1.docx

  • Uploaded by: Irfan Rosadi
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 11,424
  • Pages: 37
1. Konsep Dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja bagi sebagai ilmu terapan yang bersifat multi disiplin maupun sebagai suatu program yang didasarkan oleh suatu dan alasan tetentu perlu dipahami dan dipelajari secara umum maupun secara khusus. Secara umum adalah memahami prinsip dasarnya sedangkan secara khusus adalah memahami pendekatan masing keilmuan yang terlibat didalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Sebagai ilmu yang bersifat multidisiplin, pada hakekatnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja mempunyai tujuan untuk memperkecil atau menghilangkan potensi bahaya atau risiko yang dapat mengakibatkan kesakitan dan kecelakaan dan kerugian yang mungkin terjadi. Kerangka konsep berpikir Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah menghindari resiko sakit dan celaka dengan pendekatan ilmiah dan praktis secara sistimatis (systematic), dan dalam kerangka pikir kesistiman (system oriented). Untuk memahami penyebab dan terjadinya sakit dan celaka, terlebih dahulu perlu dipahami potensi bahaya (hazard) yang ada, kemudian perlu mengenali (identify) potensi bahaya tadi, keberadaannya, jenisnya, pola interaksinya dan seterusnya. Setelah itu perlu dilakukan penilaian (asess,evaluate) bagaimana bahaya tadi dapat menyebabkan risiko (risk) sakit dan celaka dan dilanjutkan dengan menentukan berbagai cara (control, manage) untuk mengendalikan atau mengatasinya. Langkah langkah sistimatis tersebut tidak berbeda dengan langkah langkah sistimatis dalam pengendalian resiko (risk management). Oleh karena itu pola pikir dasar dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada hakekatnya adalah bagaimana mengendalikan resiko dan tentunya didalam upaya mengendalikan risiko tersebut masing-masing bidang keilmuan akan mempunyai pendekatanpendekatan tersendiri yang sifatnya sangat khusus. Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang mempunyai kerangka piker yang bersifat sistimatis dan berorientasi kesistiman tadi, tentunya tidak secara sembarangan penerapan praktisnya di berbagai sektor didalam kehidupan atau di suatu organisasi. Karena itu dalam rangka menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja ini diperlukan juga pengorganisasian secara baik dan benar. Dalam hubungan inilah diperlukan Sistim Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang Terintegrasi (Integrated Occupational Health and Safety Management System) yang perlu dimiliki oleh setiap organisasi. Melalui sistim manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja inilah pola piker dan berbagai pendekatan yang ada diintegrasikan kedalam seluruh kegiatan operasional organisasi agar organisasi dapat berproduksi dengan cara yang sehat dan aman, efisien serta menghasilkan produk yang sehat dan aman pula serta tidak menimbulkan dampak lingkungan yang tidak diinginkan. Perlunya organisasi memiliki sistim manajemen Keselamatan dan Kesehatan kerja yang terintegrasi ini, dewasa ini sudah merupakan suatu keharusan dan telah menjadi peraturan. Organisasi Buruh Sedunia (ILO) menerbitkan panduan Sistim Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.Di Indonesia panduan yang serupa dikenal dengan istilah SMK3, sedang di Amerika OSHAS 1800-1, 1800-2 dan di Inggris BS 8800 serta di Australia disebut AS/NZ 480-1. Secara lebih rinci lagi asosiasi di setiap sektor industri di dunia juga menerbitkan panduan yang serupa seperti misalnya khusus dibidang transportasi udara, industri minyak dan gas, serta instalasi nuklir dan lain-lain sebagainya. Bahkan dewasa ini organisasi tidak hanya dituntut untuk memiliki sistim manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi, lebih dari itu organisasi diharapkan memiliki budaya sehat dan selamat (safety and health culture) dimana setiap anggotanya menampilkan perilaku aman dan sehat.

2.Peraturan tentang pelaksanaan pelayanan kesehatan kerja. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI No: PER.03/MEN/1982 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TENAGA KERJA. MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI R.I

Menimbang : bahwa dalam rangka melindungi tenaga kerja terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan atau lingkungan kerja serta kemampuan fisik dari tenaga kerja, maka perlu dikeluarkan peraturan tentang Pelayanan Kesehatan Kerja. Mengingat : 1. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918). 2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per. 02/Men/1980. 3. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kepts. 79/Men/1977.

MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG PELAYANAN KESEHATAN KERJA.

Pasal 1 Dalam peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: a. Pelayanan Kesehatan adalah usaha kesehatan yang dilaksanakan dengan tujuan: 1. Memberikan bantuan kepada tenaga kerja dalam penyesuaian diri baik fisik maupun mental, terutama dalam penyesuaian pekerjaan dengan tenaga kerja. 2. Melindungi tenaga kerja terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan atau lingkungan kerja. 3. Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan kemampuan fisik tenaga kerja. 4. Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi tenaga kerja yang menderita sakit.

b. Tempat kerja adalah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) Undang- undang Nomor 1 Tahun 1970. c. Pengurus adalah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor Tahun 1970. d. Pengusaha adalah sebagaimana yang dimaksud pada surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kepts 79/Men/1977. e. Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah dokter atau pegawai teknis yang berkeahlian khusus yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2 Tugas pokok pelayanan Kesehatan Kerja meliputi: a. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemeriksaan berkala dan pemeriksaan khusus. b. Pembinaan dan pengawasan atas penyesuaian pekerjaan terhadap tenaga kerja. c. Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja. d. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan sanitair. e. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan untuk kesehatan tenaga kerja. f. Pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit umum dan penyakit akibat kerja. g. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan. h. Pendidikan Kesehatan untuk tenaga kerja dan latihan untuk petugas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan. i. Memberikan nasehat mengenai perencanaan dan pembuatan tempat kerja, pemilihan alat pelindung diri yang diperlukan dan gizi serta penyelenggaraan makanan di tempat kerja. j. Membantu usaha rehabilitasi akibat kecelakaan atau penyakit akibat kerja. k. Pembinaan dan pengawasan terhadap tenaga kerja yang mempunyai kelainan tertentu dalam kesehatannya. l. Memberikan laporan berkala tentang Pelayanan Kesehatan Kerja kepada pengurus.

Pasal 3 (1) Setiap tenaga kerja berhak mendapatkan Pelayanan Kesehatan Kerja. (2) Pengurus wajib memberikan Pelayanan Kesehatan Kerja sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 4 (1) Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja dapat: a. Diselenggarakan sendiri oleh pengurus. b. Diselenggarakan oleh pengurus dengan mengadakan ikatan dengan dokter atau Pelayanan Kesehatan lain. c. Pengurus dari beberapa perusahaan secara bersama-sama menyelenggarakan suatu Pelayanan Kesehatan Kerja. (2) Direktur mengesahkan cara penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja sesuai dengan keadaan.

Pasal 5 Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja dipimpin dan dijalankan oleh seorang dokter yang disetujui oleh Direktur.

Pasal 6 (1) Pengurus wajib memberikan kebebasan profesional kepada dokter yang menjalankan Pelayanan Kesehatan Kerja. (2) Dokter dan tenaga kesehatan dalam melaksanakan Pelayanan Kesehatan Kerja, bebas memasuki tempat kerja untuk melakukan pemeriksaan-pemeriksaan dan mendapatkan keteranganketerangan yang diperlukan.

Pasal 7 (1) Pengurus wajib menyampaikan laporan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Kerja kepada Direktur. (2) Tata cara bentuk laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur.

Pasal 8 Dokter maupun tenaga kerja kesehatan wajib memberikan keterangan-keterangan tentang Pelaksanaan Kesehatan Kerja kepada Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja jika diperlukan.

Pasal 9 Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja melakukan pengawasan terhadap ditaatinya pelaksanaan peraturan ini.

Pasal 10 (1) Pelanggaran terhadap Pasal 3 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 diancam hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya seratus ribu rupiah, sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970. (2) Tindakan pidana tersebut pada ayat (1) adalah pelanggaran. Pasal 11 Hal-hal yang dianggap perlu untuk melaksanakan peraturan ini akan diatur oleh Direktur.

3.Konsep etika kesehatan dan keselamatan kerja konsep atau pandangan K3: 1.Konsep lama a.Kecelakaan merupakan nasib sial dan merupakan risiko yang harus diterima. b.Tidak perlu berusaha mencegah c.Masih banyak pengganti pekerja d.Membutuhkan biaya yang cukup tinggi e.Menjadi faktor penghambat produksi

2.Konsep masa kini a.Memandang kecelakaan bukan sebuah nasib. b.Kecelakaan pasti ada penyebabnya sehingga dapat dicegah c.Penyebab: personal factors80-85% dan environmental factors 15 % sampai 20 % d.Kecelakaan selalu menimbulkan kerugian e.Peran pimpinan sangat penting & menentukan Secara filosofi, keselamatan dan kesehatan kerja diartikan sebagai sebuah pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan: tenaga kerja dan manusia pada umumnya (baik jasmani maupun rohani), hasil karya dan budaya menuju masyarakat adil, makmur dansejahtera. Sedangkan ditinjau dari keilmuan,keselamatan dan kesehatan kerja diartikan sebagai suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam upaya mencegah kecelakaan,kebakaran, peledakan, pencemaran, penyakit, dan sebagainya 1.Keselamatan(safety) Keselamatan kerja diartikan sebagai upaya-upaya yang ditujukan untuk melindungi pekerja; menjaga keselamatan orang lain; melindungi peralatan, tempat kerja dan bahan produksi; menjaga kelestarian lingkungan hidup dan melancarkan proses produksi. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam keselamatan (safety). a.Mengendalikan kerugian dari kecelakaan (control of accident loss) b.Kemampuan untuk mengidentifikasikan dan menghilangkan resiko yang tidak bisa diterima (the ability to identify and eliminate unacceptable risks) 2.Kesehatan (health) Kesehatan diartikan sebagai derajat/tingkat keadaan fisik dan psikologi individu (the degree of physio well being of the individual). Secara umum, pengertian dari kesehatan adalah upaya-upaya yang ditujukan untuk memperoleh kesehatan yang setinggi-tingginya dengan cara mencegah dan memberantas penyakit yang diidap oleh pekerja, mencegah kelelahan kerja, dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat.

Etika Kesehatan Kerja Pelaksanaan upaya kesehatan kerja dengan subjek manusia tersebut memerlukan etika, karena ada unsur HAM yang harus dihormati dan dijaga. Etika kesehatan kerja tidak persis sama dengan etika kedokteran, karena: (1) tanggung jawab profesi kesehatan kerja yang kompleks terhadap pekerja, pemberi kerja, lembaga terkait kesehatan masyarakat, kesejahteraan sosial dan hukum; (2) profesi kesehatan kerja terdiri dari banyak individu yang berasal dari berbagai disiplin ilmu; dan (3) pendekatan multidisiplin dengan latar belakang yang bervariasi. Di Indonesia, kode etik yang terkait dengan kesehatan kerja telah disusun oleh beberapa organisasi profesi, antara lain: 1) Kode Etik Dokter Kesehatan Kerja disusun IDKI (1999). 2) Kode Etik Spesialis Kedokteran Okupasi disusun PERDOKI (2004). 3) Di tingkat internasional, kode etik pertama profesi kesehatan kerja dipublikasi oleh ICOH pada tahun 1992 dan direvisi pada tahun 2002. Kode etik ini relevan bagi profesional yang bertugas di perusahaan, sektor swasta/umum, berkaitan dengan K3, higiene dan lingkungan kerja.Kode etik tersebut juga berlaku bagi individu/organisasi pelayanan K3 terhadap pelanggan dan dalam pelayanan kesehatan masyarakat atau komersial. Prinsip etika dan nilai dalam kode etik ICOH tersebut mencakup: 1) Kesehatan kerja bertujuan memberikan pelayanan kesehatan dan kesejahteraan sosial bagi pekerja,individu atau kelompok. Praktik kesehatan kerja harus berdasarkan standar tertinggi profesi dan prinsip etika. 2) Kebijakan dan program kesehatan kerja melindungi kehidupan & kesehatan pekerja, menjunjung HAM dan etika Berintegritas, tidak apriori, menjaga kerahasiaan data dan privacy pekerja. 3) Bebas berkarya sebagai ahli dalam menjalankan fungsi kesehatan kerja. Mendapatkan dan menjaga kompetensi serta kondisi yang diperlukan dalam menjalankan tugas sesuai praktik yang baik dan etika profesi.

4.Konsep hazard dan risiko kesehatan di perkebunan. Menurut data International Labour Organization (ILO) tahun 2003, 1 pekerja di dunia meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja dan 160 pekerja mengalami sakit akibat kerja. Sedangkan menurut data BPJS Ketenagakerjaan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan) mecatat sepanjang tahun 2013 jumlah peserta yang mengalami kecelakaan kerja sebanyak 129.911 orang. Dari jumlah kecelakaan tersebut sebagian besar atau sekitar 69,59 persen terjadi di dalam perusahaan ketika mereka bekerja. Sebanyak 34,43% penyebab kecelakaan kerja dikarenakan posisi tidak aman atai ergonomis dan 32,12% pekerja tidak memakai peralatan yang safety. Dalam hasil penelitian Arif tahun 2011 menunjukkan bahwa kesesuaian penerapan manajemen risiko pada PT Cipta Kridatama Jobsite Mahakam Sumber Jaya degan prosedur PR-00SHE-025 tentang identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko K3 sangatlah penting dalam pertimbangan pelaksanaan manajemen risiko. Terutama dalam hal pengendalian risiko perusahaan. Pada jurnal inetrnasional tahun 2012 “The Effects of Risk Assessment (Hirarc) on Organisational Performance in Selected Contruction Companies in Nigeria” menyebutkan ada keterkaitan antara penilaian risiko (HIRARC) dengan menurunnya insidensi kecelakaan. Hasil menunjukkan dari keenam perusahaan konstruksi yang diteliti, kinerja organisasi menjadi lebih baik (menurangi kecelakaan atau tingkat insiden, peningkatan produktivitas) tergantung pada penilaian risiko (HIRARC)(Agwu,2012). Berdasarkan survei pendahulan yang dilakukan, implementasi manajemen risiko di Pabrik Kelapa Swait (PKS) PTPN IV Unit Usaha Pabatu dimulai sejak tahun 1999, bersamaan dibentuknya Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3). Penerapan manajemen risiko pada PTPN IV Unit Usaha Pabatu dilaksanakan berdasarkan PP No.50 tahun 2012, dilaksanakan setahun sekali pada bulan April-Mei yang dilaksanakan oleh Tim Manajemen Risiko. Pelaksanaan manajemen risiko dilakukan dengan menggunakan metode HIRAC (Hazard Identification, Risk Assessment & Control) pada proses kerja di setiap stasiun yang ada di PKS PTPN IV Unit Usaha Pabatu. Hasil HIRAC di setiap stasiun kerja yang dilakukan pada tahun 2013-2014 yang terdiri dari identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko didapatkan bahwa bahaya yang teridentifikasi yaitu luka bakar, gangguan pernafasan, patah tulang, gangguan penglihatan, kulit melepuh. Pada hasil penilaian dan pengendalian risiko, risiko bersifat high, moderate dan low serta pengendaliannya berupa mematuhi instruksi kerja dan pemberian APD, rambu K3 serta APAR. Pabrik kelapa sawit PTPN IV ini, sudah melaksanakan manajemen risiko, namun masih terdapat insiden kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja berupa gangguan pernafasan, iritasi mata, gangguan pendengaran, luka dan iritasi kulit. Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin mengetahui apakah penerapan manajemen rsiko pada pabrik kelapa sawit (PKS) PTPN IV Unit Usaha Pabatu Tebing Tinggi Tahun 2015 sudah terpenuhi atau tidak beradsarkan Peraturan Pememrintah No.50 Tahun 2012. Perusahaan sudah melaksanakan manajemen risiko sejak tahun 1999, bersamaan dibentuknya Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3). Manajemen risiko yang dilaksanakan setahu sekali oleh Tim Manajemen Risiko independen yang terdiri dari anggota P2K3 ini menggunakan HIRAC (Hazard Identification, Risk Assessment and Control).

Identifikasi Bahaya (Hazard Identification) Proses identifikasi bahaya adalah proses lanjutan dari identifikasi kegiatan, pada proses identifikasi bahaya akan dilakukan penjabaran risiko di tiap stasiun yang sudah diidentifikasi. Pada identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko terhadap proses pengolahan kelapa sawit ditemukan bahwa bahaya dengan tingkat risiko low adalah bahaya tertusuk gancu pada stasiun sortasi. Bahaya dengan tingkat risiko moderate adalah bahaya tertusuk duri, terjepit pintu dan tertimpa lori, terlibas tali, kebisingan, debu, terantuk polishing drum. Bahaya dengan tingkat risiko high adalah bahaya minyak dan uap panas, peledakan kompresor, ketinggian. Penilaian risiko yang dilakukan perusahaan belum sepenuhnya sesuai dengan PP No.50 tahun 2012, dikarenakan penilaian tidak dilakukan secara objektif dan rutin, hal ini terlihat dari hasil HIRAC tidak ada perbedaan antara hasil penilaian tahun 2012-2015. Pengendalian Risiko (Risk Control) Risk control bertujuan untuk Identifikasi bahaya yang dilaksanakan oleh perusahaan sudah sesuai dengan PP No.50 tahun 2012 tentang SMK3 pasal 7 dan pasal 9 yang menjelaskan bahwa pengusaha dalam menetapkan kebiajkan K3 dan merencanakan K3 harus melakukan peninjauan awal dan mempertimbangkan identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko. Penialain Risiko (Risk Assessment) Penilaian risiko adalah metode untuk mengetahui tingkat risiko suatu kegiatan. Parameter yang digunakan untuk melakukan penilaian risiko adalah peluang dan akibat. Metode yang digunakan untuk penilaian risiko adalah ranking system metode HIRAC. meminimalkan tingkat risiko dari potensi bahaya yang ada. Setiap risk control yang dilakukan akan dianalisa secara lengkap.

5.Konsep Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat penggunaan alat-alat produksi semakin komplek. Makin kompleknya peralatan yang digunakan, makin besar pula potensi bahaya yang mungkin terjadi dan makin besar pula kecelakaan kerja yang ditimbulkan apabila tidak dilakukan penanganan dan pengendalian sebaik mungkin. Hal ini menunjukkan bahwa masalah-masalah keselamatan dan kesehatan kerja tidak lepas dari kegiatan secara keseluruhan, maka pola-pola yang harus dikembangkan di dalam penanganan K3 dan pengendalian potensi bahaya harus mengikuti pendekatan sistem yaitu dengan menerapkan sistem manajemen K3. Sistem Manajemen K3 (SMK3) adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. Adapun tujuan dan sasaran SMK3 adalah menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, nyaman, efisien dan produktif.

Bagaimana membangun SMK3 SMK3 dilaksanakan pada setiap perusahaan dengan berpedoman pada penerapan 5 prinsip dasar sebagai berikut: 1. Komitmen dan Kebijakan; 2. Perencanaan; 3. Penerapan; 4. Pengukuran dan evaluasi; dan 5. Tinjauan Ulang dan peningkatan oleh pihak Pihak Manajemen. Komitmen dan Kebijakan Perencanaan K3,Penerapan K3, Pengukuran Dan Evaluasi Peninjauan Ulang dan Peningkatan oleh Manajemen sumber bahaya, penilaian dan pengendalian risiko serta hasil pelaksanaan tinjauan awal terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Beberapa hal yang terkait dengan perencanaan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Perencanaan dibuat berdasarkan pertimbangan hasil identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko 2) Perencanaan dibuat sesuai dengan kegiatan perusahaan, untuk itu perusahaan menetapkan dan memelihara prosedur untuk inventarisasi, identifikasi serta pemahaman peraturan perundangundangan dan persyaratan lainnya. 3) Tujuan dan Sasaran dalam perencanaan harus dapat diukur, terdapat satuan/indicator pencapaian, terdapat sasaran pencapaian yang jelas dan jangka waktu pencapaian. Tujuan dan sasaran tersebut ditetapkan setelah dikonsultasikan dengan wakil pekerja, dan pihak terkait lainnya serta ditinjau secara teratur.

Penerapan Dalam mencapai tujuan keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan dapat menunjuk personel yang mempunyai kualifikasi yang sesuai. Beberapa hal yang dilakukan perusahaan dalam penerapan K3 meliputi: 1) Jaminan Kemampuan a) Sumber Daya Manusia, Sarana dan Dana Dalam penerapan Sistem Manajemen K3 yang efektif dibutuhkan beberapa hal-hal sebagai berikut: Menyediakan sumber daya (personel, sarana dan dana) yang memadai sesuai dengan ukuran dan kebutuhan dengan prosedur yang dapat memantau manfaat yang akan didapat maupun biaya yang harus dikeluarkan Melakukan identifikasi kompetensi kerja yang diperlukan pada setiap tingkatan manajemen perusahaan dan menyelenggarakan setiap pelatihan yang dibutuhkan. Membuat ketentuan untuk mengkomunikasikan informasi keselamatan dan kesehatan kerja secara efektif. Membuat peraturan untuk mendapatkan pendapat dan saran dari para ahli. Membuat peraturan untuk pelaksanaan konsultasi dan keterlibatan tenaga kerja secara aktif. b) Integrasi. Perusahaan dapat mengintegrasikan Sistem Manajemen K3 kedalam istem manajemen perusahaan yang ada. c) Tanggung Jawah dan Tanggung Gugat Peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja akan efektif apabila semua pihak dalam perusahaan didorong untuk berperan serta dalam penerapan dan pengembangan Sistem Manajemen K3, serta memiliki budaya perusahaan yang mendukung dan memberikan kontribusi bagi Sistem Manajemen K3. Perusahaan harus: Menentukan, menunjuk, mendokumentasikan dan mengkomunikasikan tanggung jawab dan tanggung gugat K3 serta wewenang untuk bertindak. Kepemimpinan dan Komitmen Setiap tingkat pimpinan dalam perusahaan harus menunjukkan komitmen terhadap keselamatan dan kesehatan kerja sehingga Sistem Manajemen K3 berhasil di terapkan dan dikembangkan. Komitmen tersebut harus selalu ditinjau ulang secara berkala dan melibatkan semua pekerja dan orang lain yang berada di tempat kerja. Komitmen K3 tersebut diwujudkan dalam: a) Penempatan organisasi K3 pada posisi strategis dalam penentuan keputusan perusahaan b) Penyediaaan anggaran dan tenaga kerja yang berkualitas serta sarana-sarana lain dibidang K3 c) Penetapan personil yang bertanggung jawab dan mempunyai kewenangan serta kewajiban yang jelas dalam penanganan K3 d) Perencanaan K3 e) Penilaian kinerja dan tindak lanjut pelaksanaan K3 Tinjauan awal K3 (Initial Review) Tinjauan awal terhadap kondisi keselamatan dan kesehatan kerja yang ada di perusahaan dengan melakukan beberapa hal sebagai berikut: a) Identifikasi kondisi yang ada. b) Identifikasi sumber bahaya yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan. c) Penilaian tingkat pengetahuan . d) Membandingkan penerapan K3 dengan perusahaan dan sektor lain yang lebih baik. e) Meninjau sebab dan akibat kejadian yang membahayakan, kompensasi dan gangguan serta hasil penilaian sebelumnya yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja. f) Menilai efisiensi dan efektifitas sumberdaya yang disediakan. Hasil peninjauan awal keselamatan dan kesehatan kerja merupakan bahan masukan dalam perencanaan dan pengembangan Sistem Manajemen K3.

Kebijakan K3 Kebijakan K3 adalah suatu pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh pengusaha dan atau pengurus yang memuat keseluruhan visi dan tinjauan perusahaan, komitmen dan tekad melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja, kerangka dan program kerja yang mencakup kegiatan perusahaan secara menyeluruh yang bersifat umum dan operasional. Kebijakan K3 tersebut dibuat melalui proses konsultasi antara pengurus dan wakil tenaga kerja yang kemudian harus dijelaskan dan disebarluaskan kepada semua tenaga kerja, pemasok dan pelanggan. Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja bersifat dinamik dan selalu ditinjau ulang dalam rangka peningkatan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja. Identifikasi Sumber Bahaya, Penilaian dan Pengendalian risiko Perusahaan harus melakukan identifikasi bahaya, penilaian dan selanjutnya penentuan pengendalian yang tepat. Untuk itu beberapa hal yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: a)Identifikasi Sumber Bahaya dilakukan dengan mempertimbangkan: Kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya. Jenis kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin dapat terjadi. b) Penilaian Risiko Penilaian risiko adalah proses untuk menentukan prioritas pengendalian terhadap tingkat risiko kecelakaan atau penyakit akibat kerja. c) Tindakan Pengendalian Pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dilakukan melalui metode: Pengendalian teknis/rekayasa yang meliputi eliminasi, substitusi, isolasi, ventilasi, higiene dan sanitasi. Pendidikan dan pelatihan. Pembangunan kesadaran dan motivasi yang meliputi sistem bonus, insentif, penghargaan dan motivasi diri. Mempunyai prosedur untuk memantau dan mengkomunikasikan setiap perubahan tanggung jawab dan tanggung gugat yang berpengaruh terhadap sistem dan program K3. Dapat memberikan reaksi secara cepat dan tepat terhadap kondisi yang menyimpang atau kejadian-kejadian lainnya. Tanggung jawab pengurus terhadap keselamatan dan kesehatan kerja adalah: Pimpinan yang ditunjuk untuk bertanggung jawab harus memastikan bahwa Sistem Manajemen K3 telah diterapkan dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan oleh setiap lokasi dan jenis kegiatan dalam perusahaan. Pengurus harus mengenali kemampuan tenaga kerja sebagai sumber daya yang berharga yang dapat ditunjuk untuk menerima pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dalam menerapkan dan mengembangkan Sistem Manajemen K3.

d) Konsultasi, Motivasi, dan Kesadaran Pengurus harus menunjukkan komitmennya terhadap K3 melalui konsultasi dengan melibatkan tenaga kerja maupun pihak lain yang terkait sehingga semua pihak merasa ikut memiliki dan merasakan hasilnya. Tenaga kerja harus memahami serta mendukung tujuan dan sasaran SMK3 dan perlu disadarkan serta harus memahami sumber bahaya yang ada di perusahaan sehingga dapat mencegah terjadinya insiden.

e) Pelatihan dan Kompetensi Kerja Pelatihan merupakan salah satu alat penting dalam menjamin kompetensi kerja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan K3. Prosedur untuk melakukan identifikasi standar kompetensi kerja dan penerapannya melalui program pelatihan harus tersedia. Program pelatihan yang sudah ada harus dikembangkan sesuai dengan hasil penilaiannya.Prosedur pendokumentasian harus ditetapkan untuk melakukan evaluasi efektivitas pelatihan yang telah dilaksanakan.

1.Kegiatan Pendukung a) Komunikasi Perusahaan harus mempunyai prosedur yang menjamin bahwa informasi K3 terbaru dikomunikasikan ke semua pihak dalam perusahaan. b) Pelaporan Prosedur pelaporan harus ditetapkan untuk menjamin bahwa Sistem Manajemen K3 dipantau untuk peningkatan kinerja dan kinerjanya ditingkatkan. c) Pendokumentasian Pendokumentasian merupakan unsur utama pada sistem manajemen untuk itu harus dibuat sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Pendokumentasian Sistem Manajemen K3 diintegrasikan dengan sistem manajemen perusahaan dalam keseluruhan dokumentasi yang ada. d) Pengendalian Dokumen Perusahaan harus menjamin bahwa: Dokumen dapat diidentifikasi sesuai dengan uraian tugas dan tanggung jawab di perusahaan. Dokumen ditinjau ulang secara berkala dan direvisi sesuai kebutuhan. Dokumen sebelum diterbitkan harus lebih dahulu disetujui oleh personel yang berwenang. Dokumen versi terbaru harus tersedia di tempat kerja yang dianggap perlu. Semua dokumen yang telah usang harus segera disingkirkan. Dokumen mudah ditemukan dan mudah dipahami. e) Pencatatan dan Manajemen Informasi Pencatatan merupakan sarana bagi perusahaan untuk menunjukkan kesesuaian penerapan Sistem Manajemen K3 dan harus mencakup: Persyaratan internal/indicator kinerja keselamatan dan kesehatan kerja. Izin kerja. Risiko dan sumber bahaya yang meliputi keadaan mesin-mesin, pesawat pesawat, alat kerja, serta peralatan lainnya, bahan-bahan dan sebagainya, lingkungan kerja, sifat pekerjaan, cara kerja dan proses produksi. Kegiatan pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja. Kegiatan inspeksi, kalibrasi dan pemeliharaan. Pemantauan data. Rincian insiden, keluhan dan tindak lanjut. Identifikasi produk termasuk komposisinya. Informasi mengenai pemasok dan kontraktor. Audit dan peninjauan ulang Sistem Manajemen K3.

2) Audit Sistem Manajemen K3 Audit Sistem Manajemen K3 dilakukan secara berkala untuk mengetahui keefektifan penerapan Sistem Manajemen K3. Audit dilaksanakan secara sistematik dan independen oleh personel yang memiliki kompetensi kerja dengan menggunakan metodologi yang sudah ditetapkan. Frekuensi audit harus ditentukan berdasarkan tinjauan ulang hasil audit sebelumnya dan hasil identifikasi sumber bahaya. Hasil audit digunakan oleh pengurus dalam proses tinjauan ulang manajemen.

3) Tindakan Perbaikan dan Pencegahan Semua hasil temuan dari pelaksanaan pemantauan, audit dan tinjauan ulang Sistem Manajemen K3 harus didokumentasikan dan digunakan untuk identifikasi tindakan perbaikan dan pencegahan serta pihak manajemen menjamin pelaksanaannya secara sistematik dan efektif.

3.1.2 Menyiapkan Organisasi K3 Organisasi K3 yang harus ada di perusahaan yaitu P2K3 (Panitia Pembina K3) adalah jantung dari sukses sistem manajemen K3. P2K3 merupakan wadah kerjasama antara unsur pimpinan perusahaan dan tenaga kerja dalam menangani masalah K3 di perusahaan. Manfaat dibentuknya P2K3 adalah: Mengembangkan kerjasama bidang K3 Meningkatkan kesadaran dan partisipasi tenaga kerja terhadap K3 Forum komunikasi dalam bidang K3 Menciptakan tempat kerja yang nihil kecelakaan dan penyakit akibat kerja Evaluasi melalui internal audit, penyelidikan insiden dan etiologi. Penegakan hukum.

Perancangan (Design) dan Rekayasa Pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dalam proses rekayasa harus dimulai sejak tahap perancangan dan perencanaan. Setiap tahap dari siklus perancangan meliputi pengembangan, verifikasi tinjauan ulang, validasi dan penyesuaian harus dikaitkan dengan identifikasi sumber bahaya, prosedur penilaian dan pengendalian risiko. Personel yang memiliki kompetensi kerja harus ditentukan dan diberi wewenang dan tanggung jawab yang jelas untuk melakukan verifikasi persyaratan Sistem Manajemen K3. Pengendalian Administratif Prosedur dan instruksi kerja dibuat dengan mempertimbangkan aspek keselamatan dan kesehatan kerja pada setiap tahapan, harus didokumentasikan dan ditinjau ulang secara berkala terutama jika terjadi perubahan peralatan, proses atau bahan baku yang digunakan serta dibuat oleh personel yang memiliki kompetensi kerja dengan melibatkan para pelaksana. Tinjauan Ulang Kontrak Pengadaan barang dan jasa melalui kontrak harus ditinjau ulang untuk menjamin terpenuhinya persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja yang ditentukan. Pembelian Sistem pembelian barang dan jasa harus terintegrasi dengan penanganan pencegahan risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja, dan dapat menjamin terpenuhinya persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja. Pada saat barang dan jasa diterima, perusahaan harus menjelaskan

kepada semua pihak yang akan menggunakan barang dan jasa tersebut mengenai identifikasi, penilaian dan pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Prosedur Menghadapi Keadaan Darurat atau Bencana Perusahaan harus memiliki prosedur untuk menghadapi keadaan darurat atau bencana, diuji secara berkala dan dilakukan oleh personel yang memiliki kompetensi kerja, Untuk instalasi yang mempunyai bahaya besar harus dikoordinasikan dengan instansi terkait yang berwenang. Prosedur Menghadapi Insiden Untuk mengurangi dampak terjadinya insiden, perusahaan harus memilki prosedur yang meliputi: Penyediaan fasilitas P3K dengan jumlah yang cukup dan sesuai. Proses perawatan lanjutan. Prosedur Rencana Pemulihan Keadaan Darurat Perusahaan harus membuat prosedur rencana pemulihan keadaan darurat untuk mengembalikan pada kondisi yang normal secara cepat dan membantu pemulihan tenaga kerja yang mengalami trauma. Pengukuran dan Evaluasi Perusahaan harus memiliki sistem untuk mengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja Sistem Manajemen K3 dan hasilnya harus dianalisis guna menentukan keberhasilan atau untuk melakukan identifikasi tindakan perbaikan. 1) Inspeksi dan Pengujian Perusahaan harus menetapkan dan memelihara prosedur inspeksi, pengujian dan pemantauan yang berkaitan dengan tujuan dan sasaran keselamatan dan kesehatan kerja. Frukuensi inspeksi dan pengujian di sesuaikan dengan obyeknya.

Audit Sistem Manajemen K3 Audit Sistem Manajemen K3 dilakukan secara berkala untuk mengetahui keefektifan penerapan Sistem Manajemen K3. Audit dilaksanakan secara sistematik dan independen oleh personel yang memiliki kompetensi kerja dengan menggunakan metodologi yang sudah ditetapkan. Frekuensi audit harus ditentukan berdasarkan tinjauan ulang hasil audit sebelumnya dan hasil identifikasi sumber bahaya. Hasil audit digunakan oleh pengurus dalam proses tinjauan ulang manajemen.

Tindakan Perbaikan dan Pencegahan Semua hasil temuan dari pelaksanaan pemantauan, audit dan tinjauan ulang Sistem Manajemen K3 harus didokumentasikan dan digunakan untuk identifikasi tindakan perbaikan dan pencegahan serta pihak manajemen menjamin pelaksanaannya secara sistematik dan efektif. Tinjauan Ulang dan Peningkatan oleh Pihak Manajemen Pimpinan yang ditunjuk harus melaksanakan tinjauan ulang Sistem Manajemen K3 secara berkala untuk menjamin kesesuaian dan keefektifan yang berkesinambungan dalam pencapaian kebijakan dan tujuan keselamatan dan

kesehatan kerja. Ruang lingkup tinjauan ulang Sistem Manajemen K3 harus dapat mengatasi implikasi keselamatan dan kesehatan kerja terhadap seluruh kegiatan, produk barang dan jasa termasuk dampaknya terhadap kinerja perusahaan.

3.1.2 Menyiapkan Organisasi K3 Organisasi K3 yang harus ada di perusahaan yaitu P2K3 (Panitia Pembina K3) adalah jantung dari sukses sistem manajemen K3. P2K3 merupakan wadah kerjasama antara unsur pimpinan perusahaan dan tenaga kerja dalam menangani masalah K3 di perusahaan. Manfaat dibentuknya P2K3 adalah: Mengembangkan kerjasama bidang K3 Meningkatkan kesadaran dan partisipasi tenaga kerja terhadap K3 Forum komunikasi dalam bidang K3 Menciptakan tempat kerja yang nihil kecelakaan dan penyakit akibat kerja Menghormati peraturan perundang-undangan K3 nasional Semua perusahaan harus menyadari dan mematuhi hukum internasional, nasional yang relevan dan lokal dan standar tentang keselamatan dan kesehatan. Mungkin juga ada undang-undang lingkungan yang mempengaruhi proses cara dapat dilakukan atau limbah dapat dibuang. Organisasi Buruh Internasional (ILO) bertanggung jawab untuk mengeluarkan standar perburuhan internasional (Konvensi, Rekomendasi, Kode Praktek) tentang K3. Selain hukum tertulis, perusahaan dan individu memiliki kewajiban umum untuk berhati-hati agar tidak menyebabkan cedera, atau kerusakan pada properti.

Pelanggaran tugas ini dapat mengakibatkan klaim untuk kerusakan oleh pihak terluka. Kebijakan K3 perusahaan harus mengacu dan mengkonfirmasi komitmen untuk semua kewajiban di atas, yang secara hukum mengikat perusahaan. Tugas Pokok P2K3 adalah memberikan saran dan pertimbangan di bidang K3 kepada pengusaha/pengurus tempat kerja (diminta maupun tidak) Fungsi: Menghimpun dan mengolah data K3 Membantu, menunjukan dan menjelaskan : o Faktor bahaya o Faktor yang mempengaruhi efisiensi dan prod’s o APD o Cara dan sikap kerja yang benar dan aman Membantu pengusaha atau pengurus : o Mengevaluasi cara kerja, proses danlingkungan kerja o Tindakan koreksi dan alternatif o Mengembangkan sistem pengendalian bahaya o Mengevaluasi penyebab kec. dan PAK o Mengembangkan penyuluhan dan penelitian o Pemantauan gizi kerja dan makanan o Memeriksa kelengkapan peralatan K3 o Pelayanan kesehatan tenaga kerja o Mengembangkan lab. Dan interpretasi hasil pem. o Menyelenggarakan administrasi K3 Membantu menyusun kebijakan manajemen K3 dan pedoman kerja

Porgram Kerja P2K3 meliputi: a. Safety meeting b. Inventarisasi permasalahan K3 c. Indentifikasi dan inventarisasi sumber bahaya d. Penerapan norma K3 e. Inspeksi secara rutin dan teratur f. Penyelidikan dan analisa kecelakaan g. Pendidikan dan latihan h. Prosedur dan tata cara evakuasi i. Catatan dan data K3 j. Laporan pertanggungjawaban Keanggotaan P2K3 terdiri dari unsur pengusaha dan pekerja yang susunannya terdiri dari ketua sekretaris dan anggota. Sebagai sekretaris P2K3 adalah Ahli K3 yaitu tenaga tehnis berkeahlian khusus yang membantu pimpinan perusahaan atau pengurus untuk menyelenggarakan dan meningkatkan usaha keselamatan kerja, higiene perusahaan dan kesehatan kerja, membantu pengawasan dibidang K3.

6.Konsep pencegahan penyakit di perkebunan Kehadiran perkebunan kelapa sawit di tanah air diakui memberikan peluang besar untuk menciptakan lapangan kerja baru dengan menjadi pekerja di perkebunan. Pekerja perkebunan merupakan salah satu komponen penting dalam proses produksi minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) karena merekalah yang melakukan perawatan sampai pemanenan kelapa sawit. Dalam menjalankan pekerjaannya, para pekerja atau buruh perkebunan tersebut bekerja di areal perkebunan yang jauh dari pemukiman. Pekerja juga sangat mungkin mengalami kecelakaan kerja yang dapat menyebabkan luka-luka, cacat sebagian atau total pada tubuh bahkan dapat menyebabkan pekerja atau buruh meninggal dunia. Dengan demikian, harus ada perlindungan hukum terhadap pekerja atau buruh dalam menjalankan pekerjaannya, tetapi kenyataannya di tengah produksi dan keuntungan perkebunan yang terus meningkat dari waktu ke waktu, tidak sebanding dengan pemberian sarana perlindungan keselamatan dan kesehatan pekerja yang sesuai standar oleh pengusaha. Salah satu diantaranya yang menimpa Yuswandi (45 tahun), salah seorang buruh tetap yang sudah bekerja 12 tahun di PTPN II tepatnya di estate Sawit Seberang, tetapi bidang kerjanya berpindahpindah. Awalnya Yuswandi bekerja sebagai pembabat, kemudian serabutan dan 3 bulan terakhir di bidang pemanenan. Sekitar bulan Februari 2008, seperti biasa Yuswandi berangkat kerja dengan perlengkapan kerja dodos yaitu alat untuk memetik tandan buah kelapa sawit dan egrek yaitu alat untuk memotong tangkai tandan kelapa sawit. Perlengkapan pelindung kerja yang digunakan hanya sepatu boot tanpa menggunakan pelindung tangan (kaos tangan), pelindung mata (kacamata) dan pelindung kepala (helm). Tinggi pohon sawit yang akan dipanen masih 2 meter, tetapi ancaknya miring (tidak rata) dan pohon sawit bengkok (tidak lurus) sehingga menyulitkan proses memanen. Menurut pengakuanya, Yuswandi belum biasa memanen di ancak yang demikian. Tepatnya sekitar tengah hari Yuswandi mengalami kecelakaan kerja, ketika Yuswandi memetik tandan buah segar (TBS) dengan menggunakan dodos yang mempunyai berat komedil sekitar 15-20 kg, tandan buah sawit tersebut jatuh ke batang pohon lalu ke tanah kemudian berguling dengan cepat sehingga Yuswandi tidak sempat menghindar dan akhirnya menimpa mata kaki serta pengelangan kakinya. Yuswandi menganggap kecelakaan biasa sehingga tidak dilaporkan ke perusahaan. Selang satu hari kakinya mulai bengkak, tetapi Yuswandi masih memaksakan diri pergi bekerja. Setelah pulang dari bekerja, Yuswandi pergi ke tukang urut, hingga esok harinya tidak ada gejala untuk sembuh sehingga Yuswandi bingung. Atas saran temannya sesama buruh, Yuswandi melaporkan kecelakaan kerja yang menimpanya ke mandor dan memeriksakan ke klinik perkebunan. Setelah diperiksa perawat,Yuswandi dikirim ke rumah sakit rujukan untuk mendapatkan tindak lanjutan, ternyata pergelangan kaki Yuswandi retak, dan harus diopname selama 2 minggu. (Hasil investigasi CO KPS, 24 Februari 2008). 1 Kasus lain terjadi pada diri Kadijah, pada Senin pertengahan Mei 2007 Kadijah kehilangan Supardi suami tercinta. Seperti biasa pasangan suami istri ini berangkat menuju tempat kerja (ancak). Supardi (52 tahun) adalah salahseorang buruh yang sudah bekerja lebih dari 25 tahun di perkebunan PT Lonsum Tbk wilayah Langkat tepatnya di divisi Turangi Estate. Pagi itu Supardi masih mengkayuh sepeda dan istrinya duduk dibelakang sembari memegang kereta

sorong. Sampai di ancak, pasangan suami istri ini bekerja sebagaimana biasanya. Pada waktu tiba saat makan siang, pasangan ini pun siap menyantap makanan yang telah disiapkan dari rumah. 30 menit setelah mereka beristirahat, kemudian Supardi melanjutkan pekerjaanya memetik buah kelapa sawit dengan ketinggian pohon sekitar 15-20 meter. Hal ini dilakukan agar dapat mengejar target sesuai ketentuan perusahaan serta premi yang diharapkan apabila melampaui target sementara Kadijah membereskan sisa makanan. Tiba-tiba Kadijah dikejutkan dengan suara minta tolong. Kadijah pun terjaga dan mendekati suaminya. Ternyata suaminya telah terbaring tepat disebelah pelepah sawit, kemudian tanggal 2 Maret 2011 dengan bantuan buruh lainya korban dibawa ke klinik kebun. Supardi tidak bergerak, tidak ada lumuran darah. Namun setelah perawat membuka bajunya ternyata di dada kirinya terdapat luka dalam berbentuk diagonal. Supardi tidak tertolong ternyata Supardi telah meninggal dunia. (Hasil investigasi CO KPS, 28 September 2007).2 Dalam dua kasus tersebut, dapat dilihat dengan sangat jelas bahwa pekerja atau buruh perkebunan sangat rentan mengalami kecelakaan dalam melaksanakan pekerjaannya sehingga harus ada jaminan yang diberikan oleh pengusaha terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3) pekerja atau buruhnya. Data dilapangan menunjukkan bahwa masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) masih relevan dipersoalkan. Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) jumlah kecelakaan kerja pada 2010 mencapai 256 kasus. Sedangkan pada tahun 2009 sebanyak 173 kasus. Sebagai perbandingan, pada tahun 2009 jenis kecelakaan kerja yang mendapat santunan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) jumlahnya 130 orang, kecelakaan yang mengakibatkan cacat fungsi jumlahnya 28 orang, kecelakaan yang menyebabkan cacat sebagian jumlahnya 7 orang, kecelakaan yang menyebabkan cacat total berjumlah 1 orang dan kecelakaan yang menyebabkan pekerja meninggal dunia jumlahnya 7 orang, sehingga jumlah total pekerja yang mengalami kecelakaan mencapai 173 orang. Sedangkan pada tahun 2010, jenis kecelakaan STMB jumlahnya 186 orang, kecelakaan yang menyebabkan cacat fungsi jumlahnya 58 orang, kecelakaan yang menyebabkan cacat sebagian jumlahnya 4 orang, kecelakaan yang menyebabkan cacat total tidak ada dan kecelakaan yang menyebabkan pekerja meninggal jumlahnya 8 orang. Sehingga total untuk tahun 2010 sebanyak 256 pekerja yang mengalami kecelakaan saat menjalani kerja3. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah suatu program yang dibuat bagi pekerja atau buruh maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan bagi timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian4. Adapun syarat-syarat keselamatan kerja telah diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, di antaranya yaitu : a. mencegah dan mengurangi kecelakaan b. memberi pertolongan pada kecelakaan c. memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja d. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physik maupun psychis, keracunan, infeksi dan penularan e. menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi. Berdasarkan syarat-syarat tersebut di atas, didapat kesimpulan bahwa syarat-syarat tersebut sesungguhnya dibuat untuk untuk kebaikan pekerja atau buruh dan juga pengusaha.

7. Promosi kesehatan pekerja di perkebunan Dalam sejarah singkat akan diuraikan bagaimana pengertian promosi kesehatan ini mengalami perubahan makna dan istilah yang disesuaikan dengan keadaan yang dikembangkan dari berbagai aspek kebutuhan kesehatan. Uraian tentang pengertian dan tujuan melengkapi bab ini pada topik selanjutnya. Topik bab I diakhiri dengan uraian tentang ruang lingkup promosi kesehatan yang dilihat dari berbagai aspek, yaitu: area masalah, tingkat pencegahan, pelayanan kesehatan dasar, aktivitas dan perilaku kesehatan, serta prinsip-prinsip promosi kesehatan yang harus diperhatikan dalam keperawatan .

Mungkin sebagian dari anda mengira bahwa promosi kesehatan merupakan cara seseorang menawarkan/"menjual" produknya yang berhubungan dengan kesehatan, atau sama saja seperti pendidikan kesehatan/penyuluhan pada masyarakat yang sering dilakukan para tenaga kesehatan terdahulu bila ada program yang harus disebarluaskan. Hal tersebut tidak sepenuhnya salah bila dikaitkan dengan arti promosi dan kesehatan itu sendiri, namun sebenarnya ada beberapa hal yang menjadi kesepakatan bersama dan poin yang patut kita pahami agar tidak salah kaprah dalam pelaksanaannya. Sebelum kita membahas lebih banyak mengenai teori dasar promosi kesehatan, ada baiknya kita mengulas sesaat mengenai pergeseran istilah dalam promosi kesehatan. Tentu Anda pernah mendengar semua istilah di atas bukan??? Dapatkah membedakannya?? Mari kita uraikan perubahan istilah tersebut dalam topik-1 ini, yang akan mengupas tentang 1. Sejarah singkat istilah promosi kesehatan; 2. Konsep Piagam Ottawa dalam Konferensi Internasional Promosi Kesehatan; dan 3. Determinan yang mempengaruhi promosi kesehatan.

A. SEJARAH SINGKAT ISTILAH PROMOSI KESEHATAN (PROMKES) Jika kita 'flashback' sejenak, perkembangan Promosi Kesehatan tidak terlepas dari perkembangan sejarah Kesehatan Masyarakat di Indonesia dan dipengaruhi juga oleh perkembangan Promosi Kesehatan International yaitu dimulainya program Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) pada tahun 1975 dan tingkat Internasional tahun 1978 Deklarasi Alma Ata tentang Primary Health Care tersebut sebagai tonggak sejarah cikal bakal Promosi Kesehatan (Departemen Kesehatan, 1994). Istilah Health Promotion (Promosi Kesehatan) sebenarnya sudah mulai dicetuskan setidaknya pada tahun 1986, ketika diselenggarakannya Konferensi Internasional pertama tentang Health Promotion di Ottawa, Canada pada tahun 1986. Pada waktu itu dicanangkan ”the Ottawa Charter”, yang didalamnya memuat definisi serta prinsip-prinsip dasar Promosi kesehatan. Namun istilah tersebut pada waktu itu di Indonesia belum terlalu populer seperti sekarang. Pada masa itu, istilah yang cukup terkenal hanyalah Penyuluhan Kesehatan, selain itu muncul pula istilahistilah populer lain seperti KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi), Social Marketing (Pemasaran Sosial) dan Mobilisasi Sosial. Selanjutnya perkembangan Promosi Kesehatan di Indonesia adalah seperti uraian berikut ini:

1. Sebelum Tahun 1965 Pada saat itu istilahnya adalah Pendidikan Kesehatan. Dalam program-program kesehatan, Pendidikan Kesehatan hanya sebagai pelengkap pelayanan kesehatan, terutama pada saat terjadi keadaan kritis seperti wabah penyakit, bencana, dsb. Sasarannya perseorangan (individu), supaya sasaran program lebih kepada perubahan pengetahuan seseorang. 2. Periode Tahun 1965-1975 Pada periode ini sasaran program mulai perhatian kepada masyarakat. Saat itu juga dimulainya peningkatan tenaga profesional melalui program Health Educational Service (HES). Tetapi intervensi program masih banyak yang bersifat individual walau sudah mulai aktif ke masyarakat. Sasaran program adalah perubahan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan. 3. Periode Tahun 1975-1985. Istilahnya mulai berubah menjadi Penyuluhan Kesehatan. Di tingkat Departemen Kesehatan ada Direktorat PKM. PKMD menjadi andalan program sebagai pendekatan Community Development. Saat itu mulai diperkenalkannya Dokter Kecil pada program UKS di SD. Departemen Kesehatan sudah mulai aktif membina dan memberdayakan masyarakat. Saat itulah Posyandu lahir sebagai pusat pemberdayaan dan mobilisasi masyarakat. Sasaran program adalah perubahan perilaku masyarakat tentang kesehatan. Pendidikan kesehatan pada era tahun 80-an menekankan pada pemberian informasi kesehatan melalui media dan teknologi pendidikan kepada masyarakat dengan harapan masyarakat mau melakukan perilaku hidup sehat. Namun kenyataannya, perubahan tersebut sangat lamban sehingga dampaknya terhadap perbaikan kesehatan sangat kecil. Dengan kata lain, peningkatan pengetahuan yang tinggi tidak diikuti dengan perubahan perilaku. Seperti yang diungkap hasil penelitian, 80% masyarakat tahu cara mencegah demam berdarah dengan melakukan 3M (menguras, menutup dan mengubur) tetapi hanya 35% dari masyarakat yang benarbenar melakukan 3M tersebut. Oleh sebab itu, agar pendidikan kesehatan tidak terkesan ‘tanpa arti’, maka para ahli pendidikan kesehatan global yang dimotori oleh WHO, pada tahun 1984 merevitalisasi pendidikan kesehatan tersebut dengan menggunakan istilah promosi kesehatan. Promosi kesehatan tidak hanya mengupayakan perubahan perilaku saja tetapi juga perubahan lingkungan yang menfasilitasi perubahan perilaku tersebut. Disamping itu promosi kesehatan lebih menekankan pada peningkatan kemampuan hidup sehat bukan sekedar berperilaku sehat.

4. Periode Tahun 1985-1995. Dibentuklah Direktoral Peran Serta Masyarakat (PSM), yang diberi tugas memberdayakan masyarakat. Direktoral PKM berubah menjadi Pusat PKM, yang tugasnya penyebaran informasi, komunikasi, kampanye dan pemasaran sosial bidang kesehatan. Saat itu pula PKMD menjadi Posyandu. Tujuan dari PKM dan PSM saat itu adalah perubahan perilaku. Pandangan (visi) mulai dipengaruhi oleh ’Ottawa Charter’ tentang Promosi Kesehatan.

5. Periode Tahun 1995-Sekarang Istilah PKM menjadi Promosi Kesehatan. Bukan saja pemberdayaan kearah mobilisasi massa yang menjadi tujuan, tetapi juga kemitraan dan politik kesehatan (termasuk advokasi). Sehingga sasaran Promosi Kesehatan tidak hanya perubahan perilaku tetapi perubahan kebijakan atau perubahan menuju perubahan sistem atau faktor lingkungan kesehatan. Pada Tahun 1997 diadakan konvensi Internasional Promosi Kesehatan dengan tema ”Health Promotion Towards The 21’st Century, Indonesian Policy for The Future” dengan melahirkan ‘The Jakarta Declaration’. Berdasarkan Piagam Ottawa (Ottawa Charter, 1986) sebagai hasil rumusan Konferensi Internasional Promosi Kesehatan Di Ottawa-Canada, menyatakan bahwa Promosi Kesehatan adalah upaya yang dilakukan terhadap masyarakat sehingga mereka mau dan mampu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri. Batasan promosi kesehatan ini mencakup 2 dimensi yaitu kemauan dan kemampuan. Sehingga tujuan dari Promosi Kesehatan itu sendiri adalah memampukan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka dan menciptakan suatu keadaan, yakni perilaku dan lingkungan yang kondusif bagi kesehatan. Dengan demikian penggunaan istilah Promosi Kesehatan di Indonesia tersebut dipicu oleh perkembangan dunia Internasional. Nama unit Health Education di WHO baik di Hoodquarter, Geneva maupun di SEARO India, juga sudah berubah menjadi unit Health Promotion. Nama organisasi profesi Internasional juga mengalami perubahan menjadi International Union For Health Promotion and Education (IUHPE). Istilah Promosi Kesehatan tersebut juga ternyata sesuai dengan perkembangan pembangunan kesehatan di Indonesia sendiri yang mengacu pada paradigma sehat. Salah satu tonggak promosi kesehatan ialah Deklarasi Jakarta, yang lahir dari Konferensi Internasional Promosi Kesehatan ke IV. Deklarasi Jakarta Merumuskan bahwa : a. Promosi kesehatan adalah investasi utama yang memberikan dampak pada determinan kesehatan, dan juga memberikan kesehatan terbesar pada masyarakat. b. Promosi kesehatan memberikan hasil positif yang berbeda dibandingkan upaya lain dalam meningkatkan kesetaraan bagi masyarakat dalam kesehatan. c. Promosi kesehatan perlu disosialisasikan dan harus menjadi tanggung jawab lintas sektor.

Deklarasi juga merumuskan prioritas-prioritas promosi kesehatan di abad 21 yaitu: meningkatkan tanggung jawab dalam kesehatan, meningkatkan investasi untuk pembangunan kesehatan, meningkatkan kemampuan masyarakat dan pemberdayaan individu serta menjamin infrastruktur promosi kesehatan.

B. KONSEP PIAGAM PROMOSI KESEHATAN

OTTAWA

DALAM

KONFERENSI

INTERNASIONAL

Dalam materi sebelumnya telah disebutkan adanya pengaruh piagam Ottawa dalam program promosi kesehatan di Indonesia. Bagaimana konsep yang sebenarnya??? Mari kita simak...! Piagam Ottawa adalah piagam kesepakatan yang dihasilkan pada Konferensi Internasional Promosi Kesehatan Pertama di Ottawa, Canada tahun 1986, telah membawa perubahan dalam pengertian dan praktek “health promotion” atau promosi kesehatan. Piagam ini mendefinisikan Promosi Kesehatan sebagai “Proses yang memungkinkan individu mengendalikan dan memperbaiki kesehatannya. Untuk mencapai kesehatan jasmani, rohani dan sosial yang sempurna, seseorang atau kelompok harus mampu mengidentifikasi dan mewujudkan aspirasi, mampu memenuhi kebutuhan, mampu mengubah atau beradaptasi dengan lingkungan”. Piagam tersebut merumuskan upaya promosi kesehatan mencakup 5 butir.

1. Kebijakan Berwawasan Kesehatan (Health Public Policy). Ditujukan kepada policy maker agar mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik yang mendukung kesehatan. 2. Lingkungan yang Mendukung (Supportive Environment). Ditujukan kepada para pengelola tempat umum termasuk pemerintah kota, agar menyediakan prasarana sarana yang mendukung terciptanya perilaku sehat bagi masyarakat. 3. Reorientasi Pelayanan Kesehatan (Reorient Health Service). Selama ini yang menjadi penyedia (provider) pelayanan kesehatan adalah pemerintah dan swasta sedangkan masyarakat adalah sebagai pengguna (customers) pelayanan kesehatan. Pemahaman ini harus diubah, bahwasanya masyarakat tidak sekedar pengguna tetapi bisa sebagai provider dalam batas-batas tertentu melalui upaya pemberdayaan. 4. Keterampilan Individu (Personnel Skill). Kesehatan masyarakat akan terwujud apabila kesehatan individu, keluarga dan kelompok tersebut terwujud. 5. Gerakan Masyarakat (Community Action). Adanya gerakan-gerakan atau kegiatankegiatan di masyarakat yang mendukung kesehatan agar terwujud perilaku yang kondusif dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka. Pengertian promosi kesehatan yang tertuang dalam piagam ottawa ini kemudian diperbarui WHO menjadi: “Proses pemberdayaan rakyat (individu dan masyarakat) yang memungkinkan mereka mampu mengendalikan determinan-determinan kesehatan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatannya ”. Jadi, siapakah yang harus terlibat dalam proses pengendalian dan perbaikan kesehatan tersebut? Ya, benar! Jawabannya adalah rakyat atau individu dan masyarakat itu sendiri..

C. DETERMINAN-DETERMINAN YANG MEMPENGARUHI PROMOSI KESEHATAN Inti dari definisi promosi kesehatan, baik yang berasal dari Ottawa Charter, maupun modifikasinya dari WHO adalah masyarakat menjalankan perilaku yang menguntungkan kesehatan, baik berupa perilaku pencegahan dan pemeliharaan kesehatan, perilaku memilih dan memperbaiki lingkungan maupun perilaku penggunaan pelayanan kesehatan, bahkan perilaku yang berkenaan dengan aspek genetika dan kependudukan. STOP!! Sebelum dilanjutkan…. Masih ingatkah anda dengan definisi sehat pada Mata Kuliah Konsep Dasar Keperawatan (KDK) di semester I?? coba anda ingat kembali... Definisi Sehat: Lihatlah, definisi sehat di atas, tampak bahwa ada perubahan batasan kesehatan yang terjadi. Sehat dan menjadi sehat adalah upaya yang harus dilakukan. Salah satunya dengan melakukan upaya promosi kesehatan seperti yang diputuskan pada konferensi pertama di Kanada (1986). Untuk itu, anda perlu mengetahui terlebih dahulu tentang determinandeterminan kesehatan dalam uraian berikut ini: Dewasa ini semakin banyak orang yang memahami dan menerima bahwa kesehatan sangat dipengaruhi oleh determinandeterminan sosial dan lingkungan, disamping determinan fisik dan biologik. Determinan fisik seperti kebersihan lingkungan, cuaca, iklim dll, sedangkan determinan biologik misalnya mikroorganisme (virus, bakteri), parasit dan lain-lain. Sementara itu determinan-determinan sosial yang sangat mempengaruhi kesehatan antara lain: kemiskinan, pengangguran, kelestarian lingkungan, diskriminasi dan ketidakberdayaan (La Bonte and Feather, 1996). Sarjana Marmot (1999) menyebutkan bahwa ada 10 determinan sosial yang mempengaruhi kesehatan, yaitu: 1. Kesenjangan sosial Pada masyarakat kelas sosial-ekonomi rendah, biasanya lebih beresiko dan rentan terhadap penyakit dan umur harapan hidup juga lebih rendah. 2. Stress Kegagalan dalam menanggulangi stress baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan sehari-hari sangat mempengaruhi kesehatan seseorang. 3. Kehidupan dini Kesehatan di masa dewasa sangat ditentukan oleh kondisi kesehatan di usia dini atau awal kehidupan. Pertumbuhan fisik yang lambat dan dukungan emosional yang kurang baik di awal kehidupan, akan memberikan dampak kesehatan fisik, emosi dan kemampuan intelektual di masa dewasa. 4. Pengucilan sosial Pengucilan menghasilkan perasaan kehilangan dan tak berharga, mengungsi ke tempat lain yang asing, merasa dikucilkan, kehilangan harga diri, sangat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental seseorang. 5. Pekerjaan Stress di tempat kerja meningkatkan resiko terhadap penyakit dan kematian. Memperhatikan syarat-syarat kesehatan dan keselamatan kerja sangat membantu dalam meningkatkan derajat kesehatan pekerja. 6. Pengangguran Jaminan adanya pekerjaan meningkatkan derajat kesehatan dan rasa sejahtera, bukan hanya untuk pekerja tapi juga seluruh keluarganya. Keadaan yang sebaliknya terjadi pada penganggur.

7. Dukungan sosial Persahabatan, hubungan sosial dan kekerabatan yang baik memberikan dampak kesehatan yang baik dalam keluarga, di tempat kerja dan di masyarakat. 8. Ketergantungan pada narkoba Pemakaian narkoba sangat memperburuk kondisi kesehatan dan kesejahteraan. Alkohol, narkoba dan merokok sangat erat hubungannya dalam memberikan dampak buruk pada kehidupan sosial dan ekonomi. 9. Pangan Cara makan yang sehat dan ketersediaan pangan merupakan hal utama dalam kesehatan dan kesejahteraan seseorang dan masyarakat. Baik kekurangan gizi maupun kelebihan gizi samasama menimbulkan masalah kesehatan dan penyakit. 10. Transportasi Transportasi yang sehat berarti mengurangi waktu mengendarai dan meningkatkan gerak fisik yang sangat baik bagi kebugaran dan kesehatan. Selain itu, mengurangi kendaraan berarti membantu mengurangi polusi.

Dengan meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, berkembangnya peradaban, serta dampak globalisasi, determinan-determinan kesehatan pun selalu berubah dan akan selalu ada yang baru. Misalnya perdagangan senjata, seks bebas, eksploitasi anak, dan lain-lain. Pada penyelenggaraan konferensi sedunia di Alma Ata secara gamblang menyatakan bahwa kondisi fundamental dan sumberdaya untuk sehat adalah: perdamaian, perumahan, pangan, pendapatan, ekosistem yang stabil, kelestarian sumberdaya, keadilan sosial, dan kesetaraan. Hal ini disebut juga sebagai prasyarat dasar (basic prerequisites) untuk kesehatan.

A. PENGERTIAN PROMOSI KESEHATAN Green dan Kreuter (2005) menyatakan bahwa “Promosi kesehatan adalah kombinasi upaya-upaya pendidikan, kebijakan (politik), peraturan, dan organisasi untuk mendukung kegiatan-kegiatan dan kondisi-kondisi hidup yang menguntungkan kesehatan individu, kelompok, atau komunitas”. Definisi/pengertian yang dikemukakan Green ini dapat dilihat sebagai operasionalisasi dari definisi WHO (hasil Ottawa Charter) yang lebih bersifat konseptual. Di dalam rumusan pengertian diatas terlihat dengan jelas aktivitas-aktivitas yang harus dilakukan dalam kerangka “promosi kesehatan”. Sedangkan Kementerian/Departemen Kesehatan Republik Indonesia merumuskan pengertian promosi kesehatan sebagai berikut: “Upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan faktor-faktor kesehatan melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumberdaya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.” Hal tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 1114/Menkes/SK/VIII/2005.

Definisi dari depkes tersebut lebih menggambarkan bahwa promosi kesehatan adalah gabungan antara pendidikan kesehatan yang didukung oleh kebijakan publik berwawasan kesehatan, karena disadari bahwa gabungan kedua upaya ini akan memberdayakan masyarakat sehingga mampu mengontrol determinan-determinan kesehatan. Promosi kesehatan sebagai bagian dari program kesehatan masyarakat di Indonesia harus mengambil bagian dalam mewujudkan visi pembangunan kesehatan di Indonesia. Dalam Undang-Undang Kesehatan RI no 36 tahun 2009, disebutkan bahwa visi pembangunan kesehatan adalah “Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya, sebagai investasi sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi”. Promosi kesehatan sebagai bagian dari program kesehatan masyarakat di Indonesia harus mengambil bagian dalam mewujudkan visi pembangunan kesehatan di Indonesia tersebut. Sehingga promosi kesehatan dapat dirumuskan: “Masyarakat mau dan mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya” (Soekidjo Notoatmodjo, 2010).

1. Pengertian Promosi Kesehatan Lain (yang Sering Menimbulkan Kerancuan) Walaupun sudah 25 tahun dicanangkan, pengertian yang baru seperti tersebut diatas belum sepenuhnya dipahami dan dijalankan. Bagi banyak orang, bila membicarakan promosi kesehatan, dalam pikiran mereka akan jatuh pada salah satu dari dua pengertian yang dikenal secara luas, yaitu; (1) “upaya promotif” atau (2) promosi dalam konsep pemasaran. Mari kita telaah satu persatu a. Secara klasik, istilah promosi kesehatan sudah sejak lama digunakan dalam bidang kesehatan untuk merujuk pada upaya-upaya yang bersifat umum yang dilakukan secara individu ataupun secara publik untuk meningkatkan derajat kesehatan yang prima sehingga individu maupun komunitas tidak mudah masuk ke dalam keadaan sakit. Istilah promkes seperti ini ditemukan dalam definisi Kesehatan Masyarakat dari Winslow, sebagai butir pertama dari 5 tingkat pencegahan (Leavell and Clarck, 1957) atau fungsi pertama kedokteran (Sigerist, 1945). “Health promotion” dalam pengertian ini sejak lama di "Indonesia" kan oleh kalangan akademisi menjadi “peningkatan derajat kesehatan” atau dilingkungan praktisi kesehatan dikenal sebagai “upaya promotif”, bukan sebagai “promosi kesehatan”.

b. Dikenalkannya konsep pemasaran ke dalam bidang sosial, khususnya kesehatan (dikenal dengan istilah pemasaran sosial), bersamaan dengan digunakannya istilah promosi secara luas oleh media publik dan massa untuk menggambarkan aktifitas kampanye komunikasi dalam memasarkan produk, menghasilkan pemahaman yang lain dari “promosi kesehatan”. Di dalam konsep pemasaran, dikenal istilah adonan pemasaran (marketing mix) yang disebut sebagai 4P, yaitu “product” (produk yang ditawarkan), “prize” (harga yang dipatok agar sesuai dengan konsumen sasaran), “place” (tempat barang dipasok dan dijual, serta tempat dimana aktivitas pengkomunikasian/kampanye produk dilakukan), dan “Promotion” (berbagai kegiatan untuk mengkampanyekan produk). Pengertian P yang keempat dari 4P ini merasuk amat luas ke dalam masyarakat, termasuk kalangan kesehatan, sehingga begitu membicarakan “promosi kesehatan”

maka yang diingat adalah promosi dalam bentuk aktivitas kampanye komunikasi. Padahal aktivitas promosi dalam pemasaran merupakan (dan untuk selanjutnya kita sebut sebagai) “promosi produk”, BUKAN promosi kesehatan sebagai satu konsep yang utuh. Latar belakang dari lahirnya konsep baru promosi kesehatan adalah kenyataan bahwa upaya-upaya “health education” atau pendidikan (penyuluhan) kesehatan tidak dengan serta merta atau tidak dengan mudah membuat individu ataupun masyarakat berperilaku yang menguntungkan kesehatan, karena pendidikan kesehatan bertujuan untuk menghasilkan perilaku yang menguntungkan kesehatan, dan perilaku itu bersifat sukarela (Green, 1996, Green, 2000; Naidoo and Wills, 2000: 84), tidak memaksa (French di dalam Naidoo and Wills, 2000:84)

2. Jadi Apa Perbedaan Antara Pendidikan Kesehatan (Terdahulu) dan Promosi Kesehatan??? Illona Kickbush menguraikan sebagai berikut: “Promosi kesehatan lahir (emerged out) dari pendidikan kesehatan. Alasan yang dikemukan diantaranya adalah: Pertama, agar para penyuluh/pendidik kesehatan masyarakat menjadi lebih sadar tentang perlunya sebuah pendekatan positip dalam pendidikan kesehatan-... lebih dari sekedar pencegahan penyakit. Kedua, Menjadi semakin nyata bahwa pendidikan kesehatan akan lebih berdaya jika didukung dengan seperangkat upaya (seperti legal, environmental dan regulatory). Mengapa upaya pendidikan kesehatan saja tidak cukup? Pendidikan kesehatan yang bertujuan merubah perilaku individu, kelompok dan masyarakat, ternyata tidak cukup untuk meningkatkan derajat kesehatan, karena diluar itu masih banyak faktor atau determinan yang mempengaruhi kesehatan dan berada diluar wilayah kesehatan. Determinan kesehatan tersebut tidak bisa diintervensi dengan pendidikan kesehatan, tapi harus lewat regulasi dan legislasi, melalui upaya mediasi dan advokasi. Upaya advokasi, dukungan sosial dan pemberdayaan inilah yang merupakan misi dan strategi utama dalam promosi kesehatan. Materi ini akan anda pelajari lebih lanjut dan mendalam pada Bab-5. Secara umum disadari bahwa untuk melahirkan perilaku yang menguntungkan kesehatan atau mengubah perilaku yang tidak menguntungkan menjadi perilaku yang menguntungkan kesehatan, seringkali diperlukan cara-cara yang “mungkin” bersifat memaksa, seperti pembentukan norma atau peraturan, atau penciptaan lingkungan sosial dan fisik yang akan memaksa lahirnya perilaku yang diinginkan. Bunton (1992 di dalam Naidoo dan Wills, 2000 : 85) menyebutkan bahwa metode-metode baru yang diintroduksikan ke dalam promosi kesehatan adalah regulasi sosial, yang betul-betul bersifat menekan dan sungguhsungguh mengendalikan.

Upaya intervensi perilaku dalam bentuk: a. Tekanan (enforcement) • Dalam bentuk peraturan, tekanan dan sanksi • Perubahan cepat tapi tidak langgeng b. Edukasi (education) • Melalui persuasi, himbauan, ajakan, kesadaran dll • Perubahan lama tapi dapat langgeng

Jadi di dalam Promosi Kesehatan, tercakup: a. upaya-upaya untuk melahirkan atau mengubah perilaku yang bersifat “sukarela”, yakni melalui pendidikan kesehatan, dan b. Upaya-upaya yang bersifat “memaksa” melalui peraturan dan penciptaan lingkungan.

Dari uraian ini dapat dilihat bahwa “Promosi kesehatan” merupakan salah satu bentuk intervensi di bidang kesehatan untuk memperbaiki status kesehatan masyarakat. Dilihat dari keluasan dan keberagaman aktivitasnya, dapat dikatakan bahwa promosi kesehatan adalah bentuk baru dari kesehatan masyarakat. (Tones and Green, 2004). Atau dengan kata lain... Promosi Kesehatan merupakan program yang dirancang untuk memberikan perubahan di bidang kesehatan terhadap manusia, organisasi, masyarakat dan lingkungan.

B. TUJUAN PROMOSI KESEHATAN Berdasarkan beberapa pandangan pengertian tersebut diatas, maka tujuan dari penerapan promosi kesehatan pada dasarnya merupakan visi promosi kesehatan itu sendiri, yaitu menciptakan/membuat masyarakat yang: 1. Mau (willingness) memelihara dan meningkatkan kesehatannya. 2. Mampu (ability) memelihara dan meningkatkan kesehatannya. 3. Memelihara kesehatan, berarti mau dan mampu mencegah penyakit, 4. melindungi diri dari gangguan-gangguan kesehatan. 5. Meningkatkan kesehatan, berarti mau dan mampu meningkatkan kesehatannya. Kesehatan perlu ditingkatkan karena derajat kesehatan baik individu, kelompok atau masyarakat itu bersifat dinamis tidak statis. Sekarang, mari kita bahas apa saja yang menjadi tujuan dari promosi kesehatan...??! Tujuan promosi kesehatan dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu: 1. Tujuan Promosi Kesehatan menurut WHO a. Tujuan Umum Mengubah perilaku individu/masyarakat di bidang Kesehatan

b. Tujuan Khusus 1) Menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai bagi masyarakat. 2) Menolong individu agar mampu secara mandiri/berkelompok mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup sehat.

3) Mendorong pengembangan dan penggunaan secara tepat sarana pelayanan kesehatan yang ada.

2. Tujuan Operasional: a. Agar orang memiliki pengertian yang lebih baik tentang eksistensi dan perubahan-perubahan sistem dalam pelayanan kesehatan serta cara memanfaatkannya secara efisien & efektif. b. Agar klien/masyarakat memiliki tanggung jawab yang lebih besar pada kesehatan (dirinya), keselamatan lingkungan dan masyarakatnya. c. Agar orang melakukan langkah2 positip dlm mencegah terjadinya sakit, mencegah berkembangnya sakit menjadi lebih parah dan mencegah keadaan ketergantungan melalui rehabilitasi cacat karena penyakit. d. Agar orang mempelajari apa yang dapat dia lakukan sendiri dan bagaimana caranya, tanpa selalu meminta pertolongan kepada sistem pelayanan kesehatan yang normal.

Sedangkan menurut Green, tujuan promosi kesehatan terdiri dari 3 tingkatan tujuan, yaitu: 1. Tujuan Program Merupakan pernyataan tentang apa yang akan dicapai dalam periode waktu tertentu yang berhubungan dengan status kesehatan. 2. Tujuan Pendidikan Merupakan deskripsi perilaku yang akan dicapai dapat mengatasi masalah kesehatan yang ada. 3. Tujuan Perilaku Merupakan pendidikan atau pembelajaran yang harus tercapai (perilaku yang diinginkan). Oleh sebab itu, tujuan perilaku berhubungan dengan pengetahuan dan sikap. 4. Tujuan Intervensi Perilaku dalam promosi kesehatan a. Mengurangi perilaku negatif bagi kesehatan. Misal : mengurangi kebiasaan merokok b. Mencegah meningkatnya perilaku negatif bagi kesehatan Misal : mencegah meningkatnya perilaku ‘seks bebas'

c. Meningkatkan perilaku positif bagi kesehatan Misal : mendorong kebiasaan olah raga d. Mencegah menurunnya perilaku positif bagi kesehatan Misal : mencegah menurunnya perilaku makan kaya serat. Topik 3 Ruang Lingkup dan Prinsip Promosi Kesehatan

A. RUANG LINGKUP PROMOSI KESEHATAN Sesungguhnya, ruang lingkup sasaran promosi kesehatan adalah keempat determinan kesehatan dan kesejahteran seperti terlihat dalam model klasik dari Bloom (Forcefield Paradigm of Health and Wellbeing), yaitu: 1. Lingkungan, 2. Perilaku, 3. Pelayanan kesehatan, dan 4. Faktor genetik (atau diperluas menjadi faktor kependudukan). Dalam paradigma ini diungkapkan pula bahwa antara keempat faktor tadi terjadi saling mempengaruhi. Perilaku mempengaruhi lingkungan dan lingkungan mempengaruhi perilaku. Faktor pelayanan kesehatan, akan berperan dalam meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat bila pelayanan yang disediakan digunakan (perilaku) oleh masyarakat. Faktor genetik yang tidak menguntungkan akan berkurang resikonya bila seseorang berada dalam lingkungan yang sehat dan berperilaku sehat. Dengan demikian, perilaku memainkan peran yang penting bagi kesehatan. Oleh karena itu, ruang lingkup utama sasaran promosi kesehatan adalah perilaku dan akar-akarnya serta lingkungan, khususnya lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku. Green mengkategorikan akar-akar perilaku ke dalam 3 kelompok faktor, yaitu faktor-faktor predisposisi (yang merupakan prasyarat terjadinya perilaku secara sukarela), pemungkin (enabling, yang memungkinkan faktor predisposisi yang sudah kondusif menjelma menjadi perilaku), dan faktor penguat (reinforcing, yang akan memperkuat perilaku atau mengurangi hambatan psikologis dalam berperilaku yang diinginkan). Menurut bagan teori Green, diketahui bahwa factor perilaku kesehatan ditentukan oleh 3 faktor, yaitu : Pertama, faktor predisposisi (predisposing factor), yaitu faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain: pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dsb.

Contoh: seorang ibu mau membawa anaknya ke posyandu untuk dilakukan penimbangan agar mengetahui pertumbuhannya. Tanpa adanya pengetahuan, ibu tersebut mungkin tidak akan membawa anaknya ke posyandu. Kedua, faktor pemungkin (enabling factor), yaitu faktor yang memungkinkan atau yang menfasilitasi perilaku atau tindakan, antara lain: prasarana, sarana, ketersediaan sdm. Contoh konkritnya, ketersediaan puskesmas, ketersediaan tong sampah, adanya tempat olah raga, dsb. Ketiga, faktor penguat (reinforcing factor), yaitu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, antara lain: sikap petugas kesehatan, sikap tokoh masyarakat, dukungan suami, dukungan keluarga, tokoh adat, dsb. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari promosi kesehatan yaitu tercapainya derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang tinggi, dengan dijalankannya perilaku yang menguntungkan kesehatan. Untuk itu upaya-upaya promosi kesehatan adalah penciptaan kondisi yang memungkinkan masyarakat berperilaku sehat dan membuat perilaku sehat sebagai pilihan yang mudah dijalankan. Promosi kesehatan juga merupakan salah satu bentuk tindakan mandiri keperawatan untuk membantu klien baik individu, kelompok maupun masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran yang

didalamnya perawat perperan sebagai perawat pendidik. Perubahan perilaku yang diharapkan pada klien berupa perubahan pola pikir, sikap, dan keterampilan yang spesifik terhadap kesehatan. Hubungan pembelajaran yang terjadi tersebut harus bersifat dinamis dan interaktif.

Ruang lingkup dalam promosi kesehatan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, sehingga dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu: 1. Ruang Lingkup Berdasarkan Area Masalah Dilihat dari area masalah, ruang lingkup upaya promosi mencakup berbagai ideologi dari kesehatan dan penyakit seperti kesehatan ibu, kesehatan anak, penyakit infeksi dan penyakit infeksi menular, penyakit tidak menular, kecelakaan dan bencana, kesehatan manula. Pada saat ini, model kesehatan yang baru yaitu social model of health, mulai diterima, meninggalkan medical model. Pada model sosial, masalah kesehatan dilihat lebih pada penyebabnya, bukan semata-mata dengan mengobati penyakit yang merupakan akaibat dari masalah kesehatan. 2. Ruang Lingkup Berdasarkan Tingkat Pencegahan Oleh karena masyarakat berada dalam berbagai status atau kondisi, maka promosi kesehatan harus bersifat komprehensif. Di dalam upaya kesehatan, dikenal 5 tingkat pencegahan dari Leavell and Clark (1967): a. Pencegahan primer, yang terdiri dari: I. Peningkatan derajat kesehatan (health promotion) II. Perlidungan khusus (specific protection) III. Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment) IV. Pembatasan cacat (disability limitation) V. Rehabilitasi (rehabilitation)

b. Pencegahan sekunder

c. Pencegahan tertier: Ruang lingkup promosi kesehatan yang bersifat komprehensif harus mencakup kelima tingkat pencegahan tersebut.

3. Ruang Lingkup Pelayanan Kesehatan Dasar Deklarasi Alma Ata (1978) yang terkenal dengan visi “Sehat untuk semua tahun 2000” menghasilkan konsep Pelayanan Kesehatan dasar (Primary Health Care), yang meliputi: Acute primary care; Health education; Health promotion; Disease surveilance and monitoring; Community Development. Sigerist (1945) mengkategorikan upayaupaya seperti di atas menjadi 4 tingkat pelayanan dan menyebutnya sebagai fungsi kedokteran (Tones and Green, 2004: 14) a. Peningkatan derajat kesehatan (health promotion) b. Pencegahan penyakit (prevention of disease) c. Perawatan/pengobatan penyakit (curation of disease) d. Pemulihan dari sakit (rehabilitation) WHO menggarisbawahi seperangkat kegiatan minimal yang harus dilaksanakan dalam pelayanan kesehatan dasar, beberapa diantaranya sangat berkaitan dengan determinan kesehatan yang telah diuraikan sebelumnya. Kegiatan-kegiatan itu ialah: a. Pendidikan kesehatan masyarakat untuk mengenal masalah-masalah kesehatan serta cara-cara untuk mencegah dan menanggulangi b. Peningkatan ketersediaan pangan dan nutrisi c. Penyediaan air bersih dan kebutuhan sanitasi dasar d. Pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana e. Imunisasi f. Pencegahan dan penaggulangan penyakit endemik lokal g. Pengobatan yang memadai untuk penyakit-penyakit umum dan kecelakaan h. Penyediaan obat yang esensial 4. Ruang lingkup aktivitas Diperluasnya peran Pendidikan Kesehatan menjadi Promosi Kesehatan oleh WHO menggambarkan juga luasnya ruang lingkup aktivitas promosi kesehatan. Ottawa Charter mengemukakan 5 (lima) pilar utama/cara untuk mempromosikan kesehatan (yang bunyi pernyataannya sesungguhnya bersifat perintah), yaitu: a. Build Healthy Public Policy (Buat kebijakan publik yang sehat) b. Create Supportive Environment (Ciptakan lingkungan yang mendukung) c. Strengthen Community Action (Perkuat kegiatan masyarakat) d. Develop Personal Skills (Kembangkan / tumbuhkan keterampilan pribadi) e. Reorient Health Services (Orientasi ulang pelayanan kesehatan)

Ruang lingkup aktivitas yang lebih operasional dapat kita rujuk ke definisi yang dikemukakan Green dan Kreuter serta Kerangka Precede-Proceed, yang meliputi (1) aktivitas pendidikan kesehatan, (2) pembuatan dan pelaksanaan kebijakan, peraturan serta upaya organisasi. Kedua aktivitas ini merupakan intervensi yang bersifat langsung terhadap perilaku, akar-akar perilaku atau lingkungan. Aktivitas lain yang sangat mutlak agar aktivitas yang disebut di atas dapat dihasilkan dan dijalankan adalah (3) advokasi.

5. Ruang Lingkup Perilaku Kesehatan Becker menguraikan perilaku kesehatan menjadi tiga domain, yakni pengetahuan kesehatan (Health knowledge), sikap terhadap kesehatan (health attitude) dan praktik kesehatan (health practice). Konsep perilaku sehat ini merupakan pengembangan dari konsep perilaku yang dikembangkan Benjamin Bloom. Hal ini berguna untuk mengukur seberapa besar tingkat perilaku kesehatan individu yang menjadi unit analisis. Becker mengklasifikasikan perilaku kesehatan menjadi tiga dimensi:

a. Pengetahuan Kesehatan. Pengetahuan tentang kesehatan mencakup apa yang diketahui oleh seseorang terhadap cara-cara memelihara kesehatan, seperti pengetahuan tentang penyakit menular, pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait dan atau mempengaruhi kesehatan, pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan, dan pengetahuan untuk menghindari kecelakaan.

b. Sikap terhadap kesehatan. Sikap terhadap kesehatan adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, seperti sikap terhadap penyakit menular dan tidak menular, sikap terhadap faktor-faktor yang terkait dan atau memengaruhi kesehatan, sikap tentang fasilitas pelayanan kesehatan, dan sikap untuk menghindari kecelakaan.

c. Praktek kesehatan. Praktek kesehatan untuk hidup sehat adalah semua kegiatan atau aktivitas orang dalam rangka memelihara kesehatan, seperti tindakan terhadap penyakit menular dan tidak menular, tindakan terhadap faktor-faktor yang terkait dan atau mempengaruhi kesehatan, tindakan tentang fasilitas pelayanan kesehatan, dan tindakan untuk menghindari kecelakaan.

B. PRINSIP-PRINSIP PROMOSI KESEHATAN

Sebagai seorang calon perawat profesional yang akan menjalani tugas-tugas kesehatan termasuk didalamnya adalah promosi kesehatan, maka anda akan berhasil mengatasi keadaan jika menguasai sub bidang keilmuan yang terkait berikut ini, diantaranya: 1. Komunikasi 2. Dinamika Kelompok 3. Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat (PPM) 4. Pengambangan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) 5. Pemasaran Sosial (Social Marketing) 6. Pengembangan Organisasi 7. Pendidikan dan Pelatihan 8. Pengembangan Media (Teknologi Pendkes) 9. Perencanaan dan evaluasi. 10. Antropologi Kesehatan 11. Sosiologi Kesehatan 12. Psikologi Kesehatan, Dll.

Selain itu, ada beberapa prinsip promosi kesehatan yang harus diperhatikan oleh kita sebagai calon/perawat profesional , seperti yang diuraikan berikut ini. 1. Prinsip-prinsip Promosi Kesehatan dalam Keperawatan Interaksi Perawat/petugas kesehatan dan Klien merupakan hubungan khusus yang ditandai dengan adanya saling berbagi pengalaman, serta memberi sokongan dan negosiasi saat memberikan pelayanan kesehatan. Pembelajaran yang efektif terjadi ketika klien dan perawat/petugas kesehatan samasama berpartisipasi dalam Proses Belajar Mengajar yang terjadi.Agar hubungan pembelajaran memiliki kualitas positif, baik secara individual, kelompok maupun masyarakat, hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Berfokus pada Klien Klien mempunyai nilai, keyakinan, kemampuan kognitif dan gaya belajar yang unik, yang dapat berpengaruh terhadap pembelajaran. Klien dianjurkan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalamannya kepada perawat, sehingga perawat lebih mengerti tentang keunikan klien dan dalam memberikan pelayanan dapat memenuhi kebutuhan klien secara individual. b. Bersifat menyeluruh dan utuh (holistik) Dalam memberikan promosi kesehatan harus dipertimbangkan klien secara keseluruhan, tidak hanya berfokus pada muatan spesifik. c. Negosiasi Perawat/Petugas kesehatan dan klien bersama-sama menentukan apa yang telah diketahui dan apa yang penting untuk diketahui. Jika sudah ditentukan, buat perencanaan yang dikembangkan berdasarkan masukan tersebut. Jangan memutuskan sebelah pihak. d. Interaktif Kegiatan dalam promosi kesehatan adalah suatu proses dinamis dan interaktif yang melibatkan partisipasi perawat/ petugas kesehatan dan klien. Keduanya saling belajar. Untuk itu, maka perlu diperhatikan dan dipelajari pula Prinsip-prinsip dalam Proses Belajar Mengajar (PBM), yang mencakup : Faktor-faktor pendukung (misalnya : Motivasi , Kesiapan , Pelibatan Aktif /Active Involvement, Umpan Balik / feedback, memulai dari hal yang sederhana sampai kompleks , adanya pengulangan materi / repetition, waktu/ timing dan lingkungan / environment) penghambat belajar (seperti emosi, kejadian/keadaan fisik dan psikologis yang sedang terganggu atau budaya) Fase-fase dalam PBM (mulai dari persiapan, pembuka, pelaksanaan dan penutup Topik), serta Karakteristik perilaku belajar

Perhatikan adanya perubahan perilaku yang terjadi, terdiri dari tiga karakteristik, yaitu: 1) Perubahan Intensional, yaitu perubahan yang terjadi berkat pengalaman/praktik yang dilakukan dengan sengaja dan disadari, bukan karena faktor kebetulan. 2) Perubahan Positif dan aktif. Positif: jika perubahannya baik, bermanfaat dan sesuai harapan. Merupakan sesuatu yang baru dan lebih baik dari sebelumnya. Aktif : perubahan tersebut tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi karena usaha individu itu sendiri 3) Perubahan Efektif dan Fungsional. Efektif : Perubahan tersebut berhasil guna dan membawa pengaruh, makna dan manfaat tertentu bagi individu. Fungsional : perubahan tersebut relatif menetap dan setiap saat siap apabila dibutuhkan, perubahan tersebut dapat diproduksi dan dimanfaatkan.

8.Konsep kesehatan pekerja dipekerbunan. Sebulannya lalu ada seorang teman yang bekerja di perkebunan kelapa sawit sebagai staff safety bertanya bagaimana penerapan safety yang baik dan berhasil mengurangi kecelakaan kerja maka saya mencoba menjelaskan berdasarkan pengalaman bekerja di perusahaan kelapa sawit 2 tahun yang lalu. Penerapan safety di perkebunan kelapa sawit tidak mudah di terapkan karena tenaga kerja terutama pekerja lapangan memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga sulit untuk menerapkan budaya safety atau keselamatan kerja yang aman apalagi pekerja lapangan selalu berhubungan dengan alatalat kerja yang tajam seperti parang, cangkul, dodos dan bahan-bahan kimia baik pestisida serta pupuk. Berikut tahapan yang harus di lakukan berdasarkan pengalaman saya untuk membentuk budaya keselamatan kerja yang baik dan sistem safety yang berkelanjutan : 1. Safety Talk Sebagian besar staff perkebunan kelapa sawit telah berpendidikan sarjana sehingga sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap terhadap keselamatan para pekerja harus mampu melakukan sosialisasi tentang cara aman bekerja. Di saat apel pagi atau muster morning merupakan saat yang tepat untuk menyelipkan pesan-pesan penting tentang keselamatan kerja setidaknya 5-10 menit. Sebagai contoh seorang asisten menjelaskan pentingnya pemakaian masker untuk tim penyemprotan bagi kesehatan pekerja kemudian esok hari dijelaskan lagi penggunaan avron, penjelasan safety harus bertahap. 2. Monitoring penggunaan alat- alat keselamatan kerja Jika proses safety talk telah berjalan dan dipahami oleh para pekerja maka akan dilanjutkan dengan monitoring penggunaan alat-alat safety oleh para supervisi/mandor lapangan, setiap supervisi harus mempunyai buku monitoring safety karyawan dimana buku tersebut mencantumkan nama pekerja dan alat-alat safety, sebagai contoh untuk pemanen ditulis nama pemanen dan juga alat-alat safety yang mesti di bawa dan dipakai seperti sarung dodos, helm,sarung tangan, kacamata dan sepatu setiap item yang tuls dicek oleh supervisi apakah telah dibawa atau tidak. 3. Sosialisasi dan Penerapan MSDS ( Material Safety Data Sheet) Sosialisasi MSDS ini sangat penting apalagi dalam penggunaan bahan-bahan beracun/kimia seperti pestisida dan pupuk. Lembaran MSDS terdiri dari panduan bahan aktif, bahaya dan gejala, peralatan perlindungan dan tindakan menghindari kecelakaan dan P3K/firsd aid. Cara sosialiasasi MSDS ini di lakukan dengan cara melaminating lembaran MSDS yang akan di berikan kepada staff lapangan dan supervisi. Untuk tahap awal para asisten lapangan/supervisi membacakan dan sosialisasi MSDS ini dilakukan saat karyawan akan bekerja, selanjutnya setelah paham dan mengerti karyawan secara bergantian disuruh menjelaskan kembali MSDS tersebut setelah sosialisasi dalam beberapa bulan maka akan dilakukan pertanyaan acak kepada karyawan dan sekaligus memperpraktekkan : Sebagai contoh staff lapangan bertanya ' Ujang jika racun terkena mata apa yang mesti di lakukan ?' jika siujang paham MSDS maka akan menjawab secara spontan 'Segera dibilas dengan air bersih secara mengalir selama 15 menit sambil membuka kelopak mata' setelah itu si ujang akan mensimulasikan di depan karyawan yang lain. Pada MSDS telah ada tindakan P3K jika racun terkena mata,kulit, terhirup dan tertelan sehingga tindakan dasar P3k telah diketahui oleh karyawan.

4. Pembuatan nearmiss Dalam safety kita mengenal piramida safety, jika dalam 10000 kejadian hampir celaka jika tidak diantisipasi dengan baik menimbulkan 600 kecelakaan kecil dan akan menyebabkan 1 fatality atau kematian tentunya kita akan menghindari korban salah satu upaya menghindari hal tersebut dengan pembuatan "sistem nearmiss". Istilah nearmiss hampir sama dengan hampir celaka penerapan nearmiss di perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan dengan cara sebagai contoh jika kita menemui mobil karyawan dengan kondisi ban gundul maka akan dibuat laporan dalam form nearmiss dimana sopir harus bertanda tangan dan diberi tempo segera mengganti ban selama belum ada pergantian ban maka mobil tidak boleh beroperasi. Setiap asisten lapangan diwajibkan membuat form nearmiss sebanyak 5 -10 dengan solusinya setiap bulannya. Dengan dibuatnya nearmiss setiap bulan diharapkan hal-hal yang hampir celaka dapat diantisipasi sebelumnya. 5. Rapat safety bulanan Dalam satu kebun/estate atau PT dibentuk tim P2K3l yang terdiri pimpinan tinggi kebun,manager,asisten dan mandor2 di perkebunan yang di bagi menjadi beberapa seksi yaitu seksi kendaraan, panen, perawatan dan lingkungan dalam setiap bulan mengadakan rapat evaluasi tentang pelaksanaan safety dan lingkungan serta program dan perbaikan yang akan dilakukan. 6. Reward dan Punishment (penghargaan dan hukuman/sangsi) Jika sosialisasi telah berjalan dengan baik maka akan diterapkan sistem denda dan penghargaan sebagai contoh jika karyawan tidak memakai helm maka akan di denda sebanyak Rp 50000 di setorkan kepada pengurus serikat pekerja dan dalam bentuk penghargaan sebagai contoh akan diberikan reward secara kejutan jika karyawan ditemui berkendara dengan surat lengkap dan dengan motor yang standar maka akan diberi hadiah uang atau barang. Penerapan safety di perkebunan kelapa sawit bukanlah hal yang mudah dikarenakan perkebunan kelapa sawit merupakan industri padat karya dengan memperkerjakan sebagaian besar tenaga dengan pendidikan yang masih rendah sehingga pelaksanaan safety pada awalnya sangat menjengkelkan dan melelahkan bagi para pekerja. Bisa dibayangkan tidak terbiasa memakai helm standar disuruh wajib memakai helm standar tentu muncul berbagai resistensi dari para pekerja. Jika telah terbentuk budaya keselamatan kerja yang baik maka akan di dapat pertanyaan dari karyawan seperti ini " pak sarung tangan semprot saya robek tolong pak secepatnya di ganti" atau " pak avron semprot saya sudah lama sekarang udah tipis cepatlah pak diganti dengan yang baru".

Related Documents


More Documents from "Kevin Bran"

1.docx
November 2019 35
Helts2003-2010e
May 2020 16
Un Guidelines
May 2020 16
Lmbs Journal 1
May 2020 15