296681_20445_makalah Agama.docx

  • Uploaded by: fadly fauzy
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 296681_20445_makalah Agama.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,091
  • Pages: 13
MAKALAH ETOS KERJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan agama

Disusun Oleh : Anastasya Salsabila Zulkarnaen

185311035

Muhammad Hanif Haroen

185311000

Muhammad Kemal Jatnika

185311051

Politeknik Negeri Bandung Jurusan Administrasi Niaga Program Studi D3 Bahasa Inggris 2019

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Abstrak Pribadi seorang muslim harus meyakini bahwa nilai iman akan terasa setelah dilakukan dalam bentuk amalan soleh. Iman dan Islam bukan hanya sekedar ilmu sesaat. Kita juga harus pandai dalam mempraktikannya dalam kehidupan. Contohnya, manusia sadar bahwa bekerja harus diiringin oleh tujuan untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat (shalih) yang kemudian lahir melahirkan suatu peningkatan perbaikan (ishlah). Denagn cara pandang seperti itu, sadarlah bahwa setiap muslim tidaklah sekedar untuk bekerja. Asal mendapat gaji, dapat surat pengangkatan, atau sekedar menjaga gengsi supaya tidak disebut sebaai penganggur. Hal ini karena kesadaran bekerja secara produktif serta dilandasi semangat tauhid dan tanggung jawab uluhiyah merupakan salah satu ciri yang khas dari karakter atau kepribadian seorang muslim. Maka dari itulah muncul kata etos kerja karena kata etos merupakan tindakan yang sudah diserasikan dengan cara islami. Sehingga kita dapat memanggilnya sebagai Etos Dalam islam. Etos yang memiliki sikap dan harapan seseorang

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Perintah Bekerja Dalam Pandangan Islam

Islam bukanlah sekedar seperangkat konsep normatif ideal, melainkan juga suatu bentuk praktik dari amal aktual, amal yang nyata. Umat muslim haruslah terlebih dahulu menampilkan dirinya seabagai manusia yang amanah, manusia yang menunjukkan sikap pengabdian karena mereka sadar bahwa kehadirannya di muka bumi tidak lain hanya untuk mengabdi, sebagaimana firman-Nya. “Dan, Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzaariyaat: 56) Ayat ini menghujam di setiap hati sanubari pribadi muslim bahwa ada manusia yang enggan bekerja, malas, dan tidak mau mendayagunakan seluruh potensi dirinya untuk menyatakan keimanan dalam bentuk amal prestatif, sesungguhnya dia itu melawan fitrahnya sendiri dan menurunkan derajat identitas dirinya sebagai manusia. Apabila bekerja dan melayani itu adalah fitrah manusia, jelaslah bahwa manusia yang enggan bekerja, malas, dan tidak mau mendayagunakan seluruh kemampuan manusia, kemudian runtuh dalam kedudukan yang lebih hina dari binatang (al-A’raaf: 172, 176). Manusia hanya dapat memanusiakan dirinya dengan iman, ilmu, dan amal. Perintah bekerja telah Allah wajibkan semenjak nabi yang pertama, Adam Alaihi Salam sampai nabi yang terakhir, Muhammmad SAW. Perintah ini tetap berlaku kepada semua orang tanpa membeda-bedakan pangkat, status dan jabatan seseorang. Berikut ini akan di nukilkan beberapa dalil dari Al-Qur’an tentang kewajiban bekerja.

“Kami

telah

membuat

waktu

siang

untuk

mengusahakan

kehidupan

(bekerja).” (QS. Naba” : 11) “Kami telah menjadikan untukmu semua didalam bumi itu sebagai lapangan mengusahakan kehidupan (bekerja) ; Tetapi sedikit sekali diantaramu yang bersyukur.” (QS. A”raf : 10) ” Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum’ah : 10) ” Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk : 15) ” … dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah (bekerja); dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah….” (QS. Al-Muzzammil : 20) Bagi seorang muslim, makna bekerja berarti niat yang kuat untuk mewujudkan hasil kerja yang optimal atau outstanding performance, bukan hanya memberikan niai rata-rata. Betapa besarnya penghargaan Islam terhadap makna bekerja ini, sehingga setiap pekerjaan yang bekerja sekedar untuk bekerja, asal mendapat gaji, dapat surat pengangkatan atau sekedar menjaga gengsi supaya tidak disebut sebagai penganggur. Hal ini karena kesadaran bekerja secara produktif serta dilandasi semangat tauhid dan tanggung jawab uluhiyah merupakan salah satu ciri yang khas dari karakter atau kepribadian seorang muslim.

Dalam kesempatan lain, Rosulullah memberikan motivasi kepada hambanya melalui sabdanya, “Janganlah sekali-kali di antara kalian ada yang duduk-duduk enggan mencari karunia Allah, sambil berdoa, ‘Ya Allah, limpahkanlah karunia kepadaku,’ padahal ia telah mengetahui bahwa langit tidak pernah menurunkan hujan emas dan perak.” Dengan pernyataan hadits ini tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk mengalah pada tantangan, apalagi menjadi manusia yang jamud kehilangan semangat inovatif. Seorang muslim yang memiliki etos kerja adalah mereka yang selalu obsesif atau ingin berbuat sesuatu yang penuh manfaat (shalih) yang merupakan bagian dari amanah Allah. Itulah sebabnya, cara pandang kita dalam melaksanakan suatu pekerjaan harus didasarkan tiga dimensi kesadaran, yaitu : 1. Makrifat Dimensi makrifat (aku tahu) harus dihayati oleh setiap subjek pelaku kerja sehingga dia mampu mengambil posisi yang jelas dalam kedudukannya sebagai pengemban amanah yaitu berupa pekerjaan. 2. Hakikat Dimensi hakikat (aku berharap) adalah sikap dirinya untuk menetapkan sebuah tujuan ke mana arah tindakan dia langkahkan. Harapan-harapan tersebut membuncah di dalam hati, akal pikiran, dan tindakkannya. 3. Syariat Pengetahuan tentang peran dan potensi diri, tujuan, serta harapanharapannya tidaklah mempunyai arti kecuali dia praktikan dalam bentuk tindakan nyata menempuh jalan yang telah dia yakini akan kebenarannya itu. Dia sadar bahwa tindakan lebih membekas daripada sekedar berkata (lisaanul hal afshahu min lisaanil maqal). Bekerja adalah manifestasi kekuatan iman karena dorongan iman Allah,

“Katakanlah, ‘Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui.’” (az-Zumar: 39)

Keseimbangan Hidup Dunia Akhirat 1. Kehidupan Akhirat Adalah Tujuan Dalam surat al-Qashash ayat 77, Allah mengingatkan: Allah SWT berfirman, " Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat ". Di sini terlihat dengan jelas bahwa yang harus kita kejar adalah kebahagiaan hidup akhirat. Mengapa? Karena di sanalah kehidupan abadi. Tidak ada mati lagi setelah itu. Karenanya dalam ayat yang lain Allah berfirman: " Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya " (QS. Al-Ankabut: 64). Lalu, apa arti kita hidup di dunia?... Dunia tempat kita mempersiapkan diri untuk akhirat. Sebagai tempat persiapan, dunia pasti akan kita tinggalkan. Ibarat terminal, kita transit di dalamnya sejenak, sampai waktu yang ditentukan, setelah itu kita tinggalkan dan melanjutkan perjalanan lagi. Bila demikian tabiat dunia, mengapa kita terlalu banyak menyita hidup untuk keperluan dunia? Diakui atau tidak, dari 24 jam jatah usia kita dalam sehari, bisa dikatakan hanya beberapa persen saja yang kita gunakan untuk persiapan akhirat. Selebihnya bisa dipastikan terkuras habis oleh kegiatan yang berputar-putar dalam urusan dunia.

2. Berusaha Memperbaiki Kehidupan Dunia Allah SWT berfirman: ” Dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu ". Ayat di atas dengan jelas bahwasannya Allah memerintahkan umat Islam untuk selalu

berusaha menggapai kebahagiaan akhirat, tetapi jangan

melupakan kehidupan di dunia ini. Meskipun kebahagiaan dan kenikmatan dunia bersifat sementara tetapi tetaplah penting dan agar tidak dilupakan, sebab dunia adalah ladangnya akhirat. Masa depan termasuk kebahagiaan di akhirat kita, sangat bergantung pada apa yang diusahakan sekarang di dunia ini. Allah telah menciptakan dunia dan seisinya adalah untuk manusia, sebagai sarana menuju akhirat. Allah juga telah menjadikan dunia sebagai tempat ujian bagi manusia, untuk mengetahui siapa yang paling baik amalnya, siapa yang paling baik hati dan niatnya. Allah mengingatkan: ” Tidakkah kalian perhatikan bahwa Allah telah menurunkan untuk kalian apaapa yang ada di langit dan di bumi dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya lahir dan batin ” (QS. Luqman: 20).

Untuk mengelola dunia dengan sebaik-baiknya, maka manusia memerlukan berbagai persiapan, sarana maupun prasarana yang memadai. Karena itu maka manusia perlu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, setidaknya keterampilan yang mencukupi dan profesionalisme yang akan memudahkan dalam proses pengelolaan tersebut. Meskipun demikian, karena

adanya sunatullah, hukum sebab dan akibat, tidak semua manusia pada posisi dan kecenderungan yang sama. Karena itu manusia apa pun; pangkat, kedudukan dan status sosial ekonominya tidak boleh menganggap remeh profesi apa pun, yang telah diusahakan manusia. Allah sendiri sungguh tidak memandang penampakan duniawiah atau lahiriah manusia. Sebaliknya Allah menghargai usaha apa pun, sekecil apa pun atau sehina apa pun menurut pandangan manusia, sepanjang dilakukan secara profesional, baik, tidak merusak dan dilakukan semata-mata karena Allah. Allah hanya memandang kemauan, kesungguhan dan tekad seorang hamba dalam mengusahakan urusan dunianya secara benar. Allah SWT menegaskan bahwa: ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kedudukan suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah kondisi, kedudukan yang ada pada diri mereka sendiri (melalui kerja keras dan kesungguhannya” (QS. Ar - Ro’d: 11).

Allah juga mengingatkan manusia karena watak yang seringkali serakah, egois /sifat ananiyah dan keakuannya, agar dalam mengelola dunia jangan sampai merugikan orang lain yang hanya akan menimbulkan permusuhan dan pertumpahan darah (perang) antar sesamanya. Manusia seringkali karena keserakahannya berambisi untuk memiliki kekayaan dan harta

benda,

kekuasaan,

pangkat

dan

kehormatan

dengan

tidak

memperhatikan atau mengabaikan hak-hak Allah, rasul-Nya dan hak-hak manusia lain. Karena itu Allah mengingatkan bahwa selamanya manusia akan terhina dan merugi, jika tidak memperbaiki hubungannya dengan Allah (hablun minallah) dan dengan sesamanya-manusia (hablun minannaas). Inilah landasan yang penting bagi terciptanya harmonisme kehidupan masyarakat. Ia juga merupakan landasan penting dan prasyarat masyarakat yang bermartabat

dan berperadaban menuju terciptanya masyarakat madani yang damai, adil, dan makmur.

2.2 Pekerjaan Sebagai Sarana Menuju Surga

Setiap pekerjaan yang dilaksanakan sesuai ketentuan sesuai syariat tentu akan mengantarkan pelaksananya menuju pintu surga. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menjalani pekerjaan, yaitu : a. Niat ikhlas karena Allah SWT Setiap perbuatan manusia itu disertai niat. Tergantung niat apa yang mereka keluarkan. Dalam bekerja, niat ikhlas kepada Allah sangatlah penting nilainya. Dengan mengutarakan niat ikhlas, maka ia telah ikhlas memulai aktivitas pekerjaannya dengan disertai dzikir kepada Allah. Ketika berangkat dari rumah, lisannya basah dengan doa bismillahi tawakkaltu alallah.. la haula wala quwwata illa billah.. Sedangkan kalimat tahmid menggema dalam dirinya, membasahi lisannya selama perjalanan pulang.

b. Itqan Mengamalkan sifat tekun sungguh-sungguh, dan sungguh-sungguh dan profesional dalam bekerja merupakan syarat kedua agar pekerjaan dijadikan sarana mendapatkan surga dari Allah SWT. Contoh perbuatannya adalah, tuntas melaksanakan pekerjaan yang diamanahkan kepadanya dan memiliki keahlian di bidangnya. Dalam sebuah ‘hadits Rasulullah bersabda; “Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, ia menyempurnakan pekerjaannya.” (HR. Tabrani) Hadits tersebut juga menjelaskan bahwa alangkah lebih baik untuk kita bekerja pada bidang yang kita tekuni sebelumnya sehingga pelaksanaan bekerja dapat lancar dan tidak ada niat malas karena tidak sanggup di dalamnya.

c. Jujur dan amanah Hakekat pekerjaan dikatakan sebagai amanah secara duniawi. Sama halnya seperti sholat, kegiatan tersebut merupakan amanah. Setiap hamba Allah diwajibkan untuk bekerja dan tiddak malas-malasan. Tidak berdusta dalam setiap bisnis yang dijalaninya. Implementasi jujur dan amanah dalam bekerja diantaranya adalah dengan tidak mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, tidak curang, obyektif dalam menilai, dan sebagainya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: “Seorang pebisnis yang jujur lagi dapat dipercaya, (kelak akan dikumpulkan) bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada”. (HR. Turmudzi)

d. Menjaga Etika Sebagai Seorang Muslim Pada dasarnya, seorang muslim memiliki etika untuk berbuat segala hal. Dalam bekerja terdapat adab-adab yang harus ditekuni sebagai etika pelaksanaannya. Melaksanakan etika merupakan ciri kesempurnaan iman bagi seorang mu’min. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda : “Sesempurna-sempurnanya keimanan seorang mu’min adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Turmudzi) e. Tidak Melanggar Prinsip-Prinsip Syariah Aspek lain dalam etika bekerja dalam Islam adalah tidak boleh melanggar prinsipprinsip syariah dalam pekerjaan yang dilakukannya. Tidak melanggar prinsip syariah ini dapat dibagi menjadi beberapa hal :Pertama dari sisi dzat atau substansi dari pekerjaannya, seperti memporduksi tidak boleh barang yang haram, menyebarluaskan kefasadan (seperti pornografi), mengandung unsur riba, maysir, gharar dsb.Kedua dari sisi penunjang yang tidak terkait langsung dengan pekerjaan, seperti risywah, membuat fitnah dalam persaingan, tidak menutup aurat, ikhtilat antara laki-laki dengan perempuan, dsb.Hai orang-orang yang beriman, ta`atlah kepada Allah dan ta`atlah

kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu. (QS. Muhammad, 47 : 33)

f.

Menghindari Syubhat Syubhat dapat ditemukan dalam dunia bekerja. Seperti halnya tidak mengetahui

kejelasan dari suatu perkara yang samar degan keputusannya. Kita bisa saja tidak tahu kapan perbuatan kita dalam bekerja atau berwirausaha dapat dikatakan dzalim karena kita tidak mengetahui ilmunya. Maka dari itu alangkah baiknya bertanya dahulu kepada kejelasan tindakan kita di mata islam sebelum melaksanakannya. Oleh karena itulah, kita diminta hati-hati dalam kesyubhatan ini. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, "Halal itu jelas dan haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara-perkara yang syubhat. Maka barang siapa yang terjerumus dalam perkara yang syubhat, maka ia terjerumus pada yang diharamkan..." (HR. Muslim)

g. Menjaga Ukhuwah Islamiyah Kekuatan iman dan spritiual merupakan salah satu aspek sebagai pengantar hambanya yang bekerja untuk mendapatkan surga. Dalam dunia bekerja dan kewirausahaan terkadang terlibat dalam suatu pertikaian karena satu dan lain hal. Maka dari itu dengan adanya ukhuwah islamiyah, maka kita bisa tenghindari dari masalah-masalah yang dapat menjeremuskan kita kepada dosa.

BAB III KESIMPULAN 3.1 Kesimpulan

Daftar Pustaka Al-Quran Srijanti, Purwanto, S,K. Wahyudi Pramono.2006. Etika Membangun Masyarakat

Islam Modern. Graha Ilmu: Yogyakarta, Edisi pertama, Jilid 1. Yogyakarta : Graha Ilmu. Tasmata, K.H. Toto.2002. Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta : Gema Insani. Islam Modern. Graha Ilmu: Yogyakarta, Edisi pertama, Jilid 1. Yogyakarta : Graha Ilmu. Tasmata, K.H. Toto.2002. Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta : Gema Insani. Islam Modern. Graha Ilmu: Yogyakarta, Edisi pertama, Jilid 1. Yogyakarta : Graha Ilmu.

More Documents from "fadly fauzy"