73 TAHUN ARBY SAMAH, TAK PINDAH KE LAIN HATI
Oleh: Yusrizal KW I Sekitar tahun 1957, Konferensi Karet Sedunia diselenggarakan di Yogyakarta. Menurut rencana, Bung Karno akan meresmikan. Sekaitan dengan konferensi tersebut, diadakan pula pameran seni rupa se Indonesia. Salah satu patung abstrak karya Arby Samah diikutsertakan. Bahkan, karena dianggap bakal menarik hati Soekarno– karena pada masa itu nyaris tak ada patung beraliran abstrak—karya Arby dipamer di dekat pintu masuk ruang pameran. Itu berarti, ketika pengunjung datang, tentu juga kala presiden Soekarno masuk, bakal berhadapan langsung dengan patung Arby. Dalam hal ini, Soekarno adalah target utama untuk mengoleksi karya Arby. Sebelum pameran digelar, di antara sesama seniman di Yogya pada masa itu, pilihan Arby menjadi pematung abstrak walau ada beberapa yang mencela tapi banyak yang memberi dukungan, terutama dari Fadjar Sidik, Kusnadi, Rusli, serta Soenarto Pr dan Nasjah Djamin. Nah, ketika beberapa saat menjelang pameran dibuka, teman-teman seniman banyak meramalkan Arby bakal kaya raya. Sebab, kalau Soekarno tertarik, langsung beli, dan konglomerat lainnya biasanya akan ikut membeli karya sang seniman. “Arby akan kaya, kita akan pesta,” begitu kata teman-temannya. Pameran pun akhirnya dibuka. Kusnadi sebagai pemandu pun mengiringi Bung Karno memasuki ruang pameran. Sampai di dekat patung abstrak Arby, sang pemandu dengan bangga menunjuk patung karya laki-laki kelahiran Pandai Sikek 1 April, 73 tahun lalu. “Ini adalah karya Arby Samah yang terbuat dari batu padas, Pak….” kata Kusnadi. Soekarno spontan dan tegas menyahut, “Saya tidak suka patung abstrak. Teman-teman seniman yang mendengar ucapan Bung Karno, langsung bergumam, “Wah, Arbi tak jadi kaya raya!” Tentu, artinya, pertanda tak akan pernah ada pesta, karena sang presiden menggeleng. II Ada gadis, teman Arby di masa muda, di negeri Yogya, bernama Kustiyah. Dari sana, ada cerita yang melahirkan kesimpulan bagi Arby, bahwa antara hati, imajinasi, dan pikiran jika berpadu ke dalam bentuk energi visual akan menakjubkan. Kekuatan hati, nurani dan pikiran seorang
seniman, apakah ia pelukis atau pematung, bisa melahirkan karya yang objeknya ada, tanpa mesti berhadapan langsung dengan objeknya itu. Kekuatan imajinasi, setidaknya bagi Arbi bisa memicu lompatan untuk merealisasikan apa yang menggerakkan hati, meneguhkan pikiran. Adalah Kustiyah, model patung Arbi, yang tersenyum ketika patung potert dirinya diselesaikan Arby dalam waktu seminggu. Patung realis Kustiyah, yang dikerjakan Arby jika disitilah dengan bahasa gaul saat kini, ya…. Kustiyah banget! Alkisah, ketika mengerjakan patung potret Kustiyah, Arby tidak pernah berada di hadapan Kustiyah. Tidak sebagaimana umumnya pematung atau pelukis model, yang objeknya harus berada didepannya. Arby mengerjakan patung Kustiyah di waktu malam. Ketika siang, patung yang masih dalam proses itu ditutupnya agar tak seorang pun dapat melihat. Barangkali, cukuplah dia saja dulu yang tahu. Atau, barangkali, biarlah Kustiyah bermain-main, hadir di ruang imajinasinya, hatinya dan pikirannya. Ketika potret Kustiyah selesai, maka berkunjunglah teman-teman dan dosen-dosen Arby ke studionya. Di studio Arby, teman, dosen, dan tentu Kustiyah terkejut. Kagum. Karena patung Kustiyah, mirip, pokoknya bentuk dan karakternya Kustiyah banget. Dan hanya Arby yang tahu, kira seperti apa senyum Kustiyah pada masa itu. Saking takjubnya, seniman Amrus Natalsya berkata, “Setiap malam hantu Kustiyah datang ke studio Arby untuk dibuatkan patungnya….” Ucapan Amrus disambut gelak. Hanya, Kustiyah yang tersenyum manis. Barangkali, juga tersipu. III Suatu waktu, Arby Samah sakit. Mendemam beliau. Sepuluh hari lamanya. Pelukis Trubus yang melihat Arby terbaring lemah, merasa kasihan. Trubus pun mengajak Arby ke rumahnya di Kaliurang. Sesampai di rumah Trubus, ada pelukis S. Soedjojono sedang melukis pemandangan berukuran dua meter lebih. Entah kenapa, setelah melihat S. Soedjojono melukis, terbit semangat Arby untuk melukis. Rasa sakitnya terasa hilang seketika. “Saya akan menyaingi S. Soedjojono. Saya akan buat pula lukisan seperti dia itu,” kata Arby. Dan, benar setelah itu, ia melukis. Seminggu kemudian, selesailah sebuah lukisan, Trubus berkata, “Lukisanmu bagus. Ternyata penyakit kamu itu obatnya hanya melukis.! IV Hingga kini, sesungguhnya sosok Arby tidak bisa dihapus dalam sejarah seni rupa Indonesia. Sebab, sejarah mencatat, ia merupakan pematung abstrak pertama Indonesia. Apa pun adanya hari ini, Arby tancapan Arby dalam seni patung modern Indonesia, begitu kokoh. Bagi saya, untuk merayakan 73 tahun Arby Samah, ada hal sederhana yang menarik untuk direnungkan. Yakni soal pilihan, konsistensi serta komitmen. Kemudian kesetian pada pilihan, jelas merupakan satu bagian yang sangat penting dalam sejarah kehidupan seorang individu. Ketika seorang harus memilih, ketika itu ia harus menyintai pilihannya, sebagaimana ia menyayangi dirinya untuk berkarya, berbuat sesuai garis pilihan. Pilihan seorang, semisal Arby sebagai pematung abstrak, adalah pondasi dasar yang kira-kira bisa dijadikan pijakan membicarakan Arby dan karyanya. Setidaknya, bilik dari pikiran memilih abstrak, akan mengerakkan seorang menafsir karya-karyanya. Tidak semata melihat sosok fisik berbentuk karyanya, tetap bisa berangkat dari pikiran dan energi yang digerakkan oleh pilihan. Jika tidak, sosok patung yang konstan, tentu akan melahirkan tafsir yang mengalami perulangan satu sama lain.
Arby adalah orang yang setia pada pilihannya. Pada ilustrasi I, saya mengutip pengalaman pameran dan kunjungan Soekarno. Kalau seniman tidak teguh pendirian, labil, ketika ada yang menyepelekan apalagi orang sekelas Bung Karno, bukan mustahil akan patah arang atau pindah ke aliran lain. Tapi Arby tidak demikian. Ia tetap pada pilihannya, pada hatinya. Ia telah memilih, dan itu ternyata hingga kini kita sadari: tetap dicintai. Label pematung abstrak sekaligus pelopornya, sudah melekat. Ia, Arby, terbukti setia: Tak pindah ke lain hati. Pada ilustrasi II, Arby mengatakan, antara hati, imajinasi, dan pikiran jika berpadu ke dalam bentuk energi visual akan menakjubkan. Artinya, di situ kita bisa menangkap pesan Arby dalam berkarya. Bahwa, sebagai seorang seniman ia memiliki pijakan, konsep yang menggerakkan dirinya untuk melahirkan karya. Tentu, pikiran atau konsep, tetap relatif. Yang jelas, bahwa seorang seniman, bagi Arby harus memiliki kekuatan imaji, hati nurani dan tak kalah penting: pikiran. Pada ilustaris III, Trubus mengatakan kepada Arby, “Ternyata penyakitmu itu obatnya adalah melukis!” Dan memang, Arby yang sakit tiba-tiba merasa sehat setelah melukis. Di sini, kita juga bisa memberi tafsir tersendiri, bahwa dalam hidupnya, disadari atau tidak, Arby merasa lebih hidup ketika berkarya. Artinya, Arby pada masa itu, betul-betul memiliki energi yang melesat dari dalam dirinya untuk menjadi seorang seniman. //--> Entri ini dituliskan pada April 10, 2006 pada 6:02 am dan disimpan dalam ARTIKEL. Anda bisa mengikuti setiap tanggapan atas artikel ini melalui RSS 2.0 pengumpan. Anda bisa tinggalkan tanggapan, atau lacak tautan dari situsmu sendiri.