249143032-referat-anemia-pada-ckd.docx

  • Uploaded by: Yulia Karolina Kurniawati
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 249143032-referat-anemia-pada-ckd.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,515
  • Pages: 21
REFERAT ILMU PENYAKIT DALAM ANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIS

Disusun oleh: Kemal Fikar Muhammad - 2015.04.2.0083 Shinta Julia Restivananda - 2015.04.2.0132 Yudhistira Permana - 2015.04.2.0150 Yuke Riana Putri M - 2015.04.2.0151 Yulia Karolina - 2015.04.2.0152

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA 2015

1

DAFTAR ISI

Cover...........................................................................................................i Kata Pengantar..........................................................................................ii BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 03 2.1 Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis............................................. 03 2.2 Penyebab.......................................................................................... 03 2.3 Patofisiologi...................................................................................... 05 2.4 Manifestasi Klinis............................................................................. 07 2.5 Diagnosis.......................................................................................... 07 2.6 Penatalaksanaan.............................................................................. 10 2.7 Prognosis......................................................................................... 19

2

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan

konsentrasi hemoglobin < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause dan < 12,0 gr/dl pada wanita lainnya. The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronis jika kadar hemoglobin <11,0 gr/dl (hematokrit <33%) pada wanita premenopause dan pasien prepubertas, dan <12,0 gr/dl (hematokrit <37%) pada laki-laki dewasa dan wanita postmenopause. Dan berdasarkan PERNEFRI 2011, dikatakan anemia pada penyakit ginjal kronik jika Hb ≤ 10 gr/dl dan Ht ≤ 30%. Anemia sering terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis. Klinisi harus memikirkan keadaan anemia jika tingkat Laju Filtrasi 2

Glomerulus (LFG) pasien menurun ke 60 ml/menit/1,73 m atau lebih rendah.

2.2.

Penyebab

Faktor-faktor yang berkaitan dengan anemia pada penyakit ginjal kronik termasuk kehilangan darah, pemendekan masa hidup sel darah merah, defisiensi vitamin, “uremic milieu”, defisiensi eritropoetin, defisiensi besi dan inflamasi.

a) Kehilangan Darah Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah oleh karena terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada pasien-pasien ini adalah dari dialisis, terutama hemodialisis dan nantinya menyebabkan defisiensi besi juga. Pasien-

3

pasien hemodialisis dapat kehilangan 3 -5 gr besi per tahun. Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari, sehingga kehilangan besi pada pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak.

b) Pemendekan masa hidup eritrosit Masa hidup eritrosit berkurang sekitar sepertiga pasien-pasien hemodialysis.

c) Defisiensi Eritropoetin Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik. Para peneliti mengatakan bahwa sel-sel peritubular yang menghasilkan eritropoetin rusak sebagian atau seluruhnya seiring dengan progresivitas penyakit ginjalnya.

d) Defisiensi Besi Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alasan yang masih belum diketahui (dimungkinan karena malnutrisi), kadar transferin pada penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan kapasitas sistem transport besi. Situasi ini yang kemudian mengganggu kemampuan untuk mengeluarkan cadangan besi dari makrofag dan hepatosit pada penyakit ginjal kronik.

e) Inflamasi Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah, saturasi transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan besi yang bermanifestasi dengan tingginya serum feritin. Peningkatan jumlah sitokin-sitokin inflamasi di sirkulasi seperti interleukin 6 berhubungan dengan respon yang buruk terhadap pemberian eritropoetin pada pasien-pasien gagal ginjal terminal.

4

Dikutip dari :Fauci A, et all. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th .ed . Abbruzzese, et al. United States of America : McGraw-Hill, 2012

2.3.

Patofisiologi Dalam kondisi homeostatik normal, ginjal berfungsi mengatur

volume plasma melalui reabsorpsi atau ekskresi dari garam dan air. Kadar hemoglobin dipantau melalui respon pembentukan eritropoietin ke jaringan yang mengalami hipoksia. Eritropoietin dikenal sebagai faktor multifungsi dengan efek tidak hanya pada sumsum tulang tetapi pada sistem

saraf

pusat

dimana

penelitian

telah

menunjukkan

fungsi

neurotropik dan fungsi neuroprotektif. Target utamanya meskipun adalah sel-sel induk hematopoietik pluripoten dari sumsum tulang. Jalur sel ini mampu membentuk eritrosit, leukosit, dan megakarosit. Eritropoietin diproduksi oleh fibroblas khusus dalam interstitium ginjal sebagai respon terhadap hipoksia.10

5

Dikutip dari : Provenzano, R. Current Diagnosis & Treatment Nephrology & Hypertension. Lerma EV, Berns JS, Nissenson AR. United States of America : McGraw-Hill, 2009. 156 p

Karena fungsi ginjal menurun, anemia menjadi lebih umum terjadi. Sebagian besar pasien dengan GFR kurang dari 60 mL/menit/1.73 m2 ( K/DOQI

stadium

3)

terjadi

penurunan

produksieritropoietinuntuk

mempertahankan kadar hemoglobin >12 g/dL. Hasil ini khas sebagai anemia normositik normokrom pada penyakit ginjal kronis. Namun, anemia pada penyakit ginjal kronis sering disebabkan oleh penyebab lainnya selain kadar eritropoietin yang rendah.10 Anemia normositik normokrom terjadi pada awal stadium tiga penyakit ginjal kronis dan kejadian anemia pasti terjadi pada stadium empat. Penyebab utama terjadinya anemia adalah penurunan produksi eritropoeitin (EPO) oleh karena rusaknya ginjal. Faktor tambahan lain 6

yang mempengaruhi seperti kekurangan zat besi, proses inflamasi akut atau kronis yang menyebabkan gangguan utilisasi besi (anemia pada penyakit kronis), hiperparatiroid yang berat dengan terjadinya fibrosis sumsum tulang, dan pendeknya umur sel darah merah karena keadaan uremik.

Selain

itu,

komorbiditas

seperti

hemoglobinopati

dapat

memperburuk anemia.8 Anemia pada penyakit ginjal kronis dikaitkan dengan terjadinya patofisiologis

yang

merugikan,

termasuk

penurunan

aliran

dan

penggunaan oksigen di jaringan, meningkatkan curah jantung, dilatasi ventrikel, dan hipertrofi ventrikel.9

2.4.

Manifestasi Klinis Gejala umum anemia disebut juga dengan sindrom anemia, timbul

karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb <7 gr/dl).4Manifestasi klinis yang terjadi mudah lelah, toleransi terhadap aktivitas berkurang, angina, gagal jantung, penurunan kognitif dan gangguan mental, serta gangguan pertahanan host terhadap infeksi. Selain itu, anemia mungkin berpengaruh dalam retardasi pertumbuhan pada anak-anak dengan penyakit ginjal kronis.8Pemeriksaan fisik dapat ditemukan pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku.4

2.5.

Diagnosis Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit

(disease entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Tidak cukup hanya sampai pada diagnosis anemia tetapi sedapat mungkin menentukan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut.

7

Tahap-tahap mendiagnosis anemia adalah :4 

Menentukan adanya anemia



Menentukan jenis anemia



Menentukan etiologi atau oenyakit dasar anemia



Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil pengobatan

Dikutip dari :Bakta IM. Buku Ajar Penyakit Dalam.4th .ed. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Idrus A, et al. Jakarta : Interna Publishing, 2008. 635 p

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10g/dl atau hematokrit ≤ 30 g/dl, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/ serum iron), kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity), feririn serum, mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.

3

8

Frekuensi pemeriksaan untuk anemia :6 Untuk pasien penyakit ginjal kronis tanpa anemia, pengukuran kadar hemoglobin ketika secara klinis diindikasikan : 

Sekurangnya sekali dalam setahun pada pasien penyakit ginjal kronis stadium 3



Sekurangnya dua kali dalam setahun pada pasien penyakit ginjal kronis stadium 4 tanpa dialisis



Sekurangnya setiap tiga bulan pada pasien penyakit ginjal kronis stadium lima dengan hemodialisa dan penyakit ginjal kronis stadium lima pada peritoneal dialysis

Untuk pasien penyakit ginjal kronis dengan anemia tetapi tidak diterapi dengan

ESA

(Eritropoeitin

Stimulant

Agent),

pengukuran

kadar

hemoglobin dilakukan apabila secara klinis diindikasikan : 

Sekurangnya setiap tiga bulan pada pasien penyakit ginjal kronis stadium 3 tanpa dialisis dan penyakit ginjal kronis stadium 5 dengan peritoneal dialisis



Sekurangnya setiap bulan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 5 dengan hemodialisis

Diagnosis anemia :6,7 

Anemia pada dewasa dan anak-anak > 15 tahun dengan penyakit ginjal kronis dinyatakan dengan kadar hemoglobin <13 g/dl pada laki-laki dan <12 g/dl pada wanita



Anemia pada anak-anak dengan penyakit ginjal kronis dinyatakan dengan kadar hemoglobin <11.0 g/dl pada anak umur 0,5-5 tahun, <11.5 g/dl pada anak umur 5-12 tahun dan <12 g/dl pada anak umur 12-15 tahun Pada pasien penyakit ginjal kronis dan anemia (disesuaikan dengan

umur dan stadium penyakit), pemeriksaan lain yang harus dilakukan sebagai bahan evaluasi awal anemia adalah : 

Pemeriksaan darah lengkap yang termasuk konsentrasi Hb, sel darah merah, sel darah putih dan hitung jenis leukosit, serta jumlah trombosit

9



Jumlah total retikulosit



Kadar serum ferritin



Serum transferrin saturation (TSAT)



Kadar serum vitamin B12 dan folat

2.6.

Penatalaksanaan Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya,

disamping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoeitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO, status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronis harus dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Karena transfusi darah yang tidak cermat dapat menyebabkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 1112 g/dl.3

Dikutip dari : Provenzano, R. Current Diagnosis & Treatment Nephrology & Hypertension. Lerma EV, Berns JS, Nissenson AR. United States of America : McGraw-Hill, 2009. 157 p

10

a. Suplementasi Besi Pengobatan dengan terapi besi dapat dilakukan. Ketika memberikan terapi besi, dapat menyeimbangkan potensi manfaat untuk menghindari atau meminimalkan transfusi darah, terapi ESA, dan gejala anemia yang berhubungan terhadap risiko kerugian pada pasien (misalnya, anafilaktoid dan reaksi akut lainnya, dan risiko jangka panjang yang tidak diketahui).

Dikutip dari : Provenzano, R. Current Diagnosis & Treatment Nephrology & Hypertension. Lerma EV, Berns JS, Nissenson AR. United States of America : McGraw-Hill, 2009. 158 p

Untuk pasien penyakit ginjal kronis dewasa dengan anemia tidak menggunakan terapi besi atau terapi ESA disarankan pengunaan percobaan besi IV (atau pada penyakit ginjal kronis non dialisis pasien alternatif pengobatan terapi besi oral selama 1-3 bulan) :6,7 

Peningkatan konsentrasi Hb tanpa memulai pengobatan ESA yang diinginkan



TSAT<30% dan ferritin <500ng/ml(<500µg/l) Untuk pasien penyakit ginjal kronis non dialisis yang membutuhkan

suplemen zat besi , pilih rute pemberian besi berdasarkan derajat

11

keparahan kekurangan zat besi, ketersediaan akses vena, respon terhadap terapi besi sebelum oral, efek samping sebelumnya dengan terapi oral atau besi IV, kepatuhan pasien, dan biaya.7 Panduan penggunaan besi berikutnya pada pasien penyakit ginjal kronis berdasarkan respons Hb terhadap terapi besi baru-baru ini, serta kerugian kehilangan darah yang sedang berlangsung, tes status zat besi ( TSAT dan feritin ), konsentrasi Hb, respons penggunaan ESA dan dosis ESA pada pasien yang diobati ESA, pantau di setiap parameter, dan status klinis pasien.6,7 Untuk semua pasien anak dengan penyakit ginjal kronis dan anemia tidak dalam terapi besi atau terapi ESA, disarankan menggunakan besi oral (atau besi IVpada penyakit ginjal kronis dengan hemodialisis) dilakukan ketika TSAT ≤20 % dan ferritin ≤100ng / ml (≤100 µg / l ). Untuk semua pasien anak dengan penyakit ginjal kronis pada terapi ESA yang tidak menerima suplemen zat besi , disarankan besi oral (atau besi IV pada pasien penyakit ginjal kronis dengan hemodialisis) dipantau untuk mempertahankan TSAT >20% dan feritin >100 ng / ml (>100 µg /l). 1. Pengkajian status besi :  Anemia pada gangguan ginjal kronis a. Anemia dengan status besi cukup b. Anemia defisiensi besi : 

Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 µg/L Saturasi tranfsferin < 20%



Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum ≥ 100 µg/L Saturasi transferin < 20%

2. Terapi anemia defisiensi besi : a. Indikasi terapi besi : - Anemia defisiensi besi absolut - Anemia defisiensi besi fungsional

12

b. Kontraindikasi terapi besi - Hipersensitivitas terhadap besi - Gangguan fungsi hati berat - Kandungan besi berlebih (iron overload) c. Sediaan besi : - Parenteral (intravena) : cara pilihan Macam-macam sediaaan  iron dextran  iron sucrose  iron gluconate  iron dextrin (iron polimaltosi) - Intramuskular : cara alternatif Sediaan : Iron dextran - Oral : Kurang efektif, terutama bila pasien mendapat EPO. Apabila preparat suntikan tidak tersedia, dapat diberikan preaparat besi oral. d. Terapi besi fase koreksi - Dosis uji coba (test dose): Dilakukan sebelum memulai terapi besi Cara :  Iron sucrose : 20-50 mg (1-2,5 ml) diencerkan dengan 50 ml NaCl 0,9% drip IV, dalam waktu paling cepat 15 menit.  iron dextran : 25 mg diencerkan dengan 50ml NaCl 0,9% drip IV, dalam waktu 30 menit - Terapi besi fase koreksi  Tujuan :

Untuk koreksi anemia defisiensi besi absolut

dan fungsional, sampai status besi cukup yaitu feritin serum mencapai > 100µg/L dan saturasi transferin > 20%  Cara :  Iron sucrose : bila dapat ditoleransi 100mg diencerkan dengan 100ml NaCl 0.9% drip IV dalam waktu paling cepat 15 menit. Cara lain dapat disuntikan IV atau

13

melalui venous blood line tanpa diencerkan secara pelan-pelan, paling cepat dalam waktu 15 menit.  Iron dextran: 100mg iron dextran diencerkan dengan 50 ml NaCl 0.9% diberikan 1-2 jam pertama HD melalui venous

blood

line.

Cara

ini

diulang

setiap

HD

(2xseminggu) sampai 10x atau dosis mencapai 1000mg.  Iron gluconate: 125mg setiap HD (2xseminggu) sampai 8x atau dosis mencapai 1000mg. cara pemberian sama dengan iron dextran. - Evaluasi status besi dilakukan 1 minggu pasca terapi besi fase koreksi - Bila status besi cukup, lanjutkan dengan terapi besi fase pemeliharaan. Bila status besi belum cukup ulangi terapi besi fase koreksi b. Terapi Eritropoeitin Penggunaan hormon eritropoietin rekombinan dapat memberi hasil dalam penanganan anemia pada penyakit ginjal kronis 8. Hal ini penting karena terapi koreksi pada anemia dapat menekan perkembangan hipertrofi ventrikel kiri dan faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap penyakit jantung yang begitu umum terjadi pada pasien penyakit ginjal kronis.Penyebab utama terganggunya pengunaan gangguan eritropoietin adalah kekurangan zat besi dan peradangan, dan ini harus diperbaiki agar tercapai respon yang optimal terhadap terapi eritropeitin. Pemilihan obat berdasarkan pada tingkat kepuasan klinis dari nefrologis dan faktor biaya. Walaupun darbepoeitin-alfa memiliki waktu paruh lama dan dapat diberikan dalam dosis setiap 2 minggu, ditemukan bukti bahwa baik darbepoeitin-alfa atau epoeitin-alfa dapat diberikan dalam dosis yang jarang setiap 4 minggu. Dosis awal dari epoeitin-alfa umumnya 100.000 unit per minggu subkutaneus. Bergantung pada protocol yang digunakan, setelah target kadar hemoglobin tercapai (11-12 gr/dl) banyak dokter yang menggandakan dosis menjadi 2 kali lipat dari dosis awal (10.000 unit seminggu sekali menjadi 20.000 unit setiap 2

14

minggu dan kemudian 40.000 unit setiap 4 minggu) setelah interval waktu tercapai dilakukan titrasi dosis untuk tetap memantau kadar hemoglobin. 7,10

Evaluasi status zat besi (TSAT dan feritin) setidaknya setiap 3 bulan selama

terapi

ESA,

termasuk

menentukan

untuk

memulai

atau

melanjutkan terapi besi. Test status besi (TSAT dan feritin) lebih sering dilakukan ketika memulai atau meningkatkan dosis ESA, bila ada kehilangan darah, ketika memantau respon setelah pemberian besi IV, dan dalam keadaan lain dimana cadangan besi dapat menurun.6,7 Penggunaan ESA untuk pasien penyakit ginjal kronis non dialisis dewasa dengan konsentrasi Hb ≥10.0 g/dl ( ≥100g/l ), disarankan tidak menggunakan terapi ESA. Untuk pasien penyakit ginjal kronis non dialisis dewasa dengan konsentrasi Hb <10.0 g/dl (<100 g/l) disarankan bahwa keputusan apakah akan memulai terapi ESA berdasarkan tingkat penurunan konsentrasi Hb , respon sebelum dengan terapi besi, risiko dibutuhkannya transfusi, risiko yang terkait dengan terapi ESA dan adanya gejala yang menimbulkan anemia. Untuk pasien penyakit ginjal kronis stadium 5 non dialisis dewasa, menunjukkan bahwa terapi ESA digunakan untuk menghindari konsentrasi Hb jatuh di bawah 9,0 g/dl (90 g/l) dengan memulai terapi ESA ketika hemoglobin adalah antara 9,0-10,0 g/dl (90-100 g/l).6,7 Individualisasi terapi dilakukan karena beberapa pasien mungkin memiliki peningkatan kualitas hidup yang lebih tinggi pada konsentrasi Hb yang tinggi pula dan terapi ESA dapat dimulai di atas 10,0 g/dl ( 100 g/dl ). Secara umum, ESA tidak dapat digunakan untuk memantau konsentrasi Hb di atas 11,5 g/dl (115 g/dl) pada orang dewasa dengan penyakit ginjal kronis. Individualisasi terapi akan diperlukan karena beberapa pasien mungkin memiliki peningkatan kualitas hidup dengan konsentrasi Hb di atas 11,5 g/dl (115 g/dl) yang akan siap untuk menerima risiko. Pada semua pasien dewasa, tidak direkomendasikan penggunaan ESA yang digunakan untuk sengaja meningkatkan konsentrasi Hb di atas13 g/dl (130 g/dl). Pada semua pasien penyakit ginjal kronis anak

15

yang menerima terapi ESA, disarankan agar konsentrasi Hb yang dipilih berada

dalam

kisaran

11,0-12,0 g/dl (110-120 g/dl). Sebaiknya menentukan dosis awal ESA dengan menggunakan konsentrasi Hb pasien, berat badan, dan keadaan klinis. Penyesuaian dosis ESA dibuat berdasarkan konsentrasi Hb pasien serta tingkat perubahan konsentrasi Hb, dosis ESA saat ini dan keadaan klinis. Re-evaluasi dosis ESA jika :  Pasien memburuk dengan terapi ESA  Pasien memiliki penyakit akut atau progresif yang dapat menyebabkan hiporesponsif ESA Untuk pasien penyakit ginjal kronis stadium 5 dengan hemodialisis dan terapi hemofiltrasi disarankan penggunaan ESA dengan intravena atau subkutan. Untuk penyakit ginjal kronis non dialisis dan pasien penyakit

ginjal

penggunaan

kronis

ESA

stadium

subkutan.

5

peritoneal

Frekuensi

dialisis,

pemberian

disarankan disarankan

berdasarkan stadium penyakit ginjal kronis, pengaturan pengobatan, pertimbangan efektifitas, toleransi pasien dan jenis ESA. Frekuensi pemantauan selama fase inisiasi terapi ESA, mengukur konsentrasi Hb setidaknya satu kali dalam sebulan. Untuk pasien penyakit ginjal kronis non dialisis, selama fase pemeliharaan ESA pengukuran konsentrasi Hb dilakukan setidaknya setiap 3 bulan. Untuk pasien penyakit ginjal kronis stadium 5 dengan dialisis, selama fase pemeliharaan terapi ESA pengukuran konsentrasi Hb dilakukan setidaknya satu kali dalam sebulan. 6,7

c. Terapi Transfusi Kadar hemoglobin 8,0 g/dl adalah ambang batas transfusi. Pada anemia kronik, transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat simptomatik atau adanya ancaman payah jantung. Disini diberikan PRC, jangan whole blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika kerja cepat seperti furosemide sebelum transfusi.

16

Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah menurut PERNEFRI (2001) adalah: 1.

Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik

2.

Tidak memungkinkan penggunaan EPO dan Hb < 7 g /dL

3.

Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik

4.

Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi

EPO ataupun yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat diberikan transfusi darah dengan hati-hati. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah : 7-9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada terapi EPO). Transfusi

diberikan

secara

bertahap

untuk

menghindari

bahaya

overhidrasi, hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat, walaupun pada pasien dengan penyakut jantung. Pada kelompok pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal, pemberian transfusi darah sedapat mungkin dihindari. Transfusi darah memiliki resiko penularan Hepatitis virus B dan C, infeksi HIV serta potensi terjadinya reaksi transfusi.[7] Adapun menurut KDGIO (2012), transfusi darah diberikan pada pasien gagal ginjal kronik dengan ketentuan: 1.

Untuk penanganan anemia kronik, direkomendasikan sedapat

mungkin menghindari transfusi sel darah merah untuk menghindari risikonya. Risiko transfusi darah diantaranya adalah transfusion error, volume overload, hiperkalemia, keracunan sitrat, hipotermia, koagulopati, immunologically-mediated transfusion, iron overload, dan infeksi. 2.

sedapat

Pada pasien kandidat transplantasi organ, direkomendasikan mungkin

menghindari

transfusi

sel

darah

merah

untuk

meminimalkan risiko allosensitization. 3.

Untuk

penanganan

anemia

kronik,

direkomendasikan

pemberian transfusi sel darah merah pada pasien di mana terapi ESA

17

tidak efektif dan risiko terapi ESA melebihi manfaatnya (misal, riwayat keganasan/riwayat stroke). 4.

Pertimbangan untuk memberikan transfusi pasien PGK

dengan anemia non-akut tidak berdasarkan ambang batas kadar Hb, namun berdasarkan gejala anemia. Pada kondisi klinis akut tertentu, direkomendasikan pemberian transfusi jika manfaatnya melebihi risiko (meliputi saat koreksi cepat anemia dibutuhkan untuk menstabilkan kondisi pasien atau saat koreksi Hb pre-operasi dibutuhkan).(9)

Situasi akut:

Situasi kronik:

1. Perdarah akut yang berat

1. Anemia kronik dan terapi ESA tak

2. Penyakit arteri koroner tak stabil

efektif (hemoglobinopati, kegagalan

3. Preoperatif koreksi Hb cepat

sumsum tulang, resisten terhadap ESA)

Transfusi

18

Kondisi kronik khusus: Klinis anemia kronik berat dan kontraindikasi relative terhadap ESA (riwayat keganasan dan stroke)

Potensial untuk transplant?

Ya

Tidak Transfusi

Risiko allosensitisasi?

Tinggi

Rendah

1. Riwayat transplantasi 2. Riwayat kehamilan 3. Riwayat transfusi

1. Laki-laki belum pernah transfusi 2. Wanita belum pernah transfusi 3. Wanita nullipara

Nilai perbandingan risiko-manfaat sebelum transfusi Gambar. Algoritma transfusi pada pasien gagal ginjal kronik (KDIGO, 2012)

2.7. Prognosis Sementara banyak penelitian pada pasien penyakit ginjal kronis menemukan bahwa anemia dan kaitannya terhadap resistensi terhadap EPO eksogen memiliki prognosis yang buruk, kontribusi relatif terhadap hasil yang buruk dari hematokrit yang rendah, inflamasi yang menjadi penyebab anemia, dan penyebab lain yang belum jelas. Hubungan anemia dengan penyakit ginjal kronis, pertumbuhan populasi pasien dengan penyakit ginjal kronis dan anemia, dan hubungan anemia dengan mortalitas kardiovaskular. Pengetahuan dini, ditambah

19

dengan

ketersediaan efektifitas

erythropoiesis

dan

strategi

dosis,

mengindentifikasi dan pengobatan anemia pada penyakit ginjal kronis sangat penting dalam pengelolaan populasi berisiko. 10

20

DAFTAR PUSTAKA 1. Chung M, Moorthy D, Hadar N, et al. Biomarkers for Assesing and Managing Iron Deficiency Anemia In Late Stage Chronic Kidney Disease. 2012 Oct; 83: 1-2 2. Stauffer ME, Fan T. Prevalence of Anemia in Chronic Kidney Disease in United States. Plos One. 2014 Jan; 9(1) : 1-2 3. Suwitra K. Buku Ajar Penyakit Dalam. 4th .ed. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Idrus A, et al. Jakarta : Interna Publishing, 2008. 632 p. 4. Bakta IM. Buku Ajar Penyakit Dalam. 4th .ed. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Idrus A, et al. Jakarta : Interna Publishing, 2008. 63235 p. 5. Dmitrieva O, et al. Association of Anemia in Primary Care Patients with Chronic Kidney Disease ; Cross Sectional Study of Quality Improvement in Chronic Kidney Disease (OICKD) Trial Data. BMC Nephrol. 2013 ; 14(24) :2-3 6. Eknoyan G, et al. KDIGO Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic Kidney Disease. Kidney Disease Improving Global Outcomes. 2012 Aug 2;2(4) : 283-86 7. Locatelli, et al. Kidney Disease : Improving Global Outcomes Guidelines on Anemia Management in Chronic Kidney Disease : a European Renal Best Practice Position Outcomes. Nephrol Dial Transplant. 2013 Apr 12; 28: 1346-50 8. Fauci A, et all. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th .ed . Abbruzzese, et al. United States of America : McGraw-Hill, 2012 9. Goldman L, Ausiello D. Cecil Medicine. 23rd. ed. Afdhal NH, et al. United State of America : Saunders, 2007. 10. Provenzano, R. Current Diagnosis & Treatment Nephrology & Hypertension. Lerma EV, Berns JS, Nissenson AR. United States of America : McGraw-Hill, 2009

21

More Documents from "Yulia Karolina Kurniawati"

E.t._piano_solo
May 2020 10
October 2019 27
Silent Hill Theme
May 2020 14
May 2020 12