Jurnal Pengajaran Fisika Sekolah Menengah
ISSN 1979-4959
Vol. 1, No.1, Februari 2009
Review: Model Materi Tentang Pengetahuan Satuan Sudut: Derajat dan Radian dan Penggunaannya Dalam Memahami Ukuran Fisik dan Jarak Benda Langit Moedji Raharto Program Studi Astronomi, Gd Astronomi, Lab Tek III Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung Jalan Ganeca 10 Bandung 40132 E-mail:
[email protected] Diterima Editor Diputuskan Publikasi
: :
11 Januari 2009 31 Januari 2009
Abstrak Satuan sudut yang umum dipergunakan adalah derajat. Ukuran itu dipergunakan untuk menyatakan pengukuran sudut sebuah bangunan dalam bidang datar misalnya sudut – sudut yang dibentuk oleh dua sisi dalam sebuah segitiga datar, sudut dalam bujur sangkar atau empat persegi panjang, jajaran genjang dan sebagainya. Sedangkan satuan sudut yang lebih kecil, menit dan detik busur, mungkin hanya sering dipergunakan untuk penelitian (misalnya pengukuran gerak diri bintang, sudut paralaks bintang dsb) atau membicarakan ukuran dan pengamatan benda langit. Satuan radian juga merupakan bagian dari satuan sudut yang perlu diperluas contoh pemanfaatannya dalam pengajaran siswa. Pemanfaatan konsep satuan sudut dan kaitannya untuk perhitungan jarak dan ukuran fisik benda langit serta relasinya dengan satuan waktu dibahas dalam makalah ini. Kata Kunci: diameter sudut, derajat, radian, detik busur, menit busur. Abstract The unit of angle in degree is commonly used. Degree is ussually revealed as unit on measurement of angle in a planes geometry for example the angle between the two sides of a triangle, a square or a rectangle, a parallelogram etc. While the smaller unit of angle such as second of arc or minute of arc may be only used in a research (for example a measurement of propermotion of stars or parallax of stars etc) or when we are talking about angular diameter of celestial body. Radian is also a unit of angle which should be introduced to the students through more examples on practical application. The use of concept on the relationship between unit of angle and the distance and diameter of the celestial body as well as the relationship with the time will be discussed in this paper. Key words: angular diameter, degree, radian, second of arc, minute of arc.
1. Pendahuluan Dalam kehidupan sehari-hari mungkin kita pernah melihat dua benda langit yang paling terang, Matahari yang bundar pada langit siang dan bundar Bulan Purnama pada suatu malam. Kesan selintas kedua benda langit, Matahari dan Bulan Purnama, mempunyai ukuran sama besar. Sedangkan planet terang (planet Merkurius, Venus, Mars, Jupiter dan Saturnus) dan bintang hanya terkesan hanya sebagai sebuah titik cahaya dengan terang yang berbeda. Kita tahu bahwa Matahari mempunyai ukuran yang sangat besar dibanding dengan ukuran Bulan, kesamaan ukuran penampakan bundaran Bulan Purnama dan bundaran Matahari merupakan kesan pengamatan diameter sudut Matahari dan Bulan Purnama. Ukuran
sesungguhnya diameter Matahari sekitar 400 kali lebih besar diameter Bulan, tapi Bulan sekitar 400 kali lebih dekat ke Bumi dibandingkan dengan Matahari yang berlokasi 400 kali lebih jauh. Bintang juga merupakan benda langit yang sangat besar seperti Matahari, karena letaknya yang sangat jauh maka hanya terlihat sebagai sebuah titik cahaya. Bintang terletak pada jarak beberapa tahun cahaya sedang Matahari terletak pada beberapa menit cahaya. Contoh di atas merupakan bagian dalam membangun intuisi alamiah dan rasionalitas. Jadi pembicaraan tentang besaran sudut tidak bisa dihindari dalam mempelajari posisi benda langit dan penyelesaian beberapa masalah astronomi. Pada bab berikutnya dibahas
1
JPFSM Vol. 1, No. 1, Ferbuari 2009
tentang aplikasi pengetahuan tentang sudut dalam astronomi. Misalnya, berapa diameter sudut Matahari, Bulan, dan Bintang, atau berapa tinggi Bulan pada saat Matahari terbenam, yang semuanya diekspresikan dalam besaran sudut.
2. Sudut Pada Bidang Datar Secara fisik pengertian sudut dalam pembahasan ini sama seperti pembicaraan sudut pada bidang datar adalah sudut yang dibentuk oleh perpotongan dua garis lurus seperti ditunjukkan pada Gbr. 1.
2
merupakan sudut yang dibentuk oleh perpotongan garis singgung pada titik dua lingkaran besar.
3. Satuan Sudut: Derajat, Menit Busur, dan Detik Busur Ukuran besar kecil sebuah sudut dinyatakan dengan unit derajat dengan simbol (°), menit busur dengan simbol (') dan detik busur dengan simbol (").Pada sebuah lingkaran, pusat lingkaran merupakan vertex dan garis yang dibentuk dari pusat ke setiap titik pada keliling lingkaran merupakan garis acuan dan garis terminal. Pada lingkaran ukuran sudut satu derajat (1°) merupakan besar sudut yang diliput oleh busur lingkaran sebesar 1/360 kali keliling lingkaran. Sedangkan satu menit busur (1') didefenisikan 1/60 derajat (1/60°) dan satu detik busur (1") didefenisikan 1/3600 derajat atau 1/60 menit busur (1/60’). Jadi ukuran sudut dalam orde menit busur maupun detik busur merupakan ukuran yang sangat kecil bila dibanding dengan ukuran sudut yang sering dijumpai dalam keperluan hidup sehari-hari. Begitupula tidak mudah mengukurnya.
Gambar 1. Sudut Positif (arah berlawanan dengan putaran jarum jam). Sepenggal garis lurus AC dan sepenggal garis lurus AB berpotongan di titik A. Titik A dinamakan vertex, AB sisi acuan dan AC sisi terminal. Sudut A diukur dari arah AB ke AC atau ditulis sebagai sudut BAC, arah putaran ke kiri (berlawanan dengan putaran jarum jam) adalah sudut positif dan arah putran ke kanan (searah dengan putaran jarum jam) adalah sudut negatif.
Gambar 3. Sektor ABC, BC = l = busur lingkaran Sudut-sudut kecil tidak mudah digambarkan, penggambarannya hanya untuk memudahkan dalam memahami konsep. Secara umum dapat dirumuskan antara panjang busur, (sudut) busur dan radius lingkaran yang melingkupinya. Seperti diilustrasikan pada Gbr. 3, bila l adalah panjang busur pada keliling lingkaran dengan radius R maka busur S adalah: Gambar 2. Sudut yang dibentuk oleh perpotongan dua busur lingkaran besar (lingkaran yang berpusat dan beradius sama dengan bola) pada permukaan bola. Apabila ada garis lengkung a dan b berpotongan di X, perpotongan garis singgung m pada a dan garis singgung l pada b di titik X dapat digunakan sebagai sisi acuan dan sisi terminal (Gbr. 2). Konsep sudut semacam ini juga perlu dikenalkan, karena akan bermanfaat dalam mengenal konsep segitiga bola, atau segitiga pada permukaan bola dengan syarat bahwa semua sisinya merupakan bagian busur lingkaran besar dan sudut bola
(
)
S = 1× 360 o / 2πR
(1)
di mana π= 3.1415927...
4. Satuan Sudut Radian (rad) Ukuran sudut lainnya adalah radian (rad). Satu radian (1 rad) ekivalen dengan sudut yang dilingkup busur lingkaran dengan panjang busur sama dengan panjang radius lingkaran R.
JPFSM Vol. 1, No. 1, Ferbuari 2009
Hubungan antara derajat dan radian sebagai berikut. 1 rad = (R/2πR) x 360° atau p rad = 180°. 1 rad = (1/π) × 180° = 57°,2957795 = 57°17'44",806. 1° = (p/180) rad = (3,1415927/180) rad = 0,0174532925 rad. Hubungan Derajat (°), menit busur (‘), detik busur (“) dan Radian (rad) sebagai berikut. 1° = 60’ = 60 x 60”, 180° = 180 × 3600”, 1” = (1/60)’ = ( 1/3600)°, 180° = π rad. 1 rad = (180 × 60)’/π = (180 x 3600)”/π ≅ 206265”. 1” = (1/206265) rad, 1 milidetik busur = 0”.001 = 10-3“, 1 mikro detik busur = 0”.000 001 = 10-6“, dan 1 nano detik busur = 0”.000 000 001 = 10-9”. Perhitungan sudut radian memerlukan perhitungan dengan angka yang rumit dan bisa dalam satuan yang sangat kecil, oleh karena itu diperlukan alat bantu kalkulator atau mesin hitung yang cermat sekali. Menilik dari kecermatan yang diperlukan dalam perhitungan sudut kecil tersebut maka latihan soal sangat dianjurkan menggunakan kalculator atau mesin hitung yang mempunyai kecermatan yang tinggi hingga 9 digit dibelakang koma untuk menghindari kesalahan pembulatan oleh mesin hitung, terutama kalau memperhitungkan sudut yang sangat kecil (menit atau detik busur). Berikut ini adalah beberapa contoh konversi sudut. (a) ¼ × (36°25’24”) = ¼ × (36°+(25°/60) + (24°/3600)) = ¼ × 36°,423333 = 9°,10583333. (b) ¼ × (36° 25’ 24”) = ¼ × (36 x 60’ + 25’ + (24’/60) ) = ¼ × (2160’ + 25’ + 0’.4) = 546’,35. (c) ¼ × (36° 25’ 24”) = ¼ × (36 × 3600” + 25 × 60” +24”) = ¼ × (129600”+1500”+24”) = 32781”. Bilangan π (pi) Bilangan π didefenisikan sebagai keliling lingkaran dibagi dengan garis tengah lingkaran. Al–Kashi (1436M) Matematikawan di Observatorium Ulug Beg di Samarkand-Asia Tengah, mengembangkan teorema deret binomial untuk menentukan bilangan π. Bilangan pecahan yang akurat itu dipecahkan mirip dengan metoda dalam analisa numerik. Bilangan π dalam sistem bilangan pecahan sexagesimal adalah 2π = 6, 16, 59, 28, 1, 34, 51, 46, 15, 50 (dinyatakan dalam sexagesimal) atau 2π = 6 + (16/60) + 59/(60)2 + 28/(60)3 + 1/(60)4 + . . . . Penjumlahan di atas memberikan hasil 2π = 6.2831853071795865 . . . atau π = 3,14159265358979. Untuk keperluan perhitungan numerik bilangan π bisa didefenisikan melalui beberapa cara. Beberapa di antaranya sebagai berikut. (a) π/2 = (2/1) (2/3) (4/3) (4/5) (6/5) (6/7) (8/7) (8/9) ……… (b) π = 3.1415927 = 21.99149/7 ≈ 22/7.
5. Konversi Besaran Sudut dan Besaran Waktu Jam - Derajat Dalam tata koordinat astronomi satuan sudut juga sering dipergunakan untuk menyatakan sudut jam sebuah benda langit. Konsep hubungan antara gerak jarum jam dan selang waktu yang diperlukan untuk berputar satu putaran masing-masing jarum jam merupakan analogi konversi pembagian waktu melalui indikator perbedaan
3
kecepatan jarum. Jarum penunjuk selang waktu satu jam untuk waktu sideris dan waktu matahari akan berbeda. Putaran jarum jam sideris sedikit lebih cepat dibanding dengan putaran jarum jam matahari. Namun pembagian unitnya bisa sama misalnya 1 hari sideris terdiri dari 24 jam sideris, 1 jam sideris = 60 menit sideris, 1 menit sideris = 60 detik sideris begitu pula 1 hari Matahari = 24 jam Matahari rata-rata, 1 jam Matahari rata-rata = 60 menit Matahari Rata-rata dst. Hubungan antara unit sudut dan unit waktu dalam keperluan astronomi didefinisikan sebagai berikut. 24 jam = 360°, 1 jam = (360°/24) = 15°. 1 menit = (1/60) jam = (15°× (1/60)) = 0°,25 = 0°,25 × 60’ = 15’ (15 menit busur). 1 detik = (1/3600) jam = (15°/3600 ) = 4°,166666 × 10-3 = (15 × 3600”)/3600 = 15" (15 detik busur). Derajat - Jam Contoh konversi dari derajat ke jam sebagai berikut. 1° = (24 jam)/360 = 0,06667 jam = 0,06667 × 60 menit = 4 menit. 1' (1 menit busur) = (24 jam)/(360 × 60) = 1,111 × 10-3 jam = 1,111 × 10-3 × 3600 detik (waktu) = 4 detik . 1" (1 detik busur) = (24 jam)/(360 × 60 × 60) = 1,85185 × 10-5 jam = 0,066667 detik (waktu).
6. Diameter Sudut Pada pertengahan bulan Hijriah, tanggal 13, 14 atau 15, Bulan terbit di ufuq Timur beberapa saat setelah Matahari terbenam. Perhatikan bundar Bulan Purnama di langit. Apa yang dapat anda ukur dari bundaran Bulan Purnama? Diameter bundaran Bulan di langit atau dinamakan diameter sudut Bulan. Diameter sudut bundaran Bulan dinyatakan dalam satuan sudut. Berbagai cara dapat anda kembangkan untuk mendapatkan data pengukuran diameter sudut bundaran Bulan Purnama. Pengukuran sederhana dapat anda pergunakan jari tangan, atau alat ukur sederhana lainnya atau dengan astrofotografi untuk mengukur diameter sudut bundaran Bulan Purnama. Melalui pengamatan astronomi itu anda akan menemukan hasil pengukuran diameter bundaran Bulan Purnama sekitar 30 menit busur atau sekitar setengah derajat. Bola karang Bulan mempunyai diameter linier (2 x 1738) km, namun jarak Bulan ke Bumi setiap saat berubah bisa mendekat hingga mencapai jarak 363296 km atau bisa menjauh hingga mencapai jarak 405503 km. Jarak rata-rata Bulan (jarak terdekat ditambah jarak terjauh dibagi dua) sekitar 384400 km. Oleh karena itu terdapat perubahan atau perbedaan penampakan ukuran diameter sudut Bulan Purnama walaupun perbedaan itu sedikit, sukar diamati dengan mata bugil manusia. Kebanyakan khalayak melihat bundaran Bulan Purnama sama saja. Untuk mengetahui perubahan diameter sudut itu perlu pengamatan yang seksama. Selain itu juga fenomena atmosfer yaitu fenomena refraksi, pembiasan cahaya benda langit oleh angkasa planit Bumi, akan menimbulkan kesan bahwa bundar Bulan Purnama di dekat horizon nampak lebih besar dan terdistorsi (tidak bundar, ada pemepatan) dibandingkan
JPFSM Vol. 1, No. 1, Ferbuari 2009
4
dengan bundaran Bulan Purnama saat Bulan berada di dekat zenit (posisi dekat atas kepala pengamat).
Gambar 4. Diameter sudut θ, sebuah benda langit dengan diameter 2R dan berjarak d dari pengamat. Seperti ditunjukkan Gbr. 4, secara matematis terdapat hubungan trigonometri antara diameter linier (2 kali radius = 2 kali semidiameter) benda langit dengan jarak dan diameter sudut sebagai berikut. tan θ =
2R d
(2)
dengan θ = diameter sudut, R = jari-jari atau radius linier benda langit dan d = jarak benda langit. Bila harga diameter sudut, θ, cukup kecil (θ << ) maka menurut uraian deret Taylor dalam matematika/kalkulus tan θ = sin θ = θ. Sudut θ dinyatakan dalam radian (rad). Ingat hubungan antara sudut dan radian, yaitu π rad = 180° = 180 × 60” = 180 × 60 × 60” dan π = 3.14…... Bila diameter linier benda langit adalah D maka D = 2R dan persamaan (2) dapat ditulis θ = D/d
(3)
Karena diameter linier Bulan, D, tidak berubah atau konstan dan bila jarak Bumi-Bulan berubah dari d 1 = A 1 B, menjadi d 2 = A 2 B maka diameter sudut:
θ1 = D / d1
(4)
θ2 = D / d2
(5)
Melalui persamaan (4) dan (5), dapat diturunkan persamaan
θ1 d1 = θ2 d2
diameter sudut Bulan yang berubah juga merupakan indikator bahwa orbit Bulan mengelilingi Bumi tidak berbentuk lingkaran. Begitupula konsep ini dapat dipergunakan untuk mengukur diameter sudut Matahari. Untuk pengamatan Bulan lebih sederhana dibandingkan dengan pengamatan Matahari, karena pengamatan Matahari secara langsung tanpa penapis khusus sangat berbahaya dapat menimbulkan cacat permanen, kebutaan pada mata. Andaikan diameter sudut Matahari dapat diukur melalui pemotretan Matahari kita juga akan mendapatkan bahwa diameter sudut Matahari akan lebih besar saat Bumi berada di titik perihelion (titik terdekat dengan Matahari) dibanding dengan diameter sudut Matahari saat Bumi berada di titik aphelion (titik terjauh dengan Matahari). Selain itu juga dapat dipergunakan untuk mengetahui tinggi bintang atau jarak sudut antara dua bintang terang di langit, menaksir diameter sudut sebuah meteor, diameter sudut sebuah ekor komet, perjalanan satelit atau pesawat terbang di langit dan berbagai fenomena langit lainnya. Contoh penggunaan konsep sudut dan diameter sudut sebagai berikut. Jarak Bumi-Matahari = 1,49597870 × 108 km dan diameter sudut Matahari dari planit Bumi, q = 0°31'59",28. Berapa diameter linier Matahari, D ? Jarak Bumi-Matahari, d = 1,49597870 × 108 km. Jawabannya sebagai berikut. d = 1,49597870 × 108 km, diameter sudut dinyatakan dalam derajat θ = 0°31'59",28 harus diubah ke radian dengan cara mengalikan dengan faktor (π/180). D = d×θ = [(0°31'59",28)/180] × π × d. Maka diameter Matahari, AB, D = 1,392000 x 106 km. Contoh lain adalah jika kita ingin menentukan perbandingan diameter sudut Matahari saat Bumi di titik perihelion, θ P , dan saat Bumi di aphelion, θ A , θ A /θ P . Informasi yang diketahui adalah eksentrisitet orbit Bumi mengelilingi Matahari yaitu 0.017. Jawaban dari persoalan ini sebagai berikut. Diameter sudut Matahari saat di perihelion θ P = D mth /d P dan diameter sudut Matahari saat di aphelion θ A = D mth /d A , di mana D mth = diameter linier Matahari, d P = jarak Bumi-Matahari saat Bumi di perihelion dan d A = jarak Bumi-Matahari saat Bumi di aphelion. Tetapi θ A /θ P = (d P /d A ), d A = (1 + e), dan d P = (1 – e), maka θ A /θ P = (1 – e) / (1 + e) = (1 – 0.017)/ (1 + 0.017) = 0,966568338 atau sekitar 967/1000.
(6)
Bila d 1 < d 2 maka (d 2 /d 1 ) > 1 dan oleh karenanya (θ 1 /θ 2 ) > 1 atau θ 1 > θ 2 . Bila Bulan mempunyai jarak lebih dekat (d 1 ) akan mempunyai diameter sudut lebih besar (θ 1 ). Jadi diameter sudut Bulan merupakan indikator jauh dekatnya Bulan dari Bumi. Bundaran Bulan di langit akan nampak lebih kecil saat berada di titik terjauh dari Bumi (Apogee) dan sebaliknya Bundaran Bulan di langit akan nampak lebih besar saat berada di titik terdekat dari Bumi (Perigee). Begitupula fenomena yang berkaitan dengan jarak Bumi-Bulan seperti tinggi air pasang (pasang-surut) pada masa Bulan Purnama atau pada Bulan Mati atau fase Bulan lainnya merupakan fungsi dari diameter sudut Bulan. Hasil pengamatan
7. Penentuan Radius Bumi Berikut ini adalah contoh penentuan radius bumi berdasarkan pengamatan bayang-bayang di dua kota, Aswan dan Alexandria. Cara ini dilakukan oleh Eratosthenes (-276 − -195 SM). Pada suatu hari diketahui bahwa ketika Matahari berada di zenit Aswan, sedangkan pada waktu bersamaan di Alexandria jarak zenit Matahari sekitar 7.2 derajat, informasi itu diperoleh dari bayangbayang sebuah tongkat oleh cahaya Matahari. Jarak kedua kota tersebut 5000 stadia. Untuk menentukan radius bumi berdasarankan informasi tersebut kita anggap Bumi berbentuk bola sempurna. Bisa dibuat lingkaran besar melalui kedua kota, Alexandria dan Syene. Kedua kota tidak perlu harus berada pada meridian yang sama. Jarak zenit Matahari di
JPFSM Vol. 1, No. 1, Ferbuari 2009
kota B (Alexandria) sebesar 7o,2 merupakan indikator besarnya sudut θ = θ B ~ (1/25) × 0,5 lingkaran langit atau sekitar 1/50 lingkaran ~ 7o,2. Bila R = radius Bumi, keliling Bumi 2πR = 50 × 5000 stadia maka 1 stadia = 185 meter (unit jarak) dan 5000 stadia = 925 km. Bila 2πR = 46250 km dan AB = θ(rad) R dengan OA = R, θ (rad) = (θ (o) / 180) × π, AB = 5000 stadia, R = [(AB/θ) × (180/π)] . Dibandingkan dengan penentuan modern 2πR = 40075 km (modern) kesalahan [(46250 – 40075) / 40075] = 15%.
8. Sudut Ruang Selain definisi sudut dalam bidang, kita juga mengenal definisi sudut dalam ruang tiga dimensi. Gambar 5 dapat digunakan untuk memahami definisi sudut tiga dimensi.
Gambar 5. Sudut ruang ω, dilingkup oleh kerucut dengan panjang sisi R dan luas alas A. Sudut yang dibentuk oleh titik apex dan permukaan yang melingkupinya. Pada sebuah bola, sudut dengan apex di pusat bola dan dilingkupi oleh permukaan bola, permukaan bola bisa sebuah segitiga bola atau yang lainnya. Sudut ruang ω= (A/R2) steradian, dengan A = luas pada permukaan bola dengan radius R. Sudut ruang untuk seluruh permukaan bola dengan radius R adalah : ω = Luas/ R2 = 4πR2/ R2 = 4π steradian.
9. Kesimpulan dan Saran Pemahaman tentang sudut dan kaitannya dengan besaran fisik benda langit telah diuraikan melalui contohcontoh. Penulis mengusulkan uraian pemahaman tentang sudut tersebut dapat dikembangkan dan disesuaikan tingkat kesulitannya dalam pengajaran siswa SLTP/MTs atau MA/SMU dengan memberikan beragam contoh penggunaan konsep sudut dan relasinya dengan besaran fisik lainnya. Pemahaman ini diharapkan akan menambah kompetensi siswa dalam pelajaran FISIKA/IPA/IPBA dan diharapkan bisa disampaikan lebih menarik walaupun berkaitan dengan dunia yang lebih jauh, dunia bintang, planet, Bulan dan Matahari.
5
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Sdr. Novi Sopwan SSi atas bantuan mengedit naskah awal makalah ini. Sebagian materi ini pernah disampaikan pada acara Pembinaan Kompetensi Siswa yang diselenggarakan dalam rangka kerma DIKNAS dan ITB pada tahun 2007 dan 2008, juga pada acara pembekalan siswa dalam rangka International Astronomical Olimpiad (IAO) 2008 di Trieste Italia. Penulis mengucapkan terima kasih atas pendanaannya dan kepercayaannya dalam melaksanakan program – program tersebut.
Referensi [1] F. Ayres Jr, Schaum’s Outline Series: Theory and Problems of Plane and Spherical Trigonometry, New York: Mc Graw – Hill, pp 1-7 (1954). [2] H.C. Rietz, J.F. Reilly, and R. Woods, Plane and Spherical Trigonometry, New York: The Macmillan, pp 124-128 (1936) [3] W.M. Smart, Spherical Astronomy, London: Cambridge Univ. Press, pp 195-224 (1980). [4] F.W. Sparks, P.K. Rees, and C.S. Rees, Plane Trigonometry, New York: Prentice – Hall, pp 12-24 (1984) .