BAB II LANDASAN TEORI A. Sistem Distribusi Sistem distribusi merupakan bagian dari sistem tenaga listrik yang paling dekat dengan pelanggan. Sistem distribusi juga merupakan bagian sistem tenaga listrik yang paling banyak mengalami gangguan, sehingga masalah utama dalam operasi sistem distribusi adalah mengatasi gangguan. Sistem distribusi tenaga dalam hal ini berfungsi untuk menyalurkan atau mendistribusikan tenaga listrik dari gardu induk (GI) ke pusat-pusat beban berupa gardu distribusi (trafo distribusi) atau secara langsung mensuplai tenaga listrik ke konsumen dengan mutu yang memadai. Dengan demikian, sistem distribusi ini menjadi suatu sistem tersendiri, karena sistem distribusi ini memiliki peralatan-peralatan yang saling berkaitan dalam operasinya untuk menyalurkan tenaga listrik. Ilustrasi instalasi sistem distribusi tenaga listrik digambarkan oleh Gambar 2.1.
Gardu Induk
Jaringan Tegangan Menengah (JTM)
Sekering T .M. Trafo Distribusi
Rel T.R. Sekering T .R. Jaringan Tegangan Rendah (JTR) Gardu Distribusi Tiang Sambungan Rumah
Pelanggan
Gambar 2.1 Instalasi Sistem Distribusi Berdasarkan Gambar 2.1 di atas, sistem distribusi tenaga listrik dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Berdasarkan Kelas Tegangan Berdasarkan kelas tegangan sistem distribusi diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu : Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
5
a. Distribusi Primer Merupakan jaringan yang menyalurkan tenaga listrik dari gardu distribusi sampai dengan trafo distribusi, beroperasi dengan tegangan nominal 20 kV/11,6 kV. Sering disebut jaringan tegangan menengah (JTM), jaringan dapat berupa saluran kabel tegangan menengah (SKTM) atau saluran udara tegangan menengah (SUTM). b. Distribusi Sekunder Merupakan jaringan yang menyalurkan tenaga listrik dari keluaran trafo distribusi sampai
dengan alat penghitung dan pembatas (APP) di instalasi
konsumen, beroperasi dengan tegangan nominal 380 V/220 V. Sering disebut jaringan tegangan rendah (JTR), jaringan dapat berupa saluran kabel tegangan rendah (SKTR) atau saluran udara tegangan rendah (SUTR). 2. Berdasarkan Konfigurasi Jaringan Berdasarkan konfigurasi jaringan sistem distribusi diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu : a. Pola Radial Jaringan pola radial adalah jaringan yang setiap salurannya hanya mampu menyalurkan daya dalam satu aliran daya. Jaringan ini merupakan pola yang paling sederhana dan ekonomis. Gambar 2.2 menggambarkan saluran berupa feeder-feeder radial yang keluar dari GI. Sepanjang feeder terdapat gardu-gardu distribusi yang diletakan sedekat mungkin dengan beban. Keuntungan dari jaringan pola radial adalah tidak rumit dan lebih murah dibanding dengan pola yang lain. Namun keandalan pola ini lebih rendah dibanding dengan pola lainnya. Kurangnya keandalan disebabkan karena hanya terdapat satu jalur utama yang menyuplai gardu distribusi, sehingga apabila jalur utama tersebut mengalami gangguan, maka seluruh gardu distribusi akan ikut padam. Kerugian lain yaitu kualitas tegangan pada gardu distribusi yang paling ujung kurang baik, hal ini dikarenakan jatuh tegangan terbesar ada di ujung jaringan. Peralatan proteksi yang biasa dipasang pada jaringan pola ini berupa recloser sebagai pengaman saluran utama dan fuse cut out sebagai pengaman saluran percabangan. Fungsi peralatan proteksi tersebut adalah untuk membatasi Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
6
daerah yang mengalami pemadaman total, yaitu daerah saluran sesudah atau sebelum titik gangguan selama gangguan belum teratasi.
GD1
GD2
GD3
GD4
GD5
GD6
PMT PMT GI
Gambar 2.2 Jaringan Sistem Distribusi Pola Radial b. Pola Loop Jaringan pola loop adalah jaringan yang dimulai dari satu titik pada rel daya yang berkeliling di daerah beban kemudian kembali ke titik rel daya semula. Pola ini ditandai dengan adanya dua sumber pengisian yaitu sumber utama dan sumber cadangan. Jika salah satu sumber pengisian (saluran utama) mengalami gangguan, akan dapat digantikan oleh sumber pengisian yang lain (saluran cadangan). Konfigurasi jaringan sistem distribusi pola loop ini ada 2 macam yaitu: i.
Bentuk open loop, bila dilengkapi dengan normally open switch yang terletak pada salah satu bagian gardu distribusi, dalam keadaan normal rangkaian selalu terbuka,
ii.
Bentuk close loop, bila dilengkapi dengan normally close switch yang terletak pada salah satu bagian diantara gardu distribusi, dalam keadaan normal rangkaian selalu tertutup, Gambar 2.3 merupakan konfigurasi jaringan sistem ditribusi pola loop
dalam kondisi normally open. Apabila pada salah satu feeder mengalami gangguan maka pelanggan pada feeder tersebut akan mendapat pasokan listrik dari feeder yang normal dengan merubah posisi LBS menjadi close. Jaringan sistem distribusi pola loop ini, biasanya digunakan pada sistem distribusi yang melayani beban dengan kebutuhan kontinuitas pelayanan yang baik. Pola jaringan ini mempunyai keandalan yang lebih baik daripada pola jaringan primer radial.
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
7
GD1
GD2
PMT
GD3 LBS
PMT GI GD4
GD5
GD6
Gambar 2.3 Jaringan Sistem Distribusi Pola Loop Normally Open c. Pola Spindle Jaringan sistem distribusi dengan konfigurasi spindle digambarkan oleh Gambar 2.4 yang merupakan pengembangan dari jaringan radial dan loop yang terpisah. Beberapa saluran yang keluar dari gardu induk (GI) diarahakan menuju tempat yang disebut gardu hubung (GH), kemudian antara GI dan GH tersebut dihubungkan dengan satu slauran yang disebut feeder express. Pada pola ini GD terdapat disepanjang saluran dan terhubung seri. Dalam keadaan normal, semua PMT dari setiap feeder yang keluar dari GI dalam keadaan masuk kecuali PMT dan PMS feeder yang ada di GH. Hanya PMT dan PMS dari feeder express di GH yang dalam keadaan masuk. Dalam keadaan gangguan, pola jaringan ini bekerja seolah-olah seperti pola loop yang mendapat pasokan melalui feeder express dengan cara memasukan PMT dan PMS yang berada di GH pada feeder yang mengalami gangguan, dengan catatan daerah yang terkena gangguan sudah dipisahkan terlebih dahulu dari sistem yang sehat. Konfigurasi jaringan sistem distribusi pola spindle mempunyai keuntungan sebagai berikut; i.
Sederhana dalam hal teknis pengoperasian seperti radial,
ii.
Memberikan kontinuitas pelayanan lebih baik daripada pola radial maupun pola loop,
iii.
Mudah dalam melakukan pengecekan beban masing-masing saluran,
iv.
Mudah dalam penentuan daerah atau bagian yang terganggu,
v.
Cocok digunakan pada daerah perkotaan dengan kerapatan beban yang tinggi.
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
8
GD1
GD2
GD3
Feeder Express
GH
GI GD4
GD5
GD6
Gambar 2.4 Jaringan Distribusi Pola Spindle 3. Berdasarkan Konfigurasi Saluran Secara
umum
berdasarkan
konfigurasi
saluran
sistem
distribusi
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu : a. Konfigurasi Horizontal b. Konfigurasi Vertikal c. Konfigurasi Delta 4. Kontinuitas Pelayanan Kontinuitas pelayanan merupakan salah satu unsur dari mutu pelayanan yang nilainya akan tergantung kepada jenis sarana penyalurannya dan sarana peralatan pengaman yang dipilihnya. Tingkat kontinuitas pelayanan dari peralatan penyalur tenaga listrik disusun berdasarkan lamanya upaya untuk pemulihan suplai tenaga listrik ke konsumen setelah mengalami pemutusan. Pada SPLN 523: 1983 tentang Pola Pengamanan Sistem, tingkat kontinuitas pelayanan tenaga listrik tersusun seperti berikut: a. Kontinuitas tingkat 1 Pada tingkat ini memungkinkan jaringan berada pada kondisi padam dalam waktu berjam-jam dalam rangka mencari dan memperbaiki bagian-bagian yang mengalami kerusakan karena gangguan. b. Kontinuitas tingkat 2 Kondisi jaringan padam dimungkinkan dalam waktu beberapa jam untuk keperluan mengirim petugas kelapangan, melokalisir kerusakan dan melakukan pengaturan switching untuk menghidupkan suplai beban pada kondisi sementara dari arah atau saluran lain.
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
9
c. Kontinuitas tingkat 3. Dimungkinkan padam dalam waktu beberapa menit untuk kegiatan pengaturan switching dan pelaksanaan switching oleh petugas yang berada di gardu induk atau pelaksanaan deteksi
dengan bantuan Distribution Control
Centre ( DCC ). d. Kontinuitas tingkat 4 Dimungkinkan padam dalam beberapa detik, pengaturan switching dan pengamanan dilaksanakan secara otomatis. e. Kontinuitas tingkat 5 Dimungkinkan tanpa adanya pemadaman dengan melengkapi instalasi cadangan terpisah dan otomatisasi penuh. Jaringan distribusi untuk luar kota (pedesaan) terdiri dari saluran udara dengan susunan jaringan menggunakan konfigurasi radial yang memenuhi kontinuitas tingkat 1 sedangkan untuk daerah dalam kota terdiri dari saluran udara dengan susunan jaringan menggunakan konfigurasi loop atau yang lebih baik yaitu konfigurasi spindle dengan bantuan DCC dimana tingkat kontinuitas sistem ini akan menjadi lebih baik lagi. Tingkat keandalan suatu sistem merupakan kebalikan dari besarnya jam pemadaman atau pemutusan pelayanan. Jadi tingkat keandalan yang tinggi dapat diperoleh dengan memilih jaringan dengan tingkat kontinuitas pelayanan yang tinggi dan frekuensi pemadaman karena gangguan yang rendah. 5. Sistem Distribusi Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta 70 atau 150 kV
20 kV
Gambar 2.5 Pola Pentanahan Langsung Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
10
Pola sistem distribusi di wilayah Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta digambarkan oleh Gambar 2.5 yakni dengan menggunakan sistem 4 kawat ( 3 fase dan 1 netral) dengan pentanahan netral secara langsung. Sistem ini melayani beban fase tiga 4 kawat dengan tegangan nominal 20/11,6 kVdan fase tunggal 2 kawat dengan tegangan nominal 11,6 kV. Di sepanjang jaringan, kawat netral ditanahkan dan dipakai bersama untuk saluran tegangan menengah dan saluran tegangan rendah dibawahnya. Sistem pelayanan ini menggunakan pola radial dengan kemungkinan saluran utama antara jaringan yang berdekatan dapat saling berhubungan dalam keadaan darurat. Pada sistem distribusi pola ini memiliki sistem proteksi sebagai berikut; a. Penutup Balik Otomatis Sebagai pengaman utama pada jaringan ini dengan menggunakan PMT yang dipasang di gardu induk. Pada jaringan dengan panjang >20 km pengaman yang dipasang pada sisi hulu tidak lagi peka untuk mengidentifikasi gangguan yang berada jauh pada ujung hilir, sehingga untuk pengaman terhadap gangguan temporer maupun untuk membagi jaringan dalam beberapa seksi guna melokalisir daerah yang terganggu sekecil mungkin maka dipasang PBO pada jarak tertentu sepanjang saluran utama. b. Saklar Seksi Otomatis Model saklar ini dipergunakan sebagai alat pemutus rangkaian untuk memisahkan saluran utama dalam beberapa seksi agar pada saat gangguan permanen luas daerah yang terganggu diusahakan sekecil mungkin. Saklar seksi otomatis pada sistem distribusi pola ini akan membuka pada saat rangkaian tidak ada arus yang mengalir dan PBO tidak menutup kembali. Sakalar ini bekerja berdasarkan penginderaan arus hubung singkat dan hitungan trip PBO, dengan demikian saklar ini dipasang apabila dibagian hulu terpasang PBO. c. Fuse Cut Out Fuse Cut Out dipasang pada titik percabangan antara saluran utama dan saluran cabang, juga dipasang pada sisi primer trafo distribusi sebagai pengaman saluran terhadap gangguan-gangguan yang bersifat permanen antara fase dengan tanah yang harus dikoordinasikan dengan PBO.
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
11
B. Proteksi Sistem Distribusi Proteksi sistem distribusi merupakan seperangkat peralatan yang dipergunakan untuk mengamankan sistem dari gangguan listrik atau beban lebih, yaitu dengan cara memisahkan bagian sistem yang terganggu dengan sistem yang tidak terganggu, sehingga sistem kelistrikan yang tidak terganggu dapat terus mengalirkan arus ke beban.Pada dasarnya sistem proteksi dalam sistem distribusi mempunyai peranan sebagai berikut : 1. Mencegah atau membatasi kerusakan pada jaringan beserta peralatannya dari akibat adanya gangguan listrik, 2. Menjaga keselamatan umum dari akibat gangguan listrik, 3. Meningkatkan kelangsungan pelayanan tenaga listrik kepada konsumen. 1. Persyaratan Sistem Proteksi a. Harus mampu melakukan koordinasi dengan sistem tegangan tinggi (gardu induk, transmisi dan pembangkit), b. Harus mampu mengamankan dari kerusakan, c. Harus mampu membatasi kemungkinan terjadinya kecelakaan, d. Harus dapat secepatnya membebaskan pemadaman karena gangguan temporer, e. Harus dapat membatasi daerah pemadaman akibat gangguan, f. Harus dapat mengurangi frekuensi pemutusan tetap karena gangguan. 2. Persyaratan Alat Proteksi Sebagai pengaman jaringan distribusi tenaga listrik, semua peralatan proteksi yang terpasang pada sistem harus mampu bekerja secara optimal, sehingga sistem dapat dipastikan aman dari gangguan. Untuk dapat bekerja secara optimal, maka semua peralatan proteksi tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Sensitivty (Kepekaan) Suatu pengaman bertugas mengamankan suatu alat atau bagian tertentu dari sistem tenaga listrik
termasuk dalam jangkauan pengamanannnya.Tugas
suatu pengaman yaitu mendeteksi adanya gangguan yang terjadi didaerah pengamanannya dan harus cukup sensitif untuk mendeteksi dengan nilai minimum dan bila perlu mentripkan PMT atau pelebur untuk memisahkan bagian Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
12
yang terganggu dengan bagian yang sehat. Pada prinsipnya relai harus cukup peka sehingga dapat mendeteksi gangguan di kawasan pengamanannya meskipun dalam kondisi yang memberikan rangsangan minimum. b. Selectivity (Ketelitian) Suatu pengaman harus dapat memisahkan bagian sistem yang terganggu sekecil mungkin yaitu hanya seksi yang terganggu saja yang menjadi kawasan pengamanan utamanya. Pengamanan yang demikian disebut pengaman yang selektif. Jadi relai harus dapat membedakan apakah gangguan terletak di kawasan pengamanan utamanya dimana ia harus bekerja cepat atau terletak di seksi berikutnya dimana ia harus bekerja dengan waktu tunda atau harus tidak bekerja sama sekali karena gangguannya di luar daerah pengamanannya atau sama sekali tidak ada gangguan. c. Reliability (Keandalan) Yaitu tingkat kepastian bekerjanya suatu alat pengaman. Dalam keadaan normal pengaman tidak boleh bekerja, tetapi harus pasti dapat bekerja bila diperlukan. Pengaman tidak boleh salah bekerja, jadi susunan alat-alat pengaman harus dapat diandalkan. Keandalan keamanan akan tergantung kepada desain, pengerjaan dan perawatannya. d. Speed (Kecepatan) Semakin cepat pengaman bekerja tidak hanya dapat memperkecil kerusakan tetapi juga dapat memperkecil kemungkinan meluasnya akibat-akibat yang ditimbulkan oleh gangguan. Untuk menciptakan selektifitas yang baik mungkin saja suatu pengaman terpaksa diberi waktu tunda (time delay) antara pengaman yang terpasang. Namun waktu tunda itu harus secepat mungkin, setelah waktu minimum yang disetkan ke relay untuk menghindari thermal stress. e. Ekonomis Dengan biaya yang sekecil-kecilnya diharapkan peralatan proteksi mampu memberikan pengamanan yang sebesar-besarnya. 3. Peralatan Proteksi Sistem Distribusi Peralatan proteksi yang terpasang pada sistem distribusi bermacam-macam yang ditempatkan menurut fungsinya masing-masing. Adapun macam-macam peralatan proteksi sistem distribusi adalah sebagai berikut : Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
13
a. Saklar Pemutus Tenaga (PMT) PMT merupakan peralatan proteksi utama sistem distribusi yang ditempatkan disisi hulu (gardu induk) jaringan yang beroperasi dengan cara menutup dan membuka rangkaian listrik dalam keadaan tanpa beban, beban penuh dan gangguan arus hubung singkat sesuai dengan ratingnya. Pada PMT ini terdapat media isolasi yang berfungsi untuk mengisolasi dan memadamkan busur api saat terjadi pemutusan rangkaian. Media isolasi pada PMT ada yang menggunakan minyak, hampa udara (vakum) dan gas SF6. Namun kebanyakan yang digunakan PLN masa kini adalah dengan menggunakan media isolasi hampa udara dengan alasan ekonomis juga memberikan unjuk kerja yang optimal.
Gambar 2.6 Pemutus Tenaga 20 KV b. Penutup Balik Otomatis (PBO) /Recloser Recloser merupakan peralatan proteksi sejenis PMT yang dilengkapi dengan peralatan kontrol dipasang pada tiang SUTM yang difungsikan sebagai peralatan hubung untuk manuver jaringan dan dapat membuka secara otomatis apabila saluran yang dilayaninya ada gangguan arus lebih dan menutup kembali secara otomatis beberapa saat setelah membuka. Jumlah buka tutupnya dikoordinasikan dengan PMT utama yang ada di gardu induk. Untuk mendeteksi adanya indikasi gangguan maka recloser ini dilengkapi dengan reclosing relay (relai penutup balik). Pemasangan recloser pada SUTM dimaksudkan agar ketika terjadi gangguan temporer, jaringan dapat normal kembali dengan sendirinya dan ketika terjadi gangguan yang bersifat permananen akan mengurangi daerah padam. Recloser ditempatkan pada SUTM saluran utama dengan panjang 25 km. Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
14
Gambar 2.7 Penutup Balik otomatis / Recloser c. Saklar Seksi Otomatis (SSO) /Sectionalizer Sectionalizer merupakan peralatan proteksi yang dilengkapi kontrol elektronik yang digunakan untuk mengisolir seksi SUTM yang terganggu secara otomatis, agar daerah yang terganggu sekecil mungkin. Pengaman ini bekerja berdasarkan pengindra tegangan, maka dari itu SSO akan selalu berkaitan dengan pengaman di sisi hulunya (seperti recloser). Pengaman ini menghitung jumlah operasi pemutusan yang dilakukan oleh pelindung backupnya secara otomatis di sisi hulunya (biasanya 2 atau 3 kali trip) dan akan membuka pada saat peralatan pengaman di sisi hulunya dalam posisi terbuka. SSO biasanya ditempatkan pada SUTM dipasang seri dengan recloser (setelah recloser) bukan diantara 2 recloser (ditengah-tengah). Namun pengaman ini akan sulit bila dikoordinasikan dengan fuse cut out, karena saat terjadi gangguan fuse cut out akan langsung putus sehingga tegangan hilang dan SSO akan terbuka.
Gambar 2.8 Sectionalizer d. Pengaman Lebur (PL) /Fuse Cut Out (FCO) Fuse Cut Out seperti yang terlihat pada Gambar 2.9 merupakan alat proteksi sistem distribusi yang bekerja dengan cara meleburkan bagian dari komponennya (fuse link) apabila jaringan yang dilayaninya mengalami arus gangguan hubung singkat atau beban lebih. Prinsip kerja dari fuse ini adalah jika Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
15
arus yang melewati fuse melebihi nilai arus rating nominal dari fuse maka elemen lebur (fuse link) akan panas dan terus meningkat jika telah mencapai titik leburnya maka elemen akan melebur (putus). Pada SUTM, FCO biasanya ditempatkan pada saluran percabangan dan sebagai alat pengaman peralatan seperti trafo distribusi.
Gambar 2.9 Fuse Cut Out e. Lightning Arrester (LA) Lightning Arrester adalah alat proteksi bagi peralatan listrik terhadap tegangan lebih, yang disebabkan oleh petir atau surja hubung (switching surge). Alat ini bersifat sebagai jalan pintas (by-pass) di sekitar isolasi. Arrester akan membentuk jalan yang mudah dilalui oleh arus kilat ke sistem pentanahan sehingga tidak menimbulkan tegangan lebih yang tinggi dan tidak merusak isolasi peralatan listrik. Jadi dalam keadaan normal, arrester berlaku sebagai isolator dan apabila timbul tegangan surja alat ini bersifat sebagai konduktor yang tahanannya relatif rendah, sehingga dapat meneruskan arus yang tinggi ke tanah. Setelah surja hilang, arrester harus dapat dengan cepat kembali menjadi isolasi. Pada sistem distribusi pemasangan arrester antara lain diletakan pada kabel keluaran gardu induk dengan saluran listrik udara, trafo tenaga yang terpasang di tiang dan di ujung jaringan atau ujung percabangan SUTM.
Gambar 2.10 Lightning Arrester Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
16
C. Penutup Balik Otomatis (PBO) / Recloser Penutup Balik Otomatis atau Recloser merupakan pemutus tenaga yang dilengkapi kotak kontrol elektonik (Electronic Control Box), yaitu suatu peralatan elektronik sebagai kelengkapan recloser dimana peralatan ini tidak berhubungan dengan tegangan menengah dan pada peralatan ini recloser dapat dikendalikan cara pelepasannya. Dari dalam kotak kontrol inilah pengaturan (setting) recloser dapat ditentukan. 1. Kegunaan PBO / Recloser Pada saat terjadi gangguan permanen, recloser dapat memisahkan secara cepat daerah atau jaringan yang terganggu sistemnya sehingga dapat memeperkecil daerah yang terganggu. Pada saat terjadi gangguan sesaat, recloser akan memisahkan daerah gangguan sesaat sampai gangguan tersebut dianggap hilang, dengan demikian recloser akan masuk kembali sesuai settingnya sehingga jaringan akan normal kembali secara otomatis. 2. Klasifikasi PBO / Recloser PBO atau Recloser dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Menurut Jumlah Fase i.
PBO 1 fase, digunakan untuk proteksi jaringan 1 fase seperti pada saluran percabangan. Tiga buah PBO 1 fase dapat juga digunakan pada sistem 1 fase. Bila terjadi gangguan permanen 1 fase, maka hanya 1 fase yang terganggu yang akan dikunci, sedangkan pelayanan untuk 2 fase lainnya yang sehat yang akan terus berjalan.
ii.
PBO 3 fase, digunakan bila dibutuhkan untuk penguncian ketiga fase secara bersamaan sehingga jika terjadi gangguan permanen 1 fase, beban 3 fase tidak akan bekerja dengan 2 fase.
b. Menurut Media Pemadam Busur Api i.
PBO dengan pemadam busur api minyak. Dalam hal ini minyak digunakan sebagai isolasi dan pemadam busur api. Pada saat kontak dipisahkan, busur api akan terjadi di dalam minyak, sehingga minyak menguap dan menimbulkan gelembung gas yang menyelubungi busur api. Minyak yang berada diantara kontak sangat efektif untuk memutuskan arus. Kelemahan Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
17
pemadam busur api dengan minyak yaitu minyak mudah terbakar dan kekentalan minyak memperlambat pemisahan kontak, sehingga tidak cocok untuk sistem yang membutuhkan pemutusan arus cepat. ii.
PBO dengan pemadam busur api hampa udara (vakum). Dalam hal ini vakum digunakan sebagai isolasi dan pemadam busur api. Pada PBO jenis ini, kontak ditempatkan pada suatu bilik vakum. Untuk mencegah udara masuk ke dalam bilik, maka bilik ini harus ditutup rapat dan kontak bergeraknya diikat ketat dengan perapat logam.
iii.
PBO dengan pemadam busur api gas SF6. Media gas yang digunakan pada tipe ini adalah gas SF6 (sulphur hexafluoride). Sifat gas SF6 murni adalah tidak berwarna, tidak berbau, tidak beracun dan tidak mudah terbakar. Sifat lain dari gas SF6 ialah mampu mengembalikan kekuatan dielektrik dengan cepat, tidak terjadi karbon selama terjadi busur api dan tidak menimbulkan bunyi pada saat pemutus tenaga menutup atau membuka .
c. Menurut Peralatan Kontrol i.
PBO dengan kontrol hidrolik. Digunakan dalam semua PBO 3 fase dan sebagian PBO 1 fase. Tipe ini dapat merasakan arus lebih melalui trip coil yang dihubung seri dengan jaringan.
ii.
PBO dengan kontrol elektornis. Pada PBO jenis ini akan memudahkan dalam mengubah karakteristik arus waktu, tingkat arus trip dan urutan operasi PBO tanpa harus menurunkan atau melepas PBO dari jaringan, merupakan kelebihan karena tidak mengganggu sistem.
3. Operasi Kerja PBO Operasi kerja PBO dapat disetel cepat atau lambar seperti yang terlihat pada Gambar 2.11. Penyetelan operasi cepat dimaksudkan agar ketika gangguan temporer jaringan bisa pulih kembali dalam waktu yang cepat. Sedangkan operasi lambat dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bekerja pada pengaman yang berada di sisi hilir pada saat terjadi gangguan yang bersifat permanen. Apabila recloser merasakan gangguan yang bersifat permanen, maka recloser akan trip sesuai settingnya sehingga mencapai kondisi lockout.
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
18
Operasi Lambat
Operasi Cepat
Close
Trip Lockout
Interval Reclosing
Gambar 2.11 Operasi Kerja PBO D. Pengaman Lebur (PL) / Fuse Cut Out (FCO) Pengaman Lebur atau FCO merupakan sebuah alat pemutus rangkaian listrik yang berbeban pada jaringan distribusi yang bekerja dengan cara meleburkan bagian dari komponennya (fuse link) yang telah dirancang khusus dan disesuaikan ukurannya. FCO berfungsi untuk melindungi jaringan terhadap arus beban lebih (over load current) yang mengalir melebihi dari batas maksimum, yang disebabkan karena hubung singkat (short circuit) atau beban lebih (over load). Konstruksi dari FCO ini jauh lebih sederhana bila dibandingkan dengan pemutus beban yang terdapat di Gardu Induk. Akan tetapi FCO ini mempunyai kemampuan yang sama dengan pemutus beban. FCO ini hanya dapat memutuskan satu saluran kawat jaringan di dalam satu alat. Apabila diperlukan pemutus saluran tiga fasa maka dibutuhkan FCO sebanyak tiga buah. 1. Klasifikasi Fuse cut out Fuse Cut Out dapat diklasifikasi dalam 2 macam fuse yaitu : a. Fuse letupan (Expulsion Fuse) Pengaman lebur atau FCO yang digunakan pada jaringan distribusi adalah jenis letupan. Kontruksi pengaman lebur letupan dapat dilihat pada Gambar 2.12. Fuse ini tidak dilengkapi dengan alat peredam busur api, sehingga bila digunakan untuk daya besar maka fuse tidak mampu meredam busur api yang timbul pada saat terjadi gangguan, akibatnya akan timbul ledakan. Karena itu fuse ini dikategorikan sebagai pengaman letupan. Istilah letupan (expulsi) merupakan suatu tanda yang dipergunakan fuse sebagai tanda adanya busur listrik yang melintas didalam tabung fuse yang Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
19
kemudian dipadamkannya. Peristiwa yang terjadi pada bagian dalam tabung fuse ini adalah peristiwa penguraian panas secara partial akibat busur dan timbulnya gas yang di deionisasi pada celah busurnya sehingga busur api segera menjadi padam pada saat arus menjadi nol. Tekanan gas yang timbul pada tabung akibat naiknya temperatur dan pembentukan gas menimbulkan terjadinya pusaran gas didalam tabung dan ini membantu deionisasi lintasan busur api. Tekanan yang semakin besar pada tabung membantu proses pembukaan rangkaian, setelah busur api padam, partikel-partikel yang diionisasi akan tertekan keluar dari ujung tabung yang terbuka.
Gambar 2.12 Bagian-bagian Pengaman Lebur Letupan
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
20
Keterangan : 1. Isolator Porselen
6. Mata kait dari brons
2. Kontak dari tembaga disepuh perak
7. Tabung pelebur dari resin
3. Klem terminal dari kuningan
8. Penggantung dari baja tahan karat
4. Tutup yang dapat dilepas(kuningan)
9. Klem pemegang dari baja
5. Batang pemegang atas dari baja
10. Lengan pemutus hubungan dari baja
b. Fuse Liquid (Liquid Filled Fuse) Fuse Liquid, fuse jenis ini tidak dikenal diwilayah PT PLN (Persero). Namun menurut referensi, FCO semacam ini dapat digunakan untuk jaringan distribusi dengan saluran kabel udara. 2. Fuse link Perlengkapan Fuse Cut Out terdiri dari sebuah rumah fuse (fuse support), pemegang fuse (fuse holder) dan fuse link sebagai pisau pemisahnya. Fuse link merupakan pembatas arus yang dipasang pada FCO. Ukuran fuse link ditentukan oleh panjang fuse link dan besarnya penampang elemen lebur. Panjang fuse link menentukan jumlah yang dapat ditampung dan dihantarkan dari pengikat ketika elemen lebur. 3. Standar Fuse link Ada sejumlah standar yang dianut fuse link, salah satu standar pengenal fuse link dikenal dengan sebutan pengenal H. Pengenal H dispesifikasi fuse link tersebut mampu untuk disalurkan arus listrik sebesar 100 % secara kontinue dan akan melebur pada nilai tidak lebih dari 230 % dari angka pengenalnya dalam waktu 5 menit. Pada
praktek
dilapangan
ketentuan
tersebut
kurang
memuaskan
penggunaanya karena hanya satu titik yang dispesifikasi pada karakteristik arus waktu sehingga fuse link yang dibuat oleh sejumlah pabrik yang berbeda mempunyai keterbatasan dalam memberikan jaminan koordinasi antar fuse link. Setelah fuse link dengan pengenal H kemudian muncul standar industri fuse link dengan pengenal K dan pengenal T pada tahun 1951.
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
21
Pengenal K untuk menyatakan fuse link dapat bekerja memutus jaringan listrik yang berbeban dengan waktu kerja lebih cepat dan pengenal T untuk menyatakan fuse link bekerja memutus jaringan listrik yang berbeban dengan waktu kerja lebih lambat. Fuse link tipe T dan tipe K ini merupakan rancangan yang universal karena fuse link ini bisa ditukar tukar (interchangeability) kemampuan elektris dan mekanisnya yang dispesifikasi dalam standar. Karakteristik fuse link tipe K dan tipe T sudah distandarisasi dan sebagai titik temu nilai arus maksimum dan minimum yang diperlukan untuk melelehkan fuse link ditetapkan pada 3 titik waktu dalam kurva karakteristik. Kondisi ini lebih menjamin koordinasi antara fuse link yang dibuat oleh beberapa pabrik menjadi lebih baik dari pada yang dimiliki fuse link H. Tabel 2.1 Arus Pengenal Fuse Link Tipe K
Tabel 2.2 Arus Pengenal Fuse Link Tipe T
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
22
Kurva karakteristik kerja fuse link tipe K dan T masing-masing dapat dilihat pada Gambar 2.13 dan Gambar 2.14 sebagai berikut :
Gambar 2.13 Kurva Karakteristik Arus–Waktu Fuse Link Tipe K
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
23
Gambar 2.14 Kurva Karakteristik Arus–Waktu Fuse Link Tipe T
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
24
Dari kedua kurva karakteristik kerja fuse ini masing-masing memiliki hal sebagai berikut : a. Kurva waktu leleh
minimum (minimum melting time). Yaitu kurva yang
menunjukkan waktu yang dibutuhkan mulai dari saat terjadinya arus lebih sampai dengan mulai meleburnya pelebur untuk harga arus tertentu. b. Waktu busur. Yaitu waktu antara saat timbulnya busur permulaam sampai saat pemadaman. c. Kurva waktu pembebasan maksimum (maximum clearing time). Yaitu kurva yang menunjukkan waktu yang dibutuhkan dari saat terjadinya arus lebih sampai dengan padamnya bunga api untuk harga arus tertentu. 4. Pemilihan Rating Arus Fuse Link FCO untuk Proteksi Percabangan Salah satu hal yang menjadi pertimbangkan dalam pemilihan arus pengenal FCO untuk proteksi saluran cabang atau saluran anak cabang adalah besarnya nilai arus beban maksimum yang akan atau dapat mengalir pada saluran cabang atau anak cabang tersebut. Untuk menentukan rating arus fuse link FCO yang dipilih dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Pilih fuse link yang sesuai dengan standar dalam hal ini PLN dalam SPLN 64 :1985 menentukan pilihan tipe K atau T. 2. Bagilah arus beban maksimum yang sudah ditentukan dengan kemampuan arus kontinyu fuse link. 3. Koordinasi yang sebaik baiknya dengan alat proteksi yang lain seperti recloser dan FCO lainnya baik yang berada di sisi hulu ataupun sisi hilirnya. 4. Perhatikan batas ketahanan penghantar terhadap arus hubung singkat. 5. Perhatikan pula kemampuan pemutusan dari FCO, khususnya bagi FCO yang terpasang dekat dengan sumber tenaga Pemilihan rating arus fuse link FCO yang benar adalah tidak akan melebur atau terjadi kerusakan oleh gangguan sesaat yang terjadi disebelah hilirnya, karena recloserlah yang seharusnya membuka rangkaian tanpa memutuskan fuse link. Pada saat gangguan tetap fuse link pertama pada sisi hulu dari gangguan akan melebur dan membuka rangkaian setelah operasi recloser.
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
25
E. Koordinasi Antara Recloser dan Fuse Cut Out Dalam jaringan distribusi, khususnya saluran udara sering digunakan recloser dan fuse cut out bersama-sama untuk keperluan pengamanan. Recloser digerakan oleh relai dengan karakteristik tertentu, sedangkan fuse mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karenanya perlu koordinasi antara kedua alat ini. Saluran Utama SUTM 20 KV Saluran Cabang Fuse Cut Out
Gambar 2.15 Feeder Dengan Pengaman Recloser dan FCO Gambar 2.15 menggambarkan SUTM 20 kV yang dilengkapi dengan recloser pada saluran utama dan fuse pada saluran cabang. Apabila terjadi gangguan pada saluran cabang, recloser pada saluran utama harus segera trip dan jangan sampai di dahului oleh putusnya fuse yang ada di saluran cabang. Setelah recloser trip, kemudian ada dead time dengan harapan agar selama waktu mati ini penyebab gangguan sudah hilang dan recloser masuk kembali sehingga keadaan menjadi normal kembali. Hal ini terasa sebagai gangguan temporer. Tetapi apabila gangguan yang terjadi adalah gangguan permanen dan terjadi di saluran cabang di belakang fuse, maka setelah dead time diatas habis dan recloser masuk kembali, diharapkan kali ini fuse bekerja terlebih dahulu mendahului recloser trip kembali. Agar hal ini dapat terlaksana maka relai harus berubah karakteristiknya seperti terlihat pada Gambar 2.16. Waktu(detik) 1
R1
S1
S2
R2
0,5 0,1 0
100
1000
10000
Arus (Amp)
Gambar 2.16 Kurva Waktu Arus Relai Recloser dan Fuse Cut Out
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
26
Keterangan : R1= Kurva relai arus lebih sewaktu recloser trip pertama kali. R2= Kurva relai arus lebih sewaktu recloser trip kedua kali. S1= Kurva waktu minimum dari fuse. S2= Kurva waktu maksimum dari fuse. Dengan kurva arus seperti yang ditunjukan oleh Gambar 2.16 maka pada waktu recloser menutup kembali setelah trip yang pertama kali, fuse telah melebur terlebih dahulu sehingga gangguan permanen yang terjadi di saluran cabang tidak menyebabkan recloser trip kembali. Dengan demikian yang padam hanya saluran cabang yang mengalami gangguan permanen. F. Relai Proteksi Relai merupakan alat yang bekerja secara otomatis untuk mempengaruhi bekerjanya alat lain akibar adanya perubahan pada rangkaian. Adapun relai yang terpasang pada sistem proteksi distribusi terdiri dari : 1. Relai proteksi Over Current Relay (OCR), dipergunakan untuk mengamankan sistem ditribusi jika ada gangguan hubung singkat 3 fase atau 2 fase. 2. Relai proteksi Ground Fault Relay (GFR), dipergunakan untuk mengamankan sistem ditribusi jika ada gangguan hubung singkat satu fase ke tanah. 1. Relai Arus Lebih / Over Current Relay (OCR) Relai arus lebih adalah suatu relai yang bekerja berdasarkan adanya kenaikan arus yang melebihi nilai arus dan waktu settingnya. Relai arus lebih ini berfungsi sebagai proteksi terhadap gangguan hubung singkat antar fasa. Berdasarkan karakteristik hubungan kerja antara besar arus dan waktu kerja relai arus lebih dibagi menjadi 3 yaitu : a. Relai arus lebih seketika (instanstaneous over current relay). Relai yang bekerja seketika (tanpa waktu tunda) ketika arus yang mengalir melebihi nilai settingnya, tapi masih bekerja dengan waktu cepat sebesar 50-100 mili detik dengan karakteristik seperti terlihat pada Gambar 2.17. Pada sistem distribusi tegangan menengah disebut setelan instant/moment/cepat. Setelan relai dengan karakteristik instant dapat di setkan pada OCR atau GFR.
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
27
Waktu (detik)
t=50-100 mdetik
If
Arus (Amp)
besar Gambar 2.17 Karakteristik Relai Arus Lebih Instant
Setelan instant : i.
Setelan arus, untuk relai outgoing diambil dari arus gangguan 3 fase atau 2 fase di lokasi gangguan 50% - 60% panjang penyulang 20 kV. Sedangkan untuk setelan relai incoming 40% dari panjang penyulang 20 kV.
ii.
Setelan waktu, untuk relai outgoing setelan waktunya 50 – 100 mili detik sedangkan untuk relai incoming setelan waktunya lebih besar dari setelan waktu di outgoing.
b. Relai arus lebih dengan waktu tertentu (definite time over current relay). Relai ini akan memberikan perintah pada PMT pada saat terjadi gangguan hubung singkat dan besarnya arus gangguan melampaui settingnya dan jangka waktu kerja relai mulai pick up sampai kerja relai diperpanjang dengan waktu tertentu, tidak tergantung besarnya arus yang mengerjakan relai. Kurva time definite over current relay dapat dilihat pada Gambar 2.18, dimana waktu kerjanya lebih lama dari waktu setelan instant dan setelan relainya didasarkan pada arus beban sesuai BS 142 1996. Setelan relainya sebagai berikut : i.
Setelan arus : 1,2-1,3 . Ibeban
ii.
Setelan waktu : 0,3 detik (minimum) Apabila terdapat recloser, maka terdapat tunda waktu antar relai senilai
0,3-0,4 detik. Waktu (detik)
t(sesuai setelan)
If(sesuai setelan)
Arus (Amp)
Gambar 2.18 Karakteristik Relai Arus Lebih Definite Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
28
c. Relai arus lebih dengan waktu terbalik (inverse time over current relay). Setelan relai proteksi dengan karakteristik inverse time over current relay adalah karakteristik yang grafiknya terbalik antara arus dan waktu, dimana semakin besar arus gangguan maka semakin kecil waktu yang dibutuhkan untuk membuka pemutus (PMT). Karakteristik inverse sesuai IEC 60255-3 dan BS. 142 1996 sebagai berikut : β
t = ((If
Iset )α −1)
Tms =
x Tms
((If Iset )α −1) β
(2.1)
xt
(2.2)
Keterangan : t
= Waktu trip relai (detik)
If
= Arus gangguan (Amp)
Iset
= Arus setelan relai (Amp)
Tms
= Time Multiplier Setting. Nilai yang disetkan ke relai sebagai konstanta
α,β
= Faktor konstanta. Tabel 2.3 Faktor α dan β α 0,02 1 2 1
Nama Kurva Standard Inverse Very Inverse Extremely Inverse Long Inverse
β 0,14 13,2 80 120
Waktu (detik)
tset1
tset2 Iset1
Iset2
Arus (Amp)
Gambar 2.19 Karakteristik Relai Arus Lebih Inverse Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
29
2. Relai Gangguan Tanah / Ground Fault Relay (GFR) Relai gangguan tanah yang lebih dikenal dengan GFR (ground fault relay) pada dasarnya mempunyai prinsip kerja sama dengan relai arus lebih, namun memiliki perbedaan dalam kegunaanya. Bila relai OCR mendeteksi adanya hubung singkat antara fase, maka GFR mendeteksi adanya hubung singkat ke tanah. Relai ini akan efektif apabila digunakan pada sistem tenaga listrik dengan pentanahan netral dengan tahanan rendah. Cara penyambungan relai gangguan tanah dapat dilihat pada Gambar 2.120 sebagai berikut :
Gambar 2.20 Penyambungan Relai Gangguan Tanah 3. Relai Penutup Balik (Reclosing Relay) Reclosing relay merupakan relai yang berfungsi untuk memberi perintah close setelah proteksi utama memberi perintah trip. Apabila gangguan bersifat temporer maka posisi terakhir PMT setelah ada perintah close adalah dalam kondisi tertutup dan sistem normal kembali. Apabila gangguan bersifat permanen maka relai akan memberi perintah close setelah PMT trip, namun PMT akan kembali ditripkan oleh proteksi utama. Reclosing relay memiliki diagram waktu kerja sebagai berikut : a. Dead Time Dead time merupakan selang waktu dari PMT trip sampai masuk kembali dan berfungsi untuk memadamkan busur api atau menghilangkan gangguan temporer. Sehingga penentuan dead time dipengaruhi oleh lama waktu padam busur api (deionisasi udara), karakteristik PMT dan stabilitas sistem. Setelan dead
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
30
time harus lebih besar dari waktu deionisasi udara. Hal ini untuk mengindari terjadinya gangguan yang berulang karena busur api masih ada. Semakin besar level tegangan maka akan semakin lama waktu deionisasi udaranya. Penyetelan dead time juga memperhatikan karakteristik PMT, karena PMT mempunyai batas waktu minimum agar dapat menerima perintah close dengan baik setelah mendapat perintah trip. Karakteristik ini disebut trip close operation time yang bervariasi tergantung jenis penggerak PMT dan media pemadam busur apinya. b. Blocking/Reclaim Time Blocking time merupakan waktu yang digunakan untuk memblok dead time beberapa saat setelah PMT masuk dan berfungsi memberi kesempatan untuk memulihkan tenaganya setelah melakukan siklus reclosing. Blocking time ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan PMT untuk siap melakukan operasi trip-close-trip kembali. Ketika PMT trip, PMT akan melakukan charging ke mekanik penggerak PMT. Sehingga selama proses charging ini PMT tidak boleh close. Maka dari itu, untuk mengakomodasi hal ini setelan blocking time pada reclosing relay harus lebih besar dari waktu yang diperlukan PMT untuk siap melakukan operasi trip-close-trip. Prinsip kerja dari reclosing relay diilustrasikan oleh Gambar 2.21.
Gambar 2.21 Rangkaian Reclosing Relay
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
31
G. Gangguan Pada Sistem Distribusi Gangguan yang terjadi pada sistem distribusi lebih sering jika dibandingkan dengan bagian sistem tenaga listrik lainnya. Maka dari itu masalah utama dalam operasi distribusi adalah mengatasi gangguan tersebut. Memang gangguan yang terjadi tidak bisa dihilangkan sepenuhnya akan tetapi pihak perusahaan berusaha untuk meminimalisir gangguan tersebut. 1. Berdasarkan Penyebab Gangguan a. Gangguan Berasal dari Dalam Gangguan yang disebabkan oleh sistem itu sendiri berupa tegangan lebih, arus lebih dan pemasangan material yang tidak baik pada sistem. Misalnya pemasangan sambungan konduktor yang tidak sempurna atau pemasangan peralatan yang tidak sesuai dengan SPLN. b. Gangguan Berasal dari Luar Gangguan yang disebabkan oleh kondisi geografis dan faktor alam suatu wilayah yang dilewati oleh jaringan distribusi tenaga listrik. Misalnya pohon tumbang mengenai SUTM, surja petir dan gempa bumi. 2. Berdasarkan Lama Gangguan a. Gangguan Temporer Merupakan gangguan yang dapat hilang dengan sendirinya (dalam waktu singkat) atau memutuskan sesaat bagian yang terganggu dari sumber tegangannya kemudian akan menutup kembali. Gangguan seperti ini biasanya terjadi pada SUTM dimana pernghantarnya tidak mempunyai isolasi. Gangguan ini antara lain disebabkan oleh : i. Disebabkan karena adanya sambaran petir pada penghantar listrik yang tergelar di udara sehingga menyebabkan flashover antara penghantar dengan traves melalui isolator. ii. Penghantar tertiup angin yang dapat menimbulkan gangguan antar fase atau penghantar fase menyentuh pohon sehingga menimbulkan gangguan fase ke tanah. b. Gangguan Permanen Merupakan gangguan dimana untuk pembebasannya perlu dilakukan tindakan perbaikan atau menyingkirkan material penyebab gangguan dalam waktu Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
32
yang lebih lama daripada gangguan yang bersifat temporer, sehingga gangguan ini menyebabkan pemutusan tetap. 3. Gangguan Hubung Singkat Pada sistem tenaga listrik, gangguan hubung singkat diklasifikasikan ke dalam 2 jenis yaitu : a. Gangguan Simetris Merupakan gangguan yang terjadi pada semua fasenya sehingga arus maupun tegangan setiap fasenya tetap seimbang setelah gangguan terjadi. Misalnya gangguan hubung singkat 3 fase. b. Gangguan Tak Simetris Merupakan gangguan yang mengakibatkan arus dan tegangan pada setiap fasenya menjadi tak seimbang. Misalnya gangguan hubung singkat 1 fase ke tanah (single line to ground fault), gangguan hubung singkat 2 fase (line to line fault) dan gangguan hubung singkat 2 fase ke tanah (double line to ground fault). 4. Upaya-Upaya Mengurangi Jumlah Gangguan Upaya untuk mengurangi jumlah gangguan pada sistem dapat dilakukan dengan hal-hal sebagai berikut : a. Memasang peralatan yang dapat diandalkan dalam hal ini harus sesuai dengan standar PLN. b. Penentuan spesifikasi dan desain yang baik sehingga tahan terhadap kondisi kerja normal ataupun pada saat gangguan. c. Merencanakan dan melaksanakan pemeliharaan peralatan secara periodik sehingga kemungkinan terjadinya gangguan dari dalam sistem dapat dicegah. d. Memeriksa peralatan pengaman seperti relai-relai untuk memastikan unjuk kerja relai yang baik. e. Melakukan pemangkasan ranting-ranting pohon yang sudah dekat dengan saluran.
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
33
H. Komponen Simetris Menurut teori Fortescue dalam sistem tak seimbang yang terdiri dari n buah fasor yang saling berhubungan dapat diuraikan menjadi n buah sistem dengan pasor seimbang. Jadi tiga pasor tidak seimbang dari suatu sistem tiga fase dapat diuraikan menjadi tiga sistem pasor seimbang, dimana komponennya sebagai berikut : a. Komponen urutan positif, terdiri dari tiga pasor yang sama besarnya dalam magnitude dimana masing-masing terpisah satu dengan lainnya dalam sudut fase 1200 dan mempunyai urutan fase sama seperti pasor aslinya. Va1
Vc1
Vb1
Gambar 2.22 Komponen Urutan Positif b. Komponen urutan negatif, terdiri dari tiga pasor yang sama besarnya dalam magnitude, dimana masing-masing terpisah satu dengan yang lainnya dalam sudut fase 1200 dan mempunyai urutan fase yang berlawanan dengan pasor aslinya. Va2
Vb2
Vc2
Gambar 2.23 Komponen Urutan Negatif c. Komponen urutan nol, terdiri dari tiga pasor yang sama besarnya dalam magnitude, dengan pergeseran fase nol antara fase yang satu dengan yang lain.
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
34
Vb0
Va0
Vc0
Gambar 2.24 Komponen Urutan Nol Jumlah tegangan dan arus pada sistem merupakan penjumlahan masingmasing komponen simetris masing-masing urutan, sebagaimana dijelaskan oleh persamaan berikut : Va = Va1 + Va2 + Va0
(2.3)
Vb = Vb1 + Vb2 + Vb0
(2.4)
Vc = Vc1 + Vc2 + Vc0
(2.5)
Ia = Ia1 + Ia2 + Ia0
(2.6)
Ib = Ib1 + Ib2 + Ib0
(2.7)
Ic = Ic1 + Ic2 + Ic0 o
2
(2.8) 2
Dengan bantuan operator a = 1∠120 dan a = 1∠ 240 maka persamaan diatas menjadi sebagai berikut : Va = Va1 + Va2 + Va0
(2.9)
Vb = a2 Va1 + a Va2 + Va0
(2.10)
Vc = a Va1 + a2 Va2 + Va0
(2.11)
Ia = Ia1 + Ia2 + Ia0
(2.12)
Ib = a2 Ia1 + a Ia2 + Ia0
(2.13)
Ic = a Ia1 + a2 Ia2 + Ia0
(2.14)
Kemudian untuk menghitung tegangan dan arus komponen masing-masing urutan dapat menggunakan persamaan berikut : Va0 = Va1 = Va2 =
1 3 1 3 1 3
Va + Vb + Vc
(2.15)
Va + a Vb + a2 Vc
(2.16)
Va + a2 Vb + a Vc
(2.17)
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
35
Ia0 = Ia1 = Ia2 =
1 3 1 3 1 3
( Ia + Ib + Ic )
(2.18)
( Ia + a Ib + a2 Ic )
(2.19)
( Ia + a2 Ib + a Ic )
(2.20)
I. Perhitungan Impedansi 1. Impedansi Sumber Impedansi sumber merupakan nilai impedansi pada sisi 150 kV yang mencakup impedansi sumber pembangkit, impedansi trafo tenaga di pusat listrik dan impedansi transmisi. Untuk mengetahui impedansi sumber pada sisi 20 kV, maka harus menghitung terlebih dahulu impedansi sumber pada sisi150 kV yang kemudian dikonversikan ke impedansi sumber sisi 20 kV dengan menggunakan rumus sebagai berikut : kV 2
Xsc1 = MVA1
(2.21)
sc
Keterangan : Xsc1
= Impedansi sumber 150 kV (ohm).
kV1
= Tegangan sisi primer trafo tenaga (kV)
MVAsc = Data daya hubung singkat sisi 150 kV (MVA) Untuk mengkonversi impedansi yang terletak di sisi 150 kV ke sisi 20 kV dengan cara menggunakan rumus sebagai berikut : Xsc 2 =
kV 2 2 kV 1 2
x Xsc 1
(2.22)
Keterangan : Xsc2
= Impedansi sumber 20 kV (ohm)
kV2
= Tegangan sisi sekunder trafo tenaga (kV)
kV1
= Tegangan sisi primer trafo tenaga (kV)
2. Impedansi Trafo Tenaga Impedansi urutan positif dan negatif di dapat dari rumus sebagai berikut : kV 2
XT1 = XT2 = MVA x %
(2.23)
Keterangan : XT1
= Impedansi trafo urutan positif (ohm)
XT2
= Impedansi trafo urutan negatif (ohm) Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
36
kV
= Tegangan operasi (kV)
MVA = Kapasitas daya trafo (MVA) %
= Persentase impedansi tercantum pada name plate Sedangkan untuk nilai impedansi urutan nol (XT0) trafo tenaga dengan
hubungan belitan Dyn adalah : XT0 = XT1
(2.24)
3. Impedansi Penyulang Nilai impedansi penyulang di dapat dari rumus sebagai berikut : ZPenyulang = R + jXL L
(2.25)
Keterangan : R
= Resistansi kawat saluran (ohm/km)
jXL
= Reaktansi kawat saluran (ohm/km)
L
= Panjang saluran (km) Untuk nilai resistansi dan reaktansi masing-masing urutan positif, negatif
dan nol ditentukan berdasarkan diameter dan jenis kawat yang digunakan pada saluran. Standar nilai resistansi dan reaktansi untuk jenis kawat A2C dan A3C ditunjukan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Nilai Impedansi Kawat
4. Impedansi Ekuivalen a. Nilai impedansi ekuivalen urutan positif (Z1eq) dan negatif (Z2eq) adalah sebagai berikut : Z1eq = Z2eq = Xsc 2 + XT1 + Z1Penyulang
(2.26)
b. Nilai impedansi ekuivalen urutan nol (Z0eq) adalah sebagai berikut : Z0eq = XT0 + 3R n + Z0Penyulang Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
(2.27)
37
Rn = Resistansi pentanahan netral (pentanahan langsung = 0) J. Perhitungan Arus Hubung Singkat Perhitungan arus gangguan hubung singkat pada saluran diperlukan untuk mengetahui besarnya arus setiap titik tertentu pada saluran untuk dijadikan bahan pertimbangan pemasangan peralatan pada jaringan dan keperluan setting peralatan proteksi. Pada perhitungan arus hubung singkat digunakan rumus dasar hukum ohm sebagai berikut : I=
V
(2.28)
Z
Keterangan : I
= Arus hubung singkat (ampere)
V
= Tegangan sumber (volt)
Z
= Impedansi ekuivalen dari titik gangguan sampai ke sumber (ohm) Perhitungan arus hubung singkat dalam hal ini dibatasi hanya pada
perhitungan arus hubung singkat 1 fase ke tanah (Single Line to Ground Fault / SLG). Dimana arus hubung singkat 1 fase ke tanah ini termasuk ke dalam kategori gangguan hubung singkat tak simetri seperti telah di sampaikan pada pembahasan gangguan hubung singkat terdahulu. Gangguan 1 fase ke tanah terjadi misalnya salah satu penghantar tersentuh pohon atau kawat yang terhubung dengan tanah. Dengan adanya gangguan pada salah satu fase ini maka akan muncul diagram pasor tak seimbang. Pada Gambar 2.25 dimisalkan pada sistem terjaadi gangguan hubung singkat pada fase a. Ia
Za Ea Zn
Ec
Eb
Zb
Zc
Ib Ic
Gambar 2.25 Hubung Singkat 1 Fase ke Tanah Dengan terjadinya gangguan hubung singkat 1 fase ke tanah seperti yang terlihat pada Gambar 2.25 dapat dinyatakan bahwa : Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
38
a. Dalam kondisi normal maka Va=Vb=Vc dan Ia=Ib=Ic=0, b. Dalam kondisi gangguan maka Ib=Ic=0, Ia≠0 dan Va=0. Sehingga pada kondisi SLG, persamaan arus komponen simetrisnya menjadi : Ia0 = Ia1 = Ia2 =
1
I 3 a
(2.29)
Dan persamaan tegangan komponen simetrisnya yang dinyatakan dalam bentuk matrik menjadi : Z0eq 0 0 0 Z1eq 0 0 0 Z2eq
Va0 0 Va1 = Ea − Va2 0
Ia1 Ia1 Ia1
(2.30)
Apabila kedua suku matrik diatas dikalikan dengan matrik [ 1 1 1] maka akan di dapatkan persamaan sebagai berikut : Va0 + Va1 + Va2 = Ea − Z0eq Ia1 − Z1eq Ia1 − Z2eq Ia1 0 = Ea − Z0eq + Z1eq + Z2eq Ia1 Ia1 = If1∅ = Z
Ea 0eq + Z 1eq + Z 2eq
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 |
(2.31)
39