'3237_mu.201305013.pdf

  • Uploaded by: naufalian
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View '3237_mu.201305013.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 5,353
  • Pages: 15
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37 HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008

Penerapan Pemetaan Geomorfologi Metode ITC dalam Menganalisis Geomorfologi Pegunungan Selatan Jawa Timur Tim Komisi Geomorfologi “Geologi Pegunungan Selatan” Anggota Tim: Srijono1, Salahuddin Husein1, Eko Haryono2, Susetyo E. Yuwono2, H. Samodra3, Prakosa Rachwibowo5, dan Ev. Budiadi6 1 Jurusan Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta 2 Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta 3 Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta 4 Pusat Survei Geologi, Bandung 5 Jurusan Teknik Geologi, Universitas Diponegoro 6 Jurusan Teknik Geologi STTNas, Yogyakarta

Sari Pegunungan Selatan Jawa Timur terentang dari Parangtritis sampai Pacitan. Mandala ini tersusun oleh bebatuan berumur Pra Tersier sampai dengan Kuarter, dan telah berulang-kali mengalami tektonik, yang diikuti proses eksogenik. Interaksi kedua proses tersebut menghasilkan kenampakan bentangalam yang bervariasi. Penelitian ini bertujuan membuat zonasi bentangalam dengan acuan pemetaan geomorfologi metode ITC (International Training Centre) Pemetaan geomorfologi metode ITC (Belanda) memberi arahan untuk menggunakan foto udara sebagai media analisis bentangalam. Dikarenakan dalam penelitian ini analisis bentangalam masih tahapan tinjau, sebagai media digunakan peta topografi skala 1:350.000 yang sekaligus difungsikan sebagai peta dasar. Penetapan hirarki satuan bentangalam menurut ITC menyesuaikan peta dasar yang digunakan, untuk skala tinjau sampai hirarki morfogenesa, dan skala rinci sampai tingkatan morfologi. Dalam penelitian ini, diterapkan satuan tingkat morfogenesa dan diantaranya dirinci menjadi tingkatan morfologi. Penerapan pemetaan geomorfologi metode ITC di Pegunungan Selatan menghasilkan enam satuan tingkatan morfogenesa, yaitu morfogenesa volkanik, struktural, karst, fluvial, marin, dan eolian. Setiap morfogenesa terinci menjadi sejumlah satuan tingkatan morfologi. Morfogenesa Volkanik (V) terdiri dari 6 morfologi, yaitu morfologi lereng kaki volkanik Merapi, lereng atas volkanik Lawu, lereng bawah volkanik Lawu, perbukitan denudasional volkanik, sisa volkan,dan leher volkan. Morfogenesa Struktural (S) terdiri dari 10, yaitu morfologi pegunungan struktural terbiku kuat, pegunungan struktural terbiku sedang, perbukitan struktural terbiku kuat, perbukitan struktural terbiku sedang, perbukitan sisa, kuesta, teras terbiku kuat, teras terbiku sedang, depresi denudasional, dan perbukitan terisolasi. Morfogenesa Karst (K) terdiri dari 5 morfologi, yaitu morfologi konikal bundar, konikal memanjang, konikal trapesoid, dataran marjinal, dan lembah kering. Morfogenesa Fluvial (F) terdiri dari 4 morfologi, yaitu morfologi dataran banjir, dataran banjir terpengaruh laut, dataran banjir intrapegunungan, dan kipas aluvial. Morfogenesa eolian (A) terdiri dari satu morfologi, yaitu kompleks gumuk-pasir. Morfogenesa Marin (M) terdiri dari satu morfologi, yaitu gisik.

Abstract Southern Mountains of East Java extends from Parangtritis to Pacitan. This physiographic unit consists of various lithologies, ranging in ages from pre-Tertiary to Quaternary, and have been subjected to polyphase tectonics, which sequentially followed by exogenic process. Interaction between those two processes produces 322

PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37 HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008

distinctive landscapes. This study is conducted to apply landscapes zonation based on ITC (International Training Centre) geomorphic mapping. The ITC (Netherlands) methods extensively use aerial photographs as analytical medium. As this study can be chategorized as reconnaissance mapping, a topographic map in scale of 1:350,000 was chosen as the analytical medium. Application of landscape hierarchies follows the medium scales, reconnaissance level applies the morphogenetic hierarchies, whilst detailed level applies the morphologic hierarchies. This study attempts to apply morphogenetic units and some are detailed up to morphologic unit. Application of the ITC methods in the Southern Mountains of East Java generates six morphogenetic units, they have been origined of volcanic, structural, karst, fluvial, marine, and aolian. Each morphogenetic units is detailed into several morphologic hierarchies. Volcanic morhogenetic unit (V) consists of 6 morphologic units, that are Merapi volcanic lower slope, Lawu volcanic upper slope, Lawu volcanic lower slope, volcanic denudational hills, volcanic remnants, and volcanic necks. Structural morphogenetic unit (S) consists of 10 morphologic units, which are highly dissected structural mountains, moderately dissected structural mountains, highly dissected structural hills, moderately dissected structural hills, residual hills, cuestas, highly dissected terraces, moderately dissected terraces, denudational depression, and isolated hills. Karst morphogenetic unit (K) consists of 5 morphologic units, which are rounded conical hills, elongated conical hills, trapezoid conical hills, marginal plains, and dry valleys. Fluvial morphogenetic unit (F) consists of 4 morphologic unit, which are floodplains, marine influenced floodplains, intramontane floodplains, and inactive alluvial fans. Aeolian morphogenetic unit (A) consists of 1 morphologic unit, sand dunes. Marine morphogenetic unit (M) also consists of 1 morphologic unit, beaches.

Pendahuluan Pegunungan Selatan merupakan satuan fisiografi regional di bagian selatan Jawa yang membentang dari Teluk Ciletuh di Jawa Barat hingga Semenanjung Blambangan di ujung timur (eastern spur atau oosthoek) Jawa Timur (Pannekoek, 1949; van Bemmelen, 1949). Pegunungan Selatan tidak dijumpai di Jawa Tengah, yaitu dari Teluk Cilacap hingga Yogyakarta, dimana dataran aluvial pantai menggantikannya. Kondisi tersebut menyebabkan zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi dua, yaitu Pegunungan Selatan Jawa Barat yang terbentang dari Teluk Ciletuh hingga Nusakambangan dan Pegunungan Selatan Jawa Timur yang melampar dari Yogyakarta hingga Semenanjung Blambangan (Gambar 1). Makalah ini membahas Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat, yang melampui

mulai Parang tritis Daerah Istimewa Yogyakarta sampai Pacitan, Propinsi Jawa Timur. Secara fisiografis, Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat (selanjutnya disebut secara singkat sebagai Pegunungan Selatan, untuk alasan kepraktisan) dapat dibagi menjadi tiga zona (Gambar 2). Bagian utara merupakan lajur-lajur pegunungan dengan relief yang kuat. Lajur paling timur dibentuk oleh Lajur Kambengan dan Lajur Plopoh. Kedua lajur tersebut dipisahkan oleh lembah Sungai Bengawan Solo. Lajur tengah dan barat dibentuk oleh Lajur Baturagung. Bagian selatan dibentuk oleh topografi kars yang ekstensif dan dicirikan oleh rangkaian perbukitan kerucut. Ciri terakhir ini membuat daerah tersebut dikenal dengan nama Gunung Sewu yang menerus dari selatan Yogyakarta hingga Teluk Pacitan. Lajur pegunungan di utara dan topografi kars di selatan dipisahkan oleh depresi topografi yang membentuk Cekungan 323

PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37 HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008

Wonosari dan Cekungan Baturetno. Kedua cekungan tersebut dipisahkan oleh Pegunungan Panggung (Panggung Massif). Aliran sungai permukaan berkembang dengan baik di kedua cekungan, dengan daerah aliran sungai (DAS) Oyo yang berkembang di Cekungan Wonosari dan DAS Bengawan Solo yang berkembang Cekungan Baturetno.

keluarannya adalah 1 : 350.000. Pekerjaan lapangan hanya dilakukan di daerah kunci dengan memperkenankan ekstrapolasi dan generalisasi secara ekstensif. Luasan daerah kajian adalah 4.190 km2, dengan batas-batas koordinat UTM pada 423.606 mT – 9.146.680 mU di barat laut, 513.636 mT – 9.146.680 mU di timurlaut, 513.636 mT – 9.087.091 mU di tenggara, dan 423.723 mT – 9.113.536 mU di baratdaya.

Metodologi

Geomorfologi Selatan

Tujuan dari pemetaan geomorfologi adalah untuk menyajikan gambaran sistematik dari bentuklahan dan fenomena lain yang berhubungan. Metode sistem pemetaan ITC, yang dikembangkan oleh Institute for Aerial Survey and Earth Sciences, Enschede, Belanda, dimaksudkan untuk tujuan analisis geomorfologi dengan menyertakan aspek-aspek morfometri, morfografi, morfogenetik dan morfokronologi (Verstappen, 1970; Verstappen & van Zuidam, 1975; van Zuidam & van Zuidam-Cancelado, 1979; van Zuidam, 1983). Perhatian juga ditujukan pada aspek litologi dan proses perubah bentuklahan. Penelitian ini bertujuan menghasilkan peta standar (general purpose) yang merupakan hasil penelitian untuk tujuan murni bersifat kajian geomorfologi di Pegunungan Selatan. Idealnya, sebelum mencapai tahap pembuatan peta standar, pemeta harus membuat peta pendahuluan (preliminary) yang dibuat berdasarkan hasil kerja lapangan yang dilakukan setelah diperoleh hasil interpretasi foto udara. Namun karena keterbatasan foto udara yang tersedia, penelitian ini menggunakan peta pendahuluan yang dibuat berdasarkan pada interpretasi peta topografi skala 1:50.000 dan citra satelit Landsat. Adapun berdasarkan pada skala peta, penelitian ini menghasilkan jenis peta tinjau (reconnaissance map) karena skala

Pegunungan

Terdapat enam bentuklahan genetik utama yang berkembang di Pegunungan Selatan Jawa Timur, yaitu bentukan asal volkanik, struktural, karst, fluvial, eolian, dan marin (Gambar 3). Berikut ini pemaparan masing-masing bentukan asal tersebut, resumenya disajikan dalam Tabel 1. Bentangalam volkanik Bentangalam volkanik hadir cukup dominan di Pegunungan Selatan. Hal tersebut dapat dipahami karena aktivitas volkanisme telah bekerja di Cekungan Pegunungan Selatan semenjak Paleogen Akhir dengan kehadiran Formasi Kebobutak. Pada Zaman Kuarter, volkanisme modern hadir di sebelah utara Pegunungan Selatan melalui aktivitas G. Merapi di bagian barat laut dan G. Lawu di bagian timur laut. Dengan demikian, bentukan morfologi volkanik muncul dari bentuknya yang masih aktif hingga bentukan sisa pada bekas-bekas volkanisme Tersier. Secara umum, pelamparan unit-unitnya berubah secara teratur dari yang terbesar dimiliki oleh tubuh volkanik aktif hingga yang terkecil dimiliki oleh leher volkanik sisa dari volkanisme Tersier. Unit lereng kaki volkanik Merapi (V1) Unit ini berkembang di bagian barat laut daerah penelitian, meliputi luasan 324

PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37 HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008

sekitar 10%, dimana Kota Yogyakarta berkembang diatasnya. Hadir sebagai bentukan volkan Merapi yang masih aktif, unit ini memiliki karakteriktik topografi berlereng landai dengan pola pengaliran radial. Unit ini dibatasi oleh bentangalam struktural seperti di bagian barat oleh morfologi Perbukitan Sentolo dan bagian tenggara oleh morfologi kuesta Lajur Baturagung. Pada bagian timur unit ini berubah secara gradual menjadi dataran banjir bentangalam fluvial yang berkembang di Dataran Bayat – Cawas, sedangkan di bagian selatan berubah secara gradual pula menjadi morfologi gumuk pasir bentangalam eolian yang berkembang di pesisir selatan Yogyakarta. Unit ini tersusun oleh tuf, abu dan breksi lahar yang dikelompokkan sebagai Endapan Gunungapi Merapi Muda (Rahardjo dkk., 1995). Proses tektonik yang dapat diamati adalah pengkekaran, terutama di sepanjang Sungai Opak yang mengalir pada batas unit ini dengan bentangalam struktural di bagian tenggara. Proses eksogenik yang dominan adalah fluvial dimana erosi dan sedimentasi terkonsentrasi di tubuh-tubuh sungai yang berhulu di lereng atas G. Merapi. Unit lereng atas volkanik Lawu (V2) Unit ini hadir di bagian timur laut daerah penelitian, hanya menempati luasan sekitar 2%. Unit ini melampar ke arah baratdaya dan mengalami tingkat keterbikuan yang tinggi, mengindikasikan umurnya yang tua sebagai bagian dari volkanisme Kwarter. Unit ini tersusun oleh lava dan lahar gunungapi dengan komposisi andesit dan dikelompokkan ke dalam kelompok Lava dan Breksi Jobolarangan sebagai produk Gunungapi Lawu Tua berumur Pleistosen Awal (Sampurno & Samodra, 1997). Adapun aliran lava dan lahar tersebut dominan ke arah barat dan baratdaya, mengontrol pelamparan unit morfologi ini.

Unit lereng kaki volkanik Lawu (V3) Terdapat di bagian timur laut daerah penelitian dengan luasan sekitar 5%. Letaknya di bawah dari unit V2, sebelah selatan berbatasan langsung secara tajam dengan bentangalam struktural dari Lajur Kambengan, sedangkan sebelah barat berbatasan secara gradual dengan dataran banjir bentangalam fluvial daerah Sukoharjo. Lerengnya relatif lebih besar dibandingkan dengan unit V1, demikian pula tingkat keterbikuannya. Pola pengalirannya berpola radial, dimana yang mengarah ke selatan bergabung dengan S. Keduwan yang mengalir berarah timur-barat pada batas unit ini dengan Lajur Kambengan, sedangkan yang mengarah ke barat bergabung dengan S. Bengawan Solo yang mengalir relatif berarah selatan-utara pada dataran banjirnya di daerah Sukoharjo. Unit ini tersusun oleh endapan lahar dengan komponen andesit, basal, dan batuapung, yang dinamakan sebagai satuan Lahar Lawu (Sampurno & Samodra, 1997). Unit sisa volkanik (V4) Unit ini dijumpai di dua tempat dengan pelamparan sekitar 4%, yang pertama berkembang di bagian barat dekat Kota Kecamatan Imogiri pada Lajur Baturagung dan yang kedua di bagian tengah dekat Kota Kecamatan Semin pada Masif Panggung. Di Lajur Baturagung, unit ini disusun oleh lava dan breksi gunungapi yang membentuk G. Sudimoro, dimana dalam peta geologi regional dikelompokkan sebagai Formasi Nglanggeran (Rahardjo dkk., 1995). Morfologinya dicirikan oleh topografi yang terbiku kuat, dengan batas sekitarnya berupa bentangalam struktural. Di Masif Panggung, unit ini disusun oleh intrusi dan batuan gunungapi yang membentuk G. Panggung, yang secara regional dikelompokkan sebagai Formasi Mandalika dan Formasi Semilir (Surono dkk., 1992). Morfologinya dicirikan oleh topografi yang terbiku sedang, dengan batas sekitarnya 325

PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37 HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008

berupa bentangalam struktural dan karst. Perbedaan morfologi antara G. Sudimoro dan G. Panggung lebih dikontrol oleh perbedaan litologi penyusun, dimana yang pertama tersusun oleh litologi yang lebih resisten terhadap erosi dibandingkan dengan yang kedua. Dimensi unit ini di kedua tempat tersebut memiliki diameter sirkular sekitar 4 km. Unit perbukitan denudasional volkanik (V5) Unit ini hadir tersebar di bagian timur daerah penelitian, terutama di bagian hulu S. Bengawan Solo, yang membentuk morfologi G. Semiling. Di utara Pacitan, unit ini membentuk morfologi G. Rohtawu dan G. Klumpit. Terisolasi oleh bentangalam karst Gunung Sewu, unit ini juga hadir di pesisir selatan Gunung Kidul yang membentuk morfologi G. Batur di Pantai Wediombo. Penyusun unit ini beragam, terutama oleh aglomerat dan breksi gunungapi Formasi Wuni, serta batuan terobosan Formasi Mandalika (Surono dkk., 1992; Samodra dkk., 1992). Dimensi sirkular mereka lebih kecil dibandingkan dengan unit V4, yaitu tidak lebih dari 3 km, dengan pelamparan sekitar 2%. Morfologinya mengindikasikan erosi lanjut pada tubuh-tubuh batuan yang lebih resisten dibandingkan dengan sekitarnya. Unit leher volkanik (V6) Unit ini hadir di bagian barat daerah penelitian dengan morfologi yang khas berupa tebing-tebing terjal yang sangat resisten yang membentuk G. Nglanggeran dan G. Blencong. Tersusun oleh breksi gunungapi yang dikelompokkan sebagai Formasi Nglanggeran (Surono dkk., 1992), pelamparan unit ini hanya relatif terbatas sekitar 1% dengan diameter sirkular sekitar 0,5 km. Bentangalam struktural Bentangalam struktural dapat dikenali dalam 10 unit berbeda, mendominasi bagian utara dan tengah, timur dan

barat Pegunungan Selatan. Pelamparan yang luas dan kompleksitas bentukan mengindikasikan pengaruh tektonik yang dominan terhadap Pegunungan Selatan. Hal tersebut dapat dipahami bahwa letak Pegunungan Selatan yang berada di depan busur volkanik (forearc) pada saat ini dan senantiasa berhadapan dengan jalur penunjaman Lempeng Samudera Hindia dengan Lempeng Benua Eurasia semenjak terbentuknya cekungan pengendapan, membuat Pegunungan Selatan mengalami sejarah tektonik yang berulang (multi-fase) dan kompleks. Secara umum, bentangalam struktural tersusun oleh litologi batuan gunungapi piroklastik dan epiklastik yang tersesarkan secara kuat, kedua hal inilah yang membedakannya dengan bentangalam volkanik. Bentangalam struktural hadir secara khas di bagian utara, dimana lajur-lajur sesar yang bersifat memanjang dan dikontrol oleh kehadiran tubuh volkanik modern menghasilkan rangkaian pegunungan Kambengan, Plopoh dan Baturagung, yang bersifat memanjang relatif berarah timur-barat. Pola serupa juga dapat diamati di bagian barat pada Lajur Baturagung yang dikontrol oleh kehadiran sistem Sesar Opak yang berarah relatif timurlaut-baratdaya dan membatasinya dengan Dataran Rendah Yogyakarta. Unit pegunungan struktural terbiku kuat (S1) Unit ini sebagian besar melampar di bagian timur yang membentuk Lajur Kambengan bagian timur, serta yang membentuk morfologi Kompleks Gunungapi Andesit Tua di utara dan timur Pacitan. Sebagian kecil dari unit ini dijumpai di bagian barat pada lembah S. Oyo bagian hilir. Luasan pelamparan unit ini sekitar 6%. Tersusun terutama oleh batuan-batuan gunungapi yang sangat resisten dan dikelompokkan ke dalam formasi Mandalika, Panggang, Semilir, Nglanggeran, dan Arjosari (Samodra 326

PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37 HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008

dkk., 1992; Sampurno & Samudro, 1997; Surono dkk., 1992; Rahardjo dkk., 1995). Umumnya batuan-batuan tersebut terpotong-potong secara intensif oleh sesar-sesar berarah timurbarat, timurlaut-baratdaya, dan baratlaut-tenggara. Lajur Kambengan dan Kompleks Gunungapi Andesit Tua Pacitan sendiri terpisahkan oleh Sesar Tirtomoyo yang berarah relatif timurbarat dan kini menjadi depresi yang diisi oleh endapan banjir S. Titomoyo. Unit perbukitan sisa (S2) Unit ini hanya dijumpai di bagian timur daerah penelitian di sekitar Depresi Baturetno. Luasan pelamparan unit ini sekitar 1% dengan morfologi perbukitan terbiku lemah. Tersusun oleh perselingan batupasir dan batulempung formasi Semilir dan Wuni (Surono dkk., 1992), unit ini mengalami erosi intensif oleh sungai-sungai kecil anak dari S. Bengawan Solo bagian hulu. Unit pegunungan struktural terbiku sedang (S3) Di bagian timur, unit ini hadir pada tepitepi unit S1, sedangkan di bagian utara dan barat hadir pada tepi-tepi kuesta unit S4. Hal ini dapat dipahami bahwa unit ini hadir sebagai transisi dari suatu unit yang mengalami derajat keterbikuan yang kuat akibat suatu batuan yang resisten menuju ke batuan yang kurang resisten. Secara umum, unit ini tersusun oleh perselingan batupasir dan batulempung formasi Mandalika, Semilir dan Sambipitu (Samodra dkk., 1992; Surono dkk., 1992; Rahardjo dkk., 1995). Luasan pelamparan unit ini sekitar 5%. Unit kuesta (S4) Unit ini hadir secara unik di bagian utara daerah kajian, berbatasan langsung dengan bentangalam volkanik modern di utara Pegunungan Selatan. Dengan pelamparan sekitar 4% dengan arah memanjang relatif timur-barat dalam lajur Plopoh dan Baturagung, unit ini tersusun oleh perselingan batupasir-batulempung dan breksi

gunungapi formasi Mandalika, Kebobutak, Semilir dan Nglanggeran (Surono dkk., 1992; Rahardjo dkk., 1995). Kemiringan perlapisan sekitar 30o dengan arah bervariasi, dari ke arah baratdaya di Lajur Plopoh, ke arah selatan di Lajur Baturagung bagian utara, hingga ke arah tenggara di Lajur Baturagung bagian barat. Unit teras struktural terbiku kuat (S5) Unit ini berkembang di tepian timur Masif Panggung dengan pelamparan sekitar 1%. Tersusun oleh perselingan batupasir – batulempung volkanik Formasi Semilir (Surono dkk., 1992), unit ini membentuk morfologi teras yang mengalami erosi intensif oleh sungai-sungai yang mengalir radial dari puncak G. Panggung. Unit teras struktural terbiku sedang (S6) Unit ini menempati puncak Masif Panggung dan dikelilingi oleh unit S5, memiliki pelamparan sekitar 1%. Tersusun oleh perselingan batupasir – batulempung volkanik Formasi Semilir (Surono dkk., 1992), derajat keterbikuannya yang lebih lemah dibandingkan unit S5 disebabkan oleh berfungsinya unit ini sebagai hulu dari sungai-sungai yang kemudian mengalir ke S. Oyo dan Waduk Gajah Mungkur, yang menjelaskan mengapa belum dominannya erosi fluvial. Unit perbukitan struktural terbiku sedang (S7) Unit ini tersebar di bagian timur di sekitar Depresi Baturetno, di antara Masif Panggung dan Lajur Baturagung, di perbukitan terisolasi Jiwo Barat, Perbukitan Imogiri, dan Perbukitan Sentolo. Pelamparannya sekitar 1%. Tersusun terutama oleh batugamping klastik formasi Oyo, Wonosari dan Sentolo (Surono dkk., 1992; Rahardjo dkk., 1995). Faktor litologi yang tidak begitu resisten dan letaknya yang berada pada tepian suatu tinggian, membuat unit ini mengalami derajat keterbikuan yang sedang saja. 327

PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37 HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008

Unit depresi denudasional (S8) Unit ini hadir secara jelas pada depresi Wonosari dan Baturetno, meskipun pada yang terakhir unit ini tertutup secara ekstensif oleh endapan banjir S. Bengawan Solo dan Waduk Gajah Mungkur yang menjadikannya dikelompokkan sebagai bentangalam fluvial. Hadir dalam pelamparan sekitar 7%, Depresi Wonosari memiliki dimensi elips dengan sumbu timur-barat sekitar 25 km dan sumbu utara-selatan sekitar 10 km. Bagian utara unit ini dibatasi aliran S. Oyo, sedangkan bagian selatan dibatasi oleh topografi karst Gunung Sewu. Litologi penyusunnya sendiri adalah batugamping klastik yang mengandung sisipan napalan dan dikelompokkan sebagai formasi Wonosari dan Kepek (Surono dkk., 1992). Bagian selatan unit ini mengalami keterbikuan relatif kuat akibat berubahnya aliran-aliran sungai permukaan menjadi aliran bawah permukaan.

kaki volkan Merapi dan dataran banjir S. Bengawan Solo. Pelamparannya hanya sekitar 2% mengikuti arah-arah struktural tertentu, di lereng kaki volkan Merapi mengikuti arah timurlautbaratdaya, sedangkan di dataran banjir S. Bengawan Solo mengikuti arah baratlaut-tenggara. Unit ini tersusun oleh batuan perselingan batupasir – batulempung volkanik formasi Mandalika dan Semilir (Surono dkk., 1992; Rahardjo dkk., 1995).

Unit perbukitan struktural terbiku kuat (S9) Unit ini hanya dijumpai secara terisolasi dari Pegunungan Selatan sebagai Perbukitan Jiwo di daerah Bayat, Klaten. Dengan pelamparan sekitar 2%, unit ini tersusun atas batuan malihan dan batuan terobosan berumur praTersier dan Tersier Awal (Surono dkk., 1992). Lebih detail, Perbukitan Jiwo terpisahkan oleh aliran S. Dengkeng yang merupakan anak S. Bengawan Solo, menjadikan Perbukitan Jiwo Barat yang melampar dengan arah timurlautbaratdaya dan Perbukitan Jiwo Timur yang melampar dengan arah timurbarat. Perbedaan orientasi pelamparan kedua perbukitan tersebut dalam jarak yang sangat dekat tersebut mencerminkan sejarah tektonik yang kompleks akibat umurnya yang sangat tua.

Bentangalam karst Bentangalam karst berkembang secara eksklusif di bagian selatan, menempati kawasan yang dikenal sebagai Gunung Sewu. Dibatasi di bagian barat oleh bentangalam struktural yang memisahkannya dengan Dataran Rendah Yogyakarta, bagian utara oleh Depresi Wonosari dan Depresi Baturetno serta Masif Panggung, sedangkan bagian timur oleh Teluk Pacitan dan Kompleks Gunungapi Andesit Tua. Panjangnya berarah relatif timur-barat sekitar 85 km. Kehadiran bentangalam ini yang mensyaratkan adanya endapan batugamping yang cukup tebal menandakan sejarah genang laut daerah tersebut pada Tersier Akhir yang lebih lama dibandingkan bagian utara, serta adanya periode pengangkatan yang episodik yang memberikan kesempatan tahapan-tahapan karstifikasi untuk bekerja dengan baik. Secara stratigrafis, bentangalam karst Gunung Sewu tersusun oleh batugamping terumbu, batugamping berlapis bersifat tufan dan napalan, yang dikelompokkan kedalam formasi Wonosari dan Punung (Samodra dkk., 1992; Surono dkk., 1992; Rahardjo dkk., 1995). Variasi pola perbukitan sisa pelarutan dan lembah-lembahnya membuat bentangalam karst Gunung Sewu dapat dibagi menjadi 5 unit.

Unit perbukitan terisolasi (S10) Unit ini hanya dijumpai di luar Pegunungan Selatan, sebagai bukitbukit terisolasi yang muncul dari lereng

Unit kerucut karst bundar (K1) Unit ini menempati bagian barat Gunung Sewu, terutama daerah Panggang, dengan luasan pelamparan 328

PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37 HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008

sekitar 8%. Morfologi perbukitannya umumnya berupa setengah bola. Orientasi perbukitan dan lembah relatif timurlaut-baratdaya dan baratlauttenggara. Di bagian selatan, kelurusan relatif berarah timur-barat hadir di bagian selatan, mengindikasikan morfologi undak. Unit kerucut karst memanjang (K2) Unit ini terletak di sebelah timur Unit K1, berkembang dari Paliyan hingga Pantai Baron, dengan luasan sekitar 7%. Morfologinya berupa perbukitan memanjang berarah baratlaut-tenggara. Sama dengan Unit K1, di bagian selatan unit ini hadir kelurusan relatif berarah timur-barat.

Unit kerucut karst trapesoid (K3) Unit ini merupakan unit morfologi terluas dalam bentangalam karst Gunung Sewu. Dengan pelamparan sekitar 9%, unit ini terletak di sebelah timur Unit K2, berkembang dari Tepus hingga Punung, dengan batas utara berupa kontak gradual dengan Masif Panggung dan batas timur berupa Teluk Pacitan. Pada unit ini, morfologi perbukitan dan lembahnya kembali berorientasi relatif timurlaut-baratdaya dan baratlaut-tenggara, dengan kelurusan morfologi berarah relatif timur-barat menjadi lebih dominan dibandingkan dengan kedua unit K1 dan K2, dimana kelurusan terakhir tersebut mempengaruhi morfologi hingga ke batas utara unit ini. Unit dataran tepi karst (K4) Unit ini terutama hadir di batas utara bentangalam karst Gunung Sewu, juga hadir secara terpisah di ujung selatan Lajur Baturagung, dengan pelamparan sekitar 5%. Pada unit ini morfologi karst belum berkembang dengan baik, meskipun perbukitan sisa pelarutan telah mulai terbentuk. Pada unit ini pula sungai-sungai permukaan dari arah utara berubah menjadi aliran bawah permukaan.

Unit lembah kering (K5) Unit ini hanya dijumpai di selatan Depresi Baturetno di daerah Giritontro, berupa lembah kering memanjang relatif ke arah utara-selatan dengan beberapa pembelokan berarah timurbarat. Unit ini membelah Unit K3, diduga terbentuk akibat berhentinya aliran S. Bengawan Solo ke selatan dan meninggalkan lembah yang dalam dan lebar, di bagian hulu mencapai lebar 0,5 km. Muara sungai purba kini dikenal sebagai Teluk Sadeng. Bentangalam fluvial Bentangalam fluvial berkembang secara terpisah-pisah diantara bentangalam-bentangalam lainnya, sehingga secara umum dapat dikatakan sebagai suatu cekungan antar pegunungan yang aktif saat ini sebagai tempat deposisi sedimen yang berasal dari tinggian di sekitarnya. Penyusun utama bentangalam ini adalah pasir lempungan dan pasir kerikilan, di beberapa tempat dijumpai sebagai endapan rawa. Litologi tersebut di Depresi Baturetno diberi nama Formasi Baturetno (Surono dkk., 1992). Hal tersebut mengindikasikan adanya perubahan fasies yang cepat dari fluvial menjadi lakustrin akibat adanya pengaruh tektonik yang mengontrol perkembangan geomorfologi Pegunungan Selatan (Rahardjo, 2002). Ada empat unit morfologi bentangalam fluvial yang dapat dikenali. Unit dataran banjir yang dipengaruhi oleh proses laut (F1) Unit ini berkembang di ujung tenggara daerah kajian sebagai dataran Teluk Pacitan. Menempati luasan sekitar 3%, unit ini dibangun oleh S. Grindulu yang mengendapkan sedimen di muaranya. Letaknya yang terlindung dari gelombang Samudera Hindia membuat energi laut tidak begitu kuat dalam mendistribusikan sedimen S. Grindulu tersebut, sehingga hampir semua sedimen tertampung di dalam Teluk 329

PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37 HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008

Pacitan dengan bentuk gisik pantai yang melengkung ke arah laut. Unit dataran banjir antar pegunungan (F2) Unit ini menempati luasan sekitar 3% diantara Lajur Plopoh dan Masif Panggung. Meski diduga sebagai endapan banjir S. Oyo, endapan yang ada menunjukkan karakteristik lempung hitam yang diendapkan pada lingkungan rawa purba. Unit kipas aluvial yang telah tidak aktif (F3) Unit ini berkembang di bagian utara Lajur Baturagung di daerah Trembono dengan luasan sekitar 1%. Dibatasi oleh sesar-sesar besar, morfologi kipas berkembang dengan baik dan dapat diidentifikasi dengan mudah baik di foto udara maupun di peta topografi. Dibentuk oleh endapan S. Trembono, unit ini tersusun oleh litologi pasir kerakalan hingga bongkah-bongkah batupasir tufan dan breksi pumis dengan sortasi buruk. Unit dataran banjir (F4) Unit ini berkembang luas di daerah kajian dengan pelamparan sekitar 10%. Dijumpai di dua tempat yang dipisahkan oleh Lajur Plopoh, unit ini berkembang di Depresi Baturetno dan Dataran Cawas – Bayat. Keduanya dibentuk oleh aliran S. Bengawan Solo dan anak-anaknya. Dataran banjir Depresi Baturetno melampar memanjang relatif utara-selatan dengan kemenerusan ke arah tenggara oleh aliran S. Bengawan Solo bagian hulu dan ke arah timur oleh aliran S. Tirtomoyo. Dataran banjir Cawas – Bayat menempati daerah Sukoharjo sebagai aliran S. Bengawan Solo, dan daerah Bayat sebagai aliran S. Dengkeng yang kemudian bergabung dengan S. Bengawan Solo di daerah Cawas. Dataran banjir Cawas – Bayat memiliki batas transisi dengan unit V1 dan V3. Pada kedua dataran banjir tersebut, endapan rawa juga ditemukan secara ekstensif.

Bentangalam eolian Bentangalam eolian hanya berkembang di bagian baratdaya daerah kajian sebagai unit gumuk pasir (A1), menempati daerah Parangtritis, dengan luasan sekitar 1%. Tersusun oleh sedimen pasir yang dibawa oleh aliran S. Opak dan diendapkan kembali oleh proses gelombang serta dibentuk oleh proses angin membentuk morfologi gumuk-gumuk pasir. Jenis gumuk pasir yang dijumpai bervariasi, dari tipe transversal di tepi pantai diatas morfologi berm, kemudian berkembang menjadi tipe parabola ke arah darat dan selanjutnya menjadi tipe longitudinal. Proses awal pembentukannya mirip dengan Unit F1 yang berkembang di Teluk Pacitan akibat sedimentasi S. Grindulu, namun di tempat terakhir tersebut morfologinya yang tertutup tidak memungkinkan energi angin untuk dengan leluasa membentuk bentangalam tertentu. Bentangalam marin Bentangalam marin dapat diidentifikasi dengan jelas pada bagian baratdaya daerah kajian karena memiliki pola kontur yang berbeda dengan Unit A1 yang membatasinya terhadap unit dataran lainnya. Hal ini pula yang menjelaskan kenapa bentangalam marin tidak teridentifikasi di Teluk Pacitan, meskipun pengaruh marin yang membentuk gisik pantai juga dapat diamati di sana. Ketiadaan gumuk pasir membuat gisik pantai di Teluk Pacitan tidak dapat didelineasi dengan baik pada peta topografi. Bentangalam marin yang hadir di daerah Parangtritis sebagai unit gisik pantai (M1) hanya menempati luasan kurang dari 1%. Morfologinya dicirikan dengan kehadiran berm yang sejajar garis pantai, dimana akibat pasokan pasir yang melimpah membuat ketinggiannya cukup menonjol sehingga dapat terpetakan pada peta dasar topografi skala 1:25.000.

330

PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37 HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008

Penutup Dalam kajian ini, pemetaan geomorfologi metode ITC dapat memberi arahan yang cepat dan cukup akurat dalam membuat keluaran peta skala tinjau. Meskipun tidak menggunakan foto udara sebagaimana yang dianjurkan, peta topografi standar skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 yang dipergunakan dalam kajian ini dapat dimanfaatkan secara efektif dalam mengidentifikasi dan mendelineasi unitunit morfogenesa serta tingkatan morfologinya. Hubungan antar unit morfologi dalam konteks geologi regional juga dapat dilakukan dengan cepat berdasarkan pada pola pelamparan masing-masing unit. Morfogenesa Volkanik tersebar dari morfologi volkanik yang masih aktif hingga morfologi volkanik sisa, semuanya terindikasi dari dimensi pelamparan dan tingkat keterbikuan. Hal tersebut mencerminkan sejarah Pegunungan Selatan yang dibentuk oleh aktivitas volkanisme semenjak awal mula cekungan hingga saat ini ketika fisiografi Pegunungan Selatan telah mencapai stadia dewasa. Morfologi Struktural mendominasi bagian utara, meskipun bagian selatan pola-pola kelurusan struktural masih mengontrol bentangalam yang berkembang di sana. Kompleksitas sejarah tektonik mempengaruhi pelamparan unit-unit tersebut. Semakin tua usia suatu litologi penyusun, semakin kompleks pola struktur yang tercermin dalam pola-pola keterbikuan. Morfogenesa Karst berkembang dengan baik di bagian selatan, dikenal sebagai Karst Gunung Sewu. Pengaruh tektonik tua tercermin dari penjajaran perbukitan dan lembah sisa pelarutan yang berkembang di sana. Indikasi pengangkatan yang episodik juga tercermin dari kelurusan-kelurusan berarah timur-barat yang memotong dan mengontrol pelamparan morfologi perbukitan karst, dimana semakin ke timur semakin dominan. Morfogenesa Fluvial secara umum berkembang di antara bentangalam struktural.

Kehadiran endapan rawa pada bentangalam tersebut kemungkinan mengindikasikan adanya perubahan fasies akibat proses pengangkatan Pegunungan Selatan. Morfogenesa eolian tersusun oleh kompleks gumukpasir yang berkembang baik di Parangtritis yang bersifat pesisir terbuka, namun tidak di Teluk Pacitan karena adanya morfologi teluk yang membatasi energi angin untuk membentuk bentangalam khas. Morfogenesa Marin terdiri dari satu morfologi, yaitu gisik pantai, yang juga hanya dapat didelineasi dengan baik di Parangtritis karena pasokan sedimen yang berlimpah sehingga mampu membentuk pola kontur dalam peta dasar skala 1:25.000, berbeda dengan Teluk Pacitan dengan pasokan sedimen relatif terbatas.

Ucapan Terimakasih Para penulis mengucapkan terimakasih kepada Rahmadi Hidayat, Darmawan Arif Hakimi dan Bonaventura Hari Wibowo, yang telah banyak membantu dalam drafting peta.

Daftar Pustaka Lehmann, H. (1936) Morphologische Studien auf Java. Geographische Abhandlungen, 3 Reihe, Heft 9, Stuttgart. Pannekoek, A.J. (1949) Outline of the Geomorphology of Java. Reprint from Tijdschrift van Het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, vol. LXVI part 3, E.J. Brill, Leiden, pp. 270-325. Rahardjo, W. (2002) Paleogeografi Daerah Pegunungan Selatan Jawa Tengah Selama Plistosen Hingga Awal Holosen: Suatu Tinjauan Awal, Gunungkidul dalam Visi Budaya dan Lingkungan Purba, PTKA 331

PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37 HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008

Gunungkidul, FIB UGM, Yogyakarta. Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan H.M.D. Rosidi (1995) Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, edisi ke-2, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Samodra, H., S. Gafoer, dan S. Tjokrosapoetro (1992) Peta Geologi Lembar Pacitan, Jawa, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Sampurno dan H. Samodra (1997) Peta Geologi Lembar Ponorogo, Jawa, edisi ke-2, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Surono, B. Toha, dan I. Sudarno (1992), Peta Geologi lembar Surakarta-Giritontro, Jawa, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Van Bemmelen, R.W. (1949) The Geology of Indonesia, vol. I.A.

General Geology. Martinus Nyhoff, The Hague. Van Zuidam, R.A. (1983) Guide to Geomorphologic Aerial Photographic Interpretation and Mapping. Section of Geology and Geomorphology ITC, Enschede, The Netherlands, 324 pp. Van Zuidam, R.A., and F.I. van ZuidamCancelado (1979) Terrain Analysis and Classification using Aerial Photographs. ITC Textbook of Photointerpretation, vol. VII-6, 348 pp. Verstappen, H.Th. (1970) Introduction to the ITC-system of Geomorphological Survey. KNAG Geografisch Tijdschrift, vol. 4(1), pp. 85-91. Verstappen, H.Th., and R.A. van Zuidam (1975) ITC-system of Geomorphological Survey. ITC Textbook of Photointerpretation, vol. VII-2, 52 pp.

332

PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37 HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008

Tabel 1. Uraian karakteristik klasifikasi bentangalam Pegunungan Selatan Jawa Timur MORFOGENESA Bentangalam

VOLKANIK

STRUKTURAL

MORFOLOGI Morfografi Simbol unit Lereng kaki volkanik V1 Merapi Lereng atas volkanik V2 Lawu Lereng kaki volkanik V3 Lawu

Formasi Endapan Gunungapi Merapi Muda Batuan Gunungapi Lawu Batuan Gunungapi Lawu Formasi Semilir, Formasi Nglanggeran Formasi Mandalika, Formasi Wuni

Sisa volkanik

V4

Bukit-bukit denudasional volkanik

V5

Leher volkanik

V6

Formasi Nglanggeran

Pegunungan struktural terbiku kuat

S1

Formasi Arjosari, Formasi Mandalika, Formasi Nglanggeran, Formasi Nampol

Bukit-bukit struktural sisa

S2

Formasi Semilir, Formasi Wuni

Pegunungan struktural terbiku sedang

S3

Formasi Semilir, Formasi Nglanggeran, Formasi Wuni

S4

Formasi Kebobutak, Formasi Mandalika, Formasi Semilir, Formasi Nglanggeran

S5

Formasi Semilir

S6

Formasi Semilir

S7

Formasi Wonosari

Kuesta Teras struktural terbiku kuat Teras struktural terbiku sedang Perbukitan struktural terbiku sedang

GEOLOGI Batuan utama Tuf, abu, breksi, dan aglomerat Breksi gunungapi, lava dan tuf Breksi gunungapi, lava dan tuf Lava dan intrusi andesitik Lava dasit-andesit, retas diorit Breksi gunungapi, aglomerat, dan lava andesit-basal Konglomerat polimik, breksi gunungapi, lava Tuf, breksi batuapung dasitan, aglomerat, dan batupasir tufan Tuf, breksi batuapung dasitan, breksi gunungapi, aglomerat, dan batupasir tufan Perselingan batupasirbatulempung tufan, aglomerat, breksi gunungapi Perselingan batupasirbatulempung tufan Perselingan batupasirbatulempung tufan Batugamping napalantufan

Tektonik

PROSES GEOMORFIK (eksisting)

Pengkekaran

Fluvial

Pengkekaran

Fluvial dan gerakan massa

Pengkekaran

Fluvial

Pensesaran dan pengkekaran Pensesaran dan pengkekaran

Denudasional Denudasional

Pensesaran dan pengkekaran

Denudasional

Pensesaran dan pengkekaran

Denudasional

Pensesaran dan pengkekaran

Denudasional

Pensesaran dan pengkekaran

Denudasional

Pensesaran dan pengkekaran

Denudasional

Pensesaran dan pengkekaran Pensesaran dan pengkekaran Pensesaran dan pengkekaran

Denudasional Denudasional Denudasional

333

PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37 HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008

Depresi denudasional

S8

Formasi Wonosari

Batugamping napalantufan

Perbukitan struktural terbiku kuat

S9

Batuan Malihan dan Diorit Pendul

Sekis, marmer, metasedimen

S10

Formasi Mandalika, Formasi Semilir, Formasi Wonosari

Perselingan batupasirbatulempung tufan, breksi pumis, batugamping napalan

K1

Formasi Wonosari

Batugamping

K2

Formasi Wonosari

Batugamping

K3

Formasi Wonosari

Batugamping

K4

Formasi Wonosari

Batugamping

K5

Formasi Wonosari

Batugamping

F1

Aluvium

F2

Aluvium Tua

F3

Aluvium Tua

F4

Formasi Baturetno

Perbukitan struktural terisolasi Kerucut karst bundar

KARST

Kerucut karst memanjang Kerucut karst trapesoid Dataran tepi karst Lembah kering

FLUVIAL

Dataran banjir dipengaruhi laut Dataran banjir antar pegunungan Kipas aluvial tidak aktif Dataran banjir

EOLIAN

Gumuk pasir

A1

MARIN

Gisik

M1

Aluvium Aluvium

Kerakal, kerikil, pasir, lanau, lempung Konglomerat, pasir, lanau dan lempung Konglomerat, pasir, lanau dan lempung Lempung hitam, lanau, pasir Kerikil, pasir, lanau, lempung Pasir, lanau, lempung

Perlipatan, pensesaran, pengkekaran Perlipatan, pensesaran, pengkekaran Perlipatan, pensesaran, pengkekaran Pensesaran dan pengkekaran Pensesaran dan pengkekaran Pensesaran dan pengkekaran Pensesaran dan pengkekaran Pensesaran dan pengkekaran

Denudasional, deposisi

Denudasional

Denudasional

Denudasional Denudasional Denudasional Denudasional Denudasional

-

Deposisi

-

Denudasional

-

Denudasional

-

Deposisi

-

Deposisi

-

Deposisi

334

PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37 HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008

Gambar 1. Sebaran fisiografi Pegunungan Selatan (dari Pannekoek, 1949; Van Bemmelen, 1949; dengan modifikasi). Secara umum Pegunungan Selatan dibagi menjadi dua, yaitu Pegunungan Selatan Jawa Barat dan Pegunungan Selatan Jawa Timur.

Gambar 2. Fisiografi Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat (Van Bemmelen, 1949; dengan perubahan). Bagian utara didominasi oleh lajur-lajur pegunungan, bagian tengah ditempati oleh depresi topografi, dan bagian selatan didominasi oleh topografi kars.

335

PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37 HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008

Gambar 3. Peta geomorfologi Pegunungan Selatan. Keterangan simbol unit morfologi ada pada Tabel 1.

336

More Documents from "naufalian"