5 Tahun Pertama Ahmad-buklet

  • Uploaded by: faizatul rosyidah
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 5 Tahun Pertama Ahmad-buklet as PDF for free.

More details

  • Words: 24,511
  • Pages: 142
5 Tahun Pertama; Teriring Do’a dan Harapan untuk Anakku

Faizatul Rosyidah

5 Tahun Pertama; Teriring Do’a dan Harapan untuk Anakku

Penulis Faizatul Rosyidah, dr. Design cover dan Lay Out Faizah Ali Editor: Ali Tamam Penerbit Fia Pustaka Jl. Jemur Wonosari Lebar 58 B Surabaya 60237 Tlp. 031-72106173, 08813162457 Email : [email protected] Cetakan I, Agustus 2008

Untuk Semua orang tua yang sedang mendidik anak pada 5 tahun pertama kehidupan mereka. semoga menjadi inspirasi untuk senantiasa optimis dan meiliki harapan terbaik untuk anak-anak kita Semua anak yang sedang meniti jalan membangun kepribadian.Semoga menjadi inspirasi untuk senantiasa bersyukur kepada Allah SWT dan kedua orang tua kita. Anakku, Ahmad Juraij Al Manshur, amanah terindah yang diberikan Allah SWt. Semoga bisa menjadi pengingat dan pemberi pelajaran bagi perjalanan kehidupanmu selanjutnya. Buku ini kami persembahkan

Daftar Isi

Daftar Isi......................................... Pengantar Editor............................. Pengantar dari Penulis.................... Sekilas Tentang Ahmad.................. BALITA; GOLDEN PERIODES....... IBU SEKOLAH PERTAMA DAN UTAMA..................................... MENGENAL 3 TIPE ANAK........... 1. Anak yang Mudah................. 2. Anak yang Perlu Pemanasan. 3. Anak yang Sulit.................... METODE MEMPERBAIKI KESALAHAN ANAK.................... MENGENAL AHMAD................... Anak Infaq............................... Hampir Kehilangan Ayah Di Usia 6 Bulan Kandungan.................. Proses Kelahiran Itu.................

4

Hari-Hari Pertama Yang Penuh Dengan Kesabaran................... Bertemu Ahmad Pertama Kalinya.................................... Kehilangan Sang Ayah Yang Belum Pernah Menyentuh......... ‘Orang Tua Baru: Abi Dan Umi’. . Mengganti Nama Panggilan...... Batuk; Penyakit Favorit............ Aktiv, Jagoan Dan Pemberani Sejak Bayi................................ ’Bakat’ Temperamental............. Jarang Menangis, Sering Menangiskan............................ Cara Berkenalan Dengan Teman Baru........................................ Susah Makan............................ Tipe Kinestetis Dan Auditory Dalam Belajar........................... Ahmad; Hukma Shabiyya (‘Dewasa’ Sejak Kecil).............. Berdoa Ketika Menangis...........

5

BERBAGI PENGALAMAN MENDIDIK AHMAD.................... Mengenalkan Allah SWT dan Sifat-Sifat-Nya......................... Mengenalkan Ayah dan Ibu Kandung.................................. Pembiasaan Sebagai Metode Pendidikan Awal....................... Memanfaatkan Photographic Memory................................... Belajar Mengendalikan Diri....... Berdoa…Berdoa…Dan Berdo’a... Pendekatan ‘Positif’, Jangan ‘Negatif’ (Pelajaran Dari Doa Untuk Abi Yang ‘Nakal’)............ ’Besar ’ Dan Belajar Di Jalan...... Hypnosis Yang Tidak Disadari.... Melakukan Hynoparenting Dengan Tepat........................... Mengajar Anak Kinestetis......... Belajar Mengenal Huruf, Angka Dan Mengaji............................. Memilih(Kan) Mainan................

6

Bola…bola…, Puzzle…puzzle… Untuk Anak Kinestetis................. Toilet Training.......................... Antara Dot Dan Pampers........... Jangan Tertawakan................... Meniti Jalan Menjadi Hafidz Dan Da’i......................................... Sayyid Hussein Tabataba’i; Sang Inspirator........................ Umi Sang Arsitek, Abi Asisten Dan Guru Yang Luar Biasa......... Metode Isyarat, Ayat Dan Hadits Pilihan........................... Menghafal Dan Belajar Di Jalan Justru Memudahkan.................. Al Kautsar; Surat Istimewa Di Hati Ahmad.............................. Antara Laptop, HP Dan Menghafal Qur’an..................... Play Group; Berlatih Bermain Dan Berbagi............................. Wali Murid Yang ‘Terpesona’, Wali Murid Yang Resah.............

7

Nakoda Berbicara; Antara Di Rumah Dan Sekolah..................

Penutup................................. Bacaan lebih lanjut:................ Sekilas Tentang Penulis...........

8

Pengantar Editor Assalamu’alaikum Wr.Wb. Setiap orang tua, pasti menginginkan agar anaknya menjadi orang yang sukses. Sukses dalam meraih kehidupan dunia, terlebih lagi sukses merengkuh kehidupan akhirat. Inilah do’a yang barangkali selalu kita panjatkan kepada Allah Robbul’Izzati setiap selesai ruku’ dan sujud. Kita bersimpuh dihadapan Allah SWT dengan berharap agar do’a kita didengar dan dikabulkan-Nya. Disamping memerintahkan untuk berdo’a kepada Allah sebagai senjata bagi orangorang yang beriman, Islam juga mengajarkan kepada kita, agar berusaha dengan segala kemampuan untuk meraih tujuan yang kita inginkan. Kita diwajibkan untuk berikhtiar sesuai dengan tuntunan syari’ah yang telah diajarkan, sebagai wujud bakti kita kepada-Nya. Dalam hal mendidik dan membina anak kita, berusaha untuk mengetahui potensipotensi yang ada pada anak kita kemudian berusaha mengembangkan dan mengasahnya, adalah sesuatu yang harus kita lakukan. Demikian juga berusaha

9

untuk mengetahui setiap kelemahan yang dimiliki anak kita, kemudian membantu mereka agar bisa ’mengelola’ dan mengendalikan kelemahan tersebut agar bisa menjadi nilai positiv mereka, pun harus kita lakukan. Inilah yang coba untuk dipaparkan oleh buku ini, dimana kita diajak untuk belajar bersama tentang bagaimana peran yang bisa dilakukan oleh orang tua ’mengelola’ kekhasan karakter anaknya masingmasing, melalui perjalanan hidup seorang anak yang bernama Ahmad Juraij AlMansur sebagai sebuah contoh. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, kita bisa mengambil pelajaran atau ibrah dalam melakukan proses pendidikan anak dengan karakter khas mereka. Semoga apa yang menjadi cita-cita orang tua kandung Ahmad untuk bisa memiliki anak yang Sholeh dikabulkan oleh Allah SWT. Demikian juga dengan segala upaya orang tua angkatnya untuk mengasuh dan mendidiknya dicatat oleh Alloh SWT sebgai amal shalih yang mendapatkan balasan sebagaimana yang telah dijanjikan-Nya melalui lisan beliau yang mulia Rasulullah Muhammad SAW.“ Ana wa kaafilul yatimi fil jannah“ (saya bersama orang yang menyantuni anak

10

yatim berada di surga) kemudian Rosululloh memberikan isyarat kedekatan beliau dengan orang tersebut bagaikan jari telunjuk dan jari tengah. Amiin ya robbal’alamiin. Wassalamu’alaikum Wr.Wb. Surabaya, 26 Juni 2008 Ali Tamam (Trainer Quantum Learning)

11

Pengantar dari Penulis Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh Segala puji bagi Allah SWT, Dzat Yang memiliki kesempurnaan, Yang telah memungkinkan kami merasakan bagaimana indahnya mengasuh dan mendidik anak di masa emasnya. Shalawat serta salam bagi Rasul junjungan kita, teladan terbaik dalam segala hal, Muhammad SAW beserta seluruh keluarga beliau, shahabat dan penerus perjuangan beliau hingga hari akhir. Buku ini mulanya kami tulis dengan niat untuk membuat sebuah catatan sederhana perjalanan hidup Ahmad (anak kami yang menginjak usia ke-5 pada bulan Agustus 2008 ini), sebagai hadiah ulang tahun baginya. Harapan kami, semoga apa yang kami catat di sini bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat dan bernilai tidak hanya sekarang, tapi insya Allah terlebih kelak ketika dia sudah bisa memahami segala sesuatu dengan sempurna. Namun di tengah-tengah merancang buku ini, terbersit sebuah

12

keinginan untuk berbagi pelajaran dan pengalaman yang banyak kami dapatkan ketika mengasuh dan mendidiknya. Sebagaimana sebelumnya, kami juga acapkali menggunakan pelajaran dan pengalaman kami mengasuh dan mendidik Ahmad sebagai inspirasi ketika kami mengasuh beberapa rubrik konsultasi rumah tangga dan pendidikan anak di beberapa radio ataupun forumforum lain. Maka dengan segala kerendahan hati, kami mencoba menuliskan perjalanan hidup Ahmad dengan sebuah pengemasan yang memungkinkan bagi kami tidak hanya bercerita tentang Ahmad, akan tetapi juga sharing dan mencoba berbagi pengetahuan dan pengalaman kami dalam melakukan pendidikan anak utamanya pada golden periodes (0-5 tahun) mereka. Buku ini terdiri dua bagian. Pada bagian pertama berisi artikel-artikel seputar pendidikan dan pengasuhan anak – diantara apa yang pernah kami tulis-, sementara bagian kedua berisi ‘semacam biografi’ Ahmad dan pengalaman yang ingin kami bagi selama mengasuh dan mendidik Ahmad dalam 5 tahun pertama usianya.

13

Tentu saja apa yang telah kami lakukan – dalam melakukan pengasuhan dan pendidikan anak- dan kemudian kami tulis di sini, bukanlah sesuatu yang istimewa ataupun sempurna. Justru sebaliknya kami menyadari bahwa semua yang kami lakukan penuh dengan kekurangan di sana-sini. Oleh karenanya, kami hanya berharap semoga apa yang kami tuliskan di sini bisa disikapi dengan penyikapan terbaik. Seandainya ada kebaikan yang bisa diambil, silakan diamalkan dan disebarluaskan. Akan tetapi seandainya terdapat hal-hal yang kurang tepat, agar kiranya ditinggalkan, dan diluruskan. Masukan dan saran bagi perbaikan kami -sebagai orang tua maupun sebagai penulis buku ini- sangatlah kami harapkan. Akhir kalam, kami mengucapkan rasa syukur dan terimakasih kepada para Ustadz , Ustadzah dan siapa saja –dengan caranya masing-masing- yang sudah membantu kami mendidik Ahmad. Terimakasih pula kami sampaikan untuk suamiku tercinta yang senantiasa mendampingi dan membantu penyelesaian buku ini. Sekaligus kami memohon maaf atas segala kesalahan yang Ahmad dan juga kami selaku orang

14

tuanya lakukan. Semoga kita semua dikarunai Allah SWT anak-anak yang barakah (senantiasa bertambah kebaikannya), hukma shabiyya (memiliki kematangan dan kedewasaan sejak kecil), rabbi radliyya (mendapatkan keridloan dari tuhannya). Anak-anak yang akan menjadi jalan bagi orang tuanya mendapatkan kemuliaan di sisi-Nya. Amin…Ya Rabbal ‘Alamiin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Surabaya, 28 April 2008 Faizatul Rosyidah

15

Sekilas Tentang Ahmad A. Juraij Al Manshur, itulah nama yang tertulis di akta kelahirannya. Juraij atau Joe adalah panggilan yang diberikan orang tuanya ketika dalam pengasuhan mereka. Terlahir pada tanggal 19 Agustus 2003, dari pasangan Achmad Kautsar dan Yuyun Masyruchah, Ahmad adalah anak ketiga dari pasangan tersebut. Kedua kakaknya adalah Nailul Mufidah (Ilul) dan M. Jalaludin Muchdlor (Alal), masing-masing sekarang berusia 8 dan 12 tahun. Hampir menjadi yatim pada waktu usia 6 bulan dalam kandungan karena ayahnya sakit keras, dan akhirnya benar-benar menjadi yatim ketika berusia 4 bulan setelah kelahirannya, Ahmad bayi adalah bayi yang ‘sedikit menangis’. Kelak, semakin tumbuh, Ahmad kecil nampak menjadi seorang anak yang ‘pemberani’, dominan dan dikenal ‘jagoan’. Semoga ini bagian dari modal yang disiapkan Allah SWT baginya untuk kelak menjadi seorang pemimpin yang diridlai-Nya bagi umat dan bangsa ini.

16

Sejak usia 5 bulan, Ahmad diambil sebagai amanah untuk diasuh dan dididik oleh pasangan Ali Tamam dan Faizatul Rosyidah, Abi dan Uminya sekarang. Dengan beberapa karakter dominannya seperti sangat aktif, periang, lincah, pemberani, cukup PD (percaya diri dengan kemampuannnya), namun juga cukup temperamental alias mudah marah, kedua orang tua baru Ahmad harus memiliki ekstra kesabaran dan optimisme dalam mempersiapkan Ahmad kecil -seiring dengan perkembangan pemahaman dan kesadarannyakelak bisa mengendalikan semua potensi dasar tersebut untuk bisa menjadi seorang pemimpin yang berkarakter kuat. Dibawah pengasuhan dan pendidikan orang tua dan guru-gurunya, Ahmad yang kini berusia 5 tahun masih harus melewati perjalanan panjang menempa diri untuk menjadi calon pemimpin masa depan umat ini. Insya Allah.***

17

BALITA; GOLDEN PERIODES Banyak penelitian menunjukkan betapa masa dini usia, yaitu masa lima tahun ke bawah, merupakan golden ages (masa keemasan) bagi perkembangan kecerdasan anak. Salah satu hasil penelitian menyebutkan bahwa pada usia 4 tahun kapasitas kecerdasan anak telah mencapai 50%. Seperti diungkapkan Direktur Pendidikan Anak Dini Usia (PADU), Depdiknas, Dr. Gutama, kapasitas kecerdasan itu mencapai 80% di usia 8 tahun. Ini menunjukkan pentingnya memberikan perangsangan pada anak dini usia, sebelum masuk sekolah. Setiap bayi memiliki potensi milyaran sel otak yang siap mendapat rangsangan. Sentuhan, lingkungan yang ramah otak, dan hands on, adalah beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi otak anak. Sebagian ahli berpendapat, sel otak seorang bayi sebanyak bintang yang bertebaran di langit. Ada pula yang menduga, jumlah sel otak kurang lebih 100 milyar. Seluruh sel ini punya peran penting dalam menunjang fungsi otak sebagai pengatur semua kemampuan manusia di masa dewasa. Namun, meski ada milyaran sel otak, nyatanya tak semuanya berkembang sempurna, karena amat tergantung pada stimulasi yang diterimanya. Konsultan Keluarga Budi Darmawan,

19

menyatakan stimulasi ini memang amat menentukan sejauh mana jaringan sel-sel otak dapat berkembang. Jika sedikit mendapat stimulasi, bisa jadi yang berkembang hanya 1 persen dari sekian milyar sel otak. Sebaliknya, bila stimulasinya banyak, perkembangannya pun bisa lebih besar lagi. Maxwell Malt, seorang peneliti asal Amerika mengemukakan pendapatnya tentang hubungan sel otak yang aktif dengan kecerdasan. Bila manusia dapat mengaktifkan sekitar 7 persen saja dari sel otaknya, ujar Malt, maka gambaran kecerdasan orang itu adalah bisa menguasai 12 bahasa dunia, memiliki 5 gelar kesarjanaan, dan hapal ensiklopedi lembar-demi lembar, huruf demi huruf, yang satu setnya terdiri dari beberapa puluh buku. Menanggapi ini, Budi Darmawan menyatakan, “Kalau kemampuan itu digunakan seorang muslim untuk menghapal, tentu dia mampu menghapal Qur’an dan sunnah Rasulullah sekaligus.” Lima tahun pertama kehidupan anak merupakan masa pesat perkembangan otak hingga masa ini sering disebut sebagai golden periodes. Bahkan, anak di usia 5 tahun pertama diketahui punya kemampuan photographic memory, mengingat seperti mata kamera. Di atas lima tahun, kemampuan memorinya menurun. Tidak sehebat dan sepeka di masa keemasan ini.Lebih jauh Emmy Soekresno, Konsultan pendidikan Jerapah Kecil, menjelaskan, meski secara keseluruhan, fungsi otak bekerja bersamaan, namun, ada penekananpenekanan atau waktu prima (prime time) bagi otak. Misalnya, untuk belajar bahasa asing, misalnya

20

bahasa Inggris, waktu primanya adalah pada usia 412 tahun. Pada usia ini, belajar dengan permainan dan sambil ketawa-ketawa pun, anak sudah bisa bicara bahasa Inggris. Setelah itu, ada second chance, kesempatan kedua untuk belajar, yaitu pada usia 12-15 tahun. Setelah usia 15 tahun, masih bisa belajar bahasa Inggris, tetapi lebih sulit. Milyaran sel otak ini terbagi dalam beraneka bagian seumpama wadah yang siap diisi. Pada usia 12-13 tahun, akan terjadi pemangkasan sel otak. Pada saat itu, otak akan memeriksa isi otak itu sendiri. Jika ada tempat kosong, misalnya bagian kecerdasan emosi yang tidak pernah dilatih sejak usia 1 hingga 12 tahun, maka bagian itu akan dibuang. Itu sebabnya, target orang tua setiap hari adalah bagaimana caranya mengisi otak dengan maksimal dengan memberi stimuli yang maksimal pula. Meskipun Begitu, jangan tergesa-gesa. Bila suatu ketika guru atau orangtua ingin anaknya mampu menulis, membaca dan berhitung di usia dini, sama saja mereka tengah menghilangkan beberapa aspek kehidupan anak. Karena sebelum melakukan ketiga hal tersebut, ada tahapan yang harus dijalani.Sebelum bisa menghitung, anak harus bisa menggambar. Sebelum bisa menggambar, anak harus mampu memegang pensil. Sebelum mampu memegang pensil, maka anak perlu melatih motorik halusnya misalnya dengan bermain pasir. Dengan bermain pasir, anak sesungguhnya sedang menghidupkan otot tangannya dan belajar estimasi dengan menuang atau menakar, yang kelak semua

21

itu ada dalam matematika. Masa yang biasa disebut dengan masa keemasan (the golden ages) ini sekaligus merupakan periode yang sangat kritis yang akan menentukan tahap pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Beberapa penelitian menunjukkan: Pertama, bahwa informasi awal yang diterima anak akan cenderung permanen dan menentukan perilaku anak pada masa berikutnya. Oleh karena itu sejak lahir anak perlu diberikan rangsangan-rangsangan berupa psikososial dan pendidikan agar kelak anak tersebut menjadi manusia yang berkualitas. Rangsangan pendidikan itu perlu diberikan pada masa pralahir, karena pembentukan organ tubuh termasuk otak terjadinya sejak 10-12 minggu setelah proses pembuahan. Kedua, perkembangan intelektual anak terjadi sangat pesat ketika anak usia dini. Kurang lebih 50% variabilitas kecerdasannya terjadi saat anak berusia empat tahun, pada usia delapan tahun bertambah 30% dan 20% lagi akan dicapai pada usia antara 18-20 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada awal usia anak sangat menentukan kecerdasannya, Bloom, seorang ahli mengatakan bahwa empat tahun pertama merupakan waktu yang sangat peka terhadap kaya- miskinnya lingkungan akan stimulasi.Dengan demikian semakin jelas bahwa stimulasi yang diberikan kepada anak-anak sejak dini akan menentukan kualitas anak kelak dalam kehidupannya Ketiga, bahwa hubungan antar sel-sel otak dibentuk dengan adanya saling kirim-dan-terima

22

signal. Signal yang berupa getaran aliran listrik ini mengalir dari sel yang satu ke sel yang lainnya, dan dengan bantuan zat kimia seperti serotonin, terbentuklah hubungan antara sel-sel otak tersebut. Rangsangan yang terus-menerus, yang diberikan melalui bentuk kegiatan yang berulang-ulang, akan semakin memperkuat hubungan antar sel-sel otak. Satu sel otak mampu membuat 15.000 hubungan dengan sel otak yang lain. Hubungan yang sangat rumit inilah yang membentuk jaringan antar sel-sel otak. Pengalaman yang diterima oleh bayilah yang akan menentukan bentuk jaringan di dalam otak. Sejak bayi lahir, jaringan ini akan dibentuk dengan cepat sekali, dan pada usia anak mencapai 3 tahun, otak anak akan membuat kira-kira 1000 trilyun hubungan, dimana jumlah ini adalah 2 kali lipat dari jumlah hubungan jaringan otak pada orang dewasa. Hubungan otak yang densitas/kerapatannya sangat tinggi ini akan tetap dipertahankan sampai dengan umur 10 tahun. Setelah anak menginjak usia 11 tahun, hubungan antar sel-sel otak tersebut akan diseleksi secara alami, dimana hubungan yang sering digunakan akan semakin diperkuat dan menjadi permanen,sedangkan hubungan yang tidak pernah digunakan akan diputus/dibuang. Disinilah pentingnya pengalaman pada usia awal/dini. Dan disinilah peran orangtua akan sangat menentukan. Stimulasi yang kita berikan kepada anak kita akan sangat menentukan apakah hubungan antar sel-sel otak anak tersebut akan diperkuat atau justru diputus dan dibuang. Keempat, Fakta tentang stress, dinyatakan

23

bahwa: Anak yang mengalami stress pada usia kritis 0-3 tahun akan menjadi anak yang hiperaktif, cemas dan bertingkah laku seenaknya. Demikian pula anak dari lingkungan stress tinggi akan mengalami kesulitan konsentrasi dan mengendalikan diri. Sehingga cara orang tua berinteraksi dengan anak di awal kehidupan akan membuat dampak pada perkembangan emosional, kemampuan belajar dan bagaimana berfungsi di kehidupan yang akan datang. Karena saat-saat keemasan ini tidak akan terjadi dua kali, sebagai orang tua yang proaktif kita harus memperhatikan benar hal-hal yang berkenaan dengan perkembangan sang buah hati, amanah Allah. Urgensi mendidik anak sejak dini juga banyak disebutkan dalam Al Qur'an dan Al Hadits antara lain Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya (terdiri dari) manusia dan batu.” (TQS. At Tahrim: 6) Dalam menafsirkan ayat ini, Ali ra. berkata, “Ajarilah dan didiklah mereka.”Berarti mengajar, membina, dan mendidik anak adalah surga. Sedangkan mengabaikan aktivitas tersebut berarti neraka. Itulah sebabnya, sebenarnya tak ada alasan bagi siapapun untuk mengabaikan tugas yang mulia ini. Dalam hal ini Nabi bersabda: “Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan baik.” (HR. Ibnu Majah)

24

“Tidak ada pemberian orang tua kepada anaknya yang lebih baik dari pendidikan (adab) yang baik” (HR. Hakim) “Setiap anak yang dilahirkan berada dalam kondisi fitrah (Islam) kedua orang tuanyalah yang berperan menjadikan ia seorang Yahudi, seorang Nasrani, atau seorang Majusi.” (HR. Bukhari) Imam al-Ghazali ra. dalam bukunya Ihya’ Ulumuddin menyatakan, “…Ketahuilah bahwa mendidik anak merupakan perkara urgen dan penting. Anak merupakan amanah bagi orang tua, Hatinya yang masih suci merupakan potensi yang berharga… Jika ia dibiasakan dan diajari kebaikan-kebaikan nscaya ia akan tumbuh baik sehingga ia kelak akan menikmati kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tetapi jika ia dibiasakan pada kejahatan dan dibiarkan begitu saja seperti halnya binatang, maka ia akan sengsara dan celaka…” Hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa kewajiban mendidik anak ada pada orang tua, dan itu harus dilakukan sejak dini. Sehingga nyatalah, proses pembentukan kepribadian pada diri si anak sangat dipengaruhi oleh cara orang tua mendidiknya. Jika standar pendidikan yang diberikan oleh orang tua adalah aqidah Islam, Insya Allah anak akan menjadi generasi unggulan yang memang patut diteladani.*

25

IBU SEKOLAH PERTAMA DAN UTAMA Seorang ibu mengandung janin (calon anak manusia) dalam rahimnya selama + 9 bulan. Setelah lahir ke dunia ia menyusuinya selama 2 tahun serta mengasuhnya sampai mampu mandiri (+ usia 6-9 tahun), yakni mampu mengurus diri sendiri dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam keadaan ini berarti seorang ibu memiliki peluang yang besar untuk berperan dalam proses perkembangan seorang anak (minimal 6-9 tahun). Bahkan pada masa awal kehidupan anak inilah, peran ibu sangat menentukan kondisi perkembangannya. Seorang ibu memiliki kesempatan dan potensi yang lebih besar untuk berperan secara langsung dalam proses pemberian warna dasar pada anak, yakni peletak dasar/landasan pembentukan kepribadiannya. Sebab ibulah yang paling dekat dengan anak sejak awal pertumbuhannya, sesuai dengan tugas pokoknya. Sedangkan ayah kemungkinan besar lebih banyak di luar rumah karena menjalankan tugasnya mencari nafkah keluarga. Sekalipun demikian, ayah tetap dituntut peran dan tanggung jawabnya dalam proses pembentukan kepribadian anak. Sebab tugas mendidik anak adalah tanggung jawab kedua orang tuanya, bukan hanya ibu. Seorang ibu bisa memulai proses

26

pendidikan pada anaknya sejak janin (masih dalam kandungan), ketika tidak ada orang lain yang bisa melakukannya. Minimal yang harus dilakukan seorang ibu terhadap janin dalam kandungannya adalah memilihkan makanan yang halal dan baik untuk membesarkan janin. Senantiasa berdzikir dan berdo'a kepada Allah SWT, ketika merasakan setiap gejala yang diakibatkan keberadaan janin dalam kandungan. Tidak mengeluh terhadap rasa sakit yang dialaminya di saat hamil, tetapi sepenuhnya berserah diri kepada Allah dan senantiasa mengharapkan pertolongan Allah agar tetap bisa menunaikan segala kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Berupaya menenangkan perasaan/emosionalnya dengan membaca ayat-ayat Al Qur'an, sehingga suasana hatinya tetap tenang dan ikhlas menjalani masa kehamilannya. Sebab kondisi psikologis seorang ibu - menurut pendapat para ahli akan berpengaruh pada perkembangan janin yang dikandungnya. Demikian pula setelah anak lahir, ibu berperan besar untuk menciptakan kondisi lingkungan tempat anak dibesarkan. Suara apa yang pertama didengarnya ketika pertama kali ia bisa mendengar. Pemandangan seperti apa yang dilihatnya ketika ia pertama kali melihat. Kata-kata apa yang diucapkannya ketika ia pertama kali berbicara. Dan lingkungan pertama yang masuk ke dalam 'rekaman kaset kosong' seorang anak adalah rumahnya. Apa-apa yang ada di dalam rumahnya itulah yang pertama direkamnya, terutama yang paling dekat kepadanya adalah ibu. Oleh karena itu

27

ibulah madrasah (sekolah) pertama bagi anakanaknya. Pembinaan oleh ibu yang dilakukan sejak dini ini akan memberikan pengaruh yang luar biasa pada anak, yang tidak akan bisa digantikan oleh pihak manapun ataupun diganti dengan nilai materi berapapun. Bukankah ketika ibu menyusui, ibu mengajarkan rasa aman? Bukankah ketika ibu menidurkan anak dalam buaian, ibu mengajarkan kasih sayang? Bukankah saat melatih anak berjalan, ibu mengajarkan semangat untuk berjuang, saat menengahi perselisihan anak, ibu mengajarkan tentang keadilan? Ibu pun mengajarkan kejujuran, keterbukaan, empati dan tanggung jawab. Dan terpenting, ibulah yang pertama kali mengajarkan anak tentang tuhannya, pada siapa dia harus takut, tunduk dan patuh. Generasi manakah yang lebih baik dari generasi yang kelak bisa memberikan rasa aman, kasih sayang, keadilan dan punya empati yang tinggi terhadap umatnya? Mereka memiliki kejujuran, tidak tergoda oleh materi, bertanggungjawab dan pantang menyerah dalam perjuangannya. Mereka adalah orang yang paling takut tehadap azab Allah bila lalai dari tanggungjawab mereka, Mereka yang menjalankan hukum-hukum Allah tanpa merasa takut pada sesama manusia. Bukankah generasi seperti ini yang akan mampu membawa umat pada kemashlahatan ? Tak dapat dipungkiri lagi bahwa peran ibu sangat besar artinya dalam pembentukan generasi di masa datang, mengingat besarnya peluang dan

28

kesempatan seorang ibu tersebut untuk mengawali proses pendidikan anak-anaknya sejak dini. Mereka bisa membentuk warna dan corak generasi umat Islam di masa datang. Seorang ibu yang lemah, bodoh dan berperilaku buruk akan menghasilkan generasi yang warnanya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Sebab di masa awal, anak mendapatkan teladan yang buruk untuk membentuk eksistensi dan kepribadian dirinya. Anak akan menyerap informasi dan perilaku apapun yang ada didekatnya tanpa bisa memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk. Sebaliknya kalau ‘sang ibu’ itu pintar (menguasai tsaqofah Islam), cerdas, kreatif, berperilaku baik serta berkepribadian Islam yang tinggi, maka warna dasar di masa datang akan baik. Bahkan kalau perannya berjalan optimal, ibu seperti ini akan mampu membentuk generasi yang tangguh, yang tidak terombang-ambing oleh ombak kehidupan. Mereka akan tetap mampu bertahan dan berdiri dengan tegar serta kokoh prinsip hidupnya, apapun kondisi yang menghadangnya. Dengan demikian agar peran para ibu dalam pendidikan generasi di masa datang bisa optimal untuk menghasilkan generasi para mujahid tangguh, politikus ulung dan para mujtahid, maka proses pembinaan para ibu tidak boleh dicukupkan ala kadarnya apalagi diabaikan. Para ibu harus dibina dengan tsaqofah Islam secara mapan atau mendalam, sehingga dia mampu mengarahkan dan bahkan mendidik anak-anaknya menjadi generasi-generasi yang diharapkan mampu berperan meraih kejayaan Islam kembali.

29

Bagaimana mungkin seorang ibu mampu mendidik anak-anaknya menjadi mujahid kalau dia tidak memahami betapa mulianya kedudukan seorang mujahid. Mana mungkin seorang ibu mampu menghantarkan seorang anak menjadi ulama sementara dia buta terhadap tsaqofah Islam. Bagaimana mungkin seorang ibu mampu mendidik anaknya menjadi pejuang-pejuang Islam, aset-aset bangsa, generasi yang akan menjadi agen perubahan masyarakatnya yang rusak, kalau dirinya sendiri masih enggan berkorban untuk Islam. Kalau dirinya sendiri hanya memandang anaknya adalah sekedar aset pribadinya yang kelak harus mengembalikan investasi pribadi yang selama ini dia tanam untuk membesarkan anaknya, dan tidak lebih dari itu. Bagaimana mungkin pula seorang ibu yang lebih mengutamakan kemapanan materi dengan mengejar karir sembari mengabaikan tugasnya sebagai ibu bisa mendidik anaknya untuk meraih kemuliaan di hadapan Allah meskipun dengan mengorbankan dunianya. Mustahil ibu seperti ini akan mampu mencetak generasi harapan umat untuk meraih kebangkitan dan kejayaan Islam kembali. Karena seperti pepatah bilang: “singa hanya terlahir dari singa”; “seorang anak yang hebat juga hanya terlahir dari ibu yang hebat”. Wallahu A’lam. *

30

MENGENAL 3 TIPE ANAK Setiap anak adalah istimewa. Masingmasing anak, dengan berbagai ragam sifat dan potensi yang dimilikinya adalah individu yang khas dan unik. Mereka berbeda satu dengan yang lainnya. Akan tetapi perbedaan tersebut tidak menjadikan mereka memiliki nilai keistimewaan yang berbeda. Adalah tugas kita para orang tua dan pendidik, untuk mengenali karakter dan potensi khas masing-masing anak, untuk kemudian kita bina, pupuk dan kembangkan hingga mereka semua tumbuh menjadi individu-individu istimewa tanpa meninggalkan karakter khasnya. Ada beberapa tipe anak yang secara garis besar bisa dikelompokkan dalam tiga tipe dasar:

1. Anak yang Mudah Anak-Anak golongan ini biasanya penampilannya penuh keberanian dan terbuka. Tampil berbicara apa adanya. Mudah bergaul dengan orang-orang yang baru dikenalnya,lincah serta banyak bicara. Mereka sama sekali tidak canggung berada di lingkungan yang baru. Bahkan beberapa dari anak-anak ini tergolong sangat aktiv. Secara sekilas orang sering kagum dengan anak tipe ini. Pemberani, mandiri dan tidak ”mbokmbok’en”. Pendek kata, tidak merepotkan. Memang tidak merepotkan, karena di rumah pun anak tipe ini

31

biasanya lebih suka main ke luar. Ada banyak orang dan teman yang bisa ia datangi. Mungkin sesekali saja dia mengajak temannya ke rumah. Tetapi ada kelemahan pula pada anak-anak golongan ini. Karena saking mudahnya beradaptasi, jadi terlalu sering berpindah tangan ’pengasuh’. Ini buruk akibatnya bagi dirinya sendiri. Hari ini dia bersama nenek, besok bersama tante, lusa bersama orang yang lain lagi. Di manapun tidak menjadi masalah baginya. Sementara kita tahu, setiap orang tidak pernah punya pola asuh yang sama. Batasan, larangan, cara memerintah, cara membujuk hingga nilai-nilai yang disampaikan dari ibu, tante dan nenek biasanya pun tidak sama. Bahkan adakalanya bertolak belakang. Semua itu hanya akan membuat anak bingung hingga akhirnya mereka menjadi sulit diberi pengertian. Selain itu, karena sifat anak-anak ini yang sangat suka dan tertantang pada hal-hal baru, orang tua harus ekstra menjaga mereka. Kaki lecet, kepala benjol, lebam-lebam karena terjatuh adalah pemandangan sehari-hari yang bakal ditemui oleh orang tua pada anak dengan tipe ini. Sebentar luput dari perhatian, ada saja yang sudah mereka lakukan: naik pagar tidak bisa turun, kepala masuk lubang pagar tidak bisa keluar, jari-jari berdarah karena dimasukkan ke lubang kipas angin, dan semacamnya. Karena itu kewaspadaan tinggi terhadap barang-barang yang berbahaya (seperti listrik, benda-benda tajam, dan semacamnya.) berikut memastikannya tidak mudah terjangkau oleh anak dengan tipe ini harus dilakukan orang dewasa

32

di sekitarnya.

2. Anak yang Perlu Pemanasan Tidak terlalu berani, tidak pula penakut. Yang jelas ia perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Setelah tenggang waktu tersebut, mereka telah memperoleh kepercayaan dirinya kembali. Ia juga bisa menjadi begitu berani seperti teman-temannya yang bertipe ’mudah’. Dengan orang yang belum dikenal mereka hanya diam, walaupun bukan berarti penakut. Tetapi setelah kenal, mereka bisa saja segera akrab. Anakanak ini perlu dorongan semangat dari orang tuanya. Mereka perlu diberi motivasi terlebih dahulu. Tindakan orang tua yang terlalu memaksa bukan pemecahan masalah yang baik. Sering orang tua ingin anaknya menjadi pemberani seperti anakanak ’mudah’. Biasanya ketika anaknya masih menunjukkan gelagat ragu-ragu atau takut, mereka menjadi gusar. Tidak jarang kemudian keluarlah omelan, sindiran bahkan ancaman. Lebih parah lagi bila memaksakan anak yang sedang dalam proses penyesuaian untuk segera melakukan yang diminta orang tua. Waktu pemanasan yang dibutuhkan anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru bisa dipersingkat dengan latihan-latihan. Diantaranya adalah dengan membawa mereka ke tempat-tempat baru agar belajar beradaptasi. Sebelum anak dilatih dengan membawanya ke tempat-tempat baru, hendaknya kita beri pengertian dan motivasi terlebih dahulu. Ini agar anak tidak

33

terlalu terkejut dan sudah sedikit mengenal lingkungan baru tersebut lewat cerita kita. Cara lain adalah dengan meningkatkan keberaniannya secara umum. Misalnya dengan melibatkannya dalam jenis permainan tertentu yang bisa menumbuhkan keberaniannya. Demikian pula bisa dilakukan dengan memperluas sosialisasi dan pergaulannya secara alami dengan teman-teman sebayanya.

3. Anak yang Sulit Anak tipe ini mungkin sering bikin orang tua ’makan hati’. Membuat gemas, jengkel, sekaligus malu. Bayangkan, kemanapun orang tua pergi, ia membuntut di belakang, baju ibu tak pernah boleh lepas dari pegangan tangannya. Bila ada orang menyapa, justru ia menelusupkan wajah di sela-sela baju ibu, seakan-akan hendak masuk ke dalamnya. Anak-anak ini nampaknya kurang tertarik untuk ikut bermain bersama temannya. Mereka sering menampakkan rasa takut dan khawatir berlebihan bila berada di lingkungan yang baru. Dengan orang-orang yang belum dikenalnya, mereka sama sekali tak mau bicara. Padahal ketika di rumah, di tengah keluarga, anak-anak tersebut adalah anak yang lucu. Wajahnya yang imut, tingkahnya yang jenaka, serta bibir mungilnya tak henti-hentinya bercerita tentang satu demi satu teman barunya, juga pengalaman baru yang dialaminya. Siapa yang tak heran. Namun ketika tiba di halaman sekolah, atau di suatu tempat baru, anak ini menjadi berubah kembali menjadi penakut, pasif, dan pemalu, yang

34

terus minta ditemani ibu duduk di dekatnya. Di sekolah, mungkin ia akan melewatkan pekan pertama bersama ibu ikut ’sekolah’ di sampingnya. Seminggu berikutnya ibu boleh menunggu di luar kelas, tapi harus berdiri di dekat jendela sehingga bisa dilihat dari dalam. Di dalam kelas pun, ia belum tertarik untuk berkomunikasi dengan temantemannya pada minggu-minggu awal. Mungkin pertama kali mau ikut maju di depan kelas untuk menyanyi setelah sebulan mereka sekolah. Satu-satunya yang bisa dilakukan orang tua terhadap anak seperti ini adalah bersabar menunggu waktu. Berjalannya waktu akan bisa menyelesaikannya. Tak ada gunanya capai-capai mendamprat, mengomel atau ngotot memaksanya untuk jadi berani. Percuma, mungkin orang tua malah jadi sakit hati. Bahkan omelan, ejekan,dan hinaan dalam banyak kasus hanya akan menghilangkan rasa percaya diri anak. Banyak orang tua yang ingin menunjukkan kemampuan anak-anaknya di depan orang lain menjadi geregetan gara-gara si anak tiba-tiba diam seribu bahasa, pemalu dan nampak bingung saat ditanyai macam-macam. Padahal semua pertanyaan tersebut bisa dijawabnya dengan lancar ketika di rumah. Sebenarnya anak-anak ini memang sudah tahu jawaban-jawaban dari aneka pertanyaan yang didengarnya. Tetapi mereka sedang malas menjawab, lantaran tak menyukai suasana yang seakan menilai dan menguji kepandaian mereka. Nah, biasanya yang sewot justru orang tua karena

35

merekalah sebenarnya yang ingin anaknya dipuji orang. (menggelikan bukan?!) Penyebab utama perilaku ’sulit’ ini bisa jadi karena faktor kurangnya keberanian, kurang latihan bersosialisasi dengan lingkungan, namun bisa juga ’bawaan’. Cara mengurangi rasa kekhawatiran yang berlebihan terhadap lingkungan baru adalah dengan pembiasaan, pemberian pengertian, dan motivasi di samping meningkatkan keberanian mereka secara umum. Dari setumpuk ’kejengkelan’ yang harus dipendam orang tua menghadapi perilaku anaknya yang ’sulit’ ini, ada kelebihan yang mereka miliki. Sifat sulit beradaptasi dengan situasi yang baru, membuat anak kerasan berada di rumah dan senantiasa berada di dekat ibunya. Hubungan batin dengan ibu biasanya amat erat, sehingga lebih memudahkan bagi orang tua untuk mengarahkannya (membuatnya menurut). Juga biasanya anak tumbuh menjadi lebih sabar dan telaten, meski tidak terlalu lincah. Mereka mudah diarahkan ke segi-segi kognisi. Akan tetapi yang harus diperhatikan, perkembangan keberanian mereka bisa jadi akan terhambat bila tidak segera ditangani perilaku ketakutan yang berlebihan mereka terhadap lingkungan baru.*

36

METODE MEMPERBAIKI KESALAHAN ANAK Adalah hal yang lazim, dalam proses tumbuh kembangnya untuk sampai pada kematangan dan kedewasaan, seorang anak tidak hanya melakukan hal-hal yang baik dan benar, namun acap kali berbagai kesalahan pun mereka lakukan. Yang harus kita lakukan sebagai orang tua atau pendidik tentu saja adalah tidak boleh membiarkan kesalahan anak tersebut berlarut-larut sampai bisa jadi sang anak malah berjalan di atas jalan yang salah. Sebaliknya, yang harus dilakukan adalah segera memperbaiki penyimpangan anak, mendidik, dan meluruskan kebengkokannya dengan metode dan cara yang terbaik, sehingga dalam tempo yang tidak begitu lama kesalahan tersebut dapat diluruskan. Beberapa metode untuk memperbaiki kesalahan (anak) yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah sebagai berikut: 1.

Menunjukkan kesalahan dengan pengarahan Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Umar bin Abi Salmah ra. Ia berkata: ”Ketika aku kecil, berada dalam asuhan Rasulullah SAW, pada suatu hari ketika tanganku bergerak ke sana kemari di atas piring berisi makanan, berkatalah Rasulullah SAW: ”Wahai anak, sebutlah nama Allah. Makanlah dengan tangan kananmu.

37

Dan makanlah apa yang dekat denganmu”. Dalam hal ini kita lihat bahwa Rasulullah SAW memberi petunjuk kepada Umar bin Abi Salmah terhadap kesalahannya, dengan nasehat yang baik, pengarahan yang membekas, ringkas dan jelas. 2.

Menunjukkan kesalahan dengan keramahtamahan Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad ra. Bahwa Rasulullah SAW diberi minuman, dan beliau minum sebagian. Di sebelah kanannya duduk seorang anak, dan di sebelah kirinya beberapa orang tua. Rasulullah SAW berkata kepada anak itu: ”Apakah engkau mengizinkanku untuk memberi kepada mereka?”Maka anak itu menjawab, ”Tidak, demi Allah. Bagianku yang diberikan oleh engkau, tidak akan saya berikan kepada siapapun.” Maka rasulullah meletakkan minuman di tangan anak itu. Kita bisa saksikan bahwa Rasulullah SAW ingin mengajari sang anak mengenai bagaimana bersopan santun kepada orang dewasa (orang tua) dalam mendahulukan mereka untuk mendapatkan minuman dengan mengurbankan haknya. Dan ini adalah yang terbaik. Dengan ramah Rasulullah telah meminta izin kepada anak, ” Apakah engkau izinkan aku memberi kepada mereka?” 3.

38

Menunjukkan kesalahan dengan memberikan isyarat Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.:

”Fadhal pernah mengikuti Rasulullah SAW. Pada suatu hari datanglah seorang wanita dari Khuts’um yang membuat Fadhal memandangnya, dan wanita itu pun memandangnya. Maka rasulullah SAW memalingkan muka Fadhal ke arah lain............” Rasulullah dalam hal ini telah memperbaiki kesalahan melihat wanita bukan muhrim (dengan pandangan syahwat) yang dilakukan Fadhal dengan memalingkan mukanya ke arah lain, dan hal ini telah meninggalkan bekas (pelajaran) pada diri Fadhal. 4.

Menunjukkan kesalahan dengan kecaman Bukhari meriwayatkan dari Abu Dzar ra., ia

berkata: ”Saya mencaci seorang laki-laki dengan menjelekkan ibunya, (yaitu dengan berkata, ”hai anak wanita hitam”). Maka Rasulullah SAW berkata, ”Wahai Abu Dzar, kamu telah mencacinya dengan menjelekkan ibunya. Sesungguhnya kamu orang yang masih berperilaku jahiliyah. Saudarasaudaramu adalah hamba sahayamu yang Allah jadikan mereka di bawah tanganmu. Barangsiapa yang saudaranya berada di bawah tangannya, maka hendaknya ia memberinya makan dari apa yang ia makan, memberinya pakaian dari apa yang ia pakai, janganlah mereka diserahi pekerjaan yang sekiranya tidak mampu mereka kerjakan, dan jika diserahkan pekerjaan itu, maka bantulah mereka.” Dalam hal ini Rasulullah memperbaiki kesalahan Abu Dzar ketika mencaci seseorang dan menyebutnya ”anak wanita hitam” dengan

39

mengecam perbuatan tersebut dengan perkataannya, ”Wahai Abu Dzar sesungguhnya kamu masih berperilaku jahiliyah.” Kemudian memberinya nasehat yang sesuai dengan tempat dan serasi dengan pengarahan. 5.

Menunjukkan kesalahan dengan memutuskan hubungan (isolasi/meninggalkannya) Bukhari meriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik ketika tidak ikut Rasulullah SAW dalam peperangan Tabuk, berkata: Rasulullah SAW tidak berbicara kepada kami selama lima puluh malam, hingga turun ayat tentang taubat mereka dalam Al Qur’an. Rasulullah SAW dan para sahabatnya memberi hukuman dengan meninggalkan dan tidak melakukan interaksi dalam upaya memperbaiki kesalahan, meluruskan yang bengkok, sehingga yang menyimpang kembali kepada jalan yang benar. 6.

Menunjukkan kesalahan dengan memberikan hukuman yang menjerakan Al Quran menetapkan prinsip hukuman yang menjerakan dengan metode pelaksanaan hukuman yang disaksikan sekumpulan orang (anggota masyarakat) sebagaimana pada QS 24:2. Hukuman, jika dilaksanakan di hadapan orang banyak, disaksikan anggota masyarakat, akan merupakan pelajaran yang sangat kuat pengaruhnya. Ketika pendidik menghukum anak yang berperangai buruk di depan saudara dan atau

40

temannya, maka hukuman ini akan meninggalkan bekas yang besar pada jiwa anak-anak secara keseluruhan, dan akan membuat mereka berhitung seribu kali terhadap hukuman yang bakal menimpa mereka tersebut kalau mereka mengulangi kesalahan yang sama. Dengan demikian mereka bisa mengambil pelajaran daripadanya. 7.

Menunjukkan kesalahan dengan memukul Abu Daud dan Al Hakim meriwayatkan dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Suruhlah anakanak kalian mengerjakan shalat sejak mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika melakukannya ketika mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkan mereka dari tempat tidurnya.” Memukul dengan maksud ta’dib (pengajaran dan perbaikan) sebagai perwujudan rasa sayang adalah hal yang diperintahkan oleh Islam. Karena adakalanya sebuah kesalahan tidak mempan dengan upaya perbaikan dalam bentuk nasehat, keramahan, isyarat, kecaman ataupun dengan meninggalkan (tidak berinteraksi) dengannya. Sebagaimana pelajaran dari QS 4:34 tentang mengembalikan istri-istri yang melakukan nusyuz/penyelewengan kepada jalan yang benar, ada tertib/urutan cara-caranya yang harus diikuti oleh seorang suami (pendidik). Tata cara yang tertib ini menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh menggunakan cara yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermanfaat. Sebab, pukulan

41

adalah hukuman yang paling berat, tidak boleh menggunakannya kecuali jika dengan jalan lain sudah tidak bisa. Namun demikian, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika kita hendak memberikan hukuman kepada anak-anak berupa pukulan: 1. Pendidik tidak terburu menggunakan metode pukulan kecuali setelah menggunakan semua metode lembut lain yang mendidik dan membuat jera. 2. Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah karena dikhawatirkan menimbulkan bahaya terhadap anak. Perlakuan ini merupakan realisasi wasiat Rasul SAW ”Janganlah kamu marah” sebagaimana diriwayatkan Al Bukhari. 3. Ketika memukul, hendaknya menghindari anggota badan yang peka, seperti kepala, muka, dada dan perut. Berdasar sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Abu Daud: ”.... dan janganlah kamu memukul muka (wajah)..” Sementara dada dan perut adalah bagian tubuh yang juga dilarang dipukul, karena banyak terdapat organorgan vital yang bisa membahayakan jiwa apabila terdapat gangguan/kerusakan akibat pukulan. Sebagaimana universalitas larangan Rasul SAW: ”Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh membahayakan (orang lain). (HR. Imam Malik dan Ibnu Majah)

42

4.

Pukulan pertama untuk hukuman, hendaknya tidak terlalu keras dan tidak menyakiti. 5. Tidak memukul anak, sebelum ia berusia sepuluh tahun sebagaimana perintah Rasulullah SAW: ”Suruhlah anak-anakmu mengerjakan sholat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika melalaikannya, ketika mereka berusia sepuluh tahun...” 6. Jika kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya ia diberi kesempatan untuk bertaubat dari perbuatan yang telah dilakukan, memberi kesempatan untuk minta maaf, dan diberi kelapangan untuk tidak diberikan hukuman, sebaliknya mengambil janji untuk tidak mengulangi kesalahannya itu. Upaya ini lebih utama dibanding menggunakan pukulan atau mengecamnya di hadapan umum. 7. Pendidik hendaknya memukul anak dengan tangannya sendiri, dan tidak menyerahkannya kepada saudarasaudaranya, atau temannya. Sehingga tidak timbul api kebencian dan kedengkian diantara mereka. Adalah perbuatan yang sangat keliru ketika beberapa waktu yang lalu kita membaca di media bahwa ada seorang guru yang menghukum salah satu murid SD-nya dengan digunduli oleh teman-temannya. Akibatnya sang murid tidak lagi mau masuk sekolah. Apa yang

43

8.

dilakukan guru tersebut pada hakikatnya malah menghancurkan masa depan sang anak, bukan malah meluruskan dan melapangkan jalannya menapaki kebenaran. Jika anak sudah menginjak usia dewasa (mukallaf/terbebani hukum), dan kita melihat bahwa pukulan sepuluh kali tidak juga membuatnya jera, maka ia boleh menambah dan mengulanginya sehingga anak menjadi baik kembali.

Jika kita melihat anak kita, -setelah diberi hukuman- perilakunya terus membaik dan lurus, hendaknya kita bersikap lunak, beramah tamah dan menampilkan muka yang berseri-seri. Hal itu agar anak menangkap kesan bahwa hukuman yang kita lakukan tidak dimaksudkan untuk menyakitinya, melainkan untuk kebaikan dan kebahagiaan, kemaslahatan dunia, agama dan akhiratnya. Inilah yang dicontohkan oleh Rasul ketika mendidik para sahabatnya dan perlakuan Nabi terhadap mereka setelah menurunkan hukuman itu. Anak, ketika merasakan bahwa kita – setelah menurunkan hukuman- berbuat baik kepadanya, beramah tamah, berlemah lembut dan bermanis muka, disamping bahwa kita sama sekali tidak bermaksud dengan hukuman itu kecuali mendidik dan memperbaiknya, maka sang anak tidak akan merasa sempit jiwanya, sakit hatinya dan menjadi menyimpang moralnya, ataupun merasa minder dan hina. Akan tetapi ia akan

44

menanggapinya dengan perlakuan baik, menunaikan haknya, dan berjalan di jalan orang-orang yang bertakwa. Metode-metode ini adalah bertingkat sesuai dengan tingkatan anak dalam kecerdasan, kultur, kepekaan dan pembawaan atau wataknya. Diantara mereka ada yang cukup dengan isyarat yang menggetarkan hatinya, seperti warna muka kita yang berubah, mata yang membelalak, gelengan kepala, dsb. Diantara mereka ada yang tidak jera, kecuali dengan pandangan cemberut dan marah yang terus terang. Diantara mereka ada yang cukup dengan ancaman siksaan yang akan dilaksanakan kemudian. Sebagian ada yang lebih sesuai dengan metode ditinggalkan, tidak digauli atau diajak bicara. Sebagian mereka ada yang dapat berubah dengan kecaman. Dan diantara mereka, ada yang tidak mempan dengan cara-cara tersebut kecuali mereka merasakan hukuman yang mengenai badannya agar menjadi lurus. Dan Islam –seperti telah diterangkanmensyariatkan hukuman ini, dan membolehkan kita untuk menggunakannya. Kita harus menggunakan kecerdasan dan kebijaksanaan kita dalam memilih dan memakai metode yang paling sesuai, sehingga merealisasikan kemashlahatan anak, di samping selalulah berdoa untuk anak-anak kita agar senantiasa dijaga dan diluruskan oleh Allah SWT. Dan Allah jualah yang menentukan segalanya. Wallahu A’lam bish Showaab*

45

MENGENAL AHMAD Anak Infaq Anak Infaq, itulah frasa yang kami pernah gunakan untuk menggambarkan Ahmad. Yah memang, Ahmad adalah seorang anak yang sejak awal pertama kali direncanakan untuk hadir di bumi ini adalah dalam rangka untuk di’infaq’kan kepada orang tua lain yang sangat membutuhkan. Apakah itu berarti Ahmad adalah anak yang tidak diinginkan? Jawabannya adalah SAMA SEKALI TIDAK. Justru kehadirannya sangat diharapkan. Berawal dari permintaan tulus Pakde Ahmad yang sudah belasan tahun menikah akan tetapi belum juga dikaruniai seorang putra, agar sekiranya berkenan memiliki putra lagi untuk kelak mereka adopsi, ayah dan ibu Ahmad -yang memang dikenal sangat gemar mengulurkan tangan kepada siapa saja yang membutuhkan pertolongan mereka- tak kuasa menolak permintaan tersebut. Meski pada saat itu usia ibu Ahmad sudah tidak tergolong muda lagi untuk melahirkan, sementara ayah Ahmad pun sudah dalam keadaan kesehatan yang tidak lagi prima karena beberapa penyakit metabolik yang dimilikinya, ditambah dengan sebenarnya mereka sudah merasa cukup dan bersyukur dengan 2 orang putra-putri yang mereka miliki, akan tetapi dorongan niat baik untuk membantu saudara yang membutuhkan pertolongan mereka, membuat keduanya merealisir keinginan saudaranya untuk

47

menambah putra agar kelak bisa mereka adopsi. Maka seizin Allah, janin Ahmad pun mulai ada dan berkembang di perut ibunya.Akan tetapi rupanya Allah juga memiliki skenario lain untuk Ahmad. Ketika Ahmad baru berusia kurang lebih 1 bulan dalam kandungan, pakde Ahmad yang juga berikhtiar -sekian lama- untuk memiliki anak dengan cara mengadopsi bayi lain diperkenankan Allah mendapatkan calon bayi adopsi. Proses adopsi yang tidak mudah tersebut berjalan bersamaan dengan kehamilan Ahmad yang belum diketahui keduanya. Akhirnya pakde Ahmad berhasil mendapatkan bayi adopsi yang baru berusia 7 hari tersebut untuk dibawa pulang setelah semua proses adopsi yang ‘tidak mudah’ mereka lalui. Tentu moment itu menjadi sesuatu yang sangat membahagiakan mereka setelah sekian lama mereka berikhtiar untuk mendapatkan anak. Itulah salah satu rahasia skenario Allah yang tengah Dia persiapkan untuk Ahmad. Umur kehamilan Ahmad pun terus bertambah seiring dengan kerepotan keluarga pakdenya yang juga tengah mengasuh seorang bayi. Janin Ahmad pun tumbuh dalam keadaan yang membinanya untuk memiliki kesabaran dan ketangguhan. Sang Ayah karena sakitnya beberapa kali masuk RS untuk opname. Janin Ahmad pun sudah terbiasa ikut ibunya yang harus tidur di RS merawat sang ayah, sambil bolak-balik memastikan 2 anak kecilnya (saudara-saudara ahmad) juga terawat dan terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Bisa kita bayangkan, Ahmad sudah terbiasa dengan suasana kesabaran,

48

ketegaran dan perjuangan yang dilakukan oleh ibunya sejak dia dalam kandungan. Keadaan seperti ini berjalan hampir sepanjang usia kehamilan Ahmad. Ibunya harus merawat ayahnya yang sakit sambil mengasuh dua kakaknya yang juga masih kecil-kecil. Pada waktu usia kehamilan Ahmad 6 bulan, Ahmad hampir kehilangan sang ayah yang belum pernah melihat maupun dilihatnya. (Tentang ini akan kami ceritakan tersendiri) Tapi Allah menghendaki sang ayah bisa menyaksikan bayi Ahmad lahir di dunia. Meskipun selang beberapa bulan kemudian, tepatnya ketika Ahmad berusia 4 bulan, Allah sang Khaliq akhirnya benar-benar mengambil ayah Ahmad kembali ke sisi-Nya. Satu lagi episode perjalanan hidup yang disiapkan Allah untuk Ahmad. Kami sendiri sangat yakin semua skenario tersebut pada masanya nanti akan bisa dimengerti sebagai pendidikan tersendiri yang dilakukan Allah kepada Ahmad. Ketika Ahmad lahir ke dunia tentu saja rencana untuk memberikannya kepada Pakdenya tidak bisa serta merta direalisir karena pada saat itu mereka sudah memiliki tanggungan bayi untuk diasuh yang sudah cukup merepotkan mereka. Namun kemudian akhirnya kami yang diperkenankan Allah merawat Ahmad, filosofi bahwa Ahmad adalah anak yang memang sudah diikhlaskan oleh orang tuanya dengan niat baik untuk menjadi tabungan kebaikan pun kami bawa. Kami bertekad untuk mempersiapkan Ahmad untuk menjadi anak yang di’infaq’kan di jalan-Nya; menjadi hamba-Nya yang diridloi-Nya dan dia pun

49

ridlo kepada Tuhan-Nya; menjadi seorang anak yang kelak menjadi salah satu dari generasi terbaik yang pernah dilahirkan untuk kemuliaan Islam. Dengannya kami berharap Ahmad bukan hanya bisa menjadi jalan teraihnya kemuliaan bagi kedua orang tuanya, maupun kami yang membesarkannya, akan tetapi lebih jauh lagi bagi umat ini secara keseluruhan. Itulah mengapa kami menyebutnya Anak Infaq….

Hampir Kehilangan Ayah Di Usia 6 Bulan Kandungan Siang itu saya ditelpon ibu mengabarkan kalau paman saya (ayah Ahmad) baru pulang dari opname di sebuah RS Pemerintah di Surabaya karena kadar asam urat dan kadar gulanya yang tinggi. Tetapi begitu sampai di dalam rumah ternyata paman saya tersebut mendadak tidak sadar hingga sekarang. Saya diminta untuk segera melihat keadaannya. Ketika saya sampai di sana saya mendapatkan cerita bahwa baru saja paman diijinkan oleh dokter yang merawat untuk pulang dari RS karena sudah sembuh dan keadaannya sudah stabil. Namun begitu menginjakkan kakinya ke dalam rumah ternyata paman saya tiba-tiba tidak sadar hingga ketika saya menemui beliau. Yang saya saksikan saat itu adalah paman saya yang sudah tidak bereaksi dengan rangsangan apapun, termasuk rangsang nyeri, nafas sudah satu-satu, kadang ada cepat kadang melambat bahkan kadang tidak ada,

50

tekanan darah sudah tidak terukur, nadi teraba sangat lemah, semua tubuhnya sudah dingin,basah dan agak membiru. Beliau sudah jatuh dalam keadaan shock. Di sekelilingnya saya dapati saudara-saudara yang lain membacakan ayat-ayat Al Qur’an. Ibu Ahmad sendiri yang waktu itu sedang hamil Ahmad 6 bulan sudah pasrah dan ikhals seandainya sang suami saat itu dipanggil oleh-Nya. Tapi Allah berkehendak lain. Ketika Ayah Ahmad berhasil kami antarkan ke RS terdekat, beliau masuk dengan diagnosa sementara Gagal jantung karena yang dominan terlihat saat itu adalah tubuhnya yang keseluruhannya memang membengkak (oedema anasarka). Biasanya ini terjadi pada kelainan jantung atau ginjal. Namun pada proses diagnosa berikutnya diketahui ternyata yang membuat beliau koma adalah shock hipoglikemik (sebuah keadaaan yang terjadi ketika kadar gula darah seseorang sangat rendah dan menurun dengan cepat). Ini adalah komplikasi yang cukup sering terjadi pada pasien dengan kadar gula tinggi (Diabetes Mellitus) yang kemudian mendapatkan terapi untuk menurunkan kadar gulanya tetapi pasien tersebut tidak mengimbanginya dengan makan yang seharusnya dilakukan. Jadi akhirnya kadar gulanya turun drastis. Pada perjalanan berikutnya ayah Ahmad setelah pulih dari keadaan koma hipoglikemik yang sebelumnya dialaminya, ternyata harus opname cukup lama di RS tersebut karena ternyata sekarang ditemukan kelainan gagal jantung dan ginjalnya yang salah satu sebabnya adalah shock yang beliau

51

alami sebelumnya. Begitulah, ayah Ahmad harus opname lagi pada hari beliau diijinkan pulang dari RS setelah opname 2 mingguan. Di RS yang kedua ini, opname lebih lama, hampir 3 bulan lamanya.Ayah Ahmad diperbolehkan pulang dalam kondisi kekuatan jantung yang kurang dari 60% menjelang kelahiran Ahmad.

Proses Kelahiran Itu Selang tidak lama setelah kepulangan sang suami, ibu Ahmad pun melahirkan. Tepatnya tanggal 18 Agustus 2003 dini hari. Tentu saja ayahnya tidak bisa mendampingi ibunya melahirkan. Terlahir dengan berat badan 2.8 kg dan panjang badan 51 cm, alhamdulillah Ahmad adalah bayi yang sehat dan sempurna.

Hari-Hari Pertama Yang Penuh Dengan Kesabaran Hari-hari pertama dalam kehidupan Ahmad tentu saja masih diliputi suasana keprihatinan karena meski ayahnya sudah tidak lagi opname, namun karena keterbatasan fisik yang dimilikinya saat ini membuat beliau tidak bisa membantu ibu Ahmad untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga. Jangankan membantu mengasuh anak-anaknya atau membantu pekerjaan sehari-hari di rumah, membawa diri sendiri saja sudah cukup memberatkan beliau. Sering beliau terjatuh ketika berjalan dan semacamnya. Justru ibu Ahmad yang saat itu harus ekstra sabar dan tegar karena harus

52

mengurus bayi dan anak-anaknya yang masih kecil sekaligus mengurus ayah Ahmad yang sedang sakit. Memang ada seorang pembantu yang membantu beliau di rumah, akan tetapi tetap saja tanggung jawab dan beban yang harus ditanggung ibu Ahmad tidaklah ringan. Saya kira suasana kesabaran, ketegaran dan penuh perjuangan yang sudah ditemui Ahmad sejak detik awal kehidupannya juga adalah skenario Allah yang membantu Ahmad untuk mencapai kematangan dan kemandiriannya sejak kecil.

Bertemu Ahmad Pertama Kalinya Kami bertemu dengan Ahmad pertama kalinya ketika dia berusia 2 minggu. Saat itu kami ketahui nama lengkap Ahmad adalah A. Juraij Al Manshur. Juraij adalah nama seorang Sholeh yang dikenal sebagai ahli ibadah pada masa dulu, sementara Manshur adalah nama kakek Ahmad dari jalur ibunya. Nama panggilan Ahmad sendiri saat itu adalah Juraij, kadang disingkat dengan panggilan Joe. Kami sempat sedikit mempertanyakan kenapa memilih nama Juraij sebagai panggilan. Karena pada mereka yang tidak terlalu mengenal tokoh Juraij dengan baik, mungkin justru sepenggal kisahnya -yang menceritakan bahwa ulama Juraij tersebut pernah tidak memenuhi satu kali panggilan ibunya ketika memanggil dan karenanya beliau kemudian mendapatkan fitnah sebagaimana doa ibunya yang saat itu merasa sakit hati kepada Allah agar anaknya diberi pelajaran— saja yang mungkin mereka

53

ketahui. Saat itu ayahnya mengatakan mau memanggil Ahmad dengan A’ad sebagai singkatan dari Ahmad, tapi akhirnya pilihan jatuh pada Juraij atau Joe. Kami sendiri tidak pernah mengira suatu saat Ahmad akan menjadi anak (asuh) kami.

Kehilangan Sang Ayah Yang Belum Pernah Menyentuh Ayah Ahmad, biasa saya kenalkan ke Ahmad dengan sebutan Ayah Kautsar adalah tipe ayah yang kurang berani memegang, menggendong ataupun kontak fisik lain dengan anaknya ketika masih bayi. Menurut Ibu Ahmad, hal itu dilakukan karena ketakutan dan kekhawatiran yang dimilikinya kalau-kalau karena kecerobohan atau ketidaktahuannya, akan terjadi sesuatu yang membahayakan sang bayi. Itulah mengapa sejak Ahmad lahir hingga usia 4 bulan, yakni ketika beliau meninggal, ayah Ahmad relatif jarang ’menyentuh’ maupun kontak-kontak fisik lainnya untuk mengungkapkan kasih sayangnya kepada Ahmad. Yang sering beliau lakukan adalah menatap sambil menyapa/memanggil-manggil Ahmad yang kala itu dipanggilnya ”Juraij...Juraij...”

‘Orang Tua Baru: Abi Dan Umi’ Setelah sang ayah meninggal dunia, praktis ibu Ahmad bertambah kerepotannya. Pada saat meninggalnya, ayah Ahmad meninggalkan 3 putra yang pertama berusia 7 tahun, putrra ke dua 4 tahun

54

dan 4 bulan (Ahmad). Sementara di luar rumah, ibu Ahmad yang seorang guru juga harus memenuhi kewajibannya tersebut. Apalagi pasca meninggalnya ayah Ahmad ada banyak hal berkaitan dengan wafatnya tersebut yang harus diurus, praktis ibu Ahmad cukup kepontal-pontal mengurus semua itu. Pada saat yang sama ketika sang ibu sibuk dengan beberapa urusan terkait wafatnya sang ayah dan beberapa tanggung jawab lain, Ahmad lebih sering diasuh oleh pengasuhnya; seorang wanita paruh baya yang cocok menjadi nenek Ahmad. Karena rumah pengasuhnya tidak jauh dengan rumah Ahmad, seringkali dia dibawa pulang oleh pengasuhnya tersebut ke rumahnya. Kadang dibawa cukup lama tanpa sepengetahuan ibunya. Saat itu Ahmad -yang sejak bayi memang cukup sering batuk- sakit batuk lagi dan agak parah. Ketika kami mengetahui kondisi Ahmad seperti itu, kami yang saat itu baru menikah dan belum dikaruniai momongan, mencoba menawarkan diri untuk membantu mengasuh Ahmad kepada ibu Ahmad. Ternyata penawaran kami tersebut disambut baik oleh tante saya tersebut. Beliau yang secara psikis mungkin memang sudah sejak awal siap untuk melepas Ahmad, lebih merasa sreg dan tidak khawatir Ahmad bersama kami daripada bersama pembantunya dengan pola asuh ’gaya jaman dulunya’. Rencananya kami mau membawa Ahmad ketika sudah berusia 6 bulan, agar Ahmad bisa mendapatkan ASI eksklusifnya. Namun ternyata menurut ibunya, karena ASI nya tidak cukup

55

banyak, sejak bayi Ahmad sudah tidak mendapat ASI eksklusif, sehingga kami dipersilahkan membawa Ahmad meski usianya belum 6 bulan. Jadilah Ahmad kami bawa untuk kami asuh sejak usia 5 bulan. Untuk membedakan dengan ayah dan ibu kandungnya kami memilih untuk memanggilkan diri kami dengan panggilan abi dan umi untuk Ahmad. Komitmen kami sejak awal, bukan mengambil dan memisahkan Ahmad dari ibunya. Kami hanya berniat membantu membesarkan dan mendidiknya dengan sebaik-baiknya, agar kelak dia bisa menjadi jalan kemuliaan bagi kedua orang tuanya dan umat ini. Seandainya sewaktu-waktu Ahmad diminta ibunya kembali, Insya Allah sejak awal kami sudah menyiapkan diri dan tidak akan berusaha menghalanginya. Hal yang sama juga kami siapkan terhadap Ahmad. Dan Allah SWT Maha Mengetahui atas segala sesuatu dan Dialah sebaikbaik pemberi balasan.

Mengganti Nama Panggilan Ketika Ahmad kami asuh, nama panggilan Juraij kami ganti dengan Ahmad. Pertimbangannya sebagaimana yang sempat kami ceritakan di atas, adalah karena tidak semua orang ketika mendengar nama Juraij dipanggil, memiliki persepsi tentang seseorang alim, sholeh dan ahli ibadah sebagaimana yang dimaksudkan oleh orang tuanya. Akan tetapi bisa jadi malah hanya mengetahui dan mengingat sepenggal kisahnya ketika Allah memberi pelajaran kepada beliau akibat pernah satu kali tidak bersegera

56

memenuhi panggilan ibunya hingga membuat sang ibu sakit hati. Pilihan akhirnya jatuh kepada nama Ahmad. Tanpa disingkat. Nama yang sama dengan manusia termulia yang pernah ada, yakni nabi Muhammad. Harapan kami tentu agar panggilan yang kami maupun siapa saja lakukan kepada Ahmad akan menjadi doa agar Ahmad kelak senantiasa bisa meneladani kepribadian Rasul tercinta tersebut.

Batuk; Penyakit Favorit Anak kecil sakit adalah suatu hal yang wajar. Tinggal kita sebagai orang tua mereka yang harus tahu bagaimana bersikap dengan tepat dan tetap tenang. Ada beberapa penyakit yang sangat sering dialami seorang anak bayi, bisa berkembang ke arah membahayakan, namun pencegahan yang bisa kita lakukan sebagai orang tua sebenarnya sangat sederhana. Diantaranya adalah demam/panas, batuk dan diare. Terkait dengan demam, komplikasi yang kita khawatirkan adalah terjadinya kejang demam. Ketika terjadi kejang, maka suplai oksigen akan banyak habis di otot yang mengalami kejang sehingga suplai oksigen ke otak menurun. Inilah yang kita khawatirkan. Kalau terlalu sering anak kejang, bisa kita bayangkan proses perkembangan otak tentu terganggu, lebih lanjut hal itu akan berimplikasi kepada kecerdasan seorang anak. Masa rawan seorang anak mengalami kejang demam adalah usia 0-2 tahun, meski kadang juga terjadi pada usia diatasnya. Pada usia itu, orang tua harus

57

selalu memiliki persediaan obat penurun panas yang harus juga diberikan ketika kita mendapati anak kita mengalami demam. Sejak sebelum kami bawa, Ahmad sudah seringkali sakit. Dan sakitnya hampir selalu batuk. Ketika anak bayi batuk dan tidak segera tertangani, biasanya cepat sekali menjadi sesak karena saluran pernafasan mereka yang memang masih berukuran kecil ditambah riak/lendir gampang sekali menumpuk karena mereka belum bisa secara aktif mengeluarkan riak/lendir tersebut. Pertolongan pertama yang perlu disiapkan orang tua kalau anak bayi kita batuk adalah memberikan obat batuk yang mengandung mukolitik (pengencer dahak) dan memastikan makan minumnya tetap tercukupi. Karena biasanya ketika anak bayi batuk seringkali diiringi dengan muntah. Tidak usah panik, hal itu wajar terjadi karena panjang saluran pencernaan anak bayi sangatlah pendek, sehingga ketika ada sedikit rangsangan saja di tenggorokannya (misanya batuk) sudah cukup bisa membuatnya mengeluarkan isi lambungnya (muntah). Kekenyangan saja pun sudah bisa membuat mereka muntah. Makanya orang tua harus tetap tenang, dan juga sabar kalau harus berulangkali memasukkan makanan/minuman ataupun obat karena berulangkali pula dimuntahkan. Satu hal yang penting lagi, adalah segera bawa anak kita ke dokter untuk mendapatkan pengobatan sesegera mungkin. Terkait dengan Ahmad sendiri, menggerus obat dan membuat puyer untuk Ahmad hampir menjadi agenda rutin tiap bulan saya lakukan.

58

Kadang untuk batuk pilek, kadang diare, kadang untuk demamnya.Yang paling sering hingga sekarang adalah sakit batuknya. Kalau sekarang penyebab batuknya yang paling sering adalah kalau kebanyakan permen atau snack (jajanan anak yang banyak mengandung penguat rasa). Apakah saya dan abinya yang membelikannya permen? Tentu tidak. Salah satu kelemahan anak dengan tipe ’mudah’ bergaul dan mandiri adalah dia sering ’lepas’ alias bisa bermain dan bergaul ke mana saja, dengan siapa saja. Tidak harus dengan orang tuanya. Nah, biasanya orang-orang dewasa yang ditemui dan berinteraksi dengan Ahmad itulah yang paling sering memberikan permen. Meski kadangkala Ahmad bisa disiplin tidak menghisap permen atau makan jajan seperti yang saya pesankan, tapi tidak jarang pula dia lupa. Namanya juga masih anak-anak...

Aktiv, Jagoan Dan Pemberani Sejak Bayi Sikap pemberani Ahmad sangat mudah dilihat sejak dia masih bayi. Dia memiliki keberanian untuk mencoba sesuatu yang untuk ukuran anak seusianya mestinya belum waktunya dilakukan. Tapi karena dia punya modal berani tersebut, seringkali dia bisa melakukan hal-hal tersebut lebih cepat dari kemampuan anak seusianya. Ketika Ahmad berumur kurang lebih 7-8 bulan, sering tetangga depan rumah sampai memanggilmanggil kami karena khawatir melihatnya naik turun kursi setinggi dadanya waktu dia masih baru bisa merangkak. Saya sih khawatir hanya pada waktu

59

permulaan saja, ketika dia belum tahu caranya turun yang benar. Biasanya anak bayi yang baru bisa merangkak begitu ketika turun dari kursi atau kasur yang tinggi, menggunakan tangan dan kepalanya dulu. Namun setelah kami ajari dengan menjulurkan kedua kaki turun ke bawah dulu, maka bayi Ahmad segera merubah caranya turun. Pada waktu Ahmad berumur satu tahun dia mulai bisa jalan. Begitu merasa sudah bisa jalan, meskipun tentu saja sangat sering terjatuh, Ahmad seperti sudah ’alergi’ dengan merangkak. Jatuh berkali-kali tetap tidak membuatnya takut ataupun ragu untuk berdiri dan berjalan lagi. Besar sedikit mulai naik turun motor abinya. Mula-mula masih pegangan, lama-lama duduk di atasnya tanpa pegangan apapun sangat santai dinikmatinya. Beberapa waktu kemudian malah sudah tidur-tiduran di atas motor. Ya Allah...saya dan suami kadang sampai terheranheran dengan nyalinya. Ketika masih play group, ketika tidak ada teman-temannya yang berani bermain di besi yang diperuntukkan anak-anak TK, malah dia bergelantungan di sana sambil berpegangan pada besi yang tingginya hampir dua kali tingginya, dengan santainya. Usia 4 tahun ini, ketika mendapati abinya menonton TV sambil duduk di lantai, Ahmad mulanya dengan alasan gendong dan memijit pundak abinya, sebentar kemudian pasti sudah berdiri di pundak abinya dengan tangan tanpa berpegangan apapun sambil tertawa-tawa kegirangan. Seperti adegan akrobat. Sekarang menjelang usia 5 tahun ini, malah naik sepeda dengan berusaha mengangkat roda depannya ke atas,

60

maksudnya meniru sebuah iklan yang pernah dilihatnya. Masya Allah....kami harus ekstra menjaganya karena keingintahuannya yang tinggi sejalan dengan nyalinya yang besar pula. Keberanian dan kepercayaan dirinya yang tinggi tidak hanya terlihat dari kemampuan motorik kasarnya, tapi juga terlihat pada ke-PD-annya untuk bergaul, berbincang atau berteman bahkan dengan orang yang tidak dikenalnya. Waktu di rumah kami di Sedati, yang kanan kirinya masih berupa sawah, Ahmad bisa kami dapati sedang berbincang-bincang asyik di pinggir sawah dengan seorang kakek petani penggarap di seberang rumah kami. Ketika saya ajak ke tempat cucian motor, pasti dia duduk jongkok di sebelah tukang cucinya sambil bertanya apa saja yang dilihatnya. Demikian pula ketika terpaksa harus nambal ban, dengan PD nya Ahmad pasti ngajak omong tukang tambal ban seputar aktivitasnya. Saya ajak ke swalayan untuk belanja, malah ngomong-ngomong dengan kasirnya. Ke tukang cukur ngajak jagongan tukang cukur atau orang yang lagi antre mau cukur. Begitulah, sampaisampai di lingkungan rumah orang tua saya (karena Ahmad sering ke sana), Ahmad sudah kenal dan dikenal oleh tukang jualan es, buah, kue lekker, rujak sampai pentol yang biasa mangkal di belakang kampus IAIN, tepatnya di gang rumah orang tua saya. Ahmad kelihatan menikmati dan nyaman berteman ataupun sekedar berbincang dengan orangorang besar tersebut. Sebaliknya, ketika bertemu dengan teman-teman sebayanya, sikap dominannya bisa jadi menimbulkan masalah. Karena kadang dia

61

bersikap merasa harus bertanggung jawab dengan apa yang dilakukan temannya. Ketika menurutnya tidak tepat, langsung berusaha untuk ’diselesaikan’. Contohnya, saya ingat cerita salah satu gurunya di play group yang pura-pura menangis sambil bercerita ke guru yang lain karena tangannya terjepit meja disebabkan ada anak-anak (murid di kelas tersebut) yang bermain meja (didorong,dsb). Nah, ketika kemudian Ahmad mendapati ada diantara temannya yang sedang mainan meja, maka bisa diperkirakan dia akan langsung ’mengambil tindakan’ (baca: mulai dari megangi tangan hingga memukul sang teman tersebut). Gabungan antara potensi keberanian mengambil inisiatif dan menghadapi resiko, PD (kepercayaan diri) yang tinggi, ketrampilan motorik kasar yang mantap, dengan bakat temperamental yang sangat dominan, ego anak kecil yang tinggi, tapi masih belum diiringi kematangan pemahaman dan emosi, seringkali membuat Ahmad dikenal ’jagoan’ dimana saja dia berada. Jagoan di sini memang konotasinya masih ke arah bersikap dominan, menang sendiri, tahan banting (meski kesakitan), sering membuat temannya menangis, sementara dia sendiri sangat jarang menangis.

’Bakat’ Temperamental Nah sifat temperamental inilah yang senantiasa menjadi PR bagi kami, abi dan uminya untuk membantu Ahmad bisa mengendalikannya. Ahmad mudah sekali marah dan ’mengambil tindakan’ kalau menurutnya ada orang lain atau

62

temannya yang ’nakal’. Tentu ’nakal’ di sini adalah sesuai persepsinya sebagai anak kecil (yang daya nalarnya masih dangkal, egosentrisnya masih tinggi, kualitas pemahamannya masih sangat sempit). Karena sebenarnya tidak ada anak kecil yang nakal. Yang ada adalah anak kecil yang aktif atau pendiam, yang berani atau penakut memulai sesuatu, yang ketrampilan motoriknya berbeda-beda, dan sebagainya. Tetapi itu semua tidak serta merta bisa menjadikan mereka yang pendiam kita judge sebagai anak ’baik’ sebaliknya yang sangat aktif sebagai anak ’nakal’. Karena saat itu mereka belum memiliki pemahaman yang sempurna yang bisa mereka jadikan sebagai pengikat tingkah laku mereka. Mereka masih dalam proses belajar mana dan apa sesuatu yang benar dan salah, yang baik atau buruk, yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Sehingga memang belum ada pembebanan hukum atas mereka. Nah, kembali kepada kemarahan Ahmad kepada teman atau seseorang yang menurutnya nakal itu adalah bisa jadi karena hal-hal yang lazimnya terjadi pada anak-anak, seperti rebutan mainan, tidak sengaja tersenggol temannya, tabrakan ketika berkejaran, diledek dengan sebutan tertentu, dan semacamnya. Hanya bedanya dengan temantemannya yang biasanya menangis ketika mengalami hal yang sama, Ahmad justru marah kepada seseorang yang menurutnya ’nakal’ tadi. Tidak jarang langsung dipukulnya seseorang tersebut. Dengan potensi keberanian yang dia punya bahkan dia tidak takut sekalipun yang dia pukul

63

tubuhnya jauh lebih besar, usianya jauh lebih tua atau tidak. Biasanya hal tersebut bisa dicegah kalau ’kejadian’ yang membuat marah Ahmad tadi, kami, gurunya atau orang lain ketahui sebelum Ahmad melampiaskan kemarahannya, sehingga bisa disampaikan kepada Ahmad ’tafsir kejadian’ tadi dengan arif. Misalnya bahwa tadi Ahmad ketabrak temannya yang sedang lari-lari, hingga jatuh itu karena tidak sengaja, bahwa mainan Ahmad bukan direbut tapi cuman mau dilihat sebentar, bahwa temannya bukan mau melempar Ahmad tapi bolanya terbang terbawa angin yang keras hingga mengenai Ahmad, bahwa harusnya Ahmad lebih hati-hati, meminta maaf, atau memaafkan temannya dan seterusnya. Tapi tentu saja, tidak semua yang terjadi ketika anak-anak tersebut bergaul dan bermain dalam kekuasaan pengawasan kita. Sehingga di sinilah sebenarnya kearifan kita sebagai orang dewasa dalam menyikapi apa yang terjadi diantara mereka sangat dibutuhkan. Yang harus kita pahami, bahwa ’pertengkaran’ atau ’permusuhan’ diantara mereka (anak-anak kita) sebenarnya tidaklah ada. Mereka bahkan belum paham apa itu ’musuh’, ’nakal’ dan ’bertengkar’. Bisa jadi seorang ibu yang tidak mau membelikan anaknya permen agar sang anak tidak sakit radang tenggorokan, dianggap oleh sang anak sebagai orang nakal dan harus dimusuhi. Justru dengan pertengkaran atau perkelahian-perkelahian ’semu’ itulah mereka akan dibawa pada kematangan emosi yang kelak mereka butuhkan. Dengan mengenal rasa senang dan sakit pada waktu yang bersamaan itu

64

pulalah, mereka akan belajar untuk bergaul dengan ’sehat’. Dengan berbagai pengalaman warna rasa itu pula seorang anak akan belajar tentang kehidupan yang sesungguhnya dan dipersiapkan untuk menjadi individu yang siap mengarunginya. Tentang bagaimana kami berusaha mengajari Ahmad mengendalikan diri insya Allah di bagian lain buku ini.

Jarang Menangis, Sering Menangiskan Ketika Ahmad masih bayi (usia di bawah 1 tahun) saya kadang sampai bertanya dalam hati, apa Ahmad ini gak ngerti caranya menangis ya kok sangat jarang sekali menangis dibandingkan anak seusianya yang memang lazimnya cukup sering menangis. Saya amati, tangisan Ahmad hanya terjadi kalau dia merasa (sangat) kesakitan. Sementara tangisan-tangisan manja seperti karena ada keinginannya yang tidak terpenuhi, sangat jarang. Kalaupun menangis, pasti sangat sebentar saja. Tapi kalau bikin temannya menangis...wah sepertinya cukup sering. Tapi hal itu beberapa waktu kemudian -pasca Ahmad sakit diare hingga opname- berubah. Ahmad jadi pintar sekali menangis. Ada hal yang membuatnya tidak nyaman sedikit, ada maksudnya yang tidak segera dipenuhi, sudah menangis, menyerah. Hal yang sebelumnya sangat jarang dia lakukan. Biasanya kalau ada keinginannya yang belum terpenuhi, lebih cenderung membuatnya marah dan berusaha untuk bisa mendapatkannya.

65

Misalkan mainan yang dimiliki temannya. Kalau mencoba pinjam tidak berhasil, Ahmad hampir gak pernah menangis, sebaliknya justru akhirnya dia membuat temannya tersebut menangis karena akhirnya mainan yang coba dia pinjam tadi dia ambil paksa. Kebiasaan baru menjadi anak cengeng dan gampang menyerah ini mungkin karena trauma ketika dia harus dipasang infus berkali-kali karena gagal, sembari kaki tangannya terbungkus rapat selimut hingga tidak bisa bergerak, sementara saat itu dia sudah berusaha menghentikan dengan berteriak-teriak ”sudah....sudah...” hingga menangis. Bagi kami sendiri, pengalaman selama menjadi abi dan uminya ketika dia sementara berubah jadi gampang menyerah dan cengeng merupakan pengalaman baru. Dari sebelumnya yang harus ekstra berusaha mengendalikan dominansi dan agresifitas Ahmad, menjadi harus banyak memberikan dorongan agar Ahmad tidak mudah menyerah ataupun menangis. Alhamdulillah, tidak lama setelahnya, Ahmad yang pemberani dan tidak cengeng sudah kembali lagi. Dan kami pun harus belajar untuk bisa mendampingi Ahmad menjadikan modal sifat-sifat pemberani dan dominan yang dimilikinya sebagai pembangun sifat kepemimpinannya. Kami yakin, Insya Allah sejalan dengan perkembangan mafhum yang dimilikinya, Ahmad akan semakin bisa mengendalikan karakter-karakter bawaannya dengan tepat.

66

Cara Berkenalan Dengan Teman Baru Ini hal lain yang sempat saya perhatikan ketika membawa Ahmad (saat berusia 1-2 tahun) bermain di luar rumah bersama dengan temantemannya. Kalau bertemu dengan anak kecil yang belum dikenalnya pasti didekati Ahmad. Kalau kemudian anak tersebut berlari-lari atau bergerak, maka biasanya Ahmad akan bermain-main dengannya, kejar-kejaran ataupun yang lainnya. Masalahnya, kalau kemudian temannya tersebut, setelah didekati, coba disapa dengan bahasa anak yang belum bisa bicara jelas ternyata diam saja, tidak memberi respons, biasanya oleh Ahmad temannya tersebut kemudian didorong, kadang sampai jatuh dan akhirnya menangis. (Mungkin maunya mengajak temannya tersebut agar tidak diam saja). Akhirnya bisa jadi banyak anak yang ditangiskan Ahmad ketika bermain. Yang lain lagi, kalau kemudian dia menemukan temannya tersebut sebentar-sebentar menangis karena takut dengan dirinya, Ahmad malah lebih senang menggoda mereka. Entah mainannya seperti hendak diambilnya, temannya tersebut seperti hendak dikejarnya, mendekatinya atau hal lain yang pada anak-anak tertentu sudah cukup membuat mereka menangis berkali-kali. Apakah hal tersebut saya biarkan? Tentu saja tidak. Berusaha menasehati dan memahamkannya tentu saja saya lakukan. Hanya pada saat itu, karakter khasnya lebih sering mendominasi daripada pemahamannya, karena memang belum usianya. Sama dengan anak

67

seusianya yang cenderung cengeng, meskipun mereka juga berusaha untuk difahamkan dan dinasehati agar jadi anak pemberani dan tidak cengeng juga tidak serta merta berubah. Tapi dengan bertambahnya usia dan berkembangnya mafhum (pemahaman), anak-anak tersebut akan bersikap sebagaimana pemahaman yang mereka miliki, tentu tetap dengan kekhasan masing-masing yang berbeda satu sama lain. Alhamdulillah, sekarang tentu saja sudah berbeda. Sekarang Ahmad sudah bisa untuk difahamkan. Sudah bisa diajari konsekuensi/akibat bersikap tidak baik.Dan pemahaman-pemahaman tersebut sudah mulai mengendalikan sikapnya. Meskipun tentu saja, pada waktu-waktu tertentu sikap temperamentalnya kadang masih keluar dan pemahaman yang dimiliki terkalahkan. Yang jelas, sekarang dia tidak serta merta mendorong temannya yang tidak mau lari-lari, sudah bisa bermain dan berbagi mainan bersama. Meskipun bukan berarti tidak pernah bertengkar dengan temannya. Rebutan mainan atau salah paham sih adalah hal yang biasa ... Namanya saja anak-anak. Biar mereka belajar warna dunia ini dengan berbagai rasa di dalamnya.

Susah Makan Ini mungkin salah satu kesulitan umum yang dialami oleh banyak orang tua. Saya sendiri menghadapi masalah susah makan Ahmad ini sejak awal. Yakni sejak dia seharusnya mulai mendapatkan makanan pendamping ASI (bubur susu). Ahmad sama sekali tidak mau makan bubur.

68

Berbagai cara kami lakukan mulai dari memvariasikan rasa, membawanya jalan-jalan, bujukan-bujukan hingga bubur itu kami jadikan seperti air minum yang kami coba minumkan ke Ahmad. Masalah susah makan ini berjalan hingga di usia 3 tahunan. Alhamdulillah, meski susah makan Ahmad sangat suka minum susu. Jadi asupan untuknya masih lumayan. Sekarang Alhamdulillah Ahmad sudah ’pintar’ makannya. Bukan hanya dalam hal memakan semua jenis makanan dan tidak hanya nasi+kuah seperti sebelumnya, tapi juga kemandiriannya dalam makan juga semakin bagus. Pelajaran yang kami dapatkan dari susah makannya Ahmad ini adalah bahwa kita sebagai orang tua memang harus telaten, sabar dan kreatif mencari cara untuk bisa memastikan asupan yang didapatkan anak kita cukup.

Tipe Kinestetis Dan Auditory Dalam Belajar Di atas sudah saya ceritakan bahwa Ahmad adalah anak yang sangat aktif (meskipun bukan terkategori anak dengan kelainan hiperaktif). Itulah anak kinestetik. Sangat aktif. Kalau diajak ke tempat yang baru, dimana saja, biasanya justru lebih suka jauh dari orang tuanya untuk mendapatkan pengalaman baru. Demikian pula Ahmad, ia akan mencoba untuk menyapa orang-orang yang ada disekelilingnya di mana saja dia berada. Inilah salah satu keuntungan anak kinestetik, yakni mudah bergaul dan lebih mandiri alias tidak mbok-mbok’en, sekalipun kadang kala perlu pengawasan lebih.

69

Dalam belajar pun dia adalah anak dengan tipe kinestetik. Ciri-cirinya menonjol diantaranya adalah tidak bisa duduk manis, khusyu’ dan konsentrasi dalam waktu yang cukup panjang. Sehingga cara belajar yang paling ’nyaman’ dan cepat untuk mereka justru adalah cara belajar yang mengakomodasi ’ketidakbisadiaman’ mereka. Karena justru ketika mereka dipaksa duduk manis dengan anggota tubuh yang khusyuk agar bisa diajari, maka konsentrasi mereka lebih banyak terforsir pada upaya mereka untuk ’mengendalikan’ tubuh mereka agar bisa diam dan duduk manis. Sementara justru mereka sulit berkonsentrasi pada pelajaran yang disampaikan. Sebenarnya keaktifan anak kinestetik tidak kemudian membuat mereka menjadi susah menerima pelajaran. Tapi setiap anak akan mendapatkan kemampuan memahaminya secara optimal dan lebih cepat ketika pemberian pelajaran tersebut dengan metode belajar yang sesuai dengan tipe belajar mereka. Sebenarnya tipe belajar anak ada 3 : 1.Visual : tipe pebelajar dengan menggunakan daya tangkap mata sebagai alat belajar yang dominan. Sehinggga tipe pebelajar ini lebih efektif dengan menggunakan gambargambar atau bentuk-bentuk yang secara visual bisa dirasakan. 2.Auditori : tipe pebelajar dengan menggunakan daya pendengarannya sebagai alat belajar yang dominan. Kalau pebelajar tipe ini lebih cenderung bisa lebih menerima materi

70

melalui suara. 3.Kinestetik : tipe pebelajar melalui praktek langsung. Anak yang memiliki tipe kinestetik inilah, perlu adanya sarana sebagai action pembelajaran. Tipe-tipe belajar ini tidak kemudian secara mutlak terpisah satu sama lain. Adakalanya seorang anak adalah pebelajar dengan tipe auditori sekaligus visual misalnya. Hanya biasanya selalu ada yang lebih dominan. Kita bisa melihatnya dari cara belajar yang mana yang paling nyaman dan memudahkan anak kita memahami pelajaran dengan lebih cepat dan optimal. Ahmad sendiri, disamping memiliki tipe kinestetik lebih dominan, dia juga memiliki kecenderungan tipe auditori. Dia sangat mudah menerima dan memahami rangsangan suara yang dia dengar, sekalipun sepertinya tidak memperhatikan. Misal, ketika sedang asyik bermain, sementara di ruang sebelah ada orang lain sedang berdiskusi, seringkali Ahmad tiba-tiba ikut nyeletuk menyampaikan sesuatu yang ada hubungannya dengan diskusi tersebut, padahal dia kelihatannya sangat konsentrasi bermain dan tidak memberi perhatian sedikitpun pada sekitarnya. Inilah tipe yang dimiliki oleh Ahmad sebagai tipe dasar pembelajarannya.

Ahmad; Hukma Shabiyya (‘Dewasa’ Sejak Kecil) Banyak orang bilang Ahmad itu adalah anak yang dewasa. Gaya dia berbicara memang gaya

71

bertutur anak-anak, tapi content pembicaraannya yang memang sering seperti ‘terlalu dewasa’ untuk seumurnya, kadang malah membuat kami lupa kalau dia bahkan belum lima tahun. Suatu ketika, keluarga besar kami melakukan ziarah dan doa bersama di pusara buyut dan kakek kami. Kebetulan masih satu lokasi dengan pusara ayah Ahmad. Maka kami beritahu dia dimana kuburan ayahnya berada. Ketika rombongan keluarga besar kami sedang berdoa di pusara buyut kami, Ahmad ternyata justru pergi ke pusara ayahnya yang berjarak sekitar 20 meter dari tempat kami. Di sana dia duduk di persis di depan nisan ayahnya, berjongkok, kepala menunduk dan kedua tangan ditengadahkannya seperti posisi orang berdoa. Khusyuk sekali. Tidak lama Ahmad berdiri, pergi ke tempat lain, lalu kembali lagi. Ternyata dia mengambil batu bata untuk didudukinya. Maka sebentar kemudian dia tampak khusyuk kembali. Cukup lama dia disana sambil mulutnya seperti membaca sesuatu. Kelak, kami tahu ternyata yang dia baca adalah surat al Kautsar yang dia ulangulang dimaksudkannya untuk mendoakan ayahnya yang bernama Kautsar. Di lain kesempatan ketika kami melewati lokasi kuburan umum tempat ayahnya dikubur, Ahmad selalu mengucap salam dan menyapa ayahnya yang sudah di dalam kubur. Suatu ketika dia mengatakan “Mi di sana lho ayah kautsar dikubur, tapi sekarang sudah gak di situ lagi.” Saya bertanya “Dimana lho nak sekarang ayah Kautsar?” “Di surga. Mi besok-besok kita semua ke

72

surga ya Mi, biar bisa ketemu sama ayah Kautsar. Soalnya Ahmad kangen mau lihat wajah Ayah Kautsar....” Meski termasuk anak yang suka nggodain teman atau orang lain, saya mengamati, terhadap orang yang sudah tua (seperti ayah dan ibu saya), Ahmad seperti menahan diri tidak melakukannya. Malah kadang kesan berusaha menghibur atau menjaga ayah saya sangat terlihat. Ahmad pula yang sering diminta ibu saya membantu menemani dan menjaga ayah saya yang sakit stroke ketika tidak ada orang lain di rumah sementara beliau harus menangani pekerjaan di ruang lain. Pernah kami sempat terheran-heran ketika mendapati ayah saya bisa turun dari kursi rodanya dan berjalan menggunakan alat bantu berjalannya yang cukup besar ke dalam rumah, padahal tadi beliau didudukkan di luar, sementara alat bantu berjalannya di dalam rumah. Ternyata Ahmadlah yang membantu beliau turun dari kursi roda, membuka kunci-kuncinya, mengambilkan alat bantu berjalan dari dalam rumah hingga membantu beliau berjalan. Padahal ayah saya tersebut tidak bisa berbicara. Kata seseorang yang kebetulan melihatnya, dengan agak kesulitan memang Ahmad melakukannya, tapi dengan gaya ‘dewasa’nya Ahmad bisa melakukan tugasnya dengan sangat baik. Ketika melihat ayah saya kesakitan ketika sedang dilakukan terapi, tanpa diminta dia akan menunggu di samping beliau sambil menghiburnya “Sabar ya Wak Abah, ini biar Wak Abah bisa jalan lagi...”. Kalau kami pamitan pulang, dia pasti

73

mencium dan mendoakan ayah saya, padahal Ahmad itu terkenal susah untuk dicium, kecuali oleh abi dan uminya. Tapi untuk ayah saya yang sakit, dia sama sekali tidak menghindar seperti yang biasa dilakukannya. Dan banyak pengalaman lain tentang ‘kedewasaannya’ yang ‘mengesankan’ bagi kami.

Berdoa Ketika Menangis Menangis adalah hiasan kehidupan, terlebih lagi buat anak-anak bahwa menangis merupakan ungkapan perasaannya. Tak jarang juga bagi anakanak menangis dijadikan sebagai senjata untuk mengalahkan orang lain. Ahmad juga sama dengan anak-anak lainnya meskipun mungkin hampir tidak pernah menjadikan menangisnya sebagai senjata, karena dia tipe yang justru dominan ’fight’ daripada mudah menyerahnya. Tipe ’fight’ ini juga membutuhkan kesabaran dan teknik tersendiri untuk menghadapinya. Selama dia belum menyadari kesalahannya, maka selama itu pula apa yang kami lakukan selalu dilawannya. Ngomong dilawan dengan ngomong, Suara kami keraskan, dia menjawab dengan mengeraskan suara. Dipandang dengan tajam, Ahmad pun cukup bernyali untuk menajamkan pandangannya pada kami. Dan seterusnya. Ketika ada sesuatu yang membuatnya sedih seperti kemauannya tidak dituruti atau kami ’marahi’ karena suatu hal, setelah bersikap ’menantang’ kami hingga cukup lama, biasanya kami akhiri ’pertengkaran’ tersebut dengan berdoa dan ’metode isolasi’ untuk meluruskan kesalahan yang belum

74

disesalinya tersebut. Dengan tidak terpancing kemarahannya, kami angkat tangan untuk berdoa dengan keras di depannya ”Ya Allah, semoga Ahmad menjadi anak shalih, yang sabar, baik dan nurut sama abi uminya. Amiin”. Setelahnya kami bilang ”Sudah sana masuk kamar ! Berdoa biar jadi anak shalih, nanti kalau sudah baik boleh ngomong sama abi-umi”. Pada saat kami ’isolasi’ (tidak kami sapa dan gauli) itulah biasanya kemudian Ahmad menghentikan ’perlawanannya’ dan memulai menangis. Yang khas lagi, pada saat menangis itulah dia pasti berdoa kepada Allah, dan segera setelah selesai berdoa, nangisnya pun kemudian berhenti. Jadi menangisnya sangat singkat, dan berhenti setelah dia berdoa. Seperti sudah lega karena sudah mengadu kepada Allah. Selalu seperti itu. Biasanya setelah dia merasa bersalah, dengan sendirinya dia keluar kamar dan mulai mencoba menyapa kami, atau mulai usil untuk cari perhatian kami. Pada saat itulah kami memahami bahwa dia sebenarnya sudah menyesal, namun karena bakat kadar ’gengsinya’ yang tinggi, kadangkala masih sulit untuk disuruh meminta maaf. Alhamdulillah seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya pemahaman dan kematangan emosinya, Ahmad sekarang lebih pandai ’mengendalikan’ diri. Dan kebiasaan berdoa setiap menangis sambil menyendiri, sampai sekarang pun masih dilakukan.

75

BERBAGI PENGALAMAN MENDIDIK AHMAD Mengenalkan Allah SWT dan Sifat-Sifat-Nya Imam Syafi’i mengatakan, kewajiban pertama seorang hamba adalah ma’rifatullah (mengenal Allah), Tuhan yang telah menciptakannya. Begitu pula, hal mendasar yang berusaha kami bangun pada diri Ahmad sebagai pondasi bangunan kepribadiannya adalah keyakinannya kepada keberadaan Allah berikut sifatsifat-Nya agar terbentuk kesadaran akan hubungannya dengan Allah, dan apa konsekuensinya. Tentu dengan tahapan pendidikan yang sesuai dengan usianya. Menunjukkan dan membuktikan bahwa Allah ada, beserta sifat-sifat yang melekat pada-Nya kepada seorang anak balita bisa dilakukan melalui wasilah dan metode apa saja. Pada prinsipnya, mengenalkan Allah pada anak adalah membuat mereka percaya dan meyakini bahwa Allah adalah sumber dari segala sesuatu. Allah adalah sumber dari keberadaan ’apa saja’ yang mereka lihat, mereka rasakan, mereka kenal dan apa saja yang bisa mereka ketahui. Allah memiliki ’kehebatan’ dan kekuatan yang tidak dimiliki oleh makhluk manapun, dan sebaliknya Dia tidak memiliki sifatsifat lemah apapun sebagaimana yang bisa dijumpai anak pada makhluk ciptaan Allah.

76

Proses menjelaskan Allah beserta sifatsifat-Nya kepada seorang anak yang masih berada pada tahapan ’pra kritis’ ini selalu bergerak dari hal yang konkret menuju abstrak, dari pengenalan/pemberian informasi menuju terbentuknya keyakinan, dari pemahaman yang dimengerti menuju pengamalan sebagai implikasi. Kami sendiri melakukan upaya tersebut secara alami saja melalui peristiwa sehari-hari yang ditemui atau dialami Ahmad. Pemberian informasi bisa kita berikan melalui cerita, pemberitahuan, nyanyian ataupun cara lainnya. Ketika Ahmad sakit, sembari kami beri Ahmad obat kami sampaikan, ”Dikasih Umi Betadine ya, nanti disembuhkan Allah”. Ketika di sekolah kami tinggal sendiri, sambil pamit kami sampaikan ”Ahmad dijaga Allah ya”. Ketika dia meminta kami membelikan sesuatu, kami jawab dengan mengatakan ”Insya Allah kalau nanti ada rezeki dari Allah, abi/umi belikan ya...” dan seterusnya. Hingga membuat Ahmad terbiasa mengetahui bahwa Sang Penyembuh adalah Allah, Sang Penjaga adalah Allah, Sang Pemberi Rezeki adalah Allah, dan seterusnya. Kelak dia pun terbiasa menjadikan informasi tersebut dalam amal kesehariannya. Ketika merasa demamnya mulai turun setelah minum obat, dia mengatakan ”Umi Ahmad sebentar lagi mau sembuh, disembuhkan Allah”. Ketika mempersilahkan kami pergi (sebentar) tanpa dia ikut, dia bilang ”Ahmad tunggu di rumah saja, ga papa, Ahmad dijaga Allah”. Atau ketika dia bercerita dengan temannya tentang

77

mainan yang ingin dia beli, dia mengatakan ”Besokbesok kalau ada rezeki dari Allah aku mau beli yang kayak gini...” Ini adalah contoh pembiasaan amal yang bisa digunakan untuk memberikan informasi sekaligus aplikasi amalnya. Di lain kesempatan untuk menggambarkan kehebatan Allah, saya bercerita tentang kisah dikalahkannya pasukan Gajah oleh Allah pada surat Al Fiil, bagaimana Allah bisa membelah lautan pada kisah nabi Nuh AS, bagaimana api bisa dibuat Allah menjadi dingin pada kisah nabi Ibrahim dan sejenisnya. Biasanya Ahmad akan bertanya untuk membandingkan kehebatan Allah tersebut dengan tokoh-tokoh ’hebat’ lain yang ada di benaknya. Inilah contoh proses pembuktian yang dilakukan oleh anak kecil. Misalnya dia bertanya: ”kalau Allah sama Ultraman menang siapa Mi?Kalau sama Cosmos?”. ”Kalau Allah ditembak, bisa mati ga?” Ketika menemukan jawaban tidak mati, tidak kalah dan sejenisnya, maka Ahmad akan terus mengejar dengan memberikan ’tantangan’ yang menurutnya lebih hebat: ”Kalau dibom..? ....ditembak roket.? ...dibuldozer?” dan seterusnya hingga dia teryakinkan (dengan proses pembuktiannya yang ’sangat konkret’ tersebut) bahwa Allah itu Hebat. Untuk menunjukkan bahwa abi dan umi (yang mungkin dianggapnya ’super’, sebagaimana anak lain menganggap orang tuanyalah yang hebat) adalah makhluk yang penuh keterbatasan, saya mengikuti penjelasan akan kelemahan kami sebagai makhluk dengan penjelasan akan kehebatan Allah. Atau sebaliknya. Ketika menerangkan kehebatan

78

Allah, langsung saya ikuti dengan menunjukkan kelemahan yang dimiliki oleh manusia. Misalnya ketika saya bertanya kepada Ahmad: ”Tadi di sekolah bagaimana Nak? Pinter? Ngajinya keras?” Biasanya anak seusianya akan menjawab dengan bertanya dulu: ”Tadi Abi Umi dengar ya?”Kami pun menjawab ”Tidak Nak, Abi sama Umi ga bisa dengar, karena jauh. Kalau dekat, abi sama Umi bisa dengar. Tapi Allah bisa dengar. Semua Allah bisa dengar...” Demikianlah, kita hanya tinggal menginspirasi mereka berfikir tentang Allah, berikutnya proses berfikir mereka itulah yang akan mengalirkan proses pengenalan mereka kepada Allah, sejalan dengan taraf berfikir yang mereka miliki. Kita tinggal memastikan setiap kali mereka membutuhkan informasi yang benar untuk ’berbagai’ pertanyaan yang muncul di benak mereka, kita siap dan bisa memberikannya dengan bahasa dan cara yang bisa memuaskan mereka (baca: mereka pahami).

Mengenalkan Ayah dan Ibu Kandung Sebagai seseorang yang paham akan bagaimana penjelasan Islam tentang kedudukan seorang anak angkat, dan pentingnya kejelasan dan penjagaan atas nasab, kami pun mendidik Ahmad sebagaimana penjelasan Islam tersebut. Bahwa status Ahmad sebagai anak angkat tidak boleh dikaburkan atau disamarkan menjadi anak kandung,

79

siapa sebenarnya orang tua kandungnya, siapa sebenarnya kami ’orang tua baru’nya dan apa konsekuensinya, secara bertahap sejalan dengan perkembangan pemahaman yang dimiliki Ahmad, kami sampaikan dan jelaskan. Yang pertama kami lakukan adalah memanggilkan diri kami dengan panggilan yang berbeda (abi-umi) dengan panggilan untuk ayah dan ibunya Ahmad, berikut penjelasan siapa nama ayah Ahmad, siapa nama ibu Ahmad, lalu siapa kami, sehingga nantinya tidak ada kejumbuhan. Demikian pula, kami memanggilkan semua saudara-saudara kami (saya dan Ahmad adalah sepupu) dengan panggilan sesuai hubungan kekerabatannya dengan Ahmad. Sehingga hubungan kekerabatan yang dipahami Ahmad adalah yang berdasarkan bahwa Ahmad adalah sepupu kami, dan bukan anak kami. Sementara mengapa dia memanggil kami dengan abi dan umi, dan bukannya mbak atau mas sebagaimana kakak-kakaknya, karena kami adalah orang tua (baru) yang mengasuh dan membesarkan dia. Selain mengenalkan siapa orang tua dan saudara-saudara kandungnya, kami juga secara bertahap jelaskan kepada Ahmad bahwa dia harus berbuat baik dan berbakti kepada orang tuanya. Penjelasan ini tentu dengan pilihan bahasa yang bisa dipahami Ahmad. Kami berikan contoh dan langsung kami biasakan Ahmad untuk melakukannya. Diantaranya adalah biasa berdoa untuk orang tuanya, menurut dengan nasehat ibunya, memenuhi panggilan ibunya, membantu ibunya, dan semacamnya yang bisa dilakukan oleh anak seusia

80

Ahmad. Demikian juga sering saya sampaikan bahwa besok kalau Ahmad sudah besar, harus bisa menjaga ibunya dan hal-hal lain yang kelak kami harapkan dia lakukan untuk orang tuanya. Tentu untuk bisa tidak asing dengan ayah dan ibu kandungnya, Ahmad harus juga biasa bertemu mereka, dan tidak boleh kami isolir dari keluarga kandungnya. Oleh karenanya secara berkala kami mengajaknya ke rumah ibunya dan keluarga dari ayahnya. Kadang bahkan Ahmad menginap tanpa kami. Pada waktu hari raya, selain Ahmad kami pertemukan dengan keluarga besar dari pihak ibunya (keluarga besar kami), juga dibawa oleh ibunya bertemu dengan keluarga besar ayahnya. Hal itu dilakukan tidak sekedar agar Ahmad mengenal orang tua dan saudara-saudaranya, akan tetapi lebih dari itu untuk menunjukkan perkembangan Ahmad kepada ibu dan juga saudarasaudaranya agar Ahmad senantiasa juga didoakan oleh mereka. Hingga sekarang, ketika saya mendaftarkan Ahmad sekolah, nama wali murid tetaplah orang tua kandungnya. Ibunya selalu kami beritahu perkembangan Ahmad baik di sekolah maupun di rumah. Alhamdulillah, dalam perjalanannya, pemahaman Ahmad tentang siapa orang tua kandungnya berikut konsekuensinya sepertinya semakin dia pahami. Terkadang kami dibuat terperangah mendengar pertanyaan-pertanyaan ataupun pernyataannya yang menunjukkan sepertinya hal tersebut sudah dia pahami betul.

81

Pernah suatu saat di atas motor dalam perjalan kami pulang ke rumah dia berkata ” Umi...dulu kan ayah Ahmad ayah Kautsar, trus sudah meninggal, trus sekarang ayah Ahmad jadi Abi. Alhamdulillah ya Mi, jadi Ahmad punya ayah dua”, sambil memeluk abinya dari belakang. Di lain kesempatan –mungkin setelah proses berfikir yang dia lakukan- Ahmad bertanya pada saya dimanakah abinya ketika ayahnya masih ayah Kautsar. Di lain kesempatan, ketika saya mengeluh kecapekan, dan badan sakit semua, Ahmad langsung memijit tangan saya bergantian kiri dan kanan dengan sangat enak dan cukup lama. Ketika tangan sudah selesai, tidak saya kira dia meminta kaki saya juga untuk dia pijit. Pada saat itulah kemudian saya mencoba bertanya pada Ahmad ”Ahmad, besok kalau Ahmad sudah besar, Ahmad njagain umi atau ibu Yun?” Agak lama Ahmad tidak menjawab, hingga akhirnya dia bilang begini ”Atau Ahmad diiris jadi dua saja ya Mi?”, sambil tangannya memperagakan membelah dirinya jadi dua. Saya segera menyahut ”Ga usah Nak. Besok kalau Ahmad sudah besar, Ahmad njagain Ibu Yun aja ya!” Yang kemudian dengan riang dia jawab ”Iya. Umi dijagain abi saja ya!”....Dalam hati, selain terharu, saya juga bertanya-tanya apa yang dipahami Ahmad tentang menjaga ibunya. Di atas semua itu, tentu saja rasa syukur saya kepada Allah karena Ahmad bisa memiliki niat mulia seperti itu. Semoga Allah SWT mendidiknya menjadi jalan kemuliaan bagi orang tuanya, kami yang mengasuhnya, dan juga umat ini secara keseluruhan. Amiin Ya Rabbal ’Alamiin.

82

Pembiasaan Sebagai Metode Pendidikan Awal Seorang bayi adalah ibarat kaset kosong yang siap digunakan untuk merekam apa saja. Dia bisa digunakan untuk merekam dan menyimpan cacian, umpatan, makian, kemarahan ataupun hal buruk lainnya. Pun demikian bisa kita gunakan untuk merekam kata-kata indah penuh kelembutan, perkataan-perkataan bijak penuh hikmah, senandung kesyukuran, lantunan kalam suci ilahiy dan hal-hal bermanfaat dan terpuji lainnya. Semua itu tergantung pada kita sebagai pihak yang bertugas memberikan hal-hal yang hendak dia rekam. Kitalah sekolah pertama bagi mereka. Seorang anak sendiri dalam proses tumbuh dan kembangnya akan melalui beberapa tahapan pendidikan. Hingga usia 5 tahun, paling tidak seorang anak akan melewati tahapan pendidikan pembiasaan, pengenalan hukum, pengenalan disiplin dan membangun pemahaman dasar dengan pendekatan yang bergerak dari yang bersifat konkret ke abstrak, dari aqidah ke pengenalan hukum/syariat, dari hal-hal pokok ke detil/cabang. Diantara pembiasaan yang kita bisa lakukan sejak dini adalah terbiasa berdoa setiap melakukan apa pun, terbiasa sholat, terbiasa mendengar bacaan al qur’an, terbiasa makan dengan tangan kanan, terbiasa senyum ramah pada orang, terbiasa gosok gigi sebelum tidur, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang menjadi aktivitas keseharian kita. Untuk bisa

83

melakukannya memang mengharuskan kita sebagai ibu harus bisa menjadi teladan pertama dan utama bagi anak. Tidak jarang malah sebelum jadi guru bagi anak kita, kita harus menjadi guru bagi tim yang akan mendidik anak kita, termasuk di dalamnya ayah dan mungkin pembantu kita. Demikian pula ketika saya memulai pembiasaan sesuatu kepada Ahmad, misal kebiasaan memulai apapun dengan doa, maka saya sampaikan kepada abi Ahmad bahwa sekarang target yang harus kami lakukan adalah begini....untuk itu setiap kali Ahmad sedang bersama abi maka abilah yang harus bisa menjadi guru bagi Ahmad. Sehingga tentu saja abi juga harus tahu dan mengamalkan apa saja doa aktivitas keseharian. Tidak jarang saya mendapati ternyata tidak semua doa aktivitas keseharian dihapal dan terbiasa dilakukan oleh suami saya, sehingga saya harus terlebih dahulu mengajari beliau sambil membantu mengingatkan agar istiqomah dilaksanakan. Khan kita mau menjadikan Ahmad seperti itu. Akhirnya, jadilah proses pembiasaan bagi Ahmad untuk berdoa ketika keluar rumah, naik kendaraan, masuk dan keluar kamar mandi, pakai baju, makan, tidur dan bangunnya, mendengar petir atau kilat dan lainnya sekaligus menjadi proses pembiasaan pula bagi abinya, dan tentu saja bagi saya sendiri. Yang perlu diingat oleh kita selaku orang tua pada waktu melakukan proses pembiasaan ini adalah keistiqomahan atau keberlangsungan. Jangan kadang dilakukan, tapi kadang tidak. Hal itu akan mempersulit kita meraih keberhasilan. Kalau

84

kita istiqomah, rasa sulit atau berat hanya akan kita rasakan di awal-awal kita memulai kebiasaan baru tersebut saja, berikutnya akan mengalir dengan jauh lebih mudah. Terkadang, diantara alasan mengapa kita para orang tua kurang bisa istiqomah melakukan pembiasaan tersebut adalah rasa malas, merasa tidak ada manfaatnya karena saat itu anak kita belum bisa bicara, merasa masih cukup memiliki waktu untuk melakukannya di lain waktu, menunggu anak kita lebih besar dan pintar dulu dan beberapa alasan lain yang mungkin lebih karena ketidaktahuan kita akan potensi daya rekam sang anak pada usia dini tersebut. Maka lihatlah, ketika kita istiqomah membaca doa memakai baju setiap memakaikan anak kita baju, membaca doa sebelum tidur ketika menemaninya tidur dan lain sebagainya, kita akan takjub ketika suatu saat anak kita bisa bicara, meluncurlah dari mulut mungilnya segala bacaan, doa atau perkataan yang dulu pernah dia dengar. Begitu bisa bicara, mungkin anak kita langsung bisa menghafal surat al Ikhlas yang sering kita perdengarkan untuknya.

Memanfaatkan Photographic Memory Sebagaimana yang sudah saya tuliskan di awal, bahwa usia balita adalah masa dimana seorang anak mempunyai kualitas memori seperti foto. Selain itu anak-anak balita tersebut sering juga disebut sebagai ’the Great plagiator” alias peniru ulung. Apa yang dia lihat, itulah yang akan dia ingat.

85

Apa yang dia dengar, itupun yang akan dia tirukan. Karenanya salah satu prinsip pendidikan pada usia ini adalah bagaimana memastikan mereka mendapatkan stimuli/rangsangan/informasi sebanyak-banyaknya, dan dipastikan semua stimuli/rangsangan/informasi yang dia indera, apapun itu, adalah hal yang baik dan benar. Di sinilah orang tua sangat memegang peran sebagai guru pertama yang akan jadi teladan bagi anak. Dan rumahnya adalah lingkungan sekolah pertama bagi anak. Terkait dengan memberikan beragam informasi, dalam masa-masa awal ketika anak kita belum bisa bicara, bukan berarti mereka belum bisa menyimpan informasi yang kita berikan. Sehingga orang tua memang harus ’banyak omong’ dan ’banyak cerita’ ketika sedang mengasuh anakanaknya. Hal ini perlu dilakukan agar masa dengan daya rekam yang luar biasa ini tidak hanya terlewatkan dengan minim rangsangan dan informasi. Saya sendiri sejak Ahmad bayi berusaha mengajaknya ngomong dengan menyebutkan apa dan siapa yang sedang dilihatnya atau ditemuinya. Adakalanya saya menyebutkan jenis-jenis kendaraan yang kami temui di jalan (bus, truk, sedan, motor, mobil molen, mobil box, dll), ada kalanya saya sebutkan jenis-jenis bangunan yang ada di pinggir jalan (kantor, warung, toko, POM bensin, dll.), ada kalanya warna benda, ukurannya, dan apa saja yang bisa saya sampaikan. Kelak ketika dia berumur satu tahunan, ketika sudah mulai bicara sedikit, ketika

86

saya diam justru dia yang akan selalu bertanya terus ”ini apa? itu apa?” terus menerus sebagaimana sebelumnya saya terus menerus juga memberitahu dia ketika belum bisa bicara. Pada saat anak kita sudah memiliki simpanan informasi lumayan banyak, kita bisa mengasah kepekaan penginderaannya dengan memanggil memori tersebut dalam permainanpermainan yang bisa kita lakukan bersamanya. Misalnya, saya meminta Ahmad menyebutkan sepuluh hal yang dia temui sepanjang perjalanan kami dengan cepat. Saya membuat suara tertentu yang berbeda ketika dia bisa menyebutkan dengan cepat (misal ”cliing...”), atau terlalu lama melebihi waktu yang saya tentukan (misal ”teett..”), atau yang disebutkannya ternyata pengulangan (misal ”ding dong..”), dan lain sebagainya. Kita bisa teruskan dengan sepuluh berikutnya, dan seterusnya. Jadi seperti permainan kuis. Kita akan bisa melihat sejauh mana kepekaan penginderaan anak kita, dan kecepatannya. Pada awal saya melakukannya dengan setelah beberapa kali saya melakukannya, terdapat perbedaan yang saya dapati pada hasil penginderaan Ahmad. Misal pada awal-awal saya melakukannya dia hanya menyebutkan : ”mobil, sepeda , orang, motor, rumah, sungai, pohon .....”, di kesempatan berikutnya lebih tajam dan lebih cepat, misal ” truk molen, truk tanki, bus, pickup, pagar biru, orang lagi makan, sampah di sungai, anak kecil menangis, kakek lagi duduk,...” dan seterusnya Di kesempatan lain, mungkin kita

87

mengulang dan me-recall informasi yang sudah tersimpan dalam benak anak kita dengan memintanya bercerita tentang kejadian apa saja yang mereka temui hari ini, atau ingin mereka ceritakan. Dengan metode ini sering kita akan mendapati cerita-cerita ’hebat’, lucu dan bahkan tidak masuk akal, meluncur dari mulut mereka dalam rangkaian kalimat-kalimat yang mungkin masih sangat sederhana. Metode apapun bisa kita lakukan untuk memanfaatkan photographic memory ini. Pada prinsipnya, jangan pernah biarkan kemampuan ’kamera’ mereka hanya kita biarkan ’tergeletak’ dan ’terpakai’ ala kadarnya karena kita tidak membantu mereka mengoptimalkan potensi tersebut, dengan memberikan arahan bagaimana menggunakannya dengan sebaik-baiknya.

Belajar Mengendalikan Diri Mengendalikan diri tidaklah berarti tidak boleh marah. Hanya saja marah pun bukan berarti harus berteriak-teriak, membentak-bentak, mengeluarkan kata-kata tidak pantas atau bahkan melayangkan cubitan, pukulan atau hal lain yang menyakitkan. Marah di sini adalah ketegasan untuk menunjukkan bahwa sesuatu ’yang salah’ tidak boleh disetujui dan dibiarkan, akan tetapi harus ditolak dan diluruskan. Tentu dengan cara yang membuat kita bisa menyampaikan pesan tersebut kapada anak, dengan kontrol emosi dan fisik yang harus bagus. Ketika Ahmad marah, hal pertama yang

88

harus kami lakukan adalah tidak terpancing memarahinya. Kontrol diri betul-betul harus terlihat oleh Ahmad. Mulai dari roman muka, mimik, bahasa, intonasi, hingga bahasa tubuh kami yang lain harus terbaca oleh Ahmad bahwa kami tidak terpancing ikut marah dan sangat terkendali. Ini tentu bukan perkara yang begitu saja mudah untuk dilakukan. Kami pun harus belajar melakukannya dengan kerja keras dalam kondisi apapun (meski adakalanya juga kami ’terpancing’ pada keadaan dan situasi tertentu). Setelah memastikan kami dalam keadaan pengendalian diri yang benar-benar bagus, biasanya kami menjawab kemarahan Ahmad tersebut dengan kalimat-kalimat berintonasi rendah yang berusaha mengarahkan Ahmad untuk menceritakan kemarahannya dalam bentuk verbal. Kami tanya dia apa yang membuatnya marah dan memberikan penjelasan atau tafsir terbaik dari apa yang ia alami dengan penuh ketelatenan dan yang penting ’tidak menampakkan’ sedikitpun emosi kemarahan. Ketika upaya mengajaknya bicara belum memungkinkan untuk dilakukan karena masih didominasi nafsu amarah, biasanya mendoakannya secara langsung dengan dikeraskan di hadapannya saat itu juga adalah hal yang kami lakukan. Bisa jadi panjang dan macam-macam doa yang kami baca, sambil meredam kemarahan Ahmad. Maka emosi meluapluap yang tadi ditunjukkan dengan memukul atau membanting sesuatu, atau warna muka memerah dengan pandangan mata yang menantang, juga nafas yang memburu akan berangsur-angsur menghilang

89

tertransfer dalam bentuk kemarahan secara verbal. Dari kemarahan secara verbal yang masih disertai tingginya intonasi bicaranya, perlahan-lahan berubah hanya dalam bentuk content/isi pembicaraannya saja yang menunjukkan dia marah, namun intonasi sudah mulai merendah dan terkontrol. Hingga akhirnya Ahmad bisa untuk kami belai, pangku, berikan pelukan dan ciuman sambil mengajaknya tarik nafas panjang sembari membaca istighfar untuk menyudahi dan menyesali kesalahannya tadi. Dari proses marah hingga bisa mengendalikan diri yang membutuhkan waktu panjang -di awal-awal kami melatih pengendalian dirinya-, kini Alhamdulillah Ahmad sudah jauh lebih bagus dan lebih cepat dalam mengendalikan kemarahannya. Kini ketika dia marah, dia tunjukkan kemarahannya itu dengan mengatakannya secara verbal (”aku marah....”), meski kadang masih terlihat roman muka marah di wajahnya. Insya Allah, dengan bertambahnya mafhum dan ketundukanya pada apa yang dipahaminya, kemampuan pengendalian diri Ahmad semakin hari semakin baik. Hingga pada saatnya nanti, dia bisa dengan tepat meletakkan kapan dia boleh dan harus marah, serta bagaimana mengekspresikan amarahnya tersebut dengan benar. Semoga kami dimudahkan Allah membantu Ahmad melakukannya. Amiin.

Berdoa…Berdoa…Dan Berdo’a Sebagaimana kita fahami, doa adalah senjata bagi orang beriman, bahkan disebutkan juga

90

bahwa doa adalah inti dari ibadah. Maka kami sebagai orang tua juga meyakini bahwa dengan doa itulah manusia memiliki sandaran yang kuat. Sejak kecil kami mengenalkan doa-doa sekaligus pentingnya kedekatan dengan Sang Maha Kuasa yakni Alloh SWT kepada Ahmad. Pengenalan pentingnya doa tersebut tidak hanya kami lakukan dengan mengajarinya menghafal dan mengamalkan doa-doa tertentu. Akan tetapi lebih dari itu kami membiasakan Ahmad melihat bahwa berdoa bisa dilakukan dimana saja dan untuk maksud apa saja. Berikutnya juga membiasakan dia berdoa di mana saja dan terkait hal/maksud apa saja. Salah satu bentuk doa yang sering kami perlihatkan kepada Ahmad adalah berdoa untuk dirinya agar menjadi anak baik, shalih, sabar, tangannya dipakai untuk yang baik-baik, mulutnya dipakai ngomong yang baik-baik, dan doa kebaikan apapun itu untuknya sesuai dengan konteks yang sedang terjadi. Itu adalah salah satu cara andalan kami untuk ’mengendalikan’ Ahmad, karena dengan metode ’berdoa langsung di hadapannya’ tersebutlah Ahmad langsung luluh dan nurut. Adakalanya saya sendiri yang berdoa. Adakalanya abinya sendiri, ketika beliau yang sedang bersamanya. Tapi adakalanya juga abi yang berdoa, sementara saya meng-aminkan doa yang dibaca oleh abi Ahmad, atau sebaliknya, ketika kami berdua bersama Ahmad. Sehingga dalam kehidupan Ahmad, meskipun terlihat seperti tidak bisa diam, akan tetapi

91

perasaannya sangat halus dan mudah disentuh/tersentuh. Ketika di televisi ada berita tentang musibah, kami ajari dia berdo’a untuk mereka yang tertimpa musibah tersebut. Ketika melihat anak busung lapar atau mereka yang sakit, kami biasakan dia berdoa untuk mereka, dan seterusnya. Begitulah, hingga Ahmad akhirnya memang terbiasa berdoa di mana saja, untuk maksud apa saja dan untuk siapa saja. Termasuk terbiasa mendoakan kebaikan untuk orang lain yang mungkin tidak dikenalnya. Sering dia kami dapati berdoa di atas motor ketika kami sedang di perjalanan. Ketika saya tanya “berdoa apa nak?” Jawabannya bisa macam-macam, karena ada banyak hal yang ditemui di perjalanan. Adakalanya dia mendoakan anak kecil yang lagi jualan koran, pak polisi, pengemis, seseorang yang sakit, cacat atau orang lain. Seringkali pula dia berdoa untuk kami, misalnya ketika di perjalanan siang yang sangat terik, ketika kami termasuk Ahmad merasa kepanasan, dia nyeletuk ”Abi-Abi, besok-besok kalo ada rezeki kita beli mobil ya”. Dijawab oleh abinya “Ahmad doakan agar Allah memberikan rezeki untuk beli mobil”. Maka saat itu juga dia berdoa dengan bahasanya sendiri ....dan apapun bisa menjadi doanya.

Pendekatan ‘Positif’, Jangan ‘Negatif’ (Pelajaran Dari Doa Untuk Abi Yang ‘Nakal’) Pakailah pendekatan positif ketika memberi

92

pelajaran dan bukan pendekatan negatif. Katakan ‘tidak baik’ dan jangan katakan ‘nakal’. Katakan ‘tidak sabar’ dan jangan katakan ‘pemarah’. Pakailah pendekatan ‘hadiah’ daripada ‘pendekatan sanksi/hukuman’. Hal ini sebenarnya juga sudah kami pahami. Tetapi satu peristiwa yang pernah terjadi membuat kami lebih berhati-hati lagi untuk memastikan pelajaran apapun kepada anak kita harus tersampaikan dengan ‘pendekatan positif’ dan bukan ‘pendekatan negatif’ terutama ketika mengajari anak usia dini. Saya sangat ingat betul, waktu itu saya dan Ahmad lagi menonton televisi. Acara yang kami tonton saat itu adalah sinetron “Rahasia Ilahi”. Biasanya sinetron ini bercerita tentang seseorang yang gemar melakukan maksiat/kejahatan, lalu mendapatkan balasan dari Allah atas kemaksiatan/kejahatannya. Pada saat channel baru saya pindah, ada adegan seorang bapak yang sedang memukuli dan membentak istrinya. Seperti biasa, Ahmad langsung tersentuh perasaannya hingga mau menangis dan meminta channel segera diganti. Saya pun segera mengganti channel sambil mendudukkannya di pangkuan, sembari menjelaskan bahwa yang seperti itu tidak bagus, tidak boleh dilakukan. Maka mengalirlah pertanyaan darinya tak putus-putusnya. “Kenapa Mi?” tanyanya. “Karena itu bisa menyakiti ibunya, itu namanya gak bagus, orang jahat”, jawab saya. “Orang jahat nanti sama Allah diapakan Mi?”, tanyanya lagi. “Sama Allah nanti akan dihukum di akhirat”, jawab saya.

93

“Dihukum sama Allah apa Mi?”, tanyanya belum puas. “Dimasukkan ke dalam neraka Nak”, jawab saya.. “Diapakan di neraka Mi?” kejarnya terus. Saya pun jawab “dibakar sama api yang sangat panas”. “Iya, dibakar ya Mi sama Allah”.... Ahmad mengangguk-angguk sambil pandangannya mengisyaratkan dia sedang memikirkan sesuatu. Beberapa hari berlalu. Suatu waktu, Ahmad dinasehati abinya karena suatu hal tidak tepat yang dilakukannya. Seperti biasa, bakat temperamentalnya muncul dan membuatnya ‘menantang’ terus abinya, hingga kemudian abinya menghentikan ‘pertengkarannya’ dengan Ahmad dan memintanya masuk kamar dan berdoa agar jadi anak baik. Ahmad pun masuk kamar sambil menangis. Seperti biasanya pula, pada saat menangis itulah dia berdoa pelan, namun cukup terdengar oleh saya yang waktu itu kebetulan di dekatnya: “Ya Allah...itu... abi nakal, hukum Ya Allah, dibakar...”. Sontak saya kaget, lalu memberikan penjelasan padanya kalau abinya tidak nakal. Abinya itu karena saking sayangnya sama Ahmad melarang Ahmad melakukan hal-hal yang membahayakan....dan seterusnya. Sejak itu, kami membuat re-komitmen baru. Bahwa tidak boleh ada pendekatan ‘hukuman’ dulu dalam menerangkan apapun meskipun konteksnya untuk orang jahat. Jadi kalau ada fenomena ‘orang jahat’ yang ditemui Ahmad, kami sampaikan dan ajarkan agar kita mendoakan mereka agar segera taubat jadi orang baik dan besok bisa masuk surga Allah...

94

Jadi sekali lagi, gunakan pendekatan ‘positif’ dan membangun! Dan bukan sebaliknya!

’Besar ’ Dan Belajar Di Jalan Yang saya maksudkan besar di jalan ini bukan berarti Ahmad menjadi anak jalanan. Akan tetapi karena jarak antara rumah kami dengan beberapa tempat kami biasa beraktivitas lumayan jauh, kendaraan (Alhamdulillah) baru ada satu, sementara kami hanya bertiga (tanpa pembantu), dan belum ada kendaraan umum yang bisa kami naiki hingga sampai rumah, seringkali kami bertiga harus berangkat dan pulang dalam ’satu paket’ (baca: bersama-sama). Dengan agenda di tengah-tengahnya bisa macam-macam dan di beberapa tempat. Karenanya, berperjalanan adalah hal yang biasa dilakoni Ahmad karena seringkali dia ikut kemana saja kami beraktivitas. Adakalanya dia ikut saya, adakalanya dia bersama abinya, adakalanya dia milih sendiri minta ditinggal di mana (rumah ibunya atau ibu saya), untuk nanti kami jemput kembali. Kesempatan banyak berperjalanan ini pula yang kemudian juga kami optimalkan untuk banyak memberikan pelajaran kepada Ahmad, selain ketika ada di rumah tentunya. Termasuk hal yang bisa dan biasa kami lakukan sembari ada dalam perjalanan adalah belajar bersama Ahmad. Belajar apa pun, sesuai dengan perkembangan yang sedang dijalaninya. Dan kami melakukannya dengan kemasan seperti melakukan permainan. Mulai dari belajar mengenal huruf dan angka, berhitung, mengeja, belajar memberi

95

taushiyah (ceramah agama), hingga menghafal Al Qur’an bisa kami lakukan sambil ada di tengah perjalanan. Sehingga perjalanan yang sering kami lakukan tidak hanya terasa menyenangkan dan singkat, tetapi bisa memudahkan kami ’memaksa’ Ahmad belajar dengan cara yang tidak dia sadari bahwa dia sedang belajar bersama kami.

Hypnosis Yang Tidak Disadari Seringkali dalam perjalanan pulang ke rumah maupun perjalanan ke suatu tempat yang agak jauh, Ahmad mengantuk hingga tertidur di atas kendaraan. Pada kesempatan menjelang tidur itulah saya seringkali kemudian membisikkan beberapa kalimat nasehat yang saya harapkan mengendap di benak Ahmad lebih kuat. Karena menurut yang pernah saya baca, memori yang akan bertahan lebih kuat adalah yang dimasukkan ketika menjelang tidur. Meski pada waktu itu saya belum mengetahui penjelasan lebih lanjutnya. Karena waktu itu Ahmad cukup sering membuat nangis teman-temannya di sekolah maupun di rumah, nasehat yang saya bisikkan pun rata-rata seputar hal tersebut. Harapan saya besok ketika pulang sekolah saya tanya, hari itu dia pinterpinter saja, dan tidak menangiskan temannya. Saya bisikkan: ”Ahmad, jadi anak yang pinter ya. Baik sama teman. Mainan sama teman. Tidak bertengkar. Tidak nakal sama teman.” Dan kalimat lain semacamnya yang kemudian saya ulang-ulang. Namun apa yang terjadi? Besoknya ketika kami tanya ternyata Ahmad masih membuat temannya

96

menangis. Saya ulang lagi memberi bisikan-bisikan menjelang dia tidur agar tidak nakal, tidak bertengkar sama temannya, dan sebagainya. Namun ternyata, besoknya Ahmad masih saja membuat temannya menangis. Hingga suatu saat saya membaca buku tentang hipnoparenting. Dari buku itu, saya mengetahui, ternyata tanpa saya sadari sebenarnya saya sudah melakukan hipnosis ke alam bawah sadar Ahmad, namun dengan cara yang keliru. Ketika saya sudah mengetahui bagaimana yang seharusnya, hipnosis yang saya lakukan itupun saya koreksi. Bagaimana melakukan hipnoparenting yang tepat? Silakan baca penjelasan di bawah ini.

Melakukan Hynoparenting Dengan Tepat Hypnoparenting adalah suatu ilmu yang menggabungkan pengetahuan tentang mendidik dan membesarkan anak dengan pengetahuan hipnosis. Kata ’Hipnosis’ mengacu pada proses penurunan kondisi kesadaran. Kondisi ini kita alami tiap hari minimal dua kali. Pada waktu kita akan tidur kita melewati kondisi ini, dan pada waktu kita akan bangun dari tidur kita juga melewati kondisi ini. Jadi singkatnya, ’kondisi terhipnosis’ adalah kondisi antara mata terbuka dan tidur nyenyak. Hipnosis adalah fenomena alamiah yang dialami setiap manusia. Penjelasan yang lebih ilmiah bisa kita dapatkan dengan mengerti tentang gelombang otak

97

yang bisa diukur dengan alat EEG (Electroencephalogarphy). Otak manusia memancarkan frekuensi (yang membentuk gelombang ) tertentu untuk setiap kondisi. Ada empat gelombang yang sering dibicarakan. Yang paling rendah adalah gelombang delta (0,1-4 Hz). Gelombang ini kita alami saat kita tidur nyenyak tanpa mimpi. Gelombang berikutnya dalah gelombang theta (4-8 Hz). Yang mana pada gelombang theta inilah ide-ide kreatif dan inspiratif muncul. Informasi yang diterima saat otak dalam kondisi seperti ini akan langsung menjangkau bawah sadar dan tersimpan dalam memori jangka panjang. Karena itu kondisi ini disebut kondisi yang sangat sugestif. Frekuensi theta juga muncul saat kita dalam kondisi meditasi atau tidur dengan mimpi. Jika kesadaran kita lebih naik lagi, muncullah gelombang alfa (8-12 Hz). Pada kondisi ini, pikiran hanya terpusat pada satu perhatian. Kondisi ini dapat terjadi ketika kita berdoa dengan sangat khusyuk. Dan ketika gelombang otak mencapai frekuensi lebih dari 12 Hz, maka kita berada pada kondisi gelombang beta. Pada kondisi beta, kita dapat mencurahkan pikiran ke banyak hal. Inilah kondisi kesadaran mata terbuka (sadar penuh). Sebagai contoh, pada kondisi ini kita bisa membaca buku sambil makan kacang dan mendengarkan musik sekaligus. Kondisi hipnosis dicapai ketika gelombang otak berada di kisaran gelombang alpha dan theta. Saat berada dalam wilayah alpha dan thetha tubuh kita bisa melakukan proses regenerasi sel dengan

98

jauh lebih baik dan lebih sempurna daripada saat kita terjaga. Dengan hal ini, tubuh akan jauh lebih sehat. Kemampuan berpikir logis pun akan meningkat tajam dan kita lebih mudah mengontrol diri dalam memutuskan sesuatu karena akurasi dalam berpikir ikut meningkat. Karena itu jika kita bisa membantu seorang anak memasuki wilayah gelombang otak alpha dan thetha, kemudian kita ajari suatu pengetahuan dalam kondisi ini, apa yang diterimanya akan langsung dicerna dengan mudah. Kita tidak perlu mengajarinya berulang-ulang karena bisa dikatakan semua proses belajarnya dalam keadaan sadar dipercepat tanpa menghilangkan esensi dari ilmu pengetahuan tersebut. Mengapa hal itu bisa terjadi?Jika dalam kondisi sadar kita mengajar seorang anak, maka kelima inderanya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Bisa jadi matanya melihat kita mengajar, tetapi telinganya mendengarkan temantemannya yang berteriak dengan gembira di luar sana, sehingga imajinasinya membayangkan bagaimana asyiknya bermain bersama mereka. Jika ini terjadi, informasi yang kita sampaikan tidak mendapat perhatiannya sehingga dia tidak mengerti, apalagi mengingat apa yang sudah kita sampaikan. Lain halnya jika pelajaran/informasi disampaikan saat anak/subyek dalamwilayah gelombang otak alpha dan thetha. Pada kondisi ini, semua perhatiannya hanya tertuju pada satu titik, yaitu si pemberi informasi. Semua panca inderanya bekerjasama menangkap informasi baru yang masuk dan dicerna langsung setelah diproses dengan cepat

99

untuk kemudian disimpan dalam memori jangka panjang. Pada saat gelombang otak dalam keadaan alpha dan thetha adalah saaat dimana kita sangat terbuka terhadap informasi baru dan perubahan. Otak berfungsi sebagai spons yang menyerap apapun di sekitarnya. Bagaimana dengan gelombang otak anak? Ternyata ketika seorang anak berusia 5 tahun diukur gelombang otaknya dengan Brain Wave I (perpaduan EEG dan rangsang optik-akustik) ternyata didapatkan hasil rekaman otaknya terlihat dominan beroperasi di gelombang otak thetha dan alpha. Beberapa pakar teknologi pikiran menyebut fase itu sebagai fase ‘pikiran pra-kritis’. Informasi diserap dan diintegrasikan tanpa pertanyaan. Apapun yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh seorang anak akan langsung masuk dan mengendap di pikiran bawah sadar. Ketika ada kata-kata, peristiwa, tindakan yang ’kurang’ baik akan sangat mudah masuk dan mengendap di pikiran bawah sadar anak. Jika banyak disalahkan, secara bawah sadar ia juga belajar untuk mengkritik dan mengutuk segala sesuatu. Jika banyak dicemooh dan diejek, ia akan belajar menjadi seorang yang pemalu dan selalu merasa bersalah. Jika banyak mengalami ketakutan, ia akan belajar untuk menjadi pencemas dan selalu khatir terhadap kehidupannya. Sebaliknya, jika banyak dipuji, ia akan belajar untuk menghargai dan menghormati. Jika diterima apa adanya, ia juga belajar mengerti dan mengasihi orang lain. Jika selalu didukung untuk melakukan sesuatu, ia belajar untuk menyukai dirinya sendiri yang akhirnya

100

mengembangkan rasa percaya diri dan harga dirinya. Sebuah keadaan yang kadangkala kita kurang perhatikan, tapi sangat berpengaruh dalam kesehariannya. Maka, di saat menjelang tidur (ketika otak dalam gelombang alpha-thetha) seperti inilah saat yang tepat kita mendampingi tidur anak kita sembari menceritakan kisah-kisah teladan para sahabat Rasulullah, maupun kisah-kisah inspiratif bermakna lainnya sambil menunggu ia mengantuk dan menjelang tertidur. Maka di saat itulah, yakni ketika anak baru menuju tidur, tetapi juga tidak dalam kondisi sadar, kita masukkan kata-kata hipnosis sesuai dengan yang kita inginkan. Sebagai catatan, jika mau menghipnosis anak, yang pertama adalah tidak boleh menggunakan kata-kata negatif. Misalnya: Ahmad mulai besok jadi anak yang tidak nakal ya. Jangan nangisan. Jangan suka bertengkar, dan lain sebagainya. Tapi kata-kata yang di masukkan ke telinga anak kita haruslah kata-kata positif. Misalnya: Ahmad anak yang sholeh, nurut sama abi dan umi, sayang sama teman, dan sejenisnya. Kemudian kata-kata yang dibisikkan tidak boleh terlalu panjang, sehingga sulit untuk dimengerti oleh anak. Sebagai bukti, coba Anda dengarkan kalimat saya di bawah ini, hafalkan dan ulangilah sambil memejamkan mata: ”Tolong jangan Anda bayangkan di benak Anda seekor monyet hitam, besar, jelek, menakutkan dan bau ada di depan Anda. Saya

101

ulangi, jangan pernah Anda bayangkan di benak Anda seekor monyet hitam, besar, jelek, menakutkan dan bau ada di depan Anda. SEKALI-KALI JANGAN PERNAH ANDA BAYANGKAN DI BENAK ANDA, SEEKOR MONYET HITAM, BESAR, JELEK, MENAKUTKAN DAN BAU ADA DI DEPAN ANDA.” Bagaimana? Semakin saya (atau Anda) ulang kalimat tersebut, apakah semakin tidak Anda bayangkan gambaran monyet hitam, besar, jelek, menakutkan dan bau tersebut? Atau justru sebaliknya, Anda semakin membayangkan bahkan memvisualisaikannya dalam benak Anda? Pasti jawaban yang kedualah yang terjadi. Sekalipun di dalam kalimat saya tersebut juga saya ulang-ulang kalimat ”jangan Anda bayangkan, jangan pernah Anda bayangkan, sekali-kali jangan pernah Anda bayangkan!” Itulah mengapa melakukan hipnosis tidak boleh menggunakan kata-kata ’negatif’. Demikian pula, dalam keseharian kita bersama anak kita, jangan pernah menggunakan kata-kata ’negatif’ karena bisa jadi kita telah melakukan hipnosis tanpa pernah kita sadari. Ingat! Anak-anak dalam keseharian mereka, sangatlah sering/biasa berada dalam kondisi gelombang otak alfa-thetha secara alami.

Mengajar Anak Kinestetis Memang tidak mudah mengajar anak yang memiliki potensi kinestetik lebih dominan. Perlu

102

banyak energi yang kita keluarkan guna lebih memberikan ketertarikan padanya. Oleh karena itu seorang guru atau pengajar harus memiliki skill dan kreatifitas yang tinggi untuk bisa mengakomodir anak kinestetik dalam pembelajaran. Mungkin banyaknya permainan yang memerlukan gerak tubuh justru lebih disukai anak-anak kinestetik. Disamping permainan gerak tubuh, maka di dalamnya harus dimasukkan materi-materi yang akan kita sampaikan. Sehingga secara tidak sadar dia belajar akan tetapi dengan sesuatu yang menyenangkan anak.

Belajar Mengenal Huruf, Angka Dan Mengaji Belajar mengenal huruf dan angka bagi anak-anak pada umumnya mungkin sesuatu yang mudah dan bukan sesuatu yang istimewa. Tetapi mengajar anak dengan tipe seperti Ahmad yang agak sulit untuk ’duduk manis’ dan memberi perhatian kepada sesuatu yang ’statis’ mungkin justru dibutuhkan banyak sekali ide dan kreativitas untuk membuatnya bisa dan mau terlibat dalam proses belajar mengajar itu. Menghafal angka, huruf latin, hijaiyyah bahkan surat dalam Al Qur’an tentu bisa kita lakukan sejak sedini mungkin, karena itu terkait dengan pembiasaan saja. Tetapi belajar membaca huruf dan angkanya mestilah dilakukan tidak dengan dipaksakan kepada seorang anak kecil yang belum memiliki ketertarikan mengenali huruf. Tertarik untuk mengenali huruf adalah sesuatu yang harus

103

kita biasakan dulu kepada anak sebelum mengajari mereka konsentrasi melihat dan membacanya. Memasang gambar berisi angka, huruf latin dan hijaiyyah dengan berbagai variasinya di tempattempat yang mudah terlihat oleh Ahmad adalah langkah pertama untuk membiasakan melihatnya dan menumbuhkan ketertarikannya. Berikutnya saya biasa bercerita dengan menggunakan gambargambar yang ada tersebut sambil sedikit-sedikit mengenalkan tulisan huruf-huruf maupun angka yang terdapat di dalamnya. Pada kesempatan lain saya menggunakan buku mengenal huruf dengan contoh sesuatu yang digambarkan, sebagai alat tebak gambar bersama Ahmad. Di lain kesempatan saya tuliskan huruf-huruf hijaiyyah di karton tebal yang saya potong-potong sebesar kartu mainan. Lalu dengan kartu-kartu tersebut saya bisa bermain sulap, tebak huruf maupun bercerita sambil memastikan Ahmad mengenali mana huruf alif, ba’, ta’, jim dan seterusnya. Ketika dia sudah bisa menikmati tontonan CD, saya putarkan CD mengenal huruf dan angka. Tapi baginya hal itu masih cukup membosankan kalau hanya melihat terus huruf atau angka-angka itu dibacakan tokoh kartun yang ada di CD, sehingga saya kadang menjadikan acara menonton CD tersebut seperti kita bermain kuis/tebak-tebakan dengan suasana bermain. Kalau di tengahnya ada waktunya bernyanyi sambil menari, maka saya lakukan itu bersama Ahmad. Kadang saya harus berteriak bersahut-sahutan dengan Ahmad untuk berlomba menyebutkan huruf atau angkanya, kadang

104

saya berlaku seperti tidak tahu atau lupa sehingga Ahmad yang mengajari, kadang saya membuat suara seperti bel tanda waktu habis dan sebagainya. Ketika Ahmad sudah terbiasa dan suka dengan acara belajar membaca, saya mulai menggunakan buku seperti iqra’ atau buku latihan membaca lainnya. Itupun tidak mudah membuatnya mau membaca sampai satu halaman penuh langsung. Di tengah-tengah membaca/mengaji tidak jarang harus kami selingi dengan berbagai macam hal. Kalau yang dibaca panjang biasanya 3-4 baris saya beri kesempatan istirahat dan bermain sebentar. Lalu kita lanjutkan lagi. Demikian seterusnya. Alhamdulillah, sekarang di sekolah, dalam hal membaca Ahmad termasuk cukup bagus. Mengajinya pun jauh dibanding yang sedang dipelajari di sekolah, yang baru sampai Tilawatiy jilid 1, sementara di rumah Ahmad sudah menjelang Iqra’ 5. Hafalan Qur’an pun sudah dikuasainya dari An Nas sampai Asy Syam (sekitar 25 surat pendek), ketika tidak semua temannya bisa hafal sampai Al Quraisy.

Memilih(Kan) Mainan Memilihkan mainan yang tepat juga menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pembelajaran yang kita lakukan. Mainan yang tepat untuk tipe anak yang tepat akan membantunya mengembangkan potensi yang dimilikinya lebih optimal dengan tanpa membebani sang anak. Mainan bisa menjadi alat belajar bagi anak untuk mengasah kognitif, motorik halus dan

105

kasarnya, mainan juga bisa menjadi rangsangan bagi berkembangnya naluri keibuan atau kebapakan seorang anak, mainan juga bisa menjadi sarana berlatih mereka.

Bola…bola…, Puzzle… puzzle…Untuk Anak Kinestetis Bagi anak kinestetik seperti Ahmad yang memang cenderung sangat aktiv, kita akan melihat pada awal tumbuh kembangnya mereka cenderung lebih tertarik melakukan eksplorasi pada hal-hal yang bersifat bergerak atau melatih motorik kasar (seperti berjalan, berlari, melompat, mengejar, dsb) , dan relatif kurang tertarik pada hal-hal yang cenderung ‘tidak atau kurang bergerak’ seperti bermain boneka, mobil diam atau robot yang harus digerakkan, dan sejenisnya. Maka pada masa-masa awal tersebut ketika mereka memang relatif lebih susah untuk ‘didudukkan’ sementara mereka justru memiliki potensi dan perhatian pada hal-hal yang menantang secara motorik kasar, biarkanlah mereka memuaskan minat eksplorasinya dan memantapkan ketrampilan motorik kasarnya lebih dulu ketimbang temannya yang tidak bertipe sama. Karena sekaranglah memang saat yang tepat bagi mereka untuk melakukannya. Kelak, biasanya mereka harus mengejar ketrampilan motorik halus mereka dibanding dengan temannya yang bertipe sebaliknya. Pada waktu ini, mainan yang sangat cocok untuk mereka adalah bola dan sejenisnya. Berikan bola pada mereka, dan biarkan mereka

106

mengeksplorasi apa saja hal-hal menantang yang bisa mereka lakukan: menendang, melempar, mengejar, melompat, menangkap, tiarap, berguling dan berbagai ketrampilan motorik kasar lainnya bisa mereka lakukan dengan ‘enak’ ketika mereka punya bola bundar yang ‘mudah bergerak’. Pada saatnya ketika usia mereka bertambah, ketika perhatian sudah pula mengarah kepada eksplorasi hal-hal yang ‘lebih tidak bergerak’ dan lebih bisa berkonsentrasi, maka saatnya kita membantu mereka agar lebih mudah melakukannya dengan mengganti/menambah jenis mainan. Untuk membantu anak kinestetik agar bisa diajak lebih ‘khusyuk’ anggota tubuhnya, maka permainan berikutnya yang sangat cocok untuk dipilih adalah puzzle dengan berbagai ragamnya. Dengan puzzle – apakah itu merakit rancang bangun, menyusun gambar, mengolah bentuk dan lainnya- seorang anak kinestetis bisa dibuat terbiasa ‘duduk lebih manis’ karena kelebihan energi yang dimilikinya sedang tersalurkan pada olah tangannya yang terus bergerak menyusun puzzle yang sedang dimainkannya. Selain bisa ‘duduk lebih manis’, sebenarnya inilah salah satu momentum untuknya belajar, karena sesungguhnya pada saat itu dia siap untuk memberikan konsentrasi pada hal lain tanpa merasa susah untuk membuat anggota tubuhnya ‘diam’. Demikian pula dengan Ahmad, sambil tangannya bermain puzzle kami ajak dia mengulang hafalan quran atau doa-doanya. Sambil tangannya terus bergerak, dia memperhatikan VCD mengenal huruf dan angka yang sedang kami putar. Sambil

107

bermain asyik dengan fantasi robot rancangannya yang setiap saat bisa diubahnya, Ahmad kami minta menjawab soal-soal hitungan yang kami ajukan, cara mengeja kata yang kami sebutkan, dan sebagainya. Tentu saja, tidak semua pelajaran bisa dilakukan sambil bermain pada saat yang bersamaan. Menulis misalnya, memang membutuhkan konsentrasi dari tangan sang anak untuk melakukan ketrampilan motorik halus tersebut. Makanya biasanya mereka dalam hal ini sedikit agak kesulitan melakukannya. Bisa, tapi mungkin lebih lama dibanding temannya yang tidak bertipe sama.

Toilet Training Salah satu pelatihan penting yang pasti kita lakukan pada pengasuhan anak balita adalah toilet training. Bagaimana agar anak kita segera memiliki keterampilan dalam mengendalikan rangsangan berkemih maupun hajat besar mereka, hingga bagaimana agar anak kita trampil melakukan perawatan diri sendiri sehari-hari (mandi, buang air kecil dan buang air besar secara mandiri). Toilet training ini bagi ibu-ibu jaman dulu malah sudah menjadi sebuah keahlian yang mereka miliki turun temurun. Anak-anak yang mereka asuh biasanya sudah sangat terlatih mengendalikan rangsangan berkemih maupun buang air besar mereka meskipun masih bayi (kurang dari 1 tahun). Hal itu karena mereka (para ibu jaman dulu) tersebut sudah terbiasa langsung memulai toilet training anak-anak mereka sejak lahir (secepat mungkin). Mungkin inilah, diantara hal yang saat ini tidak

108

banyak dilakukan oleh para ibu di jaman ini karena kita sekarang mengenal pampers/diapers. Dengan pampers, kita tidak harus terbangun setiap saat untuk mengganti popok/celana anak kita yang basah. Hanya salah satu kerugian yang sekarang bisa kita lihat, diantaranya adalah para ibu/orang tua saat ini lebih ‘malas’ untuk melakukan toilet training sejak dini. Alhasil, anak-anak mereka pun ‘agak terlambat’ memiliki ketrampilan mengendalikan rangsang berkemih maupun buang air besar mereka. Bagaimana kita mengawali melakukan toilet training? Yang pertama tentu adalah kita sebagai orang tua harus memiliki komitmen yang kuat, pada perjalanan berikutnya komitmen tersebut akan teruji pada kesabaran, kedisiplinan dan kerelaan untuk berkorban yang mutlak kita butuhkan untuk sukses melakukan toilet training. Untuk memudahkan dan meringankan, alangkah baiknya kita melakukannya dalam bentuk kerja tim. Mungkin dengan suami kita, pembantu kita, atau orang lain yang biasa ada bersama anak-anak kita di rumah. Hanya yang perlu diingat, kitalah leader tim tersebut. Sebagai leader, tentu saja mestinya kitalah orang yang paling bagus memberikan contoh komitmen, kesabaran, kedisiplinan maupun pengorbanan dalam melakukan toilet training. Karena seringkali, justru para pembantu lebih telaten dari ibunya sendiri. Alhasil ketika suatu saat misalnya sang pembantu tidak ada, jadilah pelatihan tersebut harus ‘bubar’ karena sang ibu yang lebih memilih ‘gampangnya’ dari ‘repotnya’ dengan memakaikan pampers pada anaknya.

109

Inti dari toilet training ini pada anak sehat (yang tidak memiliki gangguan pada sistem syaraf) adalah melakukan pembiasaan untuk dapat menahan kencing dan buang air besar, dan melakukannya di tempat yang benar. Sehingga karena pembiasaan, bisa kita mulai sejak dini. Mulanya kita biasakan anak kita setiap waktu tertentu untuk buang air kecil/buang air besar, bisa dengan mengangkat kaki mereka, menekuk pantat mereka (ketika masih bayi), membasahi/menyiram kaki dan kelamin mereka, sambil kita meminta mereka untuk kencing disertai menirukan suara orang yang sedang BAK/BAB misalnya. Waktu-waktu tepat untuk melakukannya diantaranya adalah saat bangun tidur, akan tidur, beberapa waktu lain secara berkala saat kita perkirakan asupan makan/minum yang masuk sudah cukup banyak untuk butuh dikeluarkan. Yang penting setelah membuat jadwal tetap tersebut, kita harus mengulang apa yang kita lakukan tersebut terus menerus dengan cara yang sama, hingga mereka ‘terbiasa’ dan mengenali bahwa itulah saatnya dan tempatnya mereka boleh melakukan BAK/BAB. Pada waktu anak sudah mulai bisa duduk, merangkak atau berdiri tetapi belum bisa bicara, maka kita harus mengenali tanda-tanda seorang anak sudah merasakan rangsangan ingin ke ‘belakang’. Biasanya beberapa ekspresi yang mudah kita kenali adalah tiba-tiba diam, tidak mau bergerak padahal sebelumnya aktif, wajah seperti konsentrasi pada sesuatu, bahkan mungkin terlihat agak tegang memerah, memegangi kelaminnya dan beberapa

110

tanda lain yang mana orang tua masing-masinglah yang lebih tahu kebiasaaan masing-masing anak. Adakalanya beberapa tanda tersebut juga luput dari perhatian kita karena kesibukan kita, oleh karenanya untuk memastikan ‘kotoran/air seni’ anak tidak tercecer di mana-mana, hendaknya anak kita pakaikan celana dalam yang memungkinkan menahan jatuhnya kotoran untuk sementara waktu sebelum kita ketahui. Bila perlu bisa kita tambah satu lembar popok kain yang lembut sebagai penyerap air seni bila mereka ngompol, sehingga tidak tercecer basah dimana-mana yang malah bisa membahayakan anak kita karena terpeleset, atau malah dipakai mainan sehingga najis tersebut malah menyebar ke tempat yang lebih luas. Itu tips ketika anak kita dalam keadaan terjaga. Dalam keadaan tidur panjang, di malam hari misalnya, masa aman adalah ketika anak tertidur pulas. Namun ketika nampak sang anak bergerak, ganti posisi dan semacamnya, ketika kesadaran meningkat dari sebelumnya, maka saat itulah air seni yang sudah tertampung penuh di kandung kemih mereka biasanya -tanpa mereka sadari- mereka keluarkan. Sehingga bila tidak ingin kecolongan, segera angkat anak kita dan bawa ke kamar mandi untuk mengeluarkan air seninya di sana. Itu berlaku bagi anak-anak yang sudah cukup besar namun belum cukup terlatih menahan kencing dalam jangka waktu yang panjang (sekitar 2 tahunan). Bagi anak-anak usia sekitar 3 tahun ke atas yang sudah cukup terlatih di siang hari, lebih mudah lagi. Kita tinggal membiasakan mereka buang air

111

kecil sebelum tidur, mungkin diperlukan satu kali membangunkan tidur mereka untuk diajak ke belakang, dan membiasakan segera ke kamar mandi begitu bangun tidur. By the way, pampers tetap bisa menjadi alat bantu bagi kita ketika keadaan membutuhkan. Bukan berarti tidak boleh sama sekali menggunakannya. Akan tetapi, filosofi yang menjadikan pampers sebagai ‘alasan’ bagi kita para orang tua malas melakukan toilet training bagi anak-anak kita harus segera dihapuskan dari benak kita.

Antara Dot Dan Pampers Hal lain yang harus kita bahas ketika kita ingin ‘menyapih’ anak kita dari pampers adalah dot (botol minum susu). Selama anak kita masih minum menggunakan dot, selama itu pula kita akan kesulitan membiasakan anak untuk tidak ngompol meski tanpa pampers. Memang bisa, tapi itu berarti kita harus cukup sering membawanya ke kamar mandi untuk ‘ditatur’ sebelum kecolongan. Adakalanya frekuensi kita harus membawa mereka ke kamar mandi sangatlah sering, sehingga tidak sekedar terasa merepotkan, akan tetapi hal itu kemudian seringkali juga membuat beberapa tugas/aktivitas kita yang lain terganggu. Kenapa ketika anak minum susu/air dari dot membuat mereka sering berkemih? Yang utama adalah karena biasanya jumlah air/susu yang mereka minum dengan dot jumlahnya lebih banyak ketimbang ketika mereka minum dari gelas. Mengontrol jumlah air/susu yang diminum dengan

112

menggunakan dot biasanya lebih susah dibanding ketika mereka minum dengan gelas (dan berbagai variasinya). Ketika menggunakan dot, anak bahkan masih bisa terus minum ketika mereka dalam keadaan tidur atau setengah tidur, meski pada waktu itu dia sudah tidak haus/membutuhkan. Malah kadang dot bisa dibawa kemana saja anak bergerak sehingga –tanpa disadari anak- mereka sebentarsebentar minum di tengah-tengah aktivitas mereka, meski sebenarnya tidak membutuhkan. Sehingga ketika seorang anak sudah mulai disapih dari ASI (ketika sudah berusia 2 tahunan), sebaiknya juga mulai diupayakan untuk disapih dari dot, dan mulai dibiasakan untuk selalu minum dari gelas. Hal ini akan sangat baik bagi anak. Tidak hanya dia lebih mudah mengontrol rangsang berkemihnya, tetapi lebih dari itu anak akan tampil lebih mandiri dan lebih ‘dewasa’. Mereka harus minum dalam keadaaan tidak berbaring. Sehingga kebiasaaan ‘asal ngglundung’ (baca: tiduran sembarangan) ketika minum tidak akan lagi mereka lakukan. Tentu saja, proses penyapihan yang kita lakukan bertahap sesuai dengan kondisi anak. Hanya saja, sebagai patokan, usia dua tahun adalah waktu yang tepat bagi orang tua untuk memasang target segera membiasakan anak untuk bisa minum dari gelas, dan untuk terlatih mengendalikan rangsang BAK dan BABnya sehingga tidak tergantung pada pampers. Maka menyapih pampers harus dilakukan seiring dengan menyapih dot.

113

Jangan Tertawakan Ini adalah salah satu pelajaran yang kami dapatkan dari Ahmad tentang perasaan dan pikiran seorang anak kecil. Ketika Ahmad berusia sekitar 2,5 tahunan, Alhamdulillah Ahmad sudah terbiasa ikut sholat berjamaah di rumah bersama kami atau dia sholat sendiri. Kami dorong dan biasakan agar dia membaca Al Fatihah dan surat pendeknya dengan keras. Kebetulan waktu itu paling tidak dia sudah hafal sekitar 3-4 surat pendek. Pada suatu maghrib ketika kami sedang berada di rumah orang tua saya, Ahmad saya suruh ikut shalat berjamaah bersama orang tua, adik, dan kakak saya. Maka seperti biasanya dia ambil posisi ikut jadi imam di depan bersama ayah saya yang waktu itu jadi imam. Setelah takbir yang keras, mulailah dia membaca “bismillahiromaanirohim....ahambulillahirobil alamiin. Arohmaanirohiim” dan seterusnya dengan cadel, bacaan yang tidak jelas tapi sangat keras, bahkan lebih keras dari ayah saya yang waktu itu memang tidak bisa lagi bersuara keras karena sakit. Di tengah-tengah Ahmad membaca, tiba-tiba satu demi satu jamaah shalat itu tertawa terbahak-bahak dengan keras juga. Ternyata mereka tidak bisa menahan tawa karena merasa lucu mendengar bacaan Ahmad. Seketika Ahmad diam dan menangis ketika mengetahui bahwa yang mereka tertawakan ternyata adalah dirinya karena bacaannya. Sejak saat itu Ahmad tidak mau lagi sholat dengan bacaan yang dikeraskan. Bahkan setiap kami minta Ahmad melakukan apa saja, ketika dia merasa apa yang

114

dilakukannya tersebut akan diperhatikan orang, maka dia tidak pernah mau melakukan. Apakah itu mengaji, menyanyi, berhitung, atau sekedar menjawab pertanyaan. Kalau nuansanya adalah agar orang lain tahu kemampuannya, maka dia justru akan berbuat sebaliknya. Hingga suatu saat –cukup lama dari kejadian tersebut- kami mengetahui bahwa ternyata memang hal itu karena dia masih trauma dengan pengalaman ditertawakan tersebut. Ketika suatu waktu dia ikut abinya mengisi pengajian, Ahmad seperti ingin juga untuk bicara di depan microphone. Tapi ketika diberi kesempatan selalu tidak dia lakukan, hingga kemudian ketika pulang kami pun bertanya kenapa Ahmad tadi disuruh salam atau mengaji di microphone kok gak mau? Di luar dugaan, ternyata dia menjawab “Iya, trus biar semua teman-teman abi tertawa ta?” , sambil agak marah dia keluarkan pertanyaan retoris tersebut. Rasa senang dan terhibur kita menertawakan tingkah laku anak-anak kita bisa jadi tergores dalam jiwa anak-anak kita sebagai pengalaman memalukan yang kontra produktif untuk perkembangan mereka selanjutnya. Jadi ariflah ketika mau mentertawakan mereka.

Meniti Jalan Menjadi Hafidz Dan Da’i Menyiapkan Ahmad untuk kelak menjadi seorang penyeru Islam (da’i) dan penjaga Al Quran dengan (salah satunya) menghafalnya, adalah citacita kami yang sedang kami rintis sejak awal Ahmad kami asuh. Melazimkannya dengan Al Quran dan

115

kehidupan dakwah adalah salah satunya yang sudah bisa kami lakukan sejak pertama kali kami membawa Ahmad. Lantunan ayat suci Al Qur’an sering menjadi suara pengantar perjalanan, tidur maupun bermainnya. Demikian pula terlibat dalam agenda-agenda dakwah yang kami jalani juga sudah dirasakan oleh Ahmad sejak awal dia bersama kami. Mengikuti kami dari satu forum kajian ke forum kajian yang lain, dari satu seminar ke seminar yang lain, dari satu masjid ke masjid yang lain, siaran radio, browsing bahan makalah ke warnet, menyaksikan kami menjadi murid atau guru dalam suatu majelis ilmu adalah hal yang biasa dialami Ahmad. Bahkan ketika dakwah mengharuskan dilakukannya muhasabah (koreksi) terhadap kebijakan penguasa yang salah, dengan cara aksi damai (mashirah) pun Ahmad sering ikut. Tak jarang dia ikut jalan bersama saya, atau kadang ikut abinya di mobil orasi. Harapan kami melibatkan dia sejak awal tentu adalah agar Ahmad terbiasa sejak awal dengan kehidupan dakwah yang kelak akan dia jalani juga sebagai seorang da’i (pejuang dan penyeru Islam). .

Sayyid Hussein Tabataba’i; Sang Inspirator Terkait dengan upaya kami untuk mempersiapkannya menjadi hafidz, ada sebuah kisah ’anak ajaib’ yang menginspirasi kami. Nama anak ajaib tersebut adalah Sayyid Hussein Tabataba’i. Seorang anak Iran yang berhasil meraih gelar Doktor Honoris Causa pada usia 7 tahun dari

116

Hijaz College Islamic University Inggris karena menghafal Al Qur’an dan memahaminya. Sekarang anak tersebut sudah berusia 17 tahun. Namun metode yang dipakai oleh orang tua Sayyid Hussein ketika mengajarkan anak mereka menghafal dan memahami Al Qur’an masih dipraktekkan di beberapa sekolah hafalan Qur’an yang mereka dirikan (Jamiatul Qur’an) untuk mencetak sayyid Hussein, sayyid hussein yang lain. Diantara alasan mengapa kisah tersebut sangat menginspirasi saya adalah: yang pertama, Sayyid Hussein tidak sekedar menghafalnya namun juga memahami setiap apa yang dihafalnya. Bahkan dia bisa menjawab beragam pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat kepadanya dengan jawaban yang sangat memukau dari Al Qur’an yang dihafal dan dipahaminya tersebut. Yang kedua, bahasa Al Qur’an (bahasa Arab) bukanlah bahasa ibunya karena dia berbahasa Iran, itulah mengapa sang ayah pada waktu awal mengajar hafalan Sayyid Hussein menggunakan metode bahasa isyarat yang beliau temukan sendiri. Sementara yang ketiga, Sayyid Hussein adalah sebuah contoh pribadi anak di abad ini, sehingga kondisi yang melingkupinya tentu tidak terlalu jauh berbeda dengan yang kita hadapi saat ini. Karena kami mencita-citakan Ahmad nantinya tidak sekedar hafal, namun juga memahami berikutnya mengamalkan apa yang dipahaminya dari Al Qur’an, sementara bahasa Arab juga bukanlah bahasa ibu bagi kami dan Ahmad, maka metode isyarat yang diperkenalkan ayah Hussein taba Taba’i

117

tersebut sangatlah menginspirasi saya. Saya sendiri memiliki seorang keponakan perempuan yang saat ini sudah memasuki hafalan juz ke-3, ketika usianya baru sembilan tahun. Apa yang dilakukan ibunya kepada keponakan saya ini juga sedikit banyak menginspirasi saya dengan cara yang lain. Hanya, dibandingkan dengan Ahmad, kelihatannya, mengajar keponakan saya ini jauh lebih terasa mudah karena tipenya adalah ’anak manis’. Sehingga sekalipun inspirasi bisa dari mana saja, tetapi pada akhirnya kita sendirilah yang paling tahu metode apa yang terbaik untuk mengajar anak kita.

Umi Sang Arsitek, Abi Asisten Dan Guru Yang Luar Biasa Dalam melakukan semua proses pendidikan dan pembelajaran apapun kepada Ahmad, asisten terpenting saya adalah abi Ahmad. Karena tidak kita pungkiri, guru terpenting bagi anak di sekolah pertamanya (rumah) adalah ibu dan ayahnya. Bukan ibu saja. Dan bukan pula ayah saja. Keduanya adalah tim yang harus kompak. Masing-masing juga harus tahu peran apa yang bisa dan harus dimainkan. Terkait dengan mengajarkan Ahmad menghafal Al Qur’an, saya sangat terbantu dengan Abi Ahmad. Bukan sekedar karena suara dan bacaaannya yang memang bagus, atau karena memiliki hafalan Qur’an yang cukup untuk saat ini mengajari Ahmad, tapi lebih kepada kemauan dan komitmennya yang bagus pula untuk menjadikan

118

Ahmad seorang hafidz. Beliau, sesuai dengan skenario atau jadwal hafalan yang saya buat cukup disiplin mengajak Ahmad menghafal ayat-ayat Al Quran. Saya tinggal mengkomunikasikan surat apa yang sekarang sedang saya programkan untuk Ahmad, lagu/irama bacaan seperti apa yang digunakan agar sama dengan yang saya gunakan (biasanya qiroati), dan momen-momen tepat kapan saja yang bisa dipakai untuk melakukan hafalan. Alhamdulillah, abi melakukannya dengan sangat luar biasa. Bahkan saat ini, beliau sudah merancang satu sistem menghafal indeks nama dan surat dalam Al Quran menggunakan metode cantolan untuk kelak diajarkan kepada Ahmad ketika sudah agak besar.

Metode Isyarat, Ayat Dan Hadits Pilihan Sebelum Ahmad mulai menghafal suratsurat tertentu dari Al Quran, kami mengawali program hafalan itu dengan ayat dan hadits pilihan yang kami ajarkan ke Ahmad menggunakan metode isyarat seperti yang digunakan oleh ayah Sayyid Hussein Tabataba’iy ketika mula-mula mengajarkan hafalan Qur’an ke anaknya. Bagaimana bahasa isyarat yang saya pakai, saya karang sendiri. Lalu saya sampaikan ke abi Ahmad biar sama ketika mengajar Ahmad. Biasanya ayat atau hadits tersebut saya pilih sesuai dengan kondisi Ahmad yang berkesesuaian. Misalnya ketika masih sering kesulitan mengendalikan amarahnya, saya pilihkan ayat-ayat dan hadits yang berbicara tentang sabar,

119

larangan marah, perintah untuk bicara yang baikbaik, larangan membentak orangtua, dan seterusnya. Misalnya: ”fashabrun jamiil...(maka bersabarlah dengan kesabaran yang indah) ”sambil sewaktu menyebut kata shabrun (sabar) saya menggerakkan tangan seperti mengelus dada, ketika menyebut jamiil (bagus/indah) saya mengacungkan dua ibu jari saya ke depan. Hadits lain yang saya gunakan tentang konteks menahan marah adalah ”laa taghdlab....(janganlah marah)” sambil sewaktu menyebut kata laa (jangan) saya menggerakgerakkankan tangan saya yang menunjukkan melarang, dan ketika menyebut kata taghdlab (marah) saya menggerakkan telunjuk saya menuding-nuding sambil memasang wajah seperti orang marah. Atau ketika menyebut hadits ”fal yaqul khoir aw liyasmut...(hendaklah bicara yang bagus, atau diam) saya mengatupkan jari-jari tangan kanan saya menjadi seperti mulut lalu menggerakkannya buka tutup seperti mulut berbicara untuk menggambarkan makna falyaqul (hendaklah bicara) , acungkan dua jempol untuk mewakili khoir (baik), dan menaruh jari telunjuk di bibir untuk menyuruh diam (liyasmut). Demikian seterusnya, saya tentukan ayat dan hadits pilihannya lalu saya juga tentukan bagaimana bahasa isyarat yang akan mempermudah Ahmad mengerti apa yang dia hafalkan.Lalu kami mengamalkannya/mengulang menyampaikan ke Ahmad setiap ada kejadian yang sesuai. Misalnya ketika dia marah lalu bicara keras kepada kami saya ingatkan dengan membaca ”fa laa taqul lahumaa

120

uffin...(maka jangan berkata kepada kedua orang tua dengan perkataan ’ah’)” sambil menggerakkan tangan seperti melarang pada waktu mengucapkan ”laa” (jangan), membentuk mulut dari ibu jari dan empat jari lainnya sambil digerakkan buka tutup ketika mengatakan ”taqul” (kamu bicara), menunjuk abi-umi ketika mengatakan ”lahumaa” (kepada kedua orang tua), dan mengangkat telunjuk ke atas seperti orang marah ketika mengatakan ”uffin (uh/ah/perkataan kasar lainnya)....

Menghafal Dan Belajar Di Jalan Justru Memudahkan Satu hal yang kemudian kami sadari dan syukuri karena Ahmad sering ’berperjalanan’ bersama kami adalah ternyata menghafal di jalan justru memudahkan bagi anak dengan tipe Ahmad. Kenapa? Karena ketika kami di atas kendaraan, dengan Ahmad duduk ’terjepit’ diantara kami berdua, maka yang jelas Ahmad akan ’dipaksa secara suka rela’ memiliki kesempatan untuk mendengar semua yang kami katakan. Sekalipun itu terjadi dalam jangka waktu yang panjang, sekitar setengah hingga satu jam. Itu adalah durasi yang cukup lama bahkan hampir tidak pernah terjadi bagi anak seperti Ahmad untuk bisa berkonsentrasi belajar selama itu tanpa ada episode dia harus lari atau bermain ke sana kemari. Mulanya kami tidak meyadari bahwa belajar ketika di perjalanan memang menjadi hal

121

yang ternyata sangat memudahkan kami mengajar Ahmad. Karena saya merasa perjalanan cukup panjang, maka dalam perjalanan tersebut saya isi dengan menyampaikan berbagai hal secara verbal; dari bercerita, menyanyi, menyebutkan berbagai benda, menghafal doa, hingga mengaji di atas kendaraan (yang sudah menjadi kebiasaan kami sebelum ada Ahmad.) Terkait dengan hafalan Qur’an, pada waktu Ahmad belum memiliki satu hafalan sedikitpun, saya dan abinyalah yang bergantian mengaji di atas kendaraan. Hingga ketika kemudian kami dapati Ahmad mulai sedikit hafal suatu surat, kami minta dia menghafalnya dengan saya mengiringinya pelan. Begitu seterusnya hingga ketika kemudian dia hafal betul, kami biarkan Ahmad mengulang hafalannya sendiri, sementara kami mendengarkan saja sesekali mengoreksi apa yang kurang tepat. Setelah semua hafalannya habis, baru giliran kami untuk memperkenalkan satu hingga tiga surat baru yang kami targetkan untuk dihafal berikutnya. Sebagai variasi, ketika masih ada kesempatan, saya gunakan untuk memberi contoh kepada Ahmad satu paket taushiyah singkat semacam kultum ala da’iy cilik dengan menggunakan 1-2 dalil qur’an atau hadits yang sudah saya ajarkan dengan metode isyarat kepada Ahmad. Siapa yang berceramah? Ya tentu saya sendiri, karena baru mengawali memperkenalkannya kepada Ahmad. Biasanya, pada kesempatan berikutnya dia mulai mau membuka dan menutup taushiyah tersebut dengan mengucap salam, tapi isi di tengahnya masih saya yang

122

menyampaikan. Lambat laun selain salam, Ahmad mulai mau meneruskan ke tahmid dan shalawatnya. Berikutnya bahkan hingga menyampaikan sapaan ke audiens seperti: ”Apa kabar teman-teman? Di sini ada yang suka bohong ga? Teman-teman mau ga dengar Ahmad cerita tentang akibat suka bohong?....” Sampai di sini biasanya kemudian dia kembalikan lagi ke saya agar bercerita. Mungkin karena mendengar cerita itu dari saya lebih menyenangkan bagi Ahmad, meskipun ketika saya bercerita biasanya dia ikut-ikutan menimpali atau menyambung cerita saya. Hingga kalau sudah sampai pada kalimat pamitan kepada penonton seperti: ”sudah dulu ya teman-teman......” hingga salam penutup biasanya dia ambil alih lagi. Demikianlah, yang seperti ini berjalan setiap hari, baik dengan saya maupun dengan abinya. Ketika hafalan Ahmad sudah agak banyak dan cukup melelahkan kalau Ahmad sendiri yang terus menerus menghafal, maka kami gunakan metode seperti permainan. Siapa yang selesai menghafal satu surat, dia boleh menunjuk siapa dan apa surat yang dibaca pada giliran berikutnya. Biasanya Ahmad memilih duluan dan nanti akan menunjuk siapa yang dikehendakinya untuk membaca. Nah di sinilah, ’bakat’ usil atau ngerjain orangnya muncul lagi. Biasanya dia akan memilih abi untuk giliran menghafal berikutnya dengan memilihkan surat-surat yang terpanjang, dia mengira dengan begitu abinya akan kapok (padahal tentu saja kami tetap saja senang karena menyaksikan Ahmad belajar menghafalnya dengan enjoy).

123

Alhasil, belajar di jalan (ketika keadaan membutuhkan) bisa jadi justru sangat menyenangkan dan ternyata sangat memudahkan.

Al Kautsar; Surat Istimewa Di Hati Ahmad Surat Al Kautsar adalah salah satu surat pertama yang dihafal Ahmad. Bukan hanya karena pendek, namun dia merasa kenal dan dekat dengan nama surat tersebut yang sama dengan nama ayah yang sudah dihafalnya. Pertama kali saya sampaikan padanya nama surat yang akan saya ajarkan ini adalah surat Al Kautsar, Ahmad langsung nyeletuk “seperti ayah kautsar ya Mi”, dengan ekspresi yang menunjukkan kegembiraan dan antusiasmenya pada surat ini. Dia menyebut surat ini surat ayah Kautsar, meski sudah kami koreksi bukan surat ayah Kautsar tapi surat Al Kautsar, dia tetap saja kukuh menyebutnya surat ayah Kautsar. Maka setiap pagi ketika kami baru berangkat, di atas kendaraan, ketika dia belum menghafalnya dia selalu meminta “baca surat ayah Kautsar Mi” sebelum meminta kami membaca yang lain. Hingga ketika kemudian akhirnya dia hafal (sebelum playgroup) dia pun sangat senang mengulang-ulang surat ini. Bahkan ketika berada di pusara ayahnya, ternyata dia berdoa dengan mengulang-ulang membaca surat ini, Sendiri. (baca Ahmad Hukma Shabiyya....di bagian lain buku ini)

124

Antara Laptop, HP Dan Menghafal Qur’an Menghafal qur’an ini juga saya siasati dengan menggunakan sarana apapun dan metode apapun yang bisa saya lakukan untuk membantu Ahmad menghafal dengan mudah. Diantaranya adalah dengan memperdengarkan bacaan al qur’an. Ini sudah kami lakukan sejak dia bayi. Tidurnya pasti diiringi dengan lantunan ayat suci Al Qur’an. Sewaktu bermain, juga kami iringi dengan suara CD/kaset bacaan Al qur’an yang kami seling dengan nyanyian anak muslim. Di jalan, di atas kendaraan, secara bergiliran saya dan abinya memperdengarkan hafalan Al Quran di jalan, seringkali hingga dia tertidur. Itu ketika programnya masih sebatas membiasakan Ahmad dengan bacaan Al Qur’an. Ketika program hafalan ini sudah mulai bertarget memastikan surat-surat tertentu untuk dihafal Ahmad, maka sekedar memutar CD tanpa diprogram surat apa yang dibaca tentu kurang membantu, karena tidak terjadi pengulangan yang intensif. Sehingga kemudian saya buatkan program Winamp di laptop saya dengan playlist surat-surat yang sudah dihafalnya –untuk penguatan memoridengan saya tambah satu hingga 3 surat baru –yang saya targetkan untuk dihafalkan Ahmad berikutnya-. Play list itulah yang kemudian selalu saya putar. Ketika menjelang tidur ataupun ketika menemani Ahmad bermain. Surat-surat di play list itu juga yang kami bertiga hafalkan bergantian ketika di

125

perjalanan. Ketika abinya atau saya menjadi imam sholat di rumah, pilihan surat yang dibaca keras juga disesuaikan dengan surat yang sedang dihafalkan Ahmad. Selain itu, setiap kali Ahmad meminta main games di laptop/komputer selalu saya persyaratkan harus sambil mendengarkan ngaji (play list winamp) yang saya sudah siapkan tadi. Saya ajari bagaimana menyalakan winamp dan memilih play list yang saya kehendaki. Dan ketika dia bermain apa saja di laptop, saya minta dilakukan sambil mulutnya menghafal surat yang diputar winamp tadi. Maka jadilah Ahmad tanganya asyik bermain roketroketan, kartu, bola ataupun permainan yang lainnya, sementara mulutnya bersuara mengahafalkan surat seperti yang dia dengar. Ya memang, sesekali hafalannnya terputus karena dia terbawa oleh keasyikan permainannya, namun cukup dengan mengingatkannnya dari jauh...”Ahmad, mana umi kok ga dengar ngajinya?” maka Ahmad pun menghafalkan lagi. Di lain kesempatan, suara Ahmad menghafal qur’an kami rekam. Sebagian kami rekam di HP, sebagian kami rekam di MP3. Kami rekam di HP untuk kemudian kami jadikan ring tone. Jadi setiap kali ada telepon masuk, maka suara Ahmad mengajilah yang keluar. Dan itu seringkali mengundang perhatian orang yang membuat Ahmad senang. Di MP3 saya masukkan ke komputer untuk kemudian saya buatkan play list tersendiri untuk diputar Ahmad kalau dia ingin mendengar hafalan (suara) nya sendiri.

126

Pendek kata, tanpa dia sadari, pengulangan secara alami yang terus menerus tersebut memang membantu Ahmad untuk mengahafal Al Quran lebih mudah dan lebih menyenangkan. Alhamdulillah, sekarang hafalan Ahmad sudah kurang lebih 25 surat pendek di juz 30. Semoga kami bisa merealisir target Ahmad bisa hafal juz 30 sebelum masuk SD. Untuk itu kami harus memastikan Ahmad sudah bisa membaca Al Qur’an dan mengetahui dasar-dasar tajwidnya dengan lancar. Dan secara mental, dia sudah siap untuk kami bawa ke Ustadz dan forum hafalan Qur’an yang membutuhkan kesiapannya untuk bisa duduk lebih ’manis’. Semoga Allah memberi kemudahan, kemampuan dan keberhasilan kepada kami merealisir niat kami mencetak Ahmad menjadi seorang Haafidz al Qur’an. Amiin.

Play Group; Berlatih Bermain Dan Berbagi Masa sekolah playgroup bisa dibilang Ahmad hanya pindah tempat bermain dengan temanteman bermain yang jarang dia jumpai kalau di rumah. Sementara dari sisi transfer pelajaran, mungkin sangat minim bisa dilakukan mengingat tipe kinestetis Ahmad. Sementara kesempatan yang dimiliki para guru di sekolah tentu saja tidak seperti orang tua Ahmad sendiri. Karena mereka juga harus berbagi perhatian untuk murid-murid yang lain. Jadi ketika teman-temannya mendengarkan bu guru bercerita, diminta mewarnai atau mengerjakan aktivitas motorik halus lainnya, Ahmad pasti sudah

127

menghilang keluar kelas untuk bermain sendiri. Dia sangat sulit dibikin duduk manis kecuali ketika mengantuk karena baru saja minum obat batuk/pilek misalnya. Kami sendiri tidak terlalu terusik dengan hal tersebut. Karena memang target kami memasukkan ke play group lebih ke arah pematangan emosi Ahmad, pengalaman dan pembiasaan Ahmad untuk bisa bermain dan berbagi bersama teman-temannya, yang saat itu masih sulit dilakukan Ahmad. Sementara aspek kognitif, pelajaran maupun pembiasaan-pembiasaan yang lain, tentu lebih banyak kesempatan yang memungkinkan kami lakukan sendiri daripada para guru Ahmad yang hanya bertemu dengannya 3x 2 jam tiap minggunya.

Wali Murid Yang ‘Terpesona’, Wali Murid Yang Resah Sebagai anak dengan tipe yang ‘mandiri’, sejak awal sekolah play group kami tidak perlu menunggunya sekolah secara penuh. Kami hanya perlu memastikan bahwa semua kebutuhannya selama di sekolah sudah kami siapkan. Tasnya selain berisi buku, juga kami isi dengan makanan, minuman, baju ganti hingga persiapan pampers. Sekalipun waktu itu Ahmad sudah tidak lagi memakai pampers. Kami tunjukkan dimana kami meletakkan tasnya, kami beritahu kalau dia membutuhkan bantuan tinggal cari bu guru, dan sebagainya. Dari sisi kemandiriannya ini banyak wali

128

murid yang biasa menunggu anak-anak mereka sekolah ‘cukup terpesona’ melihat keberanian dan kemandirian Ahmad. Namun wali murid yang merasa ‘resah’ melihat Ahmad yang seringkali menangiskan anak-anak mereka mungkin juga tidak sedikit. Pada titik inilah kita sebagai orang tua dan guru harus bisa menempatkan diri dan juga bersikap arif. Satu sisi sebagai orang tua atau guru kita tidak boleh melakukan stigmatisasi kepada seorang anak ‘jagoan’ dengan stigma ‘nakal’ , ‘jahat’ dan semisalnya, karena sebenarnya memang mereka tidaklah demikian. Namun kita juga harus bisa berempati kepada anak-anak ‘korban’ anak ‘jagoan’ dan orang tuanya yang khawatir terhadap anak-anak mereka. Kami sendiri, tentu saja tidak pernah membiarkan Ahmad melakukan sesuatu yang tidak ‘tepat’ kepada teman-temannya. Berbagai cara yang bisa kami tempuh untuk ‘meluruskan’ Ahmad pun kami lakukan. Namun pada saat usia anak belum mencapai usia berpikir kritis (sekitar 7-8 tahunan) yang perkembangannya baru dimulai sekitar usia 3 tahun, maka memang sifat-sifat dasar yang dimiliki merekalah yang lebih sering muncul ketimbang pemahaman mereka. Tentu saja bagi seorang anak yang cenderung pemalu dan penakut, dia akan sangat jarang menangiskan temannya, namun mungkin seringkali justru sering menangis. Bisa karena temannya, bisa pula tanpa harus ada alasan yang ‘pantas’ membuatnya menangis. Ini pun sebuah karakter bawaan yang adakalanya membuat orang tua juga ‘gemas’ namun harus tetap sabar kepada

129

sang anak, kala membantunya untuk bisa mengendalikan rasa takut dan pemalunya. Demikian pula dengan anak-anak yang bertipe seperti Ahmad. Mereka memiliki potensi untuk menjadi seseorang yang dominan dengan keberanian dan kemandiriannya. Namun ketika proses menuju terbentuknya mafhum yang akan mengendalikan potensi tersebut belum sepenuhnya sempurna, sedikit banyak pasti mereka memang akan menjadi anak-anak yang tampil dominan dan ‘jagoan’ di tengah-tengah temannya yang bertipe lain. Namun kalau anak ‘jagoan’ bertemu anak ‘jagoan, maka ada dua kemungkinan. Mereka bisa terlihat sangat cocok ketika bermain, namun ketika ada hal yang memicu ‘pertengkaran’ maka ‘pertengkaran’ yang terjadi pun bisa lebih hebat, karena tidak ada yang merasa ‘pantas’ untuk mengalah/dikalahkan. Sebuah panduan yang pernah saya dengar dari seorang pakar pendidikan anak tentang ‘perkelahian’ antar anak (sebaya) adalah sepanjang anak-anak tersebut berkelahi dalam keadaaan tangan kosong (tidak membawa sesuatu yang berbahaya), bukan keroyokan, sedahsyat apapun kelihatannya perkelahian tersebut, sekeras apapun tangisan anak yang terjadi di situ, tidak akan berbahaya bagi mereka. Jadi ketika kita sudah memastikan bahwa anak-anak kita bermain dalam keadaan ‘aman’, sedikit terjatuh, tercakar, terdorong, hingga menangis karena pukulan yang dirasakan oleh anak kita, bisa menjadi pelajaran berharga bagi mereka untuk tumbuh menjadi individu yang peka,

130

‘kuat’ dan siap mengarungi kehidupan yang memang kaya warna dan rasa ini. Ada terlalu banyak hal yang bisa membuat dua anak berkelahi. Semuanya wajar, sebagai proses pembelajaran dalam mengurangi rasa keakuan (ego) nya untuk bisa memahami dan menghormati hak teman. Justru ketika seorang anak tak pernah bertengkar, selalu mengalah dan menghindari perselisihan, maka perkembangan kepribadian mereka menjadi pasif dan kurang memiliki inisiatif. Orang tua tidak perlu cemas dengan perselisihan antar anak. Sebaliknya yang jangan sampai terjadi adalah orang tua kemudian terpancing masuk dan intervensi ke dalam ‘pertengkaran’ semu anak-anak mereka. Misalnya orang tua jadi musuhan dengan orang tua yang lain gara-gara anak mereka. Karena sebenarnya anak-anak itu bisa segera dan secepat mungkin lupa dengan perselisihan mereka. Jarak berpikir mereka demikian pendeknya, sehingga apa yang terjadi bisa terlupakan dengan demikian cepatnya. Adu pukul yang terjadi pagi hari, bisa segera disambung main bersama di siang harinya. Saling tendang di sore hari, pagi harinya bisa bercanda dan berangkat sekolah bersama-sama. Seperti itulah fitrah mereka. Fitrah ’bermusuhan’ dan berdamai’ bisa begitu cepat terjadi, karena merupakan bagian dari fase normal perkembangan anak. Jika ada pihak ketiga yang mengganggu, menghambat dan terlalu turut campur di dalamnya, justru akan merusak fitrah ini sehingga tidak berlaku lagi. Nasehat yang

131

bersifat provokatif dan justru mengajarkan anak agar memendam permusuhan seperti: ”khan sudah Mama bilang, jangan main sama si Momo, memang dia itu anak nakal. Kamu pasti nanti dipukulnya. Biar saja, biar nanti dia gak punya teman”,atau ”Dibilangin Bunda berapa kali, jangan main sama si Mimi! Anaknya itu emang nangisan, manja. Kalau kamu mainan sama dia, kesenggol dikit pasti nangis, nanti kamu dimarahin mamanya lho!”, ketika mendapati anak atau murid kita mengadukan seorang temannya yang dianggap nakal atau cengeng, adalah salah satu hal yang bisa merusak fitrah anak sehingga mereka justru terbiasa ’memelihara’ permusuhan ketimbang ’memupuk’ perdamaian dan kemaafan. Saya ingat sebuah kisah yang disampaikan kakak saya tentang dua tetangganya di suatu daerah yang saling berseteru hingga ke pengadilan garagara ‘perkelahian’ yang terjadi antar anak mereka. Orang tua yang merasa anaknya jadi korban kenakalan temannya melaporkan anak ‘nakal’ tersebut ke pihak berwajib. Begitu seterusnya hingga kedua orang tua tersebut pun berhadapan sebagai ‘musuh’ untuk membela anak masingmasing. Apa yang terjadi? Ketika kedua orang tua tersebut harus berhadapan di kantor polisi dalam keadaan ‘berseteru’, ternyata anak-anak yang menjadi pangkal ‘perseteruan’ mereka, di tempat yang sama malah bermain bersama dengan rukunnya, tidak nampak sedikit pun sisa-sisa ‘permusuhan’ diantara mereka. Nah, kalau sudah begini, pantaskah kita

132

sebagai orang tua tetap memelihara ’sakit hati’ sementara anak-anak kita bahkan tidak merasa ada yang salah?!

Nakoda Berbicara; Antara Di Rumah Dan Sekolah Bagaimanapun juga sekolah bukanlah rumah. Anak-anak kita menghabiskan waktu mereka di sekolah juga sangat sebentar. Perhatian yang mereka terima dari guru-guru mereka juga harus dibagi dengan teman-teman mereka yang cukup banyak. Adakalanya kita para orang tua menemukan hal yang berbeda dengan yang ditemukan oleh para guru sekolah tersebut pada diri anak kita. Adakalanya seorang anak dikenali oleh gurunya adalah anak yang pendiam, pasif dan pemalu. Padahal menurut orang tuanya, ketika di rumah justru sang anak berkarakter sebaliknya. Demikian pula dengan Ahmad, yang memang bertipe ’sulit’ untuk ’ditundukkan’. Meski sebenarnya dia sudah hafal surat Al Kautsar, misalnya, bahkan sebelum play group, tetapi laporan perkembangan yang tertulis di NAKODA ketika dia duduk di TK A (Sarana Komunikasi Dua Arah/semacam buku penghubung sekolah dan wali murid) adalah belum hafal, bahkan hingga 3-4 kali laporan mingguan berikutnya. Kami menyadari, jangankan guru-gurunya di sekolah yang hanya bertemu Ahmad dalam waktu yang singkat, dan harus membagi perhatian ke banyak anak pada waktu yang bersamaan, kami saja

133

adakalanya juga tidak berhasil membuat Ahmad dengan mudahnya menurut untuk melakukan apa yang kami minta. Selain itu, memang Ahmad juga memiliki ’bakat’ sense of humour dan sedikit usil yang kadang membuatnya ’melawak/mbanyol’ di tengah hal yang sebenarnya ’serius’. Saya mengamati ketika Ahmad diminta melakukan atau menjawab sesuatu hanya untuk ’ngetest’ dan tidak dalam rangka sesuatu yang ’bermakna’, misalnya dia ditanya: ”Ahmad ini warna apa? Berapa jumlah bola di gambar ini? Ini bu guru siapa?”, maka pertanyaan terbuka semacam ini seringkali akan dia ’mainkan’ dengan menjawab ngawur untuk kemudian dia nikmati respons penanya terhadap jawabannya. Warna yang sebenarnya biru akan dia jawab pink, gambar bola tadi akan dia hitung ”sataw, duaw, tigaw, empaw, limaw...”hingga muter terus dan gak selesai-selesai, nama bu guru sebenarnya akan dia jawab nama bu guru yang lain. Hal yang mungkin tidak terjadi ketika dia ditanya dengan cara seperti ini: ”Ahmad nanti pulang naik bemo warna apa? Coba tolong dihitung tadi umi belanja sabun ada berapa? Atau Ahmad tolong kasihkan buku ini ke bu guru Tita!”. Dengan cara yang kedua, kami bisa ketahui kalau Ahmad sudah mengenal warna, bisa berhitung dan mengenal guru yang dimaksud. Hanya saja, karakter khas Ahmad yang seperti ini belum tentu dikenali oleh orang lain, termasuk gurunya. Alhasil, adakalanya kami mendapati laporan NAKODA atau laporan gurunya tentang

134

Ahmad yang ’bisa jadi berbeda’ dengan yang selama ini kami ketahui. Tapi justru di sinilah kepentingan NAKODA tadi dibuat, dan komunikasi dua arah dilakukan. Orang tua akan mendapat gambaran tentang anak di sekolah, sebaliknya guru pun bisa mengkonfirmasinya dengan keadaan anak di rumah untuk bisa dijadikan pertimbangan dalam melakukan proses pendidikan berikutnya. Yang penting semua pelaku pendidikan (sekolah dan orang tua) harus bisa menjalin kerjasama yang sinergis untuk mendapatkan hasil yang terbaik.

135

Penutup Segala puji bagi Allah yang telah memungkinkan kami menyelesaikan risalah sederhana ini. Banyak hal tentang pengasuhan dan pendidikan anak pada usia dini yang sebenarnya ingin kami bahas dan sharing-kan di sini. Akan tetapi karena keterbatasan tempat dan kesempatan, beberapa bahasan tersebut terpaksa kami batalkan. Kami hanya bisa berharap sembari menancapkan azam (tekad kuat) dalam hati, semoga Allah SWT memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kami untuk bisa merealisir niat kami tersebut. Semoga segala pengorbanan, kepayahan, maupun kegelisahan yang kita –para orang tua- alami ketika membesarkan dan mempersiapkan anak-anak kita menjadi Khalifah terbaik-Nya di muka bumi, dibalas oleh Allah dengan kegembiraan, kebahagiaan dan ketenangan yang abadi di surga-Nya. Dan semoga dari tangan-tangan kitalah kelak lahir generasigenerasi terbaik yang dijanjikan Allah akan mengembalikan kemuliaan Islam dan kaum muslimin di muka bumi ini setelah sekian lama mengalami keterpurukan dan kehinaan. Wallahu A’lam bish Showaab.

136

Bacaan lebih lanjut: 1.

Adhim, Mohammad Fauzil, Bersikap Terhadap Anak, Pengaruh Perilaku Orang Tua Terhadap Kenakalan Anak , Jogjakarta: Titian Ilahi Press, 2000 2. Adhim, Mohammad Fauzil, Mendidik Anak Menuju Taklif, Pustaka Pelajar, 1996 3. Agustian, Ary Ginanjar, ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan, Jakarta: Arga, 2003 4. Al Qarashi, Baqir Sharif, Seni Mendidik Islami: Kiat-kiat Menciptakan Generasi Unggul, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003 5. Amini, Ibrahim, Anakmu Amanat-Nya, Jakarta: Penerbit Al Huda, 2006 6. An Nabhani, Taqiyuddin, Nidlam al Islam (edisi Mu’tamadah), Hizbut Tahrir, 2001 7. An Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Pergaulan dalam Islam, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2001 8. De Porter, Bobbi, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Bandung: Kaifa, 2001 9. De Porter, Bobbi; Reardon, Mark; SingerNouri, Sarah, Quantum Teaching; Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas, Bandung: Kaifa, 2001 10. Doe, Mimi; Walch, Marsha, Ph. D., 10

137

11. 12. 13.

14. 15.

16.

17.

18. 19.

138

prinsip Spriritual Parenting: Bagaimana Menumbuhkan dan Merawat Sukma Anakanak Anda, Bandung: Kaifa, 2001 Hizbut Tahrir, Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah, Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2004 Istadi, Irawati, Mendidik dengan Cinta, Jakarta: Pustaka Inti, 2005 Segal, Jeanne, Ph. D., Melejitkan Kepekaan Emosional: Cara Baru-Praktis untuk Mendayagunakan Potensi Insting dan Kekuatan Emosi Anda, Bandung: Kaifa, 2001 Setyono, Ariesandi, Hypnoparenting; Menjadi Orangtua Efektif dengan Hipnosis, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006 Solohin, O, Menjadi Penulis Hebat: 25 Tips Agar Menulis Gampang dan Menyenangkan / Tuntunan Bagi Pemula, Bogor: IdeA Pustaka Utama, 2003 Sulaeman, Dina ., Mukjizat Abad 20: Doktor Cilik Hafal dan Paham Al Qur’an, Wonderful Profile of Hussein Tabataba’i, Depok: Pustaka IIMaN, 2007 Thalib, Muhammad, Drs., Praktek Rasulullah SAW Mendidik Anak Bidang Akhlaq, Pergaulan, Inteligensi dan Emosi, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2001 Thohari, Hamim; Rais, Ika; Tim Nasma, Tumbuh Kembang Kecerdasan Emosi Nabi, Bekasi: Pustaka Inti, 2006 Treays, Rebecca, Mempelajari Otak,

Bandung: Penerbit Pakar Raya, 2004 20. Ulwan, Nashih Abdullah, DR., Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Bandung: Asy Syifa’, 1988 21. Van de Carr, F. Rene, M.D.; Lehner, Marc, Ph. D, Cara Baru Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan, Bandung: Kaifa, 1999

139

Sekilas Tentang Penulis Faizatul Rosyidah (31 tahun), yang juga dikenal dengan nama pena Farihah Al Rosyidah, adalah seorang dokter alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada tahun 2001. Selain dikenal sebagai seorang dokter, Faizah juga dikenal sebagai seorang aktivis dakwah dan penulis sejak masih di bangku sekolah/kuliah.

Pernah dipercaya menjadi pengasuh tetap “Rubrik Keluarga Sakinah” di Radio Colours Surabaya, program “Mutiara Subuh” RRI Programa I, pengasuh “Syiar Pagi” Radio El Victor, “Mitra Religi” Radio Suara Mitra Polda Jatim dan menjadi pengasuh Majelis Ta’lim Dosen dan karyawati di beberapa kampus di Surabaya, juga menjadi narasumber lepas di beberapa radio dan forumforum keilmuan yang lain, penulis mendapatkan kesempatan untuk mengasah dan memperluas ilmu serta pemahamannya tentang Islam sebagai way of life serta problem solver atas segala permasalahan kehidupan, termasuk di dalamnya tentang rumah tangga dan pendidikan anak.

Buku ini adalah buku kelima yang ditulisnya.

140

Sebelumnya, perhatiannya pada kehidupan remaja menggerakkannya untuk menulis beberapa buku berkaitan dengan kehidupan remaja. Beberapa buku yang sudah ditulisnya: “Islam Ngomongin Narkoba dan Perilaku Seksual remaja” (2001) dan “Sobat, Temukanlah Hidupmu” (2002) yang sempat dijadikan sebagai bahan pembinaan remaja di beberapa sekolah menengah dan kampus di Surabaya. Ketika menikah di tahun 2002 dengan M. Ali Tamam (33 tahun) penulis sempat membuat satu risalah sederhana yang dibukukan berjudul “Bingkisan untuk Pernikahan-pernikahan yang Barakah” sebagai souvenir pernikahannya. Sementara pada tahun 2006 sebagai upaya untuk melakukan counter terhadap pendidikan kesehatan reproduksi / pendidikan seksual remaja ala sekulerisme-liberalisme, penulis membuat buku “Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (Perspektif Islam). Bersama dengan sang suami, yang memang memiliki basis pendidikan di bidang kependidikan, dan aktiv di Konsorsium Pendidikan Islam Surabaya, penulis mencoba menyelesaikan beberapa tulisan tentang kerumah tanggaan dan pendidikan anak. Kini mereka berdua tinggal dengan Ahmad – inspirator ditulisnya buku ini- di Sidoarjo. Saran, kritik, masukan ataupun sharing bisa dilakukan melalui telpon 031-72106173, 08813162457 atau email: [email protected] atau www.faizatulrosyidahblog.blogspot.com ***

141

142

Related Documents

Tahun 5
June 2020 26
B.cina-tahun 5 - 5
October 2019 42
B.cina-tahun 5 - 2
October 2019 39
B.cina-tahun 5 - 3
October 2019 35

More Documents from "Sekolah Portal"