

menghela

napas

dalam-dalam

sambil

tersenyum

melihat

kelakuan putra-putrinya. Memang Frederick dan adiknya, Oscar terkenal ramah dan suka bercanda. Sebaliknya adik mereka terkenal sebagai gadis yang pendiam dan berhati dingin, sedingin es. Frederick dan Oscar senang sekali menggoda adik mereka, Snow Angel. Sebenarnya namanya bukanlah Snow Angel, melainkan Angella. Oscar dan Frederick-lah yang pertama kali memanggilnya Snow Angel. Entah bagaimana jadinya hingga gadis itu lebih dikenal dengan nama Snow Angel daripada nama aslinya, Angella. “Sudahlah, jangan menggoda mereka lagi,” sela Countess berusaha menghentikan canda kedua putranya. “Jangan khawatir, Mama. Kami hanya ingin melelehkan suasana beku yang mereka buat,” sahut Oscar. “Benar, Mama. Menurut Mama, bagaimana rupa Snow Angel saat ini. Menurut saya, ia sekarang ini jauh lebih tampak sebagai bidadari es, bukan manusia es lagi. Dengan gaunnya yang putih, kulitnya yang seputih salju, rambutnya yang pirang bersinar bagai cahaya matahari, dan keranjang bunga di tangan kiri yang menambah kecantikkannya, adikku yang manis ini benarbenar mirip bidadari, namun sayang hatinya dingin sedingin es,” kata Frederick yang tak mau berhenti menggoda adiknya, Snow Angel dan sahabatnya, Vladimer. “Bagaimana pendapatmu, Vladimer? Sejak tadi engkau hanya diam saja, tanpa memberi komentar apa pun. Padahal dulu sewaktu masih kecil, engkau selalu berceloteh tiap bertemu dengan Snow Angel.” Vladimer tidak menanggapi ucapan Frederick, ia heran melihat perubahan Angella. Dulu sewaktu masih kecil, Angella memang pendiam, tapi bila digoda, ia akan marah dengan muka bersemu merah hingga tak jarang gadis itu menangis kesal karena digoda terus menerus. Kedua kakaknya senang sekali melihatnya marah dengan muka merah padam, yang menurut mereka semakin membuat Angella mirip boneka yang cantik. Namun sekarang yang dilihatnya bukanlah Angella yang dulu. Yang dilihatnya kini adalah Snow Angel, seorang gadis yang terkenal akan 3

kecantikannya namun berhati dingin sedingin es. Tak pernah sekali pun terbersit dugaan dalam benak Vladimer bahwa Snow Angel yang terkenal dan sering dibicarakan orang itu adalah makhluk yang sama dengan Angella, adik sahabatnya, Frederick dan Oscar. Tanpa sadar, ia menggelengkan kepalanya melihat perubahan Angella. “Kenapa engkau menggelengkan kepalamu, Vladimer?” tanya Countess. “Saya hanya heran melihat perubahan yang terjadi dalam diri Angella.” Inilah kalimat yang pertama diucapkan Vladimer setelah bertemu dengan Angella. “Tak hanya engkau saja yang heran, Vladimer. Kami pun heran melihat perubahan dirinya,” kata Countess menyetujui ucapan Vladimer. “Lebih-lebih kami. Dulu ia selalu marah-marah dengan muka merah padam bila kami goda, tapi kini ia hanya diam saja bila kami goda.” “Membuat kami merasa gemas saja, ia benar-benar membuat kami merasa

seperti

menggodanya

menggoda

sebab

kami

gunung

es.

penasaran

Namun dengannya,

kami kami

tetap

senang

akan

tetap

menggodanya sampai ia memberi reaksi seperti waktu kecil, “ kata Oscar. Snow Angel manatap tajam kepada Oscar, lalu ia membalikkan badan meninggalkan Ruang Perpustakaan. Ia merasa godaan mereka sudah lebih dari cukup. Saat meninggalkan Ruang Perpustakaan, ia mendengar gelak tawa kakak-kakaknya. Ia menarik napas dalam-dalam, ia sudah terbiasa dengan godaan kakakkakaknya dan ia menganggap kedua kakaknya itu sebagai pengangguran yang kurang pekerjaan. Kata-kata kakaknya sewaktu ia meninggalkan Ruang Perpustakaan, masih terngiang di telinganya saat ia melangkahkan kakinya menuju kamar tidurnya. “Nah, bagaimana menurutmu, Vladimer? Bagaimana engkau akan menghadapi gadis yang sama dinginnya denganmu?” tanya Oscar pada saat pintu ruang perpustakaan ditutup oleh Snow Angel. “Kurasa kunjunganmu ini akan menjadi kunjungan yang paling menarik dari yang sudah-sudah.” “Aku ingin mengetahui bagaimana perkembangan kalian, manusiamanusia es selama musim ini. Bayangkan saja Oscar! Dua manusia es yang terkenal itu berkumpul di rumah kita. Pasti akan lebih seru daripada kejadiankejadian yang lain yang pernah ada di dunia ini. Apalagi dua makhluk es ini dulunya merupakan sahabat dekat. Siapa tahu cinta akan bersemi di hati mereka,” goda Frederick. 4

Snow

Angel

menggeleng-gelengkan

kepalanya,

seakan

ingin

mengeluarkan ingatannya dari kata-kata kakaknya sewaktu ia meninggalkan Ruang Perpustakaan. Diraihnya jambangan bunga yang berada di samping tempat tidurnya. Dengan cekatan ia mengganti bunga-bunga yang ada di jambangan itu dengan bunga-bunga yang baru dipetiknya dari taman bunga di depan Troglodyte Oinos. Tangannya yang terampil sibuk menata bunga di jambangan itu, sedangkan pikirannya melayang-layang entah ke mana. Ia memikirkan perjumpaannya dengan Vladimer tadi juga ucapan kakak-kakaknya. Tangannya yang sibuk menata bunga itu tiba-tiba berhenti dan mukanya memerah. Ia teringat kembali kalimat terakhir kakaknya yang didengarnya ‘Siapa tahu cinta bersemi di hati mereka.’ Cinta!? Snow Angel terdiam beberapa

saat,

kemudian

ia

menggeleng-gelengkan

kepalanya,

ingin

melupakan kalimat itu. Tangannya kemudian sibuk melanjutkan pekerjaannya yang terhenti, sambil berusaha melupakan kata-kata Frederick dan Oscar yang mengganggu pikirannya itu. Setelah berusaha keras, akhirnya ia berhasil mengalihkan perhatiannya. Perhatiannya kini benar-benar tercurah pada bunga-bunga di tangannya itu. Snow Angel memperhatikan jambangan bunga yang baru selesai ditatanya itu untuk menilai hasil pekerjaannya. Setelah dirasanya cukup baik, ia meletakkan jambangan itu di tempat asalnya. Ia berusaha mendengarkan suara di luar kamarnya, tapi ia tak mendengar apa pun. Ia menduga kalau mereka pergi beristirahat. Snow Angel lalu melangkahkan kakinya menuju jendela kamarnya yang terbuka menuju serambi depan kamarnya. Ia duduk di atas pagar batu yang mengeliling serambi itu. Snow Angel memandang jauh ke depan, dari serambi kamarnya di tingkat dua itu, ia dapat melihat garis cakrawala di kejauhan, pertanian yang terhampar bagai permadani hijau, rumah-rumah penduduk yang menyembul di tengah-tengah kerimbunan pepohonan, bukit-bukit di kejauhan, taman bunga tempatnya memetik bunga, serta kolam di depan rumahnya yang berkilau tertimpa cahaya matahari. Ia memandang kolam itu dengan penuh kekaguman. Patung dewa-dewi Yunani yang menghiasi kolam itu tampak bermandikan sinar matahari dan air yang berkilau-kilau serta tampak olehnya sebuah pelangi kecil yang timbul 5

karena pembiasan sinar matahari oleh air sedang memayungi dewa-dewi tersebut. Dialihkannya pandangan matanya pada langit yang biru cerah dan awanawan putih yang menghiasinya. Snow Angel memperhatikan awan-awan yang bergerak perlahan ditiup angin. Dilihatnya pula daun-daun pepohonan yang melambai-lambai seakan-akan ingin mengucapkan selamat jalan pada awan yang berada di atasnya. Snow Angel menghentikan penjelajahan matanya saat ia mendengar suara orang bercakap-cakap serta suara kuda yang berjalan perlahan-lahan menuju Troglodyte Oinos. Snow Angel memandang ke jalan yang menuju ke rumahnya, dan dilihatnya kakak-kakaknya serta Vladimer menunggangi kuda sambil bercakapcakap menuju rumah. Pandangan matanya terus mengikuti mereka hingga mereka berbelok menuju kandang kuda di belakang rumah. Snow Angel memandangi langit lagi dan berkata dalam hati “Hari ini memang baik untuk menunggang kuda. Kapan mereka berangkatnya? Kenapa aku tak mendengarnya? … Ah, mungkin karena aku sibuk menata bunga hingga tak mendengarnya.” Ia teringat masa lalunya, saat-saat Vladimer datang. Orang tua Vladimer, Duke dan Duchess Cardington bersahabat dengan Earl dan Countess of Tritonville, orang tuanya, sehingga tidaklah mengherankan apabila Vladimer sering berkunjung ke rumahnya. Begitu Vladimer datang, kedua kakaknya langsung ribut mengajaknya berkuda. Mereka berdua ingin berkuda bersama-samanya begitu dia datang, namun Countess tak mengijinkan. Countess ingin Vladimer istirahat dulu setelah berkereta ratusan mil jauhnya. Tetapi, karena Frederick dan Oscar begitu berambisi untuk berlomba dengan Vladimer, maka setelah semua orang di rumah itu pergi beristirahat, mereka berdua mengajak Vladimer pergi. Vladimer tak pernah menolak bila diajak pergi berkuda oleh kakak adik itu, sebab ia pun senang berlomba dengan mereka. Snow Angel tahu kemampuan berkuda mereka bertiga hampir sama, sehingga sulit dicari siapa yang paling pandai. Mereka bertigalah yang mengajarinya menunggang kuda, mereka pula yang sering mengajaknya bermain dan berkuda di hutan belakang rumah. Tengah asyik-asyiknya melamun, ia dikejutkan suara orang mengetuk 6

pintu kamarnya. “Sudah hampir waktu makan siang. Saya rasa Anda bisa bersiap-siap sekarang,” kata Nanny setelah menutup pintu kamar. Snow Angel beranjak bangkit dari serambi menuju meja rias, ia membiarkan Nanny menata rambutnya. Seperti biasanya, Nanny menata rambut Snow Angel sambil bercerita. Nannylah

yang

mengasuhnya

dan

kedua

kakaknya

sejak

kecil,

sebelumnya, Nanny mengasuh ibu mereka. Karena Nanny tak punya keluarga lagi, maka ibu mereka mengajaknya ke rumah ini setelah menikah. Menurut orang-orang, Nanny seharusnya menikmati hari tuanya, namun Nanny menolak pendapat itu, ia bersikeras mengasuh mereka walau saat ini mereka sudah dewasa, terutama Snow Angel. Dari antara mereka bertiga, Snow Angellah yang paling disayanginya. Nanny merupakan satu-satunya orang yang tidak menyukai panggilan yang diberikan kedua kakaknya baginya. “Sungguh tidak pantas untuk Anda, Tuan Puteri. Anda tidak pantas dipanggil ‘Snow Angel”, saya tahu walaupun Anda bersikap dingin, tetapi hati Anda tidak benar-benar dingin. Saya tahu itu!” kata Nanny pada suatu ketika. Saat itu Snow Angel hanya tersenyum saja menanggapi perkataan Nanny. “Bagaimana pendapat Anda mengenai Tuan Muda Vladimer, Tuan Puteri? Menurut saya, ia benar-benar tampan dan gagah, persis seperti yang saya duga,” tanya Nanny tiba-tiba. Snow Angel diam saja mendengar ucapan Nanny, dari ekspresi wajahnya terlihat jelas bahwa ia sama sekali tak ingin berkomentar apa pun. Mengetahui bahwa Snow Angel diam saja, maka Nanny melanjutkan: “Saya rasa rumah ini akan bertambah ramai, seperti dulu saat Tuan Muda Vladimer datang untuk menginap. Rasanya amat menyenangkan waktu itu, mendengar tawa canda kalian, melihat kalian bermain, walau kadang-kadang membuat saya jengkel dengan ulah kalian yang sulit diatur. Saya masih ingat, Anda selalu mengadu pada saya dengan berurai air mata bila digoda mereka. Setelah itu saya pasti memarahi mereka, namun mereka tak pernah jera. Ah …, waktu memang cepat berlalu, tak terasa kalian sudah dewasa kini.” Snow Angel melihat senyum kebahagiaan di wajah Nanny yang sudah tua itu melalui kaca di depannya. Ia tahu kini Nanny sedang tenggelam dalam pikirannya dan mengenang masa lalu. “Engkau benar Nanny, waktu cepat berlalu. Tanpa terasa sudah delapan tahun kami tak berjumpa, sejak Vladimer harus berangkat ke Eton untuk 7

menempuh pendidikan di sana, hingga hari ini dan juga tanpa terasa sudah empat tahun berlalu sejak kejadian tragis itu. Jenny… Jenny … kasihan engkau. Entah bagaimana kabarmu kini juga Charlemagne, ia berada di mana kini? Tentu ia sudah besar sekarang. Kuharap mereka baik-baik saja,” kata Snow Angel dalam hati. Melalui kaca di depannya, Snow Angel melihat rambutnya yang hampir selesai ditata Nanny. Oleh Nanny, rambutnya itu diikat jadi satu tinggi-tinggi dengan pita biru cerah yang tampak serasi dengan rambut pirangnya itu. Setelah itu Nanny membuat rambutnya yang terurai menjadi gelungan spiralspiral yang panjang dan kecil-kecil. Nanny mengamati bayangan wajah Snow Angel di cermin beberapa saat setelah ia selesai menatanya. “Anda sudah siap kini, Tuan Puteri,” kata Nanny dengan nada puas. “Terima kasih, Nanny.” “Tiap kali saya memandang Anda, saya selalu merasa bahwa Anda semakin cantik, Tuan Puteri. Saya yakin semua orang juga berpendapat demikian.” “Sudahlah, jangan memuji-mujiku terus menerus, Nanny. Lebih baik Nanny ambil saja bunga yang ada di keranjangku, lalu buanglah. Bunga di jambangan itu sudah kuganti,” kata Snow Angel tersipu-sipu. Nanny tersenyum melihat Snow Angel. Ia tahu sekali watak anak asuhnya itu. Snow Angel memang sering mendapat pujian-pujian dari orangorang di sekitarnya, namun ia tak pernah menanggapinya. Inilah salah satu sebab mengapa ia dipanggil “Snow Angel”. Tetapi Snow Angel selalu tersipu-sipu bila dipuji Nanny. Menurutnya, pujian Nanny benar-benar tulus dari lubuk hati yang terdalam, tidak seperti orang lain yang selalu berlebih-lebihan dalam memuji dirinya. Nanny mengambil keranjang yang dimaksudkan Snow Angel kemudian melangkah maju untuk membukakan pintu kamar bagi Snow Angel. Snow Angel meninggalkan kamarnya untuk menuju ruang makan, sewaktu melewati kamar Frederick yang berada di sebelah kanan kamarnya, ia mendengar suara kakak-kakaknya serta Vladimer bercakap-cakap. “Tak pernah kuduga hanya dalam waktu sekian tahun, kemampuan berkudamu menjadi lebih baik dari kami,” kata Frederick. “Kurasa

tidak

juga,

mungkin

karena 8

kebetulan

saja

kuda

yang

kutunggangi lebih baik daripada kuda yang kalian tunggangi,” kata Vladimer merendah. “Kalau

begitu,

bila

kita

berlomba

lagi,

engkau

akan

kusuruh

menggunakan si tua Blintz saja,” sahut Oscar kesal. “Bagus juga idemu itu, Oscar. Blintz memang sudah terlalu tua untuk dibawa berlomba dan dengan begitu pasti kita yang akan menang,” kata Frederick diiringi tawa geli. “Rupanya sekarang kemampuan berkuda Vladimer lebih unggul dari mereka,” kata Snow Angel pada dirinya sendiri sambil menuruni tangga.

9

2

Di ruang makan belum ada siapapun. Ruang makan ini tidak seperti ruang makan-ruang makan lain. Ruang ini berada di sayap kanan rumah yang menghadap ke arah taman dan hutan yang mengitari Troglodyte Oinos. Ruangan ini diapit dua ruangan lain di sisi kiri kanannya. Tembok yang menghadap taman dari ruangan ini terbuat dari kaca dengan sehelai tirai tipis yang menutupinya di waktu malam dan di siang hari tirai itu disibakkan, sehingga taman dapat terlihat jelas dari ruangan ini. Snow Angel duduk menghadap taman. Ia mengamati pemandangan yang indah di depannya sembari menanti kedatangan yang lain. Tengah asyik memandangi kupu-kupu di luar yang hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain, ia mendengar suara langkah-langkah kaki yang berat namun tegas mendekat. Sesaat kemudian didengarnya suara pintu ruang makan terbuka dan suara orang bercakap-cakap pelan di belakangnya. Tanpa menoleh pun ia tahu kalau yang datang dengan bercakap-cakap pelan itu kedua kakaknya dan Vladimer. Ia tidak menyambut kedatangan mereka dan tetap memandang taman di depannya. Ia tak membalas sapaan mereka bertiga, bahkan ketika Vladimer duduk di sebelahnya, ia tidak menoleh seakan-akan matanya terpaku pada pemandangan siang hari yang cerah di hadapannya. Vladimer

memandangnya

terheran-heran.

Matanya

mengikuti

arah

pandangan mata Snow Angel dan berkata: “Kelihatannya engkau begitu terpaku pada pemandangan di depan.” “Engkau salah, Vladimer bila menganggapnya terpaku pada taman itu. Kurasa ia cuma tidak mau menghiraukan kita,” tukas Oscar. “Kenapa begitu?” “Oh … Vladimer yang malang, tak tahukah kau bahwa delapan tahun itu sudah cukup untuk membuat orang berubah. Mengapa engkau tidak mengerti juga kalau anak manis yang bernama Angella itu sudah berubah menjadi gadis yang cantik jelita dan berhati sedingin es,” desah Frederick yang selalu menyayangkan perubahan adik bungsunya itu. Vladimer semakin terheran-heran melihat Angella karena gadis itu diam 10

tak bereaksi mendengar perbincangan yang menyangkut dirinya. Padahal sewaktu kecil, mukanya

akan langsung merah padam bila tahu ada orang

yang sedang membicarakan dirinya. Semakin terheran-herannya ia, semakin besar pula keinginannya untuk mengetahui penyebab gadis itu berubah. Ia merasa aneh dengan perubahan Angella ini, ia tahu Angella memang pendiam. Tetapi ia tidak sediam dan sedingin ini waktu kecil. “Apa yang menyebabkan ia berubah sedemikian rupa?” tanya Vladimer terheran-heran. “Kami sendiri kurang tahu apa yang menyebabkannya berubah. Banyak yang telah terjadi dalam delapan tahun, delapan tahun itu bukanlah waktu yang singkat, Vladimer,” jawab Countess yang tiba-tiba muncul di ambang pintu mengejutkan mereka yang asyik bercakap-cakap. Vladimer yang duduk membelakangi pintu segera menoleh memandang Countess, demikian pula Frederick dan Oscar yang duduk menghadap pintu segera memandang ibu mereka. Rupanya mereka kecuali Snow Angel, terlalu asyik bercakap-cakap hingga tak menyadari kedatangan Countess. Bahkan Frederick dan Oscar yang duduk menghadap pintu pun juga terkejut melihat ibu mereka yang berdiri di ambang pintu. Vladimer memang terkejut melihat Countess, tapi ia lebih terkejut lagi melihat Snow Angel yang tetap memandang ke depan. Kontan saja Frederick dan Oscar tertawa terbahak-bahak melihat Vladimer yang terkejut melihat Snow Angel diam bagai patung. Sesaat tampak seulas senyum menghias wajah Snow Angel saat ia memalingkan kepalanya ke arah Vladimer. Tawa kedua kakak Snow Angel semakin keras ketika melihat Vladimer terpaku pada senyum sesaat di wajah Snow Angel. Bahkan Countess pun ikut tertawa melihat Vladimer yang tengah terpaku itu. Ia sama sekali tak menyadari kalau raut mukanya saat ini mirip seorang bocah yang baru saja mendapat hadiah yang mengejutkan, tapi hadiah itu langsung hilang. Vladimer saat ini memang terkejut, heran sekaligus senang. Ia terkejut dan heran melihat dua hal yang menyangkut diri Angella yang baru saja terjadi. Pertama karena kediamannya saat ibunya datang. Dan kedua karena senyumnya yang sesaat itu. Senyum yang tampak geli, namun pandangan matanya tak tampak geli, dingin … seperti biasanya. 11

Tawa mereka terhenti begitu pelayan masuk membawa makan siang. Countess mengambil tempat di ujung meja yang biasa diperuntukkan bagi kepala keluarga karena saat ini ia-lah yang menjadi kepala keluarga. “Vladimer … Vladimer … mengapa engkau terkejut melihat Snow Angel tetap tak bergerak saat Mama datang,” ujar Oscar tersenyum untuk menahan tawanya yang siap meledak setiap saat. “Malang benar engkau, Vladimer. Baru beberapa jam engkau tiba setelah delapan tahun tak kemari sudah mendapatkan berbagai tantangan,” kata Frederick seolah menyesalkan nasib Vladimer. “Tantangan yang menarik! Bukan begitu, Frederick?” Frederick mengangguk menyetujui ucapan Oscar, ia tersenyum dan berkata: “Kau benar, Oscar. Engkau tentu mengetahui banyak wanita bahkan hampir semua wanita berusaha menaklukan Vladimer atau katakanlah menarik perhatian Vladimer. Jadi pastilah ini merupakan tantangan yang menarik baginya.” “Biasanya ia menghadapi wanita yang berusah menarik hatinya, tapi kini ia menghadapi wanita yang mengacuhkannya, wanita yang sama dinginnya dengan dia, bahkan lebih dingin darinya, kurasa.” “Setuju!” seru Oscar. Snow Angel dan Vladimer memang sama-sama berhati dingin. Namun di antara keduanya terdapat perbedaan yang cukup mencolok akan kedinginan hati dan tindak tanduk mereka. Vladimer cenderung dingin kepada wanita dan orang yang kurang dikenalnya. Ia bersikap lebih ramah dan hangat kepada keluarga dan sahabatsahabatnya, walau kadang-kadang ia bersikap dingin pula pada mereka. Sedangkan Snow Angel bersikap dingin terhadap siapa saja bahkan terhadap keluarganya sendiri, kecuali anak-anak. Ia jarang bahkan dapat dikatakan tak pernah berbicara dengan ramah, ia lebih sering berbicara dengan datar, tanpa ekspresi apa-apa. Selain itu, Vladimer masih mempedulikan keberadaan orang lain sedangkan Snow Angel tidak. Ia tidak pernah mengacuhkan keberadaan orang lain di sekitarnya, ia mengangap di sekitarnya selalu tidak ada siapa-siapa seperti tadi, ia tak mempedulikan kedatangan kakak-kakaknya di ruangan ini. Countess yang sejak tadi tersenyum melihat kedua putranya menggoda Vladimer ikut menggoda: 12

“Benarkah itu? Wah … bagaimana perasaanmu Vladimer setelah terbiasa menghadapi wanita yang berusaha menarik perhatianmu kini menghadapi gadis yang sama sekali berbeda? Jengkel, sedih atau senang?” Vladimer bingung tak tahu bagaimana menanggapi pertanyaan itu. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya kini pada Angella. Tapi yang pasti, ia merasa senang bisa berjumpa kembali dengan mereka yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri. Apalagi bila mengingat dirinya yang sebagai anak tunggal itu, pastilah ia senang dapat bertemu kembali dengan Frederick, Oscar serta Angella yang telah dianggapnya sebagai saudara sendiri. Sesekali ia melirik Angella yang tak peduli pada percakapan itu sambil berusaha menerka perasaannya sendiri yang campur aduk tak karuan. “Jawablah, Vladimer! Kami menanti jawabanmu. Bagaimana perasaanmu kini?” desak Oscar tak sabar. “Tenanglah, Oscar. Biarkan Vladimer berpikir dulu.” “Mama, kurasa ia segan menjawab pertanyaan Mama tadi. Tapi saya yakin ia merasa jengkel karena di sini tidak ada yang berusaha menarik perhatiannya.” “Bagaimana engkau tahu, Frederick?” tanya Oscar. “Bagaimana perasaanmu setelah biasanya dikejar-kejar Lady Elize lalu diacuhkannya? Kau pasti jengkel, bukan begitu?” Frederick balas bertanya. “Oh … kalau aku pasti senang sekali seandainya Lady Elize berhenti memburuku.” “Sungguh?” tanya Frederick lagi. “Tentu saja. Aku sudah pernah memberitahumu kalau Lady Elize itu cerewet bagai burung beo, bukan? Aku tak tahan mendengar ocehannya yang membosankan itu.” “Membosankan atau menyenangkan, Oscar?” “Sungguh, Frederick. Percayalah! Tidak pernah sekali pun aku merasa senang mendengarnya berceloteh bagai burung beo mengenai hal-hal yang membosankan itu.” “Siapakah Lady Elize itu?” tanya Vladimer ingin tahu. “Adik Earl of Wicklow,” jawab Countess. “Wanita yang tak punya belas kasihan sama seperti kakaknya,” kata Snow Angel pada dirinya sendiri. “Ia tergila-gila pada Oscar, namun sayang Oscar tidak mau dengannya. 13

Padahal Lady Elize itu cantik,” tambah Frederick. “Tapi tak secantik Snow Angel! Kalau kau mau, ambil saja, aku rela malah senang,” bantah Oscar. “Oh … maaf. Aku tidak pernah bermaksud untuk mengambilnya dari sisimu. Aku tidak tertarik kepadanya. Aku lebih tertarik pada gadis yang seperti Snow Angel. Sayang di dunia ini tak ada gadis yang menyamainya, andaikan ada pasti akan langsung kulamar,” kata Frederick. “Sama! Aku juga lebih tertarik pada gadis yang seperti Snow Angel.” Snow Angel amat disayang oleh kedua kakaknya yang tampan itu. Mereka selalu berusaha menjaga dan melindunginya sebaik mungkin. Walau kini ia sudah dewasa, namun kedua kakaknya masih sering mengawalnya jika ia pergi ke luar rumah. Bahkan kamar tidur mereka berdua berada di kanan-kiri kamarnya. Dapat dikatakan kedua kakaknya itu bukan hanya saudara bagi Snow Angel melainkan juga pengawal pribadi. Maka tidaklah mengherankan bila banyak gadis-gadis yang tertarik pada kakak-kakaknya itu cemburu padanya dan juga ketika kedua kakaknya mengatakan lebih tertarik pada gadis yang seperti dirinya. “Wah…, bisa-bisa terjadi persaingan di antara kalian,” kata Countess menggoda kedua putranya. “Tidak mungkin Mama. Oscar sudah memiliki Lady Elize.” “Siapa yang berkata begitu!? Aku tidak akan pernah menyukai wanita itu! Tidak akan!” bantah Oscar sambil memelototi Frederick. “Bila mereka berdua bercanda selalu saja menimbulkan pertengkaran. Harus dihentikan sekarang sebelum terjadi pertengkaran yang hebat,” pikir Vladimer. Untuk mengalihkan topik pembicaraan, maka ia berkata: “Di mana Paman Hendrick, Bibi Stefanie?” “Saat ini ia di Skotlandia, memenuhi undangan temannya untuk berburu di sana,” jawab Countess. “Papa berangkat kemarin. Sayang kau tak datang sehari lebih awal kemari agar bisa berjumpa dengan Papa. Aku yakin Papa akan gembira dapat bertemu kembali denganmu, Vladimer,” tambah Frederick. Vladimer berhasil mengalihkan pokok pembicaraan, kini mereka sibuk membicarakan tentang berburu di Skotlandia yang merupakan daerah yang paling menarik bagi mereka yang gemar berburu. 14

Di daerah ini masih banyak hutan-hutan yang banyak hewannya sehingga menarik minat para pemburu terutama di musim semi seperti ini di mana tumbuhan-tumbuhan tumbuh subur. Hal ini menambah daya tarik Skotlandia bagi mereka yang gemar berburu. Frederick, Oscar serta Earl of Tritonville, ayah mereka termasuk di antara orang-orang yang tertarik untuk berburu di Skotlandia. Sering teman ayah mereka yang tinggal di sana mengundang mereka bertiga untuk menghadiri pesta berburu yang diadakannya tiap tahun. Tahun ini Frederick dan Oscar tidak ikut pergi berburu di Skotlandia karena beberapa hari sebelum keberangkatan mereka ke Skotlandia, Countess sakit. Pada awalnya, Earl of Tritonville merencanakan agar kedua putranya saja yang berangkat memenuhi undangan itu. Namun Frederick dan Oscar tahu ayah mereka akan sangat kecewa bila tahun ini tidak dapat ke sana, apalagi tahun ini, menurut teman Earl, merupakan tahun yang paling baik untuk berburu. Karena itulah kemudian mereka berdua membujuk agar ayahnya saja yang pergi dan mereka akan tetap tinggal untuk menjaga ibu mereka. Mulanya Earl tak menyetujui usul itu, namun setelah melalui perdebatan yang panjang khirnya Earl menyetujui usul itu. Sehari sebelum keberangkatan Earl, mereka kembali berdebat untuk menentukan siapa yang akan berangkat sebab saat itu keadaan Countess kembali parah. Setelah dibujuk oleh Countess, akhirnya Earl mau mengikuti rencana semula, pergi sendirian untuk memenuhi undangan itu. Snow Angel menghabiskan makanan di piringnya sambil mendengarkan mereka yang bercakap-cakap. Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya sewaktu ia makan. Ia melayangkan pikirannya ke Skotlandia dan mencoba membayangkan daerah yang belum pernah dikunjunginya itu pada musim semi seperti ini. Dibayangkannya Skotlandia,

pohon-pohon

menghampar

laksana

besar permadani

yang hijau.

rimbun

menyelimuti

Semak-semak

dan

rerumputan yang tumbuh di sekitar pohon itu serta beraneka ragam bunga yang berwarna-warni bermekaran. Sinar mentari yang menerobos kegelapan hutan melalui celah-celah dedaunan pohon yang rimbun membuat hutan tampak terang benderang. Air danau yang bening berkilau-kilau memantulkan sinar mentari. Matahari yang muncul perlahan-lahan di ufuk timur menerangi langit biru 15

dan kicau burung menyambut datangnya hari baru serta udara pagi yang sejuk. Seluruh hewan dari segala penjuru hutan bangun dan memulai kegiatannya, demikian pula dengan para petani yang mulai mengolah sawahnya. Semua bekerja dengan semangat baru hingga matahari kembali ke peraduannya di senja hari meninggalkan langit yang memerah di ufuk barat. Dan ketika malam tiba, bulan muncul perlahan-lahan diiringi gerlapgemerlap bintang di langit. Berpuluh-puluh bintang yang gemerlapan berusaha menyaingi sinar bulan yang keperakan. Lolong hewan buas yang berasal dari hutan meniupkan suasana yang mencekam. Suara gemeretak kayu yang terbakar di perapian mengiringi suasana gembira keluarga yang berkumpul kembali setelah bekerja seharian. Yang tuatua duduk dan mulai bercerita, yang muda-muda diam mendengarkan dengan seksama. Demikianlah acara makan siang ini dilalui Snow Angel dengan melamun. Setelah makan siang usai, mereka menuju Ruang Duduk. Ketika Countess hendak kembali ke kamarnya untuk beristirahat, Snow Angel juga kembali ke kamarnya. Mereka berdua meninggalkan ketiga orang laki-laki yang sibuk bercakap-cakap di Ruang Duduk itu. Snow Angel menggandeng ibunya berjalan menuju ke kamar ibunya. Ketika mereka hampir tiba, Countess tiba-tiba bertanya penuh pengertian kepada Snow Angel: “Mengapa engkau diam saja sejak tadi, Nak?” “Tidak apa-apa, Mama. Saya hanya merasa tak ingin berbicara.” “Sudah Mama duga. Di antara kalian hanya engkaulah yang berbeda. Engkau pendiam, sedang kakak-kakakmu tidak.” “Manusia memang berbeda-beda, Mama.” “Engkau memang pandai berfilsafat,” kata Countess sembari tersenyum. “Sudahlah, Mama. Selamat beristirahat.”

16

3

Setelah mencium mencium kedua pipi Countess kemudian Snow Angel pergi bergegas menuju kamarnya. Ia berencana akan pergi ke gereja di pemukiman penduduk terdekat. Sesampainya di kamar, dilihatnya Nanny sedang menanti kedatangannya. “Tuan Puteri, apakah kita akan berangkat sekarang?” “Tidak, Nanny. Aku ingin memetik bunga dulu baru kemudian kita berangkat.” “Bunga?” tanya Nanny keheranan. “Ya, Nanny. Bunga-bunga yang ada di taman sedang bermekaran semua. Dan kurasa alangkah baiknya bila kita membawanya serta untuk diletakkan di gereja.” “Anda benar, Tuan Puteri. Mengapa hal ini tak terpikirkan oleh saya sebelumnya,” keluh Nanny. Snow Angel diam tak menanggapinya. Ia terbayang masa lampau saat untuk pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di gereja yang keadaannya sama sekali jauh dengan gereja keluarganya yang letaknya di samping kiri rumah ini. Gereja yang bernama Saint Augustine itu keadaannya benar-benar tragis. Pendeta di gereja itu sudah tua sekali, lebih tua beberapa tahun dari Nanny. Gereja yang sudah tua itu menimbulkan kesan yang menakutkan karena di sana sini tumbuh tumbuhan liar. Demikian pula keadaan di dalamnya yang tampak suram. Walaupun begitu di sana selalu terdengar tawa anak-anak yang berasal dari Panti Asuhan Gabriel di samping gereja itu. Keadaan panti asuhan itu juga tak kalah menyedihkannya dari gereja itu. Snow Angel tahu jemaat gereja itu bukanlah orang yang berkelimpahan seperti dirinya, melainkan mereka yang hidupnya pas-pasan saja. Karena itu ia kemudian meminta ayahnya untuk memperbaiki gereja berikut panti asuhan itu. Dan kini kedua bangunan itu tampak jauh lebih baik daripada empat 17

tahun

lalu

saat ia pertama

kali

mengijakkan

kakinya

di sana untuk

menyelesaikan suatu urusan penting. Sejak saat itu Snow Angel sering mengunjungi panti asuhan itu dengan Nanny. Nanny mengambilkan topi bagi Snow Angel untuk menahan sengatan sinar matahari pada kulitnya. Kemudian berdua mereka memetik bunga di taman bunga. Setelah keranjang bunganya penuh dengan bunga barulah mereka berhenti memetik bunga. Nanny menuju ke belakang rumah untuk memanggil kereta kuda milik keluarga ini sementara Snow Angel menanti di tepi kolam. Tak lama kemudian Nanny kembali bersama kereta kuda yang nantinya akan membawa mereka ke panti asuhan itu. Kereta kuda itu ditarik empat ekor kuda yang lincah. Seorang kusir kuda yang sudah setengah baya yang rambutnya mulai memutih duduk di depan kereta untuk mengendalikan keempat ekor kuda itu yang

meringkik

seakan

mengungkapkan

kegembiraannya

karena

akan

berjalan-jalan setelah seharian berada di kandangnya. Kusir yang biasa dipanggil Thompson ini sudah bekerja puluhan tahun di sini. Thompson tidak memiliki putra sedangkan istrinya sudah meninggal bertahun-tahun lalu jauh sebelum Snow Angel lahir. Istri Thompson yang sudah meninggal itu disemayamkan dekat Gereja St. Augustine dan dari Thompsonlah Snow Angel mengetahui keberadaan gereja ini. Nanny meraih keranjang bunga yang dipegang Snow Angel dan dua penjaga kuda yang tiba-tiba muncul dari belakang kereta kuda membantunya dan Nanny naik ke kereta. Sesaat kemudian mereka meninggalkan Troglodyte Oinos menuju Panti Asuhan Gabriel. Sepanjang jalan Snow Angel melayangkan pandangan matanya ke jalanan yang dilaluinya sambil mendengarkan Nanny yang sibuk bercerita. Lima belas menit kemudian mereka tiba di Panti Asuhan Gabriel. Dua orang penjaga kuda yang tadi membantu mereka naik, kembali membantu mereka turun. Kaki Snow Angel baru saja menyentuh tanah saat terdengar seruan gembira anak-anak panti asuhan yang menanti kedatangannya. Tak lama kemudian anak-anak berhamburan menghampirinya dari segala penjuru seakan-akan mereka muncul tiba-tiba untuk menyerbu sasarannya. Nanny tersenyum gembira menyambut anak-anak itu. Yang putri sibuk mengamati bunga-bunga yang ada di keranjang bunga Snow Angel, sedangkan 18

yang putra sibuk mengelus kuda yang menarik kereta yang tadi ditumpangi Snow Angel sambil mengagumi kuda-kuda beserta kereta itu. Dari dalam rumah muncul dua orang wanita yang mengenakan pakaian biarawati yang berwarna hitam. Yang seorang tampak tua dan yang satunya tampak masih muda. Kedua biarawati inilah yang menjaga dan mengepalai panti asuhan ini. Keduanya tersenyum menyambut kedatangan Snow Angel. “Apa kabar, Miss Gazetta?” tanya Miss Lyne, biarawati yang sudah tua itu begitu Snow Angel mendekat. Kedua suster ini tidak tahu bahwa ia adalah putri Earl of Tritonville. Snow Angel sengaja menyembunyikan hal ini karena ia merasa lebih baik bila kedua suster ini, Miss Lyne dan Miss Mary juga pendeta Gereja St. Augustine, Mr. Paul tidak mengetahui bahwa ia adalah putri Earl of Tritonville. Nanny hanya tahu anak asuhnya itu ingin menyembunyikan identitasnya dan Nanny tidak pernah curiga akan maksud lain di balik penyembunyian identitas itu. “Baik-baik saja. Terima kasih. Bagaimana dengan kalian?” tanya Snow Angel. “Kami semua baik-baik saja kecuali Lizt,” jawab Miss Lyne. “Lizt!? Ada apa dengannya?” tanya Snow Angel terkejut. Setahu Snow Angel ibu Lizt meninggal saat ia baru berusia dua tahun, sedangkan ayahnya hilang tak tentu rimbanya sejak meninggalkan Lizt yang fisiknya lemah seperti ibunya di depan pintu Gereja St. Augustine, sembilan tahun yang lalu. Menurut penduduk sekitar, ayah Lizt meninggalkannya di depan pintu gereja karena merasa tak mampu merawatnya. Harta benda ayahnya habis untuk membiayai pengobatan istrinya yang sakit berbulan-bulan lamanya sebelum akhirnya meninggal. Gadis kecil yang malang itu juga sering sakit-sakitan seperti ibunya, namun beberapa tahun belakangan ini keadaan gadis ini tidak selemah dulu. Ia jarang sakit, bahkan dalam dua bulan terakhir ini ia tidak sakit sama sekali. Karena itulah Snow Angel terkejut mendengar berita ini. “Mari masuk, Miss Gazetta. Akan kami ceritakan segala-galanya di dalam,” kata Miss Lyne. Snow Angel dibawa masuk ke dalam panti asuhan itu. Panti asuhan ini memiliki banyak kamar yang di tiap-tiap kamarnya terdapat banyak tempat 19

tidur. Di panti asuhan ini juga terdapat sebuah dapur yang cukup besar dan ruang makan yang besar pula dan tentu saja ruang belajar. Dapat dikatakan panti asuhan ini besar hanya saja perlengkapannya kurang memadai. Peraturan di panti asuhan ini dikenal sangat ketat, tiap-tiap anak diharuskan merapikan tempat tidurnya tiap pagi. Tiap hari mereka harus bangun pagi-pagi untuk dapat mengikuti misa pagi di Gereja St. Augustine. Tiap hari mereka diberi tugas secara bergilir seperti memasak, membersihkan panti, dan lain-lain. Dan seperti anak-anak lainnya, anak-anak di panti asuhan ini juga mendapat pendidikan dari kedua ibu asuh mereka, Miss Lyne dan Miss Mary. Kadang kala datang seseorang yang ingin mengambil seorang anak untuk dijadikan anak angkatnya dari panti asuhan ini. Tak dapat disangkal lagi, setiap kali ada seorang anak yang diambil menjadi anak angkat oleh seseorang pasti diiringi oleh tangis gembira bercampur sedih dari kedua biarawati ini. Kedua biarawati ini begitu menyayangi anak-anak begitu pula anak-anak yang juga menyayangi kedua ibu asuhnya. Kedua biarawati ini membawa Snow Angel menuju ruang kepala Panti Asuhan Gabriel. Nanny tidak ikut masuk bersamanya, ia sibuk menjaga dan menemani anak-anak sambil bercerita dongeng. Anak-anak seperti halnya Snow Angel waktu kecil senang sekali mendengar cerita dongeng Nanny yang selalu menarik. Sesampainya di ruang kepala Panti Asuhan Gabriel, Snow Angel segera melepaskan topinya. Warna topi itu senada dengan gaun yang dikenakannya. Dengan bentuknya yang sederhana dan sebuah pita besar yang berwarna magenta yang tampak kontras dengan warna rambutnya, topi itu menambah kesan keanggunannya. Ruangan yang berukuran sedang ini memiliki sebuah jendela yang terletak di pojok kiri, sedangkan di pojok kanannya terdapat sebuah meja kayu dengan tiga kursi yang terbuat dari kayu pula. Miss Lyne duduk di balik meja di hadapan Snow Angel yang duduk menghadap tembok, dan Miss Mary duduk di sebelah Snow Angel. “Bagaimana keadaan Lizt, Miss Lyne?” tanya Snow Angel mengawali percakapan. “Beberapa hari belakangan ini ia demam, namun sekarang keadaannya sudah mulai membaik,” jawab Miss Lyne. “Bagaimana ia bisa sakit kembali? Bukankah sudah sekitar dua bulan ini 20

ia tidak sakit.” “Itulah yang saya kurang mengerti. Tapi jangan khawatir, Miss Gazetta. Kata dokter ia hanya demam biasa dan pasti lekas sembuh,” jawab Miss Lyne. “Pada hari ketika ia jatuh sakit, saya melihatnya bermain di luar ketika angin bertiup cukup kencang tanpa mengenakan pakaian hangat. Waktu itu dia sudah saya tegur, namun ia tidak menghiraukan saya. Maka saya masuk untuk mengambilkannya syal dan ketika saya kembali, ia sudah tidak ada.” “Saya segera ke Gereja St. Augustine, sebab saya menduga ia di sana. Ternyata dugaan saya keliru, kemudian saya mencoba mencarinya di sekitar sini. Saya tidak dapat menemukannya dan ketika hari menjelang sore ia baru muncul kembali dengan suhu tubuh yang panas. Saya segera merawatnya waktu itu juga,” kata Miss Mary. “Mengapa engkau tak memberitahuku waktu itu juga, Miss Mary?” “Maafkan saya, Miss Lyne. Waktu itu saya benar-benar panik dengan keadaan Lizt.” “Sudahlah, Miss Lyne, Miss Mary. Sekarang kita pikirkan saja kesehatan Lizt.

Nanti

bila

ia

sudah

sembuh,

barulah

kita

menasehatinya

agar

mengenakan gaun yang tebal bila bermain di luar pada saat angin bertiup.” “Kurasa Anda benar, Miss Gazetta,” kata Miss Lyne. “Bagaimana keadaan panti akhir-akhir ini?” “Sama saja, Miss Gazetta. Anak-anak tetap bandel, namun kami masih bisa mengatasinya. Kesulitan kami akhir-akhir ini hanyalah mengenai jumlah anak yang semakin membengkak. Minggu ini saja kami mendapatkan tambahan anak sebanyak tiga orang. Tiga bersaudara ini dititipkan oleh kedua orang tuanya untuk sementara waktu,” jawab Miss Lyne. “Mengapa kedua orang tuanya menitipkan mereka di sini?” tanya Snow Angel keheranan. “Kami kurang tahu, yang kami ketahui hanyalah kedua orang tua anakanak itu hendak pergi entah ke mana untuk jangka waktu yang cukup lama dan mereka tidak dapat membawa serta ketiga anak mereka karena perjalanan yang jauh dan sukar, selain itu juga karena ketiga anak mereka masih kecil dan tidak memiliki sanak saudara yang dekat. Yang tertua saja baru berusia lima tahun,” jelas Miss Mary. “Jumlah anak yang bertambah terus itu pastilah membuat Anda berdua kerepotan dan suatu saat nanti kamar tidur anak-anak tersebut tidak…” Snow Angel belum menyelesaikan perkataannya saat terdengar suara pintu diketuk 21

seseorang. “Silakan masuk!” sahut Miss Lyne. Pintu terbuka perlahan-lahan dan tampak seorang wanita tua yang tidak lain adalah Nanny. “Di depan ada seorang pria yang mengatakan ingin bertemu dengan kepala panti asuhan ini.” “Siapakah dia?” tanya Miss Lyne. “Entahlah, ia tidak memberitahu saya namanya. Ia hanya mengatakan kalau ingin bertemu dengan Anda, Miss Lyne,” jawab Nanny. “Saya akan menemuinya.” Miss Mary segera beranjak bangkit dari kursi untuk menemui tamu yang dikatakan Nanny. Sesaat sesudah Miss Mary meninggalkan ruang itu, Snow Angel juga bangkit berdiri. “Kalau begitu saya permisi dulu. Saya ingin melihat keadaan Lizt.” Snow Angel dan Nanny sudah meninggalkan ruangan itu sebelum Miss Lyne berkata apa-apa untuk mencegahnya. Nanny menemani Snow Angel sampai di kamar tempat Lizt terbaring. Lizt sedang tidur saat ini, wajahnya pucat. “Kasihan Lizt, wajahnya pucat sekali,” kata Nanny. Snow Angel mengangguk dan berkata: “Mari kita ke gereja, Nanny dan berdoa untuk kesembuhannya.” Mereka kemudian meninggalkan Lizt yang masih tertidur menuju ke Gereja St. Augustine. Di luar, Snow Angel melihat keretanya ditambatkan pada sebatang pohon dan di dekatnya ada sebuah kereta lain yang menurut dugaan Snow Angel milik tamu yang baru tiba itu. Kedua penjaga kuda Snow Angel tampak sibuk melayani pertanyaan anak-anak yang mengelilingi keretanya. Thompson tidak tampak di antara mereka. Snow Angel tahu Thompson sedang mengunjungi makam istrinya. “Saya akan mengambil keranjang bunga yang saya letakkan di kereta tadi,” kata Nanny. “Sekalian tolong letakkan topi ini di kereta, Nanny,” kata Snow Angel mengulurkan topinya ke arah Nanny. “Sebaiknya Anda mengenakan topi itu, Tuan Puteri. Sinar matahari dapat membakar kulit Anda yang putih itu.” “Tidak apa-apa, Nanny. Letakkan saja topi ini di kereta, lagipula matahari tak terlalu terik saat ini,” desak Snow Angel sambil menyodorkan topinya ke 22

tangan Nanny. Dengan enggan Nanny menerima topi itu dan berjalan menuju kereta. Sesaat kemudian Nanny berjalan kembali ke arah Snow Angel dengan membawa keranjang bunga. “Bagaimana pendapatmu, Nanny bila kita mengunjungi makam istri Thompson dulu sebelum ke gereja?” tanya Snow Angel ketika Nanny tiba di sisinya. “Itu ide yang bagus sekali,” jawab Nanny senang. “Saya sudah lama tak mengunjungi makamnya. Sayang ia meninggal sebelum Anda lahir. Bila tidak Anda akan tahu bagaimana baik dan ramahnya ia.” Mereka berjalan memutari panti asuhan itu menuju ke pemakaman penduduk setempat. Suasana di pemakaman itu tampak mencekam dengan latar belakang hutan yang belum terjamah. Dari kejauhan, mereka berdua melihat Thompson yang sedang berlutut di depan makam istrinya. Makam itu tampak tak terawat, di sekitarnya tumbuh rumput liar. Mereka berdua berjalan perlahan-lahan mendekati Thompson. Ketika mereka semakin mendekat, Thompson tiba-tiba berdiri dan terpekik kaget. Ia memandangi mereka berdua dan dari sorot matanya tampak ia sangat terkejut. Baru saja Snow Angel hendak mengatakan sesuatu ketika Thompson berkata: “Maafkan saya, Tuan Puteri. Saya terkejut sekali sewaktu saya melihat gaun Anda yang berwarna putih itu melambai-lambai tertiup angin. Tadi … saya mengira … Anda itu … hantu.” Nanny tertawa geli mendengar ucapan Thompson, sedangkan Snow Angel hanya tersenyum dingin. “Tidak mengapa, Thompson,” katanya tanpa ekspresi, ”Suasana di makam ini memang sangat mencekam dengan latar belakang hutan yang gelap itu sehingga gaun saya yang melambai-lambai tertiup angin ini membuat saya nampak seperti hantu dan membuat semua orang ketakutan.” “Saya rasa tidak mungkin orang akan ketakutan bila hantunya secantik Anda, Tuan Puteri,” canda Thompson. “Bolehkah saya berdoa untuk istrimu, Thompson?” tanya Snow Angel datar mengacuhkan perkataan Thompson tadi. “Silakan, Tuan Puteri.” Thompson memberi tempat bagi mereka berdua 23

untuk berdoa di depan makam istrinya. Saat Snow Angel hendak berlutut di depan makam istri Thompson, Nanny segera mencegahnya. “Nanti gaun Anda kotor,” katanya. Maka Snow Angel berdoa bagi istri Thompson dengan berdiri di samping Nanny yang berlutut di depan makam istri Thompson. Gaun yang dikenakan Nanny berwarna hitam sehingga tidak akan nampak kotor terkena tanah, sedangkan gaun Snow Angel berwarna putih yang pasti akan tampak kotor bila ia berlutut seperti Nanny. Sesaat lamanya mereka berdoa, lalu Snow Angel mengambil beberapa kuntum bunga mawar yang berwarna ungu dari keranjang bunganya yang dibawa Nanny dan membungkuk untuk meletakkan bunga itu di depan pusara istri Thompson. “Terima kasih, Tuan Puteri. Terima kasih, Nanny,” kata Thompson terharu. “Sudahlah, Thompson. Jangan engkau memikirkan hal ini! Istrimu memang pantas mendapatkannya,” kata Nanny tersenyum memandangi Thompson yang tampak terharu dengan apa yang baru saja mereka lakukan bagi almarhum istrinya. “Kami permisi dulu, Thompson. Kami hendak ke gereja sekarang,” kata Snow Angel kemudian. “Oh … kalau begitu akan saya temani kalian.” “Tidak perlu, Thompson. Tetaplah di sini menemani istrimu. Biarlah saya sendiri yang menemani Tuan Puteri,” usul Nanny. “Tapi berbahaya bagi kalian berdua berjalan sendirian di pemakaman yang sepi seperti ini,” bantah Thompson. “Tidak mengapa, Nanny benar, Thompson. Tetaplah di sini untuk menemani

istrimu,

lagipula

engkau

makamnya,” kata Snow Angel tegas.

24

sudah

lama

tidak

mengunjungi

4

Setelah berpamitan kepada Thompson, mereka berdua berjalan lagi ke Gereja St. Augustine. Suasana di dalam gereja itu sangat sunyi. Tak seorangpun tampak di sana. Mereka berdua berlutut di depan altar dan berdoa. Nanny berdiri menuju altar dan mengambil jambangan bunga yang ada di atas meja lalu membantu Snow Angel menata bunga di jambangan itu. Saat Nanny meletakkan kembali jambangan yang baru saja mereka tata itu di atas meja, terdengar suara pintu gereja berderit terbuka dan tampak seorang pendeta yang telah tua tersenyum berjalan ke arah mereka berdua. “Tuhan memberkati Anda berdua.” Kalimat ini selalu dilontarkan pendeta tua itu sebagai salam pada mereka berdua. “Terima kasih Anda berdua sudi meletakkan bunga-bunga yang indah itu di jambangan bunga yang sudah tua di atas altar itu.” “Tidak apa-apa, Pendeta. Kami merasa itu sudah menjadi kewajiban kami sebagai anggota gereja,” kata Snow Angel datar. “Andaikan semua orang di dunia ini sebaik Anda, pasti dunia akan tentram dan damai,” kata Pendeta Paul tersenyum. “Ceritakanlah mengenai keadaan gereja akhir-akhir ini, Pendeta!” kata Nanny. Mereka bertiga kemudian duduk di kursi yang disediakan bagi para jemaat gereja. Snow Angel diam mendengarkan percakapan Pendeta dengan Nanny. Snow Angel berpendapat bahwa kedua orang ini cocok satu sama lain. Pendeta Paul dan Nanny sama-sama senang bercerita, acapkali mereka bercerita hingga lupa waktu. Namun Snow Angel membiarkan hal itu sebab ia sendiri senang mendengarkan pembicaraan mereka berdua. Sekali waktu mereka saling bercerita mengenai masa lalu mereka masing-masing, lain waktu tentang jemaat gereja atau penduduk setempat atau hal-hal lain yang menarik yang terjadi di sekitar mereka. Mereka berdua selalu berbicara tiada putus-putusnya, seakan-akan tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Selalu saja ada yang mereka bicarakan. Belum sampai sepuluh menit Snow Angel mendengar kedua orang itu bercerita ketika terdengar suara pintu berderit kembali. Mereka bertiga segera 25

memalingkan kepala dan melihat kepada dua sosok wanita yang mengenakan pakaian biarawati muncul dari balik pintu yang dibuka itu. Menilik pakaiannya, Snow Angel langsung tahu siapa kedua orang itu. Mereka tak lain adalah Miss Lyne dan Miss Mary. Wajah Miss Lyne dan Miss Mary tampak berseri-seri bahagia ketika mendekati mereka. “Mengapa kalian tampak gembira sekali?” tanya Pendeta Paul ingin tahu. “Oh … Pendeta. Dapatkah Anda membayangkan betapa gembiranya hati saya ini. Lizt baru saja pergi dibawa ayahnya,” kata Miss Mary gembira. “Ayahnya?” tanya Pendeta Paul. “Betul, Pendeta. Tadi datang seorang pria yang mengaku sebagai ayah Lizt, ia kemari hendak mengambil Lizt yang ditinggalkannya di depan pintu gereja sembilan tahun yang lalu. Ia juga berkata akan segera membawa Lizt ke dokter,” Miss Lyne menjelaskan. “Tuhan memang Maha Baik. Akhirnya Lizt yang malang dapat berjumpa kembali dengan ayahnya,” Pendeta Paul turut bergembira. Mereka berempat terlalu gembira untuk menyadari ekspresi wajah Snow Angel yang kaku dan dingin. Snow Angel turut merasa senang mengetahui Lizt telah berkumpul kembali dengan ayahnya. Tapi ia juga merasa benci pada ayah Lizt yang selama sembilan tahun setelah meninggalkan Lizt di depan pintu gereja, tidak pernah menghubungi panti asuhan untuk mengetahui keadaan anaknya kini tiba-tiba muncul hanya untuk mengambil anaknya. Ia tidak habis mengerti mengapa pria tersebut bisa berbuat begitu kejam pada anak kandungnya sendiri. Meninggalkannya di depan pintu gereja lalu kembali lagi hanya untuk mengambilnya. Mengambilnya kembali setelah selama sembilan tahun tidak pernah mengasuh dan merawatnya, tidak pernah peduli pada keadaan putrinya. Setelah meninggalkannya di depan pintu gereja saat di mana anak itu membutuhkan kasih sayang, saat gadis itu masih berumur dua tahun. Entah berapa lamanya ia berpikir, entah berapa lamanya pula keempat orang itu bercakap-cakap dengan gembira. Yang pasti mereka berlima terkejut saat mendengar suara pintu gereja berderit dan muncul anak-anak dari Panti Asuhan Gabriel. Mereka langsung menghambur mengelilingi kelima orang yang masih 26

belum pulih dari keterkejutannya itu. Seorang anak laki-laki yang berusia sekitar enam tahun berjalan mendekati Snow Angel dan langsung duduk di pangkuannya kemudian memeluknya. Snow Angel balas memeluk bocah di pangkuannya itu dan bertanya lembut: “Ada apa, Max?” Max sudah tinggal di panti asuhan ini sejak bayi. Tiada orang yang tahu asal-usulnya, bocah ini ditemukan di tepi jalan oleh Pendeta Paul kemudian olehnya bayi itu dibawanya ke Panti Asuhan Gebriel dan diberi nama Max. Max seperti halnya anak-anak panti yang lain sayang sekali pada Snow Angel, bahkan bocah ini sudah menganggapnya sebagai ibunya, ia memanggil ‘Mom’ pada Snow Angel. “Saya rindu sekali pada Anda, Mom,” katanya. “Maukah Anda membacakan sebuah buku untukku?” “Kami juga!” seru anak-anak yang lain. “Tentu saja saya mau membacakan sebuah buku bagi kalian semua, anak manis, sepuluh pun saya mau. Mari ikut saya,” kata Snow Angel tersenyum lembut pada anak-anak itu. Snow Angel menganggukan kepala kepada keempat orang yang lebih tua darinya itu mohon diri meninggalkan gereja. Ia berjalan keluar menggendong Max diiringi anak-anak yang lain. Keempat orang yang ada di dalam gereja itu memandangi kepergiannya diiringi anak-anak dengan tersenyum. Mereka semua terutama Nanny tahu gadis itu selalu bersikap dingin terhadap siapa saja kecuali anak-anak. Gadis itu selalu bersikap ramah dan lemah lembut kepada anak-anak. Kepada orang dewasa, ia bersikap dingin dan acuh. Mereka berempat kemudian meninggalkan gereja dan mendapati Snow Angel duduk di sebuah bangku di bawah sebatang pohon dikelilingi anak-anak yang memperhatikan cerita gadis itu. Mereka berempat kemudian segera bergabung dengan gerombolan anakanak yang sedang bergembira itu. Mereka semua bergembira ria hingga hari sore. Seperti biasanya, menjelang waktu minum teh, Snow Angel dan Nanny segera berpamitan pulang. Di tengah perjalanan Nanny berkata, “Kelihatannya tadi Anda tidak begitu gembira sewaktu mengetahui Ayah Lizt mengambil Lizt kembali.” “Aku hanya tidak senang dengan tindakannya meninggalkan Lizt di 27

depan pintu gereja saat anak itu baru berusia dua tahun, kemudian mengambilnya kembali setelah anak itu sudah besar,” kata Snow Angel tajam. “Saya sendiri juga kurang menyetujui tindakan Ayah Lizt itu. Namun setelah saya pikirkan kembali, saya merasa tindakannya itu tepat. Entah bagaimana keadaan Lizt sekarang seandainya ayahnya tidak meninggalkannya di depan pintu gereja setelah kematian istrinya,” kata Nanny mencoba memberi pengertian pada Snow Angel. “Saya rasa ayah Lizt meninggalkannya di depan pintu gereja karena merasa tak sanggup merawat anak sekecil itu, dan sekarang ia mengambilnya karena merasa bertanggung jawab pada diri Lizt.” Snow Angel tak memperhatikan ucapan Nanny. Saat ini matanya terpaku pada lapangan rumput yang ada di sisi kanan kereta. Di tengah-tengah lapangan itu tampak sebuah tenda besar yang sedang didirikan oleh beberapa pria dan beberapa kereta serta sekelompok orang yang terlihat sibuk pula dan beberapa anak kecil yang sedang bermain. Hatinya tersentak gembira melihat sederetan huruf pada sebuah kereta yang paling besar yang membentuk kalimat “Boudini’s Theatre.” BOUDINI! Jadi keluarga Boudini akan mengadakan pertunjukkan di sini. Charlemagne… Charlemagne… akhirnya aku akan bertemu denganmu kembali. Oh Jenny… tahukah kau anakmu ada di sini sekarang, pikirnya gembira. Ia begitu gembira membayangkan akan berjumpa kembali dengan Charlemagne, putra Jenny dan memperhatikan sekelompok anak kecil yang sedang bermain di lapangan rumput itu mencari Charlemagne hingga tidak mendengar segala cerita Nanny. “Boudini’s Theatre” milik keluarga Boudini merupakan teater keliling yang terkenal di mana-mana. Walaupun sedikit jumlah aktris yang dimilikinya, namun teater ini mampu menampilkan pertunjukan-pertunjukan yang baik dan bersaing dengan teater-teater besar lainnya. Teater yang tak pernah menetap lebih dari tiga bulan di suatu tempat ini selalu dibanjiri pengunjung. Tiba-tiba muncul suatu gagasan dalam benak Snow Angel untuk menghentikan kereta dan mengunjungi Charlemagne hari ini juga saat kereta itu mulai menjauhi lapangan rumput tadi. Namun diurungkannya niat itu karena ia tahu mereka sangat sibuk saat ini, sibuk mempersiapkan panggung pertunjukan mereka. Lalu muncul gagasan lain dalam benaknya, ia berkata tegas: “Nanny, mintalah pada Thompson untuk mengantar kita ke Guest Mess!” 28

Wanita tua itu terheran-heran dengan permintaan anak asuhnya itu. Namun ia tetap melakukan apa yang diperintahkan padanya itu. Ia

melongokkan

kepalanya

melalui

jendela

dan

berseru

kepada

Thompson, “Antarkan kami ke Guest Mess, Thompson!” “Baik,” seru Thompson pula. Kemudian Nanny memandang heran pada Snow Angel. Mengerti arti pandangan itu, maka Snow Angel menjelaskan, “Aku ingin menghabiskan waktu minum teh sore ini di luar rumah.” Nanny mengangguk mendengarnya. Saat ini memang sudah hampir tiba waktunya untuk minum teh dan Guest Mess merupakan sebuah kedai minum yang setiap harinya menyediakan acara minum teh di sore hari seperti ini. Kereta membelok di tikungan dekat lapangan rumput tadi menuju ke Guest Mess yang letaknya di pusat kota kecil ini. Dengan segera mereka tiba di sana. Begitu turun dari kereta, Snow Angel berkata: “Nanny!

Engkau,

Thompson

dan

dua

penjaga

kuda

itu

pergilah

menghabiskan waktu minum teh ini di Guest Mess.” “Anda akan ke mana, Tuan Puteri?” “Aku akan berbelanja di Shawky Market.” “Biarlah saya menemani Anda berbelanja, Tuan Puteri.” “Tidak, Nanny. Pergilah bersama mereka. Aku ingin berbelanja sendiri. Bila kalian sudah selesai, kalian pergilah ke Shawky Market untuk membantu membawa belanjaanku,” tukas Snow Angel tegas. Walaupun Nanny selalu menuruti permintaannya, namun kali ini ia bersikeras untuk menemaninya. Selain karena bahaya bila seorang gadis apalagi yang semuda dan secantik Snow Angel berbelanja sendirian, juga dikarenakan ini pertama kalinya gadis itu pergi berbelanja sendirian. Biasanya kedua kakaknya selalu menemaninya, dan bila mereka tidak dapat menemaninya, mereka akan memaksa Snow Angel agar mau ditemani Countess atau Nanny. “Pergilah, Nanny!” kata Snow Angel memaksa. Ia menyerahkan beberapa lembar uang kepada Nanny untuk membayar nanti kemudian berjalan berbalik menuju Shawky Market meninggalkan mereka yang terkejut dengan tindakannya. “Entah apa kata Tuan Muda Frederick dan Oscar nanti,” kata Thompson memandangi sosok Snow Angel yang berjalan semakin jauh kemudian berbelok masuk ke Shawky Market. 29

“Aku sendiri tidak tahu apa yang akan dikatakan kedua Tuan Muda kelak bila mengetahui hal ini. Tapi bila kita tidak menuruti perintah Tuan Puteri, ia akan marah,” kata Nanny kebingungan. “Entahlah Thompson... Aku sendiri bingung apa yang harus kita lakukan sekarang. Mungkin lebih baik bila kita turuti saja perintah Tuan Puteri dan kemudian merahasiakan hal ini dari kedua Tuan Muda.” “Mungkin kau benar, Nanny,” kata mereka serempak. Mereka kemudian masuk ke Guest Mess untuk menghabiskan waktu minum teh di sana seperti yang diperintahkan Snow Angel. Mereka makan dengan tergesa-gesa karena khawatir akan keadaan Tuan Puteri mereka. -----0----Setelah meninggalkan keempat pelayannya, Snow Angel bergegas menuju Shawky Market. Toko yang besar itu menjual berbagai macam barang, di sana ia bermaksud membeli sejumlah barang bagi keluarga Boudini dan terutama Charlemagne. Ia tidak ingin keempat pelayannya mengetahui barang-barang yang akan dibelinya dan untuk siapa ia membeli barang-barang tersebut, maka ia sengaja menyuruh mereka minum-minum di Guest Mess sementara ia berbelanja. Sepanjang jalan orang-orang memandangnya

seakan-akan melihat

sesuatu yang begitu indah dan menakjubkan. Beberapa pria mencoba bersikap kurang ajar padanya. Namun belum sempat mereka melakukannya, mereka sudah langsung mundur melihat tatapannya yang tajam dan dingin. Begitulah gadis itu, banyak dikagumi orang karena kecantikkannya, sekaligus disegani orang karena kedinginan hati dan sikapnya seperti yang dikatakan keluarganya. Saat itu mereka dalam perjalanan pulang setelah menghadiri pesta di rumah Lord Herald, saat yang pertama kalinya bagi Snow Angel untuk menghadiri pesta perjamuan makan malam. Dalam

pesta

perjamuan

itu,

ia

dikelilingi

banyak

laki-laki

yang

mengagumi kecantikkannya, namun ia bersikap dingin pada mereka. Hal tersebut membuat tamu-tamu yang lain heran, sebab tidak biasanya seorang gadis yang secantik dan semuda ia yang saat itu baru berusia empat belas tahun bersikap dingin kepada laki-laki yang mengaguminya. Kebanyakkan gadis-gadis yang cantik akan senang bila ada pria yang 30

mengaguminya, tapi hal ini rupanya tidak berlaku bagi Snow Angel. Ia bersikap acuh pada pujian-pujian yang ditujukan baginya. Sejak saat itu ia menjadi terkenal akan kecantikkannya dan kedinginan hatinya dan sejak saat itu pula banyak laki-laki yang berusaha melelehkan kedinginan hati dan sikapnya. “Mengapa engkau tadi bersikap begitu dingin, Nak?” tanya Countess lembut pada Snow Angel. Snow Angel menjawab singkat, “Tidak apa-apa, Mama.” Countess menghela napas mendengar jawaban putri satu-satunya itu. Ia berusaha menasehati putrinya dengan lembut agar tidak bersikap begitu dingin. Selama ini Countess tak pernah memarahi anak-anaknya, ia selalu berusaha bersikap lembut dalam menghadapi tingkah laku putra-putrinya. Ia tahu kemarahan tidak akan menghasilkan apa-apa, demikian pula Earl of Tritonville yang juga selalu bersikap lembut namun tegas dalam menghadapi putra-putrinya. Inilah yang menyebabkan mereka begitu disayang oleh anakanak mereka. “Kelak engkau tak boleh bersikap begitu dingin lagi kepada mereka,” nasehat Earl. “Saya mengerti, Papa. Namun saya tak menyukai cara mereka dalam mendekati saya,” kata Snow Angel hati-hati, ia tak ingin membuat kedua orang tuanya marah. “Maafkan saya, Papa. Saya benar-benar tak menyukai cara mereka.” “Tahukah

engkau,

Angella?

Teman-temanku

tadi

banyak

yang

mengatakan kalau engkau benar-benar cantik bahkan kata mereka engkau gadis tercantik yang pernah mereka jumpai, juga gadis yang paling dingin yang pernah mereka jumpai,” Frederick menimpali. “Kurasa nama ‘Angella’ kurang tepat baginya. Mungkin lebih tepat ‘Snow Angel’,” usul Oscar. “Mengapa engkau berkata begitu, Oscar?” tanya Earl. “Karena ‘Snow Angel’ lebih tepat untuk menggambarkan pribadi Angella, Papa. Nama …” “Aku mengerti maksudmu, Oscar! ‘Snow’ menggambarkan kedinginannya dan ‘Angel’ menggambarkan kecantikkannya. Betul, bukan?” potong Frederick. “Aku setuju sekali denganmu. ‘Snow Angel’ memang lebih tepat daripada ‘Angella’. Bagaimana pendapat Papa Mama?” 31

“Ya … ya … nama itu lebih tepat baginya,” Earl tersenyum menyetujui usul

kedua

putranya

akan

nama

baru

putrinya,

Angella.

“Bagaimana

denganmu, Stefanie?” “Aku juga setuju dengan kalian, tapi kita tak boleh memanggilnya begitu bila ia tak menyetujuinya,” jawab Countess. “Kau setuju, Angella?” tanya Frederick dan Oscar serempak. “Terserah,” jawab Angella dingin. Rupa-rupanya semua orang kecuali Nanny menyetujui nama barunya yang diusulkan Frederick dan Oscar. Dan sejak saat itu nama ‘Angella’ digantikan ‘Snow Angel’ dengan cepatnya, secepat melambungnya ketenaran akan kecantikkan dan kedinginan hatinya

di

mata

semua

orang,

baik

kaya

maupun

miskin,

secepat

bertambahnya wanita yang iri dan cemburu baik karena kecantikkannya maupun karena perhatian kedua kakaknya yang sangat besar kepada dirinya. Banyak wanita yang berusaha merebut perhatian kedua kakaknya. Tapi mereka

sulit

sekali

mendapatkannya

karena

kedua

kakaknya

hanya

memperhatikan Angella. Mereka harus bersaing dengan Angella untuk dapat mengalihkan perhatian kedua pria itu dari adiknya, Angella. Dalam

setiap

kesempatan,

mereka

selalu

berusaha

menyaingi

kecantikkan Angella. Mereka selalu berusaha tampil lebih menarik daripada Angella dengan gaun-gaun mereka yang mahal. Tetapi mereka tetap tidak dapat merebut perhatian Frederick maupun Oscar. Kedua pria itu tetap tidak melihat kepada wanita yang lain selain adik mereka. Hal ini membuat banyak orang kagum pada rasa sayang kedua kakak Angella pada dirinya. Bahkan ada yang pernah menggoda mereka karena rasa sayang mereka yang sangat besar pada diri Angella. “Kalian sangat menyayangi Angella sehingga tidak melihat wanita lain. Kalian seperti suami yang sangat mencintai istrinya,” kata orang itu. Frederick dan Oscar tersenyum mendengarnya, mereka menyahut serempat, “Kami memang ingin mempunyai istri yang sangat cantik seperti Angella. Namun sayang di dunia ini tidak ada orang yang sanggup menyaingi kecantikkannya dan kedinginan hatinya.” Demikian pula mereka yang mengejar Angella, harus bisa menghadapi kedua kakak Angella yang menjaganya dengan ketat. Kedua kakaknya itu 32

selalu terlihat di sisinya kemanapun gadis itu pergi. Setibanya di Shawky Market, ia disambut oleh seorang wanita setengah baya yang tidak lain adalah istri pemilik Shawky Market. Wanita itu memandang heran padanya karena melihatnya datang sendirian tanpa kedua kakaknya ataupun pengawal seperti biasanya. Beberapa orang yang ada di Shawky Market juga memandang heran padanya. Snow Angel tak mempedulikan pandangan orang-orang yang ada di sana pada dirinya. “Selamat datang di Shawky Market, Miss. Adakah yang dapat saya lakukan untuk Anda?” wanita itu menyambut kedatangannya dengan ramah. “Saya ingin mencari beberapa baju,” jawabnya. Shawky Market merupakan toko pakaian yang paling baik di tempat ini. Di dalam toko yang cukup luas ini, pakaian-pakaiannya diatur sedemikian rupa sehingga pengunjung dapat dengan mudah menemukan baju yang dicarinya. Pakaian-pakaiannya diatur menurut tingkat usia, pakaian bagi anak-anak dipisahkan dengan pakaian orang dewasa dengan pakaian bayi. “Silakan sebelah sini,” kata wanita itu sambil menunjukkan tempat bajubaju bagi gadis seusianya. “Tidak, saya tidak memerlukan baju bagi saya. Saya mencari baju bagi anak yang berusia empat tahun dan baju bagi orang yang berusia sekitar lima puluhan,” terang Snow Angel. “Di sebelah sini baju untuk anak berusia sekitar empat tahun,” kata wanita itu menunjuk tempat yang lain. Snow Angel dengan sibuknya memilih-milih baju dengan dibantu wanita itu. Wanita itu melayaninya dengan cepat. Ia menunjukkan pakaian-pakaian yang baru saja datang kepada Snow Angel. Snow Angel berbelanja dengan cepat. Ia tahu pelayannya tidak mungkin berlama-lama berada di Geust Mess karena mereka pasti mengkhawatirkan dirinya. Ia membeli beberapa potong baju bagi Charlemagne, serta Mr dan Mrs Boudini. Tanpa mempedulikan keheranan wanita tadi serta beberapa orang yang memperhatikan barang-barang yang dibelinya, ia terus memilih belanjaannya. Tepat seperti dugaannya, Nanny masuk ke Shawky Market bersama Thompson saat ia membayar rekening atas barang-barang belanjaannya yang telah dibungkus rapi oleh wanita yang menyambutnya saat ia masuk toko tadi. “Untunglah aku berbelanja dengan cepat,” pikirnya lantas meminta 33

kepada mereka berdua untuk membantu membawakan belanjaannya yang tak seberapa banyak itu ke dalam kereta. Dalam perjalanan pulang, Nanny ingin sekali bertanya apa isi dari tiga kotak berukuran sedang yang dibeli Snow Angel dari Shawky Market. Namun ia menahan keinginan hatinya untuk bertanya itu. Ia tahu Snow Angel tak akan memberitahunya apa isi kotak itu. Snow Angel tahu Nanny ingin sekali tahu apa isi kotak-kotak yang berasal dari Shawky Market itu. Karena ia tidak ingin memberi tahu apapun mengenai isi kotak itu pada siapapun, maka ia membiarkan keingintahuan Nanny itu terus membumbung. Ia tahu Nanny tidak akan berani membuka kotak itu tanpa seijinnya. Ketika kereta berhenti di depan pintu Troglodyte Oinos, Snow Angel memberi perintah lagi pada mereka berempat untuk langsung menuju ke belakang dan membawa kotak-kotak yang berisi barang belanjaannya itu langsung ke kamarnya melalui pintu belakang. Dan kepada Nanny ditekankannya agar meletakkan kotak-kotak itu di bawah meja rias di dekat jendela menuju serambi dan tidak membukanya. Ia memperhatikan kereta itu berlalu hingga membelok menuju ke belakang rumah kemudian ia membuka pintu. Ia tahu ia akan menghadapi sejumlah pertanyaan dari kedua kakaknya karena berpergian keluar rumah hingga matahari mulai terbenam di sebelah barat. Ia tak ingin melibatkan Nanny, maka tadi ia sengaja memerintahkan Nanny untuk membawakan kotak-kotak yang berisi belanjaannya langsung ke kamarnya melalui pintu belakang.

34

5

Frederick dan Oscar berjalan mondar-mandir dengan gelisah di Ruang Bbesar menantikan adik mereka. Sesekali mereka melihat keluar melalui jendela di samping pintu masuk Troglodyte Oinos. Sebentar duduk, sebentar berjalan dan sebentar-sebentar mereka memandang keluar jendela. Kegelisahan mereka berdua dalam menanti adik mereka membuat Vladimer yang juga gelisah menjadi pusing. “Kalian jangan mondar-mandir terus membuat aku menjadi pusing saja,” gerutu Vladimer kesal melihat kedua kakak beradik itu mondar-mandir terus di Ruang Besar sejak waktu minum teh. Tadi sewaktu minum teh, mereka bertiga berkumpul di Ruang Duduk tanpa Countess dan Snow Angel. Countess saat itu sedang beristirahat di kamarnya dan mereka menduga Snow Angel menemani Countess minum teh di kamarnya. Tetapi setelah mereka selesai menyantap hidangan kecil itu, barulah mereka mengetahui bahwa Snow Angel pergi sejak tadi dan belum kembali. Frederick dan Oscar khawatir sekali akan keadaan Snow Angel. Mereka sengaja tak memberi tahu ibu mereka mengenai hal ini karena khawatir ia akan jatuh sakit lagi setelah mulai sembuh dari sakitnya. Tidak biasanya Snow Angel keluar rumah hingga matahari mulai terbenam. Biasanya bila ia berpergian tanpa dikawal kedua kakaknya, ia sudah tiba di rumah sebelum waktu minum teh. Bila ia berpergian dengan dikawal kedua kakaknya, barulah ia pulang seusai waktu minum teh. Dan hari ini, ia pergi tanpa pengawalan kedua kakaknya hingga langit mulai gelap. Kedua kakaknya benar-benar khawatir akan keadaannya. Begitu khawatirnya mereka hingga membuat Vladimer yang turut khawatir dengan keadaan gadis itu menjadi pusing. “Ya … ya … Kami mengerti,” kata Frederick cemas lalu duduk di kursi dekat tempat Vladimer duduk. Oscar memandang gelisah keluar. “Ke manakah perginya ia? Mengapa tidak pulang-pulang? Apakah terjadi sesuatu padanya?” 35

“Aku takut terjadi sesuatu padanya. Aku menyesal, kenapa tadi tidak kutanyai

dia

sewaktu

kulihat

pergi

dengan

kereta,”

keluh

Frederick

menyalahkan dirinya sendiri. “Sudahlah!

Ia

pasti

baik-baik

saja,

bukankah

Nanny

turut

pergi

dengannya,” Vladimer menenangkan Frederick. “Aku tahu, aku juga melihat Nanny pergi bersama Snow Angel. Tapi aku tetap khawatir. Aku tidak akan memaafkan diriku bila terjadi sesuatu padanya,” gumam Frederick sedih. “Tunggu! Kalian mengatakan melihat kepergian Snow Angel?” tanya Oscar. “Ya, aku melihatnya berdiri di tepi kolam lalu Nanny datang membawa kereta dan pergi bersamanya,” jawab Vladimer. “Kenapa kalian tidak menghentikannya? Kenapa kalian diam saja?” sembur Oscar marah. “Kau jangan marah-marah pada kami, Oscar. Kami tidak mengira ia akan pergi hingga selarut ini. Lagipula kita sama-sama tahu Snow Angel sering pergi dengan Nanny, walau kuakui ia jauh lebih sering kita kawal bila berpergian,” pinta Frederick yang berusaha meredakan amarah Oscar yang memang mudah marah apalagi bila menyangkut masalah adik kesayangan mereka. “Jangan marah! Bagaimana mungkin aku tidak marah? Bagaimana mungkin?” tanya Oscar gusar, “Oh … aku benar-benar khawatir dengan anak satu ini.” “Percuma saja kau marah-marah sekarang, Oscar. Tidak hanya kau yang khawatir akan keadaan Angella, kami pun khawatir,” kata Vladimer tenang sambil berusaha menekan kegundahan hatinya sendiri. “Lagipula ia sekarang sudah pergi dan kita hanya bisa menantikan kedatangannya.” Oscar terus mondar-mandir di ruangan itu dengan cemas. Sesekali ia berhenti di depan jendela untuk melihat bila adiknya datang. “Ke mana perginya anak itu? Mengapa tidak lekas pulang? Apakah terjadi sesuatu padanya?” tanyanya lagi. “Duduklah diam, Oscar. Kau membuatku bertambah pusing saja,” perintah Frederick. “Tidak mungkin aku bisa duduk diam sementara sesuatu bisa saja menimpa Snow Angel saat ini,” bantahnya. “Aku mengerti. Tapi cobalah diam, jangan mondar-mandir terus. Ingatlah ia tidak sendirian, ia pergi dengan Nanny,” ulang Frederick. 36

“Aku tahu … aku tahu … Tapi ke mana perginya dia? Kenapa ia tak lekas pulang? Apa terjadi sesuatu padanya?” tanya Oscar lagi untuk yang kesekian kalinya. “Kau jangan bertanya-tanya begitu terus. Kami sendiri tidak tahu ke mana perginya Angella juga apa yang terjadi padanya sehingga ia tidak lekas pulang,”

ujar

Vladimer menanggapi

pertanyaan-pertanyaan

Oscar

yang

diulang-ulang terus menerus itu. Suasana hening sejenak di sini, ketiga pria itu gelisah menanti kedatangan Snow Angel. Pada wajah mereka terlukis jelas kekhawatiran mereka. “Aku akan pergi mencarinya,” kata Oscar tiba-tiba. “Untuk apa? Bagus kalau engkau dapat bertemu dengannya, kalau tidak nanti engkau hanya akan menambah kecemasan kami,” cegah kakaknya. “Tapi aku tidak bisa diam saja di sini seperti orang gila. Aku harus mencarinya,” kata Oscar keras kepala. “Frederick benar, kau hanya akan menambah kecemasan kami bila engkau pergi mencari Angella.” “Tapi ini sudah terlalu terlambat. Ia tidak seharusnya berada di luar rumah malam-malam begini. Aku harus segera mencarinya! Aku khawatir sesuatu yang tidak kuinginkan telah terjadi padanya. Aku harus!” kata Oscar bersikeras. “Kami juga khawatir. Tetapi jangan gegabah, ia tidak sendirian. Nanny dan Thompson ikut bersamanya, juga dua penjaga kuda. Mereka pasti menjaganya dengan baik,” kata Frederick menenangkan dirinya sendiri dan adiknya. “Ini sudah malam, Fred!” Oscar bersikeras terus. “Memang ini sudah malam tapi Nanny tidak mungkin membiarkan anak itu berkeliaran di desa jika matahari sudah terbenam. Kita sama-sama tahu Nanny sayang sekali padanya, tak mungkin ia akan membiarkannya. Sabarlah mungkin sekarang ia sedang dalam perjalanan pulang,” kata Frederick. “Aku juga berharap begitu,” kata Oscar akhirnya mengurungkan niatnya mencari adiknya. Kedua kakak Snow Angel selalu berhati-hati menjaganya, mereka selalu memperlakukannya seperti saat mereka memperlakukannya ketika ia masih kecil walau kini ia telah berusia delapan belas tahun. Snow Angel tahu kakaknya memperlakukannya seperti anak kecil karena 37

begitu besarnya rasa sayang mereka padanya dan ia tak pernah bermanjamanja pada kakak-kakaknya maupun kedua orang tuanya. “Langit sudah mulai gelap, tapi kenapa Snow Angel belum munculmuncul juga?” tanya Oscar gusar. “Entahlah apa yang terjadi, mengapa ia tak kunjung-kunjung pulang? Apa yang harus kita katakan nanti bila Mama bertanya tentangnya?” timpal Frederick. “Aku juga tidak tahu apa yang harus kita katakan pada Mama nanti. Aku tak ingin Mama khawatir, ia bisa sakit lagi bila terlalu khawatir,” kata Oscar bingung. Frederick baru saja hendak mengusulkan apa yang akan dikatakannya pada Countess nanti bila ia bertanya mengenai Snow Angel ketika sayup-sayup terdengar suara kereta mendekat. Oscar yang berada di jendela segera berseru gembira melihat kereta milik keluarganya memasuki pekarangan Troglodyte Oinos. “Ia datang! Snow Angel datang!” Sesaat kemudian pintu terbuka dan tampak sosok Snow Angel berjalan masuk. Kegelisahan mereka bertiga langsung lenyap melihatnya membuka pintu. Kedua kakak Snow Angel berlari gembira menghampirinya dan kemudian memeluknya tepat pada saat ia akan menutup pintu. Snow Angel terkejut karena tiba-tiba dipeluk dengan erat oleh kedua kakaknya. Ia tak mengira kakak-kakaknya akan langsung memeluknya begitu ia tiba. Semula ia mengira kedua kakaknya akan marah-marah pada dirinya karena pulang terlambat untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Vladimer tersenyum geli melihat adegan itu. Sejak kecil, Snow Angel memang sering dipeluk kakak-kakaknya. Tetapi kali ini sungguh menggelikan melihatnya dipeluk keduanya sekaligus dengan tiba-tiba. Ia juga sama sekali tak menduga bahwa mereka akan langsung berlari mendekati Snow Angel dan memeluknya erat-erat seperti orang tua yang memeluk anaknya yang baru diketemukan setelah si anak hilang. “Oh … Snow Angel, lega hatiku melihatmu kembali. Aku khawatir sekali,” kata Frederick lega. “Ke mana saja engkau? Engkau membuat kami cemas, tahu!?” kata Oscar pura-pura marah walau sebenarnya ia memang ingin memarahi adiknya itu. Ia tahu ia tidak akan pernah bisa marah pada adik kesayangannya itu. 38

“Maafkan aku. Aku keasyikan berbelanja hingga lupa waktu,” kata Snow Angel setengah berdusta. Ia memang berbelanja tadi, tapi ia masih menyadari hari yang mulai malam saat berbelanja tadi. Perlahan-lahan mereka melepas pelukannya dan memandangnya lekatlekat. Mereka berdua memandang heran pada adik mereka. Mereka berdua sama-sama tahu Snow Angel tak seperti gadis-gadis lainnya yang selalu royal dalam berbelanja hingga lupa waktu. Snow Angel selalu berbelanja barang-barang yang diperlukannya saja. Bukan karena semua keperluannya telah dipenuhi oleh kedua orang tuanya juga kakak-kakaknya, tetapi itu memang merupakan kebiasaannya sejak kecil. Sejak kecil ia selalu menolak bila ditawari suatu barang, ia selalu berkata: “Aku

sudah

mempunyai

banyak

barang.

Apa

yang

kubutuhkan

sudah

disediakan Papa Mama, bahkan lebih dari yang kubutuhkan. Lebih baik barang itu disumbangkan saja kepada orang lain.” “Mengapa engkau tidak pulang terlebih dulu atau setidak-tidaknya kirimkanlah

seseorang

untuk

memberi

tahu

kami

agar

kami

dapat

menemanimu berbelanja hingga selarut ini?” tanya Frederick. “Berbahaya bagimu untuk berbelanja seorang diri hingga larut walaupun engkau ditemani Nanny. Lagipula tidak biasanya engkau bisa sampai lupa waktu dalam berbelanja,” tambah Oscar. “Maafkan aku telah membuat kalian khawatir. Aku tahu aku salah karena pergi keluar rumah hingga lewat waktu minum teh tanpa ditemani kalian. Tapi manusia bukanlah makhluk tanpa cela, bukan?” Teringat akan ibunya, maka Snow Angel bertanya cemas, “Bagaimana Mama?” “Mama tidak mengetahui hal ini. Kami sengaja tak memberitahukan hal ini padanya,” jawab Frederick. Snow Angel memandang lega pada kedua kakaknya. Melihat itu, Oscar berkata masam, “Ya, kau boleh lega sekarang, tapi kau harus menceritakan pada kami apa saja yang kaulakukan hingga pulang terlambat.” Snow Angel sudah menduga akan adanya pertanyaan ini, tapi ia tidak ingin menceritakan segala sesuatunya yang dilakukannya di luar rumah tadi pada siapa pun. “Aku pergi berbelanja,” katanya tajam. 39

“Ya, engkau sudah mengatakannya tadi. Tapi mana belanjaanmu? Aku tidak melihatnya. Aku rasa kau pasti berbohong,” tuduh Oscar. Sebenarnya ia tidak ingin menuduh adiknya, ia hanya ingin memancing kemarahan Snow Angel sehingga gadis itu bercerita selengkap-lengkapnya mengenai apa saja yang terjadi selama perginya hingga ia pulang terlambat. Ia tahu Snow Angel tidak mungkin mau menceritakan semua pengalamannya selama berpergian tadi. “Belanjaanku sudah dibawa masuk oleh Nanny. Ia kusuruh membawanya melalui pintu belakang,” sembur Snow Angel tajam. “Dan kuminta kalian tidak menyalahkan orang lain atas tindakanku ini!” Snow Angel marasa marah dituduh seperti itu, walau ia tahu Oscar tidak benar-benar bermaksud menuduhnya. Tapi ia tetap merasa jengkel mendengar tuduhan itu. Oscar terkejut mendengar ucapan Snow Angel yang tajam itu. Ia menyesal telah menuduhnya. “Maafkan aku, aku bicara begitu karena aku khawatir.” “Aku tahu,” kata Snow Angel dingin. Vladimer yang sejak tadi diam mendengar percakapan mereka mulai merasa tidak enak. Ia merasa dirinya dilupakan begitu saja, namun ia mengerti Frederick dan Oscar terlalu gembira melihat kedatangan Angella sedangkan Angella sibuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan kedua kakaknya sehingga melupakan dirinya. Yang membuatnya merasa tak enak bukanlah karena dilupakan tetapi adalah suasana yang mulai menengang di antara mereka bertiga. “Apakah tidak lebih baik bila kalian membiarkan Angella beristirahat dulu baru kemudian meminta penjelasan darinya lebih lanjut,” usul Vladimer mencoba mengurangi ketegangan yang terjadi. Frederick dan Oscar terkejut mendengar kata-kata Vladimer. Mereka merasa tidak enak pada Vladimer karena baru saja melupakan kehadirannya di ruang ini dan mereka juga merasa ucapan Vladimer itu benar. Mereka memandang wajah Snow Angel yang memang menampakkan sedikit kelelahannya setelah berpergian dan merasa menyesal karena tidak menyadari kelelahan adik mereka bahkan telah menahannya. “Kau benar,” kata Frederick pada Vladimer – menyalahkan dirinya sendiri kemudian ia berkata pada Snow Angel, “ Pergilah beristirahat dulu, kami akan menanyaimu lagi nanti.” 40

Snow Angel merasa gembira mendengar kata Frederick itu, ia memang ingin sekali menghindar dari pertanyaan-pertanyaan kakak-kakaknya itu sedari tadi. Ia tak ingin membiarkan dirinya lebih lama lagi di ruang itu – diiterogasi habis-habisan. Tanpa berkata apa-apa, gadis itu pergi meninggalkan Ruang Besar menuju ke kamarnya. Ia sama sekali tidak mempedulikan keterkejutan Vladimer akan sikapnya yang acuh. Saat ini ia merasa ingin lekas bertemu dengan Charlemagne esok. Ia terlalu

gembira

untuk

memikirkan

keterkejutan

Vladimer

tadi

menampakkan ketersinggungannya atas perlakuan acuhnya pada dirinya.

41

yang

6

Di kamar, Nanny telah memasang beberapa lilin dan menyiapkan sebuah bak mandi baginya. Tanpa mengatakan apa-apa, ia segera membantu Snow Angel melepaskan pakaiannya. Snow Angel segera masuk ke bak dan membasuh badannya dengan air hangat di bak itu. Snow Angel merasa segar kembali setelah selesai mandi, ketika ia melihat Nanny hendak meraih sebuah gaun malam, lekas-lekas ia mencegah: “Jangan, Nanny! Ambilkan saja sebuah gaun tidur untukku!” Kening Nanny mengkerut heran mendengarnya, namun ia tetap meraih sebuah gaun tidur bagi Snow Angel sesuai dengan permintaannya. Gaun tidur yang diambil Nanny untuk Snow Angel itu berwarna ungu muda yang tampak manis dengan lengannya yang panjang dan renda yang berwarna hijau cerah di bagian leher. Snow

Angel

mengerti

keheranan

Nanny

saat

ia

membantunya

mengenakan gaun tidur itu. Ia tidak ingin membuat wanita yang disayanginya itu bingung, maka ia menjelaskan: “Malam ini aku ingin makan di kamar. Tolong katakan hal ini pada Frederick dan Oscar, Nanny. Aku merasa letih dan ingin lekas beristirahat.” Nanny mengangguk mengerti, sambil menyisiri rambut Snow Angel yang telah diuraikannya kembali itu, ia bertanya: “Anda akan makan malam sekarang atau nanti, Tuan Puteri?” “Nanti saja, Nanny. Bukankan tak lama lagi tiba waktunya untuk makan malam ?” “Kalau begitu saya akan mengambilkan teh untuk Andda, Tuan Puteri. Tadi sore Anda tidak makan atau minum apapun.” Snow Angel mengangguk perlahan. Saat ini ia memang haus dan lelah. Tapi ia tidak begitu merasa lapar. Dibiarkannya Nanny keluar kamarnya untuk mengambilkan secangkir teh baginya. Kini ia sendirian di kamarnya yang besar itu, dipandanginya kotak-kotak yang berisi barang-barang yang tadi dibelinya dari Shawky Market untuk Charlemagne serta Mr dan Mrs Boudini yang berada di dekat kaki meja riasnya yang terbuat dari kayu mahony yang diukir dengan indahnya. 42

Kemudian ia melangkahkan kakinya ke serambi kamarnya. Angin malam yang

bertiup

menembus

gaun

tidurnya

yang

tipis

membuat

kulitnya

kedinginan. Tetapi ia tidak menghiraukannya, saat ini pikirannya melayang jauh memikirkan banyak hal. Pandangan matanya menerawang jauh ke depan menembus kegelapan malam. Sebuah gagasan muncul dalam benaknya tepat ketika Nanny masuk ke kamarnya kembali dengan membawa sebuah nampan di tangannya. Nanny terpekik kaget melihatnya berdiri di serambi dengan hanya mengenakan gaun tidurnya yang tipis membuyarkan lamunannya: “Ya ampun, Tuan Puteri! Apa yang Anda lakukan? Anda bisa jatuh sakit bila berdiri di sana terus-terusan tanpa mengenakan mantel.” Nanny meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja rias, lalu mendekati Snow Angel yang masih agak terkejut. Ia membimbing Snow Angel masuk dan kemudian menutup jendela yang menuju ke serambi. Tirai-tirai jendela itu yang menyentuh lantai dibiarkannya terbuka agar sinar bulan dapat masuk ke kamar ini. Snow Angel masih belum pulih dari keterkejutannya sehingga ia diam saja. “Mengapa Anda tadi berdiri di luar tanpa mengenakan mantel, Tuan Puteri? Walaupun sekarang sudah menjelang musim semi, tetapi angin dingin yang bertiup dapat membuat Anda sakit,” nasihat Nanny lembut sambil menuangkan teh dan menyodorkannya kepada Snow Angel. “Minumlah teh hangat ini, Tuan Puteri agar badan Anda menjadi hangat dan tidak sampai jatuh sakit setelah berdiri di serambi tadi.” Snow Angel menerima teh itu dari tangan Nanny dan meminum beberapa teguk sebelum menyerahkannya kembali itu kepada Nanny. “Terima kasih, Nanny. Sudahkan kau sampaikan pesanku kepada Frederick dan Oscar?” “Sudah,

Tuan

Puteri.

Mereka

juga

berpesan

kepada

saya

untuk

menyampaikan kepada Anda agar Anda segera tidur dengan nyenyak.” Snow Angel tersenyum ragu-ragu dalam hati mendengar pesan kakakkakaknya itu, ia ragu apakah ia sanggup tidur dengan nyenyak malam ini. Ia merasa terlalu gembira untuk tidur nyenyak. Namun ia menahan perasaannya itu dengan berkata: “Dapatkah engkau mengambilkan beberapa helai kertas dan pena untukku, Nanny?” Nanny terkejut mendengar permintaan Snow Angel, ia tidak menduga 43

gadis ini akan memintanya mengambil beberapa kertas dan pena baginya. Ia berharap gadis ini lekas tidur seperti yang dipesankan kakak-kakaknya, sebab gadis ini tampak lelah walaupun Snow Angel tidak mengakuinya. “Tentu saja, Tuan Puteri. Tetapi untuk apa, Tuan Puteri?” tanya Nanny ingin tahu. “Ambilkan saja untukku, Nanny. Ambilkan dari ruang perpustakaan. Kau tahu tempatnya bukan?” kata Snow Angel menegaskan permintaannya. “Ya, saya tahu tempatnya. Tapi …” jawab Nanny ragu-ragu. “Ayolah,

Nanny. Ambilkan

untukku,” desak

Snow Angel setengah

memohon. Mendengar desakan Snow Angel yang memohon itu, hati Nanny tergerak. Ia bingung tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukannya, menuruti Snow Angel atau menyuruhnya beristirahat. Saat ini ia menginginkan Snow Angel beristirahat, namun hati kecilnya juga memintanya untuk menuruti permintaan Snow Angel. Snow Angel memperhatikan Nanny yang kebingungan itu. Ia ingin memberi waktu kepada Nanny untuk berpikir sebelum mengambil keputusan. Ia tidak akan memaksa pengasuhnya itu. Bila pengasuhnya itu menolak dan memintanya untuk tidur, maka ia akan pura-pura tidur. Lalu setelah Nanny meninggalkan kamarnya, ia akan pergi diam-diam ke ruang perpustakaan untuk mengambil beberapa helai kertas dan pena. Snow Angel hanya dapat diam – memandang Nanny sambil berharap Nanny mau mengambilkan apa yang diinginkannya saat ini. Ia sama sekali tak sadar kalau Nanny tergerak hatinya saat memandang wajahnya yang penuh harapan itu. Ia merasa putus asa, “Nanny akan menyuruhku tidur dan tidak akan mengambilkannya untukku,” pikirnya. Snow Angel bukanlah gadis yang suka main perintah pada orang lain. Kalaupun ia memberi perintah, biasanya perintahnya itu lebih halus katakatanya sehingga lebih terasa sebagai permintaan bukan perintah. Mungkin itulah sebabnya mengapa tiap ia memberi perintah, orang lain pasti melakukannya dengan sepenuh hati. Walau mula-mula mereka ragu-ragu, seperti Nanny saat ini. Wanita tua ini ragu-ragu tetapi akhirnya ia berkata: “Baiklah, Tuan Puteri. Akan saya ambilkan.” Snow Angel tersenyum puas mendengarnya. Dipandanginya sosok Nanny 44

yang berjalan ke pintu kamarnya kemudian menghilang di balik pintu itu. Ia tahu sekali Nanny jarang menolak permintaannya, Nanny selalu berusaha menuruti permintaannya sejak ia masih kecil. Sambil duduk di kursi depan perapian kamarnya, ia mulai merangkai kata-kata yang akan ditulisnya pada kertas itu nanti. Pada kertas-kertas itu akan ditulisnya sebuah surat yang mengabarkan kedatangan Charlemagne kepada nenek serta ibunya. Ia yakin nenek Charlemagne akan senang mendengar berita ini, tetapi entah sang ibu akan senang atau tidak. Ia bimbang sebaiknya memberitakan kabar ini pada mereka atau tidak, dipikirkannya kembali gagasan ini masak-masak. Ia tidak ingin membuat mereka gusar terutama Ibu Charlemagne walau ia tahu Nenek Charlemagne pasti gembira mendengar kabar ini. Tapi merupakan suatu kesalahan besar bila tidak memberitahu mereka kabar ini atau setidak-tidaknya memberitahukan kedatangan Charlemagne ini kepada neneknya. “Ya, aku akan memberitahukan kabar ini kepada nenek Charlemagne dulu baru kemudian ibunya,” gumamnya sendiri. Ia memandang pintu menanti kedatangan Nanny. Lama ia memandang pintu itu menanti Nanny, ia mulai berpikir apa yang sedang dilakukan Nanny sehingga tidak segera muncul-muncul. Sesaat kemudian terdengar langkah-langkah kaki di koridor depan kamarnya. Langkah-langkah kaki itu bukan langkah-langkah ringan seorang wanita seperti yang diharapkannya, melainkan langkah-langkah berat seorang pria yang dikenalnya dengan baik sebagai langkah Frederick. Frederick terus berjalan melewati kamarnya sendiri dan berhenti di depan pintu kamar Snow Angel. Snow Angel menjadi kesal mendengar kakaknya

yang

mengetuk

pintu

bukan

Nanny

seperti

yang

sedang

diharapkannya. Ia tidak ingin mendengar ceramah Frederick untuk malam ini. Ia ingin segera lekas menulis surat bagi nenek dan ibu Charlemagne. “Masuk!” serunya dingin menandakan kekesalan hatinya. Ia memandang kesal pada Frederick yang berjalan ke arahnya. Di tangannya, ia memegang beberapa helai kertas dan sebuah pena seperti yang sedang diinginkannya saat ini. Tiba-tiba muncul prasangka buruk dalam hatinya, muncul perasaan bahwa Frederick telah mengetahui semua yang dilakukannya selama ia pergi tadi dari Nanny. Ia menyesal tidak meminta Nanny untuk merahasiakan segala 45

tindakannya tadi kepada Frederick dan Oscar. Dilihatnya raut wajah Frederick yang aneh yang nampak seperti menahan perasaan entah perasaan apa. Ia akan memarahiku, pikir Snow Angel kesal. Frederick berjalan hingga sampai di samping adiknya. Ditatapnya lekatlekat wajah adiknya seolah tak ingin membiarkan Snow Angel kabur. Ia mengangkat barang yang dibawanya dan melambai-lambaikan barang itu sambil berkata: “Kata Nanny, kau meminta kertas dan pena ini. Boleh aku tahu untuk apa kertas dan pena ini?” “Menulis,” jawab Snow Angel singkat. Frederick

menggeleng-gelengkan

kepalanya

mendengar

jawaban

adiknya. “Ya, aku tahu bila seseorang membutuhkan pena dan kertas, ia pasti akan menulis. Yang kuingin tahu darimu adalah kau ingin menulis apa pada kertas ini?” “Kau tak perlu tahu,” jawab Snow Angel dingin. Frederick tersenyum lembut pada adiknya, diletakkannya kertas-kertas dan pena itu di pangkuan Snow Angel. Lalu ia duduk di atas lantai yang berpermadani itu di samping adiknya sambil tetap memandangi wajah adiknya. “Kau akan menulis surat?” tanyanya hati-hati. Snow

Angel

diam

tidak

menanggapi

pertanyaan

Frederick.

Ia

memandang ke depan ke perapian yang tak menyala itu. Pandangan matanya menerawang di keremangan kamarnya terus menembus ke dalam kegelapan perapian itu. Sesaat kemudian terasa tangannya ditepuk-tepuk lembut penuh kasih sayang oleh Frederick. Ia diam tak bereaksi – tetap memandang ke depan. “Kenapa tak kau katakan kepadaku saja?” tanya Frederick lembut. Snow Angel langsung menoleh – menatap wajah Frederick mendengar pertanyaan Frederick itu. “Kepadamu?” “Aku tahu. Aku tahu semuanya…” “Dari Nanny?” potong Snow Angel tajam. “Ya,” kata Frederick menganggukan kepalanya, “Nanny mengatakan kalau kalian pergi ke Panti Asuhan Gabriel sebelum berbelanja.” “Lalu?” potong Snow Angel lagi sambil memincingkan matanya hendak menyelidiki apa saja yang diketahui Frederick. “Lalu aku mengambil kesimpulan kalau kau akan meminta kepada Papa 46

untuk membantu Panti Asuhan Gabriel itu saat Nanny muncul ke Ruang Perpustakaan hendak mengambilkanmu kertas dan pena.” “Oh ya,” kata Snow Angel sinis. Frederick menghela napas dalam-dalam dan menepuk tangan adiknya lagi. “Nanny juga bercerita kepadaku tentang keadaan panti itu. Dan kau tahu kalau selama Papa pergi, akulah yang mengurus segala-galanya. Lagipula aku tak pernah menolak permintaanmu, bukan?” Snow Angel pandangan matanya ke perapian lagi. Dibiarkannya tangan Frederick memegang tangannya. Ia merasa lega Nanny tak menceritakan kepada kakak-kakaknya bahwa tadi ia pergi berbelanja sendiri, dan kini Frederick menduga ia akan menulis surat pada Earl, ayah mereka. Tapi ia juga cemas memikirkan ia terpaksa harus berbohong pada Frederick. Ia tidak ingin membohongi kakaknya. Frederick diam memandang adiknya. Ia berusaha membaca perasaan adiknya, berusaha mengerti apa yang sedang dipikirkan adiknya itu. Sesaat suasana menjadi hening dalam kamar itu, sebelum pada akhirnya Frederick berkata: “Aku tahu kau marah padaku atas kelakuan kami sewaktu engkau tiba tadi sehingga engkau tidak mau menceritakannya kepadaku.” Frederick diam sejenak untuk mengetahui reaksi Snow Angel. Adiknya diam saja – tak bereaksi apa pun, maka ia menduga tebakannya tepat. “Maafkan kami, Snow Angel. Kau tahu kami tadi berbuat begitu karena kami mengkhawatirkan dirimu. Kami tak bermaksud menyalahkanmu, kami hanya cemas menunggumu,” lanjutnya. Snow Angel merasa sedih mendengar kata-kata Frederick yang terasa memohon itu. Dipandanginya wajah kakaknya dengan pandangan mengiba. “Tak ada suatu pun yang perlu dimaafkan. Kalian tak perlu minta maaf padaku. Aku sendiri juga bersalah dalam hal ini, aku membuat kalian cemas. Lagipula aku tidak sedang marah pada kalian.” “Kau tahu aku tidak pernah marah pada kalian. Aku tahu kalian berbuat seperti itu karena sayang padaku dan tak ingin sesuatu yang tak diharapkan terjadi

padaku.

Tapi,

Freddy,

tak

dapatkah

kau

dan

Oscar

berhenti

memikirkanku atau setidak-tidaknya pikirkan juga diri kalian.” Frederick terkejut mendengar kalimat terakhir adiknya. Ia terpekik kaget, “Apa maksudmu berbicara begitu? Kau itu …” Frederick

tidak

dapat

melanjutkan 47

kata-katanya,

jari-jari

adiknya

menahan kata-katanya di mulutnya. “Oh … Freddy jangan marah. Bukan maksudku untuk menyinggung perasaanmu. Aku tahu kau akan selalu memikirkanku karena aku adikmu. Maksudku tak pernahkah kau dan Oscar berpikir tentang masa depan kalian.” Frederick

mengangkat

tangan

adiknya

dari

mulutnya

dan

menggenggamnya. “Aku tiap hari selalu berpikir tentang itu. Tiap hari aku berpikir mengenai masa depanmu dengan seorang pria yang tampan dan gagah seperti Vladimer, misalnya,” kata Frederick. Mata Frederick bersinarsinar membayangkan hal itu, secercah senyum bahagia tersungging di bibirnya. Tak disadarinya perubahan muka adknya yang kini menjadi kaku dan tegang. Adiknya itu tak pernah sekalipun memikirkan masa depan khususnya yang menyangkut pernikahan bagi dirinya. Ia senantiasa memikirkan kakakkakaknya. “Freddy, bukan masa depanku yang kumaksudkan,” sahutnya kaku, “Yang aku maksudkan masa depanmu dan Oscar. Tidak sadarkah engkau, kau ini semakin tua bukan semakin muda begitu juga Oscar. Tahun ini saja umurmu sudah 33 tahun dan Oscar 28 tahun, tetapi kalian tidak …” “Berhenti! Aku tahu kelanjutannya, tidak perlu dilanjutkan. Mama Papa sudah sering mengatakannya,” potong Frederick cepat-cepat sebelum adiknya menyelesaikan kalimatnya. Ia merasa bosan mendengar kalimat-kalimat yang bernada hampir sama dengan kalimat adiknya. Memang sudah sering kedua orang tuanya memberi nasehat padanya mengenai usianya yang semakin tua tetapi belum menikah padahal ialah yang kelak diharapkan untuk menggantikan ayahnya. Snow Angel tertegun mendengar kata-kata kakaknya itu, tak pernah dikiranya orang tuanya sudah sering mengucapkan hal itu pada kedua kakaknya juga, sebab selama ini tak pernah sekalipun mereka berbicara tentang hal tersebut di depan matanya. Selama ini ia selalu mengira bahwa kedua orang tuanya merasa bahwa kedua kakaknya itu sudah mengerti akan hal itu sehingga tak perlu mereka memperingati kedua kakak-kakaknya itu. “Mama Papa?” “Ya.” “Kapan? Mengapa aku tidak tahu?” tanya Snow Angel heran. “Mereka membicarakannya padaku dan Oscar bila kau tak ada.” 48

“Mengapa mereka tak membicarakannya selagi aku ada?” “Karena permintaanku.” “Permintaanmu?” ulang Snow Angel. “Ya.” Frederick menganggguk membenarkan pernyataan tadi. “Mengapa?” “Karena aku tidak ingin engkau memikirkannya juga. Tapi sungguh tak kusangka ternyata engkau juga memikirkannya, selama ini kau tampak selalu acuh. Kau ini memang sulit ditebak,” jawab Frederick menggoda adiknya. “Karena aku juga telah ikut memikirkannya, maka maukah engkau mulai sekarang memikirkan hal ini juga?” “Tidak,” jawabnya tegas. “Mengapa?” tanya Snow Angel berusaha memahami jalan pikiran kakaknya. “Karena janji,” jawab Frederick singkat tak mau menjelaskan lebih lanjut. Namun hal ini membuat adiknya semakin ingin mengetahui jalan pikiran Frederick yang tak mau memikirkan masa depannya sendiri. “Janji apa?” desak Snow Angel. Frederick menggelengkan kepalanya menolak menjawab pertanyaan adiknya. Ia memandang wajah adiknya dalam keremangan cahaya lilin di ruangan itu. Wajah adiknya menyorotkan keinginan agar pertanyaannya dijawab dengan jujur. Hati Frederick terombang-ambing antara keinginan menolak pertanyaan itu dan keinginan untuk mengabulkan keinginan adiknya. Bukan hanya sekali ini saja ia bimbang karena adiknya yang satu ini. Acap kali apa yang dianggapnya paling baik bagi Snow Angel bertentangan dengan keinginan adiknya itu. Dan biasanya pada akhirnya ia mengalah pada keinginan adiknya. “Karena janjiku pada diriku sendiri,” jawab Frederick pada akhirnya,” Janjiku sewaktu engkau lahir.” “Aku?” kata Snow Angel tak mengerti. “Waktu engkau lahir, aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menjagamu. Bahkan …,” jelasnya, “Bahkan … aku berjanji untuk tidak memikirkan kepentingan diriku sendiri sampai engkau benar-benar mandiri.” “Aku sekarang telah dewasa, bukan? Kurasa sekarang engkau dapat mulai memikirkan dirimu sendiri.” “Tidak, aku masih belum dapat melakukannya,” bantah Frederick. 49

“Mengapa?” tuntut Snow Angel. “Di usiamu yang sekarang ini, engkau memang telah dewasa. Tapi aku masih

menganggap

kedewasaanmu

itu

belum

cukup

matang

untuk

membuatku berhenti mencemaskanmu.” “Apa yang masih kurang pada diriku sehingga kau masih belum dapat berhenti mencemaskanku?” “Pendamping! Sampai saat itu tiba, aku tidak dapat berhenti. Aku baru rela berhenti mencemaskanmu bila engkau telah berada di tangan orang yang tepat.” “Freddy, kurasa selama ini aku sudah punya pendamping seperti yang kaukatakan. Selama ini kau dan Oscar selalu mendampingiku ke mana pun aku pergi.” “Sudahlah, jangan membujukku terus menerus. Sekarang, engkau mau mengatakan permintaanmu pada Papa?” “Entahlah.” “Mengapa…,” kata Frederick terhenti oleh suara ketukan pintu. “Kurasa Nanny yang datang.” Frederick

bangkit

kemudian

meminta

penegasan

dari

adiknya,

“Berjanjilah bahwa kau akan menceritakannya padaku.” Snow Angel memikirkannya apa yang harus dilakukan agar rahasia tetap menjadi rahasia. Setelah menimbang masak-masak jawaban yang akan diutarakannya, ia akhirnya menganggukan kepala. Frederick tersenyum puas melihatnya, “Bila demikian halnya, engkau sudah tidak memerlukan kertas-kertas itu lagi.” “Tidak, biarkan saja barang-barang ini tetap di sini,” sahutnya. Setelah mencium pipi adiknya dan mengucapkan selamat malam, Frederick meninggalkan adiknya yang kini ditemani Nanny. “Silakan makan, Tuan Puteri! Makanan telah saya siapkan.” Gadis itu bangkit kemudian meletakkan barang-barang di pangkuannya itu di meja rias. Nafsu makannya hilang setelah percakapannya dengan kakaknya tadi. Namun demi menyenangkan hati wanita tua itu, ia memakan makanan itu. Nanny segera membawa makanan-makanan itu ke dapur setelah Snow Angel menyelesaikan makan malamnya. Kini Snow Angel sendirian di kamarnya. Ia duduk di depan meja rias dan mulai menulis surat bagi Mrs. Dellas, nenek Charlemagne. Disimpannya surat 50

itu di laci meja tersebut kemudian ia berbaring di tempat tidurnya.

51

7

Matahari bersinar lembut menyibakkan kabut tipis di dalam hutan sekeliling Troglodyte Oinos. Daun - daun meneteskan embun pagi yang berkilau-kilauan tertimpa sinar mentari pagi. Udara pagi yang dingin tak menyurutkan keinginan Snow Angel untuk berjalan-jalan di hutan itu. Kakinya terus melangkah makin dalam ke hutan itu. Sebentar-sebentar ia berhenti untuk mengamati alam sekitarnya. Senandung kicau burung pagi menghilangkan kegundahan hatinya. Bibirnya bersenandung kecil mengikuti nyanyian burung-burung pagi. Ketika matahari mulai melenyapkan kabut tipis hutan itu, ia berbalik pulang. Belum jauh ia berjalan kembali ke rumahnya tatkala ia melihat semaksemak di depannya bergoyang-goyang dan kemudian muncul sesosok anak kecil. “Hai,” sapanya. Anak yang disapanya itu berlari keluar dari semak-semak tempatnya semula menuju ke arahnya. “Hai,” balas anak itu. “Kenalkan

namaku

Charlemagne,

tapi

semua

orang

memanggilku

Charlie,” katanya sambil mengulurkan tangannya pada Snow Angel. Snow

Angel

terhenyak

mendengar

nama

anak

itu.

Bukan

main

senangnya hatinya melihat anak itu. Tak disangkanya ia akan bertemu dengannya secepat ini. Ia tadinya berencana akan menemuinya serta Mr dan Mrs. Boudini sore ini di Boudini’s Theatre tapi nyatanya ia bertemu dengan Charlemagne sekarang secara kebetulan di hutan sekeliling rumahnya. Snow Angel menyambut tangan kecil itu. “Saya Angella, orang-orang memanggilku Snow Angel,” katanya memperkenalkan diri. “Anda Snow Angel yang terkenal itu ya!?” seru Charlemagne. “Bagaimana kau tahu?” tanya Snow Angel terheran-heran. “Kemarin waktu kami baru tiba, saya mendengar banyak orang yang membicarakan Anda. Kata mereka Anda cantik sekali seperti bidadari tapi saya tak percaya. Makanya pagi ini saya sengaja datang kemari dan berharap dapat bertemu Anda.” “Sekarang saya percaya pada perkataan mereka. Anda memang seperti 52

malaikat yang sering Ibu ceritakan padaku. Sayang mereka salah dalam satu hal, mereka mengatakan Anda dingin. Tetapi saya melihat Anda tidak dingin, buktinya tangan Anda hangat,” jelas Charlemagne panjang lebar. Snow Angel tersenyum melihat anak itu bercerita panjang lebar seperti tak ada habis-habisnya. Diam-diam ia mengagumi keberanian dan kecerdasan Charlemagne. Tidaklah mengherankan baginya melihat keberanian dan kecerdasan anak yang baru berusia empat tahun itu. Sejak bayi, Charlemagne sudah tinggal dalam lingkungan teater. Justru akan membuatnya heran bila seseorang yang tinggal dalam lingkungan teater menjadi penakut. Namun ia tetap mengagumi keberanian Charlemagne yang berani datang sendirian ke Troglodyte Oinos yang letaknya agak terpencil dari desa terdekat sepagi ini. Suasana sekitar Troglodyte Oinos memang terkesan menyeramkan. Rumah ini dikelilingi oleh hutan yang sekaligus menjadi “tembok pembatas” antara rumah ini dengan desa terdekat. Namun, hal ini yang menjadi daya tarik tersendiri dari rumah ini. Rumah yang dikelilingi hutan ini bagaikan gua tempat tinggal manusia purba di tengah hutan pada masa purba. Rumah ini dibangun oleh kakek moyangnya. Kakek moyangnya itu senang akan kesunyian, karena itulah ia mendirikan rumah yang dikelilingi hutan. Ia juga memberi nuansa Yunani Kuno pada rumah itu karena kakek moyangnya mengagumi budaya Yunani Kuno antara lain memberi nama yang berasal dari Bahasa Yunani bagi rumah yang didirikannya itu. Sewaktu orang-orang mendengar kakek moyangnya itu akan mendirikan rumah di tengah hutan, banyak dari mereka yang menganggapnya aneh. Tak sedikit teman-teman kakeknya itu yang menggodanya sewaktu pembangunan rumah itu mulai dilaksanakan. Tetapi rupanya jerih payah kakek moyangnya dalam mendirikan rumah di tengah hutan itu tidak sia-sia. Terbukti sejak didirikannya Troglodyte Oinos, tidak ada seorang pun dari teman-teman kakeknya yang mengejek rumah itu. Banyak di antara mereka yang mengagumi rumah ini. Beberapa di antara mereka memberi nama ‘Heaven in The Middle of The Jungle’ pada Troglodyte Oinos karena keindahan rumah ini. Rumah yang dikelilingi hutan ini memang indah. Bangunan utamanya 53

dikelilingi kebun yang cantik dengan sebuah kolam air mancur indah yang juga turut menghiasinya di tengah jalan menuju rumah ini. Pada

bagian

dalam

rumah

ini

banyak

sekali

ukiran-ukiran

yang

bernuansa Yunani Kuno. Tidak sedikit pula patung dewa-dewi Yunani Kuno yang terdapat di dalam rumah ini. Kesemuanya itu menambah indahnya rumah ini. Saat itu Troglodyte Oinos banyak dibicarakan orang, sebab kakeknya itu merupakan satu-satunya bangsawan yang mendirikan rumah di tengah hutan. Namun tak seorangpun di antara mereka yang tidak mengagumi keindahan Troglodyte Oinos. Kakek moyangnya itu memiliki keahlian sebagai seorang arsitektur. Ia-lah yang merancang pembuatan Troglodyte Oinos dan bagian-bagian dalam rumah ini. Kakeknya itu merancang sedemikian rupa sehingga siapa pun yang tinggal di rumah ini tidak akan merasa bosan ataupun terpencil walaupun dikelilingi hutan. Semua anak-cucunya tidak ada yang mengeluh karena tinggal di rumah yang dikelilingi hutan. Pelayan-pelayan pun tidak ada yang merasa terpencil. Semua merasa senang tinggal di rumah yang dibangun kakek moyangnya itu. “Bagaimana kabar Mr dan Mrs. Boudini? Apakah mereka tahu engkau kemari?” “Mereka baik-baik saja,” jawabnya lalu ia meneruskan dengan nada bersalah, “Mereka tidak mengetahui kepergianku kemari.” “Seharusnya engkau memberitahu mereka tentang kepergianmu ini juga engkau seharusnya tidak pergi sendirian kemari. Engkau telah membuat Mr dan Mrs. Boudini cemas,” nasehat Snow Angel. “Saya tahu. Saya meyesal tak memberitahu ayah ibu bahwa saya akan pergi ke sini, pasti sekarang mereka cemas akan keadaanku. Saya berjanji pada Anda tidak akan mengulanginya lagi dan juga saya berjanji akan meminta maaf pada ayah ibu.” “Saya senang engkau menyesali tindakanmu itu. Tapi jangan hanya berjanji padaku bahwa engkau tidak akan mengulanginya lagi. Engkau juga harus berjanji pada mereka.” “Saya mengerti.” “Nah, Charlie. Tadi engkau mengatakan engkau ingin bertemu denganku, bukan?” Charlemagne mengangguk kemudian Snow Angel meneruskan, “Sekarang saya ingin mengundangku ke rumahku. Kau mau?” “Mau!” seru Charlie girang, “Tapi…” 54

“Soal orang tua baptismu jangan khawatir. Akan kukirimkan seseorang untuk memberitahu mereka kalau engkau ada bersamaku.” “Orang tua baptis? Saya tidak mempunyai orang tua baptis,” kata Charlemagne membenarkan ucapannya. Snow Angel termangu-mangu mendengar ucapan Charlie. Ia merasa ada sesuatu yang salah sepanjang yang diketahui anak ini. Ia memutuskan tidak bertanya lebih jauh tentang itu kepada Charlie sebelum menanyakannya lebih dahulu kepada Mr dan Mrs. Boudini. “Maaf. Maksudku, saya akan mengirim seseorang untuk memberitahu ayah ibumu bahwa engkau ada bersamaku di sini sehingga mereka tidak cemas sementara engkau kuundang ke rumahku. Bagaimana engkau setuju?” ulang Snow Angel. “Setuju!” seru anak itu kembali sambil menarik tangan Snow Angel. Snow Angel tersenyum melihat kegirangan anak itu. Sepanjang jalan anak itu bercerita tentang teman-temannya di Boudini’s Theatre, tentang pertunjukan-pertunjukan Boudini’s Thetre, tempat-tempat yang dikunjunginya dan berbagai hal yang telah dialaminya. Sambil bercerita, Charlie sesekali melucu dengan menirukan tingkah teman-temannya yang membuat Snow Angel yang jarang tertawa itu mau tak mau tertawa melihatnya. Mereka terus berjalan mendekati Troglodyte Oinos. Ketika kolam air mancur di depan Troglodyte Oinos mulai tampak jelas, Charlie berseru kegirangan dan berlari mendekati kolam itu. “Charlie, jangan berlari! Nanti jatuh,” seru Snow Angel mencegah Charlie. Namun Charlie terus berlari mendekati kolam itu. Snow Angel mempercepat langkahnya mendekati Charlie. Ketika ia tiba di sisinya, Charlie langsung berseru,” Ini rumah Anda? Indah sekali!” “Kau suka?” tanya Snow Angel. “Ya,” jawabnya, “Apa nama rumah ini?” “Troglodyte Oinos.” “Trog… Troglog … Ah, bukan itu. Apa namanya?” kata Charlie sebal. Snow Angel tertawa melihat kesebalan Charlie hanya karena tak dapat mengucapkan nama rumah ini dengan tepat. “Troglodyte Oinos,” ulang Snow Angel. “Sulit sekali mengucapkan nama rumah ini,” keluh Charlie. 55

“Tentu saja sulit. Sebab nama rumah ini dari Bahasa Yunani,” kata Snow Angel membesarkan hati anak itu. “Bahasa Yunani?” ulang Charlie. Snow Angel menganggukan kepalanya. “Pantas namanya sulit kuucapkan dan terdengar aneh,” kata Charlie, “Apa artinya?” “Troglodyte berarti ‘seorang memasuki gua’ sedangkan Oinos artinya ‘rumah’. Jadi arti Troglodyte Oinos adalah ‘rumah manusia gua,” jelas Snow Angel. “Rumah manusia gua? Aneh sekali!” “Menurutku tidak.” “Mengapa?” “Karena nama itu tepat dengan suasana di sekitar rumah ini yang dikelilingi hutan. Seperti gua tempat tinggal manusia purba yang letaknya di tengah hutan.” “Aku tak mengerti,” kata Charlie. “Kelak engkau akan mengerti.” Charlie

kemudian

sibuk

memperhatikan

kolam

di

depannya

itu

sementara Snow Angel duduk di tepi kolam sambil memperhatikan Charlie tanpa menyadari sepasang mata yang sedang mengamati mereka. Rupanya tidak hanya mereka berdua saja yang berada di sekeliling kolam itu. Agak jauh dari kolam itu di balik sebuah pohon seorang laki-laki mengawasi mereka dari kejauhan. Orang itu tak lain adalah Vladimer. Seperti halnya mereka berdua, ia baru saja dari berjalan-jalan di hutan sekeliling Troglodyte Oinos. Semula ia akan berjalan terus masuk ke dalam hutan itu, tapi ia tiba-tiba mendengar suara seruan. Segera ia mendekati asal seruan tersebut dan mendapati Angella bercakap-cakap dengan anak kecil. Ia memandang

takjub

pemandangan

di

depannya

itu.

Ia

merasa

sukar

mempercayai apa yang dilihat matanya itu. Sukar dipercaya memang melihat gadis itu tertawa riang. Gadis itu terkenal

sedemikian

dinginnya

sehingga

orang-orang

percaya

sukar

membuatnya tertawa bahkan sebagian dari mereka percaya gadis itu tidak dapat tertawa riang. Namun apa yang dilihatnya kini benar-benar berbeda dengan pendapat orang mengenai gadis itu. Ia melihat dan mendengar sendiri Angella bercanda dengan anak kecil itu. 56

“Siapa mereka?” tanya Charlie sambil menunjuk patung dewa-dewi Yunani yang menghiasi kolam itu. “Mereka adalah dewa-dewi Yunani Kuno,” jawab Snow Angel. “Ini siapa?” tanyanya sambil menunjuk sebuah patung. “Itu dewa Apollo, putra dewa Zeus. Ia itu dewa kesusastraan sedangkan ayahnya adalah raja segala dewa. Ini patungnya,” kata Snow Angel menunjuk patung yang lain. “Hebat sekali! Saya juga mau menjadi raja para dewa.” “Tetapi menjadi raja para dewa itu berat sekali.” “Berat?” “Ya, engkau akan mempunyai banyak tugas. Engkau harus berbuat ini… berbuat itu. Pokoknya banyak sekali sehingga engkau tidak punya waktu untuk bermain.” Charlie termenung murung dan berkata, “Saya tidak lagi berniat ingin menjadi raja para dewa. Kasihan Dewa Zeus. Ia tidak bisa bermain-main seperti saya. Pasti sekarang ia repot sekali, ya?” Snow Angel tersenyum geli melihat keluguan Charlie. “Mamanya Dewa Apollo mana?” tanya Charlie sambil memandangi patung-patung itu satu per satu. “Ini. Namanya Dewi Hera,” tunjuk gadis itu. “Lalu yang lainnya ini siapa?” tanya Charlie ingin tahu. “Yang ini putri Dewa Zeus, Dewi Athena. Di sisi kirinya itu adalah Dewi Aphrodite. Lalu yang memegang tombak berujung tiga itu Dewa Poseidon.” “Mereka tentu hebat-hebat,” seru Charlie kagum. “Benar, mereka semuanya hebat. Tetapi dewa-dewi Yunani Kuno itu banyak sekali, tidak hanya mereka ini.” “Benarkah? Maukah Anda memberi tahuku?” “Tentu, tetapi tidak sekarang. Sekarang kita masuk dulu dan makan pagi. Engkau belum makan pagi, bukan?” Charlie mengangguk membenarkan Snow Angel. ”Anda berjanji akan menceritakan tentang dewa-dewi itu pada saya?” mohon Charlie. “Ya, saya berjanji akan menceritakannya padamu, anak manis,” tegas Snow Angel, “Sekarang mari kita masuk.” Dibimbingnya anak itu meninggalkan kolam air mancur yang sejak tadi dikaguminya itu, langsung menuju ke kamarnya. 57

Ketika ia masuk ke kamarnya, ia mendapati Nanny sedang merapikan kamarnya. Nanny terkejut melihat kedatangannya bersama seorang anak laki-laki. Ia baru saja hendak bertanya mengenai anak itu ketika Snow Angel berkata: “Nanny, saya ingin makan pagi bersama anak ini di Ruang Kanak-Kanak.” Snow Angel tidak ingin memberi penjelasan kepada Nanny mengenai anak yang dibawanya itu. Segera, setelah menyampaikan pesannya pada Nanny, ia meninggalkan kamarnya dan mengajak Charlie ke Ruang KanakKanak. Nanny memaklumi sikap gadis itu yang tak ingin memberi penjelasan mengenai anak yang dibawanya serta dari berjalan-jalan di sekitar Troglodyte Oinos. “Mungkin Tuan Puteri tidak tahu siapa anak itu sehingga ia tidak berkata apa-apa mengenai anak laki-laki itu,” pikir Nanny sambil mengawasi sosok mereka berdua yang menghilang di balik pintu, “Tapi siapakah anak itu? Dari mana Tuan Puteri menemukan anak itu? Mengapa sepagi ini anak itu berada di hutan sekitar rumah ini?” Nanny terus berpikir berusaha menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benaknya. Tetapi ia tetap tidak dapat menjawabnya. Ia merasa kecewa tidak dapat menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan segera ditepisnya perasaan itu dan ia mulai menyelesaikan tugasnya merapikan kamar Snow Angel. Selesai merapikan kamar gadis itu, ia bergegas ke dapur hendak mengambilkan sarapan pagi bagi Snow Angel dan anak itu. Juru masak yang melihat Nanny menyiapkan sarapan pagi untuk dua orang, bertanya heran: “Untuk siapa saja Anda menyiapkan sarapan pagi itu, Nanny?” “Untuk Tuan Puteri dan seorang anak kecil yang dibawanya,” jawab Nanny. “Anak kecil?” tanya pelayan lain yang mendengar jawaban Nanny. “Ya. Tadi Tuan Puteri membawa seorang anak laki-laki sepulang berjalanjalan di hutan sekitar rumah ini,” ulang Nanny. “Siapa anak itu? Di mana Tuan Puteri menemukannya dan juga mengapa anak itu berada di hutan sekitar rumah ini sepagi ini?” tanya juru masak. “Saya tidak tahu. Pertanyaan itu tadi jega muncul dalam benak saya, tapi saya tidak mampu menjawabnya. Tuan Puteri juga tidak berkata apa pun 58

mengenai anak itu. Mungkin tadi Tuan Puteri tidak sengaja melihat anak itu di hutan dan kemudian dibawanya anak itu kemari,” ujar Nanny. “Ya. Itu mungkin saja,” kata pelayan tadi menyetujui ucapan Nanny kemudian ia meninggalkan Nanny dan juru masak itu berdua sebab masih ada tugas yang harus diselesaikannya. “Di mana orang tua anak itu? Mengapa mereka membiarkan anak itu berada di sekitar sini sepagi ini?” tanya juru masak tak mengerti. Nanny mengakui kebenaran ucapan juru masak itu. Walaupun hutan di sekitar Troglodyte Oinos bukanlah hutan angker, tetapi tetap saja berbahaya bagi seorang anak kecil untuk berada sendirian di sana pada pagi hari. “Saya tidak tahu,” jawab Nanny sambil mengangkat bahunya, “Tapi sepertinya anak itu bukan anak terlantar, pakaian anak itu cukup baik. Anak itu juga tampak sehat.” “Saya rasa ada baiknya bila Anda membawakan segelas susu segar bagi anak itu,” usul juru masak. “Ya, Anda benar. Anak itu pasti senang sekali,” kata Nanny menyetujui usul juru masak itu. Juru masak menyiapkan segelas susu kemudian memberikannya kepada Nanny. “Bagaimana rupa anak itu?” “Anak itu lucu dan cukup tampan. Tapi menurut saya, tak selucu dan setampan Tuan Muda Frederick dan Tuan Muda Oscar sewaktu kecil. Rambut anak itu warnanya hitam seperti rambut Tuan Muda Frederick, matanya juga berwarna hitam.” Juru masak tertawa mendengar ucapan Nanny. “Tentu saja Anda menganggap Tuan Muda lebih lucu dan tampan dari anak itu sebab Anda lebih menyayangi Tuan Muda berdua.” “Sudahlah. Saya permisi dulu. Saya akan mengantarkan sarapan ini bagi mereka berdua,” kata Nanny sambil mengangkat nampan berisi makanan itu dan bergegas menuju Ruang Kanak-Kanak. Ketika hampir tiba di Ruang Kanak-Kanak, didengarnya suara canda tawa mereka berdua. Nanny tersenyum bahagia mendengarnya. Perlahan-lahan dibukanya pintu Ruang Kanak-Kanak itu. Dilihatnya anak asuhnya itu sedang bermain dengan anak itu. Mereka tampak gembira sekali bermain di Ruang Kanak-Kanak itu. Hampir semua mainan yang dulu merupakan milik kakak-kakak Snow Angel dikeluarkan oleh gadis itu untuk 59

dipakai bermain oleh anak itu. Nanny terharu melihat kebahagiaan anak asuhnya itu, sudah lama ia tak melihat gadis itu sebahagia kini, walaupun gadis itu sering bermain bersama anak-anak Panti Asuhan Gabriel. Dengan hati-hati ditatanya makanan yang dibawanya itu agar tidak menganggu mereka berdua, di meja yang terletak di tengah ruangan itu. Nanny tidak ingin mengganggu mereka tapi ia tahu ia harus memberi tahu mereka bahwa makanan telah siap. Dengan enggan Nanny memanggil anak asuhnya itu. Snow Angel memalingkan kepalanya mendengar panggilan Nanny. Ia segera bangkit dan meminta Nanny untuk mengirimkan kedua pucuk surat yang dibawanya. Nanny menerima surat-surat itu dan bergegas meminta Thompson untuk mengirimkan kedua pucuk surat itu. “Thompson, apakah engkau sedang sibuk?” “Tidak, Nanny. Seperti yang Anda lihat, saya sedang bercanda dengan kuda-kuda

ini,”

jawab

Thompson,

“Ada

keperluan

apa

sehingga

Anda

mencariku, Nanny?” “Tuan Puteri meminta Anda untuk mengirimkan kedua pucuk surat ini,” jawab Nanny sambil menyerahkan kedua pucuk surat yang diterimanya dari Snow Angel itu kepada Thompson. Thompson mengambil kedua pucuk surat itu dari tangan Nanny dan membaca alamat surat itu. Ia mengangguk tanda mengerti dan berkata, “Saya mengerti, Nanny. Akan segera saya kirimkan surat-surat ini.” Nanny meninggalkan Thompson yang sedang mempersiapkan kuda. Tanpa terburu-buru ia kembali ke Ruang Kanak-Kanak. Nanny terkejut mendapati Lady Stefanie sedang menangis terharu di depan pintu Ruang Kanak-Kanak. “Ada apa, Yang Mulia?” tanya Nanny cemas. “Oh, Nanny… Tak kaudengarkah itu. Sudah lama sekali aku tak mendengar suara tawa anak itu,” jawab Countess terharu. “Ya, memang telah lama Tuan Puteri tidak tertawa seriang ini.” “Siapakah anak kecil yang bersamanya itu, Nanny? Aku juga mendengar suara anak kecil yang berasal dari Ruang Kanak-Kanak ini.” “Saya juga tidak tahu. Tadi Tuan Puteri membawa serta anak itu bersamanya sepulang berjalan-jalan di hutan. Sepertinya anak itulah yang 60

membuat Tuan Puteri bahagia.” “Mungkin juga, Nanny.” Tiba-tiba Nanny terpekik pelan, “Mengapa Anda berada di sini, Yang Mulia? Bukankah seharusnya Anda beristirahat di kamar, Anda baru saja sembuh dari sakit.” “Aku tahu hal itu, Nanny. Tadi sewaktu aku baru kembali dari Ruang Makan dan hendak menuju kamar, saya mendengar suara tawa yang berasal dari ruangan ini. Karena tertarik mendengarnya, maka saya ke mari dan menyadari tawa itu tak lain adalah tawa anakku,” cerita Countess, “Tawa yang selama ini kurindu-rindukan.” “Nanny, sebaiknya kita biarkan saja mereka berdua. Aku tidak ingin menganggu kebahagiaan mereka berdua.” “Anda benar, Yang Mulia. Mari saya antarkan Anda ke kamar Anda.”

61

8

“Ruang Kanak-Kanak?” tanya Charlie. “Ya, kita akan ke sana.” “Tempat apa itu?” “Itu adalah tempat tidurku sewaktu masih kecil. Di sana banyak mainannya. Engkau pasti akan senang.” “Sungguh?” tanya Charlie tak percaya. “Benar. Percayalah padaku. Engkau akan gembira,” kata Snow Angel meyakinkan Charlie. Snow Angel sengaja meminta Nanny untuk menyiapkan makan pagi di Ruang Kanak-Kanak yang terletak di ujung lorong ini karena ia ingin membawa Charlie ke ruang tersebut untuk bermain. Di ruang itu banyak mainan-mainan baik miliknya maupun milik kedua kakanya sewaktu mereka masih kecil. Ia ingin membuat Charlie gembira dengan mainan-mainan tersebut. Ia tahu Charlie juga mempunyai mainan. Tapi ia tidak yakin anak itu memiliki mainan sebanyak yang ada di ruangan itu. Walaupun Boudini’s Theatre cukup terkenal, namun sebagian besar dari penghasilan teater itu digunakan untuk meluaskan usahan teater tersebut dan Snow Angel tahu itu. Karena itulah ia mengajak Charlie ke Ruang Kanak-Kanak. Ia ingin Charlie gembira dapat bermain sepuas hatinya di sana. “Banyak sekali mainannya!” seru anak itu kegirangan melihat mainan yang terdapat di Ruang Kanak-Kanak. “Engkau boleh bermain dengan mainan-mainan itu sepuas hatimu.” “Sungguh?” tanya Charlie tak percaya. Snow Angel menganggukan kepalanya yang segera disambut anak itu dengan berlari ke lemari tempat mainan-mainan itu tersimpan. Dengan hatihati dikeluarkannya mainan-mainan tua itu bagi Charlie. Charlie menerima mainan demi mainan yang diulurkan gadis itu kepadanya. Ia merasa gembira sekali dapat bermain dengan mainan-mainan yang dikaguminya itu. Begitu banyaknya mainan di ruang itu sehingga membuatnya bingung memilih mainan yang akan dimainkannya. Seandainya anak seorang bangsawan yang kini berada di ruang itu 62

bersama gadis itu, anak itu tidak akan sekagum Charlie. Bagi Charlie ini pertama kalinya ia melihat begitu banyak mainan dan mainan yang bagusbagus seperti yang ada di ruang ini. Tetapi seorang anak bangsawan, mungkin akan mengejek mainan-mainan itu. Mainan-mainan

yang

ada

di ruang

ini bukanlah

mainan

terbaru

melainkan mainan tua yang dulu dimainkan oleh ketiga kakak beradik itu sewaktu mereka masih kecil. Kesemua mainan itu dirawat dengan baik sehingga masih bisa digunakan oleh Charlie walau telah bertahun-tahun berada di ruangan ini. Bahkan kudakudaan kayu yang dulu merupakan mainan kesayangan Frederick masih kuat menahan berat Charlie. Sejak kecil mereka bertiga dididik oleh kedua orang tua mereka untuk selalu menyayangi benda-benda milik mereka dan merawatnya dengan baik dan ajaran itu telah melekat di hati mereka sejak kecil hingga kini. Maka tidaklah mengherankan melihat mainan-mainan bayi pun masih tersimpan dalam keadaan baik di sini. Snow Angel memandang sekeliling Ruang Kanak-Kanak. Ruangan tempat ia dirawat oleh Nanny sewaktu masih kecil ini, masih tetap seperti dulu. Tak ada yang berubah pada ruangan ini. Tempat tidurnya sewaktu kecil masih berada di tempatnya, di dekat jendela. Meja tempat ia dulu belajar pun masih tetap berada di tengah ruangan ini. Kerinduan muncul di hatinya, ia rindu berada di ruang yang banyak menyimpan kenangan masa kecilnya yang bahagia. Sudah lama ia tidak ke ruangan ini sejak ia diminta oleh ibunya untuk menemani anak teman Earl dan Countess yang kebetulan diajak serta oleh orang tuanya ke Troglodyte Oinos. Dan itupun sekitar enam tahun yang lampau. Snow Angel masih dapat mengingat jelas kenakalan dan kesombongan anak yang bernama Neil itu. Saat itu anak itu baru berusia enam tahun, tapi ia sudah amat sombong. Anak itu mengejek mainan-mainan yang ada di ruang ini. “Mainan apa ini! Mainan setua ini tidak seharusnya berada di sini, seharusnya dibuang saja. Aku tidak mau bermain bermain dengan barangbarang rongsokan ini,” kata Neil waktu itu. Saat itu Snow Angel merasa lega kedua kakaknya sedang pergi sehingga tidak mendengar ejekan Neil. Ia yakin kedua kakaknya akan marah besar bila mendengar ejekan anak ini sebab mereka amat sayang pada mainan yang ada 63

di ruangan ini. Waktu Snow Angel masih kecil, kedua kakaknya setiap hari menemaninya bermain di ruangan ini sambil memuji-muji mainan mereka masing-masing. Ia tidak pernah bosan mendengar mereka memuji-muji mainan mereka. Setiap saat mereka menemani Snow Angel kecil bermain di ruangan ini walaupun sudah bukan saatnya lagi bagi mereka berdua untuk bermain. Vladimer pernah menggoda mereka berdua saat melihat mereka bermain dengan si kecil Angella. “Kalian ingin menjadi bayi lagi, ya? Tiap hari bermain-main saja dengan si kecil ini,” katanya sambil menunjuk Angella yang duduk di pangkuan Frederick. Angella yang saat itu masih berusia satu tahun tidak mengerti apa-apa. Ia

menggapai-gapaikan

tangan

mungilnya

hendak

meraih

jari

telunjuk

Vladimer yang diarahkan padanya sambil tertawa-tawa riang menyebut namanya. “Rupanya anak ini ingin bermain denganmu, Vladimer,” kata Frederick mengacuhkan godaan Vladimer. Vladimer segera membungkukkan badannya dan menangkap tangan kecil yang menggapai-gapai itu. Oscar yang juga berada di ruangan itu tertawa melihat Vladimer bermain dengan Angella kecil. “Kau sendiri juga senang bermain dengan Angella, bukan?” “Ya, kuakui itu. Anak ini manis sekali. Siapa pun yang melihatnya pasti ingin bercanda dengannya,” jawab Vladimer. “Kau benar. Aku iri sekali pada Oscar, ia masih dapat bermain dengan Angella sepuas hatinya. Sedangkan aku, kau tahu bukan? Aku tidak dapat bermain terus menerus dengan anak ini. Aku harus belajar, harus menemani Papa Mama ke pertemuan, dan benyak lagi keharusan yang kulakukan. Aku ingin sekali menjadi anak kecil lagi agar dapat bermain dengan Angella sepuas hatiku seperti Oscar,” keluh Frederick. “Sabar, Frederick. Sabar… Usiamu yang sekarang ini sudah tidak dapat dikatakan anak kecil lagi. Jadi keharusan itu sudah menjadi kewajibanmu,” kata Vladimer menenangkan Frederick. “Aku tahu itu. Kadang kala aku merasa sedih Angella lahir saat aku menginjak usia dewasa.” “Frederick!” pekik terkejut Vladimer, “Bibi Stefanie pasti sedih bila mendengar ucapanmu itu.” 64

“Maafkan aku. Aku hanya cemburu pada Oscar. Dulu waktu Oscar lahir, aku masih berusia lima tahun jadi aku masih dapat bermain-main dengannya.” “Dulu aku selalu merasa senang bila Frederick berada di Ruang Kanak – Kanak ini, tetapi sekarang aku lebih senang bila Frederick tidak ada di ruangan ini. Sebab bila ia ada di sini maka ia tidak memberiku kesempatan untuk bermain dengan Angella,” sahut Oscar. “Itu adil. Engkau setiap hari berada di sini sehingga dapat bermain-main dengan Angella sepanjang waktu sedangkan aku tidak setiap hari memiliki waktu luang untuk bermain-main dengannya. Kau tahu itu bukan?” balas Frederick tak mau kalah. “Ya, aku memang tahu itu. Tapi aku tetap merasa tidak sengang bila engkau berada di sini, engkau selalu mendominasi Angella. Engkau tahu, Frederick? Engkau kekanak-kanakan,” balas Oscar tak mau kalah juga. “Tidak, aku tidak kekanak-kanakan. Aku hanya sayang pada Angella. Betulkan, Angella?” elak Frederick sambil menimang-nimang adik bungsunya dan sesekali bercanda dengannya. “Itu kekanak-kanakan namanya. Bukan sayang,” kata Oscar menanggapi tindakan Frederick. “Tidak! Aku tidak kekanak-kanakan!” “Sudah … Sudah … Jangan bertengkar lagi,” sela Vladimer di tengah pertengkaran kedua bersaudara itu. Vladimer tahu Frederick dan Oscar selalu hidup rukun. Mereka jarang bertengkar. Keduanya selalu berbagi, saling mengalah, dan mengasihi. Namun jika mereka bertengkar, akan sulit mendamaikan mereka. Bahkan bisa berharihari lamanya mereka bertengkar dan saling tak berbicara. Karena itu ia lekas menghentikan pertengkaran mereka selagi mereka baru mulai bertengkar. “Seharusnya

kalian

jangan

bertengkar.

Kalian

seharusnya

senang

mempunyai saudara. Tidak sepertiku yang anak tunggal.” Frederick dan Oscar segera menghentikan pertengkaran mereka dan menatap Vladimer. “Jangan bersedih hanya karena tak mempunyai saudara. Aku akan menjadi kakakmu,” kata Frederick membesarkan hati Vladimer. “Dan aku menjadi adikmu,” tambah Oscar. “Kalian memang sudah kuanggap sebagai saudaraku.” “Lalu bagaimana dengan Angella?” tanya Frederick dan Oscar serempak. “Tentu saja bayi manis ini juga kuanggap sebagai adik perempuanku,” 65

jawab Vladimer sambil mengangkat Angella dari pangkuan Frederick. Snow Angel memandang Charlie yang duduk di lantai sambil bermain. Tak bosan-bosannya ia mengagumi mainan yang di hadapannya itu. Anak itu tampak gembira sekali. Perlahan-lahan didekatinya anak itu, “Charlie, tetaplah di sini. Jangan ke mana-mana. Saya akan pergi sebentar.” Charlie mengangguk mendengar kata-kata Snow Angel. Segera ia tenggelam lagi ke dalam keasyikannya bermain. Snow Angel meninggalkan Charlie yang masih sibuk bermain itu dan bergegas menuju kamarnya. Ia meraih pena yang semalam digunakannya untuk menulis surat kepada Nenek Charlie dan mulai menulis surat kepada Mr. dan Mrs. Boudini untuk mengabarkan keberadaan Charlie. Tak lama kemudian ia meninggalkan kamarnya dengan membawa dua pucuk surat. Di Ruang Kanak – Kanak, ia melihat Charlie masih asyik bermain. Semula ia hanya ingin mengamati Charlie yang sibuk dengan mainan-mainan di

sekelilingnya,

namun

karena

Charlie

memintanya

untuk

bermain

bersamanya maka ia turut bermain pula. Mereka begitu sibuknya bermain, bercanda hingga tak menyadari keadaan sekelilingnya. Mereka sama-sama terkejut ketika Nanny memanggil mereka berdua. “Oh … kau, Nanny. Kau membuatku terkejut. Ada apa?” “Hidangan sudah tersedia. Anda bisa makan sekarang.” “Terima kasih, Nanny,” katanya sembari mengajak Charlie ke meja tempat Nanny menyipkan makan pagi mereka, “Nanny, tolong kauminta Thompson untuk mengirimkan kedua surat ini.” “Untuk siapa saja, Tuan Puteri?” tanya Nanny ingin tahu. “Alamatnya sudah kutulis pada surat itu. Thompson pasti tahu,” jawabnya. Nanny

membaca

alamat

masing-masing

surat

dan

kemudian

memandang heran pada Snow Angel, “Untuk Mrs. Dellas… ibu Jenny?” “Berikan saja pada Thompson agar dapat segera sampai pada yang bersangkutan,” tegas Snow angel. “Baik, Tuan Puteri,” begitu Nanny pergi, Snow Angel membantu Charlie duduk di kursi di depan meja tempat Nanny meletakkan makan pagi mereka dan membantu Charlie mengambil hidangan. Snow Angel bergembira melihat nafsu makan anak itu yang cukup besar dari perkiraannya semula. Setelah makan, Charlie hendak bermain lagi tapi ditahan oleh Snow 66

Angel. Menurutnya, tidak baik bermain setelah makan. Persis seperti yang biasa Nanny ajarkan padanya sewaktu ia kecil. Charlie cemberut ketika dilarang bermain, namun ia gembira lagi ketika gadis itu berjanji akan memperbolehkan Charlie bermain lagi kapan pun juga di sini, di Ruang Kanak-Kanak ini. Dibawanya anak itu kembali ke kamarnya. Sepanjang jalan, Charlie memastikan janji Snow Angel dengan berulang kali bertanya kesungguhan janji Snow Angel padanya. Berulang kali pula gadis itu meyakinkan anak itu bahwa ia bersungguh-sungguh dengan janjinya yang tadi itu. “Charlie, engkau mau kuberi hadiah?” “Mau!” seru Charlie kegirangan, “Mana?” “Sebentar,” jawab Snow Angel sambil membuka kotak yang berisi pakaian untuk Charlie yang kemarin dibelinya dari Shawky Market. “Ini. Engkau suka?” Ditunjukannya baju itu satu per satu pada Charlie yang tampak gembira sekali. Dengan hati-hati dicobakannya baju itu satu per satu pada Charlie dan ia bersyukur baju-baju tersebut semuanya cocok pada tubuh Charlie, tidak ada yang kekecilan maupun kebesaran. “Bila aku pulang dengan memakai baju ini, Ayah dan Ibu pasti terkejut melihatku,” katanya sambil berputar-putar di depan cermin yang memantulkan bayangannya sendiri. Snow Angel tertawa melihat ulah Charlie itu, “Tentu saja, engkau tampak semakin tampan dengan baju itu. Engkau boleh memakai pakaian itu saat pulang nanti.” “Sungguh?” tanya Charlie memastikan kata-kata Snow Angel. “Sungguh. Baju itu milikmu.” “Milikku?” “Iya. Bukankah tadi aku mengatakan akan memberimu hadiah? Itulah hadiahku untukmu.” “Baju-baju ini?” tanya Charlie meyakinkan dirinya untuk kesekian kalinya. Melihat Snow Angel menganggukan kepalanya, Charlie melompat-lompat gembira

hingga

membuat

Snow

Angel

kewalahan.

Ia

berusaha

keras

mendiamkan anak itu, namun Charlie tetap saja tidak mau berhenti. Hingga pada akhirnya ia berkata, “Charlie, bila engkau tidak bisa diam, aku tidak akan mengantarmu ke Ruang Kanak-Kanak untuk bermain lagi.” Mendengar ancaman itu, Charlie seketika itu juga berhenti melompat67

lompat dan mendekati Snow Angel, “Kita akan bermain di Ruang Kanak-Kanak lagi?” “Tentu, bila engkau dapat diam. Tetapi bila engkau tidak dapat diam, maka kita tidak jadi ke Ruang Kanak-Kanak.” “Baiklah, aku akan diam. Aku janji!” kata Charlie bersungguh-sungguh. Kemudian ia duduk di lantai, menunggu Snow Angel yang memasukkan bajubaju itu kembali ke kotaknya. Baju yang dikenakan Charlie sewaktu datang ke Troglodyte Oinos dibungkus tersendiri. Kotak-kotak yang lain diambilnya dari bawah meja rias kemudian ditumpuk jadi satu dengan kotak yang tadi dibukanya dan bungkusan yang berisi baju Charlie di atas meja rias. Setelah selesai dengan segala kesibukannya, ia mengajak Charlie ke Ruang Kanak-Kanak lagi. Di sana, segala sesuatunya telah dibereskan termasuk mainan-mainan yang dikeluarkan oleh Snow Angel untuk Charlie. Ia meminta Charlie memilih mainan dan mengeluarkannya dari lemari. Snow Angel menemani Charlie bermain di ruangan itu sambil menanti Nanny. Sesekali ia bercerita tentang mainan-mainan tersebut pada Charlie. Dari seluruh mainan-mainan itu. Charlie paling menyukai orang-orangan dari kayu yang berbaju prajurit. Mainan itu diberikan oleh orang tua Snow Angel sebagai hadiah ulang tahun kakak keduanya yang ke lima. Orang-orangan dari kayu yang seluruhnya berjumlah sepuluh butir itu dulu pernah menjadi mainan kesayangan Oscar. Namun hal ini tidak dapat bertahan lama, ketika Oscar mendapat mainan baru pada hari Natal, ia melupakan orang-orangan tersebut. Charlie bermain perang-perangan dengan orang-orangan tersebut. Selain itu kereta kayu dan berbagai macam mainan yang ada digunakannya pula daalam perangnya. Snow Angel-pun tak mau berpangku tangan melihat peperangan Charlie. Berulang kali ia ikut ambil andil dalam perang itu. Charlie tidak mengeluh ketika gadis itu ikut mengambil peran dalam perangnya, ia senang ketika Snow Angel turun tangan dalam peperangannya. Sungguh tak disangka, walaupun Snow Angel seorang gadis, namun ia pandai menyusun strategi perang. Charlie yang melihat hal ini tak mau kalah, ia turut menyusun strategi-strategi perang untuk melawan musuhnya. Perang besar pun tak terelakkan. Banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak. Dor… dor … dor…! Jatuh lagi seorang korban. Keluhan sedih pihak yang kalah terdengan mengiringi tawa senang pihak yang menang. Keduanya saling memberi perlawanan sengit tanpa menghiraukan 68

sekelilingnya. Mereka sama-sama tak mau menjadi pihak yang kalah. Satu sama

lain

berusaha

menghancurkan

musuhnya.

Mereka

sangat

sibuk

memusatkan pikiran pada peperangan mereka. Benar-benar pertempuran yang seru! Mereka bermain tanpa menyadari matahari yang semakin tinggi. Ketika matahari mulai memasuki ruangan itu, mereka baru menyadari hari yang mulai siang, “Hari sudah siang. Sebaiknya aku mengantarkanmu pulan sekarang.” “Sekarang? Tapi saya tidak ingin pulang sekarang, saya ingin bermain.” Charlie mengeluh sedih. Snow Angel memahami perasaan Charlie. Ia tersenyum lembut padanya dan berkata dengan sabar untuk memberi pengertian padanya, “Aku rasa aku telah mengatakan padamu bahwa engkau boleh bermain di sini sepuas hatimu kapanpun kau mau. Engkau boleh datang lagi ke mari dengan syarat atas ijin Mr. dan Mrs. Boudini. Sekarang engkau lebih baik pulang, jangan membuat mereka semakin cemas.” “Tapi Anda sudah memberi tahu mereka kalau saya berada di sini bersama Anda,” kata Charlie mengingatkan, “Mereka pasti tidak cemas lagi. Mereka pasti mengijinkan saya bermain lebih lama lagi di sini. Percayalah!” “Hal itu mungkin juga. Tetapi aku belum tentu mengijinkanmu bermain di sini.” “Anda tidak mengijinkanku? Tapi tadi Anda bilang…,” kata Charlie panik. Snow Angel terkejut melihat reaksi Charlie. Ia tidak bermaksud membuat Charlie kecewa, ia hanya main-main saja sewaktu mengucapkan kalimat itu. Ia merasa bersalah karenanya. “Maafkan aku. Aku hanya main-main tadi. Aku sama sekali tidak bermaksud melarangmu. Engkau boleh bermain di sini kapan pun engkau mau. Tapi untuk hari ini bermainnya cukup sampai di sini saja, besok datanglah lagi. Mereka pasti sedang menunggu kedatanganmu sekarang.” “Baiklah. Aku akan pulang sekarang. Tapi besok aku akan kemari lagi,” akhirnya Charlie menyetujui gadis itu. Snow Angel merasa lega karena pada akhirnya ia bisa meyakinkan Charlie untuk pulang. Ia meminta Charlie menunggunya sebentar. Setelah itu ia segera meninggalkan ruangan itu. Ia melihat Nanny berjalan mendekat. “Tolong jaga anak itu, Nanny!” katanya ketika Nanny sudah dekat. “Anda hendak pergi ke mana?” tanya Nanny. 69

“Aku akan mengantar anak itu pulang,” jawab Snow Angel. “Tapi Thompson belum kembali, Tuan Puteri,” kata Nanny memberi tahu, “Atau begini saja, saya akan memanggil sebuah kereta kuda untuk Anda.” “Terima kasih atas sarannya, Nanny. Tapi sebenarnya hal itu tidak perlu karena aku sendiri yang akan mengantar anak itu.” “Sendirian!” pekik Nanny, “Tapi…, Tuan Puteri, berbahaya bila Anda pergi sendirian dan juga bagaimana bila kakak-kakak Anda tahu? Apa yang harus saya katakan?” “Karena

itu,

Nanny,

jangan

biarkan

mereka

mengetahui

hal

ini.

Berjanjilah kepadaku, engkau akan membuat hal ini menjadi rahasia di antara kita berdua,” kata Snow Angel setengah memaksa setengah memohon. Nanny kebingungan. Ia harus memilih membiarkan gadis itu pergi sendirian untuk mengantar anak yang tak dikenalnya itu atau tidak. Sungguh suatu pilihan yang sulit. Di satu sisi, ia ingin menuruti segala keinginan anak kesayanganya itu. Tapi di sisi lain, ia mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua. Nanny benar-benar

dibuat bingung karenanya.

Snow Angel yang

mengetahui kebingungan Nanny, terus menerus membujuk Nanny. Berkali-kali ia berusaha meyakinkan Nanny kalau ia akan baik-baik saja walau pergi sendirian. Siapa yang tahan dibujuk gadis semanis Angella? Nanny? Tentu saja Nanny tidak akan tahan mendengar bujukan gadis itu, ia begitu menyayangi gadis itu. Semula Nanny hendak menyertainya, namun Snow Angel melarangnya. Ia mengingatkan Nanny pada tugasnya mengelabuhi kakak-kakaknya bila mereka menayakan dirinya. Dengan terpaksa Nanny membatalkan niatnya. “Anda sangat memperhatikan anak itu,” komentar Nanny, “Sebenarnya, siapa dia?” “Rahasia,” kata Snow Angel sambil bergegas menuju kamarnya. Tak lama kemudian Snow Angel sudah keluar dari kamarnya dengan membawa tumpukan kotak yang diletakkannya di meja rias tadi. Diletakkannya kotak-kotak itu di depan kamarnya kemudian ia menuju Ruang Kanak-Kanak. Seperti biasanya, Nanny duduk di kursi goyang kesayangannya di depan jendela sambil mengawasi Charlie. Kursi yang disediakan khusus untuk Nanny itu diletakkan di depan jendela atas permintaan Nanny sendiri. “Anda akan mengantarnya sekarang?” tanya Nanny melihat kedatangan 70

Snow Angel. “Ya, Nanny. Aku tidak ingin membuat orang tua anak ini semakin cemas,” jawabnya. “Ayo kembalikan mainan-mainan itu pada tempatnya,” katanya pada Charlie. “Jangan, Tuan Puteri! Antarkan saja anak itu, mainan itu biar saya yang mengembalikannya,” kata Nanny, “Hari sudah siang. Jangan membiarkan orang tua anak itu menunggu lebih lama lagi. Di samping itu Anda harus buruburu, jangan sampai kakak-kakak Anda tiba sebelum Anda.” “Kau benar, Nanny. Aku memang harus buru-buru, jangan sampai mereka tiba lebih dulu. Terima kasih, Nanny.” Kemudian ia berpaling pada Charlie, “Mari kita pulang sekarang. Sebelumnya ucapkan selamat tinggal dulu pada Nanny.” Mereka berpamitan pada Nanny dan kemudian meninggalkan Nanny sendirian. Mereka berjalan meyusuri koridor dan berhenti sebentar di depan kamar Snow Angel untuk mengambil kotak-kotak yang ada di depan kamar. Charlie membantunya membawa barang-barang itu, ia membawa bungkusan yang berisi bajunya. Sisanya dibawa oleh Snow Angel. Charlie tampak senang sekali ketika mereka tiba di kandang kuda. Penjaga kuda segera memasang pelana pada seekor kuda ketika melihat Tuan Puteri mereka datang. Penjaga kuda itu menaikkan Charlie di depan pelana atas perintah Snow Angel. Mereka memperingati untuk berhati-hati sebab ini pertama kalinya Snow Angel berkuda dengan membawa seorang anak. Sebenarnya Snow Angel sendiri merasa ragu-ragu pada kemampuan berkudanya dengan membawa Charlie. Ini pertama kalinya ia berkuda dengan membawa seorang anak, namun ia tidak mau menyerah pada keraguraguannya. Ia yakin ia dapat melakukannya bila ia berhati-hati. “Kau takut?” tanyanya ketika mereka mulai meninggalkan Troglodyte Oinos. Sebagai jawaban, Charlie menggelengkan kepalanya. Berlainan sekali dengan Snow Angel. Sewaktu ia diajak naik kuda untuk pertama kalinya, ia menangis ketakutan sampai kedua kakaknya kewalahan membujuknya agar berhenti menangis. Saat itu usianya lebih muda daripada Charlie. “Jangan takut! Aku ada di sini, nanti aku akan memegangimu agar kamu tidak jatuh,” bujuk Frederick. Angella menolak tangan Frederick yang terulur padanya dan mempererat pegangannya pada gendongan Oscar sambil terus menangis. Oscar membelai71

belai rambut adiknya, “Jangan menangis! Jangan takut, Oscar juga akan menjagamu. Frederick pandai berkuda, kamu pasti tidak akan jatuh.” “Kalau Tuan Puteri tidak mau, jangan dipaksakan,” tegur Nanny yang mengawasi mereka sejak tadi. “Tidak apa-apa, Nanny. Kalau ia tidak dibiasakan sejak sekarang, nanti ia akan takut kuda untuk selama-lamanya,” bantah Frederick. “Ya, itu betul, Nanny. Seorang putri bangsawan harus bisa berkuda,” tambah Oscar mantap. “Kalau begitu terserah kalian tapi jangan sampai Tuan Puteri jatuh,” kata Nanny. “Jangan khawatir, Nanny. Kami juga tidak ingin Angella jatuh,” kata mereka serempak. “Ayo, Angella duduk di depanku. Aku akan mengajakmu jalan-jalan mengelilingi rumah ini,” bujuk Frederick sambil menarik tubuh Angella dari gendongan Oscar. “Tidak apa-apa, Angella. Kamu tidak akan jatuh. Aku akan ikut jalan-jalan juga. Jangan takut, ya?” Oscar ikut membujuk Angella sambil melepaskan tangan adiknya yang melingkari lehernya, “Kasihan Frederick yang sudah dari tadi duduk di atas kuda.” Tiba-tiba Frederick dan Oscar berseru serempak melihat Vladimer datang mendekat, “Jangan membela Angella lagi!” Vladimer terkejut mendengar teriakan mereka itu. Ia segera mengerti masalahnya ketika melihat Angella menangis di gendongan Oscar sedangkan kedua kakaknya sibuk melepaskan gendongannya sambil terus membujuk Angella. Yang satu melepaskan tangan Angella, yang satunya lagi menarik tubuh Angella dari atas kuda. “Jangan khawatir! Untuk kali ini aku setuju dengan kalian. Angella tidak boleh takut pada kuda, ia harus belajar berkuda. Kelak bila ia sudah bisa, kita tidak lagi bertiga bila berjalan-jalan, melainkan berempat. Pasti akan sangat menyenangkan!” kata Vladimer menyetujui tindakan mereka. Angella yang berharap Vladimer membelanya lagi, menangis semakin keras ketika mendengar Vladimer menyatakan persetujuannya atas tindakan kakak-kakaknya. Angella merasa sedih. Vladimer yang selalu membelanya, kini tidak mau membelanya. Akhirnya Angella berhasil didudukkan di depan Frederick dengan sedikit paksaan dan bujukan. Angella menangis ketakutan walau badannya sudah 72

dipegangi Frederick. Ia meminta tolong pada Nanny, namun karena Nanny sudh berjanji akan membiarkan mereka, maka ia diam saja. Angella menangis terus sambil memeluk erat-erat tangan kanan Frederick yang melingkari badannya. Berkat kesabaran kedua kakaknya dan Vladimer, ketakutan Angella pada kuda hilang. Ia mulai meyukai kuda. Berkat mereka pula ia dapat berkuda. Sejak saat itulah ia sering diajak bepergian oleh mereka. Snow Angel dan Charlemagne akhirnya tiba di lapangan rumput tempat tenda ‘Boudini’s Theatre’ berdiri. Charlie berteriak-teriak memanggil kedua orang tua baptisnya dari atas kuda ketika mereka semakin mendekat. Dari sebuh kereta yang bertuliskan ‘Boudini’s Theatre’ muncul dua orang yang sudah cukup umur. Merekalah Mr. dan Mrs. Boudini. Mrs. Boudini bertubuh gemuk, rambutnya

yang mulai memutih itu disanggul rapi, wajahnya

senantiasa menunjukkan keramahan. Mr. Boudini bertubuh tegap, wajahnya tampak

menyeramkan

dengan

jenggot

yang

dipeliharanya

itu.

Namun

sebenarnya ia tidak segalak yang terlihat, ia penuh keramahan seperti istrinya. Snow Angel turun dari kuda dan mengambil alih kotak-kotak yang dipegang Charlie di depannya. Setelah meletakkannya di tanah, ia membantu Charlie

turun

dari

kuda.

Mr.

Boudini

mengambil

alih

kudanya

dan

mengikatkannya paa sebuah tiang. “Ibu! Ibu!” teriak Charlie sambil berlari mendekati Mrs. Boudini. Mrs.

Boudini

memeluk

Charlie.

“Ke

mana

saja

engkau?

Ibu

mencemaskanmu ketika mengetahui engkau pergi tanpa pamit,” katanya lega. “Maafkan aku, Ibu. Tadi aku pergi ke rumah Tuan Puteri. Aku berjanji tidak akan pergi tanpa pamit lagi,” kata Charlie menyesal. “Lihat, Bu! Tuan Puteri memberiku pakaian ini.” Mrs. Boudini tengah mengamati baju baru Charlemagne yang diberi Snow Angel ketika Mr. Boudini tiba-tiba berbicara, “Charlie, pergilah bermain!” “Baik,” Charlie berlari mendekati sekelompok anak yang bermain di lapangan itu. Setelah kepergian Charlie, Mrs. Boudini mengajak Snow Angel masuk ke sebuah tenda yang cukup besar. Snow Angel memberikan kotak-kotak yang dibawanya kepada Mrs. Boudini. “Kami telah menerima surat Anda. Thompson yang mengantarkannya,” kata Mr. Boudini. “Anda tentunya telah mengetahui tujuan saya datang kemari,” kata Snow 73

Angel langsung menuju pokok permasalahan. “Maafkan kami, Tuan Puteri. Kami tidak sanggup mengatakan padanya bahwa kami bukan orang tua kandungnya,” kata Mrs. Boudini. “Anda berdua tidak perlu meminta maaf. Saya rasa sayalah yang terlalu egois. Saya meminta bantuan Anda untuk merawatnya tanpa memikirkan perasaan Anda berdua.” “Anda tidak perlu cemas, Tuan Puteri. Kami menyayanginya seperti menyayangi anak kandung kami. Kami merasa senang dapat merawat anak sebaik Charlie,” kata Mr. Boudini. “Di situlah letak permasalahannya. Seharusnya saya tahu Anda tidak sanggup mengatakan yang sebenarnya padanya karena Anda menyayanginya. Tapi saya masih terlalu muda saat itu sehingga saya tidak mampu berpikir lebih jauh. Maafkan saya karena waktu itu saya terlalu egois, memaksa anda berdua mengatakan yang sebenarnya pada anak itu.” “Sekarang

saya

ingin

secara

perlahan-lahan

mengatakan

segala

kebenaran yang menyangkut dirinya pada Charlie. Anda berdua tidak berkeberatan, bukan? Dalam waktu dekat ini saya akan mengajaknya menemui neneknya.” “Kami tidak keberatan sama sekali, Tuan Puteri. Cepat atau lambat Charlie pasti tahu segala sesuatunya. Kami menyadari hal itu. Kami tidak dapat terus membohongi anak itu seumur hidup,” kata Mr. Boudini. “Terima kasih atas pengertian Anda berdua.” ------0----Sementara itu di suatu desa kecil, beberapa mil dari Troglodyte Oinos, seorang wanita tua yang sedang duduk termenung di depan rumahnya, dikejutkan suara orang yang memanggilnya. “Mengapa Anda termenung di sini, Mrs. Dellas?” “Tidak ada apa-apa. Mengapa kau ada di sini, Thompson?” “Tuan Puteri meminta saya mengantar surat ini pada Anda,” kata Thompson. Mrs. Dellas mengambil surat itu dari Thompson, “Mengapa Tuan Puteri mengirim surat? Apakah ada kabar mengenai cucuku?” “Mengapa Anda tidak membaca surat itu agar Anda tahu tujuan Tuan Puteri mengirim surat,” usul Thompson. 74

Mrs. Dellas membuka surat itu dan mulai membacanya. Tangannya tampak gemetar membayangkan isi surat itu. Tiap-tiap kata membuat hatinya semakin berdebar

karena senang. Isi

surat itu pendek namun

dapat

membuatnya melupakan semua kesedihannya. Mrs. Dellas, saya mempunyai kabar gembira bagi Anda sekeluarga. Cucu Anda, Charlemagne ada di kota ini. Dalam waktu dekat, saya akan membawanya mengunjungi Anda sekeluarga. “Cucuku ada di sana, Thompson. Dan Tuan Puteri akan membawanya kemari dalam waktu dekat,” Mrs. Dellas menerangkan isi surat tersebut pada Thompson dengan gembira, “Aku akan memberi tahu Jenny.” “Saya permisi dulu, saya harus segera kembali,” kata Thompson. “Masuklah dulu untuk beristirahat. Anda baru menempuh perjalanan jauh.” “Terima kasih, tetapi saya harus buru-buru. Tuan Puteri mungkin memerlukan saya.” “Kalau begitu halnya, silakan.” Mrs. Dellas masuk ke dalam rumahnya setelah kepergian Thompson. Ia duduk mendekati putrinya yang duduk di atas tempat tidur. Pandangan matanya tampak kosong. “Anakmu ada di sana, Jenny. Tuan Puteri akan membawanya berkunjung kemari,” katanya mencoba memberi tahunya. Wanita muda itu diam saja. Hati Mrs. Dellas terasa pilu melihat putrinya itu. “Mengapa engkau diam saja, anakku? Bergembiralah karena engkau akan bertemu anakmu.” Wanita itu memalingkan wajahnya kepada ibunya dan mulai bertingkah seperti anak kecil. “Semoga Charlemagne dapat membuatmu pulih,” harap sang Ibu melihat tingkah putrinya.

75

9

Snow Angel berdiri di serambi kamarnya memandang langit yang semakin memerah di kaki gunung. Ia merasa senang telah menyelesaikan segalanya tanpa sepengetahuan orang lain. Ia telah bertemu keluarga Boudini dan Charlemagne serta memberi tahu Mrs. Dellas. Kini tibalah ia pada masalah yang paling sulit. Bagaimana mempertemukan Jenny dengan Carlemagne? Tiba-tiba ia mendapat perasaan buruk ketika ia sedang memikirkan cara untuk mempertemukan mereka. Ia segera memalingkan kepalanya ke arah lapangan rumput tempat tenda Boudini’s Theatre berdiri. Dilihatnya asap hitam mengepul, membumbung ke atas. “Charlemagne!” pikirnya panik. Ia membalikkan badan dan berlari panik. Dibukanya pintu kamarnya dengan tergesa-gesa dan hampir menabrak Nanny yang akan membuka pintu kamarnya. Ia terus berlari tanpa menghiraukan Nanny yang

kebingungan

melihatnya. Demikian pula ketika ia bertemu kakak-kakaknya dan Vladimer di luar rumah. Ia terus berlari menuju kandang kuda. Mereka berjalan menuju rumah dengan bercakap-cakap ketika Snow Angel muncul dengan tergesa-gesa. Ketiganya terkejut karenanya. “Apa yang terjadi? Mengapa engkau terburu-buru?” tanya Frederick. Namun gadis itu terus berlari menuju ke belakang rumah. Snow Angel beruntung, pelana kuda yang dipakai mereka bertiga belum dilepas. Segera ia meraih seekor kuda yang masih berpelana itu dan melompat ke punggung kuda itu. Thompson dan para penjaga kuda itu terkejut melihatnya datang dengan tiba-tiba dan kemudian pergi dengan tergesa-gesa. Ketiga pria yang masih bingung melihat tingkah Snow Angel sangat terkejut ketika gadis itu tiba-tiba muncul. Snow Angel memacu kudanya dengan cepat menuju kota. “Engkau akan pergi ke mana?” tanya Frederick dengan suara keras. Namun adiknya terus memacu kudanya. Ketiganya berpandang-pandangan bingung melihatnya. “Aku akan mengikutinya,” kata Vladimer ketika sosok Snow Angel menghilang di tikungan menuju kota dan berlari ke kandang kuda. Sesaat 76

kemudian ia muncul dan tanpa menghiraukan kakak beradik yang masih kebingungan itu, ia pergi menyusul Snow Angel. “Mengapa kita diam saja? Mari kita menyusul mereka,” kata Frederick sesaat setelah Vladimer meninggalkan Troglodyte Oinos. Api dengan ganasnya melahap tenda-tenda Boudini’s Theatre. Banyak orang yang menyaksikan kebakaran itu. Sebagian dari mereka mencoba memadamkan api itu. Sebagian mencoba menyelamatkan barang yang belum terbakar habis. Snow

Angel

memacu

kudanya

mendekati

seorang

anak

yang

memandang kobaran api di depannya. Ia melihat Charlie menangis. “Ayah… Ibu…,” katanya. “Di mana Mr. dan Mrs. Boudini?” tanyanya. “Mereka … mereka … ada di … sana,” jawab Charlie menunjuk kobaran api itu. Snow Angel memandang kobaran api di depannya. Samar-samar ia melihat sosok seseorang yang mencoba menyelamatkan diri dari kobaran api. Snow Angel segera menaikkan Charlie ke atas kuda dan memukul kuda itu menjauhi kobaran api. Ia memanggil-manggil Mr. dan Mrs. Boudini dengan panik. Namun tak ada jawaban. Ia terus memanggil mereka. Hingga samar-samar terdengar teriakan. “Tolong selamatkan Charlie, Tuan Puteri!” Ia terus memanggil kedua orang itu hingga tenda itu roboh dan terdengar jeritan dari dalam kobaran api itu. Ia termangu di depan kobaran api itu. Ia terus menatap kobaran api yang terus mengganas itu. Entah berapa lama ia diam memandangi api yang menjalar semakin dekat. Lidah-lidah api itu berada dekat sekali dengannya. Tiba-tiba ada sepasang tangan kekar yang meraih pinggangnya dan mengangkatnya ke atas kuda. Ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika orang itu membawanya menjauhi kobaran api yang semakin mengganas itu. Matanya terus memandang lidah-lidah api yang menari-nari itu. “Apa yang kaulakukan!? Apakah kau tidak menyadari api itu bisa melahapmu juga,” kata pria itu dengan marah karena cemas. Snow Angel tersadar dari keterkejutannya karena bentakan pria itu. “Charlie? Di mana dia?” tanyanya panik. “Ia selamat.” Pria itu membawanya mendekati seorang anak yang duduk ketakutan di 77

atas kuda, memandangi kobaran api yang melahap semua yang ada di dekatnya. Anak itu menangis ketika melihatnya mendekat. Snow Angel mengulurkan tangannya pada Charlie dengan gemetar. Ia memeluk Charlie dan berkata, “Jangan sedih! Ibumu masih hidup.” Suaranya terdengar makin lemah dan akhirnya hilang sama sekali. Charlie

memanggil-manggilnya

sambil

menggoyang-goyangkan

tubuhnya. Namun gadis itu tetap saja tak bergerak. Pria itu melepaskan pelukan Snow Angel dengan hati-hati. “Jangan khawatir! Ia hanya pingsan,” katanya pada anak itu. Kemudian ia memeluk gadis itu dengan satu tangannya, sedangkan tangan yang lainnya memegang tali kendali kudanya. Dari kejauhan muncul Frederick dan Oscar yang datang tergesa-gesa. Mereka memacu kudanya semakin cepat ketika melihat Vladimer duduk di atas kuda sambil memeluk adik mereka. “Apa yang terjadi? Angella kenapa? Siapa anak itu?” tanya mereka panik melihat kepala Snow Angel terkulai lemah di bahu Vladimer. “Tenang dulu. Aku akan menjelaskannya satu per satu. Pertama, aku tidak tahu apa yang terjadi. Ketika aku tiba di sini kulihat Angela berdiri di dekat kobaran api. Aku segera membawanya menjauhi api dan tiba-tiba ia pingsan. Pertanyaan kedua telah kujawab, sekarang yang terakhir. Aku tidak tahu siapa anak ini. Tapi yang pasti Angella terburu-buru ke sana untuk menolong anak ini,” jelas Vladimer. Kakak beradik itu memandang Charlie dan memikirkan tujuan Angella menolongnya. Mereka merasa pernah melihat anak itu sebelumnya, tetapi mereka tidak ingat kapan dan di mana. “Aku tidak tahu apa tujuan Angella menolong anak ini. Tapi kurasa sebaiknya ia kita bawa ke rumah,” kata Frederick. “Mengapa kalian lama sekali?” tanya Vladimer. “Kami harus menunggu kuda-kuda ini dipasangi pelana sebelum kami bisa menaikinya,” jelas Oscar. “Sekarang kita tidak punya banyak waktu untuk bercakap-cakap. Vladimer, kenakan mantel ini pada Angella dan bawalah ia pulang ke rumah. Oscar, kau pergilah memanggil dokter dan aku akan mencari tahu apa yang terjadi di sini,” perintah Frederick. “Nanny yang menyuruh kami membawanya. Katanya udara di luar sangat dingin, kami disuruh membawakannya untuk Angella agar ia tidak 78

sakit,” jelas Oscar ketika melihat Vladimer yang kebingungan. “Anak ini bagaimana?” tanya Vladimer setelah menyampirkan mantel itu di pundak Angella. “Untuk sementara anak ini ada di sini bersamaku. Nanti bila urusanku di sini sudah selesai, aku akan membawanya pulang,” kata Frederick. “Sekarang lekas pergi!” Mereka bertiga berpencar. Frederick tetap berada di sana untuk mencari tahu apa yang terjadi. Vladimer membawa Angella pulang dan Oscar pergi memanggil dokter. Sepanjang jalan Vladimer memeluk erat-erat tubuh Angella. Tangan kanannya memeluk erat-erat pinggang gadis yang menyandar lemah pada tubuhnya itu dan yang lainnya memegang tali kendali kuda. Ia mencemaskan keadaan gadis itu tetapi ia tidak dapat mempercepat lari kudanya. Ia menyesalkan Troglodyte Oinos yang terletak di tengah hutan sehingga semakin membuatnya semakin lama mencapai rumah itu untuk segera membaringkan Angella yang pingsan. Seisi rumah terkejut ketika Vladimer datang dengan membawa Angella yang pingsan. Countess tampak sangat cemas melihat Angella tak sadarkan diri, demikian pula Nanny. “Cepat bawa Angella ke kamar,” kata Countess panik. “Dokter? Apakah sudah memanggil dokter?” tanya Nanny tak kalah paniknya. “Sudah,

Nanny. Oscar

sekarang

pergi

memanggil

dokter,”

jawab

Vladimer. “Lekas bawa Angella ke kamarnya,” kata Countess lagi. Nanny berjalan mendahului Vladimer. Berulang kali ia memperingatkan Vladimer agar berhati-hati ketika mereka menaiki tangga. Vladimer berjalan perlahan-lahan agar dapat membuat Nanny sedikit lega. Nanny membuka pintu kamar Angella lebar-lebar dan menyiapkan tempat tidurnya. Vladimer meletakkan Angella dengan hati-hati di atas tempat tidurnya. Nanny menyelimuti tubuh Angella dan meraba keningnya. “Tidak panas,” kata Nanny, “Apa yang terjadi pada Tuan Puteri?” “Aku tidak tahu, Nanny. Kita tunggu saja Frederick yang sekarang sedang mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi,” jawab Vladimer. Nanny duduk di samping Angella yang terbaring lemah di tempat tidurnya. Dari wajahnya tampak ia sangat mencemaskan keadaan Angella. Ia 79

tampak sangat gelisah sekali menanti Oscar yang sedang memanggil dokter. “Jangan cemas, Nanny. Oscar pasti segera datang,” Vladimer mencoba mengurangi kecemasan Nanny. Kata-kata Vladimer terbukti. Sesaat kemudian, terdengar derap kaki kuda. Nanny bangkit dari duduknya dan segera menuju serambi kamar Angella untuk melihat siapa yang datang. Nanny tampak sangat lega sekali melihat Oscar datang bersama seorang dokter. Oscar dengan terburu-buru mengajak dokter itu segera memasuki rumah. Sementara itu para pelayan yang menanti kedatangan Tuan Muda mereka tampak lega melihat kedatangan Oscar bersama seorang dokter. Countess yang menanti kedatangan Oscar tampak lega melihat putranya datang bersama Dokter Leo yang menjadi dokter keluarga mereka. Countess dengan segera mengantarnya ke kamar Angella. Vladimer dan Oscar menanti dengan cemas di luar kamar. Sementara Dokter Leo memeriksa Angella. Nanny dan Countess berada di dalam kamar untuk membantu dokter itu apabila memerlukan sesuatu. “Bagaimana keadaannya?” tanya Countess ketika dokter itu selesai memeriksa Angella. “Saya masih belum dapat menjelaskannya sebelum mengetahui sebab Angella pingsan,” jawab dokter yang rambutnya sudah memutih semuanya itu. “Saya tidak tahu sebab Angella pingsan, tetapi mungkin anak saya mengetahuinya,” kata Countess. Oscar mengajukan pertanyaan yang sama seperti Countess ketika ia melihat Dokter Leo keluar kamar bersama ibunya. Dokter Leo kembali memberi jawaban yang sama seperti yang diberikannya kepada Countess. Namun sayang penjelasan yang diberikan Vladimer dan Oscar kurang lengkap

sebab

mereka

kurang

mengetahui

kejadian

yang

sebenarnya.

Untunglah, Frederick segera datang tak lama setelah kedatangan Oscar. Frederick menceritakan semua hasil penyelidikannya kepada mereka semua di Ruang Perpustakaan. Ia mengatakan api mulai membakar tenda Boudini’s Theatre sejak sore tadi. Asal api itu masih belum diketahui, namun polisi menduga api itu berasal dari sebuah tenda yang khusus didirikan bagi para pekerja. Masyarakat sekarang masih berusaha memadamkan api itu. Ia juga mengatakan api telah membakar habis Boudini’s Theatre. Pemilik Boudini’s Theatre, Mr. dan Mrs. Boudini ikut terbakar di dalam kebakaran itu. Ia juga menambahkan bahwa ia membawa Charlemagne, anak Mr. dan Mrs. 80

Boudini pulang bersamanya sebab Angella tadi terburu-buru ke sana ketika melihat asap hitam membumbung ke atas untuk menolong anak itu. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan Countess yang ingin mengetahui alasan Angella menolong anak itu sebab ia sendiri juga tidak tahu pasti. Namun berdasarkan

apa

yang

berhasil

didapatnya

dari

Charlie,

ia

mendapat

kesimpulan adiknya menolongnya karena merasa cemas. “Rupanya Angella memang sangat menyukai anak-anak sehingga ia menjadi sangat cemas ketika melihat kebakaran itu terjadi,” komentar Countess mendengar jawaban Frederick. “Nanny, sebaiknya engkau segera membawa anak itu beristirahat di Ruang Kanak-Kanak. Ia kelihatannya lelah sekali dan tentunya ia masih sangat terpukul mengetahui apa yang terjadi pada orang tuanya.” “Baik, Yang Mulia. Mari, kita pergi Charlie.” Nanny segera membawa Charlie keluar meninggalkan Ruang Perpustakaan. Frederick melanjutkan lagi ceritanya. “Anak itu tidak hanya mengatakan bahwa ia baru bertemu dengan Angella pagi ini. Tetapi ia juga mengatakan sesuatu yang membuatku sangat terkejut.” “Apa itu,” tanya Oscar ingin tahu. “Ia mengatakan ketika Angella datang, ia berdiri di depan kobaran api yang membakar tenda, menanti Mr. dan Mrs. Boudini keluar dari tempat yang terbakar

itu.

Angella

kemudian

menaikkannya

ke

atas

kuda

dan

menjauhkannya dari api. Sementara itu Angella berdiri di depan kobaran api itu memanggil-manggil mereka berdua.” Frederick menghela nafasnya kemudian sambil mengangkat bahunya ia berkata, “Dan menurut dugaanku …” “Angella melihat sendiri bagaimana Mr. dan Mrs. Boudini itu tewas terbakar api,” sahut Vladimer. “Ya, itulah dugaanku.” “Sekarang aku mengerti mengapa Angella diam saja seperti patung ketika aku membawanya menjauhi api,” kata Vladimer lagi. “Oh… Kasihan Angella, ia pasti sangat shock sekali,” kata Countess terkejut mendengar cerita Frederick. “Berdasarkan cerita kalian, saya menyimpulkan Angella terlalu shock dan terlalu banyak menghirup asap sehingga ia pingsan. Saya sarankan sebaiknya ia beristirahat untuk beberapa hari untuk menghindari hal-hal yang buruk yang dapat menimpa paru-parunya, seperti radang paru-paru,” kata Dokter Leo usai mendengar cerita Frederick. “Udara segar di sekitar hutan yang mengelilingi 81

rumah ini akan sangat membantu penyembuhannya.” “Apakah itu berarti kami harus sering membawanya ke hutan untuk menghirup udara segar?” tanya Oscar. “Jangan konyol, Oscar! Tentu saja bukan itu yang dimaksudkan Dokter Leo. Maksud Dokter Leo, lebih baik Angella sering menghirup udara segar untuk

mempercepat

penyembuhannya

tetapi

tetap

tidak

meninggalkan

kamarnya,” kata Frederick memarahi kekonyolan Oscar. “Entah apa yang akan terjadi nanti bila engkau sering membawanya berkeliling hutan sementara badannya masih lemah.” “Ya, itulah yang hendak saya katakan,” kata Dokter Leo. Dokter itu mengeluarkan sesuatu dari tas yang berisi perlengkapan dokternya dan mulai menulis. “Ini obat yang harus diminum Angella.” Setelah memberikan obat itu kepada mereka, Dokter Leo berpamitan kepada mereka. “Tunggulah sebentar, Dokter. Saya akan menyuruh Thompson mengantar Anda pulang,” kata Countess. Dokter Leo menggelengkan kepala menolak usul Countess. “Tidak apa-apa, Dokter. Kami telah merepotkan Anda, sudah selayaknya kami mengantar Anda pulang. Kereta yang Anda tumpangi tadi sudah pergi, lagipula Thompson juga akan pergi membelikan obat untuk Angella,” kata Frederick mendesak. Akhirnya dokter tua itu mengalah. Frederick, Oscar serta Vladimer mengantar dokter itu menuju kereta yang telah menantinya. Frederick memberikan resep obat itu kepada Thompson dan memberikan perintah kepadanya untuk mengantar Dokter Leo. Sebelum naik ke kereta, Dokter Leo berkata, “Saya memberikan obat penenang kepada Tuan Puteri sebab saya khawatir ia masih dihantui kejadian yang membuatnya shock itu.” Setelah kereta menghilang di dalam kepekatan malam, Frederick, Oscar serta Vladimer masuk ke dalam rumah. Mereka berjalan menuju kamar Angella. Di sana, Countess duduk dengan sedih di tepi tempat tidur putrinya. “Mama, jangan cemas. Pergilah beristirahat biar kami yang menjaga Angella. Mama kelihatan sangat lelah,” kata Frederick. Countess menggelengkan kepala menolak usulan Frederick, ia bersikeras menjaga Angella hingga gadis itu sadar. “Mama, bila Mama ikut sakit pula. Kami akan menjadi sangat cemas, 82

kami tak ingin Mama sakit. Saat ini kami sudah cukup mencemaskan Angella, janganlah Mama menambah kecemasan kami,” bujuk Frederick. “Biarlah kami yang menjaga Angella sementara Mama beristirahat. Percayalah kami akan menjaga Angella dengan baik.” Oscar mengantarkan ibunya kembali ke kamarnya setelah ibunya menyatakan persetujuannya. Sebelum kembali ke kamar Angella, ia pergi ke Ruang Kanak-Kanak dulu. Dilihatnya Nanny sedang berusaha membujuk anak itu agar lekas tidur. “Tidurlah yang nyenyak agar engkau besok menjadi segar kembali,” bujuk Nanny. Charlie menggelengkan kepala dan berkata dengan keras kepala, “Aku ingin bertemu dengan Tuan Puteri dulu.” “Tuan Puteri baik-baik saja, sekarang ia sedang beristirahat,” kata Nanny berbohong. “Engkau juga harus beristirahat.” Anak itu menggelengkan kepalanya lagi. Ia berlari mendekati Oscar ketika melihat pria itu datang. “Bagaimana keadaan Tuan Puteri?” tanyanya kepada Oscar. “Ia baik-baik saja. Engkau harus menuruti kata-kata Nanny,” kata Oscar kepada anak itu. “Tidak! Saya tidak bisa tidur, saya ingin bertemu Tuan Puteri.” “Angella sekarang sedang tidur. Ia akan sedih sekali bila melihat engkau keras kepala seperti ini. Ia tadi terburu-buru datang ke lapangan rumput yang terbakar itu karena mencemaskanmu. Sekarang engkau turutilah kata-kata Nanny, jangan membuatnya semakin cemas. Kata dokter ia memerlukan istirahat. Besok engkau boleh menjenguknya,” kata Oscar. “Apakah itu benar?” tanya Charlie. “Ya.” “Baiklah saya akan menuruti Nanny. Anda berjanji akan mengijinkan saya menemui Tuan Puteri lagi?” “Ya, saya berjanji. Engkau juga harus berjanji kepada saya akan selalu menuruti Nanny,” kata Oscar. “Saya janji selama Anda tidak ingkar janji,” kata Charlie. “Saya tidak akan mengingkari janji saya,” kata Oscar menyakinkan Charlie. Anak itu menurut ketika Nanny menggantikan bajunya dengan baju tidur yang tak jelas milik siapa, milik Frederick atau Oscar semasa kecilnya. Sesaat 83

kemudian anak itu sudah tertidur dengan nyenyak. “Bagaimana keadaan Tuan Puteri?” tanya Nanny lirih. “Kata dokter ia baru mengalami suatu kejutan dan ia memerlukan istirahat yang cukup dan udara segar,” jawab Oscar. “Saya akan menjaga Tuan Puteri,” kata Nanny. “Tidak perlu, Nanny. Sekarang Nanny mempunyai seorang anak yang harus Nanny perhatikan dan jaga baik-baik,” kata Oscar sambil memandang Charlie yang tertidur nyenyak. “Tetapi merawat Tuan Puteri adalah tugas saya,” bantah Nanny. “Sekarang tidak lagi, Nanny. Tugas itu kami yang mengambil alih. Sekarang tugas Nanny adalah merawat anak itu.” Oscar menepuk pundak Nanny. “Angella sekarang benar-benar memerlukan pengawasan yang ketat agar hal ini tidak terjadi lagi. Percayakanlah anak kesayangan Nanny itu pada kami. Kami janji akan menjaganya dengan baik” Nanny menengadahkan kepalanya untuk melihat wajah Oscar. Anak yang dulu paling nakal itu kini telah banyak berubah. Ia menjadi semakin dewasa setiap harinya. Ia mulai mengerti tanggung jawabnya. Ia telah berubah dari anak yang nakal menjadi seorang pria yang mengerti apa yang dilakukannya. Nanny menyayangi mereka bertiga. Frederick yang penuh tanggung jawab. Oscar yang periang dan adik mereka, Angella, gadis manis yang menjadi kebanggaannya. Ia menyayangi mereka semua. “Baiklah. Saya mempercayakan Tuan Puteri kepada kalian,” kata Nanny. “Tapi hati-hati bila kalian tidak menjaganya dengan baik seperti yang kalian janjikan.” Oscar

ingin

tertawa

mendengar

ancaman

Nanny

yang

seolah

menyerahkan Angella dengan terpaksa kepada sekelompok penjahat. Ia menahannya kuat-kuat hingga perutnya terasa sakit karenanya. “Jangan khawatir, Nanny sayang,” ia mencium pipi wanita tua itu. Ia segera meninggalkan Ruang Kanak-Kanak sebelum ia tidak dapat menahan lagi keinginannya untuk tertawa. Ia mengingatkan dirinya untuk tidak tertawa karena dapat membangunkan orang-orang yang sedang beristirahat malam itu. Kemudian dengan menegakkan punggung ia menuju kamar adiknya. “Mengapa engkau lama sekali?” tanya Frederick saat melihat Oscar menutup pintu kamar Angella. “Aku

pergi

ke

Ruang

Kanak-Kanak 84

dulu

sebelum

kemari

untuk

memberitahukan Nanny keadaan Angella. Semula kukira aku tidak akan lama berada di sana, tetapi ternyata aku salah. Aku masih harus menghadapi seorang anak keras kepala yang tidak mau tidur,” kata Oscar. Kemudian ia menceritakan kejadian yang dialaminya selama berada di Ruang Kanak-Kanak. Sekali lagi ia berusaha menahan tawanya ketika mengulangi ancaman Nanny. “Ada apa, Fred? Apakah aku salah mengatakan kepada Nanny bahwa sekarang kitalah yang akan mengawasi Angella?” tanya Oscar ketika melihat wajah kakaknya yang aneh. “Tidak, engkau benar. Aku hanya terkejut mendengar apa yang kaukatakan kepada Nanny itu sama persis dengan apa yang sedang kupikirkan. Semula aku ingin membicarakan masalah ini dulu di antara kita bertiga sebelum memberitahu Nanny. Tetapi karena engkau telah memberitahu Nanny dulu, maka kurasa hal itu tidak perlu,” kata Frederick. “Aku kira itu ide yang bagus. Aku mulai merasa ada yang ganjil dalam hubungan Angella dengan anak itu. Ada baiknya kita sendiri yang mengawasi Angella,” kata Vladimer. “Apa maksudmu dengan ada yang ganjil dalam hal hubungan Angella dengan anak itu?” tanya Oscar tak mengerti. “Tadi pagi aku melihat Angella bersama anak itu berbincang-bincang di kolam depan rumah. Waktu itu aku sedang berjalan-jalan setelah sekian tahun aku tidak kemari. Aku sedang berjalan masuk ke arah hutan ketika aku tiba-tiba mendengar suara teriakan dan aku mendekati arah asal suara itu,” cerita Vladimer. “Dan aku melihat mereka sedang berbincang-bincang di kolam itu. Aku juga melihat Angella membawa anak itu masuk ke dalam rumah.” “Di mana letak keganjilannya?” tanya Oscar. “Mereka berbincang-bincang seperti sahabat akrab yang sudah saling kenal. Dan juga cara Angella menatap anak itu. Aku merasa caranya menatap anak itu tidak seperti seseorang yang baru saja bertemu tetapi seperti seseorang yang baru bertemu kembali setelah sekian lama.” “Maksudmu mereka sebelumnya sudah saling mengenal?” kata Oscar. “Tidak

aku

tidak

mengatakan

mereka

sudah

saling

mengenal

sebelumnya. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku menduga mereka saling mengenal sebelumnya” “Tetapi

bagaimana

mungkin.

Terakhir

kalinya

Boudini’s

Theatre

mengadakan pertunjukkan di sini adalah sekitar empat atau lima tahun yang 85

lalu. Dan aku menduga umur anak itu belum genap empat tahun. Itu yang pertama. Kedua, mereka baru tiba kemarin sore dan kita sendiri telah mengetahuinya sewaktu kita pergi berkuda.” “Dugaanmu sama sepertiku, Vladimer.” Kata Frederick. “Engkau juga, Fred? Sebenarnya, apa yang telah kalian ketahui tentang anak itu? Aku tidak mengerti sama sekali apa yang membuat kalian mempunyai dugaan bahwa mereka telah bertemu sebelumnya.” “Kami tidak mengetahui apa-apa mengenai anak itu,” kata mereka serempak. “Apa yang membuatmu menduga demikian, Fred?” tanya Vladimer. “Hal yang berhasil kudapat dari anak itu,” jawab Frederick. “Apakah ia mengatakan kepadamu bahwa ia telah mengenal Angella sebelumnya atau ia mengatakan ia sudah dapat berbicara sejak bayi?” tanya Oscar marah karena ia tidak dapat mengerti jalan pikiran Frederick dan Vladimer. “Tidak, ia tidak mengatakan banyak hal kepadaku. Sulit membuat anak itu mau menceritakan segalanya. Untuk mendapatkan keterangan dari anak itu benar-benar membutuhkan banyak waktu,” kata Frederick. “Tadi aku hampir putus asa mendapatkan sedikit keterangan dari anak itu ketika tiba-tiba aku mendapatkan gagasan untuk menggunakan nama Angella agar ia mau bercerita kepadaku. Dan usahaku itu berhasil. ‘Engkau harus mau menceritakan apa yang terjadi padaku bila engkau ingin menolong Angella,’ kataku padanya.” “Mendengar itu, anak itu tidak henti-hentinya bertanya, ‘Apakah benar bila aku mau menceritakan segala yang kuketahui, Tuan Puteri akan tertolong?’ Aku sampai merasa bosan meyakinkan anak itu bahwa segala yang kukatakan itu benar.” “Anak itu rupanya tidak mudah mempercayai orang lain,” komentar Vladimer setelah mendengar cerita panjang Frederick. “Apakah kehidupan di teater dapat membuat seorang anak menjadi sukar mempercayai orang lain?” tanya Oscar. “Kukira tidak, kebanyakan orang yang hidup dalam llingkungan teater menjadi mudah mempercayai orang lain karena dalam kehidupan sehariharinya ia telah biasa bertemu banyak orang,” jawab Vladimer. “Anak itu termasuk golongan anak aneh rupanya.” Oscar itu memberi pendapat.

“Ia

tadi

juga

berulang-ulang 86

menanyakan

kesungguhanku

memberinya ijin untuk menemui Angella esok pagi.” “Ia memberiku keterangan seperti yang telah kuceritakan kepada kalian. Sebenarnya, masih ada lagi satu keterangan yang belum kuceritakan kepada kalian,” kata Frederick. “Apakah itu?” tanya Oscar ingin tahu. “Ia mengatakan sesuatu yang membuatku mempunyai dugaan yang hampir sama seperti Vladimer,” kata Frederick. “Engkau tadi mengatakan dugaanmu sama dengan Vladimer sekarang hampir sama, mana yang benar?” tuntut Oscar. “Keduanya. Aku menduga Angella dan anak itu telah berkenalan sebelumnya tetapi Angella lebih mengenal anak itu daripada anak itu mengenal Angella,” kata Frederick menanggapi kata-kata Oscar yang bernada menuduh itu. “Apa maksudmu?” tanya Oscar tak mengerti. “Katakan saja apa yang dikatakan anak itu sehingga engkau mempunyai dugaan seperti itu,” kata Vladimer. “Ia mengatakan, sebelum pingsan Angella membisikkan sesuatu di telinganya.” “Ayolah Frederick jangan berteka-teki. Katakan apa yang dibisikkan Angella kepada anak itu,” kata Oscar mulai tak sabar. “Jangan sedih! Ibumu masih hidup,” kata Frederick. Vladimer dan Oscar tampak terkejut sekali mendengar kata-kata Frederick. “Mungkin Angella mengatakan itu hanya karena tidak menginginkan anak itu sedih,” kata Oscar setelah pulih dari keterkejutannya. “Tidak mungkin. Bila ia bermaksud tidak membuat anak itu sedih, mengapa ia tidak mengatakan orang tuamu melainkan ibumu? Selain itu ia masih terlalu shock setelah melihat sendiri Mr. dan Mrs. Boudini tewas terbakar di depan matanya,” bantah Frederick. “Aku tadi juga ikut mendengarnya sewaktu Angella memeluk anak itu. Sehingga dapat kupastikan anak itu berkata benar. Tapi aku tadi tidak mendengar secara lengkap sebab suara Angella semakin lemah. Aku hanya mendengar ‘Jangan sedih! Ibumu masih…,’ ”kata Vladimer memperkuat perkataan Frederick. “Benar juga kata-katamu itu,” gumam Oscar. “Mengapa tadi tidak engkau katakan sewaktu kita semua berkumpul di Ruang Perpustakaan?” 87

“Apakah engkau ingin membuat Bibi Stefanie terkejut?” tanya Vladimer. “Kalian sendiri sudah sangat terkejut seperti itu. Bagaimana dengan Mama bila ia ikut mendengarnya,” kata Frederick. “Siapa nama anak itu? Berapa usianya?” tanya Oscar. “Ia mengatakan nama aslinya Charlemagne, namun semua orang memanggilnya Charlie. Mengenai usianya, ia tidak berkata apa-apa,” jawab Frederick. “Charlemagne? Raja dari Frank dan pendiri kerajaan Romawi Kuno,” kata Vladimer. “Kau tahu sejarah Charlemagne?” tanya Oscar tertarik. “Sedikit. Aku mendengar ia bertahta di Perancis dan ia juga memerangi bangsa Moor dalam usahanya membebaskan Spanyol dari bangsa itu,” jawab Vladimer. “Cukup! Jangan bercerita lagi mengenai Charlemagne. Sekarang yang harus kita pikirkan adalah bagaimana membuat Angella mengatakan segala yang diketahuinya tentang anak itu kepada kita,” kata Frederick. “Sebenarnya apa tujuanmu berusaha mencari keterangan lebih banyak lagi mengenai anak itu dari Angella?” tanya Oscar. “Aku merasa pernah melihat anak itu dan itulah yang membuatku tertarik untuk mengetahui lebih banyak lagi mengenai anak itu,” jawab Frederick. “Aku juga merasa pernah melihat anak itu. Tapi aku rasa akan sulit berusaha mendapatkan keterangan dari Angella mengingat sikapnya yang sangat dingin itu,” kata Oscar. “Aku melihat ia tidak sedingin yang kudengar,” kata Vladimer. “Mungkin karena ada engkau, maka ia tidak bersikap sedingin biasanya,” kata Frederick. “Mungkin karena aku belum lama tinggal di sini,” kata Vladimer. “Tapi aku masih percaya ia memang sedingin yang kalian katakan. Aku masih ingat bagaimana ia menatapku pada hari kedatanganku.” “Engkau kecewa karena tidak mendapat sambutan yang ramah darinya?” tanya Oscar ingin tahu. Vladimer diam saja. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Dalam kehidupan sehari-harinya yang penuh kebosanan karena dikagumi banyak wanita, ia menginginkan semua wanita itu menjauh darinya. Tetapi ketika ia mendapatkan keinginannya itu di sini, di rumah ini, ia merasa aneh. Ia merasa kecewa, sedih, dan entah macam apa lagi perasaan yang muncul bila ia 88

mengingat tatapan Angella yang begitu dingin hingga terasa menusuk kulit setiap kali ia memandangnya.

89

10

Angella membuka matanya perlahan-lahan. Melalui keremangan cahaya kamarnya ia melihat kedua kakaknya tertidur di samping tempat tidurnya. Di kursi depan perapian, ia melihat Vladimer yang tengah tertidur. Ia mulai mengingat-ingat kejadian yang baru dialaminya sore itu. Api yang melahap tenda-tenda Boudini’s Theatre dengan rakusnya. Suara hirukpikuk orang yang panik. Lidah-lidah api yang terasa panas di depannya. Jeritan Mr. dan Mrs. Boudini serta ucapan terakhir mereka. ‘Tolong selamatkan Charlie, Tuan Puteri!’ “Charlie! Di mana dia?” pikirnya panik. Angella membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Dengan sekuat tenaganya ia mencoba berdiri di tepi tempat tidurnya. Tangannya memegang meja kecil tempat ia biasa meletakkan vas bunga, tangannya yang lain berpegangan pada tepi tempat tidur. Tiba-tiba ia merasa kakinya lemas dan tanpa dapat ditahannya lagi ia terjatuh di karpet. Meja kecil yang dipenggangnya ikut terjatuh hampir bersamaan dengan jatuhnya. Vas bunga yang berada di atasnya, terjatuh dengan suara yang cukup keras sehingga membangunkan ketiga pria yang tertidur itu. “Apa yang kaulakukan?” tanya Frederick terkejut melihat adiknya duduk di karpet. Vladimer yang tiba terlebih dulu di sisinya, segera mengangkatnya ke tempat tidur ketika melihat air vas bunga itu membasahi karpet dan bunga dari vas itu berserakan di dekat Angella. Angella

mau

tidak

mau

teringat

kembali

saat

pria

itu

meraih

pinggangnya dan mengangkatnya ke atas kuda serta membawanya menjauhi api. Jantung Angella berdebar-debar karenanya dan ia merasa pipinya menjadi panas. “Char… Charlie…! Di… ma…na di…a?” tanyanya terbata-bata dengan suara yang amat lemah. “Dia baik-baik saja. Sekarang dia sedang tidur di Ruang Kanak-Kanak dan Nanny menjaganya. Engkau tidak perlu khawatir lagi,” kata Oscar. “Engkau 90

tidurlah lagi ini masih tengah malam.” “Aku… ti… dak… i… ngin ti… dur,” kata Angella terbata-bata. “A… ku… ingin… me… li…hat Charlie.” “Jangan berbicara banyak, engkau terlihat seperti orang yang baru belajar bicara. Lebih baik sekarang engkau beristirahat, besok kami akan membawa Charlie kemari. Engkau masih terlalu lemah untuk pergi ke Ruang Kanak-Kanak,” kata Frederick. Melihat adiknya yang seperti memaksakan diri untuk dapat berbicara dengan jelas, membuat Frederick teringat kembali saat Angella baru belajar bicara. Saat itu ia merasa sangat senang. Ia dan Oscar berlomba-lomba membuat Angella dapat menyebut namanya. “Ayo, Angella. Sebut namaku, Frederick,” kata Frederick mendahului Oscar. “Fredlick… Fredlick,” kata Angella sambil bertepuk tangan. Oscar tertawa terbahak-bahak melihat kakaknya cemberut melihat Angella tidak dapat menyebut namanya dengan benar. “Sudah! Sekarang giliranku. Panggil aku, Angella. Oscar.” “Tidak! Aku belum selesai. Ayo, Angella! Sebut namaku dengan benar F… r… e… d… e… r… i… c… k…, Frederick,” kata Frederick tak mau berputus asa. Sekali lagi Angella tidak dapat menyebut nama Frederick dengan benar. Frederick terus berusaha agar adiknya menyebut namanya dengan benar, tetapi tetap saja sang adik tidak dapat menyebut namanya dengan benar. Frederick menjadi kesal karena Oscar menertawakan kekalahannya. “Jangan tertawa dulu, belum tentu Angella dapat menyebut namamu dengan benar,” kata Frederick. “Pasti Angella dapat menyebutnya dengan benar,” kata Oscar percaya diri, “Ayo, Angella. Panggil aku, Oscar.” “Oscar… Oscar…,” kata Angella bertepuk tangan. Frederick menjadi semakin jengkel melihat Angella dapat menyebut nama Oscar dengan benar. “Bagaimana, Fred? Engkau kalah,” ejek Oscar. “Tidak, aku belum kalah. Walaupun Angella dapat menyebut namamu dengan benar, tetapi ia lebih sayang padaku. Betulkan, Angella?” kata Frederick bermain dengan Angella. “Tidak! Ia lebih sayang padaku,” bantah Oscar. “Fredlick… Fredlick… Oscar… Oscar…,” kata Angella. 91

“Aku tahu,” kata Frederick tiba-tiba. “Kalau engkau tidak dapat menyebut namaku dengan benar, panggil saja aku Freddy,” katanya kepada Angella. Angella diam sebentar, ia tampak bingung. Kemudian ia memanggil nama kakaknya, “Freddy… Freddy… Oscar… Oscar…,” katanya senang. “Kau curang!” tuduh Oscar. “Biar saja. Asalkan ia dapat memanggilku,” kata Frederick. Oscar memperhatikan Angella yang kelihatan senang sekali dengan katakata barunya. Berulang kali ia menyebut-nyebut nama kedua kakaknya. “Fred, aku juga akan memanggilmu Freddy. Nama itu kelihatannya lebih menyenangkan dan mudah daripada Frederick.” “Tidak boleh! Hanya Angella yang boleh memanggilku Freddy,” kata Frederick. “Kau

tidak

adil!”

kata

Oscar

jengkel

karena

keinginannya

tidak

dikabulkan kakaknya. Sejak saat itu Angella selalu memanggil kakak tertuanya dengan Freddy. Nama itu sudah menjadi nama kesayangannya. “Oscar, tolong ambilkan segelas air untuk Angella. Ia sebaiknya minum obat yang diberikan dokter agar dapat tidur nyenyak,” kata Vladimer. Angella membuka mulut hendak menyatakan penolakannya. Namun tangan kakaknya sudah menutupi mulutnya sebelum ia berbicara. “Engkau harus minum obat bila engkau ingin lekas sembuh dan bertemu anak itu,” katanya. Angella memandang bunga yang berserakan di karpet. Frederick yang mengetahui pikiran adiknya berkata, “Jangan khawatir! Esok akan kusuruh pelayan

membersihkannya

dan

mencarikan

bunga

yang

baru

untuk

kaumasukkan ke dalam jambangan bunga itu.” Oscar datang dengan membawa segelas air di tangannya. Frederick dengan hati-hati mengangkat kepala Angella dan membantunya meminum obatnya. Setelah itu ia meletakkan kembali badan Angella dan membetulkan letak selimutnya. “Sekarang

tidurlah

yang

nyenyak.

Kami

akan

menjagamu,”

kata

Frederick. “Kalian benar, ada yang ganjil dalam hubungan Angella dengan anak itu,” kata Oscar setelah Angella tertidur. “Memang

sudah

seharusnya

engkau

mempercayai

mendengar cerita kami yang panjang itu,” kata Frederick. 92

kami

setelah

“Kapan kita akan menanyai Angella?” tanya Oscar. “Bila ia sudah tidak terlalu lemah lagi. Aku rasa saat itu yang paling tepat,” kata Vladimer. “Aku setuju. Selanjutnya, siapa yang akan menanyai Angella? Bila kita bertiga yang bertanya padanya, aku yakin ia enggan mengatakannya,” kata Oscar. “Hal itu kita pikirkan nanti saja. Sekarang kita harus memikirkan kesehatan Angella dulu,” kata Frederick. “Bagaimana bila Nanny yang kita minta untuk menanyai Angella,” saran Oscar. “Nanny! Ya… Nanny. Mengapa aku tidak memikirkannya sejak tadi! Kita tidak akan menanyai Angella. Kita akan bertanya kepada Nanny. Aku rasa Nanny pasti juga mengetahuinya. Bukankan ia yang paling dekat dengan Angella?” kata Frederick. “Ya, Nanny pasti juga mengetahuinya. Besok kita akan bertanya pada Nanny,” kata Oscar. Esok paginya, mereka membagi tugas. Vladimer bertugas menjaga Charlie dan Angella di kamar Angella. Oscar dan Frederick bertanya kepada Nanny di Ruang Kanak-Kanak. “Nanny, kami ingin tahu apakah engkau mengetahui tentang anak itu?” tanya Frederick memulai pertanyaan. “Saya tidak mengetahui apa-apa mengenai anak itu. Tuan Puteri tidak menceritakan apa-apa kepada saya sewaktu ia kemarin pagi datang bersama anak itu,” jawab Nanny. “Apakah itu benar, Nanny?” tanya Oscar. “Ya, saya baru mengetahui bahwa ia putra dari Mr. dan Mrs. Boudini kemarin malam ketika Tuan Muda bercerita kepada kami,” jawab Nanny, “Kalau boleh saya tahu, mengapa Tuan Muda menanyakan hal ini kepada saya?” “Tidak apa-apa, Nanny. Kami hanya ingin tahu saja mengenai anak itu,” jawab Frederick. “Nanny, dapatkan Anda menceritakan apa saja yang dilakukan mereka berdua sewaktu berada di sini?” tanya Oscar. “Saya tidak banyak mengetahui apa yang dilakukan Tuan Puteri bersama Charlie. Sebab saya tidak selalu bersama Tuan Puteri ketika anak itu ada di sini bersamanya,” kata Nanny. “Apa maksudmu, Nanny?” tanya Oscar. 93

“Kemarin pagi sewaktu Tuan Puteri datang bersama anak itu, Tuan Puteri tidak bercerita apa-apa mengenai anak itu. ia hanya mengatakan kepada saya bahwa ia ingin sarapan pagi bersama anak itu di Ruang Kanak-Kanak,” kata Nanny. “Kemudian ketika saya tiba di Ruang Kanak-Kanak dengan baki berisi makanan di tangan saya, saya melihat Tuan Puteri sedang mengawasi anak itu bermain. Saat itu saya juga tidak dapat lama-lama bersama Tuan Puteri sebab setelah itu ia meminta saya menyuruh Thompson mengantar dua pucuk surat.” “Dua surat?” sela Oscar. “Untuk siapa saja surat itu, Nanny?” tanya Frederick. “Yang satu untuk Mr. Boudini dan yang satunya untuk ibu Jenny, Mrs. Dellas,” jawab Nanny. “Jenny? Siapa dia? Rasanya aku pernah mendengar namanya,” kata Oscar sambil berpikir-pikir. “Jenny dulu pernah bekerja di sini sebagai pelayan Tuan Puteri. Tetapi beberapa tahun yang lalu ia tiba-tiba berhenti bekerja,” kata Nanny. “Ya, aku ingat Jenny! Ia tiba-tiba berhenti tanpa alasan yang jelas,” kata Oscar. “Lanjutkan lagi ceritamu, Nanny,” perintah Frederick. Nanny melanjutkan ceritanya, “Saya segera memberikan surat itu kepada Thompson kemudian saya kembali ke Ruang Kanak-Kanak. Di depan ruangan itu, saya melihat Yang Mulia sedang berdiri terharu. Saya mengajak Yang Mulia kembali ke kamarnya dan menemaninya selama beberapa waktu.” “Saya kembali lagi ke Ruang Kanak-Kanak ketika Tuan Puteri hendak mengantar anak itu pulang. Tuan Puteri meminta saya menjaga anak itu bermain sementara ia bersiap-siap untuk mengantar anak itu.” “Apakah Angella mengantar sendiri anak itu?” tanya Frederick. “Ya. Tuan Puteri sendiri yang mengantar anak itu pulang sebab saat itu Thompson belum kembali,” jawab Nanny. “Mengapa engkau tidak menemaninya, Nanny?” tanya Oscar. “Sebab saat itu saya sedang mengatur kembali Ruang Kanak-Kanak. Selain itu Tuan Puteri melarang saya ikut bersamanya mengantar anak itu,” jawab Nanny. “Saya tahu saya telah bersalah membiarkan Tuan Puteri pergi seorang diri, tetapi saat itu saya melihat Tuan Puteri benar-benar tidak mau ditemani,” kata Nanny ketika melihat raut wajah kedua kakak Angella yang seperti 94

menahan amarah. “Tidak apa-apa, Nanny. Kami tahu suatu hari nanti ia akan menolak dikawal ke mana pun ia pergi,” kata Frederick. “Apakah Anda memanggilkan kereta bagi Angella ketika ia mengantar anak itu pulang?” tanya Oscar. Nanny diam. Ia tidak tahu harus menawab apa. Ia sudah berjanji pada Angella ia tidak akan memberitahu kedua kakaknya bahwa ia mengantar anak itu pulang naik kuda tidak dengan kereta seperti yang disarankan Nanny. “Anda tidak perlu menjawab, Nanny. Sebab kami sudah dapat menebak bahwa Anda tidak memanggilkan kereta bagi Angella,” kata Frederick. “Ya, saya memang tidak melakukannya karena Tuan Puteri menolaknya,” kata Nanny berterus terang. “Terima kasih atas keteranganmu, Nanny,” kata Frederick. “Tuan Muda, tolong jangan jauhkan Tuan Puteri dari anak itu. Tuan Puteri sangat menyayangi anak itu. Saya dapat melihat ia jauh lebih menyayangi anak itu daripada anak-anak yang ada di Panti Asuhan Gabriel,” kata Nanny. “Kami mengerti, Nanny,” kata Frederick kemudian meninggalkan Ruang Kanak-Kanak bersama Oscar. -----0----Vladimer dengan tenang duduk di kursi depan perapian memperhatikan Angella dan anak itu. Charlie dengan riangnya bercerita tentang temantemannya sambil meniru gerakan teman-temannya itu. Ia juga bercerita saat ia bersama Nanny di Ruang Kanak-Kanak. Vladimer dapat melihat Angella tersenyum dan matanya tidak lagi memandang dingin seperti biasanya, matanya terlihat ramah. Matanya kembali dingin hanya ketika ia secara tidak sengaja bertemu pandang dengannya. Angella tampaknya berusaha menghindari tatapan Vladimer. “Boleh aku ke beranda itu?” tanya Charlie. Sebelum Angella menjawab, anak itu sudah berlari ke beranda. Angella merasa cemas melihat Charlie yang selalu lincah itu. Ia berusaha bangkit untuk menjaga Charlie selama ia berada di beranda itu. Ia khawatir Charlie terjatuh dari beranda itu. Vladimer

segera

bangkit

dari

duduknya

dan

mencegah

Angella

meninggalkan tempat tidurnya. “Tetaplah di sini, aku akan mengawasi anak 95

itu,” katanya sambil menyandarkan punggung Angella di bantal. Ia pergi ke beranda dan membujuk Charlie untuk masuk. Rupanya Vladimer juga mengalami kesulitan seperti kedua kakak Angella dalam menghadapi Charlie. Anak itu dengan keras kepala menolak masuk. Angella menoleh ke arah pintu ketika terdengar suara ketukan di pintu itu. “Masuk,” katanya lirih. Ia menduga yang datang adalah Countess atau kedua kakaknya, tetapi rupanya seorang pelayan yang datang untuk memberitahukan ada seseorang yang mencari Angella. Tanpa diberitahu siapa orang itu, Angella sudah dapat menebak. Ia tahu betul siapa yang biasa mengunjunginya setiap minggu. Vladimer mendengar suara pintu diketuk dan ia melihat seorang pelayan masuk. Ia masuk kembali ke dalam kamar Angella dengan terlebih dulu berpesan kepada Charlie agar berhati-hati. “Ada apa?” tanyanya kepada pelayan itu ketika dilihatnya muka Angella menampakan kejengkelannya. Pelayan itu tampak ragu-ragu sebentar kemudian ia berkata, “Di Ruang Besar ada seorang pria yang mencari Tuan Puteri.” “Katakan kepadanya untuk menunggu sebentar, aku akan segera menemuinya,” kata Vladimer. “Tetapi…,” kata pelayan itu ragu-ragu. “Frederick dan Oscar memintaku untuk mengurusi segala hal yang menyangkut adiknya selama mereka tidak berada di sisinya,” kata Vladimer. “Baik, Tuan Muda,” kata pelayan itu. Sebenarnya Vladimer bisa mengatakan kepada pelayan itu untuk mengatakan kepada pria itu bahwa Angella sakit sehingga ia tidak dapat turun untuk menemuinya. Namun ia ingin mengetahui pria yang mencari Angella. Ia ingin mengetahui pria seperti apa yang berusaha menundukkan kedinginan Angella itu. Ia mendekati Charlie dan berkata, “Dengar, Charlie! Aku akan pergi sebentar. Sekarang kuserahkan tugas menjaga Angella kepadamu. Engkau harus berjanji menjaganya dengan baik.” “Baik, saya berjanji,” kata anak itu senang. “Sekarang engkau harus masuk ke dalam agar dapat melakukan tugasmu dengan baik,” katanya kemudian ia menuntun anak itu masuk ke dalam ruangan. Ia berjalan mendekati Angella. “Aku akan menemui pria itu,” katanya. 96

“Terima kasih,” kata Angella perlahan. “Tidak apa-apa. Aku memang ingin bertemu dengan pria itu,” katanya. “Engkau tidak mengerti. Aku tidak berterima kasih atas itu. Aku hanya ingin berterima kasih karena kemarin engkau telah menyelamatkanku,” kata Angella tersipu-sipu. Vladimer tersenyum melihat pipi Angella yang memerah itu. Ia menjadi semakin yakin dugaannya yang lain benar. “Tidak apa-apa,” katanya kemudian ia meninggalkan mereka berdua. Charlie duduk di sisi Angella dan bertanya, “Apa yang terjadi?” “Tidak ada apa-apa,” jawabnya. “Tuan Puteri, apakah benar ibu saya masih hidup?” tanya Charlie. “Ya, ibumu masih hidup,” katanya perlahan. “Di mana ia? Bolehkah saya menemuinya?” tanya Charlie ingin tahu. “Saya tidak dapat memberitahu lebih banyak lagi kepadamu sekarang, tetapi percayalah saya akan membawamu menemuinya suatu hari nanti,” kata Angella. Ia menutup matanya mencoba membayangkan apa yang akan terjadi apabila ia memberitahu Charlie segala kebenaran yang menyangkut dirinya itu. Ia juga tidak tahu bagaimana reaksi Jenny bila ia membawa Charlie menemuinya. “Apa yang harus kulakukan?” tanyanya pada dirinya sendiri. Suara langkah kaki datang mendekat. Angella membuka kembali matanya dan menanti kedatangan mereka yang berjalan mendekati kamarnya. Pintu

kamar

terbuka

dan

muncullah

kedua

kakaknya.

Mereka

memandang heran pada adiknya dan Charlie yang duduk di sisi Angella. “Di mana Vladimer?” tanya Frederick. “Ia menemui Danny di Ruang Besar,” jawab Angella. “Apakah Vladimer akan mencegah ia menemuimu?” tanya Oscar. “Aku tidak tahu. Tapi aku yakin ia akan mencegahnya,” kata Angella. “Bagaimana bila ia tidak mencegahnya?” tanya Oscar. “Akan kuserahkan hal itu kepada kalian,” jawab Angella dengan tenang. Ia mengetahui kedua kakaknya tidak menyukai Danny. Mereka selalu mencegah Danny menemui adiknya walau Snow Angel mau menemuinya. Tetapi biasanya ia selalu menolak bertemu dengan Danny pada setiap kunjungan rutinnya. 97

11

Pria berdiri dengan segala keangkuhan yang tampak jelas dari cara berdirinya. Wajahnya menunjukkan sikapnya yang penuh percaya diri. Matanya memandang rendah segala yang ada di hadapannya. Vladimer merasa tidak senang melihat pria yang sombong itu walau ini pertama kalinya ia bertemu dengan pria itu. Namun diakuinya pria itu cukup tampan sehingga ia berani mencoba menundukkan kedinginan Angella. Pria itu menoleh ketika mendengar ia datang mendekat. Dengan rasa heran yang tampak jelas ia bertanya, “Anda siapa?” “Saya kakak Angella, Vladimer,” kata Vladimer dingin – tak mau bersikap ramah kepada pria itu. “Setahu saya, kakak Snow Angel hanya dua orang,” kata pria itu. “Bolehkah saya tahu apa keperluan Anda datang kemari?” tanya Vladimer tajam. Pria itu tampak jengkel karena kata-katanya diabaikan Vladimer. “Saya datang kemari untuk menemui Snow Angel,” jawabnya. “Angella tidak dapat menemui Anda,” kata Vladimer. “Katakan padanya bahwa Danny datang untuk menemuinya. Saya yakin ia akan menemui saya,” kata pria itu percaya diri. “Angella saat ini sedang istirahat. Ia terlalu lemah untuk menemui Anda. Sebaiknya Anda pulang sekarang, daripada Anda nanti menjadi semakin kecewa,” kata Vladimer tetap tidak mau bersikap ramah kepada tamu Angella. “Apakah ia sakit?” tanya pria itu cemas. “Apakah kata-kata saya kurang jelas?” tanya Vladimer tajam. Pria itu tampak marah sekali telah diabaikan oleh Vladimer. Namun ia tidak menunjukkan kemarahanannya secara langsung kepada Vladimer. “Tolong katakan padanya saya mendoakannya agar lekas sembuh,” kata pria itu setelah berhasil menahan amarahnya. “Saya tidak dapat berjanji,” kata Vladimer. Pria itu tampak marah sekali mendengar jawaban Vladimer. Ia segera meninggalkan Troglodyte Oinos. Dari langkah kakinya, Vladimer tahu pria itu merasa terhina. 98

Vladimer merasa puas telah berhasil membuat kesombongan pria itu jatuh. Ia tidak mengerti mengapa dirinya ingin sekali membuat kesombongan pria itu jatuh. Ia telah bertemu orang yang sombong sebelumnya, tetapi ia masih dapat menahan kata-katanya demi sopan santun. Tetapi terhadap pria tadi? Ia heran mengapa ia sangat ingin membuat pria itu merasakan bagaimana bila kesombongannya hancur, merasakan bagaimana bila harga dirinya itu hancur. Ia tidak mengerti sama sekali. Ia tidak tahu mengapa ia merasa tidak senang terhadap pria itu padahal ia baru bertemu dengannya hari ini. Sewaktu ia bertemu dengan orang sombong lainnya, ia tidak menganggap mereka ada. Ia mengacuhkan mereka. Tetapi terhadap pria tadi? Ia benar-benar tidak mengerti mengapa ia bisa seperti itu. Mengapa ia tidak mengacuhkannya saja seperti ia mengacuhkan teman-temannya yang memiliki sifat sama seperti pria itu? “Bagaimana pertemuanmu dengan Danny?” tanya Oscar. “Buruk. Aku merasa tidak senang kepadanya. Aku melarangnya menemui Angella,” kata Vladimer. “Memang itu yang harus kaulakukan kepadanya. Kami akan marah padamu bila engkau mengijinkannya menemui Angella,” kata Oscar. “Kalian juga tidak senang kepada pria itu?” tanya Vladimer. “Ya, kami semua termasuk Angella sendiri,” jawab Frederick. “Ia selalu datang kemari seminggu sekali untuk menemuinya walaupun Angella selalu menolak bertemu dengannya.” “Danny itu suka mempermainkan wanita. Dan kami menduga ia berusaha menaklukan kedinginan Angella hanya karena ia merasa terhina sebab Angella selalu menolaknya,” tambah Oscar. “Aku

telah

menduganya.

Pria

yang

seperti

itu

memang

suka

mempermainkan wanita,” kata Vladimer. “Kau menyinggung perasaanku, Vladimer,” kata Oscar. “Aku tidak merasa menyinggung perasaanmu,” elak Vladimer. “Ia tidak suka bila engkau mengatakan pria yang berambut pirang sepertinya suka mempermainkan wanita. Lebih baik bila engkau mengatakan sikap pria itu menunjukkan dengan jelas sifatnya yang suka mempermainkan wanita,” Frederick memberi penjelasan kepada Vladimer. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyamakanmu dengan pria itu. 99

Walaupun begitu engkau harus mengakui engkau dan dia mempunyai kesamaan. Sama-sama berambut pirang, sama tampannya, sama….” “Vladimer!” Oscar mulai marah. “Maaf aku hanya bercanda,” kata Vladimer. “Apa yang kaukatakan kepadanya?” tanya Angella yang sedari tadi diam melihat tingkah mereka. Vladimer menjelaskan secara singkat pembicaraannya dengan Danny kepada

mereka.

Oscar

tertawa

terbahak-bahak

usai

mendengar

cerita

Vladimer. “Tepat! Tepat sekali! Memang itu yang harus kita lakukan kepadanya sejak dulu,” kata Oscar. “Sudah kuduga engkau akan melakukannya lebih baik daripada kami,” tambah Frederick. “Aku merasa yakin ia merasa terhina sekali dengan sikapmu,” kata Oscar. “Sebenarnya, siapakah pria itu?” tanya Vladimer. “Engkau tidak tahu?” tanya Oscar. “Aku hanya pernah sekali mendengar namanya dan reputasinya,” kata Vladimer. “Kami

akan

menceritakan

secara

lengkap

kepadamu.

Ia

adalah

keponakan Earl of Wicklow dan ia menjadi pewaris tunggal pamannya itu. Sebelumnya ia memang sudah sombong dan ia menjadi semakin sombong ketika mengetahui bahwa ialah satu-satunya pewaris harta pamannya,” kata Frederick. “Apakah ia anak dari kakak atau adik Earl?” tanya Vladimer. “Tidak. Ia putra dari sepupu Earl of Wicklow,” jawab Frederick. “Earl of Wicklow tidak mempunyai kakak. Sedangkan adiknya, Lady Elize belum menikah.” “Earl

pernah

kecelakaan

menikah,

sebelum

tetapi

memberikan

sayang

keturunan

istrinya

meninggal

padanya,”

tambah

dalam Oscar.

“Sebenarnya ia bisa menikah lagi sebab ia tidak terlalu tua. Usianya belum ada setengah abad. Tetapi kudengar ia sangat mencintai istrinya sehingga ia enggan menikah lagi.” Angella

menutup

matanya

mendengar

cerita

mereka.

Baginya

mendengar cerita mereka bagaikan mengulang cerita masa lalu yang suram. Charlie tampak cemas melihat Angella diam sambil menutup matanya. “Tuan Puteri, Anda baik-baik saja?” 100

“Engkau baik-baik saja?” tanya Oscar. “Aku baik-baik saja. Aku hanya merasa lelah,” katanya dengan perlahan. “Kami akan pergi agar engkau dapat beristirahat. Oscar, engkau menjaga Angella sementara aku dan Vladimer berbicara. Dan, engkau Charlie, pergilah ke Ruang Kanak-Kanak dan bermainlah di sana. Biarkan Angella beristirahat,” kata Frederick. “Tapi…,” Charlie tampak ragu-ragu. “Nanny telah menunggumu di sana. Jangan kecewakan Nanny, engkau telah berjanji akan menuruti Nanny,” kata Oscar. “Tetapi Nanny tidak meminta saya bermain di Ruang Kanak-Kanak,” bantah Charlie. “Nanny pasti akan menyuruhmu menjauh bila Angella akan beristirahat,” kata Frederick. Angella

melihat

mereka

tampak

kewalahan

menghadapi

Charlie.

“Turutilah kata mereka, Charlie. Percayalah kepada mereka,” bisiknya kepada anak itu. “Baik,” kata Charlie dan ia pun berlari menuju Ruang Kanak-Kanak. Disusul kepergian Vladimer dan Frederick. “Apa yang kaukatakan kepada anak itu sehingga ia menuruti kata-kata kami?” tanya Oscar ingin tahu. “Aku hanya mengatakan kepadanya agar menuruti kata-kata kalian.” “Tampaknya anak itu lebih menuruti kata-katamu daripada kami semua. Sekarang tidurlah yang nyenyak, aku akan menjagamu,” kata Oscar. Oscar membaringkan tubuh Angella yang semula bersandar pada tepi tempat tidunya. Vladimer dan Frederick segera pergi ketika Angella telah menutup matanya dan membawa dirinya ke alam impian. Oscar duduk di tepi tempat tidur Angella sambil mengawasi wajah adiknya yang sedang tertidur. Pintu kamar diketuk perlahan oleh seseorang. Oscar berdiri dari sisi adiknya dan membuka pintu dengan perlahan agar adiknya tidak terbangun. Seorang pelayan berdiri dengan membawa seikat besar bunga di tangannya. “Untuk Tuan Puteri,” kata pelayan itu. Oscar mengambil bunga yang diserahkan pelayan itu, pada bunga itu dilihatnya secarik kertas. Ia membaca kertas itu ‘Semoga lekas sembuh. Dari Danny’. Oscar membawa bunga itu ke dalam kamar adiknya. 101

Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya dengan bunga itu. Tetapi ia merasa yakin adiknya akan menolak bila bunga itu diletakkan di kamarnya. “Letakkan saja bunga itu di ruangan yang lain. Jangan di kamarku!” kata Angella melihat Oscar datang membawa seikat besar bunga. “Engkau belum tidur?” tanya Oscar. “Aku tidak dapat tidur,” kata Angella. “Letakkan bunga itu di ruangan yang lain.” “Engkau yakin? Bunga ini indah sekali,” goda Oscar. “Lakukan saja apa yang kukatakan.” “Bunga ini pasti indah sekali bila kuletakkan di vas bunga itu. Bunga yang kemarin terjatuh itu belum diganti,” Oscar terus menggoda adiknya. “Aku lebih memilih bunga yang kalian petikkan untukku walaupun jelek daripada bunga indah dari Danny itu,” kata Angella tajam. “Baiklah. Akan kusuruh pelayan meletakkan bunga ini di Ruang Makan atau di Ruang Perpustakaan,” kata Oscar berhenti menggoda adiknya. Oscar membunyikan bel yang terletak di dekat tempat tidur adiknya. Tak lama kemudian seorang pelayan datang. “Letakkan bunga ini di Ruang Perpustakaan atau di mana saja sesukamu. Dan ambilkan segelas air untuk Tuan Puteri,” perintah Oscar kepada pelayan itu. “Engkau harus minum obatmu lagi agar dapat tidur,” kata Oscar ketika melihat

adiknya

tampak

jengkel.

“Dokter

memberikan

obat

penenang

kepadamu bila engkau tidak dapat tidur.” Oscar berusaha keras membujuk adiknya untuk minum obat. Adiknya akhirnya mengalah, ia meminum obat yang diberikan Oscar kepadanya. Tak lama kemudian Angella tertidur nyenyak. Oscar berdiri di beranda sambil menjaga adiknya yang tertidur itu. ia merenungkan kembali pembicaraannya dengan Nanny dan pembicaraannya dengan

Frederick

serta

Vladimer

semalam.

Ia

mencoba

menghubung-

hubungkan hal-hal yang diketahuinya menjadi sesuatu yang jelas. “Apa yang kaupikirkan?” tanya Frederick. Oscar

terkejut

mendengar

pertanyaan

kakaknya,

“Engkau

mengejutkanku! Aku sedang berpikir apa hubungan anak itu dengan Mrs. Dellas dan Jenny.” “Aku dan Vladimer juga telah memikirkannya. Bahkan kami menduga Thompson mengetahui sesuatu,” kata Frederick. 102

“Di mana dia?” tanya Oscar ketika melihat Vladimer tidak bersama kakaknya. “Ia sedang berusaha mendekati anak itu. Kita telah terbukti tidak berhasil dengan baik mendekati anak itu. Satu-satunya yang belum berusaha mendekati anak itu adalah Vladimer. Siapa tahu ia berhasil mendekati anak itu,” kata Frederick. “Apakah kita akan menanyai Thompson juga?” tanya Oscar. “Kami belum memutuskannya,” jawab Frederick. “Aku memutuskan menanyai Thompson. Aku yang akan bertanya kepadanya sekarang,” kata Oscar. “Kurasa percuma saja engkau mencari Thompson sekarang,” kata Frederick sambil menyadarkan badannya ke pagar batu yang mengelilingi beranda kamar adiknya yang berbentuk setengah lingkaran itu. “Apa maksudmu?” tanya Oscar. “Lihatlah ke bawah.” “Ada apa di bawah, Fred? Jangan membuatku bingung,” kata Oscar mengikuti perbuatan kakaknya. “Apakah engkau tidak melihat Thompson dan Vladimer sekarang sedang mengajari anak itu berkuda?” kata Frederick. “Vladimer mendekati anak itu dengan cara itu? Pintar sekali dia,” kata Oscar setelah menemukan mereka bertiga di bawah. “Ya. Kami tadi memutuskan bahwa kita akan berusaha mendekati anak dengan mengajaknya bermain atau berjalan-jalan. Seperti yang kita lakukan pada Angella sewaktu ia masih kecil,” kata Frederick. “Apakah kau yakin cara ini akan berhasil? Ada perbedaan yang cukup menyolok dalam hal ini. Kita dulu sering mengajak Angella bermain karena kita menyayanginya. Tetapi anak itu, karena kita ingin mendekatinya,” kata Oscar. “Itulah tujuan sebenarnya dalam hal ini. Kita akan mencoba membuat anak itu menyayangi kita seperti ia menyayangi Angella.” “Lalu apa yang akan kita lakukan bila rencana kalian itu berhasil?” tanya Oscar. “Bila kita berhasil membuat anak itu menyayangi kita, kita tentunya akan lebih mudah mendapatkan keterangan yang kita inginkan darinya,” kata Frederick. “Lalu bagaimana perasaan kita terhadap anak itu? Tidak adil bila kita mencoba membuat anak itu menyayangi kita tetapi kita sendiri tidak mencoba 103

menyayangi anak itu,” tuntut Oscar. “Kita juga akan mencoba menyayangi anak itu. Bila Angella dapat melakukannya mengapa kita tidak?” kata Frederick. Suasana

hening di antara mereka. Mereka sibuk

memperhatikan

Vladimer dan Thompson yang sedang mengajari Charlie berkuda. “Apakah engkau yang menyuruh pelayan meletakkan bunga itu di Ruang Perpustakaan?” tanya Frederick. “Bagaimana engkau tahu?” “Aku sedang menceritakan hasil yang kita dapat dari Nanny kepada Vladimer ketika pelayan itu datang. Kata pelayan itu engkau yang menyuruh meletakkannya di sana,” kata Frederick. “Ya, aku yang menyuruh pelayan itu tetapi atas permintaan Angella sendiri,” kata Oscar. “Sepertinya Angella akan mendapatkan kiriman bunga secara rutin setiap hari,” kata Frederick. “Dan bila bunga itu selalu diletakkan di Ruang Perpustakaan, aku berani menjamin tak lama lagi ruangan itu penuh dengan bunga,” kata Oscar. “Tadi aku melihat muka Vladimer agak aneh ketika aku memberitahunya bahwa bunga itu untuk Angella dari Danny,” kata Frederick. “Mungkinkah perkiraan kita benar?” tanya Oscar. “Aku hanya dapat mengatakan hampir benar,” kata Frederick. “Aku akan sangat senang sekali bila perkiraan kita itu benar. Sudah sejak kecil aku mengharapkannya,” kata Oscar senang. “Aku juga,” kata Frederick. Malam itu mereka kembali berkumpul di kamar Angella. Charlie duduk di sisi Angella mendengarkan gadis itu menceritakan dongeng-dongeng Yunani Kuno seperti yang pernah dijanjikannya kepada anak itu. Ketiga

pria

yang

menjaga

Angella

duduk

dengan

tenang,

ikut

mendengarkan Angella bercerita. Ketika melihat anak itu mulai mengantuk, Vladimer menyarankan anak itu untuk pergi tidur. Tetapi anak itu menolaknya, ia ingin mendengarkan cerita Angella lagi. Akhirnya anak itu menurut ketika Angella yang menyuruhnya tidur, ia juga berjanji kepada Charlie akan bercerita lagi esok malam. “Benar-benar sulit memisahkan mereka berdua,” kata Oscar tak lama setelah Angella tertidur. 104

“Charlie tampaknya ingin selalu berada di sisi Angella,” Vladimer memberi pendapat. “Mama tadi tampak senang ketika melihat Angella sudah lebih baik daripada kemarin,” kata Frederick. “Ya, aku juga melihatnya. Aku merasa tidak hanya sulit memisahkan Charlie dari Angella. Tetapi juga membujuk Mama agar beristirahat dan meyakinkannya bahwa kita akan menjaganya dengan baik,” kata Oscar. “Bagaimana hasil penyelidikanmu?” tanya Frederick kepada Oscar. “Buruk. Thompson sama sekali tidak membantu apa-apa. Ia mengatakan bahwa ia tidak tahu sama sekali mengenai anak itu. Ia juga tidak tahu apa isi surat yang ia antarkan kepada Mrs. Dellas,” jawab Oscar. “Aku rasa kita tidak memiliki pilihan yang lain selain mencoba membuat Angella menceritakan segalanya kepada kita,” kata Frederick. “Aku mendapat sesuatu yang menarik dari anak itu,” kata Vladimer. “Apa yang kaudapat?” tanya Oscar. “Ia mengatakan kepadaku dan Thompson bahwa ia masih mempunyai ibu,” kata Vladimer. “Saat itu aku mencoba berkata kepadanya bahwa aku merasa ikut sedih atas kematian orang tuanya. Anak itu menjawab, “Aku masih mempunyai Ibu.” “Siapa yang mengatakannya?” tanyaku. “Tuan Puteri yang mengatakan kepadaku,” jawab anak itu. “Boleh aku tahu apa yang dikatakan Angella kepadamu?” tanyaku lagi. “Tuan Puteri mengatakan ibuku masih hidup di suatu tempat dan ia berjanji akan mengajakku menemuinya suatu hari nanti,” jawab Charlie. “Apakah ia mengatakan yang lainnya kepadamu?” tanyaku lagi. “Tidak. Tuan Puteri hanya mengatakan itu,” jawab Charlie. Aku melihat tidak hanya aku yang terkejut mendengar jawaban anak itu, Thompson juga sama terkejutnya denganku. Aku merasa apa yang dikatakan Thompson kepada Oscar itu benar,” cerita Vladimer. “Kesimpulan yang kita dapat dari penyelidikan kita selama hari ini adalah ibu Charlie masih hidup di suatu tempat dan hanya Angella yang mengetahui siapa ibu kandung anak itu dan di mana sekarang ia berada,” kata Frederick. “Masih ada yang membuatku bertanya-tanya,” kata Vladimer. “Apakah itu?” tanya Oscar. “Mengapa Charlie tidak dirawat oleh ibu kandungnya sendiri? Mengapa 105

ibu kandung Charlie menyerahkannya kepada keluarga Boudini kemudian merahasiakannya? Dan bagaimana Angella bisa mengetahuinya? Apakah ibu kandung Charlie dekat dengan Angella?” “Menurut pendapatku, pertanyaanmu itu akan dapat terjawab semuanya bila kita dapat membuat Angella menceritakan segala kebenaran yang berhubungan dengan anak itu kepada kita,” kata Frederick. “Dan kita harus berusaha keras untuk itu,” tambah Oscar. Malam itu, Vladimer sukar memejamkan matanya. Ia masih teringat sosok Angella yang sedang memetik bunga pada hari kedatangannya. Gadis itu tampak seperti peri kecil di antara bunga-bunga yang sedang bermekaran. Vladimer tidak dapat menjawab semua pertanyaan yang berada di benaknya. Ia tidak mengerti hubungan Angella dengan Charlie. Terlalu banyak hal yang berubah pada diri Angella sejak kedatangan anak itu. Gadis yang semula tidak pernah tertawa itu kini sering tertawa riang. Gadis yang semula pendiam itu kini mulai banyak berkata-kata. Mata gadis itu yang semula tampak dingin kini tidak pernah lagi tampak dingin. Vladimer berpikir ke manakah perginya Snow Angel? Di manakah Angella menyembunyikan

Snow

Angel?

Mengapa

Charlie dapat

mengembalikan

Angella? Apa yang menyebabkan anak itu dapat menghapus kedinginan hati Angella? Hari-hari berikutnya dilalui Angella di atas tempat tidurnya. Kedua kakaknya tidak mengijinkannya turun dari tempat tidurnya. Namun mereka tetap berusaha membuat Angella merasa betah berada di kamarnya sepanjang hari. Di pagi hari ia bersama kakak-kakaknya dan Vladimer mendengarkan Charlie menceritakan segala kegiatannya pada hari sebelumnya. Charlie selalu bercerita dengan penuh semangat membuat Angella dapat merasakan kesenangan anak itu. Di siang hari ibunya dan Nanny menemaninya, kadang kakaknya juga menemaninya. Tetapi biasanya kedua kakaknya dan Vladimer sibuk bermain dengan Charlie. Mereka menemaninya hingga tengah hari. Sebab biasanya pada saat itu ibunya beristirahat di kamarnya. Ketika ibunya beristirahat di kamarnya, kakak-kakaknya dan Vladimer menemaninya. Charlie bersama Nanny di Ruang Kanak-Kanak. Kadang Charlie juga menemaninya. Di malam hari mereka bertiga ikut mendengarkan Angella bercerita 106

mengenai para dewa-dewi Yunani Kuno kepada Charlie. Bila Charlie sudah kembali ke Ruang Kanak-Kanak, Angella mau disuruh tidur oleh mereka. Mereka bertiga selalu menemaninya sampai pagi walaupun Angella sudah menyarankan agar mereka tidur di kamarnya masing-masing atau mereka bergiliran menjaganya. Pernah di suatu sore Angella terbangun dan melihat Vladimer datang dengan membawa seikat bunga di dalam jambangan bunga yang biasa diletakkannya di meja kecil di sisi tempat tidurnya. Ia melihat Vladimer meletakkan jambangan bunga itu sisi tempat tidurnya. Ia berpura-pura tidur ketika Vladimer menoleh kepadanya. Angella menduga bunga itu bukan dari Danny. Ia dapat melihat bunga itu masih segar karena baru dipetik dari taman bunga. Ia menduga Vladimer dan kakak-kakaknya yang telah memetik bunga-bunga itu untuknya. Seminggu setelah peristiwa kebakaran yang membuat Angella pingsan, Earl datang dari Skotlandia. “Selamat datang, Papa,” sambut Oscar ketika melihat ayahnya turun dari kereta, “Bagaimana perjalanan Papa?” “Oscar!” tegur Frederick melihat tingkah Oscar yang seperti anak kecil yang dengan penuh semangat menyambut kedatangan orang tuanya, “Jangan seperti anak kecil. Papa baru datang, ia tentu lelah.” “Biarkan, Frederick. Kita semua tahu, ia memang selalu penuh canda sehingga membuat dirinya selalu tampak seperti anak kecil,” kata Earl. “Selamat siang, Paman Hendrick,” kata Vladimer ketika Earl melihat padanya. “Bagaimana kabarmu, Vladimer? Sudah lama kita tidak berjumpa,” kata Earl, “Kapan engkau tiba?” “Sehari setelah Paman berangkat ke Skotlandia,” kata Vladimer. “Sayang sekali. Seharusnya aku tidak pergi ke sana sehingga aku bisa bertemu denganmu,” kata Earl. “Jangan menyesal, Papa. Bukankah Vladimer masih berada di sini saat ini?” kata Frederick. “Ya, benar. Sekarang ceritakan padaku, Vladimer apa yang kaulakukan selama bertahun-tahun engkau mengurung dirimu di Eton dan membuat dirimu terkenal sebagai manusia es.” Earl terdiam. Ia melihat sekeliling Ruang Besar seperti mencari sesuatu. “Di mana gadis esku?” tanya Earl pada Frederick dan Oscar. 107

Frederick dan Oscar tersenyum melihat kebingungan ayahnya sedangkan Vladimer tidak mengerti siapa yang disebut Earl dengan gadis es. “Angellakah gadis es yang Paman maksud?” tanya Vladimer. “Ya, aku lebih sering memanggilnya demikian,” kata Earl. “Ia sakit,” jawab Frederick. “Sakit?” kata Earl tak percaya, “Selama ini gadis esku jarang sakit. Mengapa ia sampai bisa sakit?” “Jangan melihat kami seperti itu, Papa,” kata Oscar. “Kami merasa bersalah karena tidak menjaganya dengan baik sehingga ia jatuh sakit,” kata Frederick. “Sebenarnya apa yang telah terjadi?” tanya Earl ketika mendengar suara tawa anak kecil di lantai atas. “Mari kita ke Ruang Perpustakaan, Papa. Kami akan menceritakannya di sana,” kata Frederick. Earl mendahului mereka menuju Ruang Perpustakaan. Ia duduk di depan ketiga pria itu seperti seorang hakim yang tengah menanti pengakuan terdakwanya. “Suara tawa yang tadi Papa dengar itu adalah tawa Charlemagne,” kata Frederick memulai ceritanya. “Charlemagne?” ulang Earl, “Sepertinya aku pernah mendengar nama itu.” “Itu nama raja yang mendirikan Kerajaan Romawi Kuno,” sahut Vladimer. “Ya, aku ingat ia memang raja yang besar. Mengapa anak itu mempunyai nama seperti itu?” “Kami tidak tahu, Papa. Orang tua anak itu tewas dalam kebakaran yang menimpa Boudini’s Theatre dan kami membawanya kemari karena Angella berusaha menyelamatkan anak itu dalam peristiwa itu,” kata Frederick. “Bagaimana kejadiannya?” tanya Earl. Bergantian mereka bertiga mengulangi kejadian itu kepada Earl dan mejawab semua pertanyaan yang ditujukan Earl pada mereka. Mereka sibuk bercakap-cakap sehingga tidak mendengar suara pintu dibuka. “Papa!” kata Angella. “Kukira aku tidak akan mendapat sambutan darimu kali ini,” goda Earl sambil memeluk putrinya yang berjalan mendekat. “Snow

Angel,

mengapa

engkau 108

meninggalkan

kamarmu?”

tanya

Frederick. “Apakah engkau juga hendak melarang aku menemui Papa?” tanya Angella tajam. “Aku tidak melarangmu, tetapi engkau masih belum boleh keluar kamar. Engkau tahu itu,” kata Frederick. “Mengapa engkau melanggar peraturan yang dibuat kakak-kakakmu, gadis esku?” tanya Earl. “Karena

mereka

mengurungku

di

sana

dan

tidak

mengijinkanku

meninggalkan tempat tidurku.” “Turutilah kakak-kakakmu. Mereka tahu apa yang terbaik untukmu. Kembalilah ke kamarmu dan beristirahatlah, Nanny pasti cemas bila tahu engkau meninggalkan kamarmu sedangkan tubuhmu masih lemah.” “Nanny sedang menemani Charlie. Ia mengira aku sedang tidur,” kata Angella. “Kembalilah ke kamarmu, Snow Angel,” kata Frederick. “Vladimer, antarkan Snow Angel. Aku yakin ia mau bila engkau yang mengantarkannya,” goda Oscar. Angella menatap tajam kepada Oscar sebelum ia beralih pada Vladimer yang enggan melihat padanya. “Aku bisa kembali ke kamarku sendirian,” kata Angella tajam kemudian ia segera pergi meninggalkan mereka. “Vladimer, antarkan gadis esku. Aku takut ia jatuh,” kata Earl. “Baik, Paman,” kata Vladimer dengan enggan. Dengan enggan pula Vladimer mendekati Angella yang sedang membuka pintu dan sebelum gadis itu bisa berbuat apa-apa, ia mengangkat tubuhnya dan membawanya meninggalkan ruangan yang sekarang dipenuhi tawa Frederick dan Oscar. “Apa yang terjadi pada mereka berdua? Mengapa mereka seperti orang yang sedang bermusuhan?” tanya Earl tak mengerti. “Beginilah, Papa, pertemuan dua manusia es yang terkenal itu. Kami tidak tahu mengapa mereka bersikap seperti dua musuh yang harus berhadapan,” kata Oscar. Earl menggelengkan kepalanya. “Terlalu banyak yang terjadi selama aku pergi.” “Tentu saja, Papa. Banyak yang terjadi selama dua manusia es itu dipertemukan dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya,” kata 109

Frederick. “Aku yakin selama perjalanan menuju kamar Angella, mereka berdua pasti berdiam diri sambil membuang muka,” sahut Oscar, “Aku ingin melihat mereka tetapi aku takut menganggu.” Beberapa hari setelah kedatangan Earl, mereka sekeluarga menjadi bingung karena tidak lama lagi akan tiba hari pernikahan Earl dan Countess. Biasanya mereka selalu merayakannya. Setiap tahunnya mereka mengadakan pesta dan mengundang kawan-kawan dekat Earl dan Countess. Tetapi tahun ini mereka tidak tahu apakah akan tetap mengadakan pesta atau tidak sebab Angella masih belum sembuh benar. Angella mengetahui itu dan ia bersikeras agar mereka tetap mengadakan pesta tahunan mereka. Ia mengatakan ia sudah sembuh dan cukup kuat untuk hadir di pesta tersebut. Kedua

kakak

Angella

yang

tidak

menginginkan

orang

tuanya

membatalkan pesta tahunan mereka juga ikut bersikeras agar mereka tetap mengadakan pesta tersebut. Mereka berjanji akan mengawasi Angella selama pesta itu. Setelah dipaksa putra-putrinya, akhirnya Earl dan Countess tetap melaksanakan pesta tahunan itu. Beberapa hari sebelum pesta tersebut dilaksanakan, semua orang di Troglodyte

Oinos tampak

sibuk

kecuali Angella

sebab

ia

masih

diperbolehkan meninggalkan tempat tidurnya oleh kakak-kakaknya.

110

tidak

12

Pesta itu berlangsung meriah. Angella berdiri di dekat kolam air mancur bersama kakak-kakaknya dan Vladimer serta Charlie. Orang tuanya tampak gembira mendapat ucapan selamat dari teman-temannya. Orang tua Vladimer juga diundang ke pesta ulang tahun perkawinan itu. Mereka berdiri tak jauh dari orang tua Angella. Mereka tampak sedang berbincang-bincang dengan tamu-tamu yang lain. Angella

tampak

anggun

dengan

gaun

yang

dikenakannya.

Gaun

berlengan panjang itu diberikan kepadanya oleh Frederick sehari sebelum pesta dilangsungkan. Frederick memaksanya mengenakan gaun itu selama pesta sebab pesta itu dilangsungkan di halaman rumah. “Mengapa aku harus mengenakan gaun itu?” tanya Angella saat Frederick memberikan gaun itu kepadanya. Frederick meletakkan gaun itu di kursi yang selalu diletakkan di depan perapian oleh Angella. Kemudian ia memandang Angella yang sedang bersandar pada tepi tempat tidurnya. Angella tidak melihat pada gaun merah muda yang dibawanya. Mata gadis itu mengawasi langit yang mulai gelap di luar melalui pintu beranda kamarnya yang terbuka. “Karena pesta itu akan diadakan di halaman dan engkau tidak boleh terkena angin malam yang dingin,” jawab Frederick. “Tetapi, Freddy, aku sudah mempunyai banyak gaun yang juga berlengan panjang seperti gaun itu,” kata Angella. “Engkau harus mengenakan gaun itu. Gaun itu khusus dipesan untukmu oleh Mama. Mama ingin engkau mengenakannya dalam pesta itu,” kata Frederick memaksa Angella. “Tolong katakan pada Mama, aku berterima kasih atas gaunnya tetapi aku tidak dapat menerimanya. Gaunku sudah terlalu banyak.” “Mama akan sedih sekali bila tahu engkau menolak mengenakan gaun yang sengaja dipesannya untukmu. Kenakanlah gaun ini di pesta esok malam.” “Jangan membujukku terus, Freddy!” 111

“Jangan kembali lagi menjadi Snow Angel lagi. Lebih baik engkau menjadi Angella yang manis dan penurut,” goda Frederick. “Bila engkau tidak menyukainya, silakan pergi,” kata Angella tajam. “Rupanya aku harus memanggil bantuan untuk membujukmu,” kata Frederick. “Siapapun yang membantumu tidak akan membuatku terbujuk.” Frederick menggelengkan kepalanya dan berkata, “Jangan terlalu yakin, Angella. Aku bisa menyakinkanmu bahwa ia akan berhasil membujukmu.” “Silakan coba,” kata Angella tetap tajam. “Sungguh? Apakah engkau nanti tidak menyesal?” kata Frederick menantang adiknya. “Untuk apa mundur bila aku telah yakin.” “Baiklah. Aku akan meminta bantuan Vladimer, mungkin ia dengan sikapnya yang dingin itu mampu membuatmu mau mengenakan gaun itu.” Angella mengeluh mendengar nama Vladimer disebut Frederick, “Oh, jangan dia lagi. Aku tidak ingin bertemu dengannya.” “Sungguh? Mungkin saat ini engkau mengatakan tidak tetapi siapa tahu esok engkau mengatakan yang sebaliknya,” goda Frederick. “Tidak. Sekarang dan selamanya,” kata Angella tajam. “Bila demikian, engkau harus mau mengenakan gaun itu? Atau aku akan meminta Vladimer untuk membujukmu,” kata Frederick. Dalam beberapa hari ini, semua orang yang tinggal di Troglodyte Oinos telah mengetahui Angella dan Vladimer tengah bermusuhan. Tidak seorangpun dari mereka yang saling menyapa.Tidak ada yang tahu penyebab permusuhan mereka ini kecuali mereka sendiri. Countess sangat sedih ketika mengetahui antara Angella dan Vladimer tumbuh semacam permusuhan yang tidak kentara. Berlainan dengan kedua kakak Angella, mereka tidak merasa sedih adik mereka bermusuhan dengan sahabat mereka. Mereka semakin rajin menggoda Angella. Kali ini Angella tidak selalu diam saja bila digoda. Kedua kakak Angella telah mendapatkan apa yang mereka harapkan, Angella sering bersemu merah bila mereka menggoda gadis itu. Tetapi mereka tidak berhenti menggoda Angella seperti yang mereka katakan bahwa mereka akan berhenti menggoda Angella bila gadis itu telah bersemu merah bila mereka menggodanya. Setiap hari mereka tidak hanya rajin menggoda Angella tetapi juga Vladimer. 112

Mereka menduga permusuhan mereka ini bagaikan jalan bagi Vladimer dan Angella untuk dapat menyadari bahwa mereka saling mencintai. Sejak kecil Angella selalu terlihat lebih menyayangi Vladimer dari pada kedua kakaknya yang selalu menggodanya. Setiap kali ia diganggu Frederick atau Oscar, ia selalu berlari kepada Vladimer. Vladimer pun tidak pernah mengabaikan Angella. Ia selalu membela Angella dan menjaganya seperti menjaga adiknya sendiri. Sikap Angella yang seperti itu sering membuat Frederick dan Oscar merasa cemburu pada Vladimer. Mereka marah pada Vladimer yang lebih sering mendapatkan perhatian dari Angella kecil yang manis. “Baiklah, aku akan mengenakan gaun itu di pesta kebun besok malam,” kata Angella mengalah. Pilihan mengadakan pesta di halaman Troglodyte Oinos itu memang tepat karena bersamaan dengan akan diadakannya pesta itu, bunga-bunga di taman bunga bermekaran semua seperti ikut menyambut dan memeriahkan pesta itu. Angella merasa senang dapat keluar kamarnya setelah pada hari-hari sebelumnya ia tidak diijinkan meninggalkan kamarnya oleh kakak-kakaknya. Ia merasa seperti seekor burung yang baru dilepaskan dari sangkarnya. Charlie berdiri dengan tenang di sisi Angella. Tangannya menggandeng tangan Angella. Ia tidak henti-hentinya mengagumi pesta itu. Tingkahnya yang lucu itu membuat mereka tertawa. Seseorang datang mendekati mereka. “Selamat malam, Snow Angel. Engkau tampak cantik sekali malam ini,” kata laki-laki itu. Suasana ceria di antara mereka menjadi beku ketika pria itu datang. Ia mengulurkan tangan hendak mencium tangan Angella, namun gadis itu menepisnya. “Ada keperluan apa engkau kemari, Danny?” tanya Frederick. “Oh, engkau Frederick. Maaf aku tidak melihatmu sebelumnya. Aku kemari hendak mengajak adikmu berdansa denganku nanti,” kata Danny. “Maaf, Danny. Engkau terlambat, Angella sudah berjanji akan berdansa dengan Vladimer,” kata Oscar. Angella diam memandang tajam pada Oscar kemudian kepada Danny. “Bila keperluanmu telah selesai, silakan pergi,” katanya tajam setajam tatapan matanya. “Jangan begitu! Biarkanlah aku ikut bercanda bersama kalian. Aku 113

melihat kalian sedang asyik bercanda tadi,” kata Danny. “Mari kita pergi, Charlie,” kata Angella sembari menggandeng Charlie menjauh. Pria itu menyadari keberadaan Charlie ketika Angella mengajaknya menjauh. Ia memandang Charlie dan merasa pernah melihatnya. Vladimer segera mengikuti Angella yang pergi menjauh itu. Kedua kakak Angella tetap berdiri di dekat kolam itu untuk menghadapi Danny. “Engkau telah melihat sendiri bahwa Angella tidak menyukaimu. Mengapa engkau tidak berhenti mengganggunya?” kata Frederick. “Aku tidak merasa ia tidak menyukaiku. Sebaliknya aku merasa ia sebenarnya

menyukaiku

hanya

saja

kalian

yang

melarangnya

bergaul

denganku. Bila ia tidak menyukaiku, mengapa ia menjauh dariku?” kata Danny dengan penuh percaya diri. “Dengar, Danny! Kami tidak ingin engkau merusak pesta ini, jadi pergilah menjauh dari Angella. Tidakkah engkau melihat Angella dan Vladimer?” kata Oscar menahan marah sambil menunjuk Vladimer dan Angella yang berdiri di bawah pepohonan menanti mereka. Danny melihat ke arah yang ditunjuk Oscar. Ia melihat Vladimer dan Angella memandang sama dinginnya kepadanya. Ia merasa gentar ketika teringat perjumpaannya yang pertama dengan Vladimer. “Baiklah, aku akan pergi. Tetapi aku berjanji aku akan tetap berusaha menaklukkan Snow Angel,” kata Danny. “Aku peringatkan kepadamu, Danny. Rintanganmu akan menjadi semakin sulit dari yang sebelumnya. Karena kini Angella sedang dekat dengan Vladimer,” kata Frederick memanasi Danny. “Aku tidak akan putus asa mendengar kata-kata kalian,” kata pria itu. “Kami tahu engkau akan terus berusaha hingga berhasil. Kami hanya ingin memperingatimu,” kata Oscar kepada Danny ketika ia pergi menjauh. Setelah pria itu menjauh, mereka berjalan ke tempat Vladimer dan Angella menanti mereka. Mereka berdua sedang berbincang-bincang dengan orang tua Vladimer. “Kalian juga tampak lebih dewasa dari saat terakhir kali kita bertemu,” kata Duke. “Sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana keadaan Anda berdua?” kata Frederick. “Kami baik-baik saja. Bagaimana keadaan kalian? Kami dengar kalian 114

sekarang sibuk menjadi pengawal Angella,” kata Duchess. “Ya, kami sekarang memang sibuk menjaga Angella. Baru-baru ini ia sakit, sehingga kami harus menjaganya lebih ketat dari sebelumnya,” kata Oscar. “Oh… Apakah engkau sudah merasa lebih baik sekarang, Angella?” Duchess merasa prihatin. “Ia sudah lebih baik sekarang. Tetapi kami merasa masih harus tetap mengawasinya ke manapun ia pergi,” kata Frederick sebelum Angella menjawab. “Kalian sangat menyayangi adik kalian hingga merasa wajib menjaganya dalam keadaan apapun,” kata Duchess, “Di mana, Nanny? Aku tidak melihatnya sejak tadi. Biasanya ia berada di sampingmu, Angella.” “Nanny sekarang berada di Ruang Kanak-Kanak. Mungkin sekarang ia sedang menyiapkan tempat tidur bagi Charlie,” kata Frederick. “Nama anak ini Charlie? Sejak tadi aku ingin tahu nama anak itu, anak itu tampaknya mirip sekali dengan seseorang,” kata Duke. “Kami juga merasa ia mirip seseorang, tetapi kami tidak ingat siapa yang memiliki wajah seperti anak itu,” kata Frederick. “Di mana orang tuamu, Charlie?” tanya Duchess. “Orang tuanya telah meninggal, Mama,” kata Vladimer. “Aku turut bersedih. Apakah orang tuanya telah lama meninggal? Mengapa ia berada di sini?” tanya Duchess ingin tahu. “Orang tuanya baru saja meninggal beberapa minggu yang lalu dalam kebakaran yang menimpa Boudini’s Theatre,” kata Frederick. “Ia putra Mr. dan Mrs. Boudini. Kami yang membawanya kemari sebab kami merasa kasihan kepada anak malang ini,” tambah Oscar. “Tentunya anak itu masih sangat terkejut setelah peristiwa itu,” kata Duchess. “Engkau jangan membuat anak itu semakin teringat peristiwa yang membuatnya kehilangan kedua orang tuanya itu,” tegur Duke kepada istrinya. “Bagaimana liburanmu di sini, Vladimer?” tanya Duchess. “Menyenangkan, Mama,” jawab Vladimer. “Dan sangat seru. Kunjungan Vladimer kali ini berbeda dari kunjungankunjungannya yang sebelumnya,” tambah Oscar. “Mengapa demikian?” tanya Duches tak mengerti. “Dalam kunjungannya kali ini ia harus berhadapan dengan Snow Angel 115

yang sikapnya sama dinginnya dengan dirinya,” jawab Frederick. “Dan ia harus menghadapi permusuhannya dengan Snow Angel,” kata Oscar. “Oh, benarkah kalian bermusuhan?” tanya Duchess pada Angella dan Vladimer, “Mengapa kalian bermusuhan?” “Tidak apa-apa, Mama. Hanya sedikit kesalahpahaman di antara kami. Dan pasti kesalahpahaman itu akan segera terselesaikan,” kata Vladimer. “Lebih baik kalian segera menyelesaikan kesalahpahaman itu,” saran Duchess. “Mari kita pergi sekarang. Kita masih harus memberi selamat kepada Earl dan Countess of Trintonville,” kata Duke pada Duchess. “Silakan kalian melanjutkan perbincangan kalian. Kami akan pergi sekarang,” kata Duchess. “Aku yakin saat ini Danny akan merasa sangat marah sekali,” kata Oscar ketika orang tua Vladimer meninggalkan mereka berlima. Frederick menceritakan percakapan mereka dengan Danny kepada mereka. Angella diam saja mendengarnya. Vladimer tampak sangat jengkel mendengar cerita mereka. “Suatu hari nanti harga dirinya yang tinggi itu akan jatuh dan hancur berkeping-keping,” kata Angella tajam. “Kejam sekali kata-katamu itu,” kata Oscar. “Ada yang datang mendekat,” kata Frederick ketika melihat seorang pemuda datang mendekat. “Ada apa, Neil?” tanya Frederick ketika pemuda itu sudah dekat. “Kakakku mengatakan ia tidak akan berhenti sebelum ia berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya,” kata pemuda itu sambil menatap Angella. Angella

menatap

tajam

kepada

anak

itu

dan

berkata,

“Katakan

kepadanya walaupun gunung es telah berubah menjadi taman bunga, taman bunga itu takkan mengijinkannya datang.” “Apa maksud perkataan Anda?” tanya Neil. “Bila ia sepandai yang dikatakannya, ia akan mengerti,” kata Angella tanpa mengurangi ketajaman kata-katanya. “Rupanya kedinginanmu muncul kembali setelah selama engkau sakit kedinginan hatimu itu hilang,” kata Oscar mendengar kata-kata tajam adiknya. “Apa arti kata-kata itu?” tanya Charlie. 116

“Kelak engkau akan mengerti,” jawabnya. “Sejujurnya, aku sendiri tidak mengerti arti kata-katamu itu tadi,” kata Oscar. “Adalah suatu khayalan yang terlalu tinggi bila Danny mengharapkan aku mau berbicara dengannya,” terang Snow Angel. “Tidak

hanya

terlalu

tinggi

tetapi

juga

sangat

tinggi,”

Oscar

membenarkan kata-kata adiknya. “Lihat, Oscar! Siapa yang datang mendekat itu?” kata Frederick. “Mengapa wanita itu tidak juga berhenti mengejarku?” keluh Oscar. “Keponakan dan bibi sama saja, bila sudah mengejar tak akan berhenti hingga berhasil,” kata Vladimer. “Engkau benar, Vladimer. Mereka semua sama saja. Aku lebih baik pergi sekarang,” kata Oscar. “Percuma, Oscar. Ia akan terus mengejarmu. Lebih baik bila engkau menolaknya dengan tegas,” kata Vladimer. “Selamat malam, Oscar. Mengapa akhir-akhir ini aku tak melihatmu?” tanya Lady Elize. “Kami menjaga Angella selama ia sakit,” kata Oscar. “Ya, aku telah mendengar dari Danny bahwa adik kalian sakit.” Lady Elize melihat pada Angella dan berkata, “Sepertinya ia sudah tampak sembuh sekarang.” “Belum, ia belum sembuh benar,” kata Frederick ketika ia melihat Angella hendak membenarkan kata-kata Lady Elize. “Ia masih memerlukan pengawalan kami,” kata Oscar, “Karena itu aku tidak mempunyai waktu untuk berbicara apalagi berdua dengan Anda, seperti yang Anda inginkan.” “Siapa dia?” tanya Lady Elize melihat Vladimer. “Ia teman kami, Vladimer,” jawab Frederick. “Vladimer, putra tunggal Duke dan Duches of Cardington rupanya. Lalu siapa anak itu?” tanya Lady Elize melihat anak yang memegang tangan Angella. Sesaat ia tampak terkejut melihat wajah anak itu, ia mengenal baik wajah itu. “Apabila urusan Anda telah selesai silakan pergi,” kata Angella yang menyadari tatapan Lady Elize kepada Charlie. Ia merasa cemas karena tatapan Lady Elize itu. Ia tidak ingin mendekatkan Charlie lebih lama lagi dengan 117

wanita itu. “Mari kita pergi, Charlie. Aku akan menceritakan tentang patung-patung yang ada di kolam itu kepadamu.” Mereka berdua berjalan menuju kolam air yang terletak di depan Troglodyte Oinos. Angella mendudukkan Charlie di pinggiran kolam itu kemudian ia memulai ceritanya. Charlie tampak senang sekali mendengar ceritanya. Angella terus bercerita tanpa mempedulikan tatapan beberapa orang yang terkejut melihatnya bersama seorang anak kecil. Ketiga pria yang selalu menjaganya itu menyadari keinginan Angella yang ingin menyendiri dengan Charlie. Mereka mengawasinya dari kejauhan di bawah kerimbunan pepohonan hutan sekeliling Troglodyte Oinos. “Aku ingin mendengar cerita Hercules lebih banyak lagi,” kata Charlie. “Apakah engkau menyukai Hercules?” tanya Angella. “Iya. Aku sangat menyukainya,” jawab Charlie. “Baiklah. Aku akan menceritakan lebih banyak lagi kepadamu. Aku akan bercerita mengenai kedua belas tugas Hercules.” “Apakah tugas-tugas itu berat?” tanya Charlie ingin tahu. “Ya, sangat berat. Hanya ia yang dapat melakukannya.” “Ia pasti sangat hebat sekali.” “Ya, ia sangat hebat. Tunggulah di sini. Aku akan mengambilkan buku yang berisi mengenai Hercules dan kedua belas tugasnya itu di Ruang Perpustakaan,” kata Angella. Angella berjalan meninggalkan Charlie menuju Ruang Perpustakaan. Ia mencari buku itu di rak-rak yang terletak di sekeliling tembok Ruang Perpustakaan. Ia dapat menemukan buku itu dengan mudah sebab ia sering membaca buku-buku tentang Yunani Kuno itu. Dengan buku di tangannya, ia berjalan kembali ke tempat Charlie. Ia terkejut ketika melihat anak itu dikelilingi banyak orang. Ia berdiri mengawasi Charlie di pintu depan. Ia melihat tidak ada salahnya membiarkan Charlie bergaul dengan banyak orang. “Rupanya hanya engkau yang dapat menaklukan kedinginan Snow Angel,” kata seorang pria. “Kami yang telah dewasa ini kalah oleh anak kecil sepertimu,” kata pria yang lain. “Wajahnya mirip seseorang, tetapi siapakah orang itu?” kata seseorang. “Aku ingat. Wajahnya mirip dengan Earl of Wicklow.” 118

“Ya, benar. Aku ingat sekarang. Wajahnya mirip sekali dengan Earl of Wicklow.” “Sebenarnya siapakah engkau, Nak?” Angella terkejut mendengar kata-kata orang-orang itu. Ia bergegas mendekati Charlie dan menatap mereka dengan tajam. Mereka memberi jalan kepada gadis itu. Charlie menangis melihat kedatangan gadis itu. Rupanya ia ketakutan dikelilingi banyak orang. Ia mengulurkan tangannya melihat gadis itu mendekat. Angella memberikan buku yang dibawanya kepada Charlie kemudian menggendong Charlie menjauh dari kerumunan orang-orang itu. “Charlie, hari sudah malam. Aku akan bercerita kepadamu di Ruang Kanak-Kanak,” bisiknya kepada Charlie yang tampak lelah. Ketika ia semakin mendekati pintu depan Troglodyte Oinos, ia dihadang seseorang. Orang itu menghalangi jalan di pintu depan. “Siapa anak itu? Mengapa ia mirip sekali dengan kakakku?” tanya Lady Elize. “Apakah Anda tidak mengenali keponakan Anda sendiri, Lady Elize?” kata Angella tajam. Lady Elize tampak terkejut mendengar kata-kata tajam Angella. “Apa maksud perkataan Anda?” tanyanya Angella tidak menghiraukan pertanyaan wanita itu. Ia terus berjalan menuju Ruang Kanak-Kanak, meninggalkan pertanyaan di benak wanita itu. Charlie sudah tertidur di gendongannya ketika ia sampai di ruang itu. Nanny yang telah menanti Charlie di ruang itu segera menyiapkan tempat tidur ketika melihat Angella datang dengan menggendong anak yang telah tertidur itu. “Ia tampak lelah sekali,” kata Nanny setelah Angella meletakkan Charlie di atas tempat tidur. “Saat ini memang telah melewati jam tidurnya.” “Tuan Puteri, Anda kembalilah ke pesta itu. Saya akan menjaga Charlie,” kata Nanny. “Terima kasih, Nanny. Engkau telah menjaganya selama aku sakit.” “Tidak apa-apa, Tuan Puteri. Saya senang dapat menjaga anak sebaik dia.” “Ia tentu telah banyak merepotkan Anda.” 119

“Tidak. Ia tidak merepotkan saya,” bantah Nanny, “Memang pada hari pertama kedatangannya ia sulit diatur. Tetapi pada hari-hari berikutnya ia menjadi penurut.” “Terima kasih, Nanny. Engkau telah bersabar menghadapinya,” kata Angella. Angella tidak kembali ke pesta itu seperti yang disarankan Nanny. Ia meninggalkan Troglodyte Oinos melalui pintu belakang dan terus berjalan ke hutan. -----0----“Mengapa Snow Angel belum kembali juga?” tanya Oscar cemas. “Tenanglah. Mungkin ia sekarang sedang bersama Nanny menjaga anak itu,” kata Frederick. “Aku akan melihatnya di Ruang Kanak-Kanak.” Vladimer merasa cemas. Ia melihat Angella tadi tampak pucat ketika ia berjalan mendekati Charlie. Entah apa yang telah membuatnya pucat. Mereka melihat Angella menggendong Charlie memasuki rumah. Dan sudah lama ia sejak ia mengantarkan Charlie kembali ke Ruang Kanak-Kanak, namun ia belum tampak juga. Dari

tempat

mereka

berdiri,

mereka

dapat

melihat

Lady

Elize

menghadang Angella. Lady Elize tampak mengatakan sesuatu kepada Angella. Kemudian Angella menjawabnya dengan tajam sehingga membuat wajah Lady Elize tampak pucat. Nanny duduk di kursi kesayangannya mengawasi Charlie. Ia melihat Vladimer datang dan bertanya, “Ada apa, Tuan Muda?” “Tidak ada apa-apa, Nanny. Aku hanya ingin melihat Charlie,” katanya berbohong. Vladimer melihat Charlie yang tertidur dengan nyenyak itu. Matanya mencari Angella, namun ia tidak dapat menemukan gadis itu. Di depan kamar gadis itu, ia berhenti dan mengetuk perlahan daun pintu itu. Ketika tidak ada jawaban ia membuka pintu kamar itu dan melihat kamar itu kosong. Sambil mememikirkan keberadaan gadis itu, ia kembali ke bawah kerimbunan pepohonan, tempat kakak-kakak Angella menunggunya. “Di mana dia?” tanya mereka serempak. 120

“Aku tidak menemukannya baik di Ruang Kanak-Kanak maupun di kamarnya,” jawab Vladimer. “Tetapi jangan cemas aku dapat menduga ia berada di mana sekarang.” “Di mana?” tanya Oscar ingin tahu. “Aku menduga ia berada di danau kecil yang terletak di belakang rumah,” jawab Vladimer. “Apa yang dilakukan anak itu di sana?” kata Frederick cemas. “Jangan marah dulu. Aku hanya mengatakan aku menduga, belum tentu ia berada di sana,” kata Vladimer. “Engkau kembali membela Snow Angel lagi setelah selama beberapa hari ini tidak membelanya lagi,” tuduh Oscar. “Aku menduga ia sedang merenungkan sesuatu di sana,” kata Vladimer. “Biasanya, ia senang berada di danau kecil itu sambil melamun.” “Tetapi mengapa harus tengah malam seperti ini?” kata Frederick. “Aku tidak tahu. Menurut pendapatku, ia sekarang sedang memikirkan anak itu. Tadi sewaktu aku berjalan menuju rumah, aku mendengar beberapa orang yang membicarakan kemiripan anak itu dengan Earl of Wicklow,” kata Vladimer. “Earl of Wicklow!” seru Oscar terkejut. “Jadi inilah sebabnya mengapa aku merasa pernah melihat anak itu sebelumnya,” kata Frederick. “Tetapi apa hubungan anak itu dengan sang Earl?” tanya Oscar. “Aku tidak tahu, hanya Angella yang tahu,” kata Vladimer. “Mungkin sekarang adalah saat yang tepat untuk membujuk Angella mengatakan segalanya,” kata Frederick. “Siapa di antara kita yang akan membujuknya?” tanya Vladimer. Sebagai jawaban, kedua kakak beradik itu menatap Vladimer. “Mengapa aku?” tanya Vladimer. “Pertama, karena engkau selalu membela Snow Angel. Kedua, karena Snow Angel lebih mempercayaimu daripada kami berdua. Ketiga, karena engkau juga menyayangi Snow Angel. Keempat…,” kata Frederick. “Baik. Aku mengerti,” sahut Vladimer. Vladimer

berjalan

memutari

Troglodyte

Oinos

dan

terus

berjalan

menembus kegelapan hutan di sekeliling Troglodyte Oinos yang mencekam di bawah sinar bulan yang sesekali menampakkan dirinya dari balik awan-awan yang memayungi langit malam. 121

Angella duduk di sebuah batu di tepi danau itu. Matanya mengawasi bayangan bulan yang sesekali tampak di permukaan danau. Angin yang bertiup semilir sesekali mempermainkan rambutnya yang terurai. Kedua tangannya yang terletak di pangkuannya itu menopang wajahnya. Dari sikap duduknya, ia tampak sedang memikirkan sesuatu. Vladimer berjalan perlahan-lahan

mendekati gadis itu agar

tidak

mengejutkannya. Ia berdiri di sisi gadis itu. Angella menyadari keberadaan Vladimer, ia melihat sebentar kepada Vladimer kemudian memandang permukaan danau lagi. “Malam ini sangat dingin. Mengapa engkau termenung di sini seorang diri?” tanya Vladimer. Angella tidak menghiraukan pertanyaan Vladimer. Ia terus memandang bayangan bulan di atas permukaan danau. Vladimer

membungkuk

mengambil

sebuah

batu

kecil

kemudian

melemparkannya ke permukaan danau untuk mengalihkan perhatian Angella. “Mengapa engkau merusak bayangan bulan itu?” tuntut Angella. “Apa yang kaurenungkan di sini?” tanya Vladimer setelah berhasil mendapatkan perhatian Angella. Angella kembali diam memandang permukaan danau. Bayangan bulan di permukaan danau itu mulai muncul kembali setelah dirusak Vladimer. “Apakah engkau memikirkan Charlie?” Diam tak ada jawaban. “Apakah Charlie putra Earl of Wicklow?” Angella terkejut mendengarnya. Ia sama sekali tidak menduga Vladimer mengetahui apa yang dibicarakan oleh orang-orang yang tadi mengelilingi Charlie. Namun ia menahan dirinya untuk tidak bertanya lebih banyak kepada Vladimer. “Apakah itu benar?” desak Vladimer. Angella tetap tak bergeming. Ia seolah-olah terpaku pada pemandangan danau yang berkilau tertimpa cahaya rembulan padahal keseluruhan dirinya menanti dengan cemas kelanjutan perkataan Vladimer. “Katakanlah kepadaku yang sebenarnya. Apakah anak itu putra Earl of Wicklow? Engkau tidak dapat terus menerus menyembunyikan hal ini dari anak itu,” desak Vladimer. Angella menutup wajahnya. Kedua tangannya tampak gemetar di pangkuannya. Ia tampak berusaha keras menahan perasaannya. 122

Vladimer melihat Angella tampak menahan kesedihannya yang siap meluap itu. ia mengeraskan hati untuk tidak menghibur gadis itu. “Apakah

engkau

berniat

terus

menyembunyikan

kenyataan

yang

sebenarnya dari semua orang? Katakanlah kepadaku apakah itu benar?” “Pergilah, jangan menggangguku!” Angella akhirnya berbicara kepada Vladimer. “Aku tidak akan pergi sebelum segalanya menjadi jelas bagiku,” kata Vladimer mendesak Angella. “Pergilah!

Kumohon

pergilah.

Biarkan

aku

sendiri,”

kata

Angella

memohon. “Aku tahu engkau sedih memikirkan Charlie. Tidak dapatkah engkau membagi kesedihanmu itu denganku? Biarkanlah aku ikut memikirkan masalah yang merisaukanmu itu,” bujuk Vladimer. “Pergilah, Vladimer! Kumohon,” kata Angella memohon. “Engkau tidak dapat menyembunyikan hal itu terus menerus. Charlie mempunyai hak untuk mengetahui asal usulnya,” kata Vladimer lembut. Angella tidak pernah berniat menyembunyikan hal itu terus menerus dari Charlie. Ia berusaha keras menahan air matanya yang siap mengalir di pelupuk matanya. Ia merasa kata-kata Vladimer yang lembut itu mengembalikan masa lalu yang suram. “Apakah engkau sudah tidak mempercayaiku lagi?” tanya Vladimer. “Engkau kejam bila engkau tidak mau menceritakan segala sesuatunya kepada Charlie,” kata Vladimer ketika melihat Angella tetap diam. “Engkau kejam telah membuat anak itu tidak pernah bertemu dengan ibu kandungnya.” Akhirnya pertahanan Angella runtuh. Ia merasa sudah tidak dapat lagi menahan gejolak perasaannya. “Mereka jauh lebih kejam dari padaku. Aku tidak pernah berniat memisahkan

mereka.

Setiap

hari

aku

berpikir

bagaimana

cara

mempertemukan Charlie dengan… dengan… Jenny…, ibunya,” kata Angella. Vladimer terkejut mendengar nama ibu kandung Charlie. Sebelumnya Frederick telah menceritakan kepadanya bahwa Angella mengirim surat untuk Mrs. Dellas, nenek Jenny pada hari yang sama dengan kedatangan pertama Charlie. Kata Frederick, dulu Jenny adalah pelayan Angella dan beberapa tahun yang lalu ia secara tiba-tiba berhenti tanpa sebab yang jelas. Jenny lebih tua beberapa tahun dari Angella dan mereka berteman baik. Angella lebih sering 123

memperlakukan Jenny sebagai seorang sahabat daripada seorang pelayan. Mereka menduga Angella mengirimkan surat kepada nenek Jenny karena ia ingin mengetahui kabar Jenny yang mungkin telah bekerja di tempat lain. Mereka bertiga, Frederick, Oscar serta Vladimer tidak pernah menduga bahwa Jenny adalah ibu kandung Charlie. “Aku akan membantumu memecahkan masalah ini. Tetapi sebelumnya engkau harus menceritakan apa yang membuatmu memisahkan mereka berdua,” kata Vladimer. Angella marah sekali mendengar kata-kata Vladimer yang seperti menuduhnya telah berbuat kejam dengan memisahkan seorang anak dari ibunya. Ia memalingkan wajahnya dan menatap tajam Vladimer. Vladimer terkejut ketika melihat wajah Angella yang basah karena air mata itu. “Bukan aku yang membuat mereka harus berpisah! Bukan aku, tetapi keluarga itu,” kata Angella tajam. Angella menangis tersedu-sedu setelah mengucapkan kata-kata itu. Vladimer langsung memeluk gadis itu dan menghiburnya. Setelah tangis Angella mereda, ia bertanya dengan hati-hati, “Apa yang mereka lakukan kepada Jenny?” “Mereka telah menyakiti hatinya. Sangat menyakiti,” katanya terisakisak. Vladimer diam memeluk gadis itu, ia tidak mengatakan ataupun bertanya apa-apa. Ia tahu gadis itu akan bercerita kepadanya.

124

13

“Tuan Puteri, siapakah orang itu?” tanya Jenny kepada Angella. Saat itu mereka berada di kamar Angella. Mereka baru saja menemui tamu orang tua Angella yang hendak menginap selama beberapa hari. “Mengapa engkau ingin tahu nama orang itu? Apakah engkau tertarik padanya?” goda Angella. “Saya… saya…,” kata Jenny tersipu-sipu. “Saya apa?” goda Angella. “Saya… baru sekali ini menemui seorang pria setampan dia,” kata Jenny mengakui. “Lalu mengapa engkau bertanya nama orang itu kepadaku?” kata Angella terus menggoda Jenny yang tersipu-sipu itu. “Saya… saya jatuh cinta kepadanya,” jawab Jenny. “Ceritakan kepadaku Jenny, bagaimana rasanya jatuh cinta itu?” kata Angella ingin tahu. “Saya… saya… tidak tahu, Tuan Puteri. Tetapi perasaan itu membuat saya merasa bahagia sekali, seperti… seperti berada di surga,” kata Jenny. “Apakah itu benar, Jenny?” kata Angella semakin tertarik. “Tuan Puteri jangan bertanya lebih banyak lagi. Kelak Tuan Puteri juga akan jatuh cinta,” kata Jenny. “Kelak aku akan mencintai pria yang seperti apa?” tanya Angella pada dirinya. “Tentunya pria itu tampan sekali, Tuan Puteri,” kata Jenny. “Apakah ia akan setampan kakak-kakakku?” tanya Angella. “Tentunya pria itu tampan seperti Tuan Muda Vladimer. Menurut saya Tuan Muda Vladimer setampan kakak-kakak Anda. Hanya pria yang seperti itu yang pantas mendampingi Anda yang cantik jelita,” kata Jenny. “Engkau juga cantik Jenny,” kata Angella tersipu-sipu. “Tetapi saya tidak secantik Anda, Tuan Puteri,” kata Jenny. “Jangan memujiku terus menerus, Jenny,” kata Angella semakin tersipusipu karena perkataan pelayannya itu. “Anda memang pantas mendapatkan pujian-pujian, Tuan Puteri. Kelak 125

bila Anda sudah dewasa, Anda akan menjadi semakin cantik dan semakin banyak orang yang memuji Anda,” kata Jenny. “Engkau

ingin

tahu

atau

tidak

nama

pria

itu?”

tanya

Angella

menghentikan kata-kata Jenny yang terus memujinya. “Tentu saja saya ingin tahu, Tuan Puteri,” kata Jenny. Angella tersenyum melihat wajah Jenny yang memerah itu. Gadis itu tampak semakin cantik dengan wajahnya yang memerah itu. Hampir semerah rambutnya. Angella selalu mengagumi rambut Jenny yang kemerahan juga mata hijaunya. Ia menyukai warna hijau mata Jenny yang sehijau daun mawar. Angella selalu menginginkan memiliki mata yang hijaunya sehijau mata Jenny daripada warna matanya yang sebiru langit carah. “Pria itu adalah Earl of Wicklow. Namanya Kart.” Berhari-hari berlalu sejak mereka membicarakan kedatangan Earl of Wicklow. Sejak kedatangan Earl, Jenny jarang menemani Angella. Angella tidak pernah mengetahui di mana Jenny berada bila ia tidak bersama Jenny. Semula Angella sering ditemani Jenny. Namun sejak kedatangan Earl, Angella lebih sering bersama Nanny. Nanny sering bertanya kepadanya mengenai Jenny yang akhir-akhir ini jarang menemaninya lagi. Angella tidak pernah menjawab pertanyaan Nanny itu, ia hanya mengatakan, “Jenny pasti baik-baik saja, Nanny. Jangan Khawatir!” Pada suatu sore ketika Jenny menemani Angella memetik bunga di taman bunga, ia bertanya kepada Jenny. “Akhir-akhir ini engkau pergi ke mana, Jenny? Nanny sering bertanya mengenaimu kepadaku.” Jenny

tersenyum

malu-malu.

Angella

dapat

menebak

jawabannya

melihat wajah Jenny yang memerah. “Engkau sering bersamanya?” “Tuan Puteri, bolehkah saya besok selama sehari pergi ke luar rumah?” tanya Jenny malu-malu. “Ia mengajak saya jalan-jalan.” Melihat sikap Jenny yang malu-malu itu, Angella dapat menebak orang yang mengajak Jenny pergi. “Pergilah, Jenny.” “Apakah Anda bersungguh-sungguh, Tuan Puteri?” tanya Jenny tak percaya. “Jangan mencemaskanku. Pergilah, aku tahu engkau ingin sekali pergi dengan Earl,” kata Angella. “Nanny akan bersamaku selama engkau pergi. 126

Frederick dan Oscar juga akan selalu menjagaku.” “Tuan Muda Frederick dan Oscar selalu menjaga Anda dengan baik, Tuan Puteri. Anda beruntung mempunyai kakak-kakak yang sangat menyayangi Anda,” kata Jenny. “Kadang aku merasa mereka terlalu mencemaskanku. Entah aku berada di rumah, entah aku pergi, mereka selalu memaksaku untuk dijaga Nanny atau engkau. Bila kalian berhalangan, merekalah yang akan menjagaku,” keluh Angella. “Anda jangan mengeluh, Tuan Puteri. Mereka berbuat seperti itu karena mereka sangat menyayangi Anda,” tegur Jenny. “Aku

tahu

mereka

sangat

menyayangiku

sehingga

mereka

rela

mengawalku di manapun aku berada,” kata Angella. “Apakah kakakmu tidak menyayangimu, Jenny?” “Kakak saya sangat menyayangi saya hanya saja ia tidak dapat selalu menemani saya karena ia harus bekerja di tanah pertanian kami,” kata Jenny. “Aku ingin lekas dewasa sepertimu, Jenny. Bila aku telah dewasa mungkin Frederick dan Oscar tidak akan mengawalku ke manapun aku pergi lagi,” kata Angella. “Tak lama setelah Anda dewasa, Tuan Puteri,” kata Jenny, “Anda pasti akan menemukan seseorang yang menawan hati Anda.” Angella tersipu-sipu mendengar kata-kata Jenny. Keesokan harinya Jenny pergi tanpa diketahui seorangpun kecuali Angella. Nanny juga tidak menanyakan kepergian Jenny. Kedua kakaknya tidak mempedulikan Jenny yang menghilang. Tidak ada seorangpun yang menduga hari itu akan berakibat menjadi malapetaka yang berkepanjangan bagi Jenny. Angella

sangat

terkejut

ketika

Jenny

menceritakan

sesuatu

yang

membuat Angella menjadi sangat menyesal atas kecerobohannya. “Tuan Puteri, apa yang harus saya lakukan?” kata Jenny terisak-isak. “Apa yang terjadi, Jenny?” tanya Angella kebingungan. “Saya… saya… hamil,” kata Jenny tersendat-sendat. Petir di luar menggelegar dengan murka, seirama dengan petir yang menyambar hati Angella. Hujan di sore yang suram itu bagaikan alam yang turut bersedih akan keadaan Jenny. Petir bersahut-sahutan seakan-akan memarahi mereka. Rintikrintik air hujan memukul-mukul jendela kamar Angella seperti mengingatkan 127

mereka pada kesalahan mereka. Angella terdiam untuk sesaat dan kemudian berkata dengan sangat perlahan hampir seperti berbisik, “Engkau… hamil? Bagaimana ini bisa terjadi, Jenny?” Jenny diam menundukan kepala. Air matanya terus membasahi pipinya yang memucat itu. Angella bertanya lagi dengan perlahan, “Siapakah yang membuatmu begini, Jenny?” Dengan terbata-bata Jenny berkata, “Earl, Tuan Puteri.” Angella menjadi semakin terkejut mendengar nama itu. Ia mulai menyalahkan

dirinya

yang

telah

berbuat

ceroboh.

Ia

menyesal

telah

membiarkan Jenny dekat dengan Earl. “Mengapa ini bisa terjadi?” katanya menyalahkan dirinya. Mereka terdiam untuk sesaat, saling menyalahkan diri sendiri. “Jenny, maafkan aku. Ini semua karena kesalahanku. Andaikan aku tidak membiarkanmu…,” kata Angella. “Jangan menyalahkan diri Anda sendiri, Tuan Puteri. Sayalah yang harus disalahkan,” kata Jenny. “Apa yang akan engkau lakukan, Jenny?” tanya Angella. “Saya… saya akan memberitahu hal ini kepada Earl,” kata Jenny. “Earl berjanji kepada saya ia akan bertanggung jawab bila terjadi sesuatu.” “Benar,

Jenny.

Beritahukan

kepada

Earl,”

kata

Angella

memberi

semangat, “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.” Jenny terus menangis terisak-isak. Ia tampak putus asa dengan keadaannya. Angella menyalahkan dirinya sendiri melihat Jenny yang bersedih itu. Ia sangat menyayangi Jenny, ia tidak ingin seorang pun menyakiti Jenny. Tetapi sekarang… karena kecerobohannya, Jenny menjadi sedih. “Oh… Jenny, maafkan aku. Aku ini sangat ceroboh,” kata Angella. Keesokan paginya, Jenny pergi ke rumah Earl yang berjarak sekitar delapan puluh mil dari Troglodyte Oinos. Angella dengan cemas menanti di rumah. Seharian ia berada di gereja yang terletak di samping kiri rumahnya untuk berdoa bagi Jenny. Nanny yang menemaninya merasa heran melihatnya terus menerus berdoa sepanjang hari itu. Namun Angella tidak mengatakan apa-apa kepada Nanny. Angella menjadi sangat cemas ketika Jenny belum tiba pada sore hari itu. 128

Ia terus menanti Jenny hingga larut malam. Malam itu, Angella tidak dapat tidur karena mencemaskan Jenny. Ia sangat lega ketika pada siang hari berikutnya, Jenny muncul. Tetapi kelegaan hati Angella tidak bertahan lama. Ia menjadi cemas ketika melihat wajah Jenny kini menjadi kuyu. Angella menarik Jenny ke kamarnya dan bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi, Jenny? Mengapa engkau menjadi seperti ini?” Jenny menangis di pangkuan Angella. Membuat Angella menjadi semakin cemas. “Apa yang terjadi, Jenny? Katakanlah kepadaku,” kata Angella. “Mereka… mereka… mengusir saya, Tuan Puteri,” kata Jenny. Angella terkejut mendengar kata-kata itu. Ia diam tanpa mampu berbuat apa-apa. Hatinya menjadi sangat kacau karenanya. Marah, sedih, kasihan, bersalah, dan segala macam perasaan yang membuatnya tampak pucat. Dengan terbata-bata Jenny bercerita kepadanya: “Ketika saya tiba di rumah itu. Saya mengatakan kepada pelayan yang membuka pintu bahwa saya ingin menemui Earl. Semula pelayan itu tampak ragu-ragu, saya mengatakan berkata: “Tolonglah, ijinkan saya menemui Earl. Ini penting sekali.” Pelayan itu mengijinkan saya masuk lalu ia memanggil Earl. Tak lama kemudian, ia datang bersama seorang wanita muda. Wanita muda itu memandang rendah saya. “Apa keperluanmu bertemu dengan kakakku?” tanya wanita itu. “Ini penting sekali. Saya harus bertemu dengan Earl,” kata saya. “Saat ini ia tidak ada di rumah. Katakan saja keperluanmu kepadaku, nanti akan kusampaikan kepadanya,” kata wanita itu dengan kasar. “Saya tidak dapat mengatakannya kepada Anda. Saya harus bertemu dengannya. Tolonglah, ini sangat penting sekali,” kata saya memohon. “Bagiku juga penting untuk mengetahui tujuanmu menemuinya.” “Saya tidak dapat mengatakannya kepada Anda,” ulang saya, “Tolong berikan kertas dan pena kepada saya. Saya akan menulis keperluan saya datang kemari dan tolong berikan kepada Earl.” “Untuk apa membuang kertas untuk itu bila surat itu juga akan kubaca. Lebih baik engkau katakan saja keperluanmu atau aku tidak akan pernah mengijinkanmu menemui kakakku,” perintahnya. “Tolonglah ijinkan saya menemuinya. Ini menyangkut anaknya yang saya 129

kandung,” saya kelepasan bicara. Wanita itu tertawa mendengar kata-kata saya. “Jangan berbohong kepadaku. Kata-katamu itu takkan pernah membuatku percaya.” Saya menjadi pucat mendengar ejekan wanita itu. “Percayalah kepada saya, apa yang saya katakan ini benar.” “Engkau benar-benar membuatku ingin tertawa. Merupakan suatu keajaiban bila kakakku berhubungan denganmu apalagi sampai membuatmu hamil,” ejek wanita itu. Saya terus memohon kepadanya untuk mempercayai kata-kata saya. Tetapi wanita itu tidak memperdulikan saya. Ia menyuruh pelayannya mengusir saya. Saya terus mengetuk pintu itu dan memohon tak henti-hentinya. Tetapi mereka tidak mengijinkan saya masuk.” Angella merasa seperti diterpa angin ribut mendengar cerita Jenny. Wajahnya sepucat wajah Jenny. Untuk sesaat ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tampak sangat terkejut. Tanpa diberi tahu Jenny, ia dapat mengetahui seperti apa wanita yang tega mengusir Jenny. Ia mengenal wanita itu. Ia adalah Lady Elize. Adik Earl itu sangat menyukai kakaknya, Oscar. Wanita itu sangat cantik. Rambutnya sehitam kakaknya. Mata hijaunya selalu menatap rendah semua orang. Angella telah mengetahui kesombongan Lady Elize dan ia tidak pernah menyukai wanita itu, namun ia tidak pernah menampakkannya. Lady Elize sering mengajaknya bepergian sebab ia mengetahui satusatunya cara untuk mendapatkan Oscar adalah melalui adiknya. Oscar sangat menyayangi adiknya, ia selalu apa yang dikatakan Angella. Namun Lady Elize tidak pernah memperhitungkan bahwa Angella tidak pernah menyukai dirinya. Angella selalu menolak bila wanita itu mengajaknya. Ia lebih memilih bersama Nanny atau Jenny atau kedua kakaknya daripada bersama wanita itu. Tidak jarang pula Angella menunjukkan kepada Lady Elize bahwa ia tidak akan pernah merelakan Oscar kepadanya. Ia tidak pernah mengatakannya secara langsung kepada wanita itu. Tetapi sikapnya yang menjadi semakin tidak ingin jauh dari Oscar ketika wanita itu ada, telah cukup mengatakan kepada Lady Elize. Lady Elize tidak pernah menyerah. Ia telah mengetahui sikap Angella yang menentang keinginannya. Tetapi ia tetap memilih bersaing dengan gadis 130

itu daripada menyerah. “Maafkan semua kesalahanku, Jenny,” kata Angella sambil memeluk Jenny. “Andaikan aku tidak pernah mengijinkanmu.” Jenny semakin sedih mendengar Angella yang telah dianggapnya sebagai adik, menyalahkan dirinya sendiri. “Jangan menyalahkan diri Anda, Tuan Puteri. Anda tidak bersalah. Saya juga tidak menyalahkan Anda, karena itu janganlah menyalahkan diri Anda sendiri,” kata Jenny. “Apa yang akan engkau lakukan, Jenny?” tanya Angella. “Saya tidak tahu, Tuan Puteri. Mungkin saya akan pulang menemui ibu saya,” kata Jenny sedih. “Aku ikut denganmu, Jenny. Aku tidak ingin membiarkanmu pulang sendirian dalam keadaan seperti ini,” kata Angella. “Jangan, Tuan Puteri. Saya harus menghadapinya seorang diri,” kata Jenny. “Tetapi…” “Tuan Puteri, janganlah terus menyalahkan diri Anda. Saya tidak ingin Anda ikut bersedih,” kata Jenny terisak-isak. “Baiklah, Jenny. Bila engkau tidak ingin saya mengantarkanmu, maka saya ingin engkau menyerahkan surat saya kepada ibumu,” kata Angella. “Akan saya lakukan permintaan Anda, Tuan Puteri. Tetapi Anda tidak boleh terus menyalahkan diri Anda sendiri. Saya mohon kepada Anda untuk tidak menceritakan hal ini kepada siapa pun, Tuan Puteri.” Angella menganggukkan kepalanya dan segera menulis surat kepada ibu Jenny, Mrs. Dellas. Mrs. Dellas, melalui surat ini, saya ingin meminta maaf kepada Anda

atas

kecerobohan

saya.

Saya

mohon

Anda

jangan

menyalahkan Jenny. Ini semua karena kesalahan saya sehingga Jenny menjadi seperti ini. Andaikan saya tidak mengijinkannya pergi, tentu segalanya tidak akan menjadi seperti ini. Tetapi saat itu kami benar-benar tidak menduga akan berakibat seburuk ini. Saya

mengerti

permintaan

maaf

saja

tidak

akan

mampu

mengembalikan segalanya menjadi seperti semula. Saya tidak akan marah bila Anda tidak mau memaafkan saya, saya merasa memang sudah selayaknya itu saya terima karena kesalahan saya 131

yang tak dapat ditebus dengan apapun, bahkan dengan nyawa saya. Saya dengan tulus hati memohon kepada Anda untuk tidak menimpakan

semua

kesalahan

kepada

Jenny.

Saya

sangat

menyayangi Jenny, namun saya telah melakukan kesalahan besar kepadanya. Saya memohon kepada Anda dengan setulus hati saya. Angella Angella

memasukkan

surat

itu

ke

dalam

amplop

putih

dan

memberikannya kepada Jenny. “Kapan engkau akan pulang, Jenny?” “Besok, Tuan Puteri,” jawab Jenny. “Aku akan merindukanmu, Jenny. Aku menyayangimu,” kata Angella dengan sedih. “Saya juga akan sangat merindukan Anda, Tuan Puteri. Tetapi inilah satusatunya yang dapat saya lakukan,” kata Jenny, “Saya sangat menyayangi Anda, Tuan Puteri. Tidak hanya sebagai majikan tetapi juga sebagai adik saya.” Jenny segera berlari meninggalkan Angella dengan menangis setelah mengucapkan kata-kata perpisahan itu. Esok paginya, Angella tidak dapat menemui Jenny di mana-mana. Ia merasa sedih tidak dapat mengantar kepergian Jenny. Seharian ia mengurung diri di kamarnya. Nanny menjadi cemas melihatnya mengurung diri di kamar sepanjang hari. Ia masuk ke kamar Angella dan melihat gadis itu sedang menangis di tempat tidur. Nanny duduk di sampingnya. “Apa yang terjadi, Tuan Puteri? Mengapa Anda menangis?” tanya Nanny dengan cemas. Angella memeluk Nanny dan menangis lagi. “Jenny pergi, Nanny,” katanya tersedu-sedu. “Mengapa ia pergi?” tanya Nanny keheranan. Angella hampir saja mengatakan segalanya kepada Nanny. Tetapi kemudian ia ingat akan janjinya kepada Jenny. “Aku… aku tidak tahu, Nanny,” katanya berbohong. “Mungkin ia pergi ke suatu tempat, Tuan Puteri. Bukankah akhir-akhir ini Jenny sering menghilang?” kata Nanny menghibur Angella. Angella memeluk Nanny semakin erat dan berkata, “Tidak, Nanny. Ia 132

pergi dan tidak akan kembali. Aku melihatnya menata barang-barangnya kemarin.” Nanny

terkejut

mendengar

kata-katanya.

“Mengapa

ia

pergi

meninggalkan Anda?” Angella menggelengkan kepalanya dan terus menangis di pelukan Nanny. Nanny terus menghiburnya sepanjang hari itu. Keluarga Angella sangat terkejut ketika mendengar Jenny pergi. Mereka tidak pernah mengira bahwa Jenny akan tega meninggalkan Angella. Mereka tahu Jenny sangat menyayangi Angella, demikian pula Angella. Setiap hari kedua kakak Angella menghiburnya dan mengajaknya bepergian. Angella tahu kakak-kakaknya tidak ingin melihatnya bersedih karena itu ia selalu berpura-pura bahagia di hadapan mereka. Hari demi hari dilalui Angella dengan penuh kecemasan akan keadaan Jenny. Setiap malam ia mendoakan Jenny. Ia kini telah terbiasa tanpa kehadiran Jenny. Nanny dan kedua kakaknya selalu menemaninya, membuat Angella tidak merasa kesepian. Hari ini keluarga Angella akan berangkat ke Skotlandia, Angella tidak ikut walau mereka telah mengajaknya serta. “Benar, engkau tidak mau ikut?” tanya Countess. “Mama jangan mencemaskanku. Nanny akan menjagaku,” kata Angella meyakinkan mereka. “Jangan nakal selama kami tidak ada,” pesan Frederick. “Aku bukan anak kecil lagi, Freddy. Tanpa engkau nasehatipun aku telah mengerti,” kata Angella. “Engkau masih anak-anak, Angella. Dan akan selalu begitu di mata kami,” kata Oscar. “Segeralah pergi! Papa dan Mama telah menunggu kalian,” kata Angella marah. “Jangan marah seperti itu. Kami hanya mencemaskanmu, kami tidak ingin terjadi sesuatu padamu,” kata Frederick. “Aku mengerti,” kata Angella. Kedua kakaknya mencium pipinya dan berkata, “Selamat tinggal, Angella. Jaga dirimu baik-baik.” “Aku akan merindukan kalian.” “Kami juga akan merindukanmu, Angella.” Angella mengantar mereka hingga ke kereta. Ia melambaikan tangannya 133

hingga kereta itu menghilang. Kemudian bersama Nanny, ia masuk. Delapan bulan telah berlalu sejak kepergian Jenny tanpa ada kabar berita darinya. Dari hari ke hari Angella semakin mencemaskannya. Angella ingin sekali bertemu dengan Jenny, namun ia tidak mengetahui keberadaan Jenny. Beberapa hari setelah kepergian orang tuanya, Nanny jatuh sakit. Angella menemani Nanny setiap hari. “Sekarang keadaan kita menjadi terbalik,” kata Nanny sambil tersenyum. “Apa maksudmu, Nanny?” tanya Angella tak mengerti. “Biasanya saya yang menemani Anda. Sekarang terbalik, Anda yang menemani saya,” kata Nanny menerangkan. “Engkau lucu, Nanny. Aku merasa ini memang sudah seharusnya kulakukan. Aku menyayangimu, aku ingin selalu berada di sampingmu selama engkau sakit,” kata Angella tertawa. “Agar aku dapat mengawasimu. Apakah engkau menuruti kata-kata dokter atau tidak,” tambah Angella. “Sudah lama Anda tidak tertawa seriang itu,” kata Nanny. Muka Angella bersemu merah mendengar kata-kata Nanny. Pagi itu Angella duduk di kebun belakang Troglodyte Oinos. Matanya dengan tekun membaca surat kabar di tangannya. Tiba-tiba matanya membelalak melihat sebuah berita. Angella merasa terguncang karena berita itu. “Jenny? Bagaimana bila Jenny mengetahuinya? Aku harus menemui Jenny.” Ia berkata kepada dirinya sendiri dengan cemas. Sepanjang pagi itu, Angella tampak gelisah. Pikirannya melayang-layang ke Jenny. Ia ingin selekas mungkin menemui Jenny, tetapi ia tidak mengetahui rumah Jenny. “Thompson, apakah engkau mengetahui rumah Jenny?” tanya Angella. “Apakah Anda ingin mengunjungi Jenny?” tanya Thompson. “Apakah engkau tahu?” tanya Angella lagi. “Ya, saya mengetahui rumah Jenny. Apakah Anda ingin menemui Jenny?” kata Thompson. “Ya, Thompson. Aku ingin bertemu dengannya. Dapatkah kita pergi ke sana siang ini?” “Tetapi…, Tuan Puteri. Apakah Nanny akan mengijinkan Anda?” tanya Thompson cemas. “Tidak apa-apa, Thompson. Nanny masih belum sembuh. Nanti siang bila 134

Nanny telah tidur, kita akan pergi ke rumah Jenny,” kata Angella. “Tolonglah, Thompson. Aku ingin sekali bertemu dengannya,” kata Angella melihat keragu-raguan Thompson. “Saya bisa mengantarkan Anda, tetapi tidak siang ini. Bagaimana bila esok siang?” “Baiklah, besok siang kita pergi,” kata Angella “Jangan beri tahu siapa pun tentang kunjunganku ke rumah Jenny ini,” tambah Angella. Esok siangnya setelah Nanny tertidur, Angella diantar Thompson ke rumah Jenny. Sepanjang jalan Angella tampak cemas. Berulang kali ia berdoa bagi Jenny. Mereka telah tiba. Seorang pria muda muncul dari rumah kecil itu, mendengar kedatangan mereka. Wajah pria itu mirip Jenny. Angella menduga ia adalah kakak Jenny. Ia mirip seperti yang sering Jenny ceritakan kepadanya. “Selamat siang. Dapatkah saya bertemu dengan Jenny?” tanya Angella. “Bolehkah saya tahu nama Anda?” pria itu balik bertanya. “Saya harus menemui Jenny, ini penting sekali,” kata Angella mendesak. Seorang wanita tua muncul dengan menggendong seorang bayi yang tampak tertidur nyenyak. “Siapa, Bill?” tanyanya. “Apakah bayi ini anak Jenny?” tanya Angella menghampiri wanita tua itu. “Ya,” jawab wanita tua itu kebingungan. “Di

mana

Jenny?

Saya

harus

menemuinya,

saya

mencemaskan

keadaannya,” kata Angella. “Silakan masuk,” kata pria itu. Angella dibawa masuk oleh mereka ke sebuah ruang yang sederhana. Angella mengambil tempat di sisi wanita tua yang menggendong bayi. Pria itu duduk di depan Angella. “Bolehkah saya tahu nama Anda? Mengapa Anda mengetahui tentang Jenny?” tanya pria itu. “Nama saya Angella. Dulu Jenny adalah pelayan saya,” jawab Angella. Mereka terkejut mendengar jawaban Angella. Mereka tidak menduga Angella akan datang ke rumah mereka. Angella menduga mereka terkejut karena tak menduga akan bertemu dengannya yang bersalah atas keadaan Jenny. “Saya tahu saya bersalah kepada Anda semua. Saya minta maaf kepada Anda. Namun kedatangan saya kali ini bukanlah untuk menyakiti Jenny lagi, 135

saya hanya mencemaskan keadaan Jenny,” kata Angella. “Anda tidak bersalah, Tuan Puteri. Kami tidak menyalahkan Anda,” kata pria itu. “Saya Bill, kakak Jenny dan ini ibu kami.” “Saya mengerti Anda sangat menyesal atas apa yang telah terjadi dan Anda merasa bersalah. Anda tidak perlu meminta maaf, semua ini bukanlah kesalahan Anda,” kata Mrs. Dellas. “Bagaimana keadaan Jenny?” tanya Angella cemas. “Ia… ia…,” wanita tua itu menitikkan air mata. “Ia terguncang sekali dan saat ini ia tidak dapat Anda temui,” Bill melanjutkan kata-kata ibunya. “Apakah ia terguncang karena berita itu?” tanya Angella. “Ya. Ia membaca berita perkawinan pria itu dan ia menjadi sangat terguncang sehingga ia melahirkan sebelum waktunya,” kata Mrs. Dellas. “Ia tidak berbicara apa-apa, ia juga tak melakukan apa-apa. Sepanjang ia hari ia duduk termenung dan bila ia berbicara, tak ada suatu katapun yang dapat dimengerti oleh kami,” tambah Bill. “Tolonglah kami, Tuan Puteri. Tolong jauhkan anak ini dari Jenny,” kata Mrs. Dellas sambil menyerahkan bayi itu kepada Angella. Angella yang belum pulih dari terkejutnya hanya dapat termangu-mangu. Ia menerima bayi itu. “Mengapa anak ini harus saya jauhkan dari Jenny?” “Saya tidak dapat membiarkan anak ini berada di sini. Jenny sangat membenci anak ini. Pada waktu melahirkannya, ia menjadi histeris ketika kami menunjukkan bayi ini kepadanya. Waktu itu ia akan melempar anak ini tetapi kami mencegahnya. Kami sangat menyayangi anak ini, tetapi kami tidak dapat membiarkan anak ini tumbuh di bawah kebencian ibunya. Kami tak mengerti mengapa Jenny membenci anaknya,” kata wanita tua itu terisak-isak. “Jenny selalu menjadi histeris bila melihat anaknya. Kami tidak ingin terjadi sesuatu pada anak Jenny. Kami mohon bantulah kami menjauhkan anak ini dari ibunya,” kata Bill meyakinkan Angella. “Tetapi apa yang harus saya lakukan? Apa yang harus saya katakan bila kelak ia menanyakan ibunya?” tanya Angella kebingungan. “Jangan beri tahu anak itu keadaan ibunya. Kami tidak ingin anak itu mengetahui keadaan ibunya yang seperti ini. Kami dengan berat hati menyerahkan anak ini kepada Anda,” kata Mrs. Dellas. Angella benar-benar kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap anak Jenny. Ia tidak ingin memasukkan anak yang 136

digendongnya ke panti asuhan. Ia memandang anak itu. Bayi itu sangat lucu. Pipinya yang montok tampak kemerah-merahan. Angella tidak dapat mengerti mengapa Jenny membenci anaknya, tetapi ia hanya dapat menduga mungkin karena Jenny membenci Earl yang mengingkari janjinya. Thompson tiba-tiba muncul di ruang itu. “Kita harus segera pulang, Tuan Puteri. Langit sangat gelap mungkin sebentar lagi akan turun hujan,” katanya. Angella bangkit dan mendekati Thompson. “Thompson, tolonglah aku. Apakah engkau tahu apa yang harus kulakukan dengan bayi ini? Aku tidak ingin memasukkannya ke panti asuhan.” “Saya tidak tahu, Tuan Puteri,” kata Thompon ragu-ragu. “Bagaimana bila kita memberikan anak ini kepada seseorang untuk dirawat?” kata Thompson setelah terdiam. “Bagaimana menurut Anda, Mrs. Dellas?” tanya Angella. “Kami menyerahkan semuanya kepada Anda, Tuan Puteri,” jawab Mrs. Dellas. “Kami sudah tidak tahu apa yang harus kami lakukan.” “Kepada

siapa

kita

menyerahkan bayi

ini?” tanya

Angella

pada

Thompson. Thompson terdiam lagi kemudian ia berkata, “Mungkin keluarga Boudini mau merawat anak ini. Saya kenal baik dengan mereka. Mereka tidak memiliki anak.” Angella memikirkan usul Thompson. Ia menimbang baik buruknya menyerahkan anak Jenny kepada keluarga Boudini yang saat ini sedang mengadakan pertunjukan di kota, dekat Troglodyte Oinos. “Baiklah, Thompson. Kita akan menemui keluarga itu sekarang,” kata Angella. Mereka segera berpamitan kepada keluarga Jenny dan bergegas menuju kereta di bawah naungan langit yang semakin gelap, menandakan akan segera turun hujan. Tak lama setelah mereka meninggalkan rumah Jenny, hujan mulai turun dengan deras. Di dalam kereta, Angella sibuk menenangkan anak Jenny yang menangis mendengar suara guntur yang bersahut-sahutan. Thompson membawa Angella ke lapangan rumput tempat tenda Boudini’s Theatre berdiri. Hujan deras membuat Angella membatalkan niatnya menemui keluarga itu. Ia meminta tolong kepada Thompson untuk menemui keluarga itu. 137

Kepadanya, ia berpesan untuk menanyakan kesediaan keluarga itu menjadi orang tua baptis anak Jenny dan merawatnya. “Mereka sangat senang mendengar permintaan Anda, Tuan Puteri. Mereka dengan senang hati bersedia menjadi orang tua baptis bagi anak itu dan merawatnya,” kata Thompson. “Di mana kita akan membaptis anak ini, Thompson? Kita tidak dapat membawa anak ini ke gereja samping rumah,” kata Angella. “Saya tahu ke mana kita dapat membaptisnya, Tuan Puteri. Anda jangan cemas,” kata Thompson. Tak lama kemudian mereka dan sebuah kereta lain berangkat ke gereja yang ditunjuk Thompson. Nama gereja itu St. Augustine. Gereja itu terletak di tepi kota, di samping gereja itu ada sebuah panti asuhan yang bernama Gabriel. Angella berlari menuju gereja itu. Dengan tubuhnya, ia melindungi bayi dalam gendongannya dari air hujan yang dengan ganasnya menerpa permukaan bumi. Cuaca saat itu sama persis dengan cuaca saat Jenny mengutarakan pengkauannya kepada Angella. Hati Angella menjadi sedih mengingat saatsaat yang mengejutkannya itu. Setelah upacara pembaptisan itu, Angella berbicara kepada Mr. dan Mrs. Boudini. “Saya berterima kasih karena Anda mau menjadi orang tua Charlemagne dan merawatnya,” katanya. “Kami yang seharusnya berterima kasih kepada Anda, Tuan Puteri. Karena Anda memberikan kepercayaan kepada saya untuk menjadi orang tua baptis anak ini dan merawatnya,” kata Mr. Boudini. “Saya akan memberi tahu neneknya bahwa kini cucunya telah aman bersama Anda berdua. Saya juga berterima kasih atas nama yang Anda berikan padanya,” kata Angella. Keluarga Boudini terlalu bahagia untuk bertanya mengenai asal usul anak itu kepada Angella. Thompson juga tidak bertanya apa-apa kepadanya. Angella bersyukur karenanya. Ia merasa senang dapat menepati janjinya pada keluarga Jenny. “Saya mohon kepada Anda berdua untuk tidak menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya bahwa ia bukan anak kandung Anda berdua,” kata Angella. 138

“Kami mengerti, Tuan Puteri,” kata Mrs. Boudini. Kini, setelah keadaan Jenny yang seperti itu maka hanya Angella yang paling mengetahui segala sesuatunya yang menyangkut anak Jenny.

139

14

Vladimer terperangah mendengar cerita Angella. Ia telah menduga gadis itu mengetahui banyak tentang Charlemagne. Tetapi ia tetap terkejut mendengar cerita itu. Ia tidak menduga Angella berperan sangat penting dalam kehidupan Charlemagne sejak anak itu baru lahir. Vladimer tidak dapat membayangkan perasaan Angella yang saat itu masih sangat muda dan bahkan mungkin masih kekanak-kanakan, yang mengetahui semua itu dan menolong putra sahabatnya, kesedihan Angella saat menggendong Charlemagne menerobos hujan deras menuju Gereja St. Augustine. “Jadi itu sebabnya,” gumam Vladimer. “Sebab apa?” tanya Angella tak mengerti sambil menghapus air matanya yang masih tersisa. “Engkau

bersikap

dingin

kepada

semua

orang

tidak

terkecuali

keluargamu karena engkau telah kehilangan kepercayaanmu terhadap orangorang di sekitarmu,” kata Vladimer. Angella dengan

tersipu-sipu

membenarkan kata-kata Vladimer. Ia

memang telah kehilangan kepercayaannya terhadap semua orang akibat peristiwa yang menimpa Jenny. “Aku dapat menyimpulkan bahwa aku sangat beruntung karena engkau mempercayaiku. Apakah sekarang engkau menyesal karena telah melanggar janjimu?” “Aku tidak tahu. Aku…,” kata Angella, “Aku telah melanggar janjiku.” “Jangan menyesal. Apa yang kaulakukan ini memang benar. Tidak seharusnya engkau memendam ini semua,” kata Vladimer menghibur Angella. “Berjanjilah

kepadaku,

Vladimer.

Berjanjilah

engkau

tidak

akan

menceritakannya kepada siapapun termasuk kakak-kakakku,” kata Angella. “Mengapa engkau bersikeras menyembunyikan hal ini dari kakakkakakmu? Biarkanlah mereka mengetahuinya, mereka akan lebih banyak memberimu bantuan daripada aku,” bujuk Vladimer. “Bila engkau melanggar janjimu, aku tidak akan memaafkanmu,” kata 140

Angella tajam. “Baiklah, aku tidak akan memintamu berterus terang kepada mereka. Aku

juga

tidak

akan

melanggar

janjiku.

Aku

tidak

ingin

kehilangan

kepercayaanmu yang sangat langka itu, karena itu percayalah,” kata Vladimer. “Engkau harus memegang teguh kata-katamu itu.” “Sekarang apa yang akan kaulakukan?” “Aku akan membawa Charlie menemui neneknya. Aku juga akan berusaha menghapus kebencian Jenny kepada anaknya. Bila aku dapat menghilangkan kebencian Jenny, aku akan mengembalikan Charlie kepada mereka.” “Kapan engkau akan membawanya?” “Aku tidak tahu. Freddy dan Oscar menjagaku lebih ketat dari biasanya akhir-akhir ini. Di samping itu aku belum memberitahu Charlie. Aku tidak tahu apakah anak itu akan siap menerima kenyataan ini. Ia sangat menyayangi keluarga Boudini.” “Apabila engkau berterus terang kepada mereka, tentunya mereka akan mengerti.” “Vladimer!” “Jangan

marah.

Aku

tidak

bermaksud

membujukmu,

aku

hanya

mengatakan yang sebenarnya,” kata Vladimer. “Masih ada satu hal yang tidak kumengerti. Mengapa engkau sangat yakin kelak harga diri Danny akan jatuh?” “Karena bila Earl mengetahui ia memiliki putra, dengan sendirinya Danny tidak akan menjadi pewaris Earl. Kesombongannya karena menjadi pewaris pamannya akan jatuh bila ia mengetahui Charlie adalah pewaris Earl,” kata Angella menjelaskan. “Selama ini ia sangat bangga pada posisinya.” “Aku mengerti. Mengapa engkau yakin Earl tidak mengetahui bahwa ia mempunyai putra? Bagaimana bila Earl menolak mengakui Charlie sebagai putranya?” tanya Vladimer. “Bila Earl mengetahui bahwa ia mempunyai putra, ia pasti berusaha menemukan Charlie sejak kematian istrinya. Tetapi ia tidak melakukannya, di samping itu aku yakin Lady Elize tidak memberi tahu kedatangan Jenny pada Earl,” jawab Angella, “Harga diri Earl yang tinggi tidak akan mengijinkannya memilih Danny sebagai pewarisnya. Ia akan memilih anaknya daripada keponakannya.” “Sepertinya engkau sangat yakin dengan perkataanmu itu.” “Aku telah mengenal baik keluarga yang berharga diri tinggi itu. Karena 141

itu aku sangat yakin,” kata Angella. “Aku mengerti,” Vladimer berdiri. “Apa

yang

kaulakukan!?”

tanya

Angella

panik

ketika

Vladimer

mengangkat tubuhnya. “Aku akan membawamu kembali ke kamarmu,” jawab Vladimer tenang. “Aku bisa berjalan sendiri. Turunkan aku!” kata Angella. “Jangan keras kepala. Aku tidak yakin engkau akan sampai di kamarmu dengan selamat setelah mendapat berbagai kejutan akhir-akhir ini,” kata Vladimer, “Sekarang lingkarkan saja tanganmu pada leherku.” Angella menuruti keinginan Vladimer. Kemudian ia menyembunyikan wajahnya yang memerah di bahu Vladimer. -----0----“Bagaimana keadaan Angella?” tanya Frederick ketika melihat Vladimer meninggalkan kamar adiknya. “Ia baik-baik saja. Ia baru saja tertidur.” “Apakah engkau berhasil?” tanya Oscar. “Ia telah menceritakan segalanya kepadaku, tetapi aku tidak dapat memberi tahu kalian. Aku telah berjanji kepadanya,” kata Vladimer. “Katakan saja kepada kami. Kami janji tidak akan membuka mulut,” kata Oscar mendesak. “Jangan mendesaknya, Oscar. Seorang pria harus memegang teguh janjinya,” tegur Frederick. “Tetapi…” “Aku akan membujuknya agar ia mau bercerita kepada kalian juga,” kata Vladimer sambil menyembunyikan keraguannya. Vladimer merasa ragu apakah ia berhasil membujuk Angella untuk menceritakan masalah ini kepada kakak-kakaknya. Ia telah mengalami kesulitan sewaktu mencoba membuat Angella menceritakan segala sesuatu tentang Charlemagne. Dan ia merasa kali ini akan jauh lebih sulit membujuk Angella agar mau menceritakan hal ini kepada kakak-kakaknya. Gadis itu telah menunjukkan sikapnya yang tidak mempercayai siapa pun selama bertahuntahun. Kini, pertanyaan yang muncul di benak Vladimer adalah apakah Angella benar-benar mempercayainya? Apakah Angella akan tidak mempercayainya 142

lagi? Apakah Angella tetap akan mempercayainya bila ia membujuk gadis itu? Terlalu besar resiko yang harus ditanggungnya. Ia tidak ingin kehilangan kepercayaan Angella yang sangat berharga itu. Tetapi ia juga tidak dapat membiarkan gadis itu terus menerus menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya dari kakak-kakaknya. Ia ingin membantu gadis itu, ia tidak ingin Angella menanggung sendiri beban itu. Selama empat tahun lebih, Angella menanggung kepedihan itu dengan penuh ketabahan. Bertahun-tahun gadis itu memendam dirinya dalam kesedihan, dalam kedinginan hatinya. Ia ingin mengeluarkan gadis itu dari belenggu kesedihan yang membuat Angella berubah dari seorang anak pendiam yang ceria menjadi gadis cantik yang sangat pendiam dan dingin. Tetapi Vladimer juga menemui resiko bila ia ingin meruntuhkan dinding es yang menutupi hati gadis itu. Ada kemungkinan Angella tidak menyukai pria setelah ia mengetahui apa yang terjadi pada sahabatnya, Jenny. Dan itu telah terbukti. Gadis itu tidak pernah mau didekati pria baik itu tua maupun muda selain kakak-kakaknya dan ayahnya. Sikap gadis itu jauh lebih dingin kepada pria daripada kepada wanita. Gadis itu menutup dirinya dari semua pria. Angella

membuat

semua

pria

merasa

tertarik

untuk

menembus

kedinginan hatinya. Tetapi tidak seorangpun dari mereka yang berhasil. Danny yang selama ini terkenal sebagai pria yang sangat tampan juga tidak berhasil menembus kedinginan hati Angella. Walaupun banyak wanita yang ingin menjadi kekasih Danny, tetapi pria itu tidak berhasil menembus kedinginan hati Angella. Frederick dan Oscar juga telah bercerita kepadanya mengenai segala tingkah Angella yang membuat semua pria merasa semakin tertarik untuk mencoba menundukkan kedinginan hatinya. Mereka juga mengatakan bahwa Angella sering mendapat undangan jamuan, tetapi gadis itu selalu menolaknya. Tetapi tidak semua undangan bisa ditolaknya, ada beberapa undangan dari kawan Earl yang tidak bisa ditolak Angella. Dalam menghadiri undangan yang tidak dapat ditolaknya itu, Angella selalu dikawal kedua kakaknya. Kedua kakaknya yang selalu berada di sisinya, membuat setiap pria berpikir berulang kali sebelum mendekatinya. 143

Semua orang tahu Frederick dan Oscar sangat menyayangi Angella. Mereka tidak akan membiarkan Angella didekati pria manapun. Terlalu sulit membujuk kedua kakak Angella agar mau meninggalkan adiknya seorang diri bila mereka berada di luar Troglodyte Oinos. Pernah pada suatu saat Angella terpaksa hadir dalam suatu jamuan seorang diri. Saat itu tidak ada seorangpun dari keluarganya yang dapat menghadiri jamuan itu selain dirinya. Mereka tidak dapat menolak undangan itu karena undangan itu berasal dari sahabat keluarga Earl. Keluarga Arkt dan keluarga Tritonville telah bertahun-tahun bersahabat, sejak

kakek

moyang

mereka.

Turun

temurun

mereka

telah

menjalin

persahabatan yang baik. Untuk menjaga persahabatan yang telah berjalan lama itu, Angella terpaksa menghadiri jamuan makan malam yang diadakan keluarga itu. Semua orang yang hadir di pesta itu terkejut melihat Angella datang sendiri tanpa kedua kakaknya. Putra tertua Earl of Arkt, Hilbert menyambut Angella dengan sangat ramah, namun Angella menerima sambutan itu dengan sikap yang sangat dingin. Selama perjamuan itu, Hilbert tidak pernah beranjak dari sisi Angella. Ia berusaha memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk meruntuhkan kedinginan hati Angella. Semua pria lainnya yang hadir di dalam perjamuan itu merasa iri pada Hilbert. Mereka mengira Angella membukakan hatinya yang dingin itu bagi Hilbert. Namun ternyata mereka salah. Ketika jamuan itu selesai, mereka menuju ke Ruang Duduk. Saat itu Hilbert dengan sengaja memasang musik waltz yang lembut. Setelah itu pria itu tanpa berkata apa-apa menarik tangan Angella ke lantai dansa. Saat itu Angella masih duduk bersama wanita-wanita yang lain. Ia memainkan gelas yang berisi anggur di tangannya sambil mendengarkan para wanita itu bercakap-cakap. Ketika tangan Hilbert menyentuh tangannya, Angella tanpa berkata apaapa segera menyiramkan anggur yang berada di tangannya itu. Semua yang hadir terkejut dengan sikap Angella. Mereka hanya dapat memandang tanpa melakukan apa-apa melihat Hilbert marah-marah terhadap perlakuan Angella yang kasar itu. “Wanita macam apa engkau ini! Tidak tahu sopan santun, seenaknya 144

menyiramkan anggur ke wajah orang,” kata Hilbert sambil menyeka wajahnya yang basah. Angella dengan tenang meletakkan gelas itu di meja yang berada di dekatnya dan berkata, “Lebih tidak sopan seorang pria yang memaksakan kehendaknya kepada wanita.” Hilbert segera terdiam mendengar kata-kata Angella yang tenang namun dingin dan tajam itu. Tanpa

mempedulikan

apa

yang

telah

dilakukannya,

Angella

meninggalkan Ruang Duduk. Ia mengucapkan terima kasih atas jamuan makan malam itu kepada Earl of Arkt kemudian meninggalkan rumah itu bersama Thompson yang terus menantinya sejak mereka tiba. Ketika Earl of Tritonville mengetahui apa yang telah dilakukan putrinya dalam jamuan itu, ia menasehati Angella untuk bersikap lebih sopan bila ia hendak menolak ajakan seseorang. “Ia pantas mendapatkan itu, Papa. Agar ia tidak berbuat seenaknya lagi kepadaku,” kata Angella dengan tenang. Earl dan Countess hanya dapat menasehati Angella, tetapi mereka tidak dapat membuat Angella merasa menyesal pada tindakannya itu. Sikap Earl dan Countes ketika mengetahui kejadian dalam jamuan itu berlainan dengan Frederick dan Oscar. Kedua kakak Angella sangat menyetujui tindakan adiknyai tu. Mereka memuji Angella yang menurut mereka berbuat yang seharusnya. Hilbert sejak kejadian itu berusaha dengan keras untuk menundukkan kedinginan hati Angella. Tetapi ia tidak pernah berhasil bahkan hingga saat ini ia tidak berhasil membuat Angella mengeluarkan sepatah katapun bila mereka bertemu. Sikap Angella pada putra tertuanya tidak membuat Earl of Arkt memutuskan tali persahabatan kedua keluarga itu. Bahkan Earl of Arkt menyetujui sikap Angella pada putra tertua mereka yang telah berbuat tidak sopan kepada dirinya. Terlalu banyak resiko yang harus diambil Vladimer bila ia ingin mengeluarkan Angella dari kesedihan yang telah mengurung dirinya. Ia tidak bisa membuat gadis itu terus menutup hatinya dari dunia luar. Ia tidak bisa membiarkan Angella terus tidak mempercayai orang lain. Tetapi ia tidak ingin membuat gadis itu menjauhinya apalagi membencinya seperti 145

gadis itu membenci keluarga Earl of Wicklow. “Baiklah. Kami akan memberikan kesempatan kepadamu untuk berdua dengan Angella agar engkau bisa dengan leluasa berbicara kepadanya,” kata Frederick. Hari-hari

berikutnya

Angella

tetap

tidak

diijinkan

meninggalkan

kamarnya oleh kedua kakaknya walau telah dilarang oleh kedua orang tua mereka. Frederick menepati kata-katanya. Ia sering membiarkan Angella dan Vladimer berdua. Setiap hari ia dan Oscar berusaha mengalihkan perhatian Charlie dari Angella. Countess dan Nanny juga semakin jarang menemani Angella ketika mereka mengetahui gadis itu semakin dekat dengan Vladimer. Mereka menduga kedua insan itu sedang jatuh cinta. Mereka berusaha memberi kesempatan kepada kedua insan itu untuk berdua tanpa mengetahui bahwa mereka telah membantu Frederick dan Oscar juga Vladimer sendiri. “Aku pernah melihatmu membawakan bunga untukku ketika aku sakit,” kata Angella mengejutkan Vladimer yang datang diam-diam dengan membawa sekeranjang bunga di tangannya. “Maaf aku membuatmu terbangun,” kata Vladimer. “Tidak apa-apa, aku tidak dapat tidur sejak tadi,” kata Angella. “Mengapa engkau tidak tidur? Bukankah dokter berpesan engkau harus beristirahat,” kata Vladimer memarahi Angella. “Aku sudah sembuh. Mengapa aku harus beristirahat sepanjang hari dan tidak boleh meninggalkan kamar ini?” kata Angella. “Suhu

tubuhmu

kemarin

malam

tinggi

sekali,”

kata

Vladimer

mengingatkan Angella akan keadaannya pada malam sebelumnya. “Tetapi suhu tubuhku sudah turun,” protes Angella. “Kakak-kakakmu mengkhawatirkanmu.” “Aku merasa mereka marah kepadaku karena itu aku tidak boleh meninggalkan kamar.” Vladimer tersenyum melihat Angella yang sedang marah. “Mereka tidak pernah marah padamu, mereka sangat menyayangimu.” “Aku

yakin

mereka

marah

padaku

karena

aku

hanya

bercerita

kepadamu.” “Karena itu biarkanlah mereka mengetahui semuanya,” bujuk Vladimer. “Jangan membujukku, engkau telah berjanji,” kata Angella. 146

“Jangan cemberut, aku tidak suka melihat wajahmu yang seperti itu.” “Bila engkau tidak suka, maka silakan pergi,” kata Angella tajam. “Jangan bersikap dingin seperti itu kepadaku. Aku lebih menyukai keramahanmu.” “Mengapa engkau tetap berada di sini bila engkau tidak suka?” tanya Angella. Vladimer memberikan keranjang bunga itu kepada Angella. “Karena aku belum memberikan bunga ini kepadamu,” kata pria sambil tersenyum meletakkan keranjang bunga itu di pangkuan Angella. “Engkau telah memberikannya kepadaku. Sekarang engkau boleh pergi bila engkau tidak suka,” kata Angella tanpa mengurangi ketajaman katakatanya. “Aku senang berada di sisimu. Walaupun engkau bersikap dingin kepadaku,”

kata

Vladimer,

kemudian

ia

duduk

di

sisi

Angella

untuk

menunjukkan kepada gadis itu kesungguhan kata-katanya. Angella merasa malu mendengar keterusterangan Vladimer. “Mengapa engkau

tidak

membawakan

bunga

yang

seperti

waktu

itu?”

katanya

mengalihkan topik. “Karena aku percaya engkau lebih menyukai merangkai bunga sendiri daripada bunga yang dirangkaikan oleh Nanny.” “Bunga yang waktu itu Nanny yang merangkainya?” Vladimer menganggukan kepala. “Apakah engkau menyukai bunga itu?” “Aku menyukainya. Apakah engkau yang memetik bunga ini?” “Bukan. Bukan aku. Sejujurnya aku tidak mengerti tentang bunga. Kakakkakakmu dan Charlie yang memetiknya untukmu.” “Katakan kepada mereka aku menyukai bunga ini.” Vladimer memperhatikan Angella yang sibuk menata bunga. Dengan tekun,

Angella

membuang

bagian

bunga

yang

tak

diperlukan

dan

mengumpulkannya di keranjang itu. Kemudian merangkai bunga itu di jambangan di sampingnya. Ia tampak terhanyut dalam kesibukannya. “Mengapa engkau memandangku seperti itu?” tanya Angella ketika menyadari Vladimer tengah memperhatikannya. “Tidak

apa-apa.

Aku

hanya

ingin

tahu

bagaimana

engkau

bisa

membangun dinding es yang sangat tebal di sekeliling kehangatan hatimu.” “Bagaimana engkau dapat mempercayai bahwa aku tidak sedingin yang mereka katakan?” tanya Angella. 147

“Karena aku telah melihat kehangatanmu itu.” “Engkau akan menyesal bila mengetahui bahwa engkau salah,” kata Angella memperingatkan Vladimer. “Aku tidak mungkin salah. Sebelum engkau menceritakan hal itu kepadaku, aku telah menduga engkau mendirikan dinding es di sekeliling kelembutan hatimu,” kata Vladimer sambil tersenyum memandang Angella. Angella merasa salah tingkah melihat senyuman Vladimer. “Engkau sendiri juga terkenal akan kedinginan sikapmu.” “Ya, engkau benar. Tetapi aku berbeda denganmu. Aku bersikap dingin bukan karena aku membangun dinding es sepertimu tetapi karena aku tidak ingin mereka mendekatiku,” kata Vladimer. “Aku tak mengerti,” kata Angella. “Aku tidak ingin didekati wanita manapun karena itu aku bersikap dingin kepada mereka. Aku berpikir bila aku bersikap seperti itu, mereka dengan sendirinya akan menjauhiku dan itu telah terbukti kebenarannya,” kata Vladimer. “Bagaimana dengan kawan-kawanmu?” tanya Angella. “Aku tidak tahu,” jawab Vladimer. “Itu berarti engkau bersikap dingin bukan karena engkau tidak ingin didekati mereka tetapi karena engkau memang dingin,” kata Angella. “Mungkin engkau benar.” “Apakah engkau mengetahui bahwa Mama dan Nanny menduga kita saling mencintai?” “Aku tidak tahu. Dari mana engkau tahu?” “Mata mereka yang mengatakannya. Bila mereka tahu yang sebenarnya, tentu mereka akan kecewa.” “Mereka benar,” kata Vladimer. Angella terkejut mendengar penyataan Vladimer. “Apa yang kaukatakan? Apakah engkau…? Jangan bercanda, tidak mungkin itu benar,” kata Angella mengelengkan kepala antara percaya dan tidak, antara senang dan bingung. “Lupakan saja yang kukatakan,” kata Vladimer sedih melihat reaksi Angella. “Apakah engkau telah menemukan cara untuk mengajak Charlie mengunjungi neneknya?” “Belum. Aku tidak akan pernah dapat mengajak Charlie bila Frederick dan Oscar tidak mengijinkanku keluar kamar,” kata Angella dengan sedih. “Menurutku, engkau lebih baik memberi tahu mereka. Mereka akan 148

mengijinkanmu bila mereka tahu,” saran Vladimer. Angella merenungkan saran Vladimer. “Baiklah, aku menceritakan semuanya kepada mereka dan Charlie malam ini di gereja samping rumah bukan di sini.” “Mengapa tidak di kamar ini?” tanya Vladimer tak mengerti. “Karena aku tidak ingin orang lain turut mendengarkan.” “Mengapa?” tanya Vladimer tetap tak mengerti. “Kejadian tragis yang menimpa Jenny ini bukan cerita yang patut disebarkan,” kata Angella tajam. Vladimer tersenyum mendengar Angella. “Baiklah, aku akan memberi tahu mereka. Mereka pasti senang bila mendengar hal ini.”

149

15

“Mengapa engkau pergi sendiri? Bukankah aku telah mengatakan aku akan mengantarmu,” kata Vladimer ketika melihat Angella telah berada di gereja bersama Charlie. “Jangan marah. Aku tidak sendiri, Charlie bersamaku,” kata Angella tenang. “Bagaimana bila terjadi sesuatu kepadamu selama perjalananmu menuju tempat ini?” tanya Vladimer semakin marah. “Aku telah berada di sini dengan selamat, karena itu jangan marah,” kata Angella mencoba meredakan kemarahan Vladimer. “Sudah, kalian jangan bertengkar. Kita berkumpul di sini bukan untuk mendengar kalian bertengkar tetapi untuk mendengar penjelasan yang sangat penting dari Angella,” kata Oscar tak sabar. Angella mengangkat Charlie ke pangkuannya. “Dengar, Charlie. Apa yang

akan

kukatakan

ini

sangat

penting.

Karena

itu

engkau

harus

mempercayaiku.” “Saya selalu mempercayai Anda.” “Aku senang mendengarnya. Sekarang dengarkan dengan baik-baik,” Angella berhenti sebentar kemudian melanjutkan, “Mr. dan Mrs. Boudini bukan orang tua kandungmu, mereka orang tua baptismu. Dulu ibumu adalah pelayanku. Namanya Jenny. Dan engkau juga mempunyai seorang nenek dan paman. Atau dengan kata lain, engkau tidak sebatang kara di dunia ini.” Charlie terkejut mendengarnya tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya memeluk erat Angella. “Aku ingin mengajakmu menemui mereka suatu saat nanti. Tetapi aku tidak

bisa

mengeraskan

mempertemukanmu hati

ia

dengan

melanjutkan,

ibumu,”

“Karena…

kemudian

karena…

ibumu

dengan sangat

terguncang dan ia… ia… menjadi… menjadi….” Angella tak sanggup meneruskan perkataannya, air matanya kembali membasahi pipinya. Vladimer dengan segera berusaha menghibur Angella. Setelah tangis Angella mereda, Vladimer melanjutkan cerita Angella. “Jenny sangat terguncang ketika mengetahui ayah Charlie menikah 150

dengan gadis lain. Pikirannya menjadi …” “Apa yang terjadi pada Jenny, Vladimer? Katakanlah kepada kami,” desak Oscar. “Sabarlah, Oscar. Mungkin ada sesuatu yang membuatnya berhenti bercerita,” kata Frederick menenangkan Oscar kemudian menatap Angella. “Kami tidak dapat menceritakannya kepada Charlie. Charlie akan sangat terguncang bila mengetahui keadaan ibunya. Biarkanlah ia tidur, aku melihat ia mulai mengantuk,” kata Angella. Angella memeluk Charlie erat-erat. Ia merasa kasihan kepada anak itu. Ia membuai anak itu seperti membuai seorang bayi ke alam mimpi, seperti yang dilakukannya pada anak itu ketika mereka meninggalkan rumah Jenny dalam hujan deras yang mengguyur bumi. “Vladimer, tolong kau ceritakan kepada mereka. Aku tidak sanggup,” kata Angella setelah Charlie tertidur. Vladimer menceritakan kembali cerita Angella. Kedua kakak Angella tampak terkejut mendengar cerita panjang itu. “Tak kuduga Earl of Wicklow itu sangat kejam terutama adiknya. Untung aku tidak pernah menyukai wanita itu. Entah apa yang akan dilakukannya padaku bila aku memilihnya. Mungkin aku akan diusirnya juga bila ia sudah tidak menyukaiku lagi seperti ia mengusir Jenny yang sedang mengandung,” kata Oscar penuh kemarahan. “Apakah engkau yakin Charlie adalah putra Jenny dan Earl of Wicklow?” tanya Frederick. “Tentu saja aku yakin. Aku sendiri yang menyerahkan anak ini kepada keluarga Boudini sehari setelah kelahirannya,” kata Angella dengan marah di sela-sela tangisnya, “Sifat anak ini sudah cukup membuktikan bahwa aku benar. Ia keras kepala seperti ibunya dan ia juga tidak mudah mempercayai orang seperti keadaan Jenny ketika mengandung.” “Maaf, aku hanya ingin kebenaran yang jelas,” kata Frederick. “Apakah peristiwa yang menimpa Jenny itu belum jelas?” tanya Angella tajam. “Frederick!” tegur Vladimer ketika melihat Frederick akan mengatakan sesuatu. “Kami mempercayai cerita itu. Jangan menangis lagi, aku tidak ingin melihatmu bersedih,” kata Oscar sambil berlutut di depan Angella. “Sekarang yang harus kita lakukan adalah mempertemukan Charlie 151

dengan keluarganya,” kata Vladimer. “Dan memberi tahu Earl mengenai hal ini,” tambah Frederick. “Apakah Earl akan mempercayai kenyataan ini?” tanya Oscar. “Ia pasti percaya bila ia melihat anak ini dan Jenny,” kata Vladimer. “Baiklah. Karena kalian telah sepakat, aku juga setuju,” kata Oscar, “Bagaimana denganmu Angella?” “Aku tidak tahu apa yang akan dikatakan Mrs. Dellas,” kata Angella raguragu, “Tetapi bila kalian bersikeras, maka aku tidak akan mencegah kalian. Aku tahu kalian tidak dapat dihentikan bila kalian bersungguh-sungguh melakukan sesuatu. Kalian yang membuat rencananya, aku menjalankannya.” “Sekarang

semua

telah

diputuskan.

Bila

keadaan

Angella

sudah

membaik, kita akan mengantar Charlie menemui keluarganya. Dan aku akan memberi tahu Earl,” kata Frederick. “Jangan terburu-buru memberi tahu Earl. Tunggulah sampai kebencian Jenny berkurang. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya bila Earl muncul dengan tiba-tiba untuk mengambil putranya,” kata Angella. “Earl tidak akan mengambil putranya saja, tetapi ia juga akan mengambil Jenny. Percayalah, aku akan membuatnya menjadi kenyataan. Bila ia tidak mau membawa Jenny, maka ia tidak akan mendapatkan putranya. Aku yang akan memastikannya,” kata Frederick bersungguh-sungguh. “Yang harus kita lakukan sekarang adalah membawa Angella dan Charlie kembali ke kamar,” kata Vladimer. “Oscar

antarkan

mereka

kembali

ke

kamarnya.

Ada

yang

ingin

kubicarakan dengan Vladimer,” kata Frederick. Oscar mengambil Charlie dari pangkuan Angella dan mengajak Angella meninggalkan gereja. Sepanjang jalan mereka tak berbicara apa-apa. “Apakah

engkau

marah

kepadaku?”

tanya

Angella

memecahkan

keheningan di antara mereka. “Tidak,” jawab Oscar singkat. “Engkau bohong! Aku tahu engkau marah kepadaku karena aku menyembunyikan hal ini dari kalian selama empat tahun lebih.” Oscar tetap berdiam diri. “Maafkan aku, Oscar. Aku tidak berniat menyembunyikannya dari kalian, tetapi aku telah berjanji kepada Jenny,” kata Angella melihat Oscar yang terdiam. “Aku mengerti. Jangan khawatir, aku tidak marah kepadamu,” kata Oscar. 152

“Mengapa engkau diam saja?” “Aku

sedang

memikirkan

langkah

yang

harus

kita

ambil

untuk

menyelesaikan masalah ini tanpa membuatmu bersedih lagi,” jawab Oscar. “Aku tidak dapat menghentikan kesedihanku ini sebelum aku melihat mereka bahagia,” kata Angella. “Percayalah pada kami, kami akan membuat mereka bahagia. Engkau jangan bersedih lagi juga jangan merasa bersalah lagi.” “Tetapi karena kecerobohanku semua ini terjadi,” protes Angella. “Saat itu engkau tidak mengetahui apa yang akan terjadi. Engkau tidak bersalah.” “Engkau dan Vladimer sama saja. Kalian tidak mengerti perasaanku.” “Vladimer pernah mengatakannya juga?” tanya Oscar tak percaya. “Ya. Setiap hari ia mengatakan aku tidak perlu merasa bersalah karena saat itu aku tidak tahu apa yang akan terjadi.” “Karena itu jangan merasa bersalah lagi.” “Aku

tidak

dapat

menghentikannya,

Oscar.

Aku

tidak

dapat

menghilangkan perasaan itu. Sejak semua ini terjadi, aku selalu menyalahkan diriku sendiri.” “Berusahalah. Engkau pasti bisa,” kata Oscar. Oscar mengantar Angella ke kamarnya kemudian menyerahkan Charlie yang sudah tertidur kepada Nanny. Setelah melaksanakan tugas yang diberikan Frederick, ia pergi ke tempat Frederick dan Vladimer berbicara. Dalam perjalanan ke gereja, ia memikirkan kata-kata adiknya sebelum masuk kamar. “Mereka sudah tidur?” tanya Frederick. Oscar menganggukan kepalanya kemudian bertanya, “Apa yang kalian bicarakan?” “Kami membicarakan pembagian tugas selama kunjungan Angella ke rumah Jenny. Kami memutuskan besok lusa bila keadaan Angella membaik, ia boleh pergi ke sana bersama Charlie,” kata Vladimer. “Apakah ia akan setuju dengan keputusan kalian?” tanya Oscar. “Ia pasti setuju. Ia telah menyerahkan segalanya kepada kita,” kata Frederick meyakinkan Oscar. “Siapa yang akan menjaganya selama kunjungannya ke rumah Jenny?” tanya Oscar. “Besok lusa, engkau yang menjaganya. Kemudian pada kunjungannya 153

yang selanjutnya, kita akan secara bergiliran menemani mereka,” kata Frederick. “Menurutmu, apakah mudah menghilangkan kebencian Jenny pada anaknya?” “Aku tidak tahu, Oscar. Masalahnya adalah Charlie mirip sekali dengan Earl, sedangkan Jenny membenci Earl karena telah melanggar janjinya,” kata Frederick. “Masalah ini akan sangat sulit terselesaikan,” kata Vladimer. “Tidak!” seru Oscar mengejutkan Frederick dan Vladimer, “Masalah ini akan cepat terselesaikan. Aku yakin Jenny masih mencintai Earl. Mungkin pada saat ia melihat Charlie untuk pertama kalinya, ia akan menjadi histeris tetapi lama kelamaan ia akan terbiasa dengan kehadiran Charlie.” “Setelah itu kita mengajak Earl menemui Jenny. Aku yakin kedatangan Earl

setelah

kebencian

Jenny

terhadap

anaknya

berkurang,

akan

mempengaruhi pikiran Jenny. Dan bila dugaanku benar, mungkin Jenny bisa pulih seperti sedia kala.” “Mengapa engkau sangat yakin pada kata-katamu?” tanya Frederick. “Angella memberi tahuku kemungkinan itu. Kata Angella, ia telah banyak membaca buku mengenai ini. Dan inilah kesimpulan Angella.” “Rupanya Angella benar-benar memikirkan Jenny dan putranya,” kata Vladimer. “Setiap saat ia selalu memikirkan orang-orang yang disayanginya. Dan Jenny salah satu orang yang disayanginya,” kata Frederick. “Walaupun ia berhati dingin, tetapi sebenarnya ia penuh perhatian,” tambah Oscar. “Karena itu, berdoalah agar engkau juga termasuk di antara orang-orang yang disayanginya, Vladimer,” goda Frederick. “Salah, Frederick. Bukan disayangi tetapi dicintai. Berharaplah Vladimer,” Oscar ikut menggoda. Vladimer

tidak

menghiraukan

godaan

mereka.

Ia

sibuk

dengan

pikirannya sendiri. Mengapa Angella terkejut ketika ia membenarkan dugaan Nanny dan Countess? Mengapa ia tampak tidak senang? Angella memprotes ketika mendengar keputusan mereka. Tetapi ia tetap menyetujui keputusan itu. Sepanjang hari ia mempersiapkan mental Charlie untuk bertemu keluarganya terutama ibunya. Ia tidak ingin Charlie terguncang melihat keadaan ibunya. 154

Nenek Charlie sangat senang ketika melihat cucunya. Charlie juga tampak

senang

bertemu

keluarganya.

Bill,

paman

Charlie

mengajak

keponakannya berkeliling ketika Angella dan Oscar berbicara dengan Mrs. Dellas. “Kami baru mendengar apa yang terjadi pada Jenny. Kami turut merasa menyesal,” kata Oscar. “Maafkan saya, Mrs. Dellas. Saya tidak dapat menepati janji saya. Orang tua angkat Charlie telah meninggal dan saya tidak tega melihatnya sebatang kara karena itu saya menceritakan segalanya kepada anak itu.” Mrs. Dellas tampak terkejut mendengar berita itu. Setelah menguasai dirinya ia berkata, “Tidak apa-apa, Tuan Puteri. Mungkin memang sudah kehendak-Nya anak itu mengetahui segalanya.” “Mrs. Dellas, kami memutuskan untuk memberi tahu ayah Charlie. Ia harus bertanggung jawab terhadap anaknya,” kata Oscar. “Jangan lakukan itu! Ia tidak boleh memisahkan Jenny dari putranya. Walaupun Jenny membenci anak itu, tetapi ia tetap ibu Charlie. Saya percaya suatu saat nanti Jenny akan dapat menghilangkan kebenciannya itu.” “Kami tidak bermaksud memisahkan mereka. Kami akan memastikan ayah Charlie tidak hanya mengambil Charlie tetapi juga Jenny,” kata Oscar. “Percayalah, Mrs. Dellas. Kami tidak ingin memisahkan mereka. Kami hanya ingin melihat mereka bahagia,” kata Angella memohon. “Baiklah. Anda boleh memberi tahu ayah Charlie karena memang sudah seharusnya ia bertanggung jawab terhadap anak itu. Tetapi saya tidak akan mengijinkan bila ia hendak memisahkan Jenny dan Charlie.” “Kami akan memastikan itu, Mrs. Dellas,” kata Angella, “Saya tahu Anda ibu yang pengertian. Saya tidak akan mengecewakan Anda lagi.” “Karena Anda telah setuju. Kami akan mengajak ayah Jenny kemari bila Jenny tidak lagi membenci Charlie seperti dulu lagi. Untuk itu kami membutuhkan bantuan Anda.” “Kami akan membantu Anda. Jenny harus menghilangkan kebenciannya pada putranya sendiri. Saya percaya hal ini akan terjadi. Jenny pasti bisa,” kata Mrs. Dellas terharu. Ketika Bill dan Charlie tiba, mereka segera menghentikan percakapan mereka. Charlie dengan penuh semangat menceritakan segala yang dilihatnya kepada mereka. Ia tampak senang sekali dengan pertanian ini. Ia juga bercerita mengenai beberapa ternak yang dilihatnya. 155

Bill tampak menyukai keponakannya itu. Kata Bill, Charlie memaksa mengajaknya berkuda. Semula ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tetapi Charlie sudah berada di atas kuda ketika ia baru memutuskan tidak mengijinkan anak itu. Ia mengaku bahwa ia terkejut karena Charlie sudah dapat berkuda. Charlie bercerita mengenai pelajaran berkuda yang diberikan oleh kedua kakak Angella serta Vladimer. Dengan penuh semangat ia bercerita mengenai kunjungannya selama berada di Troglodyte Oinos. Mrs. Dellas senang mendengar cerita cucunya, tetapi ia harus melakukan sesuatu yang penting. Ia harus mempertemukan Charlie dengan ibunya. Suasana terasa tegang ketika Bill membuka pintu kamar Jenny. Jenny yang sedang duduk termenung di tempat tidurnya, menjerit histeris ketika melihat Charlie. Tangannya meraih barang-barang yang ada di dekatnya dan melemparkannya ke Charlie sambil mengusirnya pergi. Angella hendak berdiri di depan Charlie untuk melindunginya, tetapi Oscar menahannya. Sebagai gantinya, Oscar berdiri melindungi mereka berdua. Charlie menangis ketakutan melihat ibunya. Angella dan Mrs. Dellas sibuk menenangkan Charlie. “Jangan menangis, Charlie. Ibumu tidak mengenalmu sehingga ia seperti ini, bila engkau menangis ia semakin tidak mengenalmu,” bujuk Mrs. Dellas. “Engkau harus bersabar menghadapinya, ia menyayangimu. Ia hanya terkejut melihatmu,” bujuk Angella. “Jangan menangis, engkau anak yang berani.” Bill mendekati Jenny. Ia mencengkeram kuat-kuat tangan adiknya. “Apa yang kaulakukan? Apakah engkau tidak menyadari engkau bisa melukai putramu?” bentaknya. Jenny tampak termenung melihat kemarahan kakaknya. Ia melihat Charlie yang ketakutan. Ia terus menatap anak itu. Charlie tiba-tiba berlari mendekati Jenny. Angella dan Mrs. Dellas tampak cemas melihat anak itu mendekati Jenny. Mereka tidak dapat menduga reaksi Jenny. Mereka hanya berharap Jenny tidak melakukan sesuatu yang lebih buruk terhadap anak itu lagi. “Lihatlah! Ia putramu sendiri, anak yang kausayangi. Mengapa sekarang engkau tidak mengenalinya lagi?” tanya Bill melihat Charlie mengguncang tubuh Jenny sambil memanggil namanya. 156

Jenny tetap tidak bergerak ketika Charlie memanggil namanya. Ia memandangi wajah anak itu tanpa berkata apa-apa. Angella

tidak

sanggup

melihat

adegan

itu,

ia

menarik

Oscar

meninggalkan keluarga itu. Oscar mengibur Angella yang mulai menangis di pelukannya. “Oscar, kita pulang saja. Aku tidak sanggup melihat mereka,” kata Angella. “Bagaimana dengan Charlie?” tanya Oscar. “Biarkan Charlie di sini. Ia pasti senang berkumpul dengan keluarganya.” “Baiklah. Aku akan memberi tahu mereka. Tunggu di sini,” kata Oscar. Oscar masuk kembali ke kamar Jenny, Angella mendengar mereka berbicara. Terdengar Oscar dengan keras kepala meyakinkan mereka bahwa Charlie harus berkumpul dengan keluarganya. Setelah berhasil meyakinkan mereka, ia kembali ke sisi Angella. Dalam perjalanan pulang, Angella tampak sedih. Ia duduk termenung. Oscar membiarkan Angella. Ia tahu adiknya sedang memikirkan sesuatu. Pada mulanya, Oscar membiarkan adiknya terdiam, tetapi tak lama kemudian ia mulai merasa cemas ketika Angella tidak berbicara apa-apa. “Apa yang terjadi padamu, Angella? Mengapa engkau diam saja sejak kita meninggalkan rumah Jenny?” tanya Oscar memecahkan lamunan Angella. Angella tersentak kaget. “Tidak… tidak ada apa-apa,” katanya terbatabata karena belum pulih dari terkejutnya. “Mengapa engkau terbata-bata seperti itu bila tidak terjadi apa-apa? Apa yang kaupikirkan?” desak Oscar. “Aku…,” kata Angella enggan menjawab. Ia menatap lekat-lekat mata Oscar yang menampakkan dengan jelas tuntutannya. Angella menghela napas kemudian melanjutkan: “Aku hanya berpikir apakah Jenny akan menerima kehadiran Charlie di sana. Aku tidak pernah melihat mata Jenny yang seperti itu.” “Percayalah, cepat lambat Jenny akan menerima Charlie. Ikatan antara seorang ibu dan anak itu sangat erat,” kata Oscar menyakinkan Angella. “Aku

sependapat

denganmu.

Aku

dapat

melihat

mata

Jenny

memancarkan kasih sayangnya ketika melihat Charlie. Aku tidak tahu kapankah waktu yang tepat untuk mempertemukan Earl dengan mereka.” “Saat itu pasti segera tiba.” Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Angella memandang 157

keluar jendela melihat gerakan awan putih di langit yang biru. Merasakan angin yang menerpa wajahnya. “Mereka pasti sedih,” kata Angella tiba-tiba. “Mereka siapa?” tanya Oscar tak mengerti. “Mama, Nanny, dan semua orang di rumah yang menyayangi Charlie. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada mereka. Aku tidak ingin memberi tahu mereka bahwa Charlie berada di tengah-tengah keluarganya. Saat ini aku tidak ingin seorang pun selain kita yang mengetahui bahwa Charlie masih mempunyai keluarga,” kata Angella. “Mengapa?” “Karena

masalah

ini

belum

selesai.

Aku

ingin

semua

orang

mengetahuinya setelah kita menyelesaikannya dengan baik,” jawab Angella. “Sepertinya engkau merencanakan sesuatu,” kata Oscar mendengar tekanan Angella pada kata-kata terakhirnya. Angella tidak menjawab Oscar. Ia tersenyum lembut kepadanya. Tetapi mata Angella berkilat-kilat tajam penuh misteri. Membuat Oscar bertanyatanya. Tepat seperti yang dikatakan Angella pada Oscar, semua orang di Troglodyte Oinos yang menyayangi Charlie merasa sedih ketika mengetahui anak itu telah pergi. Angella melarang keras kakak-kakaknya, Vladimer juga Thompson memberi tahu siapa pun bahwa sekarang Charlie berada di tengah-tengah keluarganya. Melalui sikapnya itu, ia telah membuat sebuah tanda tanya besar di dalam

benak

semua

orang.

Baik

mereka

yang

mengetahui

kejadian

sebenarnya juga mereka yang tidak tahu apa-apa. Apakah Angella tengah merencanakan sesuatu? Tidak ada seorang pun yang tahu kecuali dirinya sendiri. Mereka hanya dapat menebak. Pada kunjungan kedua Angella ke rumah Jenny, Frederick menemaninya. Angella tampak sangat senang sekaligus tak percaya ketika melihat Jenny sudah dapat menerima kehadiran Charlie. Ia tampak tenang walaupun Charlie memegang tangannya. Kata-katanya mulai dapat dimengerti, walaupun kadang-kadang sulit. Tetapi telah banyak perubahan Jenny selama mingguminggu terakhir ini. Doa Mrs. Dellas telah dikabulkan. Tangan Angella yang menutupi mulutnya tampak bergetar ketika ia melihat Charlie dengan sabar meladeni ibunya. Air mata kebahagiannya tidak 158

terbendung lagi. Mrs. Dellas ikut terharu ketika melihat air mata Angella. “Hati Anda sangat lembut, Tuan Puteri,” kata Mrs. Dellas. “Tidak, Anda tidak benar,” bantah Angella. Frederick tersenyum melihat wajah Angella yang memerah. “Apakah Anda tidak tahu, gadis ini terkenal sangat dingin? Tetapi sekarang kelembutan hatinya telah muncul kembali.” “Apakah itu benar? Saya tidak pernah mendengarnya, tetapi saya pernah mendengar seorang gadis yang sangat dingin. Namanya Snow Angel,” kata Mrs. Dellas tak percaya. “Snow Angel dan Angella adalah orang yang sama. Kami yang memberinya nama itu,” kata Frederick tanpa menghiraukan protes Angella. Wanita tua itu tampak terkejut. “Apakah Anda menyembunyikan kelembutan hati Anda karena Jenny? Saya tidak menduga begitu besar rasa bersalah Anda pada Jenny,” katanya terharu. Angella tertunduk diam. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan wanita itu. Ia telah mendirikan dinding es yang tebal, namun dinding es itu mulai menipis. Apakah dinding es itu akan tetap ada ataukah dinding es itu akan melebur, Angella tidak tahu. Ia hanya mengetahui seorang pria telah menemukan lubang di dinding es itu kemudian memasuki tempat yang dilindungi dinding itu. Ia merasa sangat sedih karena pria itu kini menjauhinya. Pria itu selalu menghindar darinya, ia tidak lagi mengajak Angella berbicara. Ia segera pergi menjauh bila melihatnya walaupun pria itu melihatnya dari kejauhan seakanakan Angella adalah makhluk berbahaya yang harus dijauhi selagi ada kesempatan. Pernah Angella mengajaknya bicara, namun ia tampak enggan berbicara kepadanya. Hal itu membuat Angella semakin sedih. Akhirnya Angella meninggalkan pria itu, ia tidak lagi berusaha mengajak bicara pria itu. Nanny dan Countess yang melihat mereka menjadi dingin satu sama lain lagi, merasa sedih. Mereka menduga Angella dan Vladimer bertengkar lagi untuk kedua kalinya. Oscar dan Frederick juga merasa sedih. Mereka tidak tahu mengapa Angella dan Vladimer tidak seakrab dulu lagi. Mereka merasa harapan mereka sejak kecil tidak dapat terwujud ketika melihat hubungan kedua insan itu menjadi lebih dingin dari permusuhan mereka yang pertama. Angella juga tidak tahu mengapa Vladimer menjauhinya. Ia 159

merasa

sedih karenanya, namun ia tidak pernah menampakkan kesedihannya di depan siapa pun, karena itu tidak ada yang mengetahui perasaannya yang sebenarnya. “Kapan kami dapat membawa ayah Charlie ke mari?” tanya Frederick. “Sebaiknya bila Jenny benar-benar telah terbiasa dengan Charlie,” kata Mrs. Dellas. “Aku ingin segera melihat wajah pria yang telah menyakiti hati adikku,” geram Bill. “Bill!” tegur ibunya, “Walaupun pria itu telah menyakiti hati Jenny, tetapi ia tetap ayah Charlie. Engkau jangan berbuat apa-apa terhadapnya bila ia datang.” “Beberapa minggu lagi kami akan membawanya ke mari. Bagaimana menurut Anda?” “Saya setuju, Tuan Muda. Charlie dalam waktu satu minggu lebih telah mampu menghilangkan kebencian ibunya, tentu dalam waktu sekian minggu hubungan mereka akan semakin dekat,” kata Mrs. Dellas.

160

16

Akhirnya hari yang dinantikan Angella tiba. Hari ini ia akan membuka kartu yang akan menggemparkan semua orang sekaligus menyakitkan bagi segelintir orang. Seusai sarapan pagi, mereka berempat meninggalkan rumah dengan alasan hendak berkuda. Angellalah yang menyarankan hal ini. Ia bersikeras naik kuda ke tempat yang yang akan mereka tuju. Ia mengatakan kepada mereka agar orang tuanya tidak curiga. Ia menyadari protes keras ketiga pria itu dengan usulnya. Tetapi mereka tetap setuju, karena mereka tahu percuma membantah gadis itu saat ia menatap tajam pada mereka. Mereka tidak menyadari rencana di balik semua ini. Tidak seorang pun dari ketiga pria itu yang mencurigainya. Mereka berpisah tak jauh dari Troglodyte Oinos. Frederick dan Oscar menemui Earl sedangkan Angella dan Vladimer menuju rumah Jenny. “Apakah engkau marah kepadaku?” tanya Angella. “Tidak, aku tidak marah kepadamu,” jawab Vladimer. “Engkau

bohong.

Engkau

marah

kepadaku

sehingga

engkau

menjauhiku,” kata Angella. “Apakah engkau marah karena malam itu aku pergi sendiri ke gereja?” “Tidak, aku tidak marah kepadamu,” ulang Vladimer. “Jangan menipuku!” kata Angella tajam, “Matamu mengatakannya kepadaku.” “Engkau membuatku bingung. Engkau tidak mempercayai orang lain, tetapi engkau mempercayai mata mereka.” “Mata tidak dapat menipu,” kata Angella datar. “Baru

kali

ini

aku

mendengarnya.

Siapa

yang

mengatakannya

kepadamu?” “Nanny. Nanny sering mengatakan kepadaku bahwa mulut bisa berbicara banyak, tetapi mata dapat berbicara jujur.” “Apakah itu sebabnya engkau selalu memandang mata orang yang berbicara?” “Ya. Apakah sekarang engkau mau jujur kepadaku? Aku minta maaf bila 161

engkau marah karena aku malam itu aku pergi sendiri. Aku tidak berniat membuatmu marah, aku hanya tidak ingin membuatmu semakin repot.” “Aku tidak pernah merasa repot bila membantumu, aku senang melakukannya. Aku juga tidak marah kepadamu. Bila mataku menunjukkan kemarahan, percayalah itu tidak kutujukan padamu.” “Bila bukan kepadaku, kepada siapa?” tanya Angella tajam. “Aku sedih melihat matamu yang penuh kemarahan itu.” Kemudian ia memacu kudanya meninggalkan Vladimer. “Jangan sedih! Aku tidak bermaksud membuatmu sedih,” kata Vladimer setelah berhasil menyusul Angella. “Aku marah kepada diriku sendiri.” “Mengapa? Engkau tidak pernah berbuat salah akhir-akhir ini. Engkau menepati janjimu. Di mana letak kesalahanmu? Aku tidak melihatnya,” kata Angella bingung. “Engkau salah. Aku telah membuat suatu kesalahan besar.” “Kesalahan apa?” desak Angella. “Aku telah membuatmu sedih. Aku tidak ingin membuatmu sedih tetapi aku telah melakukannya. Bagiku itulah kesalahan terbesarku seumur hidupku,” jawab Vladimer. “Mengapa engkau berkata seperti itu? Selama beberapa tahun terakhir ini

aku

memang

sedih,

tetapi

itu

bukan

karenamu.

Engkau

telah

mengetahuinya juga,” kata Angella sedih. “Memang selama beberapa hari ini engkau membuatku sedih karena engkau menjauhiku. Tetapi kemarahanmu itu sudah kulihat sebelum engkau mulai menjauhiku. Mata itu mulai menunjukkan kemarahan pada malam kita berkumpul di gereja.” “Jangan sedih, Angella!” hibur Vladimer, “Aku tidak ingin menjauhimu tetapi aku terpaksa melakukannya sebab….” “Sebab apa?” tanya Angella dengan lembut melihat keragu-raguan Vladimer. Sejenak Vladimer tampak terkejut mendengar kata-kata lembut Angella, tetapi ia tetap tidak melanjutkan kata-katanya. “Katakan kepadaku, Vladimer. Bila masalah ini selesai, engkau akan pulang, bukan? Karena itu, jangan membuatku penasaran,” bujuk Angella. “Aku terpaksa melakukannya sebab engkau tampak sedih ketika mengatakan kepadaku bahwa Nanny dan ibumu menduga kita saling mencintai.” “Mengapa engkau menduga seperti itu?” 162

“Engkau tampak kebingungan dan sedih ketika aku membenarkan pendapat mereka,” kata Vladimer tak kalah sedih dari Angella. “Waktu itu aku memang bingung, tetapi aku tidak sedih. Aku…,” Angella malu mengakui perasaannya saat itu. “Mungkin aku tampak sedih, tetapi sesungguhnya aku tidak merasa demikian. Sebaliknya aku merasa senang, tetapi aku tidak percaya. Bahkan akhir-akhir ini ketika engkau menjauhiku, aku semakin merasa engkau berbohong kepadaku ketika mengatakan itu.” “Mengapa engkau tidak mempercayaiku?” tanya Vladimer. “Karena matamu saat itu tampak ragu-ragu. Seperti…,” kata Angella perlahan-lahan, “Seperti tidak bersungguh-sungguh.” “Saat itu aku memang ragu-ragu mengatakannya,” kata Vladimer. “Mengapa?” sahut Angella. “Karena aku tidak yakin apa yang akan kaulakukan. Aku menduga engkau membenci semua pria setelah kejadian yang menimpa Jenny itu.” “Kau tahu? Aku tidak membenci semua pria di dunia ini setelah kejadian itu. Aku percaya tidak semua pria seperti Earl. Bila aku membenci semua pria, aku tidak akan mempercayaimu,” kata Angella semakin sedih. “Jangan bersedih lagi. Aku tidak ingin melihatmu bersedih. Maafkan aku yang telah membuatmu bersedih. Aku ingin engkau mempercayai kata-kataku. Untuk kali ini aku tidak akan ragu-ragu, aku akan mengatakan dengan penuh keyakinan. Tidak peduli apa yang akan kaulakukan.” Angella menghentikan langkah kudanya, demikian pula Vladimer. Ia menatap dalam-dalam mata Vladimer. Ia merasa jantungnya seperti berhenti berdetak

karena

tegang

menanti

apa

yang

akan

dikatakan

Vladimer.

Tangannya menggenggam erat-erat tali kendali kuda. Vladimer menatap lekat-lekat mata Angella. Ia melihat Angella tampak tegang. Ia ingin mengulurkan tangannya untuk menghilangkan ketegangan gadis itu. Tetapi ia menahan keras keinginannya itu. “Aku mencintaimu,” kata Vladimer dengan segenap perasaannya. Angella terkejut mendengar pengakuan Vladimer. Ia tertunduk malu tanpa dapat mengutarakan perasaannya. “Sejak dulu aku menyayangimu tetapi bagiku alasan itu tidak cukup menjelaskan perasaanku yang aneh ketika mengetahui tentang Danny. Aku tak dapat mengerti diriku sendiri yang dengan mudahnya membenci pria yang baru kulihat itu.” “Dan aku merasa bersalah telah menuduhmu bersikap tidak benar 163

dengan meletakkan bunga itu di Ruang Perpustakaan. Seharusnya aku tahu bahwa engkau memang tidak menyukai baik bunga yang dikirim Danny itu maupun Danny sendiri.” Angella teringat pada suatu siang ketika Vladimer menemaninya. Saat itu tiba-tiba suara pintu diketuk perlahan memecahkan keheningan dalam kamar Angella. Angella yang sejak tadi memejamkan matanya, membuka matanya dan melihat Vladimer berdiri dari kursi depan perapian yang akhir-akhir ini menjadi kursi kesayangannya bila ia berada di kamar Angella. Pria itu selalu duduk di sana sambil menemani Angella. Ketika pintu dibuka, tampak seorang pelayan membawa seikat besar bunga mawar merah. Wajah pelayan ini tertutup oleh ikatan bunga mawar yang besar dan megah itu. “Letakkan bunga itu di Ruang Perpustakaan,” kata Angella ketika Vladimer mengulurkan tangannya hendak menerima bunga itu dari pelayan. Pria itu terkejut mendengar suara Angella yang tajam. Ia menatap wajah Angella yang tak berperasaan itu. “Bunga ini sangat indah. Pasti akan memperindah kamarmu bila diletakkan di vas dekat tempat tidurmu itu,” kata Vladimer dengan nada yang aneh. Pria itu tidak mengerti mengapa dirinya merasa marah ketika Angella mendapat kiriman bunga yang indah itu dari Danny. Ia menduga itu karena ia tidak menyukai Danny dan segala hal yang berhubungan dengan pria itu. Tetapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu itu salah. Bukan karena itu ia tidak menyukai Angella mendapat kiriman bunga yang sangat indah itu. “Letakkan di Ruang Perpustakaan,” kta Angella tajam. Vladimer meminta pelayan itu menyerahkan rangkaian bunga mawar itu di Ruang Perustakaan. Setelah menutup pintu kamar Angella, ia kembali ke tempatnya semula. “Mengapa engkau bersikap seperti itu?” tanya Vladimer. “Karena tidak ada alasan bagiku untuk menerimanya,” jawab Angella dengan tenang. “Katakan sejujurnya padaku, apakah engkau menyukai bunga itu?” “Takkan ada wanita yang mengatakan bunga itu buruk.” “Mengapa engkau bersikap seperti seorang pengecut? Mengapa engkau tidak menerima bunga itu kalau engkau memang menyukainya?” 164

“Aku tidak menyukainya,” kata Angella tajam. “Engkau marah pada Danny yang tidak mengantarkan bunga itu sendiri setiap hari. engkau marah karena Danny menyuruh orang lain mengantar bunga itu bukan ia sendiri yang mengantarnya. Benarkah demikian?” Angella menatap tajam pada Vladimer. Vladimer melihat pandangan mata Angella sangat dingin. Pandangan terdingin yang pernah dilihatnya. Ia percaya bila ia bukan orang yang juga memiliki sikap yang sama dinginnya dengan Angella, ia akan merasa beku oleh pandangan mata yang lebih dingin dari es manapun itu. “Apakah hakmu mengatur aku?” kata Angella tajam. Vladimer terdiam. Ketika ia akan mengatakan sesuatu, Angella telah mendahuluinya: “Bila aku mengatakan tidak suka kepada seseorang, aku tidak akan pernah menyukainya. Untuk apa membohongi diriku sendiri?” “Jangan membohongiku, Angella. Aku telah melihat banyak wanita yang berbuat tidak sesuai dengan perasaan mereka. Apa yang mereka lakukan berbeda dengan apa yang ada di hati mereka,” kata Vladimer tak kalah tajamnya. “Jangan samakan aku dengan wanita-wanitamu,” balas Angella. “Mengapa aku tidak boleh menyamakanmu bila kenyataannya memang demikian? Jujurlah, Angella. Engkau merasa sakit hati karena bukan Danny yang mengantar bunga itu untukmu.” “Kalau pun aku merasa sakit hati itu bukan masalahmu,” kata Angella dingin sedingin tatapannya saat itu. “Memang bukan masalahku,” kata Vladimer. “Pergilah engkau! Aku tidak ingin melihatmu lagi, pergilah sejauh mungkin,” kata Angella sambil menahan gejolak perasaannya. “Mengapa, Angella? Engkau mengakuinya?” tanya Vladimer dengan suara mengejek. “Pergi dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi. walaupun aku beribu-ribu kali menjelaskannya kepadamu tetapi tetap tidak akan ada gunanya,” kata Angella, “Sekarang pergilah, tinggalkan aku sendiri.” “Baik. Bila engkau menginginkan waktu untuk menyadari kesalahanmu yang telah meminta pelayan meletakkan bunga itu di Ruang Perpustakaan,” kata Vladimer, “Dan ketahuilah Angella engkau adalah wanita yang paling 165

sombong tetapi pengecut yang pernah kujumpai.” Setelah pria itu pergi, Angella merasa sangat marah dan sedih. Ia memejamkan matanya. “Bagaimana Vladimer bisa mengatakan hal itu?” kata Angella pada dirinya sendiri, “Ia telah mengetahui aku tidak pernah menyukai Danny. Mengapa ia mengatakan hal itu? mengapa ia menyamakan aku dengan wanitawanitanya?” Gadis itu berusaha menjawab semua pertanyaan itu. Tetapi tiap kali pertanyaan baru muncul di benaknya. Akhirnya dengan perasaan jengkel dan sedih Angella membuat suatu keputusan bagi dirinya sendiri. Angella memutuskan sejak saat itu ia tidak akan mau melihat wajah Vladimer lagi. Pria itu boleh menganggapnya seperti apa saja sesuka hatinya, sedangkan yang sebenarnya ia tidak seperti yang dianggap pria itu. Vladimer tidak tahu mengapa Angella bersikap sangat dingin seperti itu bahkan terkesan sangat sombong. Pria itu tidak tahu apa-apa mengenai gadis itu sejak sejak kepergiannya ke Eton, delapan tahun lalu. Pria itu boleh mengatakan bahwa ia seorang pengecut, tetapi ia tahu ia tidak pernah berusaha menghindari Danny. Ia memang tidak menyukai Danny. “Bagaimana dengan sikapku yang selalu menolak bertemu Danny setiap kali pria itu berkunjung ke rumahnya? Bagaimana dengan sikapku pada bungabunga yang dikirim pria itu?” tanya Angella pada dirinya sendiri. Angella diam berpikir, kemudian menjawab pertanyaan yang muncul di benaknya itu, “Pria sombong itu akan semakin sombong bila aku menerima setiap kunjungannya dan bunga-bunganya. Saat ini mungkin ia menjadi lebih sombong karena mengira aku menerima bunga-bunganya, tetapi kelak ia akan tahu aku tidak pernah menerimanya.” Ia merasa kata-kata Vladimer itu merupakan suatu tanda permusuhan bagi mereka. Seolah-olah pria itu telah memberinya tanda perang, ia merasa ia tidak dapat membiarkan Vladimer terus mengejek dirinya. Pada saat yang bersamaan, Angella merasa perasaannya sangat pilu. Seolah-olah tidak dapat menahan gejolak perasaannya lagi, ia menangis tersedu-sedu. Sejak saat itu permusuhan pertama mereka muncul. Tetapi permusuhan itu menghilang bersamaan ketika Angella menunjukkan kepercayannya pada Vladimer dengan menceritakan segala sesuatu mengenai Charlie pada pria itu. Vladimer memandang Angella yang masih menundukkan kepalanya 166

mendengar ceritanya. Kemudian ia melanjutkan: “Aku minta maaf telah menuduhmu sangat sombong dan pengecut. Seharusnya saat itu aku tidak mengatakan hal seperti itu. Aku seharusnya percaya pada kata-katamu. Engkau memang dingin tetapi aku tidak pernah merasa engkau sangat sombong. Saat itu aku hanya merasa cemburu pada Danny yang telah mengirimimu bunga yang sangat indah sehingga aku mengucapkan kata-kata yang sangat menyakitkan itu.” “Aku… tidak menyalahkanmu atas… atas kata-katamu waktu itu. Katakatamu…

waktu

itu

memang…

sangat…

menyakitkan,

tetapi…

lebih

menyakitkan tindakanmu… yang menjauhiku,” kata Angella perlahan. “Aku minta maaf, Angella, saat itu aku tidak menyadari bahwa aku mencintaimu. Aku baru menyadari perasaanku ketika engkau bertanya mengenai sikapku yang dingin. Saat itu aku menyadari alasanku bersikap dingin kepada wanita lain. Aku berusaha menghindari mereka karena aku mencintaimu.” Vladimer memandang wajah Angella yang memerah. “Aku sangat mencintaimu sehingga saat aku melihat engkau tampak sedih

ketika

secara

tidak

langsung

aku

mengungkapkan

perasaanku

kepadamu, aku merasa telah membuat kesalahan besar.” “Aku mulai menduga engkau membenci semua laki-laki. Hal itulah yang mendorongku melakukan tindakan yang tidak ingin kulakukan. Aku mulai menjauhimu karena aku takut engkau semakin membenciku. Aku takut selama ini

engkau

menganggapku

hanya

main-main

dengannya,

hanya

menggodamu.” Angella mengangkat kepalanya. Ia menatap lekat-lekat mata Vladimer. “Itu tidak benar,” katanya lirih, “Aku tidak pernah berpikiran seperti itu terhadapmu. Aku… aku… mencintaimu.” Angella tertunduk malu ketika ia menyatakan perasaan yang telah lama dipendamnya, jauh sebelum Charlie lahir. “Percayalah, aku benar-benar mencintaimu. Bukan karena engkau mirip Frederick, tetapi karena engkau selalu baik kepadaku walaupun kadang-kadang engkau juga dingin kepadaku sehingga membuat aku merasa sedih,” kata Angella tiba-tiba. Vladimer tersenyum lembut pada Angella. Ia tidak menyalahkan gadis itu atas dugaannya. Ia mengakui ia dan Frederick mirip. Apabila mereka bertiga berdiri bersama, orang akan menduga ialah adik Frederick. 167

Rambutnya sehitam rambut Frederick demikian pula matanya. Yang membedakan hanyalah sorot mata mereka. Sorot mata Frederick ramah, sedangkan sorot matanya dingin dan tajam seperti Angella. “Aku percaya padamu, Angella,” kata Vladimer. Kemudian ia dengan lembut mencium bibir Angella untuk semakin meyakinkan gadis itu. Angella terkejut dengan gerakan Vladimer yang tak diduganya itu. Tubuhnya terasa bergetar ketika Vladimer menciumnya. “Aku mempercayaimu dan akan selalu mempercayaimu. Aku ingin rasanya membuatmu mengetahui besarnya cintaku padamu tetapi kita masih mempunyai urusan yang sangat penting,” kata Vladimer dengan tersenyum, “Mari kita berangkat sekarang, aku khawatir kita terlambat.” Angella merasa jantungnya berdebar-debar melihat senyuman Vladimer yang jarang dilihatnya itu. Ia membalas senyuman Vladimer dan mulai melanjutkan perjalanan. Semakin mendekati rumah Jenny, mata Angella tampak semakin penuh misteri. Tetapi Vladimer tidak menyadarinya karena ia sedang mencurahkan semua perhatiannya pada kuda yang ditungganginya. Keluarga Jenny menyambut mereka dengan ramah, Charlie tampak semakin akrab dengan ibunya. Angella menemani mereka berdua, Jenny melihat padanya terus menerus seakan-akan ingin mengenali Angella. Vladimer menanti di luar, ia bercakap-cakap dengan Bill. Ketika hari mulai siang, Frederick dan Oscar datang. Sekali lagi Angella membuat pertanyaan di benak kakak-kakaknya dan Vladimer. Ia melarang kakak-kakaknya mengatakan kepada keluarga Jenny bahwa ayah Charlie akan datang. Tak lama setelah kedatangan mereka, sebuah kereta mendekat dan akhirnya berhenti tepat di depan rumah Jenny. Ketiga pria itu, menyambut kedatangan Earl. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada keluarga Jenny. Angella juga melarang mereka memberi tahu keluarga Jenny bahwa pria itulah ayah Charlie. Angella tampak tenang, ia sengaja tidak menyambut kedatangan Earl. Dengan tenang, ia membisikkan sesuatu kepada Jenny dan Charlie. Setelah itu ia meninggalkan mereka berdua. Di luar, Bill dan Mrs. Dellas tampak kebingungan melihat Earl yang datang dengan sebuah kereta kuda yang megah. Angella tersenyum misterius melihat mereka, ia menyuruh Bill dan Mrs. Dellas masuk. Setelah itu ia berkata 168

perlahan kepada Earl agar ketiga pria yang kebingungan melihatnya itu tidak mendengar apa yang dikatakannya kepada Earl. Ketiga pria itu tidak dapat mendengar apa yang dibicarakan Angella dengan Earl. Mereka hanya dapat melihat Angella menatap tajam kepada Earl kemudian Earl menganggukkan kepala. Setelah itu Earl mengikuti Angella menuju rumah Jenny. Angella tidak masuk ke dalam, ia hanya berdiri di pintu. Setelah Earl masuk, ia segera menutup pintu rumah Jenny dan menghampiri kakakkakaknya dan Vladimer. “Sebenarnya, saat ini engkau sedang merencanakan apa?” tanya Oscar. “Aku tidak merencanakan apa-apa,” jawab Angella tenang. “Bila engkau tidak merencanakan apa-apa, mengapa tingkahmu sangat misterius? Apa yang kaukatakan kepada Earl tadi?” tanya Oscar. “Tunggu saja. Bagaimana pertemuanmu dengan Earl?” “Ia memberi kami kejutan yang takkan pernah kami duga. Kami tidak segera mengatakan segalanya kepadanya. Pertama, kami menanyakan apakah ia ingat pada Jenny. Pada awalnya ia enggan menjawab, tetapi setelah kami desak agar jujur, akhirnya ia menjawab ia masih ingat,” kata Frederick. “Kemudian aku bertanya kepadanya bagaimana perasaannya kepada Jenny. Frederick marah kepadaku karena menanyakan hal itu. Tetapi aku terus mendesak Earl, aku berkata, ‘Ini demi masa depan keluarga Anda.’ Frederick sangat marah kepadaku, tetapi kemudian ia dan aku sama-sama terkejut dengan jawaban Earl,” kata Oscar. Oscar tertawa geli, Frederick marah melihatnya. “Wajah Frederick saat itu lucu sekali. Aku bisa mati tertawa bila mengingat wajahnya saat itu. Sayang saat itu suasana di sana sedang tegang sehingga aku tidak bisa tertawa melihat wajah Frederick yang baru pertama kali kulihat itu. Ia melongo, matanya membelalak seperti ikan koki.” “Oscar!” bentak Frederick, mukanya merah pada karena malu dan marah. Oscar tidak berhenti tertawa melihat wajah kakaknya yang merah padam. Vladimer juga tertawa geli melihat wajah Frederick, Angella hanya tersenyum geli. Angella tahu Frederick akan semakin marah bila mereka, Vladimer dan Oscar terus menertawakannya. “Apa yang dikatakan Earl?” tanyanya untuk mengalihkan perhatian ketiga pria itu. 169

“Oh…, Angella. Apakah engkau memang terbuat dari es? Mengapa engkau tidak tertawa melihat wajah Frederick yang seperti itu? Vladimer yang sama dinginnya denganmu saja bisa tertawa,” keluh Oscar. Frederick tidak menghiraukan keluhan Oscar. Ia menjawab, “Earl mengatakan ia sangat mencintai Jenny. Kami terkejut mendengarnya kemudian Oscar bertanya, “Bila Anda mencintai Jenny, mengapa Anda menikah dengan wanita lain?” Earl menjawab, “Aku menikah dengan istriku karena ia adalah tunangan yang dipilihkan orang tuaku. Aku tidak berani menentang mereka. Setelah kematian istriku, aku berharap dapat bertemu Jenny lagi.” “Apakah itu sebabnya Anda tidak menikah lagi?” tanya Oscar. Earl menganggukan kepala. Kemudian aku mengatakan segalanya pada Earl. Mengenai Jenny juga mengenai putranya, Charlie. Aku bercerita persis seperti yang Vladimer ceritakan kepada kami. Earl terkejut mendengar cerita itu. “Di mana Jenny? Di mana putraku?” tanyanya. Aku menjawab, “Kami akan mengantar Anda menemui mereka bila Anda berjanji kepada kami bahwa Anda mau bertanggung jawab terhadap mereka berdua. Tetapi yang kami inginkan bukanlah sekedar janji. Kami menginginkan perbuatan yang nyata.” “Aku akan bertanggung jawab atas mereka. Aku akan menjaga mereka dengan sungguh-sungguh untuk menebus dosaku selama ini kepada mereka berdua,” kata Earl. “Tetapi Anda harus ingat bahwa keadaan Jenny yang sekarang tidak sama dengan dulu,” kata Oscar mengingatkan. “Tidak apa-apa. Aku senang dapat bertemu dengannya lagi. Aku percaya aku dan putraku akan dapat memulihkan keadaannya,” kata Earl bersungguhsungguh. Setelah meyakinkan kami berdua, Earl segera mempersiapkan kereta. Kemudian kami mengantarnya ke tempat ini.” “Sudah kuduga Ldy Elize tidak mengatakan mengenai kedatangan Jenny kepada Earl. Apa yang dikatakan Earl ketika kalian mengatakan bahwa Jenny diusir oleh adiknya?” tanya Angella. “Ia tampak marah sekali. Ia menatap adiknya penuh kebencian ketika kami melihatnya berdiri kebingungan di depan pintu melihat kami bergegas 170

pergi,” kata Frederick. “Sekarang giliran kami yang bertanya dan engkau yang menjawab,” kata Oscar. “Apa yang sedang kaurencanakan?” “Aku tidak merencanakan apa pun,” kata Angella tenang. “Apa yang kaukatakan kepada Earl?” tanya Oscar lagi. “Tunggulah sampai mereka keluar.” “Mengapa engkau membiarkan mereka berbicara sendiri di dalam? Kita berada di sini untuk membantu mereka, bukan berdiri menanti di luar.” “Tenanglah, Oscar. Tunggulah sampai mereka keluar. Setelah itu akan jelas segalanya bagi kalian.” Angella menghampiri tempat kudanya ditambatkan. Ia mengelus-elus bulu kuda itu seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Ketiga pria itu telah dibuatnya bingung. Ketika matahari mulai menuruni langit, ia melompat ke atas kudanya. Kemudian menghampiri ketiga pria yang semakin bingung melihatnya. “Mungkin sebentar lagi kita dapat

pulang. Aku merasa tak lama lagi

pembicaraan mereka akan selesai dan mereka akan keluar.” Benar apa yang dikatakan Angella. Setelah ia menyelesaikan kalimatnya, seorang pria yang menggendong seorang anak laki-laki muncul dari balik pintu. “Terima kasih karena kalian mau mempertemukan kami kembali,” kata Earl. “Terima kasih kembali karena Anda telah menepati janji Anda,” kata Frederick. “Mulai sekarang engkau akan tinggal dengan ayah dan ibumu, Charlie,” kata Angella. “Engkau harus menyayangi dan meenghormati mereka seperti yang engkau janjikan kepadaku.” “Baik, Tuan Puteri,” kata Charlie. “Mulai sekarang engkau jangan memanggilku Tuan Puteri lagi,” kata Angella, “Panggillah aku dengan namaku, Angella.” “Tetapi saya lebih suka memanggil Anda ‘Tuan Puteri’ daripada Angella.” “Berusahalah engkau pasti bisa,” kata Angella. “Bagaimana pembicaraan Anda?” “Tepat seperti yang Anda katakan. Mula-mula mereka terkejut dan marah. Tetapi setelah saya mengatakan segalanya seperti yang Anda sarankan, mereka mulai mengerti. Kalian jangan khawatir lagi, segalanya telah 171

beres,” kata Earl. “Apakah saya boleh bermain lagi di Ruang Kanak-Kanak?” tanya Charlie. “Tentu saja. Kami akan menanti kedatanganmu,” kata Angella. Charlie berseru gembira. Ia senang bermain di Ruang Kanak-Kanak dan ia tidak pernah merasa bosan bila berada di sana. “Apakah Tuan Muda mau mengajak saya bepergian naik kuda lagi?” “Jangan memanggil kami Tuan Muda lagi. Sepertinya sekarang engkau tidak memerlukan kami lagi bila ingin berkuda. Engkau dapat melakukannya tanpa kami, engkau dapat berkuda dengan ayahmu,” kata Frederick. “Tetapi bila ayahmu mengijinkan, kami dengan senang hati akan mengajakmu berkuda sambil mengelilingi hutan di sekitar rumah kami,” kata Oscar. Sekali lagi Charlie berseru gembira kemudian ia berkata, “Apakah aku boleh bermain ke Troglog… Trog….” Charlie mengeluh lagi karena tidak dapat menyebut nama rumah Earl of Tritonville dengan benar. “Ya, engkau boleh bermain ke Troglodyte Oinos kapan pun kau mau,” kata Earl. “Aku juga akan mengajarimu mengucapkan Troglodyte Oinos dengan benar.”

172

17

Angella merasa lega. Earl tidak hanya menepati janjinya tetapi juga sangat menyayangi Charlie. Charlie juga tampak sangat menyayangi Earl. “Apakah kalian akan menunggu hingga mereka kembali atau kita pulang sekarang?” tanya Angella kepada kakak-kakaknya. “Kurasa sebaiknya kita pulang dulu, biarlah mereka menyelesaikan masalah mereka.” “Baiklah. Kita akan pulang. Lagipula engkau masih harus menjelaskan beberapa hal kepada kami,” kata Frederick. Ketiga pria itu mengikuti langkah Angella. Mereka menuju ke tempat kuda mereka ditambatkan, kemudian kembali ke sisi Angella. Mereka berpamitan kepada Earl dan keluarga Jenny. Setelah agak jauh dari rumah Jenny, Frederick bertanya kepada Angella, “Apa yang sedang kaurencanakan?” “Engkau harus menjawab sekarang. Tidak ada jalan untuk lari lagi. Mereka telah selesai berbicara,” kata Oscar. “Baiklah, aku akan menceritakannya kepada kalian. Tetapi pertama-tama kalian harus mempercayai bahwa aku tidak merencanakan apa-apa,” kata Angella. “Baiklah, kami percaya kepadamu,” kata Oscar. “Aku tidak merencanakannya, semuanya terjadi dengan sendirinya.” “Apa maksudmu?” sela Oscar. “Jangan menyela, Oscar. Ia belum selesai bercerita,” bentak Frederick. “Baik. Baik, aku tidak akan menyela lagi. Teruskan ceritamu, Angella,” kata Oscar. “Aku akan memulai dari percakapanku dengan Earl. Aku mengatakan kepada Earl bahwa keluarga Jenny tidak mengetahui siapa ayah Charlie. Mereka pasti terkejut bila tahu ayah Charlie adalah seorang Earl, karena itu aku meminta kepadanya untuk berbicara dengan perlahan namun jujur. Aku memintanya untuk tidak segera mengatakan kepada keluarga Jenny bahwa ia seorang Earl dan berniat membawa mereka.” “Keluarga Jenny tidak tahu? Selama ini kukira mereka tahu ayah Charlie adalah seorang Earl,” sela Oscar terkejut. 173

“Oscar!” bentak Frederick dan Vladimer. “Maaf. Mungkin memang sudah kebiasaanku menyela pembicaraan orang.” Angella melanjutkan, “Keluarga Jenny memang tidak tahu. Aku tidak tahu mengapa Jenny tidak mengatakannnya kepada mereka, tetapi aku juga tidak dapat memberi tahu mereka bahwa pria itu adalah seorang Earl. Aku berpikir mungkin Jenny tidak ingin Mrs. Dellas dan Bill mengetahuinya. Jenny tidak pernah menyebut namanya di hadapan mereka, ia hanya mengatakan pria itu.” “Jadi itu sebabnya mereka hanya mengatakan ayah Charlie atau ayahnya, tanpa pernah menyebut namanya,” kata Frederick. Sekarang giliran Oscar dan Vladimer yang membentak Frederick. Frederick segera meminta maaf kepada mereka. “Pertama, Earl kusarankan agar meminta maaf atas perbuatannya empat tahun silam kepada mereka. Aku memintanya untuk menceritakan dulu kejadian itu dengan sejujur-jujurnya.” “Aku juga menyarankan agar ia meyakinkan mereka bahwa ia tidak tahu mengenai kedatangan Jenny dalam keadaan mengandung ke rumahnya dan bahwa ia tidak tahu keadaan Jenny. Baru setelah mereka mengerti masalah itu, ia boleh mengatakan kepada mereka bahwa ia seorang Earl dan ia berniat membawa Jenny dan putranya ke rumahnya. Itulah yang kukatakan kepada Earl.” “Ya, aku mengerti sekarang,” kata Oscar. “Lalu, mengapa kita tidak membantu mereka tadi melainkan hanya menunggu di luar?” “Karena kita telah membantu mereka berkumpul lagi. Biarkan mereka berkumpul dan berbicara sendiri sebagai satu keluarga. Kehadiran kita hanya akan mengganggu bukan membantu. Kadang kala pembicaraan suatu keluarga ada baiknya bila tanpa campur tangan orang luar,” jawab Angella. “Engkau telah menjadi lebih dewasa dan bijaksana sekarang,” kata Frederick. “Masih ada yang kausembunyikan dari kami. Ceritakan apa yang ada di pikiranmu,” kata Vladimer. “Aku tidak mengerti,” kata Angella pura-pura tidak mengerti. “Apakah masih ada yang lain? Ceritakan kepada kami, Angella,” kata Frederick. “Baiklah. Saat ini aku sedang memikirkan besarnya akibat dari kejadian 174

ini.” “Apa maksudmu?” tanya Oscar. “Sejak tadi engkau hanya tenang-tenang saja, membuat kami bingung.” “Semua orang pasti akan gempar bila mengetahui Earl tiba-tiba mempunyai seorang putra dan istri baru. Danny pasti akan sangat terpukul bila mengetahui ia tidak lagi menjadi pewaris pamannya. Harga dirinya akan jatuh dan hancur berkeping-keping. Kemudian, Lady Elize pasti akan merasa sangat malu kepada kakaknya juga kepada Jenny bila mereka berkumpul di rumah itu.” “Engkau membuatku teringat akan Danny. Apakah engkau sekarang akan menjadi lebih hangat kepadanya setelah mengetahui keluarganya tidaklah seburuk yang kaukatakan?” tanya Frederick. “Tidak. Bila aku ingin bersikap lebih baik kepadanya, tentunya aku tidak akan membuka rahasia yang akan membuatnya jatuh ini,” kata Angella tenang, “Di samping itu aku tidak ingin membuat seseorang menjadi cemburu lagi.” “Apakah engkau berhasil, Vladimer? Sejak tadi aku melihat kalian menjadi semakin akrab dari biasanya,” tanya Oscar ingin tahu. Angella melihat mereka dengan kebingungan. Vladimer tersenyum melihat kebingungan Angella. “Seperti yang kalian harapkan,” kata Vladimer. Kedua kakak Angella berseru gembira seperti anak kecil, “Akhirnya apa yang kita harapkan sejak kecil menjadi kenyataan,” kata mereka. “Apa yang kalian bicarakan?” tanya Angella kebingungan. “Kami akan mengatakannya kepadamu pada saat pernikahanmu,” kata Oscar. Mereka tersenyum melihat Angella yang menunduk malu. Mereka tahu Angella merasa senang mendengar kata-kata Oscar. “Benar apa yang kita duga waktu mereka bertengkar, Oscar,” kata Frederick. “Apa yang kalian pikirkan saat kami bertengkar?” tanya Vladimer. “Kami merasa pertengkaran kalian itu seperti jalan agar kalian dapat menyadari bahwa kalian saling mencintai.” “Pertengkaran konyol,” kata Angella dingin. “Engkau tahu, Angella? Aku merasa engkaulah satu-satunya gadis yang sanggup menghadapi sikapku yang sangat dingin itu,” kata Vladimer, “Dan 175

ketika kita bertengkar itu, aku merasa benar-benar berhadapan dengan orang yang

sangat

tepat,

yang

dapat

membalas

semua

kata-kataku

yang

menyakitkan.” “Mengapa engkau berkata seperti itu?” protes Angella, “Tetapi apa yang kaukatakan memang benar. Saat itu aku juga merasa berhadapan dengan orang yang tepat.” “Kalian memang cocok satu sama lain. Sama-sama dinginnya,” kata Frederick. “Dan bila bertengkar sangat seru,” timpal Oscar. “Oscar! Jangan berkata seperti itu. Bukankah kita tidak mengharapkan mereka bertengkar lagi,” tegur Frederick. “Jangan khawatir, Frederick. Kurasa mereka tidak akan bertengkar lagi.” “Apakah engkau bersedia menjadi mempelaiku?” Angella tetap tertunduk malu, tetapi mereka sudah mengetahui jawaban gadis itu. Harapan kedua kakak Angella telah menjadi kenyataan, sekarang mereka menanti suara dentang lonceng . -----0----Apa yang dikatakan Angella memang tepat. Semua orang terkejut ketika mengetahui Earl of Wicklow mempunyai seorang putra yang sangat lucu. Lady Elize merasa serba salah terhadap kakaknya. Wanita itu memilih tinggal di tempat lain untuk menghindari perasaannya yang berkecamuk melihat wanita yang dulu diusirnya kini tinggal bersamanya. Sehari setelah Earl of Wicklow membawa Charlemagne pulang, wanita itu pindah ke Skotlandia. Danny tampak terpukul mendengar berita itu. Ia kini tidak lagi sering terlihat.

Pria

itu

seperti

sedang

bersembunyi

untuk

menyembunyikan

keterkejutannya. Memang semua orang terkejut mendengar berita itu, tetapi mereka lebih terkejut ketika mengetahui sepasang manusia yang terkenal dingin itu melangsungkan pernikahannya. Atas permintaan Angella, pernikahan itu dilangsungkan di Gereja St. Augustine. Semula kedua orang tua Angella dan orang tua Vladimer tidak setuju, 176

tetapi karena Vladimer dan kedua kakak Angella menyetujuinya, akhirnya pernikahan itu dilangsungkan di Gereja St. Augustine. Satu hal yang membuat mereka terkejut adalah jumlah orang yang hadir dalam pernikahan itu. Mereka hanya mengundang keluarga yang sangat dekat saja dalam upacara pemberkatan pernikahan itu, namun jumlah yang hadir melebihi yang mereka perkirakan. Jumlah mereka yang sangat banyak membanjiri gereja tua itu. Rupanya banyak orang yang ingin mengetahui bagaimana pernikahan antara seorang gadis cantik yang berhati dingin dengan pria tampan yang juga berhati dingin. Suasana di dalam maupun di luar gereja itu sangat berbeda dari sebelumnya. Halamannya yang semula banyak ditumbuhi tumbuhan liar, kini terlihat rapi dan banyak bunga yang bermekaran di halaman itu. Anak-anak dari Panti Asuhan Gabriel berdiri dengan penuh senyum di depan gereja. Mereka menyambut setiap orang yang hadir. Setiap ada yang datang, mereka menyambut dengan riang. Ketika kereta terakhir tiba, mereka segera berlari mendekat. Pintu kereta terbuka dan muncullah Earl of Tritonville dengan senyuman senang. Ia mengulurkan tangannya ke dalam kereta. Dari dalam kereta, terulur tangan yang bersarung putih. Tangan itu menerima uluran tangan Earl of Tritonville dan kemudian menampakkan dirinya dari dalam kereta. Angella tampak sangat cantik dalam gaun pengantinnya. Walaupun wajahnya

masih

tertutup

kerudung

pengantin,

namun

tidak

menutupi

kebahagiaan yang tercermin di sana. Earl of Tritonville menuntun Angella menuju ke altar yang berhiaskan bunga-bunga yang sangat indah, ke samping pria yang dicintainya. Angella merasa sangat bahagia melihat Vladimer yang telah berdiri di depan altar. Hatinya terasa damai dan bahagia ketika ia mendekati pria itu. Pria itu tampak semakin tampan dalam kemeja hitamnya. Pria itu tersenyum menyambut kedatangannya. Vladimer

mengulurkan

tangannya

pada

Angella

yang

segera

menyambutnya. Pria itu tersenyum lembut pada Angella. “Kuserahkan putriku padamu. Jagalah dia baik-baik,” bisik Earl. Matanya tampak basah oleh air mata kebahagiaan. Senyumnya terus 177

mengembang ketika ia menghampiri keluarganya yang berada di barisan terdepan tempat duduk jemaat itu. Pendeta segera memulai upacara pemberkatan itu. Dan ketika upacara itu selesai, ia segera memberi ucapan selamat kepada mereka berdua. “Saya berdoa agar kalian bahagia selalu,” kata Pendeta Paul. “Terima kasih, Pendeta,” kata Vladimer. Setelah ucapan selamat dari Pendeta Paul, mereka terus menerima ucapan-ucapan selamat yang terus membanjir. Hingga mereka berada di Cardington House, ucapan semacam itu terus membanjir. Miss Lyne serta Miss Mary juga anak-anak Panti Asuhan Gabriel diundang dalam pesta pernikahan mereka di Cardington House. Pendeta Paul juga turut diundang. “Anda telah berbohong kepada kami ketika Anda mengatakan nama Anda Gazetta,” kata Miss Lyne sambil tersenyum. “Maafkan saya, Miss Lyne. Saya harus melakukannya karena saya tidak ingin seorang pun mengetahui saya pernah ke sana dengan membawa seorang bayi,” kata Angella. “Kalau begitu cerita itu benar?” tanya Miss Mary. “Cerita apa, Miss Mary?” tanya Nanny. “Pendeta Paul pernah bercerita kepada saya bahwa Miss Gazetta…. Oh,….” “Tidak apa-apa, Miss Mary. Anda belum terbiasa dengan nama saya yang sebenarnya,” kata Angella memaklumi kekeliruan Miss Mary. “Pendeta Paul pernah mengatakan kepada saya bahwa ketika Anda pertama kalinya datang ke Gereja St. Augustine, Anda membawa seorang bayi,” kata Miss Mary malanjutkan ceritanya. “Itu benar. Ketika saya pertama kali ke Gereja St. Augustine, saya membawa Charlemagne yang saat itu masih bayi.” “Charlemagne, putra Earl of Wicklow?” kata Miss Lyne terkejut. “Jadi berita yang ditulis koran itu benar,” kata Miss Lyne melihat Angella menganggukan kepalanya. “Benar,” kata Vladimer yang tiba-tiba muncul di teras Cardington House tempat mereka bercakap-cakap. “Anda mengejutkan kami, Tuan Muda,” kata Miss Mary. “Saya mengucapkan selamat kepada Anda, Tuan Muda. Istri Anda benar178

benar luar biasa,” kata Miss Lyne, “Ia sangat baik hati dan tabah.” “Saya sependapat dengan Anda, Miss Lyne. Angella memang luar biasa. Saya sangat beruntung bisa meruntuhkan kedinginan hatinya,” kata Vladimer sambil tersenyum pada Angella. “Sejujurnya saya sangat terkejut ketika mengetahui Snow Angel yang terkenal dingin itu adalah Anda,” kata Miss Lyne pada Angella. “Saya juga terkejut ketika mengetahui Snow Angel itu adalah adik teman saya,” kata Vladimer, “Ia memang suka membuat kejutan.” “Tuan Puteri tidak berhati dingin,” protes Nanny. Angella tersenyum dingin pada Vladimer. Namun Vladimer pura-pura tidak tahu, ia merangkulkan tangannya pada pundak Angella. “Maafkan saya. Saya harus membawa Angella masuk. Kakak-kakak Angella telah memberi peringatan pada saya untuk menjaga Angella baik-baik. Mereka akan sangat marah pada saya bila mengetahui saya tidak segera menyuruh Angella masuk di malam yang dingin seperti ini.” “Malam ini memang sangat dingin, Tuan Muda,” kata Miss Lyne kemudian berkata

kepada

Angella,

“Sebaiknya

Tuan

Puteri

segera

masuk

dan

beristirahat, Anda terlihat sangat letih.” “Kalian juga sebaiknya masuk,” kata Angella. “Tidak, Tuan Puteri. Kami masih harus mengawasi anak-anak yang bermain di halaman yang sangat luas ini,” kata Miss Mary. “Tetapi….” “Saya akan menemani mereka, Tuan Puteri. Anda harus beristirahat, Anda terlihat sangat letih,” kata Nanny. “Mari Angella, engkau tidak ingin kakak-kakakmu marah padaku, bukan?” kata Vladimer membujuk. “Aku akan meminta anak-anak itu masuk. Mereka juga bisa sakit bila terkena udara malam yang dingin,” kata Angella. “Biarkanlah mereka bermain dulu, Angella. Mereka kelihatan sangat senang. Nanny, Miss Lyne serta Miss Mary akan menjaga mereka dengan baik. Mereka tentu juga tidak ingin anak-anak itu sakit.” “Baiklah, Vladimer,” kata Angella mengalah. “Kami permisi dulu,” kata Vladimer sambil menggandeng tangan Angella. “Mereka sangat serasi,” kata Miss Mary sambil memandangi kedua orang itu memutari Cardington House. 179

“Sejak kecil mereka memang selalu terlihat serasi,” kata Nanny. “Tuan Puteri memang beruntung. Ia disayangi banyak orang.” “Itu karena ia selalu penuh perhatian, Miss Lyne. Walaupun ia terkenal akan kedinginannya tetapi ia selalu penuh perhatian. Saya tahu itu dan karena itu pula saya tidak setuju mereka mengatakan Tuan Puteri berhati dingin,” kata Nanny. “Tuan Puteri memang luar biasa. Ia sangat disayangi kakak-kakaknya tetapi ia tidak pernah terlihat manja.” “Saya sependapat dengan Anda, Miss Lyne. Jarang saya melihat orang yang tidak manja walaupun hidupnya penuh dengan perhatian. Biasanya mereka yang sangat diperhatikan oleh keluarganya menjadi manja.” “Itu karena Tuan Puteri menyadari ia tidak boleh bermanja-manja walaupun ia sangat disayangi keluarganya, terutama Tuan Muda Frederick dan Oscar.” “Dapat saya bayangkan, Nanny. Mereka pasti sangat sedih harus menyerahkan adik mereka kepada Tuan Muda Vladimer.” “Mereka memang sangat sedih. Tetapi mereka pula yang terlihat sangat bahagia dengan pernikahan ini. Saya percaya Tuan Muda Frederick dan Oscar tidak akan pernah menyetujui pernikahan Tuan Puteri andai ia menikah dengan orang lain,” kata Nanny. “Tuan Puteri memang sangat beruntung, ia sangat disayangi kakakkakaknya. Tetapi ia lebih beruntung karena dapat menikah dengan orang yang dicintainya.” “Tuan Muda Vladimer juga sangat beruntung, Miss Mary. Ia dapat menikah dengan Snow Angel yang terkenal sangat sulit didekati itu.” “Saya menyesal tidak mengetahui apa-apa tentang masalah itu. Andai saya juga mengetahuinya, Tuan Puteri pasti tidak akan menjadi sangat dingin seperti itu.” “Jangan sedih, Nanny. Tuan Puteri melakukannya pasti karena ia tidak ingin Anda merasa cemas. Ia seorang gadis yang sangat tabah. Saya tidak dapat

membayangkan

bagaiamana

perasaannya

ketika

membawa

Charlemagne ke Gereja St. Augustine dalam cuaca yang sangat buruk.” “Itulah salah satu kelebihannya yang lain, Miss Mary,” kata Miss Lyne. Angella menduga Vladimer ingin menghindari tamu-tamu yang masih berada di Ruang Besar dengan membawanya memutari Cardington House menuju kebun belakang yang berhubungan dengan Ruang Perpustakaan. 180

“Rupanya engkau masih tetap dingin,” kata Angella dengan tersenyum. Vladimer yang mengetahui apa yang dimaksudkan oleh Angella purapura marah, “Jadi begitu, ya. Engkau menganggap aku masih berhati dingin.” “Engkau menghindari tamu-tamu itu,” kata Angella dengan tenang. “Kukira aku telah meruntuhkan semua dinding es yang menyelubungi hatimu,” kata Vladimer melihat wajah Angella yang dingin. “Engkau telah melakukannya. Dinding es itu telah lenyap tanpa bekas,” kata Angella. “Menurutmu apakah banyak orang yang terkejut mendengar penikahan kita ini?” tanya Vladimer. “Bila melihat jumlah tamu yang hadir dalam upacara pernikahan kita tadi, aku rasa tidak hanya banyak orang yang terkejut, semua orang akan terkejut.” Vladimer tertawa mendengar jawaban itu, “Mereka pasti tidak pernah menduga hal ini. Aku pun tidak pernah menduga hal ini akan menjadi kenyataan.” “Mengapa?” “Karena banyak pria yang mencoba meruntuhkan dinding es itu tetapi tidak pernah ada yang berhasil.” “Kasihan, Danny,” kata Angella tiba-tiba. “Apakah engkau mengasihani Danny karena ia tidak dapat menikah denganmu?” “Jangan marah, Vladimer. Aku hanya merasa kasihan pada Danny yang tidak dapat menjadi pewaris tunggal Earl of Wicklow.” “Satu hal dari kelebihanmu yang kusukai adalah engkau selalu penuh perhatian.” “Aku… aku berharap dapat… lebih memperhatikan… dirimu,” kata Angella perlahan. “Oh, Angella. Itulah yang kusukai darimu, engkau selalu penuh perhatian kepada siapapun. Engkau telah memberikan banyak kebahagiaan padaku,” kata Vladimer sambil memeluk Angella. “Sungguh?” tanya Angella tak percaya. “Sejak engkau masih kecil,” kata Vladimer, “Terlebih lagi sejak saat ini, sejak engkau menjadi milikku untuk selamanya. Aku begitu khawatir engkau akan jatuh ke tangan pria lain karena kecantikanmu.” “Aku… sangat mencintaimu, Vladimer. Dan aku tidak peduli pada pria 181

lain karena aku hanya mencintaimu,” kata Angella. “Oh, Angella, engkau tahu? Engkau sangat cantik tadi pagi, aku merasa setiap hari engkau bertambah cantik saja. Dan itu membuat aku semakin mencintaimu.” “Sejak kapan engkau menjadi pandai merayu?” goda Angella. “Sejak engkau merayuku,” jawab Vladimer dengan tenang. “Kapan aku merayumu? Aku tidak pernah merayumu,” protes Angella. “Setiap hari engkau merayuku dengan wajahmu yang cantik itu dan membuat aku ingin sekali memeluk dan menciummu.” Vladimer mengatakan itu dengan tenang dan sungguh-sungguh. Dan itu membuat Angella merasa malu. Angella merasa semakin memerah ketika Vladimer menciumnya dengan lembut sambil terus memandangi matanya. Mata Vladimer menatap lekat-lekat wajah Angella yang memerah. Ia tersenyum pada Angella yang juga menatap wajahnya dari jarak yang sangat dekat. “Aku harus mengucapkan terima kasih karena engkau telah mengundang anak-anak Panti Asuhan Gabriel ke mari,” kata Angella mengganti topik. “Rupanya engkau memang pandai mengalihkan perhatian orang,” kata Vladimer sambil tersenyum yang membuat jantung Angella berdebar semakin kencang, “Aku tahu engkau meminta upacara pernikahan kita itu tidak dilakukan di gereja samping rumahmu melainkan di Gereja St. Augustine itu karena anak-anak itu.” “Bagaimana engkau mengetahuinya?” tany Angella keheranan. “Karena sikapmu yang penuh perhatian itu,” kata Vladimer sambil tersenyum. Sejak awal, Vladimer telah mengetahui Angella meminta upacara itu dilakukan di Gereja St. Augustine karena anak-anak Panti Asuhan Gabriel. Angella ingin agar setiap orang yang diundang ke upacara yang suci itu mengetahui keadaan Panti Asuhan Gabriel dan membantu Panti Asuhan itu. “Aku masih ingat Nanny sangat senang hingga menangis ketika Oscar dan Frederick mengatakan kita akan segera menikah,” kata Angella, “Tadi Charlie juga tampak senang, sayang aku tidak melihat Jenny dan Earl of Wicklow.” “Semua orang juga senang, Angella.” “Menurutmu, bagaimana kabar mereka?” 182

“Mereka pasti baik-baik saja, Angella. Engkau tidak perlu khawatir, mereka pasti juga datang tetapi engkau tidak melihatnya.” “Aku bahagia sekali…, Vladimer, hingga aku… takut semua ini… hanya mimpi,” kata Angella perlahan. “Ini

bukan

mimpi,

Angella,”

kata

Vladimer

sambil

mempererat

pelukannya kemudian ia mencium Angella lagi. Angella merasakan sesuatu yang aneh, yang tidak pernah dirasakannya sebelumnya menjalari tubuhnya ketika Vladimer menciumnya. “Aku… mencintaimu,” bisik Angella. “Sebaiknya aku membawamu masuk sekarang juga daripada nanti kedua saudaramu

memarahiku

karena

engkau

sakit,”

kata

Vladimer

sambil

membopong Angella. Angella tersenyum. Dia tahu Vladimer akan membawanya masuk ke dalam kebahagiaan yang tiada batasnya dan tiada orang lain selain mereka berdua. Kebahagiaan abadi yang selalu diidamkannya.

183